Skip to content

Month: December 2015

Selama Tahun 2009, Tiga Pilar Penegak Hukum Jeblok

Tiga pilar penegak hukum yang terdiri dari Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri mendapat penilaian jeblok.

Demikian Evaluasi Akhir Tahun Penegakan Hukum yang disampaikan LBH Masyarakat. Menurut Direktur Program LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, dalam jumpa pers di Kantor LBH Masyarakat, kawasan Tebet, Jakarta (Minggu, 27/12), ketiga pilar penegak hukum tersebut sangat rapuh.

“Rapuh dalam hal integritas, akuntabilitas, dan transparansi. Atau yang biasa disebut dengan reformasi hukum. Ketiganya terjebak dalam logika berpikir prosedur hukum tanpa menghayati rasa keadilan masyarakat. Mengedepankan faktor segera selesai dengan prosedur hukum ketimbang aspek keadilan. Ini mengindikasikan runtuhnya prinsip negara hukum. Kami menilai faktor terjadinya runtuhnya prinsip hukum karena keadilan dijual belikan. Siapa yang dekat dengan kekuasaan dan pengambil kebijakan. Indonesia rawan tidak adanya penegakkan hukum,” kata Ricky.

Sementara itu, menurut Ricky, indeks prestasi tertinggi diraih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Sementara Presiden RI, kata Ricky, masuk peringkat lima dalam hal penegakan hukum. Meski memiliki kepecayaan publik, lanjut Ricky, SBY tidak transparan dengan akuntabilitas sangat rendah. (yan)

 

Sumber: Rakyat Merdeka

Jakarta, 27 Desember 2009

Evaluasi Akhir Tahun LBH Masyarakat: MA, Kejaksaan dan Polri Buruk Dalam Penegakan Hukum

Tiga lembaga hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Polri dinilai kurang berkomitmen dalam penegakan hukum dan reformasi hukum.

Demikian evaluasi akhir tahun penegakan hukum oleh LBH Masyarakat.

Direktur Program LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengatakan, dengan rapuhnya 3 pilar penegakan hukum itu mengidentifikasi runtuhnya prinsip-prinsip negara hukum, di mana ketika ketiga lembaga hukum itu dinilai rendah dalam hal integritas, akuntabilitas dan transparansi.

Ricky menambahkan faktor rumtuhnya prinsip hukum adalah karena keadilan hukum sudah dibeli atas nama profesi hukum, dan jika dibiarkan maka dikhawatirkan akan tiadanya penegakan HAM.

Sementara berdasarkan peringkat penegakan hukum oleh LBH Masyarakat, lembaga pertama yang dinilai memiliki komitmen adalah KPK, Komnas HAM, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Sementara presiden RI diurutan ke lima karena keunggulan kepercayaan publik namun memiliki kelemahan soal tranparansi dan akutabilitas. (sik)

 

Sumber: Elshinta

Jakarta, 27 Desember 2009

Polri Persilahkan Praperadilan SP3 Lapindo

Tim advokasi korban lumpur Lapindo tengah menjajaki kemungkinan mengajukan praperadilan terhadap SP3. Cuma, ada nada keraguan atas sistem peradilan. Praperadilan atas SP3 nyaris selalu kandas.

Penghentian penyidikan kasus lumpur Lapindo oleh Polda Jawa Timur menimbulkan reaksi keras sejumlah kalangan yang tergabung dalam Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo (GMKKLL). Tudingan skandal dan konspirasi dialamatkan ke kepolisian dan kejaksaan, mengingat penyidikan kasus lumpur Lapindo sudah mengendap sampai tiga tahun.

Kepolisian berdalih harus mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena kejaksaan tidak pernah mau menerima berkas penyidikan. Sikap Kejaksaan yang terus mengembalikan berkas membuat posisi kepolisian dilematis. Menurut Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Sukarna, hanya ada dua alternatif tindakan kepolisian, yakni dipaksakan untuk diteruskan atau dihentikan. “Kan ada dua alternatif, kita teruskan dengan paksa atau dihentikan”.

