Skip to content

Penulis: admin lbhm

Statement on the Reprisals against Human Rights Defenders, Ms. Pornpen Khongkachonkiet, Ms. Anchana Heemmina, and Mr. Somchai Homlaor

We, the undersigned civil society groups, are gravely concerned about the legal action taken by the Royal Thai Army for criminal defamation and Computer Crimes Act violations against Woman Human Rights Defenders (WHRD) Ms. Pornpen Khongkachonkiet, Ms. Anchana Heemmina, and HRD Mr. Somchai Homlaor. Ms. Pornpen, is the Director of the Cross Cultural Foundation – an organization which monitors and documents cases of torture and ill-treatment in Thailand. Mr. Somchai, is the President of the Cross Cultural Foundation, and Ms. Anchana is director of Duay JaiGroup (Hearty Support Group) – a local organization based in Thailand’s ‘Deep South’, which supports people who suffer from the justice system in national security cases. All three are co-editors of a report, Torture and ill treatment in The Deep South Documented in 2014-2015 documenting 54 cases of inhumane treatment in detention, launched on 10th February 2016. The research and report was partly funded by the United Nations Voluntary Fund for Victims of Torture, established under the General Assembly resolution 36/151 in 1981, thus under the United Nations (UN) Human Rights Council Resolution 12/2 these HRDs and their colleagues are “individuals who cooperate with the United Nations, its representatives and mechanisms in the field of Human Rights.”

On 8th June 2016, Internal Security Operations Command Region 4 (ISOC 4) gave information to Ms. Pornpen through a phone conversation that ISOC 4 sought the power of attorney from the Royal Thai Army and submitted a complaint to Yala Mueang Police Station on 17th May 2016 for criminal defamation and computer-related violations by the three HRDs. The charges are for alleged criminal defamation under Article 328 of the Thai Criminal Code, and violation of the Computer Crimes Act (2007), Article 14(1). We are disturbed regarding information that authorities have already interrogated six witnesses. The Police case file is No. 704/2559.

This judicial action has been taken despite the Human Rights Defenders’ best efforts to engage authorities on the evidence of torture and ill-treatment presented in the report. Namely, the report was sent to Army Lt Gen Wiwat Pathompak, Commander of the 4th Army Region, on 8th January 2016, one month before its publication. However, high-ranking military government officials have publicly dismissed the accuracy of the report and questioned the intentions of the civil society organisations who compiled the report. Furthermore, Ms. Anchana, WHRD working in Thailand’s ‘Deep South’, faced summons to an Army camp, lengthy questioning by Army officers, and close physical surveillance and intimidation by unidentified, uniformed men.

We deem this action by the Royal Thai Army to be a prompt reprisal against civil society groups seeking to bring to the authorities’ attention the continued abuse of power and ill-treatment of detainees in Thailand. The Royal Thai Army has taken these actions at a time when it the Thai military government has renewed the Thailand’s international commitments to abolishing the use of torture. On 11th May 2016, at the United Nation’s Universal Periodic Review (UPR) of Thailand 12 UN member states issued recommendations directly relating to the prevention of torture and access to justice for survivors of torture. Furthermore, on 24th May 2016 the Thai military government issued a Cabinet Resolution stating that they will pass a Prevention of Torture and Enforced Disappearance Act. It is troubling that the Royal Thai Army has ordered the legal pursuit of HRDs who have been supporting victims of torture as well as pushing at many levels for policy reform and state action to prevent torture and provide justice to survivors.

We deem the Royal Thai Army’s action to be an unreasonable, arbitrary, and heavy-handed attempt to silence all complaints of allegations of torture against the authorities. By quashing Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr Somchai’s efforts to support torture victims to publicly complain about Human Rights violations by authorities, the Royal Thai Army is seeking to make it more than impossible for torture victims to voice their complaints. Moreover, this is a deplorable act by the Royal Thai Army as it aims to further intimidate existing and potential victims of human rights violations to not report these violations. Instead of suppressing the work of Human Rights Defenders, such as Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai, the Royal Thai Army should, as New Zealand recommended at the UPR, “Promptly investigate and prosecute all allegations of torture and extrajudicial killings,” and as Canada recommended, “Create an independent body to investigate all torture allegations, including in Thailand’s Deep South, and bring perpetrators to justice.”

