Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

SP3 Kasus Lapindo Dimanfaatkan Minarak Tunda Ganti Rugi

Dampak keluarnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus lumpur Lapindo dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, kini mulai terindikasi penghindaran ganti rugi dari PT. Minarak Lapindo Brantas.

“Ini terjadi di lapangan, Minarak menunda pembayaran karena alasan keluar SP3,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maemunah dalam konferensi pers di kantor Wahanan Lingkungan HIdup (Walhi) Jakarta, Kamis (13/8)

Surat tersebut, kata Maemunah, ditengarai menjadi alat Minarak untuk menuntaskan pembayaran ganti rugi. Masalahnya, keluarnya surat putusan penghentian, tidak diikuti dengan kewajiban penuntasan ganti rugi oleh Minarak Lapindo.

Ketua Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengendus itikad buruk Minarak Lapindo ini sejak awal. “Tidak ada surat putusan saja seret, apalagi ada putusan yang mendukung mereka,” ucapnya dalam kesempatan yang sama

Presiden Komunikasi dan Sosial Lapindo Brantas Yuniwati Terryana menyebutkan, sudah ada 11.120 berkas dari 12.886 berkas yang sudah diproses, untuk pembayaran yang 20 persen. “Bahkan 3.400-nya sudah lunas, begitu pula dengan yang pembayaran 80 persen tetap dilakukan, meskipun dengan cara bertahap,” kata Yuniwati, Jumat
(7/8)

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Berry Nahdian Furqon mengkhawatirkan putusan ini jadi preseden buruk bagi kasus lingkungan hidup yang bersifat masif. “Terutama menyangkut korporasi yang bergerak di industri ekstraktif,” imbuhnya

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Taufik Basari menduga kepolisian Jawa timur berencana mencegah proses pidana dilanjutkan. “Polisi dan kejaksaan disetir oleh pemilik modal,” imbuhnya. Indikasi ini terlihat dari alasan penghentian yang mengada-ada seperti kurangnya saksi, ahli dan bukti. Padahal pihaknya sudah menawarkan penyedian kelengkapan tersebut, termasuk ahli independen dari luar negeri. “Tapi polisi tak melirik sedikit pun, tawaran kami,” ucapnya.

 
 

Ditulis oleh: Dianing Sari

Sumber: Tempo Interaktif

Jakarta, 13 Agustus 1009

Hak Asasi Pengguna Narkotika Kerap Dilanggar

Salah satu alasannya karena peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih menempatkan para pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal. Bukan sebagai korban.

“Hendaknya pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) diterapkan dengan sistem layanan kesehatan. Bukan pemenjaraan. Ini harapan kita.” Harapan ini disampaikan oleh HM Aminullah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI dalam diskusi publik ’Mencari format Ideal Kebijakan Narkotika Indonesia yang Berperspektif Hak Asasi Manusia‘ di Jakarta, Kamis (30/7).

Aminullah menyatakan selama ini masih terdapat dualisme penanganan pecandu narkotika antara Depkes dan kepolisian. ”Polisi mengatakan menjalankan undang-undang, Menteri Kesehatan juga menjalankan undang-undang. Kalau ketemu polisi ya masuk penjara, Kalau ketemu sama (petugas) kesehatan ya masuk rumah sakit. Jadi masalahnya kucing-kucingan. Kita bikin pelayanan kesehatan juga, kalau masuk RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) nanti keluarnya takut ditangkap aparat di depan.”

Padahal menurut Aminullah, kecanduan narkoba adalah penyakit, dimana ada kerusakan dalam otak sehingga pecandunya harus menjalani terapi kesehatan karena sewaktu-waktu bisa kambuh. Kalau pun harus dipenjarakan, Aminullah meminta adanya pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan. Ia juga mengungkapkan fakta bahwa ketika pecandu dibina di dalam komunitas akan lebih mudah sembuh ketimbang di dalam lapas.

