Skip to content

Month: December 2015

Seruan Terbuka: Kekerasan Terhadap Penggiat Bantuan Hukum

Jakarta, 28 Juli 2009

 

Kepada Yth.
Kepala Kepolisian Resort Jakarta Utara
Di tempat

Perihal: Kekerasan Terhadap Penggiat Bantuan Hukum

 

Dengan hormat,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat telah menerima informasi dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengenai penahanan terhadap Tommy Albert Tobing (Pengacara Publik) dan M. Haris Barkah (Assisten Pengacara Publik)  LBH Jakarta, penahanan saksi yang masih berusia di bawah umur, kekerasan terhadap Asfinawati (Direktur), Nurkholis Hidayat dan Kiagus Ahmad BS (para pengacara publik) yang keseluruhannya diduga dilakukan oleh oleh aparat dan pimpinan Polres Jakarta Utara. Waktu kejadian tersebut terjadi pada hari Senin, 27 Juli 2009 sampai Selasa, 28 Juli 2009, bertempat di kantor Kepolisian Resort Jakarta Utara.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat memahami bahwa telah terjadi pelanggaran hak atas peradilan yang jujur (fair trial) dan juga serangan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia (human rights defender).

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menilai bahwa penahanan saksi yang masih di bawah umur adalah bentuk pelanggaran terhadap Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesian dan juga Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengusiran secara paksa terhadap para pembela bantuan hukum yang hendak memberikan  pendampingan dan bantuan hukum nyata-nyata juga merupakan pelanggaran terhadap hak setiap orang atas bantuan hukum.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat lebih jauh menilai bahwa kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Jakarta Utara terhadap Tommy Albert Tobing dan Haris Barkah, serta kekerasan terhadap Asfinawati dan pengacara publik lainnya adalah bentuk serangan dan ancaman terhadap eksistensi pekerja bantuan hukum dan pembela hak asasi manusia di Indonesia. Singkat kata, serangan terhadap pembela hak asasi manusia adalah serangan terhadap hak asasi manusia itu sendiri.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan tindak kekerasan yang terjadi dalam proses hukum mengingat Kepolisian Republik Indonesia baru saja menerbitkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi standard dan prinsip-prinsip HAM dalam pelasanaan tugas Kepolisian Republik Indonesia.

Berangkat dari uraian yang disebut di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mendesak Kepolisian Resort Jakarta Utara untuk segera membebaskan pengacara publik LBH Jakarta yang ditahan tanpa dasar yang jelas dan menindak tegas para pelaku kekerasan.

Demikian Seruan Terbuka ini kami sampaikan.

 

Hormat kami,

Dewan Pengurus

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M.
Ketua

Syarat Nikah Bebas HIV/AIDS: Melenggangkan Stigma terhadap ODHA

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH) Masyarakat mengecam keras rencana Wakil Gubernur Bengkulu yang didukung oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Bengkulu untuk memasukkan ketentuan bebas HIV/AIDS sebagai syarat pra-nikah. Langkah tersebut justru terlalu berlebihan dan tidak proporsional dalam upaya pencegahan HIV/AIDS.

Merebaknya HIV/AIDS di Indonesia memang mengkhawatirkan dan merupakan persoalan yang harus segera diatasi. Namun, resolusi untuk persoalan tersebut harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) universal. Perwujudan HAM adalah kunci utama untuk dapat mengurangi permasalahan yang menyelimuti HIV/AIDS.

Sudah terlalu banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami stigmatisasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM seperti penyiksaan, pembatasan hak atas kesehatan dan hak atas pekerjaan serta pengabaian hak atas persamaan di hadapan hukum dan lain sebagainya. Memasukkan bebas HIV/AIDS sebagai salah satu persyaratan untuk dapat melangsungkan pernikahan jelas bukanlah jawaban untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS. Sebaliknya, syarat semacam itu justru semakin menegaskan bahwa negara tidak menghormati HAM orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

Pencegahan HIV /AIDS seharusnya dilakukan dengan cara yang tepat sasaran, bukannya justru memerangi manusianya. Memasukkan ketentuan bebas HIV/AIDS sebagai syarat nikah malah menutup ruang gerak ODHA untuk mengembangkan hidupnya dan meminggirkan mereka dari masyarakat hanya karena status HIV/AIDS-nya.

