Month: March 2016

AM dari Depok: Sebuah Refleksi akan Pentingnya Penasihat Hukum dalam Kasus Narkotika Anak

Menurut hukum, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1] Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah berumur dua belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan demikian, negara tidak berhak melanjutkan proses persidangan anak yang belum genap berusia dua belas tahun.[2] Dari pantauan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat, 27,5% penghuninya adalah anak yang terlibat dengan kasus narkotika dan sisanya terlibat kasus kriminal seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan pelecehan seksual.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) beberapa kali meyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan sesi konsultasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah DKI Jakarta yaitu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat. Kami sering memberikan bantuan hukum pada anak yang terlibat dalam kasus narkotika baik melalui penyuluhan maupun sesi konsultasi. Beberapa anak sering menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika dengan tugas mengantarkan narkotika tersebut kepada orang lain (pembeli).

Disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang minim, anak bisa terpengaruh oleh iming-imingan uang dalam memutuskan untuk menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika. Namun anak sering belum menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan hukum di Indonesia dan dapat dijerat pidana penjara.

Beberapa anak yang kami dampingi bahkan dapat dikategorikan sebagai pecandu narkotika. Baik anak maupun orang dewasa yang menjadi pecandu narkotika sudah seharusnya tidak dipenjara, sesuai dengan amanat Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Anak-anak tersebut kini harus melewati proses persidangan. Kurangnya pendampingan penasehat hukum atau pengacara saat proses penyidikan di tingkat kepolisian berpotensi membuat hak-hak anak tidak terpenuhi. Contohnya, jika seorang anak terbukti sebagai pecandu narkotika, maka dari awal pada anak itu semestinya diberikan asesmen agar si anak tidak dipidana penjara tapi ditempatkan di tempat rehabilitasi.

Bagaimana jika anak tersebut tidak didampingi pengacara sampai proses persidangan? Apakah si anak mengerti agenda-agenda persidangan yang akan mereka jalani? Misalkan, proses eksepsi.[3] Melalui eksepsi, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang keliru bisa ditangkis. Jika seandainya si anak menghadapi proses persidangan tanpa pengacara, apakah eksepsi itu berani diajukan? Kemudian, jika dari awal dakwaannya sudah salah, bagaimana nasib agenda-agenda sidang berikutnya?

Kebutuhan akan hadirnya pengacara dalam kasus anak berhadapan dengan narkotika sering terbentur dengan tudingan yang umum di tengah masyarakat bahwa, “memakai jasa pengacara dalam kasus narkotika bikin proses persidangan lama dan toh hasilnya sama saja”. Namun keberadaan istilah ini telah mengurungkan niat banyak tersangka, terdakwa, maupun keluarga mereka untuk menggunakan jasa pengacara. Mereka terlena dengan bujukan “Sudahlah, yang peting cepat.” Namun untuk apa proses persidangan cepat tapi hasilnya merugikan kita sendiri?

Belum lagi keraguan dan ketakutan keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi untuk mengeluarkan uang bagi jasa si pengacara tersebut. Tidak semua orang mengetahui adanya keberadaan organisasi yang memberikan bantuan hukum secara gratis. LBH Masyarakat adalah salah satu contoh lembaga non-profit yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.

***

Masih teringat di benak saya, pada tanggal 11 Desember 2015, datanglah seorang laki-laki bersama saudara dan temannya dari Depok, Jawa Barat ke kantor kami, LBH Masyarakat, di Jalan Tebet Timur Dalam VI No. 3, Jakarta Selatan. Ia adalah ayah dari AM, 15 tahun, yang menjadi tersangka kasus Narkotika dengan sangkaan pasal 114 ayat (1) sub. 111 ayat (1) jo. 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Setelah mendengar kronologis secara umum dari si ayah (RT), kami putuskan untuk langsung bertemu dengan anak tersebut di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat untuk mencari informasi dan kronologis lebih dalam lagi, langsung dari si anak tersebut. Kami dapati bahwa AM tersangkut kasus ganja. Ia tertangkap bersama satu orang dewasa dan satu orang teman sekolahnya di daerah Depok.

AM mengatakan bahwa pada tanggal 14 Desember 2015 ia sudah harus menjalani proses persidangan. Mendengar kabar tentang waktu yang singkat itu, kami langsung menanyakan kepada si ayah, “Apakah kalian mau kami beri Pendampingan Hukum pada saat proses persidangan?“ Mereka langsung menyetujui untuk menerima bantuan hukum dari kami. Surat kuasa langsung dibuat dan kami ajukan kepada anak dan ayah untuk ditandatangani di atas materai Rp 6.000,-.

Sidang pertama dibuka dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilanjutkan dengan agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi, seorang polisi dari Polsek Pasar Minggu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, AM tidak sendiri. AM duduk berdampingan di depan hakim bersama temannya, yang juga masih dalam kategori anak, berinisial KM. Hakim kemudian menanyakan kepada KM tentang keberadaan pengacara. KM bersama keluarga pun kemudian menunjuk LBH Masyarakat sebagai penasihat hukum.[4]

Hanya sehari kemudian, pada tanggal 15 Desember 2015, agenda persidangan adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Mereka (AM dan KM) dituntut pidana penjara 2 tahun 8 bulan. Melihat ancaman hukuman pidana penjara tersebut, kami langsung membuat nota pembelaan bagi dua anak tersebut. Kami beragumen bahwa AM dan KM tidak terbukti secara sah melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, memberi, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Kami juga meminta hakim untuk agar segera mengeluarkan mereka (AM dan KM) dari tahanan dengan pidana alternatif berupa pengawasan dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Ternyata, di hari yang sama Hakim langsung menjatuhkan Putusan kepada mereka, AM dan KM. Setelah kami sebagai tim kuasa hukum menyampaikan pledoi, secara tertulis dan lisan, di dalam ruang sidang anak dan didengarkan oleh Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Panitera dan dua anggota Balai Pemasyarakatan, Hakim meminta seluruh yang ada di ruang sidang anak untuk keluar dari ruangan (kecuali mereka sebagai terdakwa). Hakim ingin berpikir serta menimbang pokok pembelaan yang kami ajukan. Setelah 10 menit sidang diskors, Panitera yang bertugas  kemudian memanggil kami untuk masuk dan mendengarkan putusan dari si Hakim. Dengan suara yang cukup lantang dan penuh percaya diri, Hakim memutuskan untuk memberikan pidana 1 tahun 8 bulan Pidana Penjara oleh karena bagi hakim yang terbukti ialah Pasal 111 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim bersifat kooperatif dan langsung menanyakan, Apakah kalian menerima putusan tersebut? Atau kalian mau melakukan upaya hukum?” Pertanyaan itu langsung ditujukan kepada kami sebagai Penasihat Hukum. Kami menjawab bahwa kami memerlukan waktu untuk berpikir-pikir terlebih dahulu selama waktu yang telah ditentukan Undang-Undang.

Kami selaku Penasihat Hukum menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang harus dilakukan, apakah harus menerima atau harus melakukan upaya hukum. Kami memberitahukan kepada keluarga si anak segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika menerima atau mengajukan banding. Semua itu disampaikan agar keluarga bisa berpikir lebih jauh dan memberikan jawaban kepada kami.

Akhirnya keluarga dari dua anak tersebut sepakat memutuskan untuk melakukan banding atas putusan Hakim. Mendapat kabar tentang keputusan keluarga, maka kami langsung memberitahukan permohonan banding secara lisan kepada Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selang 3 hari kemudian, kami langsung berikan semua persyaratan banding kami, yaitu memori banding dan surat kuasa ditambah dengan surat penangguhan penahanan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kami beranggapan bahwa anak tidak layak diberikan pidana di dalam penjara karena potensi anak yang masih bisa berkembang dengan menuntut ilmu. Bayangkan jika mereka dipenjara selama satu tahun, maka selama satu tahun juga si anak tersebut berada di Lapas Salemba dan tidak mendapatkan pendidikan secara penuh yang akan menjadi bekal mereka untuk dewasa kelak.

