AM dari Depok: Sebuah Refleksi akan Pentingnya Penasihat Hukum dalam Kasus Narkotika Anak
Menurut hukum, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1] Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah berumur dua belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan demikian, negara tidak berhak melanjutkan proses persidangan anak yang belum genap berusia dua belas tahun.[2] Dari pantauan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat, 27,5% penghuninya adalah anak yang terlibat dengan kasus narkotika dan sisanya terlibat kasus kriminal seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan pelecehan seksual.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) beberapa kali meyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan sesi konsultasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah DKI Jakarta yaitu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat. Kami sering memberikan bantuan hukum pada anak yang terlibat dalam kasus narkotika baik melalui penyuluhan maupun sesi konsultasi. Beberapa anak sering menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika dengan tugas mengantarkan narkotika tersebut kepada orang lain (pembeli).
Disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang minim, anak bisa terpengaruh oleh iming-imingan uang dalam memutuskan untuk menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika. Namun anak sering belum menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan hukum di Indonesia dan dapat dijerat pidana penjara.
Beberapa anak yang kami dampingi bahkan dapat dikategorikan sebagai pecandu narkotika. Baik anak maupun orang dewasa yang menjadi pecandu narkotika sudah seharusnya tidak dipenjara, sesuai dengan amanat Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
Anak-anak tersebut kini harus melewati proses persidangan. Kurangnya pendampingan penasehat hukum atau pengacara saat proses penyidikan di tingkat kepolisian berpotensi membuat hak-hak anak tidak terpenuhi. Contohnya, jika seorang anak terbukti sebagai pecandu narkotika, maka dari awal pada anak itu semestinya diberikan asesmen agar si anak tidak dipidana penjara tapi ditempatkan di tempat rehabilitasi.
Bagaimana jika anak tersebut tidak didampingi pengacara sampai proses persidangan? Apakah si anak mengerti agenda-agenda persidangan yang akan mereka jalani? Misalkan, proses eksepsi.[3] Melalui eksepsi, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang keliru bisa ditangkis. Jika seandainya si anak menghadapi proses persidangan tanpa pengacara, apakah eksepsi itu berani diajukan? Kemudian, jika dari awal dakwaannya sudah salah, bagaimana nasib agenda-agenda sidang berikutnya?
Kebutuhan akan hadirnya pengacara dalam kasus anak berhadapan dengan narkotika sering terbentur dengan tudingan yang umum di tengah masyarakat bahwa, “memakai jasa pengacara dalam kasus narkotika bikin proses persidangan lama dan toh hasilnya sama saja”. Namun keberadaan istilah ini telah mengurungkan niat banyak tersangka, terdakwa, maupun keluarga mereka untuk menggunakan jasa pengacara. Mereka terlena dengan bujukan “Sudahlah, yang peting cepat.” Namun untuk apa proses persidangan cepat tapi hasilnya merugikan kita sendiri?
Belum lagi keraguan dan ketakutan keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi untuk mengeluarkan uang bagi jasa si pengacara tersebut. Tidak semua orang mengetahui adanya keberadaan organisasi yang memberikan bantuan hukum secara gratis. LBH Masyarakat adalah salah satu contoh lembaga non-profit yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.
***
Masih teringat di benak saya, pada tanggal 11 Desember 2015, datanglah seorang laki-laki bersama saudara dan temannya dari Depok, Jawa Barat ke kantor kami, LBH Masyarakat, di Jalan Tebet Timur Dalam VI No. 3, Jakarta Selatan. Ia adalah ayah dari AM, 15 tahun, yang menjadi tersangka kasus Narkotika dengan sangkaan pasal 114 ayat (1) sub. 111 ayat (1) jo. 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Setelah mendengar kronologis secara umum dari si ayah (RT), kami putuskan untuk langsung bertemu dengan anak tersebut di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat untuk mencari informasi dan kronologis lebih dalam lagi, langsung dari si anak tersebut. Kami dapati bahwa AM tersangkut kasus ganja. Ia tertangkap bersama satu orang dewasa dan satu orang teman sekolahnya di daerah Depok.
AM mengatakan bahwa pada tanggal 14 Desember 2015 ia sudah harus menjalani proses persidangan. Mendengar kabar tentang waktu yang singkat itu, kami langsung menanyakan kepada si ayah, “Apakah kalian mau kami beri Pendampingan Hukum pada saat proses persidangan?“ Mereka langsung menyetujui untuk menerima bantuan hukum dari kami. Surat kuasa langsung dibuat dan kami ajukan kepada anak dan ayah untuk ditandatangani di atas materai Rp 6.000,-.