This judicial harassment constitutes a direct infringement of Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai’s right to work as a Human Rights Defender in Thailand. As stated in Article 1 of the UN Declaration on Human Rights Defenders “Everyone has the right to (individually and in association with others) promote and to strive for the realization of Human Rights and fundamental freedoms at the national and international level.” We believe that the filing of this criminal legal case against Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai was undertaken with the purpose of retaliation and that it is in response to the three HRDs peaceful and legitimate activities to hold authorities to account for cases of human rights violations, including torture, in Thailand’s ‘Deep South.’

We call on the Royal Thai Army to:

  • Immediately and unconditionally withdraw the legal action against Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai. Such legal action against the legitimate work of HRDs is against the public interest.
  • Ensure that no further retaliation is carried out or allowed to happen in the future against HRDs, ill-treatment and torture victims, their colleagues and families.

We call on the Thai military government to:

  • Respect the universally recognized rights, duties and obligations of everyone and organizations to highlight information about Human Rights violations and injustices to the public, as stated in the UN Declaration on Human Rights Defenders;
  • Ensure that all persons affected by torture and other human rights violations receive justice, including first and foremost the right to complain which must be respected at all times.
  • Ensure the implementations of recommendations it accepted during the recent UPR with regard to HRDs

 

You can see the full statement here in PDF.

Saksi Pelaku: Mencari Proteksi dan Apresiasi

Saksi mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana. Di dalam praktik, seringkali saksi tidak dapat memberikan keterangan yang sesungguhnya dan sebaik-baiknya dalam setiap perkara dikarenakan adanya suatu bentuk ancaman yang diperoleh selama di dalam proses persidangan. Atas pertimbangan tersebut, seyogyanya peran saksi tersebut harus diberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang baik sebagai saksi.

Di Indonesia sebenarnya sudah dikenal tentang saksi pelaku yang bekerjasama sebelum adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 mengenai saksi mahkota. Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi mengenai saksi mahkota (kroon getuide), akan tetapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Maksud dari saksi mahkota disini adalah ‘saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut’.[1]

Realita yang terjadi di dalam sistem peradilan Indonesia justru sebaliknya, di mana seorang justice collaborator tetap mendapatkan hukuman yang sama. Pada kasus Agus Condro misalnya, ia mendapatkan hukuman yang sama walaupun telah menjadi saksi pelapor dan mengungkap adanya kasus suap cek pelawat yang melibatkan banyak orang sebagai pelaku.

Dalam perspektif tersebut, menjadi suatu pertanyaan bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Sehingga dengan dikategorikannya seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan mendapatkan suatu keistimewaan baik berupa pengurangan hukuman maupun perlindungan yang lebih dikarenakan menjadi pelopor dan kunci dalam mengungkap suatu tindak pidana yang melibatkan banyak pihak dan terorganisir.

Konsep tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam perkembangan hukum pidana di negara-negara lain yang telah lebih dahulu menggunakan konsep yang sama dengan istilah yang berbeda-beda. Penulis berpendapat bahwa di KUHAP belum memberikan ruang perlindungan yang cukup bagi pelaku yang dijadikan saksi sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan serta penambahan-penambahan untuk dapat dan mampu mengakomodir perkembangan hukum pidana, yang tentu tidak terbatas dalam persoalan definisi  justice collaborator saja, namun juga hal-hal lain seperti mekanisme reward dengan tujuan dapat memberikan perlindungan, kepastian, dan kemanfaatan serta keadilan bagi semua pihak.

Sekitar tahun 1970, Amerika Serikat berusaha membongkar kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh mafia yang dibentuk oleh imigran-imigran asal Italia. Dalam dunia mafia Italia terdapat sumpah diam (code of silence) atau yang dikenal dengan istilah Omerta.[2] Hal ini yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat mengenal praktik perlindungan terhadap para saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang berusaha dan beritikad baik dalam rangka pemberantasan dan membongkar suatu tindak pidana dalam kejahatan yang melibatkan banyak orang dan terorganisir.[3]

Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, memberikan apresiasi terhadap para saksi pelaku di konteks hukum Indonesia sangatlah sulit. Alasan yang sering dikemukakan oleh penegak hukum ialah bahwa saksi pelaku ini juga berkontribusi dalam tindak pidana. Namun, amat disayangkan bahwa proses peradilan kerap luput dalam menilai sejauh apa dalam taraf bagaimana dan apa yang mempengaruhi kontribusi seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana.