Hal yang berbeda akan terjadi apabila mereka dipenjara. Sekeluarnya mereka dari sana, besar potensi bahwa kerasnya kehidupan penjara itu akan ‘terbawa’ ke keluarga dan lingkungan tempat dia tinggal, bermain atau bekerja. Namun jika mereka ditempatkan di luar penjara, mereka dapat memperoleh pendidikan maupun pelajaran kerohanian.

Dua puluh lima hari berikutnya keluarlah putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dua orang staf dari LBH Masyarakat yang ingin mengetahui hasil putusan banding pergi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Begitu sampai di ruang panitera pidana, kami langsung diberikan ucapan selamat oleh si Panitera. Kami bingung akan maksud ucapan tersebut yang kurang lebih isi percakapannya sebagai berikut: “Kalian siapa? Penasihat Hukumnya ya?” Kami menjawab benar bahwa kami memang Penasihat Hukum dari kedua anak tersebut. “Wah selamat ya, mereka diberikan pidana penjara hanya delapan bulan saja oleh Hakim.”

Sontak kami berdua bingung mengapa kami diberi selamat karena memori banding yang kami ajukan tidak mempermasalahkan waktu pemidanaan melainkan tempat pemidanaan dan jenis pemidanaannya. Meskipun demikian, kami tetap mengabari keluarga AM dan KM tentang hasil putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut. Keluarga langsung senang mendapatkan hasil putusan tersebut. Padahal kami selaku Penasihat Hukum sudah sepakat bersama keluarga untuk mengajukan upaya hukum banding atas jenis dan tempat pemidanaan, bukan waktu pemidanaan. Namun dikarenakan keluarga sudah menerima putusan ini, kami anggap tugas kami selaku Penasihat Hukum sudah selesai.

***

Kami memandang bahwa Penasehat Hukum sangat mempunyai peran penting dalam mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, terutama pada kasus narkotika. Memang dari kasus di atas, kami tidak berhasil membantu dua anak tersebut untuk lolos dari pidana penjara. Namun setidaknya, kami sudah berhasil membuat hukuman yang dijatuhkan kepada mereka sedikit lebih rendah. Ini bantahan langsung pada argumen bahwa kehadiran pengacara tidak memberi dampak. Ditambah lagi, kami berikan bantuan hukum ini secara gratis. Ini hanya satu bagian dari perjalanan kami dalam berjuang bagi masyarakat. Sebuah perjalanan yang berliku dan banyak rintangan, tetapi kami yakin bahwa keadilan bukanlah sebuah utopia.

 

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

 

[1]Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

[2]Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[3]Tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima | Yahya Harahap; Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan; Sinar Grafika; 2007; Hal. 418

[4] Surat kuasa hari itu adalah kuasa lisan dan disetujui oleh Hakim dan Jaksa.

Yang Paling Penting Tetap Cinta dan Pengorbanan

Skenario kedua terburuknya, kita melihat keluarga/teman kita tersangkut masalah narkoba dan menjadi pecandu. Ia kita anggap sebagai orang yang sakit yang perlu disembuhkan, jadi kita membawanya ke siapapun yang menjanjikan bisa membereskan masalah itu, dari dukun sampai dokter berjas. Ia masih juga pakai diam-diam sementara kita sudah muak dengan ketelerannya dan selalu menetapkan, “Pokoknya, ini yang terakhir kali.” Akhirnya, karena tidak bisa menolongnya juga, hubungan antara kita dan keluarga/teman kita itu merenggang sampai titik di mana ketika kita melihatnya lagi, kita menganggap ia telah menjadi jauh berbeda dari yang dulu kita pernah kenal dan kenang.

Skenario terburuk pertamanya, kitalah yang menjadi pecandu itu.

Khalayan skenario-skenario di atas diperlukan untuk mendalami suatu masalah; di Indonesia, narkotika masih dianggap sebagai suatu masalah besar. Tapi khalayan punya keterbatasan. Pertama, tidak semua orang bisa mengkhayal dengan serius, banyak yang berhenti di tengah-tengah sebelum masalah yang sebenarnya dimulai. Kalau kita membayangkan menjadi pecandu seperti di atas, kita mungkin berhenti membayangkan pada kejadian overdosis, padahal yang terburuk mungkin bukan itu. Keterbatasan kedua, khayalan seseorang tidak akan jatuh terlalu jauh dari koridor pengetahuannya yang disusun oleh media, institusi pendidikan, dan agen-agen kebudayaannya. Dengan kata lain, apa yang dikhayalkan di atas belum tentu sesuai dengan realitanya, karena khayalan di atas hanya disusun oleh stereotipe-stereotipe yang kita miliki tentang pecandu narkotika.

Saya senang jika bisa menemukan buku yang bisa menjungkirkbalikkan stereotipe-stereotipe itu sehingga daya khayal saya lebih luas. Untuk urusannya dengan masalah narkoba, buku yang pantas dengan predikat di atas adalah buku “Chasing the Scream: The First and The Last Days of The War on Drugs” karya Johann Hari. Buku yang menerangkan secara terperinci kebijakan beberapa negara untuk menanggulangi narkotika dan orang-orang yang terdampak langsung karenanya ini memberikan saya dua pelajaran. Saya tidak akan pernah lagi membayangkan masalah narkotika tanpa memikirkan dua pelajaran ini.

Hidup-matinya Terminologi Canggih

Dari awal sejarah, manusia telah mengenali perang. Karena kebiadabannya, perang makin lama makin tidak populer. Namun, bagi beberapa orang, istilah ini masih bisa didaur-ulang untuk menunjukkan seberapa seriusnya negara menghadapi suatu permasalahan. Narkotika dipandang serius sejak awal tahun 1940an, sehingga dimulai dari Amerika Serikat, istilah “perang terhadap narkotika” digaungkan.

Perang terhadap narkotika ini adalah terminologi yang canggih sebab masyarakat akan selalu diingatkan bahwa mereka sedang ada di dalam kondisi darurat yang tidak tahu sampai sejauh mana sebuah tindakan penanganan bisa dilakukan. Agar bisa terus hidup, terminologi ini membutuhkan terminologi-terminologi lain yang bisa menyokongnya. Contohnya, terminologi perang terhadap narkotika di Amerika juga menciptakan perang kartel di Meksiko. Kebijakan perang terhadap narkotika di Amerika yang menutup banyak suplai narkotika dalam negeri tanpa menurunkan permintaan, membuat kartel-kartel di Meksiko berlomba-lomba untuk menyelundupkan narkoba. Di Meksiko juga, geng-geng ini tambah kuat dan membunuh siapapun yang menghadangnya.

Perang terhadap narkotika di Indonesia juga memunculkan terminologi-terminologi canggih lainnya. Pemerintah mengatakan bahwa kita menghadapi masalah narkotika serius sekarang ini – sebuah klaim yang tidak berubah sejak Soeharto masih hidup dan rajin mengeluarkan Inpres. Lewat hukum dan media, kita menghubungkan narkotika dengan kejahatan. Segala kegiatan yang melibatkan narkotika dianggap sebagai kejahatan terorganisi (organized crime) atau kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Makanya setiap berkas orang-orang yang tertangkap penyidik karena kepemilikan narkotika, entah ia ingin memakainya hanya untuk teler sendirian atau untuk diobral lagi di kompleks perumahannya seperti layaknya penjual gayung keliling, selalu dimasukkan ke folder kasus kriminal khusus, setara dengan korupsi dan trafficking.