LBH Masyarakat memandang bahwa upaya pencegahan HIV/AIDS tetap dapat dilakukan dalam kerangka HAM seperti di bawah ini:

  1. Memastikan program nasional HIV/AIDS terdapat langkah-langkah untuk melawan stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap ODHA dan orang-orang yang berpotensi terinfeksi HIV/AIDS;
  2. Memastikan kaum muda mendapatkan akses penuh terhadap segala informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan seksualitas;
  3. Melakukan pemberdayaan hukum terhadap ODHA sehingga mereka mengetahui hak-hak hukum mereka;
  4. Melakukan reformasi institusi lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk mengurangi jumlah narapidana yang telah melebihi kapasitas yang ada (overcrowded), menciptakan kondisi yang higienis di dalam lapas dan untuk mengurangi tingkat kerentanan penyebaran HIV/AIDS;
  5. Menghapus hambatan-hambatan hukum maupun hambatan yang sifatnya non-hukum terhadap upaya pencegahan dan perawatan HIV/AIDS;.
  6. Membuka ruang pengaduan yang efektif bagi para pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya yang rentan HIV/AIDS yang kerap mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan;

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Bengkulu dan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menghentikan segala langkah-langkah yang menjadikan kriteria bebas HIV/AIDS sebagai salah satu syarat pranikah. Upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS tidaklah boleh mengorbankan hak asasi setiap orang tanpa terkecuali termasuk orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

 

Jakarta, 10 Juni 2009

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Deklarasi Solidaritas Melawan Korupsi

Kami generasi muda Indonesia, mahasiswa dan mahasiswi dari Fakultas Hukum berbagai Universitas di Jakarta yang tergabung dalam kegiatan Summer Internship di LBH Masyarakat, merasa prihatin dan jijik dengan kondisi korupsi yang semakin merajalela di Republik ini.

Kami cemas apabila persoalan korupsi saat ini belum berhasil diatasi, maka hanya akan membebani generasi kami di masa yang akan datang.

Kami memahami bahwa KORUPSI adalah kejahatan luar biasa. Sehingga, dalam pencegahan dan penanggulangannya membutuhkan upaya yang extraordinary juga. KORUPSI juga adalah penyakit akut dan kronis yang telah menggerogoti Bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi sudah tepat.

Kini, kami memperhatikan dengan seksama adanya upaya-upaya yang ingin melemahkan KPK.

Kami juga mencermati dan merasakan adanya serangan-serangan dari para koruptor dan kroni-kroninya terhadap KPK.

Kami juga menyadari adanya friksi antara KPK dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugas dan kewenangan untuk memberantas KORUPSI.

Kami khawatir apabila KPK dikerdilkan dan koruptor memenangkan pertarungan ini, upaya pemberantasan KORUPSI yang dilakukan secara gemilang oleh KPK selama ini akan menjadi sia-sia.

Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, dengan ini kami menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kami sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK dengan tetap berada di dalam koridor hukum dan sesuai dengan norma-norma Hak Asasi Manusia.
  2. Menolak dengan tegas segala upaya untuk melemahkan KPK.
  3. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak goyah dan tetap berada di belakang KPK untuk melawan para koruptor yang telah merugikan negara ini.

SIAPAPUN ANDA, BAGAIMANAPUN ANDA,
SEPANJANG ANDA BERSUNGGUH-SUNGGUH MELAWAN KORUPSI,
KAMI BERSAMA ANDA!

GO KPK, GO!
WE’RE TOGETHER WITH YOU!

 

Jakarta,  24 Juli 2009

 

Ajeng Larasati
Andy Wiyanto
Answer Styannes
Antonius Badar
Christine Tambunan
Fery Syahputra
Kiki Santoso
Pebri Rosmalina
Ricky Gunawan
Yura Pratama

Mencari Kebenaran di Sisa-sisa Harapan: Pers Rilis LBH Masyarakat Dalam Rangka Sebelas Tahun Tragedi Mei 1998

Mei sebelas tahun lalu akan selalu menjadi catatan kelam dalam sejarah modern Indonesia. Penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian menjalar pada peristiwa pembakaran Jakarta dan kota besar lainnya telah mengguncang akal sehat kita.

Tragedi yang tidak mungkin dapat diungkap dengan rangkaian kata yang kemudian kita kenal dengan Tragedi Mei 1998 itu meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Pengungkapan kebenaran, penghukuman pelaku, dan pemberian reparasi bagi korban dan keluarga korban adalah pra-kondisi yang harus dipenuhi oleh Negara guna memastikan bahwa luka tersebut terpulihkan.

Kejahatan yang terjadi bukan hanya merenggut nyawa ratusan bahkan ribuan anak bangsa tetapi juga meluruhkan hakikat kemanusiaan kita semua. Kebenaran di balik peristiwa tersebut masih terus menghantui kita, dan membuat langkah kita untuk bergerak ke depan semakin berat. Hingga kini, tidak ada pelaku kejahatan yang telah dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan hukum secara adil. Ironisnya lagi, para pelaku yang diduga terlibat dalam kejahatan tersebut kini tengah melakukan sirkus politik, mengejar kursi nomor satu di republik ini.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai bahwa kegagalan Negara dalam menghukum si pelaku adalah indikasi kuat bahwa mereka yang dekat dengan tampuk kekuasaan akan tetap tak tersentuh hukum. Rule by the  few, bukan rule of law.