Hal seperti ini sering terjadi di kasus narkotika. Belakangan ini, Pemerintah Indonesia keras menyuarakan bahwa negara ini dalam situasi darurat narkotika. Maka, penting untuk melihat apakah dalam tujuannya memberantas narkotika para penegak hukum berhasil menangkap para bandar[4] narkoba? Penulis melihat, pada praktiknya, para penegak hukum hanya melakukan penangkapan kepada para perantara yang menyerahkan atau menerima narkotika tersebut.

Ketika berhasil menangkap seseorang atau sekolompok orang dalam kasus narkotika, ini menjadi sebuah kebanggaan bagi para penegak hukum dan tercitrakan sebagai sebuah prestasi besar di media. Tanpa perlu mengetahui siapa ‘bos besar’ dalam kasus ini, pengungkapan seseorang atau sekelompok orang tadi dianggap cukup atau selesai. Jika penegak hukum berpikir lebih jauh, akan lebih baik jika si pelaku yang sudah terungkap tersebut diminta untuk bekerjasama dalam hal mencari siapa ‘otak’ dalam kejahatan ini.

Dalam film Bridge of Spies[5], Tom Hanks berperan menjadi seorang pengacara probono bernama James B. Donovan yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mata-mata Uni Soviet. Pada saat proses penangkapan yang terjadi di apartemennya, si polisi mengatakan:

“…kau akan bebas jika kau mau bekerjasama dengan kami…”

Kurang lebih itulah yang dikatakan oleh si polisi kepada Rudolf Abel, seorang mata-mata Uni Soviet. Dalam film tersebut, Rudolf yang diperankan oleh Mark Rylance, menolak untuk bekerjasama tanpa alasan yang jelas. Pada film tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang dapat dijadikan justice collaborator dalam proses penegakan hukum sejak proses penangkapan. Urusan mau atau tidak, itu dikembalikan kepada si pelaku. Hal demikian belum jamak kita temukan dalam praktik hukum di tanah air.

***

Belum lama ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) pernah mendampingi sebuah kasus drug mule. Seorang perempuan berusia 40 tahun harus menjalani hukuman yang cukup tinggi dengan melalui proses hukum yang, menurut hemat Penulis, tidak perlu ia jalani.

TP, inisial perempuan ini, menjalin hubungan dengan seorang pria asal Ghana, berinisial K. Pria ini mengaku kepadanya memiliki usaha di area Tanah Abang.  Pada awalnya hubungan asmara antara TP dan K ini baik-baik saja, namun semua berubah ketika K meminta tolong kepada TP untuk mengambil barang, yang  baru diketahui belakangan bahwa barang tersebut berisi narkotika) dari D (yang pada akhirnya tertangkap di daerah Bekasi, Jawa Barat).

Setelah berhasil mengambil barang tersebut, TP membawa pulang barang tersebut tempat kosnya di daerah Jakarta Pusat. Selanjutnya, K kembali meminta tolong pada TP untuk memberikan barang tersebut kepada seseorang yang lain. Namun karena saat itu TP merasa lelah, TP menolak untuk mengantarkan barang tersebut.

Pada tanggal 15 Juni 2015, TP dan kekasihnya menginap di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat. Keesokan harinya, TP pulang ke rumah orang tuanya di daerah Bekasi, Jawa Barat, akan tetapi K masih berada di kamar hotel tersebut.

Di tempat terpisah, sebuah jasa ekspedisi memberikan informasi kepada polisi tentang keanehan barang kiriman yang diterima, yaitu 27 kotak alat refleksi. Kemudian polisi melakukan penyelidikan dan polisi menemukan bahwa isi dari kotak tersebut adalah narkotika jenis sabu. Paket tersebut dialamatkan kepada D dan yang mengirim adalah seseorang berinisial M. Setelah polisi melakukan pengembangan, maka terungkaplah bahwa TP juga sebagai orang yang diduga ikut serta dalam transaksi jual beli barang tersebut.

Polisi akhirnya berhasil menangkap TP di rumah orang tuanya. Polisi yang menangkap TP menawarkan sebuah bentuk ‘kerja sama’ agar dapat menangkap pelaku yang lain. TP bersedia melakukan hal tersebut. Di hari penangkapan tersebut, TP diminta oleh K untuk memberikan barang tersebut kepada seorang perempuan berinisial W yang merupakan pacar dari B, teman K. Bukannya menangkap K dan B sebagai ‘otak’ dari perkara ini, polisi justru menangkap W, yang mana hanya melakukan semua ini atas suruhan B yang merupakan pacarnya. Setelah penangkapan tersebut, K dan B sudah berhasil kabur tanpa meninggalkan jejak dan tidak dapat ditemukan sampai saat ini.