Kepolisian memutuskan memilih untuk menghentikan penyidik kasus Lapindo. Pilihan itu tentu saja bukan tanpa resiko. Besar kemungkinan digugat masyarakat –baik lewat praperadilan. Nanan tak menampik kemungkinan itu. Kepolisian, kata Nanan, mempersilahkan masyarakat yang ingin mempersoalkan SP3 yang diterbitkan Polda Jawa Timur. Upaya itu malah bisa memberikan kepastian hukum. “Silahkan saja. Supaya ada kepastian hukum, bawa ke pengadilan, kemudian (pengadilan) tentukan ini harus diteruskan. Nah, kan malah bagus. Supaya ada yang ‘memaksa’ untuk meneruskan penyidikan,” ujarnya.

Sejauh ini belum diketahui pasti apakah gugatan praperadilan telah masuk ke panitera pengadilan. GMKKLL yang mengadvokasi korban lumpur Lapindo masih melakukan diskusi terkait dengan pengajuan praperadilan ini. Gerakan ini belum mendapatkan berkas SP3. Selain itu, tersirat perasaan ragu atas sistem dan kualitas pengadilan di Indonesia. Berdasarkan pengalaman selama ini pengadilan sangat mengedepankan bukti-bukti formil dalam pemeriksaan praperadilan.

Direktur LBH Masyarakat, lembaga yang ikut dalam GMKLL, Taufik Basari mempertanyakan apakah ada kemauan dan keseriusan pengadilan untuk membongkar dugaan skandal dan konspirasi dalam penghentian penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur ini. “Itu yang masih menjadi keraguan. Saat ini, kami masih akan membahas dan melakukan penilaian terkait itu. Sejauh mana kita bisa menyandarkan diri pada proses praperadilan yang pasti punya keterbatasan-keterbatasan, ketika kita sorongkan hal-hal yang dapat membongkar adanya dugaan skandal dan konspirasi,” terang laki-laki yang akrab disapa Tobas ini.

GMKKLL juga diketahui tengah melakukan kajian atas peluang untuk mendesak kembali kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan meninjau ulang SP3 yang dikeluarkan Polda Jawa Timur. “Apakah masih ada peluang untuk kita mendesak polisi dan kejaksaan untuk meninjau ulang SP3, meskipun sudah pernah kita lakukan. Apakah masih ada tersisa iktikad baik dari polisi dan kejaksaan untuk benar-benar mau meninjau SP3, apabila ditunjukan oleh masyarakat bahwa SP3 ini mencurigakan,” kata Tobas.

Tobas berharap Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji melakukan tindakan dengan melakukan pemeriksaan internal untuk menelusuri latar belakang keluarnya SP3. “Ini adalah tantangan ke Kapolri dan Jaksa Agung. Kalau mereka tidak ingin dicurigai ada skandal ya mereka harus melakukan sesuatu. Jadi, sekarang pembuktiannya ada di Kapolri dan Jaksa Agung untuk menunjukan independensi kepolisian dan kejaksaan”.

Tak Digubris

Dugaan skandal dan konspirasi yang terlontar dari GMKKLL bukan tidak berdasar. Tobas mengatakan pihaknya menemukan beberapa indikasi yang mencurigakan. Pertama, dapat dilihat dari lambannya peyidikan terhadap kasus lumpur Lapindo ini. Kemudian, konstruksi yang dibangun kepolisian selama ini justru terkesan dibuat untuk melindungi Lapindo Brantas. Harusnya, kata Tobas, penyidikan yang dilakukan kepolisian itu diarahkan kepada bagaimana penyidik mengumpulkan bukti-bukti yang memperkuat penyidikan. Dimana, nanti juga akan memperkuat penuntutan.

Namun, Tobas melihat bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan kepolisian malah dikonstruksikan sedemikian rupa untuk mencegah agar kasus lumpur Lapindo ini tidak sampai ke pengadilan. “Apa tanda-tandanya? Polisi ini menerima begitu saja, ditelan bulat-bulat, seluruh ahli-ahli yang disodorkan oleh Lapindo Brantas (yang menyatakan semburan lumpur akibat bencana alam). Padahal, terdapat begitu banyak ahli yang bisa menunjukan bahwa semburan lumpur ini dipicu oleh kegiatan pengeboran”.

Dugaan ini begitu nyata, ketika Tobas bersama tim menemui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Abdul Hakim Ritonga pada pertengahan 2008 lalu. Dari dua belas ahli yang diambil keterangannya oleh kepolisian, tiga diantaranya ternyata karyawan Lapindo Brantas sendiri. Kemudian, enam diantaranya adalah orang yang menjadi juru kampanye Lapindo Brantas di berbagai kesempatan yang digunakan untuk mengcounter segala hal yang menyudutkan Lapindo. Tobas menegaskan, harusnya kepolisian melihat track record ahli-ahli tersebut. Apakah mereka adalah ahli yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan.