Vigrarose Nurmaya dari Yayasan Stigma –Yayasan yang anggotanya terdiri dari pecandu dan mantan pecandu- mengungkapkan fakta termasuk pengalamannya sendiri. ”Dari tahun 1995 sampai sekarang, proses penangkapan dan penahanan tidak pernah sesuai dengan prosedur. Tidak ada suratnya. Banyak sekali terjadi pelanggaran HAM. Teman NAPZA yang laki-laki dipukuli. Temen NAPZA perempuan mengalami kekerasan seksual sampai berujung ke pemerkosaan. Juga perampasan harta benda.”

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Taufik Basari, mengamini pernyataan Vigrarose. Menurutnya pendekatan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk masalah pecandu narkotika ini justru tidak memenuhi HAM. “Kebijakan publik yang bernapaskan HAM seperti yang paling penting mengakui manusia sebagai pemegang kekusaan tertinggi atas Hak Asasinya. Jadi sentralnya manusia bukan negara.”

Taufik menambahkan bahwa negara wajib membuat hukum untuk melindungi kebebasan dan kesetaraan manusia bukan malah untuk melindungi kepentingan negara itu sendiri. Oleh Karena itu peran serta negara dalam kebijakan publik harus melindungi HAM. Masalah kesetaraan ini sudah tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Universal HAM dan masalah nondiskriminasi tercantum dalam Pasal 2 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya.

Selain itu Taufik, juga meminta kebijakan UU Narkotika harus memberi ruang seluas-luasnya bagi kontrol masyarakat. Selain itu harus mengakomodir semua pihak termasuk pengguna NAPZA. ”Selama ini pengguna NAPZA jadi objek. Jadi mereka tidak didengarkan.”

Masalah lain adalah pengaturan batas waktu dalam UU Narkotika yang merupakan lex spesialis dari KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan 1×24 jam dan bisa diperpanjang 2×24 jam. Sementara KUHAP hanya memperbolehkan 1×24 jam. Menurut Taufik hal ini bisa memberikan celah bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. ”Ini menjadi satu celah adanya tindak sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan barang tanpa prosedur hukum. Ini yang menjadi krusial.”

Revisi UU Narkotika

Di kesempatan yang sama, pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta yang juga Tim revisi UU Narkotika, Samuel Hutabarat, memberikan cacatan mengenai RUU yang sudah ada. Menurutnya hal pertama yang harus diubah adalah konsep penahanan tentang pemakai dan pengguna narkotika. Di dalam UU Narkotika, pengguna ditempatkan sebagai pelaku kriminal. “Kami sarankan, pemakai atau pengguna adalah korban. Korban dari proses peredaran narkotika itu tadi.”

Menurut Samuel, seorang pecandu baru bisa dikriminalisasi untuk kegiatan kriminal lain yang mereka lakukan. Misalnya kalau mereka mencuri barang untuk membeli narkoba.

Hal lain yang dia sarankan untuk diubah adalah kewajiban orang tua melaporkan anak mereka yang masih di bawah umur dan pemakai narkoba kepada pemerintah. Bagi orang tua yang tidak melapor, maka akan dikenai sanksi. Samuel sadar bahwa ketentuan ini bakal terbentur dengan budaya timur dimana pemakai narkoba dianggap aib keluarga. Kalau orang tua diwajibkan melapor sama saja dipaksa membuka aib keluarga. Samuel lebih sependapat bila orang tua diwajibkan membawa anaknya yang menjadi pencandu narkoba ke panti rehabilitasi.

Selain itu Samuel juga mengkritisi pasal 41 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang merumuskan, ‘Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/ atau perawatan.’

Samuel mengkritik bahwa ketentuan pasal itu hanya memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan pengobatan dan atau perawatan terhadap pengguna psikotropika. “Harusnya kata ‘dapat’ diganti menjadi sebuah kewajiban.”

Sejauh ini, kata Samuel, revisi UU Narkotika ini baru mencapai tahap diskusi di beberapa daerah dan pihak terkait seperti beberapa fraksi DPR, BNN dan Depkes. Rangkaian diskusi itu dilakukan untuk mematangkan naskah akademik dan draf RUU.

Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran bernomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Dalam SEMA yang ditandatangani pada 17 Maret 2009 itu, terdapat petunjuk bagi setiap hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam menangani perkara narkoba. Hakim diminta sedapat mungkin tidak buru-buru memvonis terpidana pemakai narkoba untuk dijebloskan ke penjara. Melainkan bisa dikirim ke Panti Terapi atau Rehabilitasi. (M-8)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 30 Juli 2009

Penghukuman Tak Bikin Jera

Keputusan PN Tangerang yang menyatakan 10 anak penyemir sepatu bersalah telah berjudi mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Mereka menilai, keputusan itu tak memunculkan efek jera, tetapi justru memunculkan masalah baru berupa masa depan suram bagi anak-anak itu.

Reaksi berupa pernyataan tersebut datang dari anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana dan Gayus Lumbuun, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arits Merdeka Sirait, serta ahli hukum pidana Rudi Satrio Lelono.

Mereka sepakat, seharusnya penegak hukum, dalam hal ini polisi, jaksa, dan pengadilan, tak perlu meneruskan perkara main tebak gambar yang dimainkan anak-anak itu ke persidangan.

”Toh, keputusan pengadilan, ternyata mereka dikembalikan kepada orangtuanya untuk dibina. Polisi seharusnya menggunakan kewenangan deskresinya untuk menghentikan perkara tersebut, lalu memanggil orangtua anak-anak itu agar mereka tak lagi mengulangi perbuatannya,” kata Rudi Satrio Lelono, Selasa (28/7) di Jakarta.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dipimpin Retno Pudyaningtyas, dengan anggota Perdana Ginting dan Ismail, Senin, memutuskan, ke-10 anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta itu bersalah telah berjudi dengan permainan tebak gambar mata uang koin. Alasan majelis, para terdakwa yang masih berada di bawah umur tersebut melanggar Pasal 303 bis KUHP mengenai perjudian.

Vonis bersalah tersebut, kata Arist Merdeka Sirait dan Gayus Lumbuun, akan memberi cap narapidana kepada ke-10 anak tersebut.

”Jelas vonis itu akan menyulitkan mereka kelak saat butuh surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian guna mendapat pekerjaan atau keperluan lain,” kata Gayus Lumbuun yang dihubungi secara terpisah.

Tidak Mendidik

Nursyahbani yang dihubungi melalui telepon mengatakan, dirinya meyakini penghukuman berupa vonis bersalah atas anak- anak penyemir sepatu, lalu mengembalikan mereka kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial tak akan memberikan efek dan pelajaran apa pun bagi anak-anak tersebut.

Gayus Lumbuun, Rudi Satrio Lelono dan Nursyahbani sama- sama menyatakan, permainan tebak gambar yang dilakukan anak- anak itu tidak bisa dikategorikan judi. Alasannya, mereka hanya bermain dan tidak menjadikan permainan itu sebagai mata pencarian.

Lagi pula, lanjut Gayus Lumbuun, dalam ilmu hukum ada pemidanaan dan pidana. Dalam menjatuhkan putusan, seharusnya majelis hakim mempertimbangkan sisi pemidanaan, yakni aspek di luar yuridis.

”Majelis telah mengabaikan dogmatika hukum. Anak-anak itu hanya butuh rehabilitasi, bukan penghukuman balas dendam seperti kepada terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah,” kata Gayus.

Introspeksi

Pada bagian lain, Nursyahbani, Rudi Satrio, dan Gayus Lumbuun meminta agar aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun pengadilan, melakukan introspeksi. Dalam arti, apakah benar mereka juga telah memberantas segala bentuk perjudian secara sungguh-sungguh dan memberikan penghukuman yang layak.

”Sudah menjadi kebiasaan kita, pada awal pencanangan program, semua bentuk judi dari besar sampai kecil diberantas. Namun, lama-lama menjadi suam- suam saja,” kata Rudi.

Adapun Nursyahbani mengingatkan, banyak terjadi pembiaran kasus perjudian dan penjudinya, apalagi bila melibatkan aparat sendiri sebagai backing.

Gayus Lumbuun menyoroti tingginya ancaman hukuman yang diberikan penegak hukum bagi anak-anak di bawah umur yang menjadi terdakwa perjudian itu.

