Skip to content

Tag: Politik

Pelarangan Menjadi Waria di Gorontalo: Surat Edaran yang Membuka Keran Diskriminasi

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengecam sikap pemerintah dan parlemen Gorontalo dalam membuat Surat Edaran yang melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan, pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan. Surat Edaran ini kontradiktif dengan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan ruang yang aman bagi semua penduduk untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik, terlepas dari identitasnya. 

Pada hari Selasa, 22 April 2025, Pemerintah Kabupaten Gorontalo melakukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Gorontalo. Hasil dari forum ini kemudian disahkan ke dalam Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi yang ditandatangani oleh Pj. Sekretaris Daerah atas nama Bupati Gorontalo pada tanggal 25 April 2025. 

Surat edaran ini menghimbau camat, kepala desa, kepala kelurahan di Gorontalo untuk selektif memberikan izin keramaian pada acara hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, dan hajatan pesta. Poin ketiga dalam surat edaran ini mendesak aparat pemerintah setempat memantau dan mencegah acara keramaian yang melibatkan waria (transpuan).

Para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen lokal ikut menyuarakan dukungan atas konten surat edaran ini. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyatakan bahwa hampir seluruh daerah di Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo, sudah sepakat menolak kehadiran dan aktivitas komunitas tersebut. Pelarangan ini, menurutnya, karena ‘kegiatan waria’ merusak moral bangsa. Wakil Ketua DPRD Kota Gorontalo, Rivai Bukusu, juga mengatakan bahwa mereka menolak kegiatan-kegiatan yang melibatkan transpuan atau komunitas LGBT lainnya, karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat.

Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatif dari penerbitan surat edaran ini dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya. Ada setidaknya empat poin mengapa surat edaran ini bermasalah:

Pertama, surat edaran ini melegitimasi marginalisasi dan diskriminasi transpuan di ruang-ruang publik. Surat edaran ini tidak menjelaskan pelibatan waria seperti apa yang dilarang atau dianggap berbahaya. Akibatnya, bukan hanya sebagai penampil (performer), transpuan yang menghadiri acara tersebut sebagai peserta atau penonton pun bisa dianggap terlibat dalam kegiatan tersebut dan akhirnya acara tersebut harus dibatasi. Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka karena takut acara mereka akan dibatalkan.

Diskriminasi semacam ini bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul (freedom to assembly) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih jauh lagi, Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Hak ini diberikan tanpa ada distingsi atas identitas gender seseorang, tidak peduli apakah dia laki-laki, perempuan, transpuan, atau identitas gender lain. Keikutsertaan transpuan dalam acara-acara publik dan sipil seperti pertandingan olahraga dan acara kesenian adalah cara mereka melaksanakan kemerdekaan berkumpul.

Kedua, tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui surat edaran tersebut tidak berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya adalah setiap perbuatan yang hendak atau sedang dilakukan dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah harus memiliki landasan hukum serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memiliki identitas sebagai transpuan bukan sebuah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di samping itu, pelarangan transpuan untuk berpartisipasi atau menikmati hak untuk berkumpul, berserikat, dan berekspresi melalui Surat Edaran ini menunjukkan kebijakan yang dibuat bersifat subjektif tanpa ada landasan hukum mengapa kehadiran transpuan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dilarang. Pola-pola legislasi serampangan tanpa ada dasar hukum yang jelas ini berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan dan bahkan dapat mengarah pada eigenrichting (main hakim sendiri). Apalagi kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan sebab masyarakat lebih mudah mengidentifikasi berdasarkan ekspresi gendernya.      

Ketiga, pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. Menurut sebuah survei, sekitar 8.7% anggota komunitas LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis (penyanyi, penyanyi lip sinc, penari, dan lain-lain). Mereka yang bekerja sebagai pekerja informal ini menghadapi berbagai risiko ekonomi dan seringkali tidak mendapatkan jaminan perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu urusan wajib dari Pemerintah Daerah adalah memberikan lapangan kerja yang aksesibel bagi semua sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia, tidak terkecuali pekerja seni informal, bukan malah melarang transpuan untuk bekerja sebagai pekerja seni dan pertunjukkan. 