Dalam proses elektoral yang baru saja dilaksanakan, beberapa partai yang diduga erat memiliki hubungan dengan pelaku kejahatan ternyata meraih suara yang cukup berarti. Fenomena ini menggambarkan betapa sebagian besar publik telah lupa akan tragedi kemanusiaan tersebut. Publik sepertinya terpikat dengan tawaran perubahan yang mereka usung, tidak peduli bahwa di tangan mereka masih berlumuran noda darah anak bangsa. Keberpihakan kepada pelaku mengirim sinyal kuat bahwa rakyat Indonesia memaafkan mereka dan seakan tidak masalah bila mereka memimpin Indonesia.

LBH Masyarakat memandang bahwa Negara harus menunjukkan taji hukumnya jika tidak ingin Indonesia dikungkung terus dengan hawa impunitas. Para pemimpin bangsa harus berani menyingkap kebenaran di balik Tragedi Mei 1998, karena hanya dengan pengungkapan kebenaran itulah, rakyat mengetahui persis apa, siapa, dan bagaimana kejadian pilu tersebut terjadi.

Sepahit apapun kenyataan yang terjadi adalah sebuah harga mahal yang harus dibayar. Karena dengan demikian, rakyat yang kini tidak peduli menjadi tahu bagaimana para pelaku memainkan perannya. Rakyat tahu bagaimana sebuah kejahatan kemanusiaan dirancang dan dilakukan dengan rapih. Rakyat juga menjadi paham bagaimana para aktor intelektual kejahatan tersebut secara mahir menyebarkan virus amnesia kepada publik.

Dengan pengungkapan kebenaran, rakyat sudah bisa merasakan gejala-gejala terulangnya peristiwa kelabu itu di masa mendatang, menyelamatkan generasi masa depan Indonesia. Sehingga rakyat akan berani melawan lupa dan dengan lantang menyerukan jangan pernah lagi ada kejahatan kemanusiaan serupa. Sepedih apapun fakta yang harus diungkap adalah kunci bagi bangsa ini untuk memasuki ruang yang lebih beradab, yang lebih menghormati hakikat manusia.

LBH Masyarakat mendesak kepada Pemerintah untuk segera menyeret pelaku yang sebenarnya ke pengadilan dan mendesak kepada seluruh calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden 2009 agar dengan jiwa ksatria membuka tabir Tragedi Mei yang sesungguhnya. Permintaan maaf secara terbuka (public apology) harus pula disampaikan oleh para pemimpin bangsa, termasuk juga mengakui kesalahannya dan menyatakan bersedia bertanggungjawab untuk itu.

Di waktu yang sedikit tersisa menuju pemilihan presiden, harapan penegakan HAM itu masih ada. Rakyat Indonesia akan menentukan arah masa depan bangsa ini. Larut dalam lupa dan terjerumus dalam rezim represif yang mengekang kodrati kita yang paling hakiki, atau melawan lupa demi terwujudnya negara demokratis yang menghormati hak asasi manusia dengan mengungkap kebenaran pelanggaran HAM dan menghukum pelaku serta memulihkan hak korban.

 

Jakarta, 13 Mei 2009

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Legalisasi Pembunuhan Atas Nama Keadilan: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat atas Vonis Mati terhadap Very Idham Henyansyah alias Ryan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras tindak pidana pembunuhan berencana yang disertai mutilasi yang dilakukan oleh Very Idham Heryansyah alias Ryan. Pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ryan sungguh mengerikan dan tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia. Namun, LBH Masyarakat menyayangkan penggunaan hukuman mati sebagai jawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh Ryan. Kengerian tindak pidana yang dilakukan oleh Ryan tidak dapat dijawab dengan kengerian lainnya yaitu hukuman mati. Sekejam apapun tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana, penghukuman hendaknya tetap memanusiakannya dan mengarah kepada kemanusiaan yang lebih beradab.

LBH Masyarakat menentang keras penggunaan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan dan jawaban atas penyelesaian kasus-kasus hukum termasuk juga dalam hal tindak pidana pidana pembunuhan berencana. Kami memandang bahwa:

  1. Pertama, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup setiap manusia yang merupakan hak yang inheren melekat pada diri setiap manusia dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga, sebagaimana diakui dalam Konstitusi Indonesia serta beragam aturan hukum internasional.
  2. Kedua, hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejam karena hukuman tersebut sampai-sampai mencabut nyawa manusia, dan proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman mati tersebut menempatkan terpidana dalam suasana ketidakpastian sehingga menambah kekejaman dari sebuah hukuman mati. Tidak manusiawi karena hukuman mati adalah bentuk pengingkaran kemanusiaan yang hakikatnya adalah kehidupan. Merendahkan martabat manusia karena hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat yang dimiliki terpidana, dan ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.
  3. Ketiga, setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Pidana terberat yang kami ajukan sebagai alternatif solusi pemidanaan adalah penjara seumur hidup tanpa remisi (life imprisonment without parole). Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.
  4. Keempat, data dan fakta menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan karena sesungguhnya banyak faktor yang memberikan kontribusi atas tinggi rendahnya kejahatan. Sebaliknya, bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang adil dan transparan.

