Pidana Mati Ferdy Sambo: Simplifikasi Reformasi Kepolisian?

LBH Masyarakat (LBHM), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
mengucapkan duka mendalam atas meninggalnya Brigadir Yosua dalam peristiwa
pembunuhan. Dalam kasus ini kami juga menyoroti langkah Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo pada 13
Februari 2023.


Kami mendukung penuh penjatuhan pidana terhadap kasus pembunuhan berencana yang
dilakukan oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri untuk
memenuhi rasa keadilan bagi korban. Namun di sisi lain, penjatuhan pidana mati yang diberikan
kepada Ferdy Sambo tidak menyentuh problematika struktural di instansi Kepolisian, baik
terkait mekanisme pengawasan maupun sistem penjatuhan sanksi antara etik dan profesi
maupun pidana.


Dalam penjatuhan pidana mati di beberapa kasus (tidak hanya pada kasus Ferdy Sambo),
Pemerintah abai terhadap dorongan internasional yang selalu menjadi pembahasan di
Universal Periodic Review (UPR) sebagai mekanisme pemantauan situasi HAM di level
internasional, terlebih tren global yang terjadi di negara-negara di dunia telah menghapus
hukuman mati yang diterapkan di 109 negara.


Sejatinya, penerapan pidana mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia jelas bertentangan
dengan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun
(non-derogable rights). Artinya, tidak ada seorang pun yang berhak untuk mencabut hak hidup
seseorang, termasuk dalam hal ini negara. Perlindungan hak hidup sendiri telah diatur dalam
berbagai instrumen hukum, baik itu yang nasional maupun internasional. Dalam instrumen
Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM (UU HAM).


Secara umum, negara melihat pidana mati masih dianggap sebagai bentuk hukuman yang
setimpal dengan perbuatan pelaku yang merugikan korban, dan bisa menimbulkan efek jera
serta memenuhi keadilan. Padahal, pemberlakuan pidana mati selain melanggar aspek-aspek
HAM di luar hak untuk hidup, juga lebih banyak kepentingan politik dan bahkan cenderung lebih
sering untuk menutupi pihak lain dan kejahatan lain yang ada di belakangnya. Terutama dalam
kasus-kasus narkotika, penerapan vonis pidana mati sebagai dalih efek jera malah tidak terbukti
menurunnya kasus-kasus narkotika serta gagal menyingkap aktor utama.


Pada sisi lain vonis pidana mati menyisakan persoalan yang khas yaitu fenomena deret tunggu
pidana mati (death row phenomenon) yang merusak psikologis dan mental terpidana mati
selama menuju eksekusi mati. Dalam catatan kami tergambar jelas dalam kasus perempuan
terpidana mati Merri Utami yang hingga saat ini menjalani pemenjaraan lebih dari 21 tahun
tanpa ada perlindungan hukum atas hukuman berlapis yang dijalani selama ini.


Di tengah persoalan rasa keadilan bagi korban dan intervensi negara dalam menerapkan
hukuman, vonis pidana mati cenderung menutupi boroknya penegakan hukum yang terjadi
sekaligus mengabaikan hak-hak dan harkat serta martabat terpidana mati.


Kami menilai penghapusan pidana mati bukan berarti mendukung tindakan kriminal, melainkan
usaha untuk mendorong perbaikan pada sejumlah sektor penegakan hukum, khususnya pada
pidana mati yang mana sampai saat ini masih menyimpan sejumlah persoalan. Selanjutnya,
kami juga turut menggarisbawahi bahwa kasus Ferdy Sambo secara tidak langsung
menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam institusi kepolisian (e.g melibatkan anggota
kepolisian dalam tindak pidana, upaya menutupi suatu kasus, obstruction of justice dan lain
sebagainya).


Dalam catatan Komnas HAM dan Ombudsman pada tahun 2021 menyampaikan temuan yang
sama bahwa di tahun 2020, institusi kepolisian merupakan institusi yang paling banyak
dilaporkan oleh publik. Tragedi Kanjuruhan, merupakan potret problem kepolisian terhadap
mengakarnya budaya kekerasan dan penyelewengan kewenangan. Selain itu kokohnya
kewenangan kepolisian tanpa ditopang dengan mekanisme pengawasan yang efektif terutama
oleh Pemerintah dan DPR. Situasi tersebut mengakibatkan kepolisian menjadi institusi super
power tanpa pengawasan optimal. Sehingga tidak heran jika temuan Ombudsman dan Komnas
HAM tersebut menunjukan penyakit di tubuh kepolisian yang sangat kronis jika dibiarkan
berlarut tanpa penyelesaian.


Dalam kasus Ferdy Sambo, pidana mati justru tidak menjawab kebutuhan mendesak untuk
melakukan reformasi kepolisian tersebut, mengingat kasus yang menewaskan Brigadir Yosua
telah melibatkan banyak anggota polisi dari berbagai level. Padahal, sempat digadang-gadang
akan terkuak berbagai bentuk kejahatan terorganisir lainnya yang sempat diperiksa oleh
Propam di bawah Ferdy Sambo dkk. Kami khawatir bahwa pidana mati merupakan cara untuk
simplifikasi terhadap reformasi kepolisian.


Jakarta, 14 Februari 2023
LBH Masyarakat – PBHI
Narahubung:
LBHM : 0898 437 0066
PBHI : 0813 1496 9726

SIARAN PERS KOALISI REFORMASI ANTI TEROR

“Putusan Praperadilan Jhon Sondang Pakpahan Mengabaikan Fakta Persidangan, Mencerminkan Rapuhnya Lembaga Praperadilan”

(09/02/2023) Setelah ditunda pada tanggal 8 Februari 2023, Koalisi Reformasi Anti Teror (KRAT) menghadiri agenda sidang pembacaan putusan dalam perkara praperadilan JHON SONDANG SAITO PAKPAHAN melawan Densus 88 Anti Teror Polri. Dalam amar putusannya, hakim menolak seluruh permohonan JHON atas permintaan agar menyatakan upaya paksa berupa penggeledahan, penahanan, dan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Polri dinyatakan tidak sah.

Pertama, kami sangat menyayangkan putusan hakim mengabaikan atau tidak mempertimbangkan serangkaian fakta pelanggaran hak yang dialami oleh JOHN sebagaimana fakta yang telah disampaikan dalam persidangan. Pelanggaran hak yang dialami JOHN diawali dari minimnya akses kunjungan keluarga dan intervensi bantuan hukum yang memadai selama menjalani penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob, Cikeas. Pasca penangkapan, JOHN tidak menerima akses kunjungan secara fisik oleh keluarga selama 185 hari. Penolakan juga dialami oleh KRAT yang berupaya untuk bertemu dan berkomunikasi dengan JHON. Hal ini dibuktikan dari absennya tanggapan Densus 88 Polri atas seluruh bukti surat permohonan bertemu dan permintaan berkas perkara JHON, yang sejatinya telah dijamin dalam Pasal 60 dan Pasal 72 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Kedua, penyidikan perkara ini telah jelas terbukti dilakukan dengan serangkaian prosedur yang bertentangan dengan hukum acara pidana. Diantaranya adalah tidak adanya penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada JOHN, sebagaimana kaidah hukum dalam Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang secara imperatif membebankan kewajiban bagi penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan–termasuk kepada JHON sebagai tersangka, oleh karenanya sependapat dengan Putusan MK tersebut kami menilai tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional JOHN sehingga harusnya Hakim menerima dan mengabulkan serta menyatakan penyidikan tidak sah.