Untuk itu, Tobas dan tim sudah pernah memfasilitasi kepolisian dan kejaksaan untuk mengambil keterangan-keterangan ahli dari luar negeri yang independen. Tapi, tetap tidak pernah digubris. Padahal, ahli-ahli itu telah secara khusus melakukan kajian terhadap peristiwa semburan lumpur Lapindo ini. Ada empat ahli yang sudah menyatakan kesedian untuk dimintai keterangan.

Pertama, Richard J Davies, ahli geologi yang kajiannya sudah ada dimana-mana. Kemudian, Michael Manga, ahli gempa bumi yang sudah memiliki perhitungan bahwa gempa di Yogyakarta berskala kecil dan jaraknya begitu jauh, sehingga tidak mungkin dapat menyebabkan semburan lumpur seperti itu. Ketiga, Martin Ngai, dari Adelaide, Australia. Dan terakhir Neil Adam, parktisi pengeboran yang di kalangan para ahli pengeboran sudah sangat diakui, karena berkali-kali berhasil mematikan semburan lumpur dan kecelakaan pengeboran di seluruh dunia.

Bukan hanya fasilitas ahli yang tidak digubris,. Dokumen rahasia Medco (salah satu pemilik saham Lapindo Brantas) pun tidak ditindaklanjuti kepolisian. Medco memang sempat menggunakan dua konsultan terkemuka, salah satunya Neil Adam, untuk meneliti penyebab semburan lumpur Lapindo.

Hasil kajian kedua konsultan itu mengindikasikan Lapindo tidak menggunakan chasing. Padahal, kata seorang sumber yang tahu dokumen itu, Medco sempat mengingatkan Lapindo untuk memakai chasing pada saat pengeboran. Dengan demikian, Tobas berpendapat, kepolisian harusnya membuktikan keaslian dokumen tersebut. “Yang paling berwenang untuk membuktikan apakah itu dokumen original atau tidak, ya hanya polisi. Harusnya ketika ada hal seperti ini, polisi bertindak degan memanggil Medco. Dan dengan menggunakan kewenangan dia bisa melakukan penyitaan,” pungkasnya.

Sayang, walau dokumen ini telah disampaikan ke kepolisian dan kejaksaan, tetap tidak ditindaklanjuti. “Polisi yang seharusnya melakukan penyitaan-penyitaan terhadap bukti-bukti penting tetapi tidak dilakukan. Malah tidak lama setelah itu (dokumen disampaikan), keluar SP3,” sesal Tobas. (Nov)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 22 Agustus 2009

SP3 Lapindo Bukti Skandal Hukum

Dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) kasus lumpur Lapindo oleh Polda Jawa Timur pada pekan lalu, menunjukkan bukti nyata adanya konspirasi dan dugaan skandal dalam proses penegakan hukum kasus lumpur Lapindo.

“Jadi memang aneh ketika pengumuman SP3 dikeluarkan, Polda Jatim beralasan kekurangan keterangan para ahli. Padahal itu tidak benar, justru mereka yang tidak mau mendengarkan keterangan para ahli,” kata Ketua Dewan Pengurus LBH Masyarakat Taufik Basari saat konferensi Pers \’Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo\’ di Kantor Walhi, Jalan Tegal Parang, Jakarta, Kamis (13/8/2009).

Taufik menemukan kecurigaan dikeluarkannya SP-3 bertepatan dengan keluarnya skandal dokumen rahasia milik PT Medco Energi yang secara jelas menunjukan temuan pengeboran dan kelalaian Lapindo Brantas sebagai penyebab utama semburan lumpur.

“Momentumnya tepat sekali saat ini terkuak sesuatu yang baru tapi polisi tidak mau menindaklanjuti. Dengan kewenangan SP-3, maka Polda Jawa Timur telah mencegah proses pidana tidak dilanjutkan,” imbuhnya.

