Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers Tim Advokasi Kali Adem: LBH Masyarakat, HuMa, & PBHI Jakarta

Pada tanggal 2 Desember 2008 silam, pihak Kelurahan Pluit mengeluarkan Seruan No. 280 tahun 2008 kepada komunitas nelayan Kali Adem, Muara Karang, Jakarta Utara. Seruan tersebut berisikan tentang larangan membangun tempat tinggal di atas saluran Kali Adem. Apabila dalam waktu 7×24 jam terhitung sejak Seruan tersebut dikeluarkan para penghuni Kali Adem tidak membongkar sendiri bangunan tempat tinggalnya, mereka akan digusur oleh Tim Terpadu Pemerintahan Wilayah Kecamatan Penjaringan Kota Administrasi Jakarta Utara. Artinya rencana penggusuran tersebut akan dilakukan di sekitar Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2008. Akankah penggusuran paksa terjadi kembali di Jakarta?

Penggusuran adalah pelanggaran terhadap hak atas perumahan, yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Penggusuran adalah pelanggaran atas Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesian melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005. Berdasarkan pasal 11 Kovenan Ekosob, Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Masih dalam pasal yang sama, Indonesia wajib mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Kelurahan Pluit akan melakukan penggusuran terhadap komunitas nelayan Kali Adem, yang telah mendiami bantaran Kali Adem, Muara Karang selama lebih dari 5 (lima) tahun.

Penggusuran tidak semata-semata pemindahan seseorang dari rumahnya, tetapi lebih jauh lagi, penggusuran adalah pencerabutan kehidupan (livelihood) seseorang. Komunitas nelayan ini tentu tidak akan mampu dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa mereka harus berpindah rumah ke daerah lain dimana di daerah yang baru tersebut mereka tidak dapat bekerja selain melaut. Apakah pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta c.q. Kelurahan Pluit sudah menyiapkan langkah mitigasi untuk memastikan bahwa penggusuran tidak akan mengakhiri hidup para nelayan tersebut?

Seperti yang sudah-sudah, penggusuran selalu menimbulkan korban dan kerugian karena pemerintah sendiri kesulitan untuk mengatur para korban pasca penggusuran. Berbeda dengan korban penggusuran lainnya, komunitas nelayan Kali Adem adalah komunitas yang relatif terorganisir mengingat mereka memiliki koperasi bersama yang dikelola secara swadaya bernama Mustika. Artinya, sesungguhnya, komunitas nelayan ini berpotensi untuk turut terlibat dalam pengambilan kebijakan publik yang dampaknya mereka rasakan juga. Dengan melibatkan mereka dalam dialog yang konstruktif untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan hilangnya kerugian akan jauh lebih baik daripada tetap memaksakan kehendak untuk melakukan penggusuran. Dengan tetap melaksanakan penggusuran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Kelurahan Pluit, tidak hanya melanggar hak asasi warganya, namun tetap mempertahankan wajah buruknya dalam memandang persoalan kelompok marjinal.

 

Jakarta, 9 Desember 2008

Tim Advokasi Kali Adem

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M. 

Dhoho Ali Sastro, S.H.

 

 

Hukuman Mati Bukan Solusi: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat atas Eksekusi Amrozi, dkk

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengutuk segala bentuk kekerasan dan kekejaman termasuk tindakan pengeboman di Kuta Bali 2002 lalu. Namun demikian, LBH Masyarakat menyayangkan putusan pemerintah Indonesia yang tetap melaksanakan eksekusi mati terhadap tiga orang terpidana Bom Bali I, Amrozi, Imam Samudera dan Ali Ghufron karena justru pemerintah telah mempertontonkan suatu tindakan kekerasan yang dibalas oleh kekerasan pula.

LBH Masyarakat menentang keras penggunaan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan dan jawaban atas penyelesaian kasus-kasus hukum termasuk juga dalam hal tindak pidana terorisme. Kami memandang bahwa pertama, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup setiap manusia yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga. Kedua, hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Hal tersebut tak lebih dari pembunuhan yang dilegalisasi yang dilakukan oleh negara atas nama keadilan. Ketiga, setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan. Keempat, data dan fakta menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan, sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang adil dan transparan.