***

Para pengacara publik LBH Masyarakat, yang secara probono menjadi kuasa hukum bagi TP, mengupayakan secara maksimal agar TP dapat dikategorikaan sebagai justice collaborator (dan saksi mahkota nantinya) untuk membantu mengungkap jaringan internasional yang lebih besar. Upaya kami ini, sayangnya, tidak diindahkan oleh penegak hukum. LBH Masyrakat pun sudah mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang sayangnya tak dapat memberikan rekomendasi tersebut.

Jaksa membacakan dakwaan terhadap TP tanpa adanya pengacara. Hal ini kami pandang hal yang amat tidak elok. TP didakwa  dengan Pasal 114 ayat (2) subsidair Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan diancam dengan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Ini jelas pelanggaran akan akses terhadap bantuan hukum dan kesetaraan di depan hukum.

Para pengacara publik dari LBH Masyarakat meminta kepada hakim dalam petitumnya untuk tidak melanjutkan kasus seperti ini karena, dalam pandangan pengacara, posisi TP selaras dengan rumusan Pasal 10 Undang-Undang LPSK.[6] Akan tetapi dalam putusan sela, poin-poin eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum ditolak oleh hakim.

Di sisi lain, TP adalah seorang single mother yang memiliki seorang putra berusia 15 tahun yang sedang duduk di bangku SLTP. Jaksa Penuntut Umum menuntut TP dengan 17 tahun penjara. Jika Majelis Hakim memenuhi tuntutan JPU, si anak yang ditinggalkan tersebut sudah berusia ± 32 tahun saat TP keluar dari penjara. Selama 17 tahun juga, si anak tersebut akan tumbuh tanpa mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu yang merupakan satu-satunya orang tuanya.

Tim penasihat hukum harus menunggu selama empat minggu lamanya hanya untuk mendengarkan isi tuntutan dari JPU. Sedangkan tim penasihat hukum hanya diberi waktu tiga hari untuk menyusun pembelaan. Jelas terlihat ada ketidakadilan dalam hal pemeberian waktu dalam persiapan berkas.

Setelah tim penasihat hukum membacakan nota pembelaan dan ‘meneriakan’ segala argumentasi, ternyata Majelis Hakim memutuskan untuk memberikan putusan di hari itu juga, Sidang diskors selama lima menit untuk memberikan waktu kepada Majelis Hakim agar berpikir. Dengan helaam napas dan tetesan air mata, TP mendengar angka tiga belas tahun diganjarkan Majelis Hakim pada dirinya. Setelah berdiskusi dengan tim penasihat hukum, TP menjelaskan bahwa dirinya menerima dan berusaha ikhlas.

Satu perkara sudah selesai, namun ada tanya yang tak kunjung usai. Untuk apa semua ini? Mengapa penegak hukum tidak bekerjasama dengan TP untuk membongkar jaringan perdagangan gelap narkotika yang lebih besar? Mengapa perang itu harus dikobarkan kepada mereka yang lemah?  Leges Sine Moribus Vanae.

 

Penulis: Yosua Octavian Simatupang

Editor: Yohan Misero

 

[1] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Citra Aditya Bakti; Bandung; Hal. 107

[2] Omerta adalah sumpah para mafia untuk menyimpan rahasia. Tidak membocorkan informasi apapun kepada siapapun yang bukan anggotanya. Menjaga rahasia sudah menjadi kewajiban dan tugas mulia yang dipercaya kepada anggota mafia, yang dikenal dengan Mafioso. Klan sebuah mafioso bisanya akan berhubungan dengan klan yang lain.

[3] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Op.cit.

[4] Bandar narkoba dapat diartikan sebagai orang yang mengendalikan suatu aksi kejahatan narkoba secara sembunyi-sembunyi atau sebagai pihak yang membiayai aksi kejahatan itu. Dalam praktiknya, bandar narkoba itu antara lain: orang yang menjadi otak di balik penyelundupan narkoba, permufakatan kejahatan narkotika, dan sebagainya. Jawaban Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., dalam pertanyaan: Apakah Bandar Narkotika Sama Dengan Pengedar? Lihat: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56cf393b411a0/apakah-bandar-narkotika-sama-dengan-pengedar

[5] Film Biodrama Thriller asal Amerika Serikat yang di produksi pada tahun 2015 dan disutradarai oleh Steven Spielberg. Film ini dibintangi oleh Tom Hanks, Mark Rylance, Amy Ryan, dan Alan Alda. Bridge of Spies berlatar tragedi 1960 U-2.