Sebelumnya, Walhi mendapatkan temuan dokumen baru dari PT Medco Energi yang sifatnya rahasia, pada dokumen pertama menyebutkan bahwa PT Medco tidak mau bertanggung jawab atas kasus lapindo Brantas dan tiba-tiba ada temuan dari konsuler peneliti yang menyebutkan adanya pengeboran. Inilah yang seharusnya menjadi bukti temuan baru bagi pihak kepolisian untuk melakukan penelusuran penyelidikan dari kasus lapindo.

“Kami menyesalkan sikap polisi yang seharusnya bisa melakukan penelusuran dengan temuan baru, tapi justru di SP3 kan,” keluhnya. (hri)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 22 Agustus 2009

SP3 Kasus Lapindo Dimanfaatkan Minarak Tunda Ganti Rugi

Dampak keluarnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus lumpur Lapindo dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, kini mulai terindikasi penghindaran ganti rugi dari PT. Minarak Lapindo Brantas.

“Ini terjadi di lapangan, Minarak menunda pembayaran karena alasan keluar SP3,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maemunah dalam konferensi pers di kantor Wahanan Lingkungan HIdup (Walhi) Jakarta, Kamis (13/8)

Surat tersebut, kata Maemunah, ditengarai menjadi alat Minarak untuk menuntaskan pembayaran ganti rugi. Masalahnya, keluarnya surat putusan penghentian, tidak diikuti dengan kewajiban penuntasan ganti rugi oleh Minarak Lapindo.

Ketua Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengendus itikad buruk Minarak Lapindo ini sejak awal. “Tidak ada surat putusan saja seret, apalagi ada putusan yang mendukung mereka,” ucapnya dalam kesempatan yang sama

Presiden Komunikasi dan Sosial Lapindo Brantas Yuniwati Terryana menyebutkan, sudah ada 11.120 berkas dari 12.886 berkas yang sudah diproses, untuk pembayaran yang 20 persen. “Bahkan 3.400-nya sudah lunas, begitu pula dengan yang pembayaran 80 persen tetap dilakukan, meskipun dengan cara bertahap,” kata Yuniwati, Jumat
(7/8)

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Berry Nahdian Furqon mengkhawatirkan putusan ini jadi preseden buruk bagi kasus lingkungan hidup yang bersifat masif. “Terutama menyangkut korporasi yang bergerak di industri ekstraktif,” imbuhnya

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Taufik Basari menduga kepolisian Jawa timur berencana mencegah proses pidana dilanjutkan. “Polisi dan kejaksaan disetir oleh pemilik modal,” imbuhnya. Indikasi ini terlihat dari alasan penghentian yang mengada-ada seperti kurangnya saksi, ahli dan bukti. Padahal pihaknya sudah menawarkan penyedian kelengkapan tersebut, termasuk ahli independen dari luar negeri. “Tapi polisi tak melirik sedikit pun, tawaran kami,” ucapnya.

 
 

Ditulis oleh: Dianing Sari

Sumber: Tempo Interaktif

Jakarta, 13 Agustus 1009

Hak Asasi Pengguna Narkotika Kerap Dilanggar

Salah satu alasannya karena peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih menempatkan para pengguna narkoba sebagai pelaku kriminal. Bukan sebagai korban.

“Hendaknya pengguna NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) diterapkan dengan sistem layanan kesehatan. Bukan pemenjaraan. Ini harapan kita.” Harapan ini disampaikan oleh HM Aminullah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI dalam diskusi publik ’Mencari format Ideal Kebijakan Narkotika Indonesia yang Berperspektif Hak Asasi Manusia‘ di Jakarta, Kamis (30/7).

Aminullah menyatakan selama ini masih terdapat dualisme penanganan pecandu narkotika antara Depkes dan kepolisian. ”Polisi mengatakan menjalankan undang-undang, Menteri Kesehatan juga menjalankan undang-undang. Kalau ketemu polisi ya masuk penjara, Kalau ketemu sama (petugas) kesehatan ya masuk rumah sakit. Jadi masalahnya kucing-kucingan. Kita bikin pelayanan kesehatan juga, kalau masuk RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) nanti keluarnya takut ditangkap aparat di depan.”

Padahal menurut Aminullah, kecanduan narkoba adalah penyakit, dimana ada kerusakan dalam otak sehingga pecandunya harus menjalani terapi kesehatan karena sewaktu-waktu bisa kambuh. Kalau pun harus dipenjarakan, Aminullah meminta adanya pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan. Ia juga mengungkapkan fakta bahwa ketika pecandu dibina di dalam komunitas akan lebih mudah sembuh ketimbang di dalam lapas.