”Masak iya ancaman hukuman bagi anak-anak itu 10 tahun penjara, tetapi dalam kasus perjudian sesungguhnya malah yang diadili hanya penjudinya. Bandar judinya mana,” katanya.

Sementara itu, Christine Tambunan dan Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat yang menjadi penasihat hukum ke-10 anak itu menyatakan secepatnya menyerahkan memori banding. Keduanya menyoroti fakta di persidangan, seperti tiadanya barang bukti uang koin untuk permainan tebak gambar yang tak dicermati hakim. ”Menurut anak- anak, polisi meminjam uang koin dari pengojek,” kata Ricky. (TRI)

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 29 Juli 2009

Hakim Nyatakan 10 Anak Bersalah

Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang, Senin (27/7), menyatakan 10 anak lelaki bersalah melakukan perjudian. Sebagai hukuman, anak-anak itu dikembalikan kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial.

Artinya, warga Desa Rawa Rengas, Kabupaten Tangerang, dan Cengkareng, Jakarta Barat, yang terletak persis di belakang Bandara Soekarno-Hatta itu bersalah, tetapi tidak dikenai hukuman kurungan badan.

Vonis yang diberikan majelis hakim yang diketuai Retno Pudyaningtyas dengan anggota Perdana Ginting dan Ismail itu seperti tuntutan jaksa Rizky Diniarty. Majelis berpendapat, ke-10 anak itu terbukti melanggar Pasal 303 bis (pasal tambahan) KUHP tentang ikut serta melakukan perjudian. Mereka—Ba (14), Sar (12), Rs (11), Dh (18), Rh (13), Ro (14), Ms (15), If (14), Tk (12), dan Df (13)—diadili dengan dakwaan berjudi macan buram atau tebak gambar dengan taruhan uang Rp 1.000 di Bandara Soekarno-Hatta.

Dalam putusannya, salah satu pertimbangan hakim adalah rekomendasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan, anak-anak tersebut berjudi dan mereka harus dibebaskan serta dikembalikan kepada orangtua masing-masing untuk dibina.

Atas vonis itu, penasihat hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Ricky Gunawan, naik banding. ”Kami menyatakan banding karena jika dikembalikan kepada orangtua, berarti mereka tetap dianggap bersalah. Seharusnya anak-anak ini tidak bersalah dan bebas murni sehingga seumur hidup mereka tak ada cap terpidana,” papar Ricky.

Atas permintaan banding itu, Retno menanyakan balik kepada anak-anak. ”Anak-anak sudah paham? Putusannya, kalian pulang ke rumah orangtua, tetapi karena ada keberatan dari kuasa hukum, masih ada proses peradilan,” ujar Retno yang menggunakan safari berwarna biru itu.

Jaksa Rizky Diniarty menyatakan pikir-pikir atas permintaan banding tersebut. ”Saya pikir-pikir, tetapi saya bersikukuh bahwa mereka berjudi. Ada uang dalam permainan itu,” kata Rizky.

Tidak Berpihak

Menanggapi putusan itu, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, putusan itu menandakan hakim tidak berpihak kepada nasib dan masa depan anak-anak.

Sirait juga menyatakan kecewa kepada KPAI yang merekomendasikan bahwa apa yang dilakukan anak-anak di bawah umur tersebut adalah perjudian. ”Rekomendasi seperti yang dibacakan hakim ini juga yang menjadi pertimbangan memberatkan hukuman terhadap anak-anak itu. Berarti mereka (KPAI) tidak independen dalam membela anak,” kata Sirait.

Komnas Perlindungan Anak, lanjutnya, tetap akan mempraperadilankan mulai dari penyidik hingga hakim. Mulai dari penangkapan yang diwarnai dengan tindakan kekerasan hingga proses persidangan itu sendiri.

Namun, Magdalena Sitorus dari KPAI membantah jika mereka merekomendasikan seperti yang dinyatakan hakim. ”Sama sekali kami tidak pernah menyatakan seperti itu. Kami meminta anak-anak dibebaskan murni dan dikembalikan kepada orangtua,” katanya. Magdalena melanjutkan, pihaknya akan mengklarifikasi kepada pengadilan negeri.