Ketiga, Putusan ini justru mereduksi pertimbangan-pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang telah memperluas objek praperadilan. Putusan tersebut sejatinya berupaya menjawab persoalan pada lembaga praperadilan, yang sebelumnya terjebak dalam pemeriksaan formil dan administrasi belaka. Mahkamah Konstitusi telah jelas menyatakan bahwa setiap tindakan penyidik yang tidak berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian dan diduga melanggar hak asasi manusia, dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan. Sehingga, kewenangan praperadilan tidak hanya mengawasi tindakan objektif dan administratif yang dilakukan oleh penyidik, namun juga mampu menjangkau subjektifitas penyidik dalam melakukan upaya paksa terhadap seseorang.

keempat, oleh karena itu kami menilai rencana Revisi KUHAP harus memastikan bahwa harus ada pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) yang kuat sebagai upaya kontrol bagi upaya paksa yang dilakukan khususnya oleh Penyidik. Kebutuhan tersebut sangat mendesak agar pengadilan dapat memantau dan mengendalikan proses pra-persidangan dan melakukan pemeriksaan secara aktif terhadap semua upaya paksa yang dilakukan, termasuk memutus berdasarkan inisiatif dari pengadilan sendiri.

Hormat kami

Koalisi Reformasi Anti Teror

Narahubung:

  1. Fadhil Alfathan 081213151377
  2. Nixon Randy Sinaga 082241148034
  3. Teo Reffelsen 085273111161
  4. Yosua Octavian 081297789301

LAPORAN TAHUNAN LBH MASYARAKAT 2022

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2022). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2022 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2022 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Ganja Medis dan Pembubaran BNN

Kepala BNN tidak setuju ganja medis dilegalkan. Statement ini disampaikan Kepala BNN pada saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu, 18 Januari 2023. . Berdasarkan hal tersebut koalisi masyarakat sipil Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) perlu menyikapi dan meluruskan tanggapan Kepala BNN tersebut.

Jika kita merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK), MK dalam putusan nomor 106/PUU-XVIII/2020 tanggal 20 Juli 2022 sama sekali tidak melarang narkotika, khususnya ganja, digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. MK justru memerintahkan agar pemerintah segera melakukan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I, termasuk ganja didalamnya, untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi.

MK mengamini bahwa narkotika golongan I, khususnya ganja, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan, akan tetapi perlu dibarengi dengan penguatan sistem hukum dan kesehatan Indonesia sehingga infrastruktur yang ada bisa siap, jika hasil penelitian yang dilakukan pemerintah membuktikan jenis narkotika dalam golongan I dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan Kesehatan. MK dalam putusannya tidak pernah menyatakan menutup pemanfaatan ganja untuk medis.

Kepala BNN dalam Raker itu justru menunjukan sikap arogan dan emosional serta mengedepankan kepentingan personal yang anti science daripada tugas kelembagaan BNN itu sendiri. Jika kita terus mempertahankan kinerja BNN dengan kepemimpinan BNN yang ditunjukan oleh Kepala BNN saat ini, maka tidak ada bedanya keberadaan BNN dengan aparat penegak hukum lain dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). BNN perlu berbenah dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan perkembangan zaman, khususnya terkait kebutuhan masyarakat untuk pemanfaatan ganja medis. Jika BNN masih keras kepala dan tidak mau berbenah dan mengedepankan kebijakan yang tidak berbasis ilmu pengetahuan, maka tidak ada lagi pilihan selain membubarkan BNN.

Rilis selengkapnya ada di sini

Hukuman Mati Tidak Memenuhi Keadilan Korban Kejahatan Seksual

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyoroti langkah Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari Herry Wirawan (pelaku pemerkosaan 13 santri) dan tetap menghukum mati Herry sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Kami mendukung secara penuh penjatuhan pidana seberat-beratnya pada kejahatan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan, tetapi kami juga turut menggaris bawahi bahwa  penolakan kasasi oleh MA justru menunjukkan lalainya negara dalam memahami penjatuhan vonis mati belum tentu menyelesaikan persoalan dan membuat jera para pelaku kekerasan seksual.

Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan secara jelas melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun  (non derogable rights). Selain itu, jika dilihat berdasarkan aturan internasional, hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6. Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

Jika ditelisik lebih dalam, kasus kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang tidak dapat otomatis  akan selesai melalui penjatuhan vonis mati terhadap pelaku. Vonis hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusi dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Meskipun argumen utama vonis hukuman mati dalam kasus ini adalah dapat mencegah pemerkosaan, justru pada World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai Negara di dunia menyebutkan sebaliknya. Bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera. Berdasarkan catatan kritis yang dibuat oleh ICJR, MaPPI FHUI, ECPAT Indonesia, dan Koalisi Perempuan Indonesia, sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri juga mengakui, bahwa menurunnya jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Karena banyaknya kasus perkosaan yang tidak dilaporkan, terlebih-lebih jika pelakunya merupakan bagian dari keluarga. Seorang anak yang diperkosa telah mengalami banyak permasalahan dan trauma. Kerap kali pelaku pemerkosaan adalah orang-orang yang dipercaya dan korban dapat merasakan trauma yang berlipat jika mengetahui pelakunya dapat meninggal karena laporan pemerkosaannya. Sejalan dengan hal tersebut, angka kekerasan seksual di Indonesia juga masih relatif tinggi, berdasarkan laporan Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% jika dibandingkan tahun 2020. Disisi lain, masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara adalah terkait dengan tidak memiliki akses terhadap keadilan oleh korban kekerasan seksual – baik oleh stigma, ketakutan akan pembalasan oleh pelaku, stereotip gender yang mengakar dan ketidak seimbangan kekuatan, kurangnya mekanisme peradilan, serta undang-undang yang justru memaafkan perlakuan pelaku kepada korban serta kurangnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual. 

Dalam menuntaskan persoalan kejahatan seksual, Negara dituntut hadir untuk berfokus pada aspek pemulihan korban dan mencegah segala bentuk keberulangan dengan menciptakan ruang aman. Alih-alih berfokus pada agenda tersebut, , negara mengembalikan paradigma penghukuman yang kejam dan punitif salah satunya tercermin dalam  vonis mati kepada Herry Wirawan. Setiap adanya pemberitaan mengenai kekerasan seksual, pemerintah merespons dengan kebijakan yang semakin keras bahkan hingga vonis hukuman mati sebagai bentuk kekhawatiran, daripada mengidentifikasi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.  Penjatuhan vonis mati kepada Herry Wirawan seakan menunjukkan keberpihakan negara kepada korban, padahal negara hanya fokus untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku, tidak berfokus kepada pemenuhan hak-hak korban dalam hal rehabilitasi, kompensasi, restitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pada sisi lain proses hukum yang panjang dan melelahkan bagi korban justru menimbulkan mekanisme penyelesaian yang tidak pasti dan memadai bagi korban. Alokasi anggaran yang disedot dari keuangan negara untuk proses hukum dan eksekusi mati pun tidak sepadan dengan nominal yang diberikan kepada korban. Alih-alih berpihak pada korban, hukuman mati justru tidak menyelesaikan kebutuhan korban. Dapat dipahami bahwa perlu adanya mekanisme perubahan yang serius dan progresif terhadap sistem penegakan hukum untuk dapat mencegah kembali terjadinya tindak kekerasan seksual yang saat ini masih masif terjadi. 