Ada alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal. Ketimbang memberikan solusi atas diskriminasi hak atas pekerjaan yang selama ini sudah dialami oleh transpuan, surat edaran pemerintah Kabupaten Gorontalo ini semakin menyudutkan kelompok transpuan.

Keempat, alasan penolakan transpuan di kegiatan-kegiatan hiburan mengulang kembali alasan usang tentang transpuan melanggar norma kesusilaan. Bahkan ada simplifikasi argumen bahwa transpuan yang melakukan pekerjaan seni sudah pasti orang yang tidak beragama dan tidak bermoral. Dalam keterangannya Adhan Dambea, Walikota Gorontalo, menyatakan, “Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Kota Gorontalo, untuk jangan mengundang penyanyi seperti waria. Di Kota Gorontalo masih banyak penyanyi-penyanyi yang bermoral dan punya agama.”

Padahal beberapa budaya lokal Indonesia juga mengakui keberadaan gender lain, seperti budaya Bugis yang mengenal lima jenis kelamin yang berbeda. Ada pula interpretasi-interpretasi ajaran keagamaan yang memberikan pandangan yang lebih toleran bagi individu trans. Otoritas kesehatan internasional seperti WHO dan nasional seperti Kementerian Kesehatan pun berulang kali menyatakan bahwa menjadi transpuan bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. 

“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Maka praktik diskriminasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”, ucap Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBHM.

Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Gorontalo untuk mencabut Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi. Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo untuk menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menjaga dan melindungi hak kelompok rentan, tak terkecuali transpuan.  

Selain itu, LBHM juga meminta kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk memastikan kebijakan pemerintah daerah sejalan dengan aturan yang lebih atas untuk mengevaluasi surat edaran ini. LBHM juga berpendapat bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pihak yang melakukan pengawasan atas praktik dan kebijakan yang berdampak negatif pada pemenuhan HAM untuk melakukan investigasi pemberangusan hak yang terjadi di Gorontalo pada kelompok transpuan. 

Jakarta, 30 April 2025

 

Narahubung:
Novia – 081297566190

 

Referensi
  1. Dian, “Ketua DPRD Kota Gorontalo Tegaskan Menolak Seluruh Kegiatan yang Melibatkan Waria,” read.id, 28 April 2025, diakses di https://read.id/ketua-dprd-kota-gorontalo-tegaskan-menolak-seluruh-kegiatan-yang-melibatkan-waria/ 
  2.  Deden Arya, “Rivai Bukusu Tegas! Tolak Kegiatan Waria di Gorontalo,” gorontalo.totabuan.news, 28 April 2025, diakses di https://gorontalo.totabuan.news/dprd-kota-gorontalo/rivai-bukusu-tegas-tolak-kegiatan-waria-di-gorontalo/ 
  3.  Arief Rahadian, Gabriella Devi Benedicta, Fatimah Az Zahro, Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi, Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), 2021).
  4.  Lukman Husain, “Aksi Waria Berujung Pencekalan, ‘Padahal Bulan Depan Musim Pesta’,” Gorontalo Post, 29 April 2025, diakses di https://gorontalopost.co.id/2025/04/29/aksi-waria-berujung-pencekalan-padahal-bulan-depan-musim-pesta/  
  5.  Daniel Stables, “Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’,” bbc.com, 25 April 2021, diakses di https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166 
  6.  “Heboh Isu LGBT, WHO dan Kemenkes RI Turut Berkomentar,” tvonenews.com, 13 Mei 2022, diakses di https://www.tvonenews.com/berita/nasional/40482-heboh-isu-lgbt-who-dan-kemenkes-ri-turut-berkomentar?page=1 

Koalisi Menuntut Sembilan Materi Krusial dalam RUU KUHAP Dibahas Secara Mendalam dan Tidak Buru-Buru

RILIS PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP

Setelah  menggelar  konferensi  pers  terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara   Pidana   (RUU   KUHAP),   Komisi   III   DPR   RI   kemudian   pada   24   Maret menyelenggarakan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan sejumlah  organisasi  masyarakat  dan  organisasi  advokat.  Setelahnya, sepanjang 24-27 Maret 2025, bergulir berbagai narasi yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, yang mengklaim bahwa banyak materi progresif dalam RUU KUHAP.