Sidang pertama dibuka dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilanjutkan dengan agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi, seorang polisi dari Polsek Pasar Minggu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, AM tidak sendiri. AM duduk berdampingan di depan hakim bersama temannya, yang juga masih dalam kategori anak, berinisial KM. Hakim kemudian menanyakan kepada KM tentang keberadaan pengacara. KM bersama keluarga pun kemudian menunjuk LBH Masyarakat sebagai penasihat hukum.[4]
Hanya sehari kemudian, pada tanggal 15 Desember 2015, agenda persidangan adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Mereka (AM dan KM) dituntut pidana penjara 2 tahun 8 bulan. Melihat ancaman hukuman pidana penjara tersebut, kami langsung membuat nota pembelaan bagi dua anak tersebut. Kami beragumen bahwa AM dan KM tidak terbukti secara sah melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, memberi, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Kami juga meminta hakim untuk agar segera mengeluarkan mereka (AM dan KM) dari tahanan dengan pidana alternatif berupa pengawasan dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Ternyata, di hari yang sama Hakim langsung menjatuhkan Putusan kepada mereka, AM dan KM. Setelah kami sebagai tim kuasa hukum menyampaikan pledoi, secara tertulis dan lisan, di dalam ruang sidang anak dan didengarkan oleh Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Panitera dan dua anggota Balai Pemasyarakatan, Hakim meminta seluruh yang ada di ruang sidang anak untuk keluar dari ruangan (kecuali mereka sebagai terdakwa). Hakim ingin berpikir serta menimbang pokok pembelaan yang kami ajukan. Setelah 10 menit sidang diskors, Panitera yang bertugas kemudian memanggil kami untuk masuk dan mendengarkan putusan dari si Hakim. Dengan suara yang cukup lantang dan penuh percaya diri, Hakim memutuskan untuk memberikan pidana 1 tahun 8 bulan Pidana Penjara oleh karena bagi hakim yang terbukti ialah Pasal 111 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim bersifat kooperatif dan langsung menanyakan, “Apakah kalian menerima putusan tersebut? Atau kalian mau melakukan upaya hukum?” Pertanyaan itu langsung ditujukan kepada kami sebagai Penasihat Hukum. Kami menjawab bahwa kami memerlukan waktu untuk berpikir-pikir terlebih dahulu selama waktu yang telah ditentukan Undang-Undang.
Kami selaku Penasihat Hukum menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang harus dilakukan, apakah harus menerima atau harus melakukan upaya hukum. Kami memberitahukan kepada keluarga si anak segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika menerima atau mengajukan banding. Semua itu disampaikan agar keluarga bisa berpikir lebih jauh dan memberikan jawaban kepada kami.
Akhirnya keluarga dari dua anak tersebut sepakat memutuskan untuk melakukan banding atas putusan Hakim. Mendapat kabar tentang keputusan keluarga, maka kami langsung memberitahukan permohonan banding secara lisan kepada Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selang 3 hari kemudian, kami langsung berikan semua persyaratan banding kami, yaitu memori banding dan surat kuasa ditambah dengan surat penangguhan penahanan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kami beranggapan bahwa anak tidak layak diberikan pidana di dalam penjara karena potensi anak yang masih bisa berkembang dengan menuntut ilmu. Bayangkan jika mereka dipenjara selama satu tahun, maka selama satu tahun juga si anak tersebut berada di Lapas Salemba dan tidak mendapatkan pendidikan secara penuh yang akan menjadi bekal mereka untuk dewasa kelak.
Hal yang berbeda akan terjadi apabila mereka dipenjara. Sekeluarnya mereka dari sana, besar potensi bahwa kerasnya kehidupan penjara itu akan ‘terbawa’ ke keluarga dan lingkungan tempat dia tinggal, bermain atau bekerja. Namun jika mereka ditempatkan di luar penjara, mereka dapat memperoleh pendidikan maupun pelajaran kerohanian.
Dua puluh lima hari berikutnya keluarlah putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dua orang staf dari LBH Masyarakat yang ingin mengetahui hasil putusan banding pergi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Begitu sampai di ruang panitera pidana, kami langsung diberikan ucapan selamat oleh si Panitera. Kami bingung akan maksud ucapan tersebut yang kurang lebih isi percakapannya sebagai berikut: “Kalian siapa? Penasihat Hukumnya ya?” Kami menjawab benar bahwa kami memang Penasihat Hukum dari kedua anak tersebut. “Wah selamat ya, mereka diberikan pidana penjara hanya delapan bulan saja oleh Hakim.”
Sontak kami berdua bingung mengapa kami diberi selamat karena memori banding yang kami ajukan tidak mempermasalahkan waktu pemidanaan melainkan tempat pemidanaan dan jenis pemidanaannya. Meskipun demikian, kami tetap mengabari keluarga AM dan KM tentang hasil putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut. Keluarga langsung senang mendapatkan hasil putusan tersebut. Padahal kami selaku Penasihat Hukum sudah sepakat bersama keluarga untuk mengajukan upaya hukum banding atas jenis dan tempat pemidanaan, bukan waktu pemidanaan. Namun dikarenakan keluarga sudah menerima putusan ini, kami anggap tugas kami selaku Penasihat Hukum sudah selesai.
***
Kami memandang bahwa Penasehat Hukum sangat mempunyai peran penting dalam mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, terutama pada kasus narkotika. Memang dari kasus di atas, kami tidak berhasil membantu dua anak tersebut untuk lolos dari pidana penjara. Namun setidaknya, kami sudah berhasil membuat hukuman yang dijatuhkan kepada mereka sedikit lebih rendah. Ini bantahan langsung pada argumen bahwa kehadiran pengacara tidak memberi dampak. Ditambah lagi, kami berikan bantuan hukum ini secara gratis. Ini hanya satu bagian dari perjalanan kami dalam berjuang bagi masyarakat. Sebuah perjalanan yang berliku dan banyak rintangan, tetapi kami yakin bahwa keadilan bukanlah sebuah utopia.
Penulis: Yosua Octavian
Editor: Yohan Misero
[1]Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
[2]Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[3]Tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima | Yahya Harahap; Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan; Sinar Grafika; 2007; Hal. 418
[4] Surat kuasa hari itu adalah kuasa lisan dan disetujui oleh Hakim dan Jaksa.