Karena kejahatannya sudah ‘dianggap’ seserius ini, maka tindakan penanggulangannya pun harus dibuat seserius mungkin. Makanya untuk kejahatan narkotika, ada teknik penangkapan yang dibuat khusus. Ada teknik penangkapan pembelian terselubung (undercover buy), juga ada teknik penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Kedua teknik ini mengumpamakan terpidana narkotika sebagai pelaku kejahatan yang rumit dan berbahaya, walaupun kedua jenis teknik ini juga dipakai untuk menangkap bandar kecil atau pemakai.

Saking njelimet-nya kejahatan ini, perlu ada intel khusus narkotika. Untuk intel ini, kita punya bahasa yang membumi tapi tidak berkurang kecanggihannya: cepu. Cepu, yang kadang-kadang direkrut dari sesama penyintas sel tahanan, punya posisi rumit dalam belantara kepolisian Indonesia. Jasanya banyak tapi ketika ditanyakan keberadaannya di kepolisian, mereka tidak pernah diakui. Tanpa pendidikan profesional, mereka telah mengamalkan slogan intel yang sebenar-benarnya: mati tidak dicari, berhasil tidak dipuji.

Slogan canggih tidak hanya diciptakan di institusi penegak hukum. Demi apa yang dinamakan moral, beberapa lembaga merasa bahwa semua anggotanya harus bersih dari narkotika. Kampus-kampus melakukan sidak dan tes acak, sebab daripada sulit untuk menaikkan akreditasi atau mengembangkan penelitian-penelitian baru, lebih mudah menyandang kampus predikat bebas narkotika. Instansi pemerintahan pun melakukannya. Ketika kedapatan pemakai narkotika di instansi tersebut, maka ramailah slogan baru: narkoba masuk kampus, narkoba masuk kementerian. Sudut pemberitaannya dibuat benar-benar nelangsa sehingga penonton akan merasa bahwa citra sebuah lembaga telah jatuh dan bersamaan dengan itu, moral pun telah runtuh.

Sementara orang-orang yang ketahuan pemakai masih harus melewati serangkaian prosedur-prosedur ‘kelembagaan’. Bagi mahasiswa, mungkin mereka bisa di-DO. Dosen diberhentikan dan tidak diberikan surat rekomendasi untuk melamar ke tempat lain. Pegawai kementerian bisa di-SP3, dicutikan sementara (kalau jabatannya penting), diberhentikan tidak hormat (kalau jabatannya tidak penting-penting amat), di-PHK.

Dengan semua termin-termin ini, kita dibuat yakin bahwa perang terhadap narkotika perlu ada. Padahal apa yang kita buat dan ciptakan, mungkin saja mengalienasi para pemakai ke kondisi di mana mereka tidak akan bisa kembali ke masyarakat sebagai manusia utuh. Lalu pada saat itu, seperti khayalan yang kita mulai di awal tulisan, kita dengan semena-mena melupakan tindakan-tindakan apa yang sudah kita buat untuk mengalienasinya dan menyatakan bahwa orang yang kita kenal sudah berubah karena narkoba, bukan karena kita.

Tentang Adiksi yang Tidak Selalu Terjadi karena Zatnya

Pelajaran kedua yang bisa didapatkan dari buku Johann Hari adalah betapa dalam dan rumitnya adiksi pada diri satu orang. Buku ini membantah anggapan bahwa adiksi terjadi semata-mata karena sang zat yang tersusun di narkotika itu. Menurutnya, adiksi yang kita kenal sekarang juga ada akibat hubungan sosial antara orang lain, pengalaman traumatis masa lalu, dan kebijakan narkotika di suatu negara.

Banyak orang lari ke narkotika ketika mereka sudah tidak memiliki pilihan lain. Bagi mayoritas masyarakat yang dilindungi oleh pendidikan yang mumpuni dan keluarga yang baik-baik, memakai narkotika, apalagi sampai rutin, adalah sebuah ide yang tak terpikirkan. Tetapi bagi sebagian orang, narkotika menjadi satu-satunya pemecah masalah kehidupan. Hal ini contohnya berlaku bagi anak yang dibuang oleh keluarganya, orang-orang yang trauma setelah pulang dari perang, orang-orang yang dihimpit kemiskinan sehingga mereka sudah putus asa pada pertolongan manusia atau orang-orang di sekitarnya.

Seorang pasien di klinik ketergantungan obat di Kanada berkata dalam buku ini, “[Orang-orang] bertanya mengapa [pecandu] terus memakai? Karena itu membuat mereka merasa nikmat, sementara hal lain dalam hidupnya tidak membuat mereka merasa nikmat.” (hal. 163)

Di video-videonya, Johann Hari sering memberikan metafora “Taman Tikus” untuk menggambarkan kondisi yang dihadapi pengguna narkotika. Metafora ini berasal dari dua buah percobaan. Percobaan pertama dilakukan pada tahun 1980-an oleh Partnership for Drug-Free America dengan mengurung sejumlah tikus di tempat yang hanya berisi dua tabung, satu tabung berisi air biasa dan satunya lagi berisi air campur kokain. Sembilan dari sepuluh tikus lebih menyukai air yang mengandung kokain dan mereka terus mengonsumsinya sampai mati. Percobaan ini ditantang balik oleh seorang ilmuwan Kanada bernama Bruce Alexander. Ia merasa bahwa percobaan tikus dalam kurungan itu tidak dibuat dengan kondisi yang mencerminkan kehidupan manusia karena membatasi hidup tikus ini hanya pada dua tabung dan dinding kaca mereka. Maka ia membuat sesuatu yang mirip dengan taman tikus, ada roda hamster, taman, makanan yang banyak, dan lain-lain, sambil tetap mempertahankan dua tabung minum di situ, yang satu diisi air biasa dan satu diisi air campur morfin. Hasilnya berbeda: tikus-tikus di percobaan yang kedua lebih memilih air biasa ketimbang air campur morfin. Tikus-tikus yang diberikan pilihan akan jenis-jenis kesenangan hidup lain tidak memilih narkotika.

Tetapi memang hal-hal ini tidak bisa digeneralisir. Tetap ada orang-orang yang bisa menghadapi masalah trauma dan keterputusan hubungan sosial tanpa narkotika. Begitu pula, pasti ada orang-orang yang menjadi pecandu meskipun mereka memiliki hubungan sosial yang baik dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi orang-orang yang miskin dan marginal lebih berisiko, dan hal ini telah dibuktikan baik oleh penelitian, baik yang mendukung perang terhadap narkotika dan yang tidak.

Kebijakan narkotika juga pada akhirnya bisa membuat seseorang menjadi pecandu. Di buku Johann Hari, kita banyak diceritakan hidup menjadi orang kulit hitam di Amerika. Karena tidak ada institusi pendidikan yang mumpuni, anak remaja lebih sering keluar ke jalan dan bergabung dengan geng-geng yang terbentuk di perkampungannya. Beberapa anak di geng itu memberikan narkotika, entah sebagai insiasi atau hanya sukarela. Lantaran mereka tidak punya uang sementara harga narkotika di jalan selangit, mereka akhirnya melakukan beberapa tindakan kriminal: mencuri, menodong, merampok. Segala perbuatan ini makin meresahkan masyarakat sehingga polisi dipanggil untuk menangkap mereka.

Kita juga bisa membayangkan ini terjadi dalam konteks Indonesia. Hanya cukup mengganti frase orang kulit hitam dengan orang miskin atau anak putus sekolah.