Sebelumnya  pada 20 Maret 2025, Ketua Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa RUU KUHAP memuat lima materi yang disebut progresif, yaitu CCTV di tempat penahanan, pengaturan tentang hak kelompok rentan, penguatan advokat, perbaikan syarat penahanan, hingga kebaruan pengaturan tentang keadilan restoratif. Namun sayangnya, dalam rilis pers yang kami sampaikan 21 Maret 2025, kami membuktikan bahwa klaim materi progresif tersebut tak sepenuhnya tepat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan dan belum menjawab akar masalah dalam praktik sehari-hari KUHAP saat ini (UU No. 8/1981) yang tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepentingan hak-hak warga negara.

Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang,  sehingga  paling  lama  akan  disahkan  sekitar  Oktober-November  2025. Padahal RUU KUHAP secara keseluruhan memuat sebanyak 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan. Bila tidak dibenahi dan dibahas secara hati-hati dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang langsung terdampak, maka RUU KUHAP yang dihasilkan malah justru akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang tersistematisasi dalam proses peradilan pidana.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat sembilan masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP, yaitu:

  1. Kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel, perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada Penuntut Umum atau Hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik;
  2. Mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat, harus ada jaminan bahwa  seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan;
  3. Pembaruan   pengaturan   standar   pelaksanaan   penangkapan,   penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus  dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjutnya perlu penahanan;
  4. Prinsip    keberimbangan    dalam    proses    peradilan    pidana    antara    negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi, harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua   berkas/dokumen   peradilan   dan   bukti-bukti   memberatkan,   perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan  hukum  tanpa  pembatasan-pembatasan,  hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
  5. Akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery), perlu  ada  pembatasan  jenis-jenis  tindak  pidana  pidana  yang  dapat  diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana;
  6. Sistem hukum pembuktian, perlu definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti, memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis/bentuk bukti, serta harus ada jaminan “alasan yang cukup” secara spesifik pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya;
  7. Batasan pengaturan tentang sidang elektronik, perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan  yang  bias,  keliru,  dan merugikan para pihak dalam persidangan, serta jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik termasuk   keluarga   korban   maupun   terdakwa   untuk   berada   dalam   platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya pemeriksaan;
  8. Akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep  restorative  justice  yang  saat  ini  hanya  dipahami  sebagai  penghentian perkara, jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan, saat fakta tindak pidana sudah disepakati pada pihak, akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman/pemerasan;
  9. Penguatan  hak-hak  tersangka/terdakwa,  saksi,  dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban, jaminan adanya pasal-pasal operasional  agar  hak-hak  hak-hak  tersangka/terdakwa, saksi, dan korban dapat diakses secara efektif dalam praktik termasuk pihak-pihak yang dibebani kewajiban pemenuhan hak, mekanisme untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak-hak hingga konsekuensi-konsekuensi jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar.

Jakarta, 28 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  3. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  4. PBHI Nasional
  5. KontraS
  6. AJI Indonesia
  7. AJI Jakarta
  8. Aksi Keadilan
  9. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  10. Koalisi Reformasi Kepolisian
  11. 1 Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  12. LBH Masyarakat
  13. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  15. Imparsial
  16. Perhimpunan Jiwa Sehat
  17. LBH APIK Jakarta
  18. Themis Indonesia
  19. PIL-Net
  20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

Uraian masing-masing masalah diatas serta rujukan rumusan pasal masalah dalam RUU KUHAP di atas dijabarkan secara mendalam pada dokumen berikut.

Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP