Skip to content

Tag: Lembaga Pemasyarakatan

Narapidana Bukan Tumbal Proyek: LBHM Memperingatkan Pemerintah Pentingnya HAM dalam Rencana Mengubah Lapas Jadi Rumah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait (Ara), terkait pemindahan lahan penjara Cipinang dan Salemba. Upaya ini berpotensi melanggar hak-hak narapidana dan tidak menyelesaikan akar masalah yang selama ini terjadi di lapas maupun rutan di seluruh Indonesia terkait kelebihan kapasitas (overcrowded), jika rencana pemindahan tersebut tidak dibarengi dengan kajian HAM yang matang, transparansi, dan partisipasi publik yang bermakna dari masyarakat, narapidana maupun keluarganya akan merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.

Pada hari Senin, 19 Mei 2025 lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, melempar wacana terkait pemanfaatan lahan penjara untuk pembangunan perumahan rakyat. Beberapa penjara yang direncanakan akan dialihfungsikan untuk hunian warga tersebut di antaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang di Jakarta Timur dan Salemba di Jakarta Pusat. Kata Ara, gagasan tersebut berasal dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara langsung kepadanya melalui sambungan telepon.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengalihfungsian kedua penjara tersebut menurut Ara. Pertama, kedua penjara tersebut (Cipinang dan Selemba) berada di tengah-tengah kota Jakarta, di mana ini lokasi yang cukup strategis digunakan untuk membangun hunian bagi rakyat. Hunian tersebut dibangun sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam merealisasikan program 3 juta rumah per tahun. Kedua, kondisi Lapas Cipinang dan Salemba tersebut sudah sangat penuh (overcrowded) sehingga berpotensi menciptakan kondisi yang tidak manusiawi terhadap para penghuninya. Dengan rencana pemindahan tersebut, situasi overcrowding itu dapat ditekan lewat pembangunan lapas baru, yang memperhatikan kapasitas dan jumlah narapidana.

Ara juga menyampaikan, untuk merealisasikan rencana ini, akan dibentuk Satgas Penjara Menjadi Rumah dan melibatkan berbagai pihak seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Dirjen Kekayaan Negara, serta perbankan BUMN dan swasta. Pendanaan pembangunan perumahan ini juga direncanakan oleh Ara akan melibatkan Danantara sebagai penyedia likuiditas pembiayaan dan investor yang bersedia mendanai proyek ini.

Menyikapi rencana pemindahan penjara yang bakal berdampak signifikan terhadap kurang lebih 4,114 narapidana ini, terdapat beberapa poin penting yang menjadi peringatan kami untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak pada hak-hak narapidana.

Pertama, pemindahan berpotensi menghambat hak narapidana untuk mendapatkan kunjungan keluarga dan pengacara. Pasal 9 huruf (l) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) menegaskan bahwa narapidana berhak untuk menerima kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat. Pemindahan narapidana ke luar kota atau bahkan luar pulau akan menyulitkan narapidana merealisasikan hak ini. 

Sekalipun tidak semua penghuni Lapas Cipinang dan Salemba berdomisili di Jakarta, sebagian besar narapidana berkasus di Jakarta. Banyak di antara mereka yang memiliki keluarga dan teman di wilayah Jakarta atau sekitarnya. Jika para narapidana ini dipindahkan ke luar kota atau luar pulau, keluarga narapidana bisa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menemui mereka. Apalagi banyak keluarga narapidana yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak mampu membayar ongkos bolak-balik untuk menjenguk keluarganya di penjara.

Keinginan untuk mempersulit akses besuk ini juga terlihat dari ungkapan Ara ketika menjelaskan instruksi Presiden Prabowo Subianto atas relokasi lapas menjadi rumah ini. Kepada media, Ara menjelaskan, “Pak Prabowo sudah telepon saya, ‘Ara, kita pindahkan penjara-penjara di daerah strategis buat rumah. Kita pindahkan penjara keluar kota, biar dibesuknya susah,’ begitu,”

Padahal kunjungan keluarga kepada narapidana merupakan bagian yang amat penting dari proses rehabilitasi. Dukungan emosional dari keluarga bisa mengurangi risiko stres dan depresi yang dialami narapidana, menjaga keterikatan sosial yang membantu integrasi kembali ke masyarakat usai bebas, dan mengurangi peluang kekambuhan atau menjadi residivisme.