[6] Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Mengapa Perlu Merevisi KUHP?

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini dinilai banyak pihak sudah tidak relevan dengan sistem hukum pidana yang ideal. Secara spesifik, hal ini menyangkut pengaturan tentang hukuman yang didominasi dengan hukuman pembatasan kebebasan bergerak, atau pemenjaraan, yang menjadi jenis hukuman yang paling banyak dijatuhkan. Konstruksi ini berdampak terhadap populasi penjara yang terus meningkat setiap bulan, sebagaimana disajikan dalam sistem database pemasyarakatan yang menggambarkan bahwa populasi penghuni penjara di bulan Januari 2015 sebanyak 165.008 orang sedangkan di bulan Januari 2016 sebanyak 178.345 orang. Angka ini menunjukan bahwa populasi penghuni penjara mengalami kenaikan sebanyak 13.337 orang. Pada bulan Juli dan Agustus terdapat penurunan yang dipengaruhi program remisi untuk Idul Fitri dan remisi kemerdekaan 17 Agustus. Namun, di bulan-bulan selanjutnya, populasi penjara kembali mengalami peningkatan.

Merujuk pada data tersebut, dapat dikatakan bahwa populasi penjara tidak pernah surut. Hal ini terjadi secara struktural karena dipengaruhi oleh rumusan hukuman pidana yang termuat dalam KUHP, yang saat ini masih mengadopsi penjara sebagai solusi penghukuman yang paling mujarab. Denda, di sisi lain, adalah jenis penghukuman yang, dalam beberapa pasal di KUHP, dapat diterapkan sebagai alternatif dari penjara. Sungguh tragis, denda kerap tidak digunakan karena ketiadaan aturan yang selevel dengan KUHP (undang-undang) tentang penyesuaian nilai denda di KUHP dengan nilai uang saat ini. Kondisi ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap meningkatnya populasi penjara.

Di samping itu, di dalam Buku ke-II KUHP, yang mengatur 564 jenis tindak pidana, terdapat 235 jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara di bawah 5 (lima) tahun dan 329 jenis tindak pidana yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun. Sebanyak 235 jenis tindak pidana, yang diancam hukuman penjara dibawah 5 (lima) tahun berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dapat dikenakan penahanan. Landasan yuridis ini secara praktis dapat menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam menekan populasi penghuni penjara.

Akan tetapi, dalam praktiknya, orang-orang yang diduga melanggar ketentuan pidana sangat sering dipenjara mengingat tindak pidana yang diancam hukuman penjara di bawah 5 (lima) tahun merupakan tindak pidana yang jarang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa contoh tindak pidana ini adalah tindakan membuka rahasia (Bab XVII KUHP), perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak (Bab XXVI KUHP), dan sebagainya.

Tindak pidana yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun, seperti pencurian dan perjudian, misalnya, merupakan tindak pidana yang lebih sering dilakukan oleh masyarakat ekonomi lemah. Hal ini membuat penghuni penjara lebih didominasi oleh masyarakat ekonomi lemah. Pengalihan jenis penahanan yang sudah ada di ada di dalam KUHP tidak bisa dijalankan karena banyak ketentuan pidana yang sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat dan banyak pasal yang tidak berfungsi dalam menanggulangi kecanggihan suatu tindak pidana.

Berangkat dari uraian tersebut, maka perubahan terhadap KUHP merupakan kebutuhan yang mendesak dalam rangka harmonisasi peraturan dengan rasa keadilan masyarakat. Terkait dengan hal itu, sudah tepatlah program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2016 yang memasukkan revisi KUHP. Namun, pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP), yang dilakukan oleh DPR RI saat ini, seyogyanya melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan masukan agar tercipta KUHP yang humanis dan adil.

 

Penulis: Muhammad Afif

Editor: Yohan Misero

Dibutuhkan: Konsultan Penggalangan Dana

LBH Masyarakat membutuhkan seorang konsultan independen paruh-waktu untuk membantu mengembangkan rencana dan strategi pendanaan dan penggalangan dana organisasi. Konsultan yang terpilih akan bertanggung jawab, di antaranya, untuk mengidentifikasi donor-donor potensial dan peluang penggalangan dana untuk mendukung keberlanjutan keuangan organisasi.