Jakarta, 4 Januari 2023

KontraS – LBHM
Narahubung :
Layla Adiwitya (0812 2976 7269-LBHM)
Rivanlee Anandar (0813 9196 9119-KontraS)

Laporan Penelitian Faktor Hukuman Mati

Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa hak untuk hidup adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Dengan nada serupa, Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, menyatakan hak untuk hidup bersifat melekat pada setiap individu serta merupakan hak yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, ICCPR menyerukan kepada negara yang belum menghapus hukuman mati untuk membatasi penerapan hukuman mati hanya pada ‘tindak kejahatan yang paling serius’ (most serious crimes). Kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati berdasarkan protokol tersebut bukan kejahatan sipil seperti narkotika maupun pembunuhan. Kendati sudah meratifikasi ICCPR, Indonesia masih belum meratifikasi baik optional protocol maupun second optional protocol atas ICCPR.

Meskipun hukuman mati di Indonesia tidak bersifat wajib, hukuman mati tetap merupakan salah satu ancaman hukuman yang disediakan undang-undang (de jure) sehingga hakim dapat memilih untuk menjatuhkannya. Di dalam KUHP yang berlaku saat ini, pidana mati dapat menyasar pelaku tindak pidana narkotika, pembunuhan berencana, terorisme,  hingga kejahatan terhadap keamanan negara. Secara praktik, pidana mati selama ini banyak menyasar orang yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan berencana.

Ketentuan undang-undang di Indonesia membuka ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu. Sayangnya, Indonesia belum memiliki pedoman (safeguard) yang secara khusus memastikan perlindungan hak-hak terdakwa yang mendapat ancaman hukuman mati. Namun demikian, berkaca pada praktik-praktik baik (best practices) yang ada, beberapa negara telah menerapkan pedoman pemidanaan (guideline/safeguard) untuk penjatuhan hukuman mati. Terdapat batasan spesifik telah dicantumkan dalam menjatuhkan pidana mati, misalnya: harus disertai keadaan-keadaan yang memberatkan (aggravating circumstances) dan tidak ada keadaan-keadaan yang meringankan (no mitigating circumstances); pemeriksaan terhadap dugaan penyiksaan (torture), perlakuan sadis (sadism), atau motif kejam (motive evincing ‘total depravity and meanness’); tidak menyasar korban yang merupakan kelompok rentan (vulnerable group), seperti: anak-anak, orang tua atau lansia, perempuan hamil; disertai perencanaan (premeditation or significant planning), dan lain sebagainya.

Sejak tahun 2021 LBHM, IJRS dan Reprieve melakukan penelitian terhadap putusan pidana mati yang terjadi di Indonesia berdasarkan catatan yang dibuat oleh Reprieve. Hasilnya, kami berhasil menemukan total 216 putusan pidana mati yang terdiri dari 158 putusan peradilan terhadap tindak pidana narkotika dan 58 putusan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana. Jumlah tersebut belum merepresentasikan keseluruhan kasus yang ada karena terdapat keterbatasan penelitian seperti ketidatersediaan ataupun rusaknya dokumen putusan yang tersedia secara elektronik pada situs Mahkamah Agung. Namun, pada kesempatan tertentu, pihak Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pernah menyatakan bahwa terdapat 406 terpidana mati yang tersebar di berbagai lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.

Terlepas dari adanya keterbatasan, penelitian ini menunjukkan beragam temuan terkait praktik pidana mati di Indonesia. Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan adanya urgensi pembentukan suatu panduan pemidanaan untuk membantu hakim memberikan keputusan seadil mungkin jika harus menjatuhkan pidana mati. Selain itu panduan pemidanaan juga dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia bagi orang-orang yang menghadapi ancaman pidana mati. Kebutuhan akan panduan pemidanaan ini juga masih relevan meski Indonesia telah mengubah pidana mati menjadi pidana alternatif melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan. Sebab, meskipun menjadi pidana alternatif, masih terdapat ketidakjelasan mekanisme pelaksanaan pidana mati pada KUHP Nasional yang disahkan pada 6 Desember 2022.

PRAKTIK KORUPSI DALAM PIDANA MATI

Praktik korup dan pelanggaran etik dalam pemeriksaan perkara di institusi penegak hukum masih marak terjadi. Sepanjang 2010-2022, menurut informasi media terdapat 23 hakim ditangkap terkait korupsi.[1] Bahkan beberapa waktu terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 2 Hakim Agung sebagai tersangka korupsi yang baru terjadi sepanjang orde reformasi.

Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif yang berwenang di bidang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menyebutkan bahwa sepanjang 2021 terdapat 85 Hakim yang dijatuhi sanksi etik karena terbukti melanggar KEPPH.[2] KUHP yang baru disahkan oleh Presiden dan DPR nyatanya masih mempertahankan pidana mati, ini adalah legitimasi perampasan hak hidup di tengah rapuhnya sistem peradilan pidana di Indonesia.

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu pidana mati, terdapat lebih dari 400 orang yang saat ini berstatus sebagai terpidana mati di Indonesia, dan 70% diantaranya merupakan warga negara Indonesia (WNI). Data dari Kementerian Luar Negeri per 30 September 2022, terdapat 233 WNI yang terancam pidana mati di luar negeri.[3] Kebijakan pidana mati yang diadopsi dalam hukum pidana memperbesar hambatan diplomasi dan pengerahan sumber daya politik dalam penyelamatan WNI di luar negeri.

Problem pidana mati semakin tragis dengan meningkatnya jumlah deret tunggu kematian yang dihadapi terpidana mati dalam menunggu eksekusi mati. Di titik ini, terpidana mati menjalani pemenjaraan yang lama sehingga hukuman yang dijalani terpidana menimbulkan hukuman ganda yang dijalani di tengah buruknya infrastruktur Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang berkontribusi menggerus kondisi fisik, psikologis, dan mental terpidana mati.

Praktik penghukuman tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia ini dalam konteks deret tunggu kematian dibayang-bayangi dengan munculnya kerugian yang dipikul negara. Terlebih, fenomena deret tunggu kematian dijalani lebih dari 20 tahun pemenjaraan yang secara hukum illegal karena melebihi durasi pidana penjara yang diatur KUHP.