Kedua, pemindahan narapidana akan menghambat mereka mendapatkan hak atas bantuan hukum yang efektif. Pasal 9 Huruf (f) UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana berhak atas bantuan dan penyuluhan hukum. Sekalipun mereka sudah berstatus sebagai narapidana, mereka masih memiliki hak-hak untuk melakukan upaya hukum, seperti Peninjauan Kembali (PK) atau pengajuan grasi. 

Karena banyak narapidana yang bermukim di Lapas Cipinang dan Salemba adalah hasil dari proses peradilan pidana di Jakarta dan sekitarnya, banyak di antara mereka menyewa jasa pengacara di Jakarta. Dengan dipindahkannya para narapidana ini keluar dari Jakarta, mereka akan mendapatkan kesulitan untuk bertemu dan berdiskusi dengan pengacaranya, sehingga mereka tidak akan bisa mendapatkan layanan bantuan hukum yang efektif.

Seringkali, lapas juga menampung orang-orang yang masih berstatus sebagai tahanan yang belum berkekuatan hukum tetap. Dari 4.114 orang yang ditahan di Lapas Salemba dan Cipinang, sebanyak 25 orang berstatus sebagai tahanan. Jika mereka dipindahkan ke daerah lain yang terpencil, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum yang dibutuhkan untuk menjalani persidangan. Aparat penegak hukum juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membawa para tahanan ini pulang-pergi dari lapas ke pengadilan.

Sekalipun di lapas sudah menyediakan fasilitas telepon, banyak pengacara masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan kliennya. Narapidana umumnya yang harus menelpon pengacaranya dari wartel berbayar di lapas dan itu pun bergantian dengan narapidana lainnya. Karena itulah, masih banyak pengacara yang mengandalkan pertemuan tatap muka langsung dengan kliennya yang berada di dalam.

Ketiga, ada kekhawatiran bahwa rencana pemindahan ini justru lebih didorong oleh kepentingan ekonomi semata, terlihat dari alasan yang diberikan dalam pemilihan lapas mana yang akan diganti menjadi pemukiman semata-mata mengacu pada landasan bahwa Lapas Cipinang dan Salemba berada di lahan strategis di tengah kota. 

Apalagi pertemuan yang dilangsungkan oleh Ara dengan Agus Indriarto, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, turut mengajak pengembang-pengembang properti besar, seperti PT Ciputra Development Tbk, Sinarmas Land Herry Hendarta, PT Summarecon Agung Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Pakuwon Jati Tbk, dan Paramount Land. Sementara itu, secara kontras, belum ada kejelasan pembangunan lapas baru sebagai pengganti tempat tinggal ribuan orang yang sekarang berada di Lapas Salemba dan Cipinang. 

Dengan konteks demikian, seolah-olah terlihat bahwa pengembangan rumah hunian di kawasan strategis ini membutuhkan ‘tumbal’ yang mudah untuk dilupakan. Posisi narapidana sebagai pihak yang masih terstigma bisa dengan mudah digusur untuk kepentingan nasional yang dianggap lebih penting. 

Padahal, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan pemindahan penjara di Cipinang dan Salemba ini tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi atau infrastruktur semata, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial bagi para narapidana maupun keluarga narapidana. Sebab, lapas bukan sekadar bangunan fisik, tetapi ruang reintegrasi yang harus mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia.

“Kebijakan yang dicanangkan Pemerintah tentang pengalihfungsian Lapas Cipinang dan Salemba menjadi perumahan rakyat menumbalkan berbagai pihak khususnya narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi. Rencana ini bisa melanggar hak narapidana sebagaimana yang tertuang pada Pasal 9 Huruf F dan Huruf I UU Pemasyarakatan,” kata Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM, Jumat (23/5/2025) di Jakarta.