Di banyak negara yang menerapkan perang terhadap narkotika, kita melihat bagaimana pelaksanaan perangnya berlaku diskriminatif. Sementara AS memenjarakan lebih banyak kulit hitam akibat narkotika dibandingkan kulit putih, di Indonesia kita melihat bahwa penghuni penjara adalah pengguna narkotika dari kalangan masyarakat kurang mampu. Orang-orang kaya yang ketahuan memakai narkotika bisa melanggeng bebas di tempat rehab bagus dan keluar sewaktu-waktu kalau ada jadwal manggung, jadwal dokter, atau urusan lain. Hukum yang berlaku diskriminatif ini menyebabkan seseorang yang marginal masuk lebih dalam ke masalah narkotika. Sementara orang-orang berduit bisa hidup dengan lebih baik karena diperlakukan juga dengan lebih baik.

Semua hal ini turut berperan dalam keberlangsungan adiksi narkotika seseorang. Dengan demikian upaya memerangi ketergantungan narkotika akan sia-sia jika hanya fokus pada pemusnahan barangnya saja. Upaya memerangi ketergantungan narkotika juga perlu untuk memperhatikan realita kehidupan pecandu dan hubungan mereka dengan masyarakat di sekitarnya.

Kembali ke Judul

Kebijakan perang terhadap narkotika menciptakan terminologi-terminologi baru yang mengalienasi pecandu narkotika ke penjara, ke keadaan tidak memiliki pendidikan, ke kondisi pengangguran. Perang terhadap narkotika itu juga yang membuat seolah-olah hal itu penting untuk menyembuhkan mereka, tetapi pada kenyataannya hal itu membawa para pecandu ke tubir keputusasaan yang lebih dalam.

Kita beragumen tentang locus delicti dari kasus narkotika, tapi luput memperhatikan lingkungan di mana pengguna hidup, belajar tentang kekerasan, dan tidak bisa keluar dari geng-geng kecil. Kita mencari modus operandi dalam kejahatan narkotika, tapi abai pada pertanyaan bagaimana caranya setiap hari seorang pemakai bisa bertahan di lingkaran kemiskinan yang sedemikian rupa. Kita mencari motif/niat/kehendak untuk membuktikan kesalahan pengguna narkotika di depan persidangan, tapi secara sistematis melupakan alasan apa yang mendorong orang itu menggunakan narkotika dan terus menggunakannya. Terakhir, kita sibuk mencari alat bukti, memeriksa setiap benda yang punya rongga dan memaksa setiap orang menjadi saksi; tapi kita tidak kunjung bisa memberikan bukti bahwa penahanan dan pemisahan punya makna perbaikan.

Menarik kesimpulan dari paparan di atas, kebijakan narkotika akan menjadi lebih baik kalau humanis. Kita telah memiliki terminologi-terminologi dasar yang tidak terdengar keren untuk dijadikan program pemerintah tapi berguna. Terminologi itu seperti cinta kasih, perhatian, persahabatan, perlindungan kerja, kesempatan mengenyam pendidikan, perawatan, dan lain-lain. Terminologi ini sederhana tetapi teruji keampuhannya oleh sejarah.

Maka judul yang dibuat bukanlah semata-mata ucapan pasifis yang dipilih karena tidak terpikir judul lain. Ilmu pengetahuan modern dan agama-agama sama-sama setuju bahwa perlakuan satu manusia terhadap manusia yang lain paling baik jika dilandasi oleh cinta dan pengorbanan, maka begitu pun juga harusnya perlakuan kita pada pengguna narkotika, atau begitu pun seharusnya kebijakan narkotika di dunia. Tentu pembaca boleh tidak setuju dan memilih judul yang terdengar lebih keren semacam, “Yang Paling Penting adalah Perang dan Pemusnahan”, atau “Yang Paling Penting adalah Bersih dan Abstinen”. Tapi, kalau judul-judul semacam itu yang dipakai, kita harus rela untuk hidup di dunia yang lebih memprioritaskan tujuan ketiadaan suatu zat di atas nyawa manusia itu sendiri.

 

Ditulis oleh: Albert Wirya

Pengumuman Relawan Monitoring Dokumentasi

LBH Masyarakat mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada kalian yang telah mendaftar menjadi relawan monitoring dokumentasi. Sungguh menyenangkan melihat anak-anak muda yang bersemangat untuk belajar dan mengabdikan diri demi perkembangan situasi hak asasi manusia di negeri ini. Dengan sangat menyesal, kami tidak dapat menerima semua orang yang telah mendaftar dan telah kami wawancara.

Kami mengumumkan bahwa nama-nama di bawah ini:

  1. Astried Permata
  2. Armadina Azzahra
  3. Puji Prastyawati

telah lolos menjadi relawan monitoring dokumentasi di LBH Masyarakat untuk periode ini. Kami akan segera menghubungi orang-orang yang diterima.

Media Coverage of Our Works (2)

Here are links to several articles which covered the works of LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute):

  1. The Telegraph, 4 October 2010, \”Indonesian minister jokes about Aids on Twitter\”
  2. Southeast Asia Globe, 3 February 2015, \”A view to kill\”
  3. R7, 24 April 2015, \”Indonésia: Defesa de brasileiro tenta novo recurso em meio a iminência de execução\”
  4. R7, 25 April 2015, \”Brasileiro reage com surpresa e delírio a anúncio de execução na Indonésia\”
  5. R7, 25 April 2015, \”Indonésia notifica brasileiro e execução poderá ser na 3ª-feira\”
  6. Yahoo!, 26 April 2015, \”Indonesia defiant as UN leads condemnation of looming executions\”
  7. Press TV, 26 April 2015, \”Indonesia says will execute drug convicts despite outcry\”
  8. Channel News Asia, 26 April 2015, \”Indonesia informs drug convicts of execution\”
  9. Pulse, 26 April 2015, \”10 death row prisoners profiled, including 4 Nigerians\”
  10. R7, 27 April 2015, \”Brasileiro tentará mesmo recurso que adiou execução de francês na Indonésia\”
  11. El Tiempo, 27 April 2015, \”Indonesia ejecutará a ocho extranjeros\”
  12. Tribuna Hoje, 28 April 2015, \”Familiares chegam ao local de execuções na Indonésia\”
  13. UCA news, 29 April 2015, \”Family of Filipina rejoice after Indonesia death sentence reprieve\”
  14. Paris Match, 30 April 2015, \”Un Brésilien schizophrène exécuté en Indonésie\”
  15. La Prensa, 30 April 2015, \”Brasileño Gularte no era consciente de que lo iban a ejecutar\”
  16. Iltalehti, 30 April 2015, \”Teloitettu brasialaismies ei ymmärtänyt kuolevansa\”
  17. Visão, 30 April 2015, \”Brasileiro executado na Indonésia não terá tido consciência de que estava prestes a morrer\”
  18. tvi24, 30 April 2015, \”Indonésia: execuções \”sem sentido e brutais\”\”
  19. Ultimo Segundo, 19 Juni 2015, \”\”Não acabou\”: Família de Gularte pressiona Indonésia por laudo médico\”
  20. The Jakarta Post, 9 October 2015, \”Groups want abolition of death penalty\”

Here are some joint statements made together with other organization(s):

  1. 22 November 2011, \”SYRIA: Joint call by civil society for a special session of the UN Human Rights Council\”
  2. 2015, \”Lima Declaration on Tax Justice and Human Rights\”
  3. 13 March 2016, \”Civil society statement – The UNGASS outcome document: Diplomacy or denialism?\”

Feel free to give us a shout in the comment section if you find another media coverage about us. Other international media coverage had been compiled here. You can also see the local media coverage about our works here and here.