Secara konkret, praktik tersebut dialami oleh Merri Utami. Beliau adalah terpidana mati perempuan yang sudah mendekam selama 21 tahun di penjara. Sehingga praktik deret tunggu kematian yang melebihi durasi pemenjaraan yang dialami Merri Utami di tenggat waktu 1 tahun terakhir ini syarat dengan praktik korupsi yang menimbulkan kerugian negara.

Dalam regulasi, Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan bahwa dalam 1 hari negara menyediakan anggaran sebesar Rp 17.000 untuk biaya makan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP). Dikaitkan dengan praktik illegal pemenjaraan yang dialami oleh Merri Utami dalam 1 tahun terakhir ini, maka negara mengeluarkan biaya Rp 6.205.000. Kerugian keuangan negara ini diperparah dengan beban anggaran eksekusi mati. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyampaikan dalam pelaksanaan eksekusi mati negara harus mengeluarkan anggaran kurang lebih sebesar Rp 200.000.000 terhadap 1 orang terpidana mati.

Berdasarkan UU PNPS No. 2 Tahun 1964 dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010, eksekusi mati juga dijalankan oleh Polri, sehingga anggaran yang menyedot keuangan negara berada di 2 instansi, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri. Double anggaran ini tidak menutup kemungkinan membuka ruang penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh institusi tersebut. Di sisi lain anggaran eksekusi mati sering kali tidak transparan disampaikan ke publik oleh Pemerintah (dalam hal ini Kejaksaan dan Polri), padahal anggaran yang dikelola memiliki angka besar. Ombudsman Republik Indonesia pernah memberikan menyatakan terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang III pada 2016 lalu. Hal ini semakin mengindikasikan terjadinya penyelewengan pelaksanaan eksekusi mati yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM mendesak KPK untuk (1) menyelidiki adanya potensi kerugian negara dalam pemenjaraan terpidana mati yang menjalani pemenjaraan melebihi durasi pemenjaraan, sebagaimana diatur dalam KUHP dan (2) mengusut potensi penyelewengan anggaran negara dalam pelaksanaan eksekusi mati selama ini.

Jakarta, 9 Desember 2022
Hormat kami,

LBHM

Narahubung:
Yosua: 081297789301

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA JARINGAN TOLAK HUKUMAN MATI (JATI)

10 Oktober 2022

Penghapusan hukuman mati telah dipraktekkan di lebih dua pertiga negara di dunia namun tidak memberikan legitimasi dan dorongan yang cukup bagi Pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional. Setidaknya ditemukan lebih dari 10 undang-undang yang menerapkan pidana mati dan paling sering digunakan adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bahkan dalam situasi pandemi sejak awal Maret 2020, vonis mati masih kerap dijatuhkan. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Reprieve, sepanjang Maret 2020-2021 terdapat 145 terdakwa yang divonis mati, diantaranya 119 terdakwa berasal dari kasus narkotika dan diantaranya terdapat 2 terdakwa perempuan. 

Realitas di atas tidak terlepas dari glorifikasi perang narkotika (war on drugs) yang sejatinya tidak menjawab persoalan, alih-alih memberikan efek jera justru angka kejahatan narkotika tidak lantas reda. Bahkan dalih merusak generasi bangsa dan tingkat kematian tinggi yang nyatanya tidak berbasis pada data dan bukti hanyalah kamuflase untuk melanggengkan praktik hukuman mati dengan tujuan balas dendam. Dalam kondisi demikian justru semakin tertutup pintu keadilan bagi mereka yang seharusnya mendapat perlindungan seperti yang dialami oleh Marry Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) yang merupakan buruh migran korban dari sindikat peredaran gelap narkotika sekaligus korban tindak pidana perdagangan orang. Kebijakan mempertahankan hukuman mati yang bias ini pada akhirnya tidak mampu menilai peran maupun kedudukan MJV dan MU secara objektif.

Eksploitasi buruh migran untuk tujuan peredaran gelap narkotika dialami juga oleh Tutik  seorang warga negara Indonesia merupakan mati di China sejak 2011. Potret Tuti merupakan fenomena gunung es, sebab berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri 18 Oktober 2021 sejumlah 206 orang, 39 di antaranya adalah perempuan. Mayoritas WNI terancam pidana mati adalah buruh migran Indonesia. Data tersebut sepatutnya menjadi perhatian pemerintah terhadap buruh migran yang saat ini hak hidupnya terancam di luar negeri. 

Kasus serupa yang dialami oleh Mary Jane Veloso dan Tutik potensial dialami oleh banyak buruh migran yang lain, oleh karenanya pendekatan yang dilakukan sepatutnya mempertimbangkan kemungkinan mereka sebagai korban tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi penyelundupan narkotika. Sayangnya, yang terjadi saat ini, kasus-kasus penyelundupan narkotika yang menjerat buruh migran masih didekati semata-mata dengan pendekatan kejahatan narkotika dan mengabaikan kondisi rentan, dimensi pidana perdagangan orang di dalamnya. Sehingga, mereka yang terjerat sindikat pengedar narkotika dan perdagangan orang untuk tujuan penyelundupan narkotika menjadi korban berkali-kali yang menempatkan mereka dalam mimpi buruk hukuman mati dan bayang-bayang eksekusi mati.

Namun perlu dipahami bahwa perlindungan buruh migran Indonesia terhalang dalam politik diplomasi di tengah Indonesia masih menerapkan hukuman mati. Bahkan dalam RKUHP versi 4 Juli 2022, Pemerintah masih mempertahankan hukuman mati. Padahal sebagai upaya dekolonisasi, seharusnya hukuman mati harus dihapuskan dalam hukum nasional di Indonesia.

Selain itu, dalam vonis hukuman mati di Indonesia kerap kali menihilkan prinsip fair trial, seperti prinsip kehati-hatian. bahwa hakim berhak untuk memastikan pendampingan terhadap terdakwa berjalan dengan maksimal, bukan hanya sekadar memberikan putusan semata. Dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis yang luar biasa akibat penundaan yang berkepanjangan terhadap eksekusi mati yang diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan. 

Berdasarkan uraian di atas, Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional dan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia dengan menyelamatkan mereka dari hukuman mati dan eksekusi mati. 

Pemerintah juga sudah seharusnya konsisten dalam implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan mensosialisasikannya kepada penegak hukum. Sehingga dalam penanganan kasus buruh migran, terutama buruh migran perempuan memperhatikan unsur-unsur TPPO sejak awal proses hukum. Pemerintah juga harus segera mengkaji kebijakan lain yang berkontradiksi dengan kebijakan TPPO, misalnya UU Narkotika dimana undang-undang ini banyak mengorbankan buruh migran berhadapan dengan hukuman mati.

Selain itu untuk mendesak Pemerintah Indonesia menunjukan komitmennya dengan memberikan perlindungan yang maksimal untuk segera membebaskan buruh migran yang menghadapi eksekusi mati di Indonesia yang dialami Mary Jane Veloso dan Merri Utami, terlebih bagi Mary Jane Veloso untuk diberikan ruang bersaksi atas kasus TPPO yang sedang diperiksa oleh penegak hukum di Filipina.