“Alasan over kapasitas penjara juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penjara, diperlukan perubahan regulasi yang mumpuni untuk menyelesaikan permasalahan over kapasitas penjara, bukan malah mengubah penjara. Fakta bahwa saat ini penghuni penjara didominasi oleh kasus narkotika harusnya pemerintah mengutamakan perubahan regulasi khususnya pada UU Narkotika ketimbang merubah alih fungsi Lapas Cipinang dan Salemba. Seharusnya juga pemerintah tidak langsung menyetujui perintah Presiden Prabowo, tetapi mengkaji lebih dahulu secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik dan juga memperhatikan aspek kemanusiaan,” tambahnya.

Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025

 

Narahubung:

Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM – (+62 812-9028-0416)

 


Referensi:

  1. Aji Cakti, Menteri PKP Ungkap Alasan Rencana Manfaatkan Lahan Penjara Jadi Rumah, antara.com, 19 Mei 2025. Diakses di https://www.antaranews.com/berita/4844109/menteri-pkp-ungkap-alasan-rencana-manfaatkan-lahan-penjara-jadi-rumah 
  2.  Jumlah total narapidana di Lapas Cipinang dan Salemba per 23 Mei 2025, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
  3.  Almadinah Putri Brilian, “Soal Penjara Jadi Perumahan, Ara: Harus Bangun Lapas Pengganti Dulu,” detik.com, 23 April 2025, diakses di https://www.detik.com/properti/berita/d-7881972/soal-penjara-jadi-perumahan-ara-harus-bangun-lapas-pengganti-dulu
  4.  Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 23 Mei 2025.
  5.  “Menteri PKP Ajak Pengembang Besar Tinjau Lahan Lapas untuk Bangun Rumah,” rctiplus.com, 15 Mei 2025, diakses di https://www.rctiplus.com/news/detail/terkini/4755391/menteri-pkp-ajak-pengembang-besar-tinjau-lahan-lapas-untuk-bangun-rumah 

 

 

Yang Terlupakan Dari Penjara

“Biang kerok over kapasitas di lapas kami adalah over kapasitas karena Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), narapidana narkotika. Selalu saya katakan, sangat aneh sekali satu jenis crime (kejahatan) yaitu kejahatan narkotika mendominasi 50% isi lapas – there is something wrong.”[1] Kalimat itu merupakan sepenggal kutipan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna Laoly, dalam sebuah interview singkat di salah satu media. Pernyataan ini sungguh menarik. Sebab, secara tidak langsung negara mengakui jika negara masih kewalahan dalam mengontrol ekosistem pemenjaraan yang saat ini kondisinya sudah sangat penuh sesak (overcrowded) oleh WBP.

Peristiwa terbakarnya Lapas Kelas 1A Tangerang, merupakan sebuah contoh nyata buruknya sistem pemasyarakatan di Indonesia yang ada saat ini. Kebakaran ini adalah salah satu dari banyak permasalahan lapas yang terjadi di Indonesia. Jika melihat lebih jeli lagi, beragam permasalahan penting yang menyangkut WBP bisa kita temui, mulai dari rendahnya sanitasi, kurangnya sirkulasi udara, dan minimnya asupan nutrisi turut berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan WBP dan tahanan.[2] Hal buruk lainnya dari kondisi overcrowded yang berkepanjangan salah satunya adalah munculnya peredaran narkotika di dalam Lapas. Dalam hasil laporan pemantauan LBH Masyarakat (LBHM) yang ditulis tahun 2019 ditemukan jika sepanjang tahun 2018 ditemukan 152 kasus peredaran dan upaya penyelundupan narkotika ke dalam penjara[3]. Menariknya, peredaran tersebut mayoritas terjadi di wilayah/provinsi yang mengalami over kapasitas.[4] Banyaknya pengguna narkotika yang dipenjarakan memiliki korelasi kuat dengan munculnya fenomena peredaran narkotika di dalam penjara. Lantas apakah memasukan seseorang ke dalam penjara masih diperlukan jika melihat semua permaslahan penjara yang terjadi?