Liputan Media tentang Pekerjaan Kami (2)

Berikut adalah beberapa tautan dari portal-portal lokal terkait kerja-kerja kami:

  1. Republika.co.id, 14 Mei 2009, “Seret Pelaku Tragedi Mei 1998”
  2. Republika.co.id, 5 Juni 2009, “LSM Minta Kasus Situ Gintung Ditangani Serius”
  3. Kompas.com, 21 Juli 2009, “Perjudian Anak Kembali Disidangkan”
  4. Rakyatmerdeka.co.id, 27 Desember 2009, “Selama Tahun 2009, Tiga Pilar Penegak Hukum Jeblok”
  5. Okezone.com, 10 Oktober 2010, “Penjara 300 Tahun Lebih Baik Ketimbang Hukuman Mati”
  6. Republika.co.id, 7 Februari 2011, “Ramai-ramai Kecam Penyerangan Ahmadiyah Hingga Tewas”
  7. Tribunnews.com, 11 Maret 2011, “Waria Bukan Sampah Masyarakat”
  8. Kompas.com, 11 Maret 2011, “Inilah Lima Butir Pernyataan Sikap Waria”
  9. Kompas.com, 3 April 2011, “Desak Penyelesaian RUU KUHAP”
  10. Kompas.com, 3 April 2012, “Putusan Sidang Tailing Newmont Mengecewakan”
  11. Kompas.com, 5 April 2012, “Mahasiswa Gelar Aksi Penolakan RUU PT”
  12. Hukum Online, 9 April 2012, “RUU Penanganan Konflik Sosial Dinilai Bermasalah”
  13. Hukum Online, 10 April 2012, “Pemkab Sumbawa Pertimbangkan Banding”
  14. Hukum Online, 25 Mei 2012, “Persalinan Gagal, Profesionalisme Dokter Dikritik”
  15. Hukum Online, 27 Juni 2012, “Memperjuangkan HAM Lewat Seni”
  16. Viva.co.id, 20 Juli 2012, “Peraturan Kepala BNN Rahasia Selamanya?”
  17. Hukum Online, 18 September 2012, “Kerjasama KPK-TNI Dipersoalkan”
  18. VOA Indonesia, 10 Oktober 2012, “Indonesia Didesak untuk Hapuskan Hukuman Mati”
  19. Tribunnews.com, 20 Oktober 2012, “Petani dan Buruh Bisa Sebagai Ancaman Keamanan Nasional”
  20. Liputan 6, 10 Desember 2012, “Peringati Hari HAM, LSM Datangi Istana”
  21. Liputan 6, 10 Desember 2012, “Korban Lapindo Ikut Demo Peringatan HAM di Istana”
  22. Inilah.com, 14 Januari 2013, “Komnas HAM: RUU Kamnas Sabotase Kewenangan”
  23. Hukum Online, 16 Januari 2013, “Kritik Terhadap Penanganan Kasus Narkotika”
  24. Hukum Online, 20 Februari 2013, “Panitia Verifikasi dan Calon PBH Bersiap-siap”
  25. Kompas.com, 16 Maret 2013, “KontraS: Eksekusi Mati Adami Demi Perbaiki Citra SBY”
  26. Hukum Online, 19 Juli 2013, “Agar Mahasiswa FH Boleh Beracara di Pengadilan”
  27. Gresnews.com, 4 Maret 2014, “Beginilah Kinerja Anggota DPR Bahas RUU KUHAP”
  28. Tempo.co, 26 April 2014, “Dianggap Pelanggar HAM, Prabowo Ditolak Nyapres”
  29. Tempo.co, 27 April 2014, “Gerindra Tak Akan Bersihkan Nama Prabowo”
  30. Okezone.com, 5 Mei 2014, “Kasus Penculikan Aktivis, KontraS: Prabowo Tak Bisa Lepas Tangan”
  31. Wartabuana.com, 7 Mei 2014, “SBY Tolak, Undangan Komnas HAM Bahas Penculikan Aktivis 1997”
  32. Hukum Online, 15 Oktober 2014, “UU Narkotika Masih Berparadigma Penghukuman”
  33. Hukum Online, 15 Januari 2015, “Bongkar Jaringan Dulu, Baru Eksekusi Mati”
  34. RMOL.co, 16 Januari 2015, “Korban Napza Tolak Eksekusi Mati”
  35. Antara News, 19 Januari 2015, “Hukuman Mati untuk Mengatrol Citra Presiden”
  36. Faktanews.co.id, 20 Januari 2015, “Eksekusi Mati Enam Terpidana Narkotika, Di Tengah Kontroversi Cakapolri Tersangka”
  37. CNN Indonesia, 20 Januari 2015, “Presiden Diminta Tak Langsung Tolak Grasi Kasus Narkoba”
  38. BBC Indonesia, 3 Februari 2015, “Soal Eksekusi Mati, Reputasi Indonesia Terancam”
  39. Beritasatu.com, 3 Februari 2015, “Penggiat HAM Kecam Jokowi Soal Hukuman Mati”
  40. Hukum Online, 4 Februari 2015, “Perlu Evaluasi Sidang Kasus Terpidana Mati”
  41. Antara News, 13 Februari 2015, “Evaluasi Eksekusi Hukuman Mati”
  42. CNN Indonesia, 18 Februari 2015, “Proses Hukum Terpidana Mati Rodrigo Dinilai Tak Adil”
  43. CNN Indonesia, 20 Februari 2015, “Jaksa Agung: Tidak Ada Aturan Larang Eksekusi Gangguan Jiwa”
  44. CNN Indonesia, 25 Februari 2015, “Terpidana Mati Idap Skizofrenia, Kejaksaan Cari Pendapat Lain”
  45. CNN Indonesia, 4 Maret 2015, “Siang Ini Kejaksaan Umumkan Opini Kedua Skizofrenia Gularte”
  46. Beritasatu.com, 9 April 2015, “Komite KUHAP: PK Lebih dari Satu Kali Sudah Tepat”
  47. Gresnews.com, 10 April 2015, “SEMA Pembatasan Peninjauan Kembali Akan Digugat Penggiat Hukum”
  48. Hukum Online, 17 April 2015, “MA Diminta Cabut SEMA Peninjauan Kembali”
  49. Beritasatu.com, 17 April 2015, “Organisasi Penggiat HAM Nilai Pemerintahan Jokowi-JK Gagal Lindungi WNI”
  50. CNN Indonesia, 19 April 2015, “Jaksa Agung Harus Transparan atas Opini Kedua Rodrigo Gularte”
  51. Gresnews.com, 19 April 2015, “MA Nilai Pembatasan PK Tak Langgar HAM”
  52. Viva.co.id, 19 April 2015, “Eksekusi Mati Warga Negara Brazil Dinilai Menciderai Hukum”
  53. Antara News, 26 April 2015, “Terpidana mati Rodrigo Gularte masih sering berhalusinasi”
  54. Detik.com, 26 April 2015, “Terpidana Asal Brasil Marah Eksekusi Tetap Dilaksanakan”
  55. RMOL.co, 26 April 2015, “Inilah Alasan Eksekusi Mati Terpidana Narkoba Harus Dibatalkan”
  56. Tribunnews.com, 26 April 2015, “Sudah Dimaafkan Malaikat, Terpidana Mati Ini Yakin Tak Akan Dieksekusi”
  57. Tribunnews.com, 26 April 2015, “Pengacara Rodrigo Kecewa Eksekusi Mati Tetap Dilaksanakan”
  58. CNN Indonesia, 26 April 2015, “Rodrigo Gularte Kerap Bicara dengan Tembok Jelang Eksekusi”
  59. Beritasatu.tv, 27 April 2015, “KontraS dan LBH Tantang Debat Soal Hukuman Mati”
  60. CNN Indonesia, 27 April 2015, “Jelang Eksekusi, Terpidana Mati Sakit Jiwa Gularte Ajukan PK”
  61. Liputan 6, 27 April 2015, “Terpidana Mati Rodrigo Sebut 3 Permintaan Terakhir Seperti Aladin”
  62. Liputan 6, 28 April 2015, “Kejagung Diminta Konsisten Eksekusi 10 Terpidana Mati Bersamaan”
  63. Liputan 6, 28 April 2015, “Sergei \’Lolos\’ Eksekusi, Terpidana Lain Merasa Didiskriminasi”
  64. CNN Indonesia, 28 April 2015, “Gularte Ajukan Gugatan Penolakan Grasi Jokowi ke PTUN”
  65. Tempo.co, 29 April 2015, “Eksekusi Mati, Brimob Buat Barikode di Dermaga Nusakambangan”
  66. Beritasatu.com, 5 Mei 2015, “Aneka Pelanggaran KUHAP yang Dilakukan kepada Novel”
  67. Mediaintegritas.com, 15 September 2015, “Sembunyi-Sembunyi Keluarkan Ijin Reklamasi Teluk Jakarta, Ahok Digugat di PTUN”
  68. Viva.co.id, 8 Oktober 2015, “Pemerintah Diminta Evaluasi Efektif Tidaknya Hukuman Mati”
  69. Okezone.com, 8 Oktober 2015, “Tangani Pengguna Narkoba dengan Belajar dari Portugal”
  70. Kriminalitas.com, 8 Oktober 2015, “LBH: Hukuman Mati untuk Pengguna Narkoba Tidak Efektif”
  71. Beritagar.id, 9 Oktober 2015, “Hari Anti- Hukuman Mati, Ini 6 Tuntutan untuk Jokowi”
  72. CNN Indonesia, 9 Oktober 2015, “Hukuman Mati Terpidana Narkoba Dinilai Jadi Tameng Aparat”
  73. CNN Indonesia, 10 Oktober 2015, “Pemerintah Tak Pernah Bahas Isu Penghapusan Hukuman Mati”
  74. CNN Indonesia, 13 Oktober 2015, “Alternatif Lain Hukuman Mati”
  75. LGN, Oktober 2015, “Mengulas Pelatihan Hukum & HAM bersama LBH Masyarakat”
  76. Metrotvnews.com, 2 Desember 2015, “Ratusan Warga Teluk Angke Demonstrasi Tolak Reklamasi”
  77. RMOL Jakarta, 3 Desember 2015, “1000 Rakyat Muara Angke Tolak Reklamasi”
  78. Kicaunews.com, 6 Februari 2016, “Kriminalisasi: Modus dan Kasus-Kasusnya di Indonesia”
  79. Gatra.com, 6 Maret 2016, “Belasan Ormas Tolak Pemblokiran Situs LGBT”
  80. Detik.com, 7 Maret 2016, “17 Organisasi Tolak Pemblokiran Situs LGBT”
  81. Kabar LGBT, 8 Maret 2016, “Disinyalir Kemenkominfo meminta bertemu dengan 4 pemilik situs berkonten LGBT guna memblokir situs-situs tersebut”