Secara khusus dalam kasus ini, penggunaan hukuman mati justru menimbulkan inspirasi bagi beberapa kelompok untuk menempatkan Amrozi cs sebagai “pahlawan” dan seolah-olah memberikan legitimasi akan perbuatan Amrozi cs. Kenyataan menujukkan bahwa Amrozi cs tidak takut hukuman mati. Dan sebaliknya, pasca pelaksanaan eksekusi tersebut, justru muncul gelombang dukungan dari kalangan tertentu yang mendukung “perjuangan” Amrozi cs tersebut.

Penolakan kami terhadap penggunaan hukuman mati terhadap Amrozi cs bukan berarti kami mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Namun LBH Masyarakat lebih mendorong keadilan restoratif yakni memulihkan keadaan korban dan bukan melestarikan keadilan retributif yang didasarkan pada balas dendam. Ketika negara mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti negara mendorong agar bangsa ini selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Keadilan bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai kita melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap kita. Selama ini kita muak dengan segala tindakan kejam dan meminta pemerintah untuk membalas tindakan kejam tersebut dengan menerapkan hukuman mati. Tanpa kita sadari, penerapan hukuman mati ternyata hanya memperpanjang rantai kekerasan.

Jakarta, 10 November 2008

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M

Ketua Dewan Pengurus

 

 

Ricky Gunawan, S.H.

Direktur Program

Hari dan Jam Layanan Konsultasi Hukum

Dalam rangka meningkatkan efektivitas layanan konsultasi hukum LBH Masyarakat, maka per tanggal 12 Januari 2015, hari dan jam layanan konsultasi akan dibuka pada:
Senin s/d Kamis, 09:30-11:30 dan 13:00-1600.

Khusus hari Jumat, layanan konsultasi hukum tidak dibuka.

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
LBH Masyarakat

 
 
 

Jakarta, 12 Januari 2015

Presiden SBY Didesak Keluarkan Rehabilitasi Korban 1965

Korban eks tahanan politik 1965, Nani Nurani (73) akhirnya mendatangi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk meminta perlindungan presiden dari stigma tudingan terlibat G.30.S/PKI yang dialaminya selama bertahun-tahun. Didampingi Tim Advokasi dari LBH Masyarakat, LBH Jakarta, dan Elsam, Nani Nurani diterima Anggota Wantimpres Albert Hasibuan dalam sebuah pertemuan tertutup di Kantor Wantimpres.

“Kita diterima Albert Hasibuan mendampingi Bu Nani sebagai korban stigma G.30.S/1965 dan pelanggaran HAM,” kata Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat usai pertemuan di Kantor Wantimpres, Selasa (15/4).
Dia mengungkapkan Nani pernah dipenjara tanpa proses hukum selama 7 tahun dari tahun 1968-1975 tanpa proses hukum. Polisi Militer Cianjur menudingnya terlibat G.30.S/PKI dan sebagai kader Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, Nani dituduh mendapatkan rumah dari Ketua Umum PKI DN Aidit. Padahal, dia tidak kenal dengan DN Aidit.
“Tuduhan itu tak benar berdasarkan surat keterangan dari NV Mugi tempat Nani bekerja dan surat keterangan bebas G.30.S/PKI yang dikeluarkan Koramil Menteng yang disita Polisi Militer Cianjur dan tak pernah dikembalikan,” bebernya.

Akibatnya, Nani mendapat sejumlah perlakuan diskriminatif dari negara. Seperti Nani dilarang bepergian ke luar negeri alias dicekal dan wajib lapor hingga tahun 2000, KTP-nya diberi tanda khusus sebagai eks tahanan politik, dan tidak mendapatkan KTP seumur hidup pada tahun 2003.

Nani sendiri sudah menempuh jalur hukum melalui gugatan ke PTUN hingga akhirnya pada 2008 MA menyatakan negara telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak memberi hak Nani Nurani sebabai warga negara berupa pemberian KTP seumur hidup. “Saat ini gugatan perdatanya di PN Jakarta Pusat sedang diajukan kasasi, pengadilan sebelumnya menyatakan tidak dapat menerima (NO) karena dianggap kewenangan PTUN,” kata Ricky.

