Menciptakan Martabat dan Keadilan untuk Semua: 60 Tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di Indonesia

10 Desember enam puluh tahun yang lalu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi ini dilahirkan dari pemikiran yang visioner dari sejumlah tokoh pejuang kemanusiaan. Pemikiran ini dilandasi dengan mimpi akan terciptanya masa depan peradaban kemanusiaan yang lebih baik, mengingat pada saat itu peradaban manusia di dunia ini berada di tengah tragedi kemanusiaan yang keji (perang dunia). DUHAM membawa satu pesan harapan bahwa manusia haruslah memanusiakan sesama manusia.

DUHAM mengakui sebuah prinsip utama bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama yang tidak dapat dicabut dari seluruh umat manusia adalah fondasi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. DUHAM memberikan satu pijakan dasar dari seluruh hak asasi yang terkandung, bukan hanya tercatat, dalam Deklarasi tersebut yakni: Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

Berangkat dari pijakan dasar tersebut kemudian lahirlah sejumlah hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi tersebut. DUHAM tidak berdiam diri menjadi satu norma yang hanya menjadi standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, tetapi lebih dari itu, ia menjelma menjadi beragam kovenan internasional, konvensi, dan segala bentuk aturan hukum internasional. Deretan hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi pun menggema ke berbagai Konstitusi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia menuangkan sejumlah hak asasi manusia di dalam Konstitusinya, termasuk juga meratifikasi sejumlah kovenan internasional dan konvensi HAM. Tetapi apakah semua aturan ini, yang merupakan bentuk nyata pengakuan terhadap martabat dan keadilan bagi semua manusia, memberikan kontribusi yang positif bagi pemajuan hak asasi manusia di dunia? Lebih khusus lagi di Indonesia?

Sepanjang 60 tahun usia Deklarasi, Indonesia telah menjadi saksi bagaimana manusia Indonesia memangsa manusia Indonesia lainnya. Pelanggaran HAM demi pelanggaran HAM terus terjadi hingga kini. Mulai dari pembantaian 1965 hingga kasus Lumpur Lapindo, tragedi Tanjung Priok hingga tragedi Trisakti-Semanggi I-II, pembunuhan ekstra-yudisial, penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, penghilangan paksa, hukuman mati, penggunaan kekerasan untuk menjawab kebebasan beragama, penggusuran paksa hingga pengingkaran hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu, dan masih banyak lagi. Semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi tersebut masih belum terjawab dan menyisakan iklim impunitas yang kental. Sepanjang 60 tahun ini, belum ada kontribusi positif bagi pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.

Tepat dengan 60 tahun peringatan DUHAM, Indonesia memasuki masa kampanye menjelang pemilu 2009. Kampanye bukan lagi merupakan ajang seorang kandidat untuk memperjuangkan gagasan dan cita-cita, tapi menjadi ajang untuk mempersolek diri di hadapan konstituen. Berbagai hal dijadikan sebagai kosmetik untuk mempercantik diri. Bahkan, salah satunya adalah Hak Asasi Manusia.

Sepanjang tahun 2008 hak asasi manusia menjadi seperti barang dagangan, komoditas politik bagi para aktor pemerintah, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kehadiran Panitia Khusus Orang Hilang di DPR, sepertinya lebih menjadi arena kampanye politik para anggota Dewan ketimbang menjawab esensi permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi. Di samping itu, alih-alih melindungi perempuan dan anak, DPR justru mengesahkan Undang-Undang Pornografi yang justru jatuhnya malah mengkriminalisasi perempuan, dan mengkhianati kebhinekaan Indonesia.

Peran yang harusnya diemban oleh para anggota DPR dan Pemerintah, sebagai legislator di Indonesia ternyata justru diabaikan. Hingga tahun ini Indonesia masih belum memiliki satu aturan hukum pun mengenai penghapusan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat-aparat negara dalam proses penegakan hukum. Hal ini membuat para korban penyiksaan tidak pernah mendapatkan pemulihan hak, dan para pelaku lepas tak terhukum. Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan yang dijadwalkan akan diratifikasi pada tahun ini ternyata masih belum terealisasi, menciptakan peluang pencegahan penyiksaan semakin kecil.

Sederet permasalahan hak asasi manusia tersebut terancam tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dan tidak akan diselesaikan secara tuntas dalam waktu dekat ini, mengingat 2009 akan menjadi tahun politik. Tahun dimana para wakil rakyat justru berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya seolah-olah mereka berpihak pada rakyat kecil dan berpihak pada kemanusiaan, padahal ini semua dilakukan demi mendapat kursi kekuasaan.

Sejalan dengan tema peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini yaitu “Martabat dan Keadilan Untuk Semua”, dan menyambut Pemilu 2009, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mendesak kalangan partai politik maupun pelaku politik lainnya untuk mendepankan kemanusiaan dalam menjalankan kekuasaan, demi mencapai keadilan untuk semua. DUHAM telah mencatat bahwa tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia. Tentu, kita semua tidak menghendaki adanya kebengisan dan kemarahan hati nurani manusia terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam kemanusiaan. Dan, saatnya sekarang untuk memulihkan kekelaman yang pernah terjadi dan mencegah kebengisan baru terjadi di masa yang akan datang.