Belajar Sistem Pemasyarkatan dari Belanda

Nampaknya memenjarakan seseorang, bukan lagi menjadi sebuah tren yang ‘baik’. Terlepas dari fakta bahwa masih cukup banyak negara yang melakukan pemenjaraan. Namun, faktanya adalah memenjarakan seseorang akan memakan banyak biaya/anggaran. Hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dimana biaya untuk makan WBP selama setahun mencapai Rp.1.3 Triliun ditahun 2018[5], jumlah ini tentunya akan bertambah besar lagi apabila dijumlahkan dengan anggaran-anggaran lainnya seperti anggaran kesehatan dll. Lalu apa solusi baiknya disamping memenjarakan seseorang, mari kita tengok negara nan jauh di eropa sana, yakni Belanda. Sebagai negara yang pernah mengkolonisasi Indonesia (Hindia Belanda), nyatanya Belanda punya kebijakan dan sistem yang progresif dalam hal pemenjaraan.

Sebelum masuk tentang ke \’progresifan\’ Belanda, kita perlu mengenal dari mana munculnya pemenjaraan di Indonesia. Perlu diketahui jika saat ini sistem hukum pidana yang dipakai Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) merupakan bagian dari warisan pemerintahan kolonial Belanda, dan benar adanya juga jika sistem Penjara dibawa oleh pemerintah kolonial, pada abad ke-19, dan masuk dalam kategorisasi sistem hukuman tegak di atas landasan formal pasal 10 dalam Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872.[6] Ya hingga saat ini mungkin sudah hampir 200 tahun Indonesia masih memakai Kitab Hukum Pidana buatan kolonial yang tentunya masih memiliki semangat untuk memenjarakan seseorang—Menurut R.A. Koesnon, dahulu sistem penjara dibuat untuk membuat seseorang bertobat atau kapok.[7] Jika melihat konteks dari apa yang disampaikan oleh R.A Koesnon, nampaknya penjara saat itu dipakai untuk ‘menjinakan’ mereka yang melawan pemerintah kolonial, dan jika ditarik ke era sekarang, relevansi penjara dengan membuat kapok seseorang sepertinya sudah tidak ideal dipakai.

Belanda saat ini bisa dinilai sangat progresif dalam kebijakan criminal justice-nya (yang berdampak pada pemenjaraan). Menurut Miranda Boone, Profesor Kriminologi dari Universitas Leiden, keberhasilan Belanda dalam kebijakan criminal justice-nya berimplikasi baik bagi sistem pemasyarakatannya. Salah satu faktor keberhasilan dikarenakan Pemerintah Belanda menerapkan mekanisme penyelesaian pidana di luar sistem peradilan, seperti menggunakan denda dan mediasi, serta menerapkan pendekatan kesehatan yakni melakukan rehablitasi psikologis terhadap narapidana atau dikenal dengan Program TBS.[8] Tidak mengherankan, kini Belanda merupakan negara di Eropa urutan ketiga yang memiliki angka pemenjaraan paling rendah. Hal ini dapat dilihat dari angka pemenjaraan yakni hanya 54.4 dari 100.000 penduduk, dan angka pemenjaraan pun setiap tahunnya mengalami penurunan signifikan sepanjang tahun 2014-2018. Selain itu keberhasilan ini dilanjutkan dengan banyaknya penjara yang ditutup, setidaknya sudah terdapat 23 Penjara yang ditutup dan dialihfungsikan menjadi beragam fasilitas seperti tempat rumah sakit jiwa, penampungan, hotel dan fasilitas umum lainnya.[9] Keberhasilan Belanda dalam memberikan alternatif penghukuman patut dijadikan contoh oleh Indonesia yang masih berkutat dengan overcrowding penjara.