Ketakutan

Persidangan pada Senin kemarin dilakukan secara maraton, mulai dari pembacaan tuntutan, pembelaan dari penasihat hukum, hingga vonis berlangsung mulai pukul 09.30 hingga 11.30.

Selama sidang tuntutan dan pembelaan bagi anak-anak di bawah umur itu berlangsung, ruang sidang tertutup. Anak-anak melepas topeng mereka yang terbuat dari kardus. Namun, hakim menyuruh anak-anak menggunakan topeng itu kembali saat pembacaan vonis berlangsung.

Sebelum persidangan dimulai, Ms muntah-muntah lalu pingsan, diduga karena stres. Ny Bule, ibu Ms, langsung memeluk anaknya dan menangis histeris. Selain Ms, temannya, Rs dan Tk, tampak pucat akibat ketakutan menghadapi sidang. (PIN)

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 28 Juli 2009

Keadilan Menjauh dari Anak

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai anak-anak saat ini dibiarkan untuk berjuang dan bergelut sendiri meraih keadilan.

Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat LBH Masyarakat Dhoho A. Sastro, di Jakarta, Rabu (22/7), mengatakan tidak ada mekanisme yang dapat menjamin anak-anak mendapat perlindungan dari negara.

Padahal, kata dia, Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan dan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Kalaupun harus menghadapi penangkapan, penahanan, atau pemidanaan penjara, semuanya itu harus ditempuh sebagai upaya paling akhir,” kata dia.

LBH Masyarakat setidaknya mencatat empat perkara yang berkaitan dengan anak-anak, yaitu perkara 10 anak yang diadili karena melakukan permainan bola koin di Bandara Soekarno-Hatta, persetubuhan dengan anak di bawah umur, penahanan ijazah karena menunggak SPP, dan kesalahan manajemen yang nyaris mencabut hak anak atas pendidikan.

Dhoho mengatakan aktivitas tebak-tebakan bola koin yang diputar dan dibarengi dengan uang, sebagaimana dilakukan ke-10 anak ini tidak bisa secara serta merta menyatakan sebagai perjudian. “Tapi harus secara seksama melihat apakah kegiatan ini masih merupakan permainan anak ataukah sudah menjadi sebuah kejahatan,” katanya.

Dalam kasus yang dialami MGL, jelasnya, seorang anak lelaki dari keluarga miskin yang tahun lalu dinyatakan lulus sebuah Madrasah Ibtidaiyah tempatnya bersekolah. Ia menunggak pembayaran uang sekolah dan uang untuk study tour. “Akibatnya ijazah ditahan oleh sekolah dan menimbulkan dampak ia tak mungkin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP,” katanya.

Menurut Dhoho, penyebab utama dari tiadanya perlindungan anak dalam upaya mencari keadilan adalah ketiadaan empati dari para aktor yang terlibat dalam pencarian keadilan. “Aparat penegak hukum hanya menjadi operator dari undang-undang tanpa menerapkan kewenangannya untuk melakukan diskresi,” katanya.

Menurutnya, hukum diterapkan oleh aparat secara kaku tanpa memandang aspek-aspek sosiologis yang berkembang memberikan perlindungan kepada anak, justru mengakibatkan keadilan bagi anak semakin jauh untuk diraih. (aka)

 
 
 

Sumber: Primair Online

Jakarta, 23 Juli 2009

LBH Masyarakat & Mahasiswa Fakultas Hukum Ikrar dukung KPK

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bersama mahasiswa fakultas hukum di Jakarta melakukan aksi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kami cemas apabila persoalan korupsi saat ini belum berhasil diatasi, hanya akan membebani generasi kami di masa depan, ” ujar salah satu anggota Summer Internship LBH Masyarakat, Afdhal Mahatta, dalam orasinya di gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/7).

Dalam orasinya, mereka mengatakan, hal yang wajar bila KPK menjadi lembaga superbody. “Kalau KPK sebagai lembaga superbody, ya memang harus seperti itu. Itu (superbody) sangat diperlukan untuk pemberantasan korupsi,” katanya.