LBH Masyarakat memandang bahwa mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan menyediakan pemulihan hak bagi para korban adalah kunci untuk melenyapkan impunitas di Indonesia. Pengadilan dan pertanggungjawaban dari para pelaku akan membuat setiap fakta dan kejadian akan terungkap secara gamblang dan transparan, serta menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menghindari kekejaman serupa di masa mendatang.

LBH Masyarakat lebih jauh lagi menilai bahwa partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan publik adalah faktor penting untuk menghindari adanya pelaksanaan kebijakan publik yang menimbulkan kerugian terhadap kemanusiaan. Jika korban penggusuran dapat diajak berdialog dan difasilitasi untuk mendapatkan solusi pasca penggusuran, tentu tidak akan terjadi penggusuran paksa yang menimbulkan jatuhnya korban. Jika suara masyarakat diperhatikan dalam proses legislasi dan para wakil rakyat tidak elitis, niscaya produk legislatif yang dihasilkan akan berpihak pada kemanusiaan.

 

Jakarta, 10 Desember 2008

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Ricky Gunawan

Direktur Program

 

Dhoho Ali Sastro

Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat dan Penanganan Kasus

 

Andri G. Wibisana

Direktur Penelitian dan Pengembangan

Rilis Pers Tim Advokasi Kali Adem: LBH Masyarakat, HuMa, & PBHI Jakarta

Pada tanggal 2 Desember 2008 silam, pihak Kelurahan Pluit mengeluarkan Seruan No. 280 tahun 2008 kepada komunitas nelayan Kali Adem, Muara Karang, Jakarta Utara. Seruan tersebut berisikan tentang larangan membangun tempat tinggal di atas saluran Kali Adem. Apabila dalam waktu 7×24 jam terhitung sejak Seruan tersebut dikeluarkan para penghuni Kali Adem tidak membongkar sendiri bangunan tempat tinggalnya, mereka akan digusur oleh Tim Terpadu Pemerintahan Wilayah Kecamatan Penjaringan Kota Administrasi Jakarta Utara. Artinya rencana penggusuran tersebut akan dilakukan di sekitar Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2008. Akankah penggusuran paksa terjadi kembali di Jakarta?

Penggusuran adalah pelanggaran terhadap hak atas perumahan, yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Penggusuran adalah pelanggaran atas Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesian melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005. Berdasarkan pasal 11 Kovenan Ekosob, Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Masih dalam pasal yang sama, Indonesia wajib mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Kelurahan Pluit akan melakukan penggusuran terhadap komunitas nelayan Kali Adem, yang telah mendiami bantaran Kali Adem, Muara Karang selama lebih dari 5 (lima) tahun.

Penggusuran tidak semata-semata pemindahan seseorang dari rumahnya, tetapi lebih jauh lagi, penggusuran adalah pencerabutan kehidupan (livelihood) seseorang. Komunitas nelayan ini tentu tidak akan mampu dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa mereka harus berpindah rumah ke daerah lain dimana di daerah yang baru tersebut mereka tidak dapat bekerja selain melaut. Apakah pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta c.q. Kelurahan Pluit sudah menyiapkan langkah mitigasi untuk memastikan bahwa penggusuran tidak akan mengakhiri hidup para nelayan tersebut?

Seperti yang sudah-sudah, penggusuran selalu menimbulkan korban dan kerugian karena pemerintah sendiri kesulitan untuk mengatur para korban pasca penggusuran. Berbeda dengan korban penggusuran lainnya, komunitas nelayan Kali Adem adalah komunitas yang relatif terorganisir mengingat mereka memiliki koperasi bersama yang dikelola secara swadaya bernama Mustika. Artinya, sesungguhnya, komunitas nelayan ini berpotensi untuk turut terlibat dalam pengambilan kebijakan publik yang dampaknya mereka rasakan juga. Dengan melibatkan mereka dalam dialog yang konstruktif untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan hilangnya kerugian akan jauh lebih baik daripada tetap memaksakan kehendak untuk melakukan penggusuran. Dengan tetap melaksanakan penggusuran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Kelurahan Pluit, tidak hanya melanggar hak asasi warganya, namun tetap mempertahankan wajah buruknya dalam memandang persoalan kelompok marjinal.

 

Jakarta, 9 Desember 2008

Tim Advokasi Kali Adem

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M. 

Dhoho Ali Sastro, S.H.

 

 

Hukuman Mati Bukan Solusi: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat atas Eksekusi Amrozi, dkk

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengutuk segala bentuk kekerasan dan kekejaman termasuk tindakan pengeboman di Kuta Bali 2002 lalu. Namun demikian, LBH Masyarakat menyayangkan putusan pemerintah Indonesia yang tetap melaksanakan eksekusi mati terhadap tiga orang terpidana Bom Bali I, Amrozi, Imam Samudera dan Ali Ghufron karena justru pemerintah telah mempertontonkan suatu tindakan kekerasan yang dibalas oleh kekerasan pula.

LBH Masyarakat menentang keras penggunaan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan dan jawaban atas penyelesaian kasus-kasus hukum termasuk juga dalam hal tindak pidana terorisme. Kami memandang bahwa pertama, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup setiap manusia yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga. Kedua, hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Hal tersebut tak lebih dari pembunuhan yang dilegalisasi yang dilakukan oleh negara atas nama keadilan. Ketiga, setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan. Keempat, data dan fakta menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan, sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang adil dan transparan.