Mengharap masa depan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

Peristiwa kebakaran yang menimpa Lapas Tangerang sekali lagi merupakan permasalahan yang serius. Karena, jika dilihat secara jeli lebih dalam—sebab permasalahan ini bukan hanya serta merta permasalahan teknis yang bisa disebabkan oleh kesalahan manusia ataupun alat (benda mati), namun permasalahan ini adalah permasalahan struktural. Overcrowding yang terjadi adalah sumbangsih dari buruknya kebijakan pemidanaan yang dipakai Indonesia saat ini, salah satunya kebijakan Narkotika (UU No.35 Tahun 2009) yang menjadi penyumbang banyaknya WBP dan tahanan harus mendekam di dalam penjara-penjara Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan Indonesia, per Agustus 2021, saat ini terdapat 210.986 narapidana yang mendekam di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dimana sebanyak 145.272 narapidana dan tahanan pernah terlibat dalam kasus narkotika. [10] Dengan kondisi yang terjadi saat ini, banyak perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh WBP, sepertinya membuat masa depan WBP menjadi abu-abu.

Menurut R.A Koesnon, dulu penjara dimasa penjajahan merupakan tempat untuk bertobat, namun pasca kemerdekaan, pemerintah berupaya mengubahnya menjad tempat pendidikan narapidana sebelum kembali ke masyarakat, oleh karenanya lahirlah konsep Lembaga Pemasyarakatan tahun 1962.[11] Koesnon sendiri menambahkan jika penjara mempunyai tujuan sebagai resosialisasi.[12] Namun, sebelum berbicara resosialisasi, pemerintah juga perlu memperhatikan dan memenuhi hak-hak seorang WBP ketika di dalam Pemasyarakatan. Betul adanya apabila seorang WBP atau tahanan itu dibatasi haknya. Namun, hal itu bukan berarti menyepelekan hak-hak lainnya yang harus dipenuhi negara. Keterbatasan kapasitas penjara dan fasilitas yang kurang memadai yang ada saat ini berimbas pada pemenuhan hak seorang narapidana dan tahanan yang tidak terpenuhi. Indonesia seharusnya mulai kembali melihat, menerapkan, dan mengimplementasikan prakti-praktik baik dalam Mandela Rules, dan menjadikannya sebagai tolak ukur dalam memberikan pemenuhan hak terhadap narapidana dan tahanan sebagaimana tercantum dalam Rule 1—setiap narapidana harus dihormati haknya dan dianggap sebagai manusia seutuhnya.[13]

Menjadikan manusia adalah kuncinya. Selama ini masyarakat kita masih kurang memperdulikan atau antipati terhadap situasi penjara dan orang yang tinggal di dalamnya, bahkan masih banyak masyarakat kita yang masih menaruh stigma terhadap mereka (WBP dan tahanan), hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk dapat mengembalikan martabat narapidana di dalam kehidupan sosial, sebab tujuan akhir dari pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan adalah untuk mempersiapakan WBP kembali ke dalam masyarakat—Mandela Rules sudah mengatur hal ini, dimana narapidana juga harus dijamin kehidupan sosialnya pasca ia terbebas dari masa hukumannya.[14] Kondisi  yang tidak manusiawi di dalam Lapas, buruknya kebijakan pemidanaan, hingga kurangnya dukungan dan simpati masyarakat terhadap WBP rasanya seperti ‘menginjak-nginjak’ martabat seorang WBP sebagai manusia seutuhnya. Jika menguip potongan pidato Menteri Kehakiman Sahardjo (1963), “Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk, atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan”.[15]

Sudah waktunya pemerintah Indonesia menyelesaikan pekerjaan rumah besar ini, baik perbaikan struktural, hingga pengembalian martabat WBP sebagai manusia utuh sebagaimana mestinya, agar kedepannya mereka tetap memiliki masa depan yang baik selepas mereka keluar dari sesaknya kehidupan di dalam penjara.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan yang Terjadi di Lapas Tangerang beberapa waktu lalu. Tulisan ini ditulis oleh Tengku Raka – Communication Specialist LBHM.


[1] Wawancara Yassona Laoly di Media CNN (https://www.youtube.com/watch?v=w35k3oaQ9oE)

[2] https://nasional.tempo.co/read/1086491/penyebab-kematian-di-penjara-lbh-masyarakat-karena-overcrowded/full&view=ok

[3] Monitoring dan Dokumentasi – Pasar Gelap Narkotika di Penjara: Imbas Kebijakan Punitif (2019)

[4] Ibid., Monitoring dan Dokumentasi

[5] https://www.suara.com/news/2018/04/13/172402/biaya-makan-narapidana-se-indonesia-setahun-sampai-rp13-triliun

[6] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/1

[7] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/1

[8] https://www.theguardian.com/world/2019/dec/12/why-are-there-so-few-prisoners-in-the-netherlands

[9] Ibid., The Guardian

[10]  Situs Data Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen Pas)

[11] https://historia.id/politik/articles/cerita-dari-balik-jeruji-besi-vqjAB/page/4

[12] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/2

[13] Mandela Rules, Rule 1

[14] Ibid., Mandela Rules – Rule 107.