MARY JANE VELOSO, MERRY UTAMI dan TUTIK yang merupakan korban Human Trafficking yang dieksploitasi dan ditipudaya sebagai kurir narkoba yang harus diselamatkan. 

Selamatkan Mary Jane, Merri Utami, Tutik dan Buruh Migran dari Hukuman Mati.

Hapus Hukuman Mati Sekarang Juga.

Jakarta,   10 Oktober   2022

Hormat kami,

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

  1. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  2. LBH Masyarakat
  3. PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia)
  4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  5. VIVAT International Indonesia.
  6. JPI Divina Providentia (Kupang)
  7. Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (PADMA Indonesia)
  8. YEP (Yayasan Embun Pelangi)
  9. SPRI (Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia)
  10. RGS (Religious of The Good Shepherd)
  11. RUSADA Sukabumi
  12. Bandungwangi (Jakarta)
  13. Beranda Perempuan (Jambi)
  14. FTKI Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia)
  15. KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
  16. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  17. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  18. PERTIMIG Malaysia
  19. JARNAS Anti TPPO
  20. Hurin’in Study Center For Education And Humanity (Jakarta)
  21. IFN (Indonesian Family Network Singapore) 
  22. Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang
  23. Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) 
  24. Perpustakaan Jalanan Nunukan (PJN) 
  25. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
  26. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  27. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
  28. Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia ( IPPMI Singapura )
  29. Terung Ne Lumimuut (TeLu) Lembaga pendampingan Perempuan dan Anak Sulut
  30. Laudato Si\’ Indonesia (LSI)
  31. Persatuan BMI HONGKONG Tolak Overcharging (PILAR Hong Kong ) 
  32. Asosiasi Perempuan Migran Indonesia (APMI Hong Kong) 
  33. Komunitas BMI Bebas Berkreasi (KOBBE Hong Kong ) 
  34. Beringin Tetap Maidenlike & Benevolent (BTM&B Hong Kong ) 
  35. Women In General Group (WING\’S Hong Kong ) 
  36. Larosa Arum Hong Kong Organisasi Budaya Nusantara 
  37. Women Movement Independent (WMI Hong Kong ) 
  38. Wanita Hindu Dharma Nusantara (WHDN Hong Kong ) 
  39. The Hope Group (THG Hong Kong ) 
  40. Sanggar FLOBAMORA Hong Kong 
  41. Tunggal Sari Budoyo (TSB Hong Kong ) 
  42. Mekar Wangi Budoyo ( MWB Hong Kong ) 
  43. Gabungan Migran Muslim Indonesia – GAMMI Hong Kong 
  44. Liga Pekerja Migran Indonesia – LIPMI Hongkong 
  45. Indonesian Migrant Workers Union – IMWU Hong Kong 
  46. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Hong Kong
  47. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Macau 
  48. Indonesian Movers Hong Kong 
  49. Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS Community TAIWAN ) 
  50. Indonesian Migrant Workers Union – IMWU Macau 
  51. Watulimo Satu Tekad ( WAST Hong Kong ) 
  52. Miftahul Jannah (MJ Hong Kong) 
  53. Friendster Group Hong Kong 
  54. Enjoy Dancer  (ED Hong Kong) 
  55. Al Islami Hong Kong 
  56. Belajar Mawas Diri (BMD Hong Kong) 
  57. Info Seputar Trenggalek ( IST Hong Kong) 
  58. PASKER Rantau Hong Kong 
  59. Jamaah Silaturahmi Blitar (JSB Hong Kong) 
  60. Majelis Ta\’lim Yuen Long (MTYL Hong Kong) 
  61. Keluarga Menuju  Surga (KMS Hong Kong) 
  62. Majelis Persaudaraan Al Ikhlas (MP.Al ikhlas Hong Kong) 
  63. Majelis Ukuwah Islamiyah (MUI Hong Kong) 
  64. Subulul Jinan Tai Wai Hong Kong 
  65. Lentera Wong Taisin Hong Kong 
  66. Nurul Hidayah Hong Kong 
  67. Syi\’ar NTB GAMMI-HK 
  68. Forum Muslim ah Al Fadilah (FMA Hong Kong) 
  69. Saalikul Lail Tsuen WAN Hong Kong 
  70. Majelis Tahfidzil Qur\’an (MTQ Hong Kong) 
  71. Al Istiqomah International Muslim Society AIMS Hong Kong 
  72. Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI Hong Kong) 
  73. Komunitas Sant’Egidio (Community of Sant’Egidio)
  74. Gerakan Anak Muda Indonesia (Hapus Hukuman Mati)
  75. Amnesty International Indonesia
  76. Migran Care (MC)
  77. Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (YPMP)
  78. LAdA DAMAR Lampung 
  79. LBH Apik NTB
  80. LBH Apik Sulawesi Selatan
  81. Departemen Kriminologi FISIP UI
  82. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusntara (dikenal dengan WOMXN\’S VOICE)
  83. FORUM AKAR RUMPUT INDONESIA

INDIVIDU: 

1. Yuni Asriyanti (Jakarta) 

2. Yusri A. Y. Albima, SHI (Jakarta)

3. Yohana (Jakarta)

4. Desy Maya Sari (Riau)

5. Romo Heribertus Hadiarto, SVD (Hong Kong)

6. Romo Agus Duka ZHTN (Jakarta)

7. Rahayu Saraswati (Jakarta) 

8. Shandra Woworuntu (USA)

9. Rianti (Jakarta)

10. Yuyu Marliah (Sukabumi Jawa Barat) 

11. Nissa Cita Adinia Akademisi Universitas Indonesia (Jakarta)

12. Nurul Zahara (Riau)

13. Selfi Oktaviani (Riau)

14. Bahroini Kharunisa (Riau)

15. Rahmayani Fathma ( Riau)

16. Livia Octaviani (Riau) 

17. Molly Maurina (Riau) 

18. Jois Adisti (Riau) 

19. Siti Uripah (Riau)

20. Magrina Rahayu (Riau)

21. Yohandi Pratama (Riau)

22. Istikomah (Canada)

23. Metris Kumaireng (NTT)

24. Beldiana Salestina (NTT)

25. Thaufiek Zulbahary (Bogor)

26. Dela Feby (Jakarta)

27. Eka Yuni Farida (Sulawesi Tenggara)

28. Ermelina Singereta  (Advokat Publik dari NTT)

29. Irfan Wahyudi Akademisi Universitas Airlangga (Surabaya)

30. Vivi George (Manado)

31. Ruth Wangkai (Manado) 

32. Nurhasanah (Manado) 

33. Nina Nayoan (Manado) 

32. Eka Ernawati (KPI)

10 Oktober 2022

Penghapusan hukuman mati telah dipraktekkan di lebih dua pertiga negara di dunia namun tidak memberikan legitimasi dan dorongan yang cukup bagi Pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional. Setidaknya ditemukan lebih dari 10 undang-undang yang menerapkan pidana mati dan paling sering digunakan adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bahkan dalam situasi pandemi sejak awal Maret 2020, vonis mati masih kerap dijatuhkan. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Reprieve, sepanjang Maret 2020-2021 terdapat 145 terdakwa yang divonis mati, diantaranya 119 terdakwa berasal dari kasus narkotika dan diantaranya terdapat 2 terdakwa perempuan. 