Penolakan kami terhadap penggunaan hukuman mati terhadap Ryan bukan berarti kami mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Kami memahami betul artinya rasa kehilangan orang yang dicintai, namun haruskah nyawa yang hilang dibalas dengan menghilangkan nyawa pelaku? Ketika kita mengutuk keras tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh? Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong agar kita semua selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Keadilan menurut kami bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai kita melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap kita.

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental dari seluruh hak asasi manusia. Hak asasi ini berlaku bagi semua manusia, sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia yaitu kesetaraan. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, dan juga berlaku bagi manusia yang melakukan kejahatan, tanpa terkecuali.

 

Jakarta, 7 April 2009

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Menciptakan Martabat dan Keadilan untuk Semua: 60 Tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di Indonesia

10 Desember enam puluh tahun yang lalu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi ini dilahirkan dari pemikiran yang visioner dari sejumlah tokoh pejuang kemanusiaan. Pemikiran ini dilandasi dengan mimpi akan terciptanya masa depan peradaban kemanusiaan yang lebih baik, mengingat pada saat itu peradaban manusia di dunia ini berada di tengah tragedi kemanusiaan yang keji (perang dunia). DUHAM membawa satu pesan harapan bahwa manusia haruslah memanusiakan sesama manusia.

DUHAM mengakui sebuah prinsip utama bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama yang tidak dapat dicabut dari seluruh umat manusia adalah fondasi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. DUHAM memberikan satu pijakan dasar dari seluruh hak asasi yang terkandung, bukan hanya tercatat, dalam Deklarasi tersebut yakni: Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

Berangkat dari pijakan dasar tersebut kemudian lahirlah sejumlah hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi tersebut. DUHAM tidak berdiam diri menjadi satu norma yang hanya menjadi standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, tetapi lebih dari itu, ia menjelma menjadi beragam kovenan internasional, konvensi, dan segala bentuk aturan hukum internasional. Deretan hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi pun menggema ke berbagai Konstitusi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia menuangkan sejumlah hak asasi manusia di dalam Konstitusinya, termasuk juga meratifikasi sejumlah kovenan internasional dan konvensi HAM. Tetapi apakah semua aturan ini, yang merupakan bentuk nyata pengakuan terhadap martabat dan keadilan bagi semua manusia, memberikan kontribusi yang positif bagi pemajuan hak asasi manusia di dunia? Lebih khusus lagi di Indonesia?

Sepanjang 60 tahun usia Deklarasi, Indonesia telah menjadi saksi bagaimana manusia Indonesia memangsa manusia Indonesia lainnya. Pelanggaran HAM demi pelanggaran HAM terus terjadi hingga kini. Mulai dari pembantaian 1965 hingga kasus Lumpur Lapindo, tragedi Tanjung Priok hingga tragedi Trisakti-Semanggi I-II, pembunuhan ekstra-yudisial, penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, penghilangan paksa, hukuman mati, penggunaan kekerasan untuk menjawab kebebasan beragama, penggusuran paksa hingga pengingkaran hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu, dan masih banyak lagi. Semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi tersebut masih belum terjawab dan menyisakan iklim impunitas yang kental. Sepanjang 60 tahun ini, belum ada kontribusi positif bagi pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.

Tepat dengan 60 tahun peringatan DUHAM, Indonesia memasuki masa kampanye menjelang pemilu 2009. Kampanye bukan lagi merupakan ajang seorang kandidat untuk memperjuangkan gagasan dan cita-cita, tapi menjadi ajang untuk mempersolek diri di hadapan konstituen. Berbagai hal dijadikan sebagai kosmetik untuk mempercantik diri. Bahkan, salah satunya adalah Hak Asasi Manusia.

Sepanjang tahun 2008 hak asasi manusia menjadi seperti barang dagangan, komoditas politik bagi para aktor pemerintah, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kehadiran Panitia Khusus Orang Hilang di DPR, sepertinya lebih menjadi arena kampanye politik para anggota Dewan ketimbang menjawab esensi permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi. Di samping itu, alih-alih melindungi perempuan dan anak, DPR justru mengesahkan Undang-Undang Pornografi yang justru jatuhnya malah mengkriminalisasi perempuan, dan mengkhianati kebhinekaan Indonesia.

Peran yang harusnya diemban oleh para anggota DPR dan Pemerintah, sebagai legislator di Indonesia ternyata justru diabaikan. Hingga tahun ini Indonesia masih belum memiliki satu aturan hukum pun mengenai penghapusan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat-aparat negara dalam proses penegakan hukum. Hal ini membuat para korban penyiksaan tidak pernah mendapatkan pemulihan hak, dan para pelaku lepas tak terhukum. Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan yang dijadwalkan akan diratifikasi pada tahun ini ternyata masih belum terealisasi, menciptakan peluang pencegahan penyiksaan semakin kecil.