Secara khusus dalam kasus ini, penggunaan hukuman mati justru menimbulkan inspirasi bagi beberapa kelompok untuk menempatkan Amrozi cs sebagai “pahlawan” dan seolah-olah memberikan legitimasi akan perbuatan Amrozi cs. Kenyataan menujukkan bahwa Amrozi cs tidak takut hukuman mati. Dan sebaliknya, pasca pelaksanaan eksekusi tersebut, justru muncul gelombang dukungan dari kalangan tertentu yang mendukung “perjuangan” Amrozi cs tersebut.

Penolakan kami terhadap penggunaan hukuman mati terhadap Amrozi cs bukan berarti kami mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Namun LBH Masyarakat lebih mendorong keadilan restoratif yakni memulihkan keadaan korban dan bukan melestarikan keadilan retributif yang didasarkan pada balas dendam. Ketika negara mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti negara mendorong agar bangsa ini selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Keadilan bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai kita melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap kita. Selama ini kita muak dengan segala tindakan kejam dan meminta pemerintah untuk membalas tindakan kejam tersebut dengan menerapkan hukuman mati. Tanpa kita sadari, penerapan hukuman mati ternyata hanya memperpanjang rantai kekerasan.

Jakarta, 10 November 2008

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M

Ketua Dewan Pengurus

 

 

Ricky Gunawan, S.H.

Direktur Program

Olgaphobia

Ia tetap senyap walau sekitar sungguh ribut. Tanpa suara ia melangkah pergi dengan yakin. Maka tenang sudah Olga Syahputra. Selamat beristirahat dari dunia yang teramat riuh ini. Mati. Ia meninggalkan kita semua dengan segala pikiran kita terhadap dirinya. Tak serela itu rupanya kita ditinggalkan olehnya. Ada yang melakukan selfie di pemakamannya. Ada yang mencuit memakinya di media sosial. Ada yang menulis dan berlelah mencoba merefleksikan relasi antara Olga Syahputra dan masyarakat. Walau jelas, tak semua dari kita mengenal Olga. Tak semua dari kita mengerti beban hidup yang dihadapinya. Tak semua dari kita mengetahui apa yang ia sukai untuk makan siang. Toh, kita tetap menghakimi.

Banyak dari kita tertawa terbahak-bahak saat ia ada di layar kaca. Terkekeh-kekeh melihat gayanya yang kemayu, merasa geli saat ia bercanda dengan kasar. Olga, dengan caranya –yang tentu saja tidak dapat disepakati semua orang-, berusaha keras membuat masyarakat sedikit melupakan perkara-perkara hidup yang menyebalkan. Dalam sebuah perspektif, hal itu amat mulia.

Di sekitar kita, sadar tak sadar, banyak orang seperti Olga. Berbeda. Mereka amat lembut dan berdandan seperti ibu-ibu sosialita di saat masyarakat berekspektasi bahwa mereka akan sangar dan tak peduli akan penampilan. Mereka berambut cepak dan dan tegas seperti seorang ayah yang konservatif di saat masyarakat berekspektasi bahwa mereka akan berambut panjang dan halus serta ceria layaknya model. Dua kalimat sebelum ini hanya dua contoh kecil akan manusia dan ekspresinya yang tidak bisa dan, sepatutnya, tak boleh dikekang.

Tulisan ini tak bertujuan untuk menguliahi pembaca tentang jender dan seksualitas. Penulis jauh dari kapasitas itu. Tulisan ini hanya ingin menyatakan bahwa keberagaman itu ada. Anda bisa saja sementara bersembunyi namun anda tak akan bisa selamanya berlari.

Mungkin memang ini semua soal ketidaktahuan. Ketidaktahuan yang sama telah membuat kita takut pada kegelapan dan gemetar saat bertemu calon mertua. Ketidaktahuan ini telah dengan keras membenturkan nilai-nilai yang selama ini kita pegang teguh dengan realita. Nilai-nilai itu bisa macam-macam: agama, doktrin, budaya, adat istiadat, dan sebagainya.  Argumentasi bahwa perilaku demikian tak sesuai dengan budaya nasional, sejatinya justru merupakan manifestasi dari ketidakpahaman terhadap budaya itu sendiri. Keberadaan akan jender ketiga di adat dan budaya nusantara cukup bertebaran dari lakon pewayangan hingga keberadaan lima jender dalam suku Bugis. Lalu, bukankah agama hadir dengan misi mulia membawa perdamaian, bukannya memusuhi sesama? Bukankah agama seharusnya mencerahkan, tidak memaksakan?

Olga, citranya, dan ekspresinya harus diakui amat beruntung. Ia mendapatkan apa yang Freddy Mercury dapatkan: perayaan. Orang terhibur olehnya dan menangisi kepergiannya. Di sisi lain, banyak saudara-saudara kita yang disisihkan dari keluarga, dikucilkan di sekolah, sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan dipukuli hingga mati oleh dan hanya karena ia adalah seorang manusia yang mengekspresikan dirinya sendiri tanpa mengganggu orang lain.