Vigrarose Nurmaya dari Yayasan Stigma –Yayasan yang anggotanya terdiri dari pecandu dan mantan pecandu- mengungkapkan fakta termasuk pengalamannya sendiri. ”Dari tahun 1995 sampai sekarang, proses penangkapan dan penahanan tidak pernah sesuai dengan prosedur. Tidak ada suratnya. Banyak sekali terjadi pelanggaran HAM. Teman NAPZA yang laki-laki dipukuli. Temen NAPZA perempuan mengalami kekerasan seksual sampai berujung ke pemerkosaan. Juga perampasan harta benda.”

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Taufik Basari, mengamini pernyataan Vigrarose. Menurutnya pendekatan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk masalah pecandu narkotika ini justru tidak memenuhi HAM. “Kebijakan publik yang bernapaskan HAM seperti yang paling penting mengakui manusia sebagai pemegang kekusaan tertinggi atas Hak Asasinya. Jadi sentralnya manusia bukan negara.”

Taufik menambahkan bahwa negara wajib membuat hukum untuk melindungi kebebasan dan kesetaraan manusia bukan malah untuk melindungi kepentingan negara itu sendiri. Oleh Karena itu peran serta negara dalam kebijakan publik harus melindungi HAM. Masalah kesetaraan ini sudah tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Universal HAM dan masalah nondiskriminasi tercantum dalam Pasal 2 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya.

Selain itu Taufik, juga meminta kebijakan UU Narkotika harus memberi ruang seluas-luasnya bagi kontrol masyarakat. Selain itu harus mengakomodir semua pihak termasuk pengguna NAPZA. ”Selama ini pengguna NAPZA jadi objek. Jadi mereka tidak didengarkan.”

Masalah lain adalah pengaturan batas waktu dalam UU Narkotika yang merupakan lex spesialis dari KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan dilakukan 1×24 jam dan bisa diperpanjang 2×24 jam. Sementara KUHAP hanya memperbolehkan 1×24 jam. Menurut Taufik hal ini bisa memberikan celah bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. ”Ini menjadi satu celah adanya tindak sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan barang tanpa prosedur hukum. Ini yang menjadi krusial.”

Revisi UU Narkotika

Di kesempatan yang sama, pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta yang juga Tim revisi UU Narkotika, Samuel Hutabarat, memberikan cacatan mengenai RUU yang sudah ada. Menurutnya hal pertama yang harus diubah adalah konsep penahanan tentang pemakai dan pengguna narkotika. Di dalam UU Narkotika, pengguna ditempatkan sebagai pelaku kriminal. “Kami sarankan, pemakai atau pengguna adalah korban. Korban dari proses peredaran narkotika itu tadi.”

Menurut Samuel, seorang pecandu baru bisa dikriminalisasi untuk kegiatan kriminal lain yang mereka lakukan. Misalnya kalau mereka mencuri barang untuk membeli narkoba.

Hal lain yang dia sarankan untuk diubah adalah kewajiban orang tua melaporkan anak mereka yang masih di bawah umur dan pemakai narkoba kepada pemerintah. Bagi orang tua yang tidak melapor, maka akan dikenai sanksi. Samuel sadar bahwa ketentuan ini bakal terbentur dengan budaya timur dimana pemakai narkoba dianggap aib keluarga. Kalau orang tua diwajibkan melapor sama saja dipaksa membuka aib keluarga. Samuel lebih sependapat bila orang tua diwajibkan membawa anaknya yang menjadi pencandu narkoba ke panti rehabilitasi.

Selain itu Samuel juga mengkritisi pasal 41 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang merumuskan, ‘Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/ atau perawatan.’

Samuel mengkritik bahwa ketentuan pasal itu hanya memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan pengobatan dan atau perawatan terhadap pengguna psikotropika. “Harusnya kata ‘dapat’ diganti menjadi sebuah kewajiban.”

Sejauh ini, kata Samuel, revisi UU Narkotika ini baru mencapai tahap diskusi di beberapa daerah dan pihak terkait seperti beberapa fraksi DPR, BNN dan Depkes. Rangkaian diskusi itu dilakukan untuk mematangkan naskah akademik dan draf RUU.

Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran bernomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Dalam SEMA yang ditandatangani pada 17 Maret 2009 itu, terdapat petunjuk bagi setiap hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam menangani perkara narkoba. Hakim diminta sedapat mungkin tidak buru-buru memvonis terpidana pemakai narkoba untuk dijebloskan ke penjara. Melainkan bisa dikirim ke Panti Terapi atau Rehabilitasi. (M-8)

 
 
 

Sumber: Hukumonline

Jakarta, 30 Juli 2009

Penghukuman Tak Bikin Jera

Keputusan PN Tangerang yang menyatakan 10 anak penyemir sepatu bersalah telah berjudi mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Mereka menilai, keputusan itu tak memunculkan efek jera, tetapi justru memunculkan masalah baru berupa masa depan suram bagi anak-anak itu.

Reaksi berupa pernyataan tersebut datang dari anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana dan Gayus Lumbuun, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arits Merdeka Sirait, serta ahli hukum pidana Rudi Satrio Lelono.

Mereka sepakat, seharusnya penegak hukum, dalam hal ini polisi, jaksa, dan pengadilan, tak perlu meneruskan perkara main tebak gambar yang dimainkan anak-anak itu ke persidangan.

”Toh, keputusan pengadilan, ternyata mereka dikembalikan kepada orangtuanya untuk dibina. Polisi seharusnya menggunakan kewenangan deskresinya untuk menghentikan perkara tersebut, lalu memanggil orangtua anak-anak itu agar mereka tak lagi mengulangi perbuatannya,” kata Rudi Satrio Lelono, Selasa (28/7) di Jakarta.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dipimpin Retno Pudyaningtyas, dengan anggota Perdana Ginting dan Ismail, Senin, memutuskan, ke-10 anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta itu bersalah telah berjudi dengan permainan tebak gambar mata uang koin. Alasan majelis, para terdakwa yang masih berada di bawah umur tersebut melanggar Pasal 303 bis KUHP mengenai perjudian.

Vonis bersalah tersebut, kata Arist Merdeka Sirait dan Gayus Lumbuun, akan memberi cap narapidana kepada ke-10 anak tersebut.

”Jelas vonis itu akan menyulitkan mereka kelak saat butuh surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian guna mendapat pekerjaan atau keperluan lain,” kata Gayus Lumbuun yang dihubungi secara terpisah.

Tidak Mendidik

Nursyahbani yang dihubungi melalui telepon mengatakan, dirinya meyakini penghukuman berupa vonis bersalah atas anak- anak penyemir sepatu, lalu mengembalikan mereka kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial tak akan memberikan efek dan pelajaran apa pun bagi anak-anak tersebut.

Gayus Lumbuun, Rudi Satrio Lelono dan Nursyahbani sama- sama menyatakan, permainan tebak gambar yang dilakukan anak- anak itu tidak bisa dikategorikan judi. Alasannya, mereka hanya bermain dan tidak menjadikan permainan itu sebagai mata pencarian.

Lagi pula, lanjut Gayus Lumbuun, dalam ilmu hukum ada pemidanaan dan pidana. Dalam menjatuhkan putusan, seharusnya majelis hakim mempertimbangkan sisi pemidanaan, yakni aspek di luar yuridis.

”Majelis telah mengabaikan dogmatika hukum. Anak-anak itu hanya butuh rehabilitasi, bukan penghukuman balas dendam seperti kepada terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah,” kata Gayus.

Introspeksi

Pada bagian lain, Nursyahbani, Rudi Satrio, dan Gayus Lumbuun meminta agar aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun pengadilan, melakukan introspeksi. Dalam arti, apakah benar mereka juga telah memberantas segala bentuk perjudian secara sungguh-sungguh dan memberikan penghukuman yang layak.

”Sudah menjadi kebiasaan kita, pada awal pencanangan program, semua bentuk judi dari besar sampai kecil diberantas. Namun, lama-lama menjadi suam- suam saja,” kata Rudi.

Adapun Nursyahbani mengingatkan, banyak terjadi pembiaran kasus perjudian dan penjudinya, apalagi bila melibatkan aparat sendiri sebagai backing.

Gayus Lumbuun menyoroti tingginya ancaman hukuman yang diberikan penegak hukum bagi anak-anak di bawah umur yang menjadi terdakwa perjudian itu.