Sederet permasalahan hak asasi manusia tersebut terancam tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dan tidak akan diselesaikan secara tuntas dalam waktu dekat ini, mengingat 2009 akan menjadi tahun politik. Tahun dimana para wakil rakyat justru berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya seolah-olah mereka berpihak pada rakyat kecil dan berpihak pada kemanusiaan, padahal ini semua dilakukan demi mendapat kursi kekuasaan.

Sejalan dengan tema peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini yaitu “Martabat dan Keadilan Untuk Semua”, dan menyambut Pemilu 2009, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mendesak kalangan partai politik maupun pelaku politik lainnya untuk mendepankan kemanusiaan dalam menjalankan kekuasaan, demi mencapai keadilan untuk semua. DUHAM telah mencatat bahwa tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia. Tentu, kita semua tidak menghendaki adanya kebengisan dan kemarahan hati nurani manusia terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam kemanusiaan. Dan, saatnya sekarang untuk memulihkan kekelaman yang pernah terjadi dan mencegah kebengisan baru terjadi di masa yang akan datang.

LBH Masyarakat memandang bahwa mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan menyediakan pemulihan hak bagi para korban adalah kunci untuk melenyapkan impunitas di Indonesia. Pengadilan dan pertanggungjawaban dari para pelaku akan membuat setiap fakta dan kejadian akan terungkap secara gamblang dan transparan, serta menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menghindari kekejaman serupa di masa mendatang.

LBH Masyarakat lebih jauh lagi menilai bahwa partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan publik adalah faktor penting untuk menghindari adanya pelaksanaan kebijakan publik yang menimbulkan kerugian terhadap kemanusiaan. Jika korban penggusuran dapat diajak berdialog dan difasilitasi untuk mendapatkan solusi pasca penggusuran, tentu tidak akan terjadi penggusuran paksa yang menimbulkan jatuhnya korban. Jika suara masyarakat diperhatikan dalam proses legislasi dan para wakil rakyat tidak elitis, niscaya produk legislatif yang dihasilkan akan berpihak pada kemanusiaan.

 

Jakarta, 10 Desember 2008

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Ricky Gunawan

Direktur Program

 

Dhoho Ali Sastro

Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat dan Penanganan Kasus

 

Andri G. Wibisana

Direktur Penelitian dan Pengembangan

Rilis Pers Tim Advokasi Kali Adem: LBH Masyarakat, HuMa, & PBHI Jakarta

Pada tanggal 2 Desember 2008 silam, pihak Kelurahan Pluit mengeluarkan Seruan No. 280 tahun 2008 kepada komunitas nelayan Kali Adem, Muara Karang, Jakarta Utara. Seruan tersebut berisikan tentang larangan membangun tempat tinggal di atas saluran Kali Adem. Apabila dalam waktu 7×24 jam terhitung sejak Seruan tersebut dikeluarkan para penghuni Kali Adem tidak membongkar sendiri bangunan tempat tinggalnya, mereka akan digusur oleh Tim Terpadu Pemerintahan Wilayah Kecamatan Penjaringan Kota Administrasi Jakarta Utara. Artinya rencana penggusuran tersebut akan dilakukan di sekitar Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2008. Akankah penggusuran paksa terjadi kembali di Jakarta?

Penggusuran adalah pelanggaran terhadap hak atas perumahan, yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Penggusuran adalah pelanggaran atas Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesian melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005. Berdasarkan pasal 11 Kovenan Ekosob, Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Masih dalam pasal yang sama, Indonesia wajib mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Kelurahan Pluit akan melakukan penggusuran terhadap komunitas nelayan Kali Adem, yang telah mendiami bantaran Kali Adem, Muara Karang selama lebih dari 5 (lima) tahun.

Penggusuran tidak semata-semata pemindahan seseorang dari rumahnya, tetapi lebih jauh lagi, penggusuran adalah pencerabutan kehidupan (livelihood) seseorang. Komunitas nelayan ini tentu tidak akan mampu dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa mereka harus berpindah rumah ke daerah lain dimana di daerah yang baru tersebut mereka tidak dapat bekerja selain melaut. Apakah pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta c.q. Kelurahan Pluit sudah menyiapkan langkah mitigasi untuk memastikan bahwa penggusuran tidak akan mengakhiri hidup para nelayan tersebut?