Sebelumnya, Nani juga pernah mengirimkan surat permintaan rehabilitasi ke presiden atas dasar surat Ketua MA Bagir Manan bernomor KMA/403/VI/2003 perihal Permohonan Rehabilitasi. Surat itu, intinya berisikan pertimbangan MA yang menyatakan MA tak berwenang memberikan rehabilitasi, tetapi ini hak prerogatif presiden. Terakhir, pihaknya mengirimi surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) pada 20 Februari 2014.
“Kami sudah kirim surat berkali-kali, tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari presiden, makanya kita meminta perlindungan lagi melalui Wantimpres,” ujarnya.

Dalam pertemuannya dengan Albert Hasibuan ditegaskan kembali agar Wantimpres bisa mendorong presiden untuk menerbitkan surat rehabilitasi untuk memulihkan nama baik Nani Nurani. “Dalam pertemuan tadi, hasilnya positif, Pak Albert mendukung dan simpatik terhadap perjuangan kita. Dia berjanji akan mencoba merekomendasi permintaan rehabilitasi ini sebelum masa kepemimpinan Presiden SBY berakhir,” katanya.

Pintu Masuk
Nani sendiri mengaku permintaan rehabilitasi memang diperuntukkan hanya untuk dirinya. Padahal, korban stigma 1965 yang diperlakukan diskiriminatif oleh negara cukup banyak. Tetapi, persoalannya korban-korban lainnya masih terkendala dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap.

“Mereka tak punya dokumentasi lengkap seperti saya, dokumen surat pembebasan dan penahanan saja mereka tidak punya,” kata Nani. “Kalau surat-surat saya lengkap, slip gaji saya saja masih ada saat dipecat. Bahkan, surat-surat ayah saya sejak 1968 masih ada. Teman-teman saya tidak punya itu.”

Karenanya, dia pun meminta kepada negara untuk mengembalikan hak nama baiknya sebagai manusia dan warga negara agar diperlakukan sama dengan warga negara lainnya. “Itu saja yang terpenting yang kami minta,” kata Nani.

Meski begitu, kasus ini nantinya bisa menjadi “pintu masuk” bagi korban-korban lainnya yang mengalami nasib serupa. “Strategi kita, sementara untuk kasus Bu Nani selain karena terkendala bukti dan kita tak ingin ramai-ramai menggugat, kasus Bu Nani hanya sebagai ‘pintu masuk’ saja bagi korban lainnya yang tujuannya murni memulihkan hak warga negara yang terlanggar,” kata Ricky menambahkan.

 
 
 

Sumber: www.hukumonline.com

Jakarta, 15 April 2014

Selama Tahun 2009, Tiga Pilar Penegak Hukum Jeblok

Tiga pilar penegak hukum yang terdiri dari Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri mendapat penilaian jeblok.

Demikian Evaluasi Akhir Tahun Penegakan Hukum yang disampaikan LBH Masyarakat. Menurut Direktur Program LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, dalam jumpa pers di Kantor LBH Masyarakat, kawasan Tebet, Jakarta (Minggu, 27/12), ketiga pilar penegak hukum tersebut sangat rapuh.

“Rapuh dalam hal integritas, akuntabilitas, dan transparansi. Atau yang biasa disebut dengan reformasi hukum. Ketiganya terjebak dalam logika berpikir prosedur hukum tanpa menghayati rasa keadilan masyarakat. Mengedepankan faktor segera selesai dengan prosedur hukum ketimbang aspek keadilan. Ini mengindikasikan runtuhnya prinsip negara hukum. Kami menilai faktor terjadinya runtuhnya prinsip hukum karena keadilan dijual belikan. Siapa yang dekat dengan kekuasaan dan pengambil kebijakan. Indonesia rawan tidak adanya penegakkan hukum,” kata Ricky.

Sementara itu, menurut Ricky, indeks prestasi tertinggi diraih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Sementara Presiden RI, kata Ricky, masuk peringkat lima dalam hal penegakan hukum. Meski memiliki kepecayaan publik, lanjut Ricky, SBY tidak transparan dengan akuntabilitas sangat rendah. (yan)

 

Sumber: Rakyat Merdeka

Jakarta, 27 Desember 2009

Evaluasi Akhir Tahun LBH Masyarakat: MA, Kejaksaan dan Polri Buruk Dalam Penegakan Hukum

Tiga lembaga hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Polri dinilai kurang berkomitmen dalam penegakan hukum dan reformasi hukum.

Demikian evaluasi akhir tahun penegakan hukum oleh LBH Masyarakat.

Direktur Program LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengatakan, dengan rapuhnya 3 pilar penegakan hukum itu mengidentifikasi runtuhnya prinsip-prinsip negara hukum, di mana ketika ketiga lembaga hukum itu dinilai rendah dalam hal integritas, akuntabilitas dan transparansi.

Ricky menambahkan faktor rumtuhnya prinsip hukum adalah karena keadilan hukum sudah dibeli atas nama profesi hukum, dan jika dibiarkan maka dikhawatirkan akan tiadanya penegakan HAM.

Sementara berdasarkan peringkat penegakan hukum oleh LBH Masyarakat, lembaga pertama yang dinilai memiliki komitmen adalah KPK, Komnas HAM, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Sementara presiden RI diurutan ke lima karena keunggulan kepercayaan publik namun memiliki kelemahan soal tranparansi dan akutabilitas. (sik)

 

Sumber: Elshinta

Jakarta, 27 Desember 2009

Polri Persilahkan Praperadilan SP3 Lapindo

Tim advokasi korban lumpur Lapindo tengah menjajaki kemungkinan mengajukan praperadilan terhadap SP3. Cuma, ada nada keraguan atas sistem peradilan. Praperadilan atas SP3 nyaris selalu kandas.

Penghentian penyidikan kasus lumpur Lapindo oleh Polda Jawa Timur menimbulkan reaksi keras sejumlah kalangan yang tergabung dalam Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo (GMKKLL). Tudingan skandal dan konspirasi dialamatkan ke kepolisian dan kejaksaan, mengingat penyidikan kasus lumpur Lapindo sudah mengendap sampai tiga tahun.

Kepolisian berdalih harus mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena kejaksaan tidak pernah mau menerima berkas penyidikan. Sikap Kejaksaan yang terus mengembalikan berkas membuat posisi kepolisian dilematis. Menurut Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Sukarna, hanya ada dua alternatif tindakan kepolisian, yakni dipaksakan untuk diteruskan atau dihentikan. “Kan ada dua alternatif, kita teruskan dengan paksa atau dihentikan”.

Kepolisian memutuskan memilih untuk menghentikan penyidik kasus Lapindo. Pilihan itu tentu saja bukan tanpa resiko. Besar kemungkinan digugat masyarakat –baik lewat praperadilan. Nanan tak menampik kemungkinan itu. Kepolisian, kata Nanan, mempersilahkan masyarakat yang ingin mempersoalkan SP3 yang diterbitkan Polda Jawa Timur. Upaya itu malah bisa memberikan kepastian hukum. “Silahkan saja. Supaya ada kepastian hukum, bawa ke pengadilan, kemudian (pengadilan) tentukan ini harus diteruskan. Nah, kan malah bagus. Supaya ada yang ‘memaksa’ untuk meneruskan penyidikan,” ujarnya.

Sejauh ini belum diketahui pasti apakah gugatan praperadilan telah masuk ke panitera pengadilan. GMKKLL yang mengadvokasi korban lumpur Lapindo masih melakukan diskusi terkait dengan pengajuan praperadilan ini. Gerakan ini belum mendapatkan berkas SP3. Selain itu, tersirat perasaan ragu atas sistem dan kualitas pengadilan di Indonesia. Berdasarkan pengalaman selama ini pengadilan sangat mengedepankan bukti-bukti formil dalam pemeriksaan praperadilan.

Direktur LBH Masyarakat, lembaga yang ikut dalam GMKLL, Taufik Basari mempertanyakan apakah ada kemauan dan keseriusan pengadilan untuk membongkar dugaan skandal dan konspirasi dalam penghentian penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur ini. “Itu yang masih menjadi keraguan. Saat ini, kami masih akan membahas dan melakukan penilaian terkait itu. Sejauh mana kita bisa menyandarkan diri pada proses praperadilan yang pasti punya keterbatasan-keterbatasan, ketika kita sorongkan hal-hal yang dapat membongkar adanya dugaan skandal dan konspirasi,” terang laki-laki yang akrab disapa Tobas ini.

GMKKLL juga diketahui tengah melakukan kajian atas peluang untuk mendesak kembali kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan meninjau ulang SP3 yang dikeluarkan Polda Jawa Timur. “Apakah masih ada peluang untuk kita mendesak polisi dan kejaksaan untuk meninjau ulang SP3, meskipun sudah pernah kita lakukan. Apakah masih ada tersisa iktikad baik dari polisi dan kejaksaan untuk benar-benar mau meninjau SP3, apabila ditunjukan oleh masyarakat bahwa SP3 ini mencurigakan,” kata Tobas.

Tobas berharap Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji melakukan tindakan dengan melakukan pemeriksaan internal untuk menelusuri latar belakang keluarnya SP3. “Ini adalah tantangan ke Kapolri dan Jaksa Agung. Kalau mereka tidak ingin dicurigai ada skandal ya mereka harus melakukan sesuatu. Jadi, sekarang pembuktiannya ada di Kapolri dan Jaksa Agung untuk menunjukan independensi kepolisian dan kejaksaan”.

Tak Digubris

Dugaan skandal dan konspirasi yang terlontar dari GMKKLL bukan tidak berdasar. Tobas mengatakan pihaknya menemukan beberapa indikasi yang mencurigakan. Pertama, dapat dilihat dari lambannya peyidikan terhadap kasus lumpur Lapindo ini. Kemudian, konstruksi yang dibangun kepolisian selama ini justru terkesan dibuat untuk melindungi Lapindo Brantas. Harusnya, kata Tobas, penyidikan yang dilakukan kepolisian itu diarahkan kepada bagaimana penyidik mengumpulkan bukti-bukti yang memperkuat penyidikan. Dimana, nanti juga akan memperkuat penuntutan.

Namun, Tobas melihat bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan kepolisian malah dikonstruksikan sedemikian rupa untuk mencegah agar kasus lumpur Lapindo ini tidak sampai ke pengadilan. “Apa tanda-tandanya? Polisi ini menerima begitu saja, ditelan bulat-bulat, seluruh ahli-ahli yang disodorkan oleh Lapindo Brantas (yang menyatakan semburan lumpur akibat bencana alam). Padahal, terdapat begitu banyak ahli yang bisa menunjukan bahwa semburan lumpur ini dipicu oleh kegiatan pengeboran”.

Dugaan ini begitu nyata, ketika Tobas bersama tim menemui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Abdul Hakim Ritonga pada pertengahan 2008 lalu. Dari dua belas ahli yang diambil keterangannya oleh kepolisian, tiga diantaranya ternyata karyawan Lapindo Brantas sendiri. Kemudian, enam diantaranya adalah orang yang menjadi juru kampanye Lapindo Brantas di berbagai kesempatan yang digunakan untuk mengcounter segala hal yang menyudutkan Lapindo. Tobas menegaskan, harusnya kepolisian melihat track record ahli-ahli tersebut. Apakah mereka adalah ahli yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan.

Untuk itu, Tobas dan tim sudah pernah memfasilitasi kepolisian dan kejaksaan untuk mengambil keterangan-keterangan ahli dari luar negeri yang independen. Tapi, tetap tidak pernah digubris. Padahal, ahli-ahli itu telah secara khusus melakukan kajian terhadap peristiwa semburan lumpur Lapindo ini. Ada empat ahli yang sudah menyatakan kesedian untuk dimintai keterangan.