Masa kerja konsultan dimulai sejak 12 Mei 2016 dan berakhir pada 17 Juni 2016, untuk lima belas hari kerja berdasarkan kontrak.

Silahkan kirim aplikasi Anda ke Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat, di alamat email: rgunawan@lbhmasyarakat.org

Tenggat waktu aplikasi adalah: Minggu, 8 Mei 2016, 18:00 waktu Jakarta (GMT +7). Informasi lebih detil silahkan lihat di sini.

Consultancy Opportunity

LBH Masyarakat is looking for a part-time independent consultant to help developing a plan and strategy of funding and fundraising of the organization. The consultant will be assigned to identify potential donors and fundraising opportunities to sustain the organization’s financial sustainability.

The consultancy work starts from 12 May until 17 June 2016, for a fifteen days consultancy contract.

Please submit your application to Ricky Gunawan, Director of LBH Masyarakat, to this email address: rgunawan@lbhmasyarakat.org

The deadline for this application is: Sunday, 8 May 2016, 18:00 Jakarta time (GMT +7). For detailed information please click here.

The Trip to Nobody Knows Where

In 2011, the Indonesian Government issued the Government Regulation Number 25 Year 2011 regarding the Implementation of the Compulsory Report of Drug Dependents which regulates the practice of compulsory report and rehabilitation for drug users in Indonesia. By this regulation, Indonesia produced a new institution called the Compulsory Report Institution (Institusi Penerima Wajib Lapor or usually abbreviated as IPWL). This institution is not only the place where drug users can access treatment, but also the place to note, gather, and process the data of drug users.

Looking at its importance, there is a need to understand the implementation of compulsory report and its effect on drug users’ life. This research attempts to explore how the compulsory report system has addressed drug users’ human rights. Besides that, this research also tries to assess the effectiveness of IPWL according to the client’s need.

This research finds that although the program is called compulsory report, many drug users felt that they joined the program voluntarily. There are several exception cases when drug users’ family or friends forced the drug users to enter treatment. The information of transition from a rehabilitation center to a compulsory report institution is sometimes inaccessible for drug users, making them feel coerced to join IPWL institution. There are shameful approaches also done by the IPWL institution to get patients, like offering the patients money or tricking potential drug users to become patients.

The issue of voluntarily could not be separated from the issue of accessibility of information. Although many drug users testified that they join the program voluntarily, the majority of them did not know the kind of treatment that is offered. The information that is more accessible for them is the knowledge of the warranty that the program participants will not be prosecuted, therefore some patients joins the IPWL program merely to avoid prosecution.

Relating to other element of accessibility, the majority of drug users said that the compulsory report institutions are physically accessible for them. There is, however, special concern for drug users who live in remote area where do not have drug treatment provider or ARV treatment provider. For some drug users also, the compulsory report institutions are not accessible due to the limited work-hours of the IPWL institution which does not accommodate clients who have regular jobs or educations.

The price of treatment for IPWL patients are different one another. The disparity of price happens between cities, between IPWL institutions in one city, and even between clients in one IPWL institution. The regulation which does not specify the price of treatment and gives the district government the authority to control the price make the disparity of IPWL payment.

In term of the quality of drug treatment in IPWL, this research finds four problems, which are: some IPWL institution could not give appropriate measure for drug users in withdrawal phase, the problem of medicine supply, the hard mechanism to lower IPWL clients’ methadone dosage, and other problems in social IPWL institution. Albeit these problems, the majority of clients were satisfied with the politeness and patience of the doctor or nurse in IPWL institutions.

Since drug users who join IPWL program are clients and in the process of treatment they submit their personal information to IPWL institution, the compulsory report system must then addresses their right to information and right to privacy carefully. In the aspect of right to information and right to privacy, this research finds that some clients did not get or were not explained the treatment plan. Though the clients are relatively comfortable sharing information with the health workers of the IPWL institution, there are cases showing that their personal information has been breached.

Many drug users access IPWL treatment when they still have a job or take education. The working hours of IPWL institution hinder some of them to fulfil their right to work and education. There is also other challenges where IPWL clients are still stigmatized and discriminated in workplace or education institution. The IPWL policy has not been promoted enough to other parties which may have strong influence to the clients’ life.