Seperti yang sudah-sudah, penggusuran selalu menimbulkan korban dan kerugian karena pemerintah sendiri kesulitan untuk mengatur para korban pasca penggusuran. Berbeda dengan korban penggusuran lainnya, komunitas nelayan Kali Adem adalah komunitas yang relatif terorganisir mengingat mereka memiliki koperasi bersama yang dikelola secara swadaya bernama Mustika. Artinya, sesungguhnya, komunitas nelayan ini berpotensi untuk turut terlibat dalam pengambilan kebijakan publik yang dampaknya mereka rasakan juga. Dengan melibatkan mereka dalam dialog yang konstruktif untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan hilangnya kerugian akan jauh lebih baik daripada tetap memaksakan kehendak untuk melakukan penggusuran. Dengan tetap melaksanakan penggusuran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Kelurahan Pluit, tidak hanya melanggar hak asasi warganya, namun tetap mempertahankan wajah buruknya dalam memandang persoalan kelompok marjinal.

 

Jakarta, 9 Desember 2008

Tim Advokasi Kali Adem

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M. 

Dhoho Ali Sastro, S.H.

 

 

Hukuman Mati Bukan Solusi: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat atas Eksekusi Amrozi, dkk

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengutuk segala bentuk kekerasan dan kekejaman termasuk tindakan pengeboman di Kuta Bali 2002 lalu. Namun demikian, LBH Masyarakat menyayangkan putusan pemerintah Indonesia yang tetap melaksanakan eksekusi mati terhadap tiga orang terpidana Bom Bali I, Amrozi, Imam Samudera dan Ali Ghufron karena justru pemerintah telah mempertontonkan suatu tindakan kekerasan yang dibalas oleh kekerasan pula.

LBH Masyarakat menentang keras penggunaan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan dan jawaban atas penyelesaian kasus-kasus hukum termasuk juga dalam hal tindak pidana terorisme. Kami memandang bahwa pertama, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup setiap manusia yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga. Kedua, hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Hal tersebut tak lebih dari pembunuhan yang dilegalisasi yang dilakukan oleh negara atas nama keadilan. Ketiga, setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan. Keempat, data dan fakta menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan, sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang adil dan transparan.

Secara khusus dalam kasus ini, penggunaan hukuman mati justru menimbulkan inspirasi bagi beberapa kelompok untuk menempatkan Amrozi cs sebagai “pahlawan” dan seolah-olah memberikan legitimasi akan perbuatan Amrozi cs. Kenyataan menujukkan bahwa Amrozi cs tidak takut hukuman mati. Dan sebaliknya, pasca pelaksanaan eksekusi tersebut, justru muncul gelombang dukungan dari kalangan tertentu yang mendukung “perjuangan” Amrozi cs tersebut.

Penolakan kami terhadap penggunaan hukuman mati terhadap Amrozi cs bukan berarti kami mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Namun LBH Masyarakat lebih mendorong keadilan restoratif yakni memulihkan keadaan korban dan bukan melestarikan keadilan retributif yang didasarkan pada balas dendam. Ketika negara mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti negara mendorong agar bangsa ini selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Keadilan bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai kita melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap kita. Selama ini kita muak dengan segala tindakan kejam dan meminta pemerintah untuk membalas tindakan kejam tersebut dengan menerapkan hukuman mati. Tanpa kita sadari, penerapan hukuman mati ternyata hanya memperpanjang rantai kekerasan.

Jakarta, 10 November 2008

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M

Ketua Dewan Pengurus

 

 

Ricky Gunawan, S.H.

Direktur Program

Olgaphobia

Ia tetap senyap walau sekitar sungguh ribut. Tanpa suara ia melangkah pergi dengan yakin. Maka tenang sudah Olga Syahputra. Selamat beristirahat dari dunia yang teramat riuh ini. Mati. Ia meninggalkan kita semua dengan segala pikiran kita terhadap dirinya. Tak serela itu rupanya kita ditinggalkan olehnya. Ada yang melakukan selfie di pemakamannya. Ada yang mencuit memakinya di media sosial. Ada yang menulis dan berlelah mencoba merefleksikan relasi antara Olga Syahputra dan masyarakat. Walau jelas, tak semua dari kita mengenal Olga. Tak semua dari kita mengerti beban hidup yang dihadapinya. Tak semua dari kita mengetahui apa yang ia sukai untuk makan siang. Toh, kita tetap menghakimi.

Banyak dari kita tertawa terbahak-bahak saat ia ada di layar kaca. Terkekeh-kekeh melihat gayanya yang kemayu, merasa geli saat ia bercanda dengan kasar. Olga, dengan caranya –yang tentu saja tidak dapat disepakati semua orang-, berusaha keras membuat masyarakat sedikit melupakan perkara-perkara hidup yang menyebalkan. Dalam sebuah perspektif, hal itu amat mulia.

Di sekitar kita, sadar tak sadar, banyak orang seperti Olga. Berbeda. Mereka amat lembut dan berdandan seperti ibu-ibu sosialita di saat masyarakat berekspektasi bahwa mereka akan sangar dan tak peduli akan penampilan. Mereka berambut cepak dan dan tegas seperti seorang ayah yang konservatif di saat masyarakat berekspektasi bahwa mereka akan berambut panjang dan halus serta ceria layaknya model. Dua kalimat sebelum ini hanya dua contoh kecil akan manusia dan ekspresinya yang tidak bisa dan, sepatutnya, tak boleh dikekang.