Bagaimana kita sanggup menyanyikan “We Are The Champions” yang dipopulerkan oleh Freddy Mercury bersama Queen, berbahagia menyaksikan Ellen DeGeneres, mendengarkan suara merdu Charice, mendendangkan lagu Elton John,  menggunakan berbagai laptop dan smartphone yang terinspirasi dari Enigma-nya Alan Turing, dan bersenang-senang melalui layar kaca karena Olga Syahputra; namun di saat yang sama tanpa ragu-ragu siap menjadi polisi moral dan mendiskriminasi sesama manusia yang punya ekspresi diri yang berbeda? Ekspektasi memang menyakiti, mencoba mengerti akan mengobati. Walau mungkin sepenuhnya tak akan memahami, toh kita tetap menghakimi.

 

Ditulis oleh Yohan Misero
Telah dimuat di Indonesiana pada 22 April 2015

Rodrigo Gularte: Sebuah Mimpi di Ujung Laras Panjang

Saat pemerintah tengah gencar menyatakan perang terhadap narkotika, mengambil langkah untuk tetap mengeksekusi terpidana mati di tengah riuh protes kepala-kepala negara yang warga negaranya menjadi terpidana mati, BNN dan Polri kembali berhasil membongkar peredaran gelap narkotika yang dikontrol dari dalam penjara oleh seorang TERPIDANA MATI. Hal tersebut tentu amat mencengangkan. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya menunggu kematian dan terkurung di balik tebalnya dinding penjara masih dapat mengendalikan peredaran gelap narkotika? Terkuaknya hal itu membuat banyak orang mengutuk si terpidana mati tersebut: betapa ia tak layak diberi pengampunan. Namun banyak dari kita lupa untuk juga melakukan kritisi terhadap pemerintah yang gagal mencegah terjadinya peristiwa ini. Ironis. Di tempat yang semestinya kejahatan dinihilkan, negara tak mampu mengendalikan tindakan seseorang yang penuh di bawah pengawasannya. Logika kita pun diusik. Mengapa kematian tak membuatnya takut untuk tidak melakukan tindak pidana? Apakah hukuman mati sia-sia belaka?

Terlepas dari pro & kontra hukuman mati, hujatan publik untuk surat terbuka Anggun C Sasmi, dan pelaksanaan eksekusi gelombang ke-2 di era Jokowi-JK, ada sebuah cerita yang luput dari perhatian kita dan media. Sebuah kisah mengenai Rodrigo Gularte, seorang penderita skizofrenia berkebangsaan Brazil yang merupakan salah seorang dari 10 terpidana mati yang dijadwalkan akan segera dieksekusi. Ketika berusia 10 tahun, Rodrigo divonis menderita kelainan otak cerebral disrythimia oleh Prof. Eresto Chicon, dokter di bidang neurologi dari Universitas Negeri Bagian Parana, Brazil. Penyakit ini membuat Rodrigo kehilangan kontrol diri dan kapasitas untuk mengambil keputusan sehingga ia tidak memikirkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkan dari perbuatannya. Setelah 14 tahun Rodrigo menjalani perawatan medis dan psikiatrik, dokter kembali menemukan gangguan lain dalam diri Rodrigo. Rodrigo mengidap bipolar affective dissorder yang diturunkan secara genetis dari kakek dan ibu Rodrigo. Kakak laki-laki dan kakak perempuannya pun mengidap penyakit kejiwaan.

Rodrigo berbeda. Ia tumbuh dan besar dengan kondisi gangguan psikiatrik yang menjadikannya objek risak (bullying) yg sempurna bagi teman-temannya. Namun demikian, Rodrigo tumbuh menjadi orang yang baik. Ia bersih, tanpa catatan kriminal. Di sisi lain, Rodrigo, dengan segala kondisinya yang amat rentan, menjadi sasaran empuk mafia peredaran gelap narkotika internasional. Seperti yang ditemukan pada banyak kasus kurir penyelundupan narkotika, mafia –dengan segala tipu dayanya- berhasil memanipulasi Rodrigo. Mereka mengajak Rodrigo berlibur ke Indonesia bersama dua orang lainnya. Tanpa sepengetahuan Rodrigo, papan seluncur yang dibawanya masuk ke Indonesia telah diisi sebelumnya dengan narkotika. Rodrigo tertangkap dan entah mengapa dua temannya dilepaskan. Rodrigo pasang badan, tampil bak pahlawan.

Telah genap 10 tahun Rodrigo mendekam di penjara, menanti eksekusi. Dia mulai lancar berbahasa indonesia, meski terbata-terbata dan terkadang masih sulit menemukan kata yang tepat untuk digunakan. Dia bercerita pada tim pengacara bahwa hukuman mati akan segera dihapuskan. Dia merasa mendengar siaran di radio yang mengabarkan bahwa kerajaan akan segera menghapus hukuman mati. Menurutnya, eksekusi mati yang digadang-gadang akan dilaksanakan dalam waktu dekat hanyalah bohong belaka. Baginya, hal itu dilakukan “raja” untuk menakut-nakuti rakyat. Ia merasa kedamaian akan segera datang dan seluruh rakyat, yang digambarkannya bertubuh aneh dengan kepala sebesar kubah masjid, akan menyambut gembira kabar tersebut. Tim pengacara tak bisa berbuat apa-apa untuk meyakinkan Rodrigo bahwa itu hanyalah halusinasi saja. Bagaimana mungkin Indonesia adalah sebuah kerajaan? Bagaimana mungkin seorang manusia berkepala besar, berdada kecil, dengan perut besar dan kaki yang kecil? Lalu yang terpenting, bagaimana mungkin hukuman mati di Indonesia dihapuskan ketika negara kita mengesampingkan hak hidup sebagai hak asasi?

Ini bukan sebuah drama. Ini adalah fakta yang dikesampingkan oleh pengadilan: bahwa seorang penderita skizofrenia yang seharusnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, justru kini harus menghadapi eksekusi mati. Kejaksaan Agung mengakui bahwa orang yang sakit jiwa tidak dapat dipidana apalagi dihukum mati. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung mencari second opinion mengenai kondisi kesehatan jiwa Rodrigo. Sebuah second opinion yang teramat penting bagi nyawa seorang manusia, yang –entah mengapa- hingga hari ini tidak juga dirilis. Dalam kekhawatiran yang menyakitkan, keluarga Rodrigo menanti second opinion tersebut.

Lalu, dimana kita? Apakah kita akan berdiri membela Rodrigo Gularte, atau justru diam dan membiarkan peluru menembus dadanya? Padahal, di saat yang sama kita tahu benar bahwa sistem peradilan kita korup, dipenuhi mafia, administrasinya berantakan, dan sungguh masih jauh dari ideal. Kemudian di saat yang sama pula, Rodrigo Gularte, di sebuah pulau terasing, menanti kematiannya. Kematian yang ia percaya tak akan datang dengan senapan karena sang “raja” akan segera menghapuskan hukuman mati, agar rakyat: bergembira.

Infografis oleh: Astried Permata

 

Ditulis oleh Naila Rizki Zaqiah, staf penanganan kasus di LBH Masyarakat, dan sedikit dibantu oleh Albert Wirya, staf riset di lembaga yang sama. Anda dapat mengenal Albert lebih dalam dengan mengunjunginya di facebook maupun di blognya yang luar biasa: https://pelurukosong.wordpress.com. Tulisan ini diunggah di sini dengan persetujuan Naila (yang amat disayangkan tidak memiliki blog) & Albert serta sedikit dihias oleh Yohan Misero, sang pemilik akun, yang bisa dikunjungi di http://sembunyimu.blogspot.com/ atau diikuti di https://twitter.com/yohanmisero.

 

Tulisan ini pernah dimuat di Indonesiana pada 24 April 2015

Mencuri Perspektif Uruguay

Pada 2013, parlemen Uruguay meloloskan sebuah undang-undang yang mengubah kesan dunia terhadap negara itu selamanya. Uruguay menjadi negara pertama yang melegalkan ganja. Terlepas dari kritik dan kekhawatiran dari banyak negara lain, beberapa institusi non-profit, dan lembaga-lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa, Uruguay terus menjalankan kebijakan ini. Menurut undang-undang ini, warga negara Uruguay dapat menanam ganja mereka sendiri dengan limitasi tertentu atau membeli ganja, lagi-lagi dengan limitasi tertentu, yang diproduksi dan dijual oleh negara.

Pemerintah Uruguay memandang bahwa kebijakan ini adalah sebuah cara untuk melawan peredaran gelap narkotika (digolongkannya ganja sebagai narkotika tentu bisa diperdebatkan, namun tidak dalam tulisan ini) yang dikendalikan mafia. Pemerintah Uruguay akan bertarung satu lawan satu melawan mafia peredaran gelap narkotika untuk merebut pasar pengguna ganja. Sebuah pertarungan yang pasti akan dimenangkan oleh pemerintah, semata-mata karena pemerintah memiliki sumber daya yang jauh lebih lengkap. Pemerintah memiliki hukum, aparat, pusat penelitian, dan yang paling penting: kontrol akan harga.

Untuk apa pertarungan semacam ini? Apa pendekatan konservatif yang mempertandingkan aparat penegak hukum dan pengedar gelap narkotika tak lagi cukup? Uruguay telah sampai pada kesimpulan bahwa peredaran gelap narkotika akan selalu ada sehingga daripada mencoba untuk memusnahkannya jauh lebih efektif untuk bersaing melawannya di pasar. Lagi pula, ganja yang diproduksi dan dijual oleh pemerintah dapat dikendalikan kadar substansinya sehingga akan lebih aman untuk dikonsumsi. Hal demikian tidak akan terjadi dengan cara yang dipercaya oleh dunia hari ini, yang secara tidak langsung menyerahkan pasar kepada mafia.

Sebagai negara yang berada di kawasan Amerika Selatan, tentu saja Uruguay memahami benar dampak dari usaha negara-negara tetangga mereka untuk, secara harafiah, memerangi mafia peredaran gelap narkotika. Pertempuran dengan senjata api tak dapat terhindarkan dan telah terlalu banyak memakan korban jiwa, bahkan mereka yang sama sekali tak terlibat. Darah yang tertumpah di negara-negara seperti Meksiko dan Kolombia sungguh merupakan contoh yang lebih dari cukup bagi dunia untuk tidak lagi melakukan cara-cara lama.

Upaya-upaya klasik yang selama ini dilakukan dengan judul besar “perang terhadap narkotika” ternyata tidak banyak merubah keadaan. Hal ini tidak lain karena motif keuntungan finansial yang dipegang teguh oleh para pengedar. Semakin keras usaha penegak hukum, semakin keras pula usaha organisasi mafia menghadapinya. Jika pemerintah, misalnya, dengan usaha tertentu dapat mengurangi masuknya persediaan narkotika tertentu ke dalam negeri, maka mafia-mafia ini akan dengan lihai mencampur persediaan narkotika ilegal yang mereka punya dengan zat lain yang murah dan berbahaya sebelum melepaskannya ke pasar. Negara gagal jadi pahlawan, bisnis organisasi kriminal terus jalan, dan masyarakat sipil tetap jadi korban.