Realitas di atas tidak terlepas dari glorifikasi perang narkotika (war on drugs) yang sejatinya tidak menjawab persoalan, alih-alih memberikan efek jera justru angka kejahatan narkotika tidak lantas reda. Bahkan dalih merusak generasi bangsa dan tingkat kematian tinggi yang nyatanya tidak berbasis pada data dan bukti hanyalah kamuflase untuk melanggengkan praktik hukuman mati dengan tujuan balas dendam. Dalam kondisi demikian justru semakin tertutup pintu keadilan bagi mereka yang seharusnya mendapat perlindungan seperti yang dialami oleh Marry Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) yang merupakan buruh migran korban dari sindikat peredaran gelap narkotika sekaligus korban tindak pidana perdagangan orang. Kebijakan mempertahankan hukuman mati yang bias ini pada akhirnya tidak mampu menilai peran maupun kedudukan MJV dan MU secara objektif.

Eksploitasi buruh migran untuk tujuan peredaran gelap narkotika dialami juga oleh Tutik  seorang warga negara Indonesia merupakan mati di China sejak 2011. Potret Tuti merupakan fenomena gunung es, sebab berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri 18 Oktober 2021 sejumlah 206 orang, 39 di antaranya adalah perempuan. Mayoritas WNI terancam pidana mati adalah buruh migran Indonesia. Data tersebut sepatutnya menjadi perhatian pemerintah terhadap buruh migran yang saat ini hak hidupnya terancam di luar negeri. 

Kasus serupa yang dialami oleh Mary Jane Veloso dan Tutik potensial dialami oleh banyak buruh migran yang lain, oleh karenanya pendekatan yang dilakukan sepatutnya mempertimbangkan kemungkinan mereka sebagai korban tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi penyelundupan narkotika. Sayangnya, yang terjadi saat ini, kasus-kasus penyelundupan narkotika yang menjerat buruh migran masih didekati semata-mata dengan pendekatan kejahatan narkotika dan mengabaikan kondisi rentan, dimensi pidana perdagangan orang di dalamnya. Sehingga, mereka yang terjerat sindikat pengedar narkotika dan perdagangan orang untuk tujuan penyelundupan narkotika menjadi korban berkali-kali yang menempatkan mereka dalam mimpi buruk hukuman mati dan bayang-bayang eksekusi mati.

Namun perlu dipahami bahwa perlindungan buruh migran Indonesia terhalang dalam politik diplomasi di tengah Indonesia masih menerapkan hukuman mati. Bahkan dalam RKUHP versi 4 Juli 2022, Pemerintah masih mempertahankan hukuman mati. Padahal sebagai upaya dekolonisasi, seharusnya hukuman mati harus dihapuskan dalam hukum nasional di Indonesia.

Selain itu, dalam vonis hukuman mati di Indonesia kerap kali menihilkan prinsip fair trial, seperti prinsip kehati-hatian. bahwa hakim berhak untuk memastikan pendampingan terhadap terdakwa berjalan dengan maksimal, bukan hanya sekadar memberikan putusan semata. Dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis yang luar biasa akibat penundaan yang berkepanjangan terhadap eksekusi mati yang diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan. 

Berdasarkan uraian di atas, Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional dan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia dengan menyelamatkan mereka dari hukuman mati dan eksekusi mati. 

Pemerintah juga sudah seharusnya konsisten dalam implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dan mensosialisasikannya kepada penegak hukum. Sehingga dalam penanganan kasus buruh migran, terutama buruh migran perempuan memperhatikan unsur-unsur TPPO sejak awal proses hukum. Pemerintah juga harus segera mengkaji kebijakan lain yang berkontradiksi dengan kebijakan TPPO, misalnya UU Narkotika dimana undang-undang ini banyak mengorbankan buruh migran berhadapan dengan hukuman mati.

Selain itu untuk mendesak Pemerintah Indonesia menunjukan komitmennya dengan memberikan perlindungan yang maksimal untuk segera membebaskan buruh migran yang menghadapi eksekusi mati di Indonesia yang dialami Mary Jane Veloso dan Merri Utami, terlebih bagi Mary Jane Veloso untuk diberikan ruang bersaksi atas kasus TPPO yang sedang diperiksa oleh penegak hukum di Filipina.

MARY JANE VELOSO, MERRY UTAMI dan TUTIK yang merupakan korban Human Trafficking yang dieksploitasi dan ditipudaya sebagai kurir narkoba yang harus diselamatkan. 

Selamatkan Mary Jane, Merri Utami, Tutik dan Buruh Migran dari Hukuman Mati.

Hapus Hukuman Mati Sekarang Juga.

Jakarta,   10 Oktober   2022

Hormat kami,

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

  1. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  2. LBH Masyarakat
  3. PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia)
  4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  5. VIVAT International Indonesia.
  6. JPI Divina Providentia (Kupang)
  7. Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (PADMA Indonesia)
  8. YEP (Yayasan Embun Pelangi)
  9. SPRI (Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia)
  10. RGS (Religious of The Good Shepherd)
  11. RUSADA Sukabumi
  12. Bandungwangi (Jakarta)
  13. Beranda Perempuan (Jambi)
  14. FTKI Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia)
  15. KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
  16. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  17. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  18. PERTIMIG Malaysia
  19. JARNAS Anti TPPO
  20. Hurin’in Study Center For Education And Humanity (Jakarta)
  21. IFN (Indonesian Family Network Singapore) 
  22. Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang
  23. Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) 
  24. Perpustakaan Jalanan Nunukan (PJN) 
  25. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung
  26. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  27. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
  28. Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia ( IPPMI Singapura )
  29. Terung Ne Lumimuut (TeLu) Lembaga pendampingan Perempuan dan Anak Sulut
  30. Laudato Si\’ Indonesia (LSI)
  31. Persatuan BMI HONGKONG Tolak Overcharging (PILAR Hong Kong ) 
  32. Asosiasi Perempuan Migran Indonesia (APMI Hong Kong) 
  33. Komunitas BMI Bebas Berkreasi (KOBBE Hong Kong ) 
  34. Beringin Tetap Maidenlike & Benevolent (BTM&B Hong Kong ) 
  35. Women In General Group (WING\’S Hong Kong ) 
  36. Larosa Arum Hong Kong Organisasi Budaya Nusantara 
  37. Women Movement Independent (WMI Hong Kong ) 
  38. Wanita Hindu Dharma Nusantara (WHDN Hong Kong ) 
  39. The Hope Group (THG Hong Kong ) 
  40. Sanggar FLOBAMORA Hong Kong 
  41. Tunggal Sari Budoyo (TSB Hong Kong ) 
  42. Mekar Wangi Budoyo ( MWB Hong Kong ) 
  43. Gabungan Migran Muslim Indonesia – GAMMI Hong Kong 
  44. Liga Pekerja Migran Indonesia – LIPMI Hongkong 
  45. Indonesian Migrant Workers Union – IMWU Hong Kong 
  46. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Hong Kong
  47. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Macau 
  48. Indonesian Movers Hong Kong 
  49. Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS Community TAIWAN ) 
  50. Indonesian Migrant Workers Union – IMWU Macau 
  51. Watulimo Satu Tekad ( WAST Hong Kong ) 
  52. Miftahul Jannah (MJ Hong Kong) 
  53. Friendster Group Hong Kong 
  54. Enjoy Dancer  (ED Hong Kong) 
  55. Al Islami Hong Kong 
  56. Belajar Mawas Diri (BMD Hong Kong) 
  57. Info Seputar Trenggalek ( IST Hong Kong) 
  58. PASKER Rantau Hong Kong 
  59. Jamaah Silaturahmi Blitar (JSB Hong Kong) 
  60. Majelis Ta\’lim Yuen Long (MTYL Hong Kong) 
  61. Keluarga Menuju  Surga (KMS Hong Kong) 
  62. Majelis Persaudaraan Al Ikhlas (MP.Al ikhlas Hong Kong) 
  63. Majelis Ukuwah Islamiyah (MUI Hong Kong) 
  64. Subulul Jinan Tai Wai Hong Kong 
  65. Lentera Wong Taisin Hong Kong 
  66. Nurul Hidayah Hong Kong 
  67. Syi\’ar NTB GAMMI-HK 
  68. Forum Muslim ah Al Fadilah (FMA Hong Kong) 
  69. Saalikul Lail Tsuen WAN Hong Kong 
  70. Majelis Tahfidzil Qur\’an (MTQ Hong Kong) 
  71. Al Istiqomah International Muslim Society AIMS Hong Kong 
  72. Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI Hong Kong) 
  73. Komunitas Sant’Egidio (Community of Sant’Egidio)
  74. Gerakan Anak Muda Indonesia (Hapus Hukuman Mati)
  75. Amnesty International Indonesia
  76. Migran Care (MC)
  77. Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (YPMP)
  78. LAdA DAMAR Lampung 
  79. LBH Apik NTB
  80. LBH Apik Sulawesi Selatan
  81. Departemen Kriminologi FISIP UI
  82. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusntara (dikenal dengan WOMXN\’S VOICE)
  83. FORUM AKAR RUMPUT INDONESIA