Dalam orasinya mereka berikrar akan terus mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Selain itu mereka mengecam pihak-pihak yang mau mengintimidasi KPK dan juga menegur Presiden serta DPR agar serius dalam menyusun RUU Tipikor dan RUU Pengadilan Tipikor.

“Ada upaya friksi antara KPK dengan aparat penegak hukum lain dalam menjalankan tugas dan kewenangan untuk memberantas korupsi,” ujarnya. (feb)

 
 
 

Sumber: Primair Online

Jakarta, 23 Juli 2009

Diadili di PN Tangerang, Kirim Surat ke Presiden SBY

Sepuluh bocah yang sedang diadili di PN Tangerang dengan dakwaan berjudi mencoba berbagai cara untuk lepas dari jerat hokum. Kemarin, mereka menulis surat yang ditujukan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka berharap, SBY terketuk hatinya dengan menolong mereka agar persidangan dihentikan.

Sebagaimana diberitakan kemarin, mereka ditangkap petugas saat bermain tebak-tebakan dengan uang logam di Bandara Soekarno-Hatta (BSH). Kesepuluh anak itu adalah penyemir sepatu dan pedagang asongan di bandara tersebut.

Polisi dan juga jaksa menuduh mereka berjudi. Dan kasusnya berlanjut ke pengadilan. Di tengah persidangan mereka mengirim surat ke presiden.

Mereka menulis surat dengan menggunakan ballpoint pada kertas HVS di di halaman rumah salah satu bocah, di Kampung Rawa Rengas, Desa Rawa Jati, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang.

Dalam surat tersebut, mereka bercerita tentang kisah mereka selama menjadi penyemir dan pedagang asongan di Terminal BSH Tangerang. Mulai dari alasan mereka mencari nafkah, ditangkap petugas keamanan dan polisi bandara, ditahan di LP Anak Pria Tangerang, dan disidang di PN Tangerang. Mereka juga mengucapkan ketidaksanggupannya apabila hakim memutus mereka dengan hukuman sepuluh tahun penjara.

Selain itu dalam surat tersebut, mereka juga mengucapkan selamat kepada Presiden SBY yang telah memperoleh suara terbanyak pada Pemilihan Presiden pada 8 Juli lalu. Diharapakan SBY memedulikan anak-anak. “Kalau hakim putus saya sepuluh tahun nanti saya tidak bisa ke SMA. Satu hari saja di penjara saya tidak sanggup, saya sudah kangen orang rumah dan kangen main layang-layangan,” ujar Musa salah satu bocah saat diwawancarai di sela-sela menulis surat.

Christine Tambunan dari LBH Masyarakat Jakarta, mengatakan, surat tersebut akan dikirimkan bersama surat LBH Masyarakat ke Presiden SBY besok (hari ini) di mana bersamaan dengan Hari Anak Nasional. “Surat mereka dilampirkan pada surat kami yang isinya agar presiden membebaskan mereka. Demi masa depan mereka,” ujarnya kepada Tangerang Ekspres, Rabu (22/7).

Selain surat yang dibuat, sambung Christine, akan dilampirkan foto mereka. De­ngan surat tersebut, mereka berharap Presiden SBY memberikan perhatian kepada sepuluh bocah tersebut dengan cara menghentikan proses persidangan dan membebaskan mereka, agar mereka bisa kembali sekolah dengan tenang seperti anak-anak seusai mereka. (tnt/jpnn/ruk)

 
 
 

Sumber: Jawa Pos

Jakarta, 23 Juli 2009

UU Anak Belum Sepenuhnya Lindungi Anak

Menyambut Hari Anak Nasional yang akan diperingati Kamis (23/7) besok masih menyisipkan sejumlah ironi. Bagaimana tidak, UU RI No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak sepenuhnya dapat menjamin hak anak.

Seperti kasus sepuluh bocah penyemir sepatu yang tertangkap polisi dan diadili karena berjudi di bandara, persetubuhan anak di bawah umur, penahanan ijazah karena menunggak SPP, dan intransparansi manajemen sekolah yang menyesatkan merupakan empat dari sekian banyak kasus yang masih menjadi \’bumbu\’ sehari-hari.