[15] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/3

Rilis Pers – Kebakaran Lapas Tangerang: Saatnya Reformasi Kebijakan Hukum Pidana

LBH Masyarakat (LBHM) turut berduka cita atas kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang (Lapas Tangerang) Rabu, 8 September 2021, dini hari tadi. Dalam peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 41 orang, dan sebagian di antaranya mengalami luka berat (8 orang) dan luka ringan (72 orang).

Peristiwa kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang merupakan salah satu dampak dari permasalahan lapas yang tiada habisnya serta ekses kebijakan hukum pidana yang dominan dengan pendekatan penjara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM memberikan beberapa respon atas kejadian kebakaran di Lapas Klas I Tangerang, diantaranya:

Pertama, berdasarkan sistem database pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, per 7 September 2021, Lapas Tangerang termasuk lapas yang memiliki overcrowding yang tinggi sebesar 245% . Sedangkan daya tampung Lapas Tangerang hanya mampu menampung sebanyak 600 orang. Akan tetapi, faktanya Lapas Tangerang hari ini per 7 September 2021 dihuni sebanyak 2.072 orang. Di mana terdapat 1.805 orang merupakan warga binaan pemasyarakatan yang terkait kasus narkotika. Kondisi overwcrowding dan banyaknya warga binaan pemasyarakatan terkait kasus narkotika yang masuk kategori pengguna atau pecandu semakin menambah daftar permasalahan pendekatan pidana penjara dalam perumusan hukum pidana narkotika di Indonesia yang berkonstribusi terhadap overcrowding lapas dan berdampak terhadap pengelolaan lapas di Indonesia yang tidak sigap terhadap kondisi bencana;

Kedua, kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang dini hari tadi hanyalah puncak gunung es dari problematika pengelolaan lapas di Indonesia. Tragedi kemanusiaan dini hari tadi pagi semakin menunjukan betapa buruknya pengelolaan lapas di Indonesia baik dari sisi kebijakan peradilan pidana terpadu maupun dari manajemen dan keamanan lapas;

Ketiga, pada awal pandemi tahun 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan terkait asimilasi, pembebasan bersayarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat dalam rangka penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara bagi narapidana dan anak. Kebijakan ini responsif dalam mengurangi overcrowding tapi dalam kasus narkotika yang masuk kategori pecandu atau pengguna yang divonis di atas lima tahun penjara tidak masuk dalam skema kebijakan tersebut. Sehingga penting untuk memastikan kembali pemberlakukan kebijakan tersebut bagi warga binaan pemasyarakatan kategori pecandu atau pengguna;

Keempat, penting bagi jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan pemulihan terhadap warga binaan pemasyarakatan melakukan healing terhadap korban kebakaran mengingat kejadian kebakaran ini sangat kuat membekas dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan;

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM menuntut:

  • Melakukan langkah-langkah evakuasi dan penyelamatan bagi korban kebakaran Lapas Tangerang dan memberikan perawatan yang intensif bagi korban yang selamat serta pemerintah menanggung biayanya;
  • Menuntut Pemerintah meminta maaf atas peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang dan mendorong dilakukan penyelidikan dan menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik terkait kebakaran di Lapas Tangerang;
  • Mendorong reformasi pendekatan pidana penjara dalam hukum pidana dengan alternatif penghukuman non penjara;
  • Mendorong pemerintah untuk kembali melakukan upaya asimilasi dan integrasi warga binaan pemasyarakatan terutama yang terkait kasus narkotika dengan kualifikasi pengguna atau pecandu.

id_IDIndonesian