INDIVIDU: 

1. Yuni Asriyanti (Jakarta) 

2. Yusri A. Y. Albima, SHI (Jakarta)

3. Yohana (Jakarta)

4. Desy Maya Sari (Riau)

5. Romo Heribertus Hadiarto, SVD (Hong Kong)

6. Romo Agus Duka ZHTN (Jakarta)

7. Rahayu Saraswati (Jakarta) 

8. Shandra Woworuntu (USA)

9. Rianti (Jakarta)

10. Yuyu Marliah (Sukabumi Jawa Barat) 

11. Nissa Cita Adinia Akademisi Universitas Indonesia (Jakarta)

12. Nurul Zahara (Riau)

13. Selfi Oktaviani (Riau)

14. Bahroini Kharunisa (Riau)

15. Rahmayani Fathma ( Riau)

16. Livia Octaviani (Riau) 

17. Molly Maurina (Riau) 

18. Jois Adisti (Riau) 

19. Siti Uripah (Riau)

20. Magrina Rahayu (Riau)

21. Yohandi Pratama (Riau)

22. Istikomah (Canada)

23. Metris Kumaireng (NTT)

24. Beldiana Salestina (NTT)

25. Thaufiek Zulbahary (Bogor)

26. Dela Feby (Jakarta)

27. Eka Yuni Farida (Sulawesi Tenggara)

28. Ermelina Singereta  (Advokat Publik dari NTT)

29. Irfan Wahyudi Akademisi Universitas Airlangga (Surabaya)

30. Vivi George (Manado)

31. Ruth Wangkai (Manado) 

32. Nurhasanah (Manado) 

33. Nina Nayoan (Manado) 

32. Eka Ernawati (KPI)

33. Tri Ruswati (FSP TKILN-SPSI)

34. Sri utami  (Semarang)

35.       Ida royani  (Kediri Jawa Timur)

36. Asning Suman (Cilacap JawaTengah)

37.       Puspa Yunita (Jakarta)

38. Menik Rahayu (Jakarta)

39. Munnie (Jakarta)

40. St. Fidelis (Hong Kong)

41. St. Agatha Gembala Baik (Jakarta)

42. Ramli Izhaque (Jakarta)

43. Sofia Pratiwi (Blitar Jawa Timur)

44. Puspita Sari (Jawa Timur)

45.       Fahmi Panimbang (Bandung) 

46. Muhammad Ad’har Nasir (Nunukan) 

47. Harold Aron Peranginangin (Bandung) 

48. Maryatun (Kebumen)

49. Anggieta Bayunda Larasati Sugianto (Palangkaraya)

59. Sri Endah Kinasih Akademisi Universitar Airlangga (Surabaya)

60. Salsa Nofelia Franisa (Jakarta)

61. Dewi Wulandari (Tangerang) 

62. Dwi Martini (Tangerang)

63. Dewi Nova, Penulis – Penyair (Tangerang Selatan – Banten)

64. Avie Aziz Dosen UI sekarang Student di (Göteborgs Universitet)

65. Annie Milone (Hong Kong) 

66. Fida Nurlaila (Salatiga Jawa Tengah) 

67. Novia Arluma ( Lumajang / Singapura )

68. BENEDIKTA A.B.C Da Silva (Rumah Singgah PMI FLOTIM NTT)

69 Devy Christa Dyanti (Magetan Jatim)

70.       Is Purnomo (Magetan Jatim)

71.       Pipin Cahyo Nugroho (Samarinda)

72.       Mawardi (KABAR BUMI Lombok Timur)

73. Asaad Ahmad (Bandung)

74. Otto Adi Yulianto (DI Yogyakarta)

75. Jan suharwantono ( Jakarta )

76.   Marhaeni Mawuntu (Manado)

77.  Jermianto Balukh (NTT)

78.  Erwiana Sulistyaningsih (Penyintas TPPO DIY)

79.  Cyprianus Lilik KP (DIY)

80. Jonas Adam (Minahasa) 

81.  Mita Eka W (Jakarta) 

82. Yuliasih (Solo) 

83.  Cristovorus Kurniawan (Semarang)

84.  Rosma Karlina (Bogor)

85.  Agus Salim  (Kuasa Hukum MJV)

86.  Mamik Sri Supatmi (Depok)

87. Baby Virgarose Nurmaya (Bogor)

89. Retno Handayani (Bogor)

33. Tri Ruswati (FSP TKILN-SPSI)

34. Sri utami  (Semarang)

35.       Ida royani  (Kediri Jawa Timur)

36. Asning Suman (Cilacap JawaTengah)

37.       Puspa Yunita (Jakarta)

38. Menik Rahayu (Jakarta)

39. Munnie (Jakarta)

40. St. Fidelis (Hong Kong)

41. St. Agatha Gembala Baik (Jakarta)

42. Ramli Izhaque (Jakarta)

43. Sofia Pratiwi (Blitar Jawa Timur)

44. Puspita Sari (Jawa Timur)

45.       Fahmi Panimbang (Bandung) 

46. Muhammad Ad’har Nasir (Nunukan) 

47. Harold Aron Peranginangin (Bandung) 

48. Maryatun (Kebumen)

49. Anggieta Bayunda Larasati Sugianto (Palangkaraya)

59. Sri Endah Kinasih Akademisi Universitar Airlangga (Surabaya)

60. Salsa Nofelia Franisa (Jakarta)

61. Dewi Wulandari (Tangerang) 

62. Dwi Martini (Tangerang)

63. Dewi Nova, Penulis – Penyair (Tangerang Selatan – Banten)

64. Avie Aziz Dosen UI sekarang Student di (Göteborgs Universitet)

65. Annie Milone (Hong Kong) 

66. Fida Nurlaila (Salatiga Jawa Tengah) 

67. Novia Arluma ( Lumajang / Singapura )

68. BENEDIKTA A.B.C Da Silva (Rumah Singgah PMI FLOTIM NTT)

69 Devy Christa Dyanti (Magetan Jatim)

70.       Is Purnomo (Magetan Jatim)

71.       Pipin Cahyo Nugroho (Samarinda)

72.       Mawardi (KABAR BUMI Lombok Timur)

73. Asaad Ahmad (Bandung)

74. Otto Adi Yulianto (DI Yogyakarta)

75. Jan suharwantono ( Jakarta )

76.   Marhaeni Mawuntu (Manado)

77.  Jermianto Balukh (NTT)

78.  Erwiana Sulistyaningsih (Penyintas TPPO DIY)

79.  Cyprianus Lilik KP (DIY)

80. Jonas Adam (Minahasa) 

81.  Mita Eka W (Jakarta) 

82. Yuliasih (Solo) 

83.  Cristovorus Kurniawan (Semarang)

84.  Rosma Karlina (Bogor)

85.  Agus Salim  (Kuasa Hukum MJV)

86.  Mamik Sri Supatmi (Depok)

87. Baby Virgarose Nurmaya (Bogor)

89. Retno Handayani (Bogor)

RILIS PERS PENINJAUAN KEMBALI TERPIDANA MATI MERRI UTAMI MELAWAN PENYIKSAAN