Terlepas dari berbagai pernyataan Badan Narkotika Nasional pun Kepolisian Republik Indonesia yang menyatakan sebaliknya, terdapat banyak masalah dalam kebijakan narkotika di Indonesia. Pasal-pasal yang tidak tegas dan tumpang tindih membuat banyak pecandu dan pengguna narkotika di Indonesia tetap diproses pidana. Oknum aparat yang memeras pecandu dan pengguna tapi siap bermain mata dengan pengedar. Akhir-akhir ini pun telah jatuh korban baik dari pengedar gelap dan penegak hukum di Aceh dan Sukabumi. Tentu yang paling hingar bingar ialah penerapan hukuman mati yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah Indonesia meneriakan “Indonesia Darurat Narkotika!” sambil bersembunyi di balik data yang amat patut diragukan mengenai sekian kematian per hari akibat narkotika. Pemerintah lupa, atau tak mau melihat, bahwa yang mereka lawan adalah mafia besar yang memandang bahwa kehilangan beberapa pion dalam permainan bukanlah sebuah masalah besar.

Negara-negara di seluruh dunia dengan caranya masing-masing mencoba mengatasi peredaran gelap narkotika. Walau dalam tahap aplikasi kebijakan ini pemerintah Uruguay juga menghadapi masalah, penting dan patut bagi Indonesia untuk melihat dan belajar pengalaman dan kebijakan Uruguay dan juga negara-negara lain seperti Belanda, Portugal, Swiss, bahkan India. Satu yang jelas, Indonesia butuh perubahan kebijakan terhadap narkotika. Tentu saja, mencapai perubahan bukan perkara mudah. Jose Mujica, presiden Uruguay pada saat negara itu mengubah kebijakannya terhadap ganja, berkata, “Selalu ada opini konservatif dan reaktif yang takut akan perubahan. Yang menyedihkan adalah bahwa seseorang yang hampir berumur 80 tahun,” ia menunjuk dirinya sendiri, “yang harus maju ke depan dan menawarkan keterbukaan yang kekinian kepada sebuah dunia yang konservatif yang membuatmu ingin menangis.”

 

Ditulis oleh Yohan Misero
Tulisan ini pernah diunggah ke legalisasiganja.com

Hari dan Jam Layanan Konsultasi Hukum

Dalam rangka meningkatkan efektivitas layanan konsultasi hukum LBH Masyarakat, maka per tanggal 12 Januari 2015, hari dan jam layanan konsultasi akan dibuka pada:
Senin s/d Kamis, 09:30-11:30 dan 13:00-1600.

Khusus hari Jumat, layanan konsultasi hukum tidak dibuka.

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
LBH Masyarakat

 
 
 

Jakarta, 12 Januari 2015

LBH Masyarakat: Open for Volunteers!

“Kamu calon konglomerat ya? Kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan”
-Wiji Thukul-

Sejak 2007, LBH Masyarakat hadir langsung di tengah-tengah masyarakat memberikan penyadaran hak dan pemberdayaan hukum kepada masyarakat – utamanya yang kurang mampu dan terpinggirkan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat secara mandiri melakukan advokasi, pendampingan, dan pembelajaran atas segala permasalahan hukum, hak asasi manusia, sosial, dan hak-hak warga negara yang mereka alami. LBH Masyarakat percaya bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk memberdayakan diri dan lingkungannya sehingga tercipta sebuah gerakan bantuan hukum mandiri, yakni gerakan bantuan hukum dari dan untuk masyarakat.

Keterlibatan mahasiswa dalam kerja LBH Masyarakat sangatlah tinggi dan berdampak luar biasa bukan hanya bagi masyarakat dan lembaga, tetapi juga bagi si mahasiswa itu sendiri. Sejak berdiri hingga sekarang, puluhan mahasiswa telah menjadi relawan/volunteer di LBH Masyarakat: mendapatkan perspektif baru; memiliki pemahaman mengenai hukum, HAM dan keadilan sosial; memperoleh pengalaman kerja yang substansial; dan bahkan meneruskan baktinya di LBH Masyarakat sebagi staf.

LBH Masyarakat kini kembali membuka kesempatan bagi mahasiswi/a yang ingin mendedikasikan waktu, tenaga, dan pemikiriannya bagi mereka yang termarjinalkan, sebagai relawan/volunteer LBH Masyarakat.

Ada pun beberapa kegiatan yang dapat dipilih untuk diikuti:

1. Penanganan Kasus
Di dalam bidang ini relawan akan berkesempatan, antara lain:
• Melakukan penilaian/assesment di lapangan terkait kasus yang sedang/akan ditangani (termasuk menemui dan mewawancarai saksi, pihak terkait, kepolisian, dll);
• Melakukan riset hukum/HAM terkait kasus atau program kerja lembaga;
• Turut menyusun dokumen hukum terkait dengan penanganan kasus seperti opini hukum, gugatan, eksepsi, pledoi, memori banding, dll;
• Terlibat aktif dalam penyuluhan hukum di Lapas/Rutan dan komunitas terpinggirkan;
• Mendampingi staf memberikan konsultasi hukum kepada klien;
• Mendampingi klien dalam menjalani proses hukum, guna memastikan hak-hak tersangka/terdakwa atas peradilan yang fairterpenuhi.

