Skip to content

Tag: Kriminalisasi

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP): Band Sukatani Akui Ada Intimidasi: Proses Pemeriksaan Etik dan Pidana Wajib Dilakukan Kepada Anggota Polisi yang Melanggar

“Tindakan tanpa dasar kewenangan yang sah oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani sehingga menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.”

 Pada 1 Maret 2025, Band Sukatani dalam keterangannya ke publik, melalui akun @sukatani.band di kanal instagram, mengakui adanya tekanan dan intimidasi atas adanya lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh aparat kepolisian. Bahkan intimidasi sudah dialami Band Sukatani sejak Juli 2024. Koalisi menilai tindakan tersebut merupakan upaya pembungkaman terhadap Band Sukatani secara khusus, yang sekiranya tindakan ini dibiarkan dan para pelakunya tidak dihukum maka preseden ini amat potensial kembali berulang sehingga menjadi momok bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi (berkesenian) secara umum.

Sebelumnya, pada 25 Februari 2025, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, mengatakan berdasarkan pemeriksaan Propam Polda Jawa Tengah justru menyimpulkan bahwa para anggota yang diperiksa telah menjalankan tugasnya secara profesional. Sebelumnya pada 24 Februari 2025, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen Pol (Purn) Arif Wicaksono Sudiutomo dan staf Kapolri, Irjen Purnawirawan Aryanto Sutadi, malah membantah adanya intimidasi tersebut. Ketua Kompolnas menilai kedatangan anggota Polda Jateng menemui personel band Sukatani bukan untuk mengintimidasi.

Meskipun begitu, Koalisi menilai tindakan Personel Kepolisian mendatangi Band Sukatani tetaplah pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, karena jika Institusi Kepolisian tidak anti kritik sebagaimana telah dinyatakan Kapolri di beberapa media massa, tentu tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. Kepolisian wajib melindungi dan menghormati ekspresi dan kritik dimaksud, serta memastikan karya lagu Sukatani dapat diakses dan dinikmati khalayak umum dalam berbagai platform seperti semula. Sebab, hak dan kebebasan berekspresi telah dijamin secara konstitusional serta berbagai peraturan perundang-undangan dan instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia (ICCPR).

Saat ini, pemeriksaan terhadap anggota Ditsiber Polda Jateng tersebut telah diambil alih oleh Propam Mabes Polri. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menuntut agar pemeriksaan dijalankan secara akuntabel dan transparan. Hasil pemeriksaan harus menghasilkan kronologi yang jelas, menjelaskan dasar hukum yang digunakan, identitas polisi pelanggar, serta menjelaskan prosedur dan kelengkapan administrasi anggota kepolisian pada saat melakukan tindakan tersebut.

Kami juga mendesak Propam Mabes Polri untuk menggunakan instrumen pidana dalam memproses anggota kepolisian yang melakukan intimidasi kepada Band Sukatani.

Pasal 421 KUHP mengatur tentang ancaman pidana 2 tahun 8 bulan, kepada setiap Pegawai negeri (termasuk polisi di dalamnya) yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk melakukan, tidak melakukan sesuatu, ataupun membiarkan sesuatu. Rilis media Institute Criminal Justice Reform (ICJR) tertanggal 22 Februari 2025 sebelumnya, telah menyatakan bahwa tindakan menghampiri ataupun mengklarifikasi atas lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bukan kewenangan polisi. Tidak ada ketentuan pidana yang dilanggar oleh Band Sukatani, sehingga, polisi tidak berwenang untuk mendatangi, ataupun membatasi kemerdekaan band Sukatani. Tindakan tanpa kewenangan oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.

Dengan demikian, kami mendesak kepada Propam Mabes Polri dan juga kepada Kapolri untuk:

Pertama, Kapolri dan Propam Mabes Polri wajib menjunjung tinggi akuntabilitas, objektivitas, dan transparansi dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik adanya tekanan dan intimidasi kepada Band Sukatani oleh Anggota Polda Jateng.

Kedua, Propam dan Kapolri harus menindak tegas dengan memproses secara pidana Anggota Polda Jateng yang terbukti dan/atau terlibat melakukan intimidasi.

Jakarta, 2 Maret 2025 Dengan Hormat,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian*

Narahubung:

  • Arif Maulana (YLBHI/RFP)
  • Fadhil Alfathan (LBH Jakarta/RFP)
  • Paul (Sekretariat Bersama RFP)
  • Maidina (ICJR/RFP)

*Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) adalah sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil (non governmental organization) yang concern mendorong agenda reformasi kepolisian yang akuntabel, profesional, demokratis, dan berkomitmen terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam RFP di antaranya: YLBHI, ICJR, PBHI, ICW, Kurawal Foundation, KontraS, AJI Indonesia, Imparsial, Walhi Nasional, SAFEnet, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.