Merri Utami (MU) merupakan terpidana mati kasus narkotika yang ditahan sejak awal November 2001. Kasusnya disidang di Pengadilan Negeri Tangerang yang berujung pada vonis pidana mati. Hingga tingkat kasasi, vonis MU tidak berubah.

Pada Juli, 2016, MU dibawa dari Lapas Perempuan Tangerang ke sel isolasi di Nusakambangan untuk menjalani eksekusi mati. Selama ditempatkan di sel isolasi, MU menerima pemberitahuan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan hasil yang masih sama, yaitu pidana mati.

Atas putusan hukum tersebut, MU mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo. Selang beberapa hari kemudian, pihak Kejaksaan menyampaikan bahwa eksekusi mati terhadap MU ditunda.

Setelah penundaan eksekusi mati, sekaligus menanti jawaban grasi dari Presiden Joko Widodo yang tidak ada kabar lebih dari 5 tahun, MU telah menjalani pemenjaraan selama lebih dari 21 tahun. Bagi MU, ini merupakan bentuk penyiksaan dan penghukuman yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Terkait hal tersebut penghukuman yang dijalani MU diyakini merupakan penghukuman illegal. Sebab durasi hukuman penjara yang diatur dalam KUHP paling lama dijalani selama 20 tahun. Meskipun MU merupakan terpidana mati yang tidak menggugurkan kewenangan eksekusi mati tapi penghukuman yang dijalani melebihi dari durasi hukuman penjara, tentu patut dipertanyakan keabsahan hukuman yang dijalani MU saat ini. Terlebih penghukuman yang dialami MU menimbulkan dampak psikologis yang parah.

Di samping itu ditinjau dari objektifitas kasus, MU merupakan korban sindikat peredaran gelap narkotika yang peran dan bobot hukumannya tidak bisa serta merta disetarakan dengan pelaku utama, terlebih MU merupakan korban perdagangan orang yang seharusnya dilindungi bukan dipidana mati.

Kami meyakini bahwa Kementerian Hukum dan HAM cq. Lapas Perempuan Semarang, Kejakasan Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki pemahaman yang kuat terhadap pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana yang dialami MU. Bahkan institusi Kejaksaan Republik Indonesia telah memiliki instrumen hak asasi manusia tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam perkara pidana. Sedangkan Mahkamah Agung Republik Indonesia, menerbitkan regulasi yang serupa dengan hal tersebut melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Hadirnya kerangka legal tersebut tentu merupakan angin segar bagi perempuan, termasuk MU untuk menghadirkan perspektif gender dalam kasusnya sebagaimana regulasi yang tadi disebutkan terkait proses hukum dan penghukuman yang dijalani MU selama ini yang terlihat tidak adil dan sewenang-wenang. Padahal sejatinya setiap orang memiliki hak untuk bebas dari perlakuan sewenang-wenang dan memiliki hak untuk diperlakukan adil (equality before the law). 

Berdasarkan uraian di atas, melalui mekanisme hukum yang sah dan konstitusional, MU melakukan perlawanan dengan menempuh permohonan peninjauan kembali kedua yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Tangerang berbekal surat pengantar yang dibuat oleh Lapas Perempuan Semarang. Meskipun peninjauan kembali satu kali sudah dibatalkan dan tidak mempunyai kekutatan hukum mengikat sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 namun faktanya Mahkamah Agung masih kerap tidak dapat menerima atau menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali. Bahwa MU sama sekali tidak bermaksud untuk mempertentangkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua lembaga peradilan yang sama-sama berwenang menjalankan kekuasaan kehakiman. Namun pada dasarnya MU hanya ingin menyampaikan pemikiran-pemikiran agar kiranya permohonan peninjauan kembali kedua kali ini dapat diterima dan diperiksa oleh Yang Mulia Majelis Hakim Agung cq. Pengadilan Negeri Tangerang.

Oleh karena itu, kami sebagai tim kuasa hukum MU:

  1. Mendorong Mahkamah Agung Republik Indonesia cq. Pengadilan Negeri Tangerang berwenang mengadili dan memberikan pertimbangan substansi secara objektif berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 serta mengabulkan permohonan peninjauan kembali MU yang kedua;
  • Mendesak Kejaksaan Republik Indonesia cq. Kejaksaan Tinggi Banten cq. Kejaksaan Negeri Tangerang menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dalam memeriksa MU dihadapan persidangan peninjauan kembali yang kedua;
  • Meminta Kementerian Hukum dan HAM cq. Lapas Perempuan Semarang memberikan bantuan teknis dan substansi terhadap permohonan peninjauan kembali MU yang kedua.

Jakarta, 6 Oktober 2022

Hormat kami,

Tim Kuasa Hukum Merri Utami

M. Afif Abdul Qoyim       : 08132 004 9060

Aisya Humaida                : 0822 6452 7724