Pertama, Richard J Davies, ahli geologi yang kajiannya sudah ada dimana-mana. Kemudian, Michael Manga, ahli gempa bumi yang sudah memiliki perhitungan bahwa gempa di Yogyakarta berskala kecil dan jaraknya begitu jauh, sehingga tidak mungkin dapat menyebabkan semburan lumpur seperti itu. Ketiga, Martin Ngai, dari Adelaide, Australia. Dan terakhir Neil Adam, parktisi pengeboran yang di kalangan para ahli pengeboran sudah sangat diakui, karena berkali-kali berhasil mematikan semburan lumpur dan kecelakaan pengeboran di seluruh dunia.

Bukan hanya fasilitas ahli yang tidak digubris,. Dokumen rahasia Medco (salah satu pemilik saham Lapindo Brantas) pun tidak ditindaklanjuti kepolisian. Medco memang sempat menggunakan dua konsultan terkemuka, salah satunya Neil Adam, untuk meneliti penyebab semburan lumpur Lapindo.

Hasil kajian kedua konsultan itu mengindikasikan Lapindo tidak menggunakan chasing. Padahal, kata seorang sumber yang tahu dokumen itu, Medco sempat mengingatkan Lapindo untuk memakai chasing pada saat pengeboran. Dengan demikian, Tobas berpendapat, kepolisian harusnya membuktikan keaslian dokumen tersebut. “Yang paling berwenang untuk membuktikan apakah itu dokumen original atau tidak, ya hanya polisi. Harusnya ketika ada hal seperti ini, polisi bertindak degan memanggil Medco. Dan dengan menggunakan kewenangan dia bisa melakukan penyitaan,” pungkasnya.

Sayang, walau dokumen ini telah disampaikan ke kepolisian dan kejaksaan, tetap tidak ditindaklanjuti. “Polisi yang seharusnya melakukan penyitaan-penyitaan terhadap bukti-bukti penting tetapi tidak dilakukan. Malah tidak lama setelah itu (dokumen disampaikan), keluar SP3,” sesal Tobas. (Nov)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 22 Agustus 2009

SP3 Lapindo Bukti Skandal Hukum

Dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) kasus lumpur Lapindo oleh Polda Jawa Timur pada pekan lalu, menunjukkan bukti nyata adanya konspirasi dan dugaan skandal dalam proses penegakan hukum kasus lumpur Lapindo.

“Jadi memang aneh ketika pengumuman SP3 dikeluarkan, Polda Jatim beralasan kekurangan keterangan para ahli. Padahal itu tidak benar, justru mereka yang tidak mau mendengarkan keterangan para ahli,” kata Ketua Dewan Pengurus LBH Masyarakat Taufik Basari saat konferensi Pers \’Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo\’ di Kantor Walhi, Jalan Tegal Parang, Jakarta, Kamis (13/8/2009).

Taufik menemukan kecurigaan dikeluarkannya SP-3 bertepatan dengan keluarnya skandal dokumen rahasia milik PT Medco Energi yang secara jelas menunjukan temuan pengeboran dan kelalaian Lapindo Brantas sebagai penyebab utama semburan lumpur.

“Momentumnya tepat sekali saat ini terkuak sesuatu yang baru tapi polisi tidak mau menindaklanjuti. Dengan kewenangan SP-3, maka Polda Jawa Timur telah mencegah proses pidana tidak dilanjutkan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Walhi mendapatkan temuan dokumen baru dari PT Medco Energi yang sifatnya rahasia, pada dokumen pertama menyebutkan bahwa PT Medco tidak mau bertanggung jawab atas kasus lapindo Brantas dan tiba-tiba ada temuan dari konsuler peneliti yang menyebutkan adanya pengeboran. Inilah yang seharusnya menjadi bukti temuan baru bagi pihak kepolisian untuk melakukan penelusuran penyelidikan dari kasus lapindo.

“Kami menyesalkan sikap polisi yang seharusnya bisa melakukan penelusuran dengan temuan baru, tapi justru di SP3 kan,” keluhnya. (hri)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 22 Agustus 2009

SP3 Kasus Lapindo Dimanfaatkan Minarak Tunda Ganti Rugi

Dampak keluarnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus lumpur Lapindo dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, kini mulai terindikasi penghindaran ganti rugi dari PT. Minarak Lapindo Brantas.