Prasyarat:
• Mahasiswi/a Fakultas Hukum/Syariah;
• Berkomitmen penuh meluangkan waktu setidaknya 12 jam/minggu antara 23 Juni-19 September 2014;
• Memiliki passion dan berkomitmen menyediakan bantuan hukum pro bono yang berkualitas bagi mereka yang kurang mampu dan buta hukum;
• Tertarik dengan isu hukum dan HAM;
• Dapat bekerja secara mandiri;
• Berani bekerja di lapangan.

2. Program HAM, HIV, dan Kebijakan Narkotika
Dalam bidang ini relawan akan berkesempatan, antara lain:
• Melakukan riset HAM terkait HIV dan Kebijakan Narkotika;
• Memberikan pelatihan hukum/HAM kepada komunitas ODHA, pemakai narkotika, atau LGBTIQ;
• Menulis tentang kondisi HAM, HIV, dan Kebijakan Narkotika dan komunitas populasi kunci di Indonesia;
• Terlibat dalam advokasi hukum/kebijakan lembaga terkait isu HIV dan Kebijakan Narkotika (seperti misalnya terlibat dalam berjejaring dengan pemangku kepentingan terkait, lobi ke pengambil kebijakan, menyusun policy paper, dll).

Prasyarat:
• Mahasiswi/a dari segala disiplin ilmu;
• Berkomitmen penuh meluangkan setidaknya 10 jam/minggu antara 23 Juni-19 September 2014;
• Tertarik melakukan penelitian HAM/sosial;
• Tertarik untuk mendorong terciptanya kebijakan HIV & narkotika, yang humanis.

3. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam bidang ini relawan akan berkesempatan, antara lain:
• Melakukan kunjungan rutin ke komunitas terpinggirkan yang LBH Masyarakat berdayakan;
• Merumuskan rencana pemberdayaan bagi komunitas-komunitas terkait;
• Melakukan penilaian/assesment terhadap komunitas terpinggirkan di Jakarta untuk kemudian diadakan pemberdayaan hukum;
• Terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat termasuk menyediakan penyuluhan hak/hukum kepada komunitas.

Prasyarat:
• Mahasiswi/a dari segala disiplin ilmu;
• Berkomitmen penuh meluangkan setidaknya 10 jam/minggu antara 23 Juni-19 September 2014;
• Memiliki passion untuk membangun komunitas yang terpinggirkan menjadi berdaya.

Apabila kamu tertarik, segera kirimkan Curriculum Vitae terbaru, Application Letter, beserta jadwal kuliah dan aktivitas rutin lain yang tengah dijalani ke volunteer@lbhmasyarakat.org paling lambat 11 Juni 2014 pukul 24.00 WIB. Jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan, silakan menghubungi Yohan di nomor 021-8305450 (kantor) atau 085697545166 (HP).

LBH Masyarakat adalah organisasi yang berkomitmen dan memberikan kesempatan yang setara bagi individu-individu. Apa pun jender kamu, orientasi seksual kamu, status HIV kamu, pilihan politik kamu, paham ekonomi kamu, posisi kamu terhadap agama dan ketuhanan, sejarah keluarga kamu; selama memenuhi kualifikasi, kami mendorong kamu untuk mendaftarkan diri 😀

The People Need You!

Jakarta, 3 Juni 2014

Presiden SBY Didesak Keluarkan Rehabilitasi Korban 1965

Korban eks tahanan politik 1965, Nani Nurani (73) akhirnya mendatangi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk meminta perlindungan presiden dari stigma tudingan terlibat G.30.S/PKI yang dialaminya selama bertahun-tahun. Didampingi Tim Advokasi dari LBH Masyarakat, LBH Jakarta, dan Elsam, Nani Nurani diterima Anggota Wantimpres Albert Hasibuan dalam sebuah pertemuan tertutup di Kantor Wantimpres.

“Kita diterima Albert Hasibuan mendampingi Bu Nani sebagai korban stigma G.30.S/1965 dan pelanggaran HAM,” kata Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat usai pertemuan di Kantor Wantimpres, Selasa (15/4).
Dia mengungkapkan Nani pernah dipenjara tanpa proses hukum selama 7 tahun dari tahun 1968-1975 tanpa proses hukum. Polisi Militer Cianjur menudingnya terlibat G.30.S/PKI dan sebagai kader Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, Nani dituduh mendapatkan rumah dari Ketua Umum PKI DN Aidit. Padahal, dia tidak kenal dengan DN Aidit.
“Tuduhan itu tak benar berdasarkan surat keterangan dari NV Mugi tempat Nani bekerja dan surat keterangan bebas G.30.S/PKI yang dikeluarkan Koramil Menteng yang disita Polisi Militer Cianjur dan tak pernah dikembalikan,” bebernya.

Akibatnya, Nani mendapat sejumlah perlakuan diskriminatif dari negara. Seperti Nani dilarang bepergian ke luar negeri alias dicekal dan wajib lapor hingga tahun 2000, KTP-nya diberi tanda khusus sebagai eks tahanan politik, dan tidak mendapatkan KTP seumur hidup pada tahun 2003.