Rilis Pers – Menyoal Ancaman Hukum Terhadap ICW: Pemberangusan Demokrasi dan Upaya Kriminalisasi

Praktik pembungkaman atas kritik masyarakat kembali terjadi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin. Somasi tersebut berisi niat Moeldoko untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan ICW ke pihak berwajib. Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik.

Penting ditekankan, ICW sebgai bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terlebih lagi, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19 yang telah merenggut nyawa puluhan ribu masyarakat dan meruntuhkan perekonomian negara. Berangkat dari hal itu, semestinya pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan Covid-19 ini. Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespon kritik dari ICW. Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi.

Menyikapi langkah Moeldoko, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat. Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi. Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat. Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya: Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.

Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan.

Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi. Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia.

Selanjutnya, dari aspek hukum, mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut. Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut. KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP: tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum. Sebab, ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat pandemi Covid-19, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik.

Permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE. Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam dokumen tersebut, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disampaikan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi. Pernyataan yang dikeluarkan ICW lahir dari sebuah penelitian yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas, tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi atas suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat.

Sebenarnya, tanpa mesti menempuh jalur hukum, Moeldoko dapat menyampaikan bantahan atas temuan ICW dengan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pers. Sebab, hasil penelitian ICW tersebut diketahui khalayak ramai oleh karena dimuat dalam berbagai pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, mekasnisme ini lah yang harusnya didorong dan ditempuh, bukan dengan ancaman pidana.

Berkenaan dengan poin-poin di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar:

  • Moeldoko untuk menghormati proses demokrasi yaitu kritik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW dan lebih berfokus pada klarifikasi pada temuan-temuan dari penelitian tersebut;
  • Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan mencabut somasi dan mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum terhadap ICW;
  • Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk pemberangusan;

Koalisi Masyarakat Sipil:
YLBHI; PBHI; Auriga Nusantara; ICJR; PSHK; ELSAM; ICEL; IJRS; IMPARSIAL; KontraS; Yayasan Perlindungan Insani Indonesia; P2D; Yayasan Kurawal; Koalisi Warga untuk Lapor VID19-19; Greenpeace Indonesia; Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) Indonesia; Serikat Mahasiswa Progresif UI; BEM STHI Jentera; Enter Nusantara; Bangsa Mahasiswa; Garda Tipikor FH UNHAS; Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul; Constitutional and Administrative Law Society (CALS); BEM KM Universitas YARSI; WALHI; BEM FH UPNVJ; BEM REMA UPNVJT; BEM UI; BEM FISIP UNMUL; KIKA; Aliansi BEM Seluruh Indonesia; BEM se-Semarang Raya; BEM KM UNNES; LBH MAKASSAR; Lembaga Independensi Peradilan (LeIP); SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network); PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE); Aliansi BEM Univ. Brawijaya; PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTE (PPPI); LBH Pers; BEM Universitas Siliwangi; LBH Padang; LBH Masyarakat (LBHM); Visi Integritas Law Firm; LBH PP Muhammadiyah; AURIGA; Forum Pengada Layanan (FPL); BEM UPNVJ; TRUTH; IKA SAKTI Tangerang; Puspaham SULTRA; Human Rights Working Group (HRWG); PWYP Indonesia; LBH Bandung; Trend Asia; JATAM Kaltim; LBH Semarang; Sajogyo Institute; JATAM; GRASI Riau; LBH Pekanbaru; BEM Undip; BEM FISIP Undip; BEM FKM Undip; BEM FH Undip; BEM FPP Undip; BEM FSM Undip; BEM FK Undip; BEM FPIK Undip; BEM SV Undip; BEM Psikologi Undip; BEM FT Undip; BEM FIB Undip; LBH Samarinda; LBH Yogyakarta; LBH Surabaya; Transparency International Indonesia; Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak); Banten Bersih; LBH Palembang; Brebes Youth Center (BYC); Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); LBH APIK NTT; BEM KM UDINUS Semarang; BEM PM Universitas Udayana; KOPEL Indonesia; Komite Independen Sadar Pemilu (KISP); NET Attorney; LBH Palangka Raya; POKJA 30 KALTIM; Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD); Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH. Univ. Andalas; GEMAWAN; PATTIRO Semarang; FOINI; KPA SULTRA; FORSDA KOLAKA; DEMA IAIN Palangka Raya; Aliansi Rakyat Bergerak; KRPK Blitar; MCW Malang; SAHDAR Medan; MATA Aceh; Koalisi Bersihkan Indonesia; Bengkel AppeK; BEM ULM; Indonesia Budget Center (IBC); FITRA Provinsi Riau; SOMASI NT