Gelar perkara diadakan LBH Masyarakat dalam rangka memperingati hari anak, “Gelar perkara yang kami lakukan merupakan pertanggungjawaban terhadap publik terhadap apa yang kami dapatkan di lapangan,” kata Ricky Gunawan, Direktur Program Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.

Terkait dengan perampasan hak anak tersebut, Dhoho A Sastro, Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat dan Penanganan Kasus, mengungkapkan, “Penyebab utama dari tiadanya perlindungan anak dalam upaya mencari keadilan adalah ketiadaan empati dari aktor yang terlibat dalam pencarian keadilan,” kata Dhoho.

Aparat yang harusnya menjadi pelaksana UU menerapkan kewenangannya tanpa memandang aspek sosiologis dan tidak mengedepankan keadilan. Hasilnya, selain tidak memberikan perlindungan kepada anak, justru mengakibatkan keadilan bagi anak semakin jauh untuk diraih.

“Kasus 10 bocah bandara menjadi contoh, bagaimana polisi menerapkan kewenangannya yang dimiliki tanpa memiliki belas kasihan. Hati polisi betul-betul dingin ketika mereka menangkap dan menahan anak-anak ini,” kata Dhoho di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Rabu (22/7).

Pasal 16 UU RI No 23 Tahun 2002 mengenai perlindungan anak yang dinilai dapat \’menjaga\’ anak-anak tidak serta-merta dapat menjamin keberadaan anak-anak di mata hukum. “Hak UU anak terbatas. Tidak ada UU yang menjamin anak-anak mendapatkan keadilan. Ternyata untuk mencapai keadilan itu sangat sulit,” papar Dhoho.

Seperti diberitakan, pada Rabu (15/7), Pengadilan Negeri Tangerang menyidang 10 anak yang diduga melakukan tindak pidana perjudian. Diakui Dhoho, aktivitas itu dianggap polisi sebagai judi karena ada unsur uang di dalamnya. Padahal, secara psikologis permainan diartikan ketika anak-anak menikmati proses bukan hasil.

“Sangat tidak tepat apa yang dilakukan polisi. Tidak punya hati nurani. Bentuk permainan biasanya menyerupai kasus asli. Kalau perang, ya, dimainkan secara perang-perangan,” ungkap Dhoho.

Dhoho juga menginginkan keadilan kesepuluh bocah yang telah melewati proses penahanan sejak 29 Mei hingga 29 Juni ini. Bukan sekadar tidak ditahan, tetapi dibebaskan serta revitalisasi diri dari pihak kepolisian. “Polisi hanya memandang kasus ini dari sisi subtansi dengan mendapatkan daftar tangkapan yang banyak,” kata Dhoho.

Namun, juga menilik dari orangtua mereka yang memikirkan uang transportasi setiap kali datang ke pengadilan. Belum lagi trauma yang dihadapi anak-anak, yang membuat mereka tidak berani beraktivitas seperti sedia kala.

Dengan diangkatnya kasus-kasus ini ke hadapan publik, Dhoho juga berharap dapat memberdayakan masyarakat, “Pemberdayaan masyarakat dapat membantu upaya perlindungan anak. Memberdayakan masyarakat supaya bisa mengadvokasi dirinya sendiri,\’\’ lanjut Dhoho.

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 22 Juli 2009

Anak Indonesia Belum Terlindungi

Hari Anak Nasional 23 Juli sudah diperingati berulang kali. Namun, nasib anak Indonesia masih belum juga membaik karena anak-anak Indonesia belum terlindungi. Masih banyak kasus kekerasan yang mendera anak-anak Indonesia. Hal itu dikemukakan oleh Direktur Pemberdayaan Hukum dan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Dhoho Ali Sastro di Jakarta, Rabu (22/7).

Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan dan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Kalaupun harus menghadapi penangkapan, penahanan, atau pemidanaan penjara, kesemuanya itu harus ditempuh sebagai upaya yang paling akhir.