”Masak iya ancaman hukuman bagi anak-anak itu 10 tahun penjara, tetapi dalam kasus perjudian sesungguhnya malah yang diadili hanya penjudinya. Bandar judinya mana,” katanya.

Sementara itu, Christine Tambunan dan Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat yang menjadi penasihat hukum ke-10 anak itu menyatakan secepatnya menyerahkan memori banding. Keduanya menyoroti fakta di persidangan, seperti tiadanya barang bukti uang koin untuk permainan tebak gambar yang tak dicermati hakim. ”Menurut anak- anak, polisi meminjam uang koin dari pengojek,” kata Ricky. (TRI)

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 29 Juli 2009

Hakim Nyatakan 10 Anak Bersalah

Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang, Senin (27/7), menyatakan 10 anak lelaki bersalah melakukan perjudian. Sebagai hukuman, anak-anak itu dikembalikan kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial.

Artinya, warga Desa Rawa Rengas, Kabupaten Tangerang, dan Cengkareng, Jakarta Barat, yang terletak persis di belakang Bandara Soekarno-Hatta itu bersalah, tetapi tidak dikenai hukuman kurungan badan.

Vonis yang diberikan majelis hakim yang diketuai Retno Pudyaningtyas dengan anggota Perdana Ginting dan Ismail itu seperti tuntutan jaksa Rizky Diniarty. Majelis berpendapat, ke-10 anak itu terbukti melanggar Pasal 303 bis (pasal tambahan) KUHP tentang ikut serta melakukan perjudian. Mereka—Ba (14), Sar (12), Rs (11), Dh (18), Rh (13), Ro (14), Ms (15), If (14), Tk (12), dan Df (13)—diadili dengan dakwaan berjudi macan buram atau tebak gambar dengan taruhan uang Rp 1.000 di Bandara Soekarno-Hatta.

Dalam putusannya, salah satu pertimbangan hakim adalah rekomendasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan, anak-anak tersebut berjudi dan mereka harus dibebaskan serta dikembalikan kepada orangtua masing-masing untuk dibina.

Atas vonis itu, penasihat hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Ricky Gunawan, naik banding. ”Kami menyatakan banding karena jika dikembalikan kepada orangtua, berarti mereka tetap dianggap bersalah. Seharusnya anak-anak ini tidak bersalah dan bebas murni sehingga seumur hidup mereka tak ada cap terpidana,” papar Ricky.

Atas permintaan banding itu, Retno menanyakan balik kepada anak-anak. ”Anak-anak sudah paham? Putusannya, kalian pulang ke rumah orangtua, tetapi karena ada keberatan dari kuasa hukum, masih ada proses peradilan,” ujar Retno yang menggunakan safari berwarna biru itu.

Jaksa Rizky Diniarty menyatakan pikir-pikir atas permintaan banding tersebut. ”Saya pikir-pikir, tetapi saya bersikukuh bahwa mereka berjudi. Ada uang dalam permainan itu,” kata Rizky.

Tidak Berpihak

Menanggapi putusan itu, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, putusan itu menandakan hakim tidak berpihak kepada nasib dan masa depan anak-anak.

Sirait juga menyatakan kecewa kepada KPAI yang merekomendasikan bahwa apa yang dilakukan anak-anak di bawah umur tersebut adalah perjudian. ”Rekomendasi seperti yang dibacakan hakim ini juga yang menjadi pertimbangan memberatkan hukuman terhadap anak-anak itu. Berarti mereka (KPAI) tidak independen dalam membela anak,” kata Sirait.

Komnas Perlindungan Anak, lanjutnya, tetap akan mempraperadilankan mulai dari penyidik hingga hakim. Mulai dari penangkapan yang diwarnai dengan tindakan kekerasan hingga proses persidangan itu sendiri.

Namun, Magdalena Sitorus dari KPAI membantah jika mereka merekomendasikan seperti yang dinyatakan hakim. ”Sama sekali kami tidak pernah menyatakan seperti itu. Kami meminta anak-anak dibebaskan murni dan dikembalikan kepada orangtua,” katanya. Magdalena melanjutkan, pihaknya akan mengklarifikasi kepada pengadilan negeri.

Ketakutan

Persidangan pada Senin kemarin dilakukan secara maraton, mulai dari pembacaan tuntutan, pembelaan dari penasihat hukum, hingga vonis berlangsung mulai pukul 09.30 hingga 11.30.