Tulisan ini tak bertujuan untuk menguliahi pembaca tentang jender dan seksualitas. Penulis jauh dari kapasitas itu. Tulisan ini hanya ingin menyatakan bahwa keberagaman itu ada. Anda bisa saja sementara bersembunyi namun anda tak akan bisa selamanya berlari.

Mungkin memang ini semua soal ketidaktahuan. Ketidaktahuan yang sama telah membuat kita takut pada kegelapan dan gemetar saat bertemu calon mertua. Ketidaktahuan ini telah dengan keras membenturkan nilai-nilai yang selama ini kita pegang teguh dengan realita. Nilai-nilai itu bisa macam-macam: agama, doktrin, budaya, adat istiadat, dan sebagainya.  Argumentasi bahwa perilaku demikian tak sesuai dengan budaya nasional, sejatinya justru merupakan manifestasi dari ketidakpahaman terhadap budaya itu sendiri. Keberadaan akan jender ketiga di adat dan budaya nusantara cukup bertebaran dari lakon pewayangan hingga keberadaan lima jender dalam suku Bugis. Lalu, bukankah agama hadir dengan misi mulia membawa perdamaian, bukannya memusuhi sesama? Bukankah agama seharusnya mencerahkan, tidak memaksakan?

Olga, citranya, dan ekspresinya harus diakui amat beruntung. Ia mendapatkan apa yang Freddy Mercury dapatkan: perayaan. Orang terhibur olehnya dan menangisi kepergiannya. Di sisi lain, banyak saudara-saudara kita yang disisihkan dari keluarga, dikucilkan di sekolah, sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan dipukuli hingga mati oleh dan hanya karena ia adalah seorang manusia yang mengekspresikan dirinya sendiri tanpa mengganggu orang lain.

Bagaimana kita sanggup menyanyikan “We Are The Champions” yang dipopulerkan oleh Freddy Mercury bersama Queen, berbahagia menyaksikan Ellen DeGeneres, mendengarkan suara merdu Charice, mendendangkan lagu Elton John,  menggunakan berbagai laptop dan smartphone yang terinspirasi dari Enigma-nya Alan Turing, dan bersenang-senang melalui layar kaca karena Olga Syahputra; namun di saat yang sama tanpa ragu-ragu siap menjadi polisi moral dan mendiskriminasi sesama manusia yang punya ekspresi diri yang berbeda? Ekspektasi memang menyakiti, mencoba mengerti akan mengobati. Walau mungkin sepenuhnya tak akan memahami, toh kita tetap menghakimi.

 

Ditulis oleh Yohan Misero
Telah dimuat di Indonesiana pada 22 April 2015

Rodrigo Gularte: Sebuah Mimpi di Ujung Laras Panjang

Saat pemerintah tengah gencar menyatakan perang terhadap narkotika, mengambil langkah untuk tetap mengeksekusi terpidana mati di tengah riuh protes kepala-kepala negara yang warga negaranya menjadi terpidana mati, BNN dan Polri kembali berhasil membongkar peredaran gelap narkotika yang dikontrol dari dalam penjara oleh seorang TERPIDANA MATI. Hal tersebut tentu amat mencengangkan. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya menunggu kematian dan terkurung di balik tebalnya dinding penjara masih dapat mengendalikan peredaran gelap narkotika? Terkuaknya hal itu membuat banyak orang mengutuk si terpidana mati tersebut: betapa ia tak layak diberi pengampunan. Namun banyak dari kita lupa untuk juga melakukan kritisi terhadap pemerintah yang gagal mencegah terjadinya peristiwa ini. Ironis. Di tempat yang semestinya kejahatan dinihilkan, negara tak mampu mengendalikan tindakan seseorang yang penuh di bawah pengawasannya. Logika kita pun diusik. Mengapa kematian tak membuatnya takut untuk tidak melakukan tindak pidana? Apakah hukuman mati sia-sia belaka?

Terlepas dari pro & kontra hukuman mati, hujatan publik untuk surat terbuka Anggun C Sasmi, dan pelaksanaan eksekusi gelombang ke-2 di era Jokowi-JK, ada sebuah cerita yang luput dari perhatian kita dan media. Sebuah kisah mengenai Rodrigo Gularte, seorang penderita skizofrenia berkebangsaan Brazil yang merupakan salah seorang dari 10 terpidana mati yang dijadwalkan akan segera dieksekusi. Ketika berusia 10 tahun, Rodrigo divonis menderita kelainan otak cerebral disrythimia oleh Prof. Eresto Chicon, dokter di bidang neurologi dari Universitas Negeri Bagian Parana, Brazil. Penyakit ini membuat Rodrigo kehilangan kontrol diri dan kapasitas untuk mengambil keputusan sehingga ia tidak memikirkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkan dari perbuatannya. Setelah 14 tahun Rodrigo menjalani perawatan medis dan psikiatrik, dokter kembali menemukan gangguan lain dalam diri Rodrigo. Rodrigo mengidap bipolar affective dissorder yang diturunkan secara genetis dari kakek dan ibu Rodrigo. Kakak laki-laki dan kakak perempuannya pun mengidap penyakit kejiwaan.