Nani sendiri sudah menempuh jalur hukum melalui gugatan ke PTUN hingga akhirnya pada 2008 MA menyatakan negara telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak memberi hak Nani Nurani sebabai warga negara berupa pemberian KTP seumur hidup. “Saat ini gugatan perdatanya di PN Jakarta Pusat sedang diajukan kasasi, pengadilan sebelumnya menyatakan tidak dapat menerima (NO) karena dianggap kewenangan PTUN,” kata Ricky.

Sebelumnya, Nani juga pernah mengirimkan surat permintaan rehabilitasi ke presiden atas dasar surat Ketua MA Bagir Manan bernomor KMA/403/VI/2003 perihal Permohonan Rehabilitasi. Surat itu, intinya berisikan pertimbangan MA yang menyatakan MA tak berwenang memberikan rehabilitasi, tetapi ini hak prerogatif presiden. Terakhir, pihaknya mengirimi surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) pada 20 Februari 2014.
“Kami sudah kirim surat berkali-kali, tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari presiden, makanya kita meminta perlindungan lagi melalui Wantimpres,” ujarnya.

Dalam pertemuannya dengan Albert Hasibuan ditegaskan kembali agar Wantimpres bisa mendorong presiden untuk menerbitkan surat rehabilitasi untuk memulihkan nama baik Nani Nurani. “Dalam pertemuan tadi, hasilnya positif, Pak Albert mendukung dan simpatik terhadap perjuangan kita. Dia berjanji akan mencoba merekomendasi permintaan rehabilitasi ini sebelum masa kepemimpinan Presiden SBY berakhir,” katanya.

Pintu Masuk
Nani sendiri mengaku permintaan rehabilitasi memang diperuntukkan hanya untuk dirinya. Padahal, korban stigma 1965 yang diperlakukan diskiriminatif oleh negara cukup banyak. Tetapi, persoalannya korban-korban lainnya masih terkendala dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap.

“Mereka tak punya dokumentasi lengkap seperti saya, dokumen surat pembebasan dan penahanan saja mereka tidak punya,” kata Nani. “Kalau surat-surat saya lengkap, slip gaji saya saja masih ada saat dipecat. Bahkan, surat-surat ayah saya sejak 1968 masih ada. Teman-teman saya tidak punya itu.”

Karenanya, dia pun meminta kepada negara untuk mengembalikan hak nama baiknya sebagai manusia dan warga negara agar diperlakukan sama dengan warga negara lainnya. “Itu saja yang terpenting yang kami minta,” kata Nani.

Meski begitu, kasus ini nantinya bisa menjadi “pintu masuk” bagi korban-korban lainnya yang mengalami nasib serupa. “Strategi kita, sementara untuk kasus Bu Nani selain karena terkendala bukti dan kita tak ingin ramai-ramai menggugat, kasus Bu Nani hanya sebagai ‘pintu masuk’ saja bagi korban lainnya yang tujuannya murni memulihkan hak warga negara yang terlanggar,” kata Ricky menambahkan.

 
 
 

Sumber: www.hukumonline.com

Jakarta, 15 April 2014

Summer Internship 2013: Mencari Generasi Baru Pejuang Hak Asasi Manusia

Kaum muda selalu disebut-sebut sebagai agen perubahan. Pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa pemudi-pemuda kerap memotori perubahan sosial dan memegang peranan penting dalam melawan pemerintahan yang korup, otoriter dan opresif.

Tumbangnya rejim Soeharto di Indonesia pada Mei 1998 juga tidak dapat dilepaskan dari peran para mahasiswa/i dari berbagai universitas. Sekalipun Indonesia kini telah menikmati alam keterbukaan, tetapi ancaman terhadap kebebasan manusia masih bermunculan.

Pelanggaran kemanusiaan terus terjadi. Upaya untuk meminggirkan yang “lain” belum berhenti. Keberagaman bukan menjadi sesuatu yang dirayakan, melainkan ditakuti. Keadilan tak lagi menjadi nilai keutamaan dalam penegakan hukum, sebab kemewahan dan kuasa politik telah menjadi mata uang para penegak hukum. Di tengah situasi seperti ini sayangnya masih banyak pemudi-pemuda yang tidak peduli dan tidak tertarik untuk turut memperbaiki situasi.

Padahal kaum muda memiliki modal yang luar biasa penting untuk mengambil bagian dari upaya perubahan sosial. Ketika kaum muda dapat bersatu menyumbangkan waktu, tenaga, dan pikirannya bagi keadaban publik, niscaya kehidupan bersama kita akan menjadi lebih baik. Mereka yang selama ini terbungkam, akan mampu bersuara; dan mereka yang dikekang, akan dapat menghirup udara kebebasan.

Sebagai sebuah lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi hak asasi manusia, LBH Masyarakat hendak mengajak kaum muda untuk berpartisipasi dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Melalui kesempatan Summer Internship 2013, LBH Masyarakat ingin menyebarkan gagasan bahwa semua orang mampu melakukan bantuan hukum, pemberdayaan hukum, dan perjuangan hak asasi manusia. Summer Internship 2013 dirancang khusus agar para pemudi-pemuda mendapatkan pemahaman mengenai bantuan hukum dan hak asasi manusia yang komprehensif. Harapannya, setelah mengikuti Summer Internship 2013, para peserta tergugah untuk turut berpartisipasi dalam gerakan bantuan hukum dan advokasi hak asasi manusia.

 
 
 

Jakarta, 17 Mei 2013