Selama sidang tuntutan dan pembelaan bagi anak-anak di bawah umur itu berlangsung, ruang sidang tertutup. Anak-anak melepas topeng mereka yang terbuat dari kardus. Namun, hakim menyuruh anak-anak menggunakan topeng itu kembali saat pembacaan vonis berlangsung.

Sebelum persidangan dimulai, Ms muntah-muntah lalu pingsan, diduga karena stres. Ny Bule, ibu Ms, langsung memeluk anaknya dan menangis histeris. Selain Ms, temannya, Rs dan Tk, tampak pucat akibat ketakutan menghadapi sidang. (PIN)

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 28 Juli 2009

Keadilan Menjauh dari Anak

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai anak-anak saat ini dibiarkan untuk berjuang dan bergelut sendiri meraih keadilan.

Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat LBH Masyarakat Dhoho A. Sastro, di Jakarta, Rabu (22/7), mengatakan tidak ada mekanisme yang dapat menjamin anak-anak mendapat perlindungan dari negara.

Padahal, kata dia, Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan dan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Kalaupun harus menghadapi penangkapan, penahanan, atau pemidanaan penjara, semuanya itu harus ditempuh sebagai upaya paling akhir,” kata dia.

LBH Masyarakat setidaknya mencatat empat perkara yang berkaitan dengan anak-anak, yaitu perkara 10 anak yang diadili karena melakukan permainan bola koin di Bandara Soekarno-Hatta, persetubuhan dengan anak di bawah umur, penahanan ijazah karena menunggak SPP, dan kesalahan manajemen yang nyaris mencabut hak anak atas pendidikan.

Dhoho mengatakan aktivitas tebak-tebakan bola koin yang diputar dan dibarengi dengan uang, sebagaimana dilakukan ke-10 anak ini tidak bisa secara serta merta menyatakan sebagai perjudian. “Tapi harus secara seksama melihat apakah kegiatan ini masih merupakan permainan anak ataukah sudah menjadi sebuah kejahatan,” katanya.

Dalam kasus yang dialami MGL, jelasnya, seorang anak lelaki dari keluarga miskin yang tahun lalu dinyatakan lulus sebuah Madrasah Ibtidaiyah tempatnya bersekolah. Ia menunggak pembayaran uang sekolah dan uang untuk study tour. “Akibatnya ijazah ditahan oleh sekolah dan menimbulkan dampak ia tak mungkin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP,” katanya.

Menurut Dhoho, penyebab utama dari tiadanya perlindungan anak dalam upaya mencari keadilan adalah ketiadaan empati dari para aktor yang terlibat dalam pencarian keadilan. “Aparat penegak hukum hanya menjadi operator dari undang-undang tanpa menerapkan kewenangannya untuk melakukan diskresi,” katanya.

Menurutnya, hukum diterapkan oleh aparat secara kaku tanpa memandang aspek-aspek sosiologis yang berkembang memberikan perlindungan kepada anak, justru mengakibatkan keadilan bagi anak semakin jauh untuk diraih. (aka)

 
 
 

Sumber: Primair Online

Jakarta, 23 Juli 2009

LBH Masyarakat & Mahasiswa Fakultas Hukum Ikrar dukung KPK

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bersama mahasiswa fakultas hukum di Jakarta melakukan aksi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kami cemas apabila persoalan korupsi saat ini belum berhasil diatasi, hanya akan membebani generasi kami di masa depan, ” ujar salah satu anggota Summer Internship LBH Masyarakat, Afdhal Mahatta, dalam orasinya di gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/7).

Dalam orasinya, mereka mengatakan, hal yang wajar bila KPK menjadi lembaga superbody. “Kalau KPK sebagai lembaga superbody, ya memang harus seperti itu. Itu (superbody) sangat diperlukan untuk pemberantasan korupsi,” katanya.

Dalam orasinya mereka berikrar akan terus mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Selain itu mereka mengecam pihak-pihak yang mau mengintimidasi KPK dan juga menegur Presiden serta DPR agar serius dalam menyusun RUU Tipikor dan RUU Pengadilan Tipikor.

“Ada upaya friksi antara KPK dengan aparat penegak hukum lain dalam menjalankan tugas dan kewenangan untuk memberantas korupsi,” ujarnya. (feb)

 
 
 

Sumber: Primair Online

Jakarta, 23 Juli 2009