Terhadap anak-anak yang dirampas kebebasannya, mereka berhak untuk mendapatkan perlakukan secara manusiawi dan ditempatkan secara terpisah dari orang dewasa. Mereka berhak membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

“Pada kasus 10 anak bandara yang didakwa bermain judi, apakah pantas mereka disidangkan? Mereka itu hanya bermain-main. Pada kasus ini polisi menerapkan kewenangan yang dimilikinya tanpa belas kasihan. Hati polisi betul-betul dingin ketika mereka menangkap dan menahan anak-anak ini tanpa pernah sedikit pun memiliki kepedulian bahwa penahanan yang dilakukan oleh anak-anak ini adalah sesuatu yang eksesif dan tidak perlu,” kata Dhoho.

Pelaksanaan kewenangan tanpa perspektif perlindungan anak juga terjadi pada kasus GA. GA adalah seorang bocah perempuan berusia 14 tahun yang diperkosa hingga hamil dan melahirkan, sedangkan pemerkosanya bebas tidak ditahan. Dalam kasus GA, polisi tidak melakukan tindakan apa pun selain melakukan tugasnya secara formal prosedural, memanggil saksi, memeriksa saksi, dan mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan.

“Polisi gagal dalam menyentuh aspek substansial dalam suatu proses hukum yang mereka jalankan. Upaya pencarian pelaku yang sebenarnya menjadi urusan polisi tidak dilakukan sama sekali,” kata Dhoho.

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 22 Juli 2009

Jaksa Tak Siap, Sidang Sepuluh Anak Penyemir Berlarut-larut

Persidangan 10 anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta berlarut-larut. Mestinya hari ini Selasa, (21/7) jaksa penuntut umum Rezki Diniarti membacakan tuntutan. Namun dengan alasan sedang berkonsentrasi dengan ulangtahun kejaksaan maka amar tuntunan belum disusun.

Sidang dipimpin ketua majelis Retno Pudyaningtyas dan dua hakim anggota tidak mengenakan toga dengan persidangan tertutup. Anak-anak, Saf, Ifa dan teman-temanya sudah tak mengenakan seragam sekolah. Mereka ijin tidak mengikuti pelajaran. Sebelum masuk ruang sidang, bocah-bocah ini juga mengenakan topeng penutup wajah.

Sidang juga dihadiri Komisi nasional Anak yang diwakili Sekjen Arist Merdeka Sirait. Sayangnya sidang tidak dihadiri Badan pemasyarakatan (Bapas) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang sedianya akan mengawasi jalannya persidangan.

Menurut pembela anak dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Christine Tambunan persidangan kali ini mengecewakan. Sebab jaksa tidak siap membacakan tuntutan.

“Harusnya hari ini anak-anak dibebaskan, dan kami berharap mereka bebas murni bukan bebas karena bersalah dan diserahkan kepada orangtuanya,” kata Christine.

Karena jaksa belum siap membacakan tuntutan, agenda persidangan hanya mendengarkan keterangan terdakwa. “Hakim bertanya apa yang mereka alami, motivasi mereka bermain, latar belakang yang mereka lakukan,” kata Christine.

Para anak kata Christine juga menjawab satu persatu pertanyaan hakim tentang keinginan bersekolah dan komitemen mereka. Persidangan ini masih akan digelar pekan depan.

Berlarut-larutnya persidangan tak hanya membuat LBH Masyarakat kecewa, Komnas Anak juga mengecam jaksa yang tidak konsisten untuk membacakan tuntutan. “Kami menilai jaksa main-main terhadap persidangan ini. Oleh karenanya kami akan melaporkan ke Kejaksaan Agung,” kata Arist.

Jaksa Rezki usai persidangan menyatakan baru mau menyusun amar tuntutan. “Saya yakin sidang ini akan diteruskan,” kata Rezki. Sebelumnya 10 anak didakwa melakukan perjudian. Jaksa menjerat dengan pasal 303 kitab undang-undang hukum pidana dengan ancaman 10 tahun penjara. Ancaman perjudian itu juga dikecam KPAI. Ketuanya, Hadi Supeno menyatakan bahwa jaksa tidak mempertimbangkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 1997.

 
 
 

Ditulis oleh: Ayu Cipta

Sumber: Tempo Interaktif

Jakarta, 21 Juli 2009