Beberapa pernyataan sikap kolektif dengan lembaga swadaya masyarakat lain:

  1. 24 Februari 2011, “Peraturan Bupati Pandeglang: Alat justifikasi dan legitimasi kekerasan dan bentuk pengekangan kebebasan dan berkeyakinan”
  2. 9 Oktober 2012, “Indonesia: Defisit Abolisi Hukuman Mati di Indonesia dengan Tren Global Menuju Penghapusan Hukuman Mati”
  3. 18 Juli 2013, “Deklarasi Masyarakat Sipil Tolak UU Ormas”
  4. 7 September 2013, “Indonesia: Kegagalan menghadirkan keadilan penuh atas pembunuhan pembela hak asasi manusia Munir”
  5. 8 Juli 2014, “Menolak Intimidasi dalam Pemilu dan Beri ruang Kebebasan Rakyat Memilih”
  6. 21 Juli 2014, “Negara Harus Menjamin dan Memastikan Keamanan serta Kedamaian pada 22 Juli 2014”
  7. 26 April 2015, “Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati Desak Presiden Hentikan Rencana Eksekusi 10 Terpidana Mati”
  8. 6 Maret 2016, “Tolak Blokir Ilegal terhadap Situs Komunitas LGBT”

Beberapa kegiatan kami bersama Pemerintah:

  1. 2 April 2008, Kepolisian Republik Indonesia, “Peluncuran LBH Masyarakat”
  2. 24 Agustus 2009, Kementerian Sosial Republik Indonesia, “Rakor Lintas Sektor Penanganan ABH”
  3. 18 Juli 2014, Komisi Informasi Pusat, “LBH Masyarakat Konsultasi Keterbukaan Informasi ke KPI Pusat”

Silakan beri tambahan di bagian komentar apabila anda menemukan liputan lain tentang kami. Liputan nasional lainnya pernah kami himpun di sini dan liputan beberapa media internasional tentang pekerjaan kami juga dapat dilihat di halaman ini.

Rilis Pers – Pemerintah Indonesia di CND: Sebuah Adiksi pada Perang terhadap Narkotika

Jakarta, 17 Maret 2016

LBH Masyarakat mengkritik pernyataan pemerintah Indonesia di sidang Commission on Narcotic Drugs (CND), Vienna, Selasa silam.[i] LBH Masyarakat memandang bahwa apa yang disampaikan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di forum tersebut hanya untuk menjustifikasi pendekatan lama yang usang dan tidak berhasil, tanpa sebuah niat politik untuk melakukan terobosan kebijakan yang progresif.

“Pernyataan delegasi Indonesia di Vienna kemarin tidak lebih dari ikrar kesetiaan pada perang terhadap narkotika, yang terbukti gagal dan justru lebih berbahaya bagi manusia daripada narkotika itu sendiri. Rezim pelarangan terhadap narkotika atau prohibisionis justru menempatkan narkotika di tangan para sindikat perdagangan gelap yang tidak peduli pada apapun selain keuntungan finansial,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat.

“Kami melihat bahwa pemerintah masih bebal dengan menggunakan pendekatan yang utopis mengenai dunia yang bebas dari narkotika. Hal ini dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang condong pada penguatan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum yang kemudian mendorong situasi yang punitif dan represif,” tambahnya.

Lebih lanjut, Yohan menjelaskan, “Bahkan ketika berbicara tentang perawatan, pemerintah dengan bangga menceritakan soal IPWL, Institusi Penerima Wajib Lapor, yang mana, dengan meminjam kata-kata pemerintah sendiri di Vienna, adalah ‘sebuah upaya rehabilitasi paksa’. Bentuk perawatan yang demikian melanggar berbagai aspek hak asasi manusia, tidak efektif, dan bahkan sudah berulang kali ditentang oleh banyak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).”

“Pemerintah dengan amat halus menyebutkan bahwa untuk mengatasi permasalahan narkotika perlu ada langkah-langkah serius yang luar biasa. Pernyataan ini kemudian juga disambung dengan penekanan prinsip non-intervensi. Dalam satu kaca mata, pernyataan ini menjadi pembenaran langkah-langkah pemerintah yang punitif dan tidak humanis dalam memerangi narkotika, seperti hukuman mati.”