Rodrigo berbeda. Ia tumbuh dan besar dengan kondisi gangguan psikiatrik yang menjadikannya objek risak (bullying) yg sempurna bagi teman-temannya. Namun demikian, Rodrigo tumbuh menjadi orang yang baik. Ia bersih, tanpa catatan kriminal. Di sisi lain, Rodrigo, dengan segala kondisinya yang amat rentan, menjadi sasaran empuk mafia peredaran gelap narkotika internasional. Seperti yang ditemukan pada banyak kasus kurir penyelundupan narkotika, mafia –dengan segala tipu dayanya- berhasil memanipulasi Rodrigo. Mereka mengajak Rodrigo berlibur ke Indonesia bersama dua orang lainnya. Tanpa sepengetahuan Rodrigo, papan seluncur yang dibawanya masuk ke Indonesia telah diisi sebelumnya dengan narkotika. Rodrigo tertangkap dan entah mengapa dua temannya dilepaskan. Rodrigo pasang badan, tampil bak pahlawan.

Telah genap 10 tahun Rodrigo mendekam di penjara, menanti eksekusi. Dia mulai lancar berbahasa indonesia, meski terbata-terbata dan terkadang masih sulit menemukan kata yang tepat untuk digunakan. Dia bercerita pada tim pengacara bahwa hukuman mati akan segera dihapuskan. Dia merasa mendengar siaran di radio yang mengabarkan bahwa kerajaan akan segera menghapus hukuman mati. Menurutnya, eksekusi mati yang digadang-gadang akan dilaksanakan dalam waktu dekat hanyalah bohong belaka. Baginya, hal itu dilakukan “raja” untuk menakut-nakuti rakyat. Ia merasa kedamaian akan segera datang dan seluruh rakyat, yang digambarkannya bertubuh aneh dengan kepala sebesar kubah masjid, akan menyambut gembira kabar tersebut. Tim pengacara tak bisa berbuat apa-apa untuk meyakinkan Rodrigo bahwa itu hanyalah halusinasi saja. Bagaimana mungkin Indonesia adalah sebuah kerajaan? Bagaimana mungkin seorang manusia berkepala besar, berdada kecil, dengan perut besar dan kaki yang kecil? Lalu yang terpenting, bagaimana mungkin hukuman mati di Indonesia dihapuskan ketika negara kita mengesampingkan hak hidup sebagai hak asasi?

Ini bukan sebuah drama. Ini adalah fakta yang dikesampingkan oleh pengadilan: bahwa seorang penderita skizofrenia yang seharusnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, justru kini harus menghadapi eksekusi mati. Kejaksaan Agung mengakui bahwa orang yang sakit jiwa tidak dapat dipidana apalagi dihukum mati. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung mencari second opinion mengenai kondisi kesehatan jiwa Rodrigo. Sebuah second opinion yang teramat penting bagi nyawa seorang manusia, yang –entah mengapa- hingga hari ini tidak juga dirilis. Dalam kekhawatiran yang menyakitkan, keluarga Rodrigo menanti second opinion tersebut.

Lalu, dimana kita? Apakah kita akan berdiri membela Rodrigo Gularte, atau justru diam dan membiarkan peluru menembus dadanya? Padahal, di saat yang sama kita tahu benar bahwa sistem peradilan kita korup, dipenuhi mafia, administrasinya berantakan, dan sungguh masih jauh dari ideal. Kemudian di saat yang sama pula, Rodrigo Gularte, di sebuah pulau terasing, menanti kematiannya. Kematian yang ia percaya tak akan datang dengan senapan karena sang “raja” akan segera menghapuskan hukuman mati, agar rakyat: bergembira.

Infografis oleh: Astried Permata

 

Ditulis oleh Naila Rizki Zaqiah, staf penanganan kasus di LBH Masyarakat, dan sedikit dibantu oleh Albert Wirya, staf riset di lembaga yang sama. Anda dapat mengenal Albert lebih dalam dengan mengunjunginya di facebook maupun di blognya yang luar biasa: https://pelurukosong.wordpress.com. Tulisan ini diunggah di sini dengan persetujuan Naila (yang amat disayangkan tidak memiliki blog) & Albert serta sedikit dihias oleh Yohan Misero, sang pemilik akun, yang bisa dikunjungi di http://sembunyimu.blogspot.com/ atau diikuti di https://twitter.com/yohanmisero.

 

Tulisan ini pernah dimuat di Indonesiana pada 24 April 2015