“Ini terjadi di lapangan, Minarak menunda pembayaran karena alasan keluar SP3,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maemunah dalam konferensi pers di kantor Wahanan Lingkungan HIdup (Walhi) Jakarta, Kamis (13/8)

Surat tersebut, kata Maemunah, ditengarai menjadi alat Minarak untuk menuntaskan pembayaran ganti rugi. Masalahnya, keluarnya surat putusan penghentian, tidak diikuti dengan kewajiban penuntasan ganti rugi oleh Minarak Lapindo.

Ketua Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengendus itikad buruk Minarak Lapindo ini sejak awal. “Tidak ada surat putusan saja seret, apalagi ada putusan yang mendukung mereka,” ucapnya dalam kesempatan yang sama

Presiden Komunikasi dan Sosial Lapindo Brantas Yuniwati Terryana menyebutkan, sudah ada 11.120 berkas dari 12.886 berkas yang sudah diproses, untuk pembayaran yang 20 persen. “Bahkan 3.400-nya sudah lunas, begitu pula dengan yang pembayaran 80 persen tetap dilakukan, meskipun dengan cara bertahap,” kata Yuniwati, Jumat
(7/8)

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Berry Nahdian Furqon mengkhawatirkan putusan ini jadi preseden buruk bagi kasus lingkungan hidup yang bersifat masif. “Terutama menyangkut korporasi yang bergerak di industri ekstraktif,” imbuhnya

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Taufik Basari menduga kepolisian Jawa timur berencana mencegah proses pidana dilanjutkan. “Polisi dan kejaksaan disetir oleh pemilik modal,” imbuhnya. Indikasi ini terlihat dari alasan penghentian yang mengada-ada seperti kurangnya saksi, ahli dan bukti. Padahal pihaknya sudah menawarkan penyedian kelengkapan tersebut, termasuk ahli independen dari luar negeri. “Tapi polisi tak melirik sedikit pun, tawaran kami,” ucapnya.

 
 

Ditulis oleh: Dianing Sari

Sumber: Tempo Interaktif

Jakarta, 13 Agustus 1009

Hak Asasi Pengguna Narkotika Kerap Dilanggar

Salah satu alasannya karena peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih menempatkan para pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal. Bukan sebagai korban.

“Hendaknya pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) diterapkan dengan sistem layanan kesehatan. Bukan pemenjaraan. Ini harapan kita.” Harapan ini disampaikan oleh HM Aminullah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI dalam diskusi publik ’Mencari format Ideal Kebijakan Narkotika Indonesia yang Berperspektif Hak Asasi Manusia‘ di Jakarta, Kamis (30/7).

Aminullah menyatakan selama ini masih terdapat dualisme penanganan pecandu narkotika antara Depkes dan kepolisian. ”Polisi mengatakan menjalankan undang-undang, Menteri Kesehatan juga menjalankan undang-undang. Kalau ketemu polisi ya masuk penjara, Kalau ketemu sama (petugas) kesehatan ya masuk rumah sakit. Jadi masalahnya kucing-kucingan. Kita bikin pelayanan kesehatan juga, kalau masuk RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) nanti keluarnya takut ditangkap aparat di depan.”

Padahal menurut Aminullah, kecanduan narkoba adalah penyakit, dimana ada kerusakan dalam otak sehingga pecandunya harus menjalani terapi kesehatan karena sewaktu-waktu bisa kambuh. Kalau pun harus dipenjarakan, Aminullah meminta adanya pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan. Ia juga mengungkapkan fakta bahwa ketika pecandu dibina di dalam komunitas akan lebih mudah sembuh ketimbang di dalam lapas.

Vigrarose Nurmaya dari Yayasan Stigma –Yayasan yang anggotanya terdiri dari pecandu dan mantan pecandu- mengungkapkan fakta termasuk pengalamannya sendiri. ”Dari tahun 1995 sampai sekarang, proses penangkapan dan penahanan tidak pernah sesuai dengan prosedur. Tidak ada suratnya. Banyak sekali terjadi pelanggaran HAM. Teman NAPZA yang laki-laki dipukuli. Temen NAPZA perempuan mengalami kekerasan seksual sampai berujung ke pemerkosaan. Juga perampasan harta benda.”