“Pemerintah seharusnya memandang forum CND kali ini sebagai sebuah persiapan menuju Sesi Khusus Sidang Umum PBB tentang Permasalahan Narkotika, UNGASS, pada April nanti. UNGASS dipercepat pelaksanaannya karena permintaan beberapa negara Amerika Latin yang lelah menyaksikan kondisi kawasannya yang semakin kisruh karena perang terhadap narkotika. Semestinya, pemerintah melihat sebuah kebutuhan akan perubahan, bukannya terus memegang teguh pendekatan lama yang terbukti gagal,” Yohan menjelaskan.

“Untuk mengatasi permasalahan narkotika, Indonesia, seperti banyak negara lain, memerlukan metode dan alternatif baru yang berbasis ilmiah dan mengedepankan hak asasi manusia. Dengan cara-cara yang Indonesia lakukan hari ini, justru telah memenjarakan banyak orang hanya karena konsumsi dan kepemilikan narkotika skala kecil; meningkatkan angka kematian akibat narkotika karena pemakai narkotika enggan dan tidak dapat mengakses perawatan dalam situasi kebijakan narkotika yang mencekam; menyuburkan praktik korupsi di lingkungan penegakan hukum; serta melanggar hak asasi manusia seperti: hukuman mati, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan rehabilitasi paksa.”

“Dokumen akhir UNGASS masih terbuka untuk perubahan sampai di New York, April nanti. LBH Masyarakat masih berharap bahwa pemerintah mau mendengar, membuka diri, dan mendukung mosi reformasi kebijakan narkotika global. Ini adalah momentum perubahan yang kami harap pemerintah tidak sia-siakan. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa ini juga bisa menjadi momentum penahbisan metode-metode brutal dalam mengatasi masalah narkotika, baik di tingkat global maupun nasional,” tutup Yohan.

Narahubung:

Yohan Misero (085697545166)

[i]

Rilis Pers – Tes Urine Dadakan Kepala Daerah: Mengukuhkan Stigma Terhadap Pemakai Narkotika

Jakarta, 16 Maret 2016

LBH Masyarakat menentang rencana Pemerintah Indonesia melakukan tes urine dadakan kepada semua kepala dan wakil kepala daerah di Indonesia. LBH Masyarakat memandang bahwa tes yang dilakukan tanpa didahului pemberitahuan tersebut secara tidak langsung telah mengukuhkan stigma buruk terhadap pemakai narkotika.

Tertangkapnya Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi,[i] Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada awal minggu ini telah menjadi momentum bagi pemerintah untuk meneriakkan kembali slogan-slogan perang terhadap narkotika yang tidak efektif tersebut. Hal ini memunculkan gagasan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia,  Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang kemudian disetujui oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk melakukan tes urin dadakan pada pemimpin-pemimpin daerah.[ii]

“Apa yang dicanangkan oleh Kepala BNN ini akan mengukuhkan stigma buruk terhadap pengguna narkotika. Kepala dan wakil kepala daerah seharusnya dinilai dari prestasinya selama menjabat atau apakah ia korup atau tidak. Pemakaian narkotika adalah masalah kesehatan dan oleh karena itu tidak sepatutnya dijadikan landasan untuk menstigma atau menilai seseorang,” ujar Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat, Yohan Misero.

“Jika seorang kepala daerah saja harus dinilai dari hal seperti ini, masyarakat akan memiliki pemahaman untuk juga menghakimi sesama warga masyarakat dengan hal yang sama. Seseorang yang menggunakan narkotika akan dipandang sebagai seseorang yang bermasalah, tidak cocok bergaul di tengah masyarakat, harus dijauhkan, serta tidak dapat menjadi seorang manusia yang produktif. Padahal dalam kenyataannya yang kita temui justru sebaliknya, banyak sekali pemakai narkotika yang dapat menjadi warga yang produktif dan berkontribusi pada masyarakat di sekitarnya. Pemerintah seharusnya mendorong kebijakan atau situasi yang lebih merangkul pemakai narkotika. Disadari atau tidak, inisiasi tes dadakan ini akan memperburuk stigma terhadap pemakai narkotika,” kata Yohan.

“Memang dalam kenyataannya, di negara ini konsumsi narkotika adalah suatu aktivitas yang ilegal, namun tidak serta merta hal tersebut menjadi justifikasi terhadap rencana ini. Sebagaimana di banyak belahan dunia, Indonesia sudah saatnya memikirkan ulang soal kriminalisasi pemakaian narkotika, yang mana terbukti buruk bagi situasi kesehatan masyarakat umum, meningkatkan stigma, serta memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan lebih dari kapasitas yang seharusnya,” Yohan menjelaskan.

LBH Masyarakat juga menyesalkan sikap BNN yang memproses Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi secara pidana.[iii] “BNN seharusnya melihat riwayat pemakaian narkotika seseorang dan sejauh apa ia terlibat dalam perdagangan gelap narkotika. Jika ia hanya seorang konsumen, seharusnya seseorang diberikan perawatan bukannya dimasukkan ke dalam penjara,” ujar Yohan.

Sebagai penutup, Yohan juga mengingatkan kepada media massa untuk melakukan pemberitaan secara berimbang, “Berita soal seorang kepala daerah memakai narkotika memang amat renyah dan mudah dijual, namun di sisi lain media juga seharusnya tidak lupa untuk memposisikan seorang pemakai narkotika sebagai seorang korban kebijakan, bukannya seorang penjahat yang harus ditangkap dan dipenjara. Dalam kasus ini, wajar ada kemarahan karena kita sedang berurusan dengan pejabat. Namun ketika narasi punitif yang sedang didengungkan oleh pemerintah ini justru menimpa orang-orang terdekat kita, haruskah saat itu baru kita berpikir ulang?”

 

Narahubung:

Yohan David Misero   +62 856 9754 5166

 

[i] https://m.tempo.co/read/news/2016/03/14/063753389/positif-pakai-narkoba-bupati-ogan-ilir-dibawa-ke-bnn

[ii] http://nasional.kompas.com/read/2016/03/16/10502601/Mendagri.Izinkan.BNN.Tes.Urine.Kepala.Daerah.secara.Dadakan

[iii] https://news.detik.com/berita/3164559/buwas-bupati-nofiandi-bukan-korban-tapi-pemakai-narkoba-yang-sudah-lama

Perempuan Kurir Narkotika: Kerentanan yang Terlupakan

Hari ini, 8 Maret, adalah peringatan Hari Perempuan Internasional. Gagasan mengenai Hari Perempuan Internasional muncul pada tahun 1910 di Konferensi Internasional Pekerja Perempuan oleh Clara Zetkin, ketua Women’s Office untuk Partai Sosial Demokrat di Jerman.[1] Perayaan Hari Perempuan Internasional merupakan selebrasi global dan panggilan untuk kesetaraan jender.[2] Hingga hari ini masih banyak terdapat persoalan kesetaraan jender dan diskriminasi perempuan, tetapi masih ada satu persoalan yang sepertinya belum mendapat perhatian dari banyak pihak yakni perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir narkotika.

April 2015, Mary Jane Veloso, perempuan berkebangsaan Filipina nyaris dieksekusi oleh Indonesia karena dituduh terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir. Mary Jane telah menempuh segala upaya hukum, namun tidak ada ampunan kepadanya, bahkan dari Presiden Joko Widodo. Sebagian masyarakat Indonesia maupun komunitas internasional kemudian bersuara mendesak Presiden Joko Widodo agar Mary Jane tidak dieksekusi. Gerakan masyarakat pun menunjukkan kekuatannya. Pada detik-detik terakhir Mary Jane akan dieksekusi, Presiden Joko Widodo tiba-tiba membatalkan rencana eksekusi terhadap Mary Jane.