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Taufik Basari, mengamini pernyataan Vigrarose. Menurutnya pendekatan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk masalah pecandu narkotika ini justru tidak memenuhi HAM. “Kebijakan publik yang bernapaskan HAM seperti yang paling penting mengakui manusia sebagai pemegang kekusaan tertinggi atas Hak Asasinya. Jadi sentralnya manusia bukan negara.”

Taufik menambahkan bahwa negara wajib membuat hukum untuk melindungi kebebasan dan kesetaraan manusia bukan malah untuk melindungi kepentingan negara itu sendiri. Oleh Karena itu peran serta negara dalam kebijakan publik harus melindungi HAM. Masalah kesetaraan ini sudah tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Universal HAM dan masalah nondiskriminasi tercantum dalam Pasal 2 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya.

Selain itu Taufik, juga meminta kebijakan UU Narkotika harus memberi ruang seluas-luasnya bagi kontrol masyarakat. Selain itu harus mengakomodir semua pihak termasuk pengguna NAPZA. ”Selama ini pengguna NAPZA jadi objek. Jadi mereka tidak didengarkan.”

Masalah lain adalah pengaturan batas waktu dalam UU Narkotika yang merupakan lex spesialis dari KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan 1×24 jam dan bisa diperpanjang 2×24 jam. Sementara KUHAP hanya memperbolehkan 1×24 jam. Menurut Taufik hal ini bisa memberikan celah bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. ”Ini menjadi satu celah adanya tindak sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan barang tanpa prosedur hukum. Ini yang menjadi krusial.”

Revisi UU Narkotika

Di kesempatan yang sama, pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta yang juga Tim revisi UU Narkotika, Samuel Hutabarat, memberikan cacatan mengenai RUU yang sudah ada. Menurutnya hal pertama yang harus diubah adalah konsep penahanan tentang pemakai dan pengguna narkotika. Di dalam UU Narkotika, pengguna ditempatkan sebagai pelaku kriminal. “Kami sarankan, pemakai atau pengguna adalah korban. Korban dari proses peredaran narkotika itu tadi.”

Menurut Samuel, seorang pecandu baru bisa dikriminalisasi untuk kegiatan kriminal lain yang mereka lakukan. Misalnya kalau mereka mencuri barang untuk membeli narkoba.

Hal lain yang dia sarankan untuk diubah adalah kewajiban orang tua melaporkan anak mereka yang masih di bawah umur dan pemakai narkoba kepada pemerintah. Bagi orang tua yang tidak melapor, maka akan dikenai sanksi. Samuel sadar bahwa ketentuan ini bakal terbentur dengan budaya timur dimana pemakai narkoba dianggap aib keluarga. Kalau orang tua diwajibkan melapor sama saja dipaksa membuka aib keluarga. Samuel lebih sependapat bila orang tua diwajibkan membawa anaknya yang menjadi pencandu narkoba ke panti rehabilitasi.

Selain itu Samuel juga mengkritisi pasal 41 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang merumuskan, ‘Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/ atau perawatan.’

Samuel mengkritik bahwa ketentuan pasal itu hanya memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan pengobatan dan atau perawatan terhadap pengguna psikotropika. “Harusnya kata ‘dapat’ diganti menjadi sebuah kewajiban.”

Sejauh ini, kata Samuel, revisi UU Narkotika ini baru mencapai tahap diskusi di beberapa daerah dan pihak terkait seperti beberapa fraksi DPR, BNN dan Depkes. Rangkaian diskusi itu dilakukan untuk mematangkan naskah akademik dan draf RUU.

Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran bernomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Dalam SEMA yang ditandatangani pada 17 Maret 2009 itu, terdapat petunjuk bagi setiap hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam menangani perkara narkoba. Hakim diminta sedapat mungkin tidak buru-buru memvonis terpidana pemakai narkoba untuk dijebloskan ke penjara. Melainkan bisa dikirim ke Panti Terapi atau Rehabilitasi. (M-8)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 30 Juli 2009