Mary Jane hanyalah satu dari daftar panjang perempuan yang telah dieksploitasi menjadi kurir narkotika. Pada bulan Januari 2015, Indonesia mengeksekusi mati Rani Andriani karena menjadi kurir narkotika dalam perjalanan menuju ke Thailand. Kemudian ada kasus Mut, EYS, I dan N.[3] Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa daftar panjang ini akan berhenti. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ketika itu, Anang Iskandar, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 saja ada 4.297 perempuan Indonesia yang terlibat dalam peredaran narkotika. Umumnya mereka menjadi kurir narkotika baik di dalam maupun luar negeri.[4] Perekrutan perempuan menjadi kurir narkotika dilakukan dengan berbagai cara namun menggunakan pola yang sama: memanfaatkan kerentanan perempuan.

Hukum narkotika Indonesia yang mengadopsi paradigma ‘perang terhadap narkotika’ memberikan hukuman berat kepada kurir narkotika dengan pidana maksimal pidana mati. Sikap negara yang keras terhadap kurir narkotika dan hukum yang tidak peka terhadap jender semakin memojokkan perempuan yang sedari awal memiliki posisi tawar sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki karena relasi kuasa yang timpang. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyatakan bahwa perempuan yang lemah secara pendidikan, ekonomi ataupun menjadi korban kekerasan seringkali dimanfaatkan oleh para sindikat dalam peredaran gelap narkotika.[5] Pola untuk merekrut kurir perempuan dilakukan dengan membentuk relasi personal dengan korban melalui hubungan pacaran ataupun pernikahan.[6] Dalam kondisi seperti ini sindikat memanfaatkan ketergantungan ekonomi dan psikologis perempuan ataupun dengan ancaman kekerasan.

Pola rekrutmen lainnya adalah di mana sindikat secara khusus memang mengincar perempuan yang miskin dan membutuhkan pekerjaan. Selain itu, pola rekrutmen dengan menjebak perempuan untuk membawa atau mengantarkan sejumlah narkotika tanpa sepengetahuan korban juga kerap kali dilakukan. Bisa dikatakan, pola pengeksploitasian perempuan semacam ini adalah suatu tindakan yang terencana dengan sistematis oleh sindikat. Sulistyowati Irianto, dkk. menyatakan bahwa pola rekrutmen perempuan narkotika yang sistematis dan terorganisir seperti itu merupakan bentuk perdagangan perempuan.[7] Adanya perekrutan atau transportasi perempuan dengan ancaman kekerasan; penipuan; pemaksaan dengan kekerasan; jeratan utang untuk tujuan menempatkan atau menahan perempuan, apakah dibayar atau tidak, dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan.[8]

Dengan kacamatanya yang punitif, aparat penegak hukum pun tidak lagi melihat persoalan kerentanan perempuan ketika menangani dan memutus sebuah perkara narkotika. Sulistyowati Irianto, dkk., mengungkapkan bahwa ketika unsur pasal telah terpenuhi dalam memutus perkara perempuan kurir narkotika, hakim tidak lagi mempertimbangkan faktor kerentanan dan kemiskinan perempuan dalam putusan mereka.[9]

Perekrutan perempuan menjadi kurir narkotika, yang merupakan bagian dari perdagangan perempuan, diperparah dengan ancaman hukuman mati atau hukuman berat lainnya kepada perempuan kurir narkotika. Perempuan, akhirnya, menjadi salah satu kelompok masyarakat yang paling dirugikan dalam perang terhadap narkotika.

Dalam perang terhadap narkotika, perempuan yang sudah rentan dieksploitasi harus berhadapan dengan hukuman mati dan puluhan tahun penjara karena posisinya yang lemah. Oleh karena itu, negara harus menimbang ulang kebijakan narkotikanya yang punitif dan menghapus hukuman mati untuk tindak pidana narkotika sebagai langkah awal perlindungan hukum terhadap perempuan. Negara harus melihat perempuan sebagai bagian dari korban perdagangan perempuan bukan pelaku utama peredaran narkotika. Sebab, hukum dan kebijakan negara haruslah responsif terhadap jender dan memberikan perlindungan terhadap perempuan, bukannya justru merugikan perempuan.

 

Penulis: Arinta Dea Dini Singgi, Staf Pengembangan Program LBH Masyarakat yang memiliki minat di isu perempuan dan narkotika. Tulisan penulis lainnya dapat diakses melalui arintadds.wordpress.com

Editor: Yohan Misero

 

[1] Lihat misalnya http://www.internationalwomensday.com/About untuk mengetahui tentang Hari Perempuan Internasional.

[2] Ibid.

[3] Penulis sengaja tidak mencantumkan nama lengkap mereka karena kasusnya yang sedang berjalan di Indonesia.

[4] “4.297 Wanita Indonesia Kurir Narkoba Internasional”, https://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630260/4-297-wanita-indonesia-kurir-narkoba-internasional. Menariknya dan ironisnya, pemerintah – dalam hal ini BNN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) – sudah mengakui bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan sebagai kurir narkotika, tetapi belum ada upaya komprehensif pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Lihat misalnya, “Perempuan Rentan Jadi Kurir Narkoba”, http://www.indopos.co.id/2014/09/perempuan-rentan-jadi-kurir-narkoba.html.

[5] Satgas PBB untuk Kejahatan Internasional Lintas Negara dan Perdagangan Narkotika sebagai Ancaman terhadap Keamanan dan Stabilitas, “A Gender Perspective on the Impact of Drug Use, the Drug Trade, and Drug Control Regime”, Juli 2014.

[6] Khoirun Hutapea, “Pola-pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir dalam Jaringan Peredaran Narkoba Internasional”, Juni 2011, hal. 64.

[7] Sulistyowati Irianto, dkk., “Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika”, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[8] Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan, “Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan: Panduan untuk Membantu Perempuan dan Anak yang Diperdagangkan, 1999, hal. 11-12.

[9] Op.Cit.

Relawan Media Monitoring Maret-Juni 2016

Jika kamu tertarik dengan persoalan narkotika, penghukuman, LGBT, stigma dan diskriminasi HIV, dan kesehatan jiwa, LBH Masyarakat sangat ingin mengenalmu!

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat adalah sebuah organisasi non-pemerintah nirlaba yang menyediakan bantuan hukum cuma-cuma, melakukan penelitian dan analisis, serta melakukan upaya advokasi kebijakan untuk membela hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Saat ini kami berkonsentrasi pada komunitas pemakai narkotika, LGBT, pekerja seks, orang dengan gangguan jiwa, orang dengan HIV/AIDS, tahanan/narapidana, serta mereka yang terancam hukuman mati/eksekusi.

Kami sedang membutuhkan relawan (volunteer) yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya hingga Juni 2016. Ini adalah kesempatan yang sangat menarik buat kamu yang tertarik untuk memiliki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya. Pengalaman yang kamu dapat dari masa kamu menjadi relawan juga akan bermanfaat saat kamu bekerja, apa pun pilihan karir kamu nanti.

Kami mencari mahasiswa yang:

  • Memiliki ketertarikan pada hak asasi manusia dan komunitas yang terpinggirkan
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia melalui penelusuran media, serta memantau perkembangan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan konsentrasi isu LBH Masyarakat.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 18 Maret 2016.

“Love is the answer, and you know that for sure; Love is a flower, you\’ve got to let it grow.”

― John Lennon

Our Contribution for UNGASS 2016

Special Session of the United Nations General Assembly (UNGASS) on the World Drug Problem will be held in New York on 19-21 April 2016. Then, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) develops a system for civil society to contribute by sending books, research reports, movies, letters, etc. as references for discussions in the UNGASS.

On 3 March 2016, we have sent our contribution which later also published in UNGASS 2016 official website. You could also download our contribution through this link: 000316_A Proposal for UNGASS 2016_The Momentum for Change_LBHMasyarakat.

Skip to content