Because it is important for drug users to feel comfortable while get treatment, this research tries to find whether there are violence and discrimination in IPWL program. This research can only finds several examples of violence and discrimination against IPWL clients when accessing IPWL treatment, from either IPWL providers or other IPWL clients. However, this research also finds that IPWL system help some clients in reducing stigma they received from the family or society.

Another serious human right violation found in this research is criminalization of drug use. While many drug user perceived IPWL registration as a guarantee that they would not be prosecuted, many of them still prosecuted in practices. The IPWL institution has small role when a client is arrested, resulting in many clients felt disappointed with both the IPWL institution and IPWL program.

Indonesia’s drug policy use the perspective of abstinence to handle drug dependency. This research proves that IPWL program will not be effective if the purpose of treatment is only to achieve abstinence because the majority of IPWL clients use drugs again after they have accessed treatment. Some drug users also believe that the IPWL program would not run effectively if the patient join program involuntarily. Lastly, the IPWL program is not effective because many IPWL clients are still prosecuted and punished, a way that has been proved damaging drug users’ health condition.

The title of this report, “The Trip to Nobody Knows Where”, is inspired by the title of Uli M. Schüppel’s movie “The Road to God Knows Where”, a documentary about Nick Cave and the Bad Seeds’ 1989 tour of America. Compulsory report program was designed to overcome Indonesia’s drug problem, but in practice all parties that involve in the program see the program’s objective in different ways. For example, relating with criminalization of drug use, drug users perceive the IPWL program as a safe card from law enforcement agencies, the law enforcement agencies persistently state that IPWL clients could still be prosecuted, while the IPWL providers want to help drug users in criminalization but their role are limited. This different ways and interests in viewing the objective of IPWL program makes nobody could not predict the end situation that will be created by IPWL policy. Therefore, the researchers find that this title, “The Trip to Nobody Knows Where”, suits with the current situation.

You can download this report from this link.

Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional

Orang dengan HIV, adalah individu yang rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. Penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik, yang dinilai bertentangan dengan moral di masyarakat, memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV. “Stigma mengacu kepada kepercayaan dan/atau perilaku yang mendiskreditkan seseorang seperti ketika karakter tertentu dilekatkan secara berlebihan pada budaya atau keadaan tertentu dan didiskreditkan atau tidak berharga.” Stigma akan berakibat pada diskriminasi yaitu “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi atau perlakuan yang berbeda lainnya yang secara langsung atau tidak langsung berdasarkan pada alasan diskriminasi yang dilarang dan yang bertujuan atau berdampak pada meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, dari hak-hak yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.”

Banyak negara mengkategorisasi stigma dan diskriminasi HIV—bersama dengan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia—sebagai penghalang utama untuk meningkatkan layanan HIV/AIDS dan mencapai akses universal atas pencegahan, perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV secara komprehensif. Untuk mengatasi hal tersebut, semua negara anggota yang tergabung dalam PBB berkomitmen dalam Deklarasi Politik HIV/AIDS PBB tahun 2011 untuk menyusun strategi kebijakan HIV dan AIDS nasional yang mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk membuat program untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV.

Penguatan atas hak asasi manusia dapat “memastikan layanan HIV dapat dicapai oleh orang-orang yang paling membutuhkan, memberdayakan individu untuk proaktif dalam mengakses layanan kesehatan, meningkatkan permintaan layanan dan meningkatkan kualitas layanan.” Promosi dan proteksi hak asasi manusia juga berarti menciptakan lingkungan yang kondusif atau optimal untuk memberikan dan memperoleh layanan HIV yang esensial serta pengobatan dan perawatan yang lebih efisien, efektif dan berkelanjutan.14 Sebab, lemahnya perlindungan atas hak asasi manusia dapat meningkatkan penyebaran HIV dan memperburuk dampak HIV itu sendiri.

Stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan HIV terjadi di banyak sektor. Namun terdapat tiga sektor di mana orang dengan HIV nampaknya paling rentan menghadapi stigma dan diskriminasi. Ketiga sektor tersebut adalah kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan. Terjadinya stigma dan diskriminasi tersebut bisa disebabkan karena adanya instrumen hukum yang diskriminatif dan/atau adanya kekosongan instrumen hukum yang berlaku di suatu negara. Instrumen hukum yang diskriminatif dapat memperburuk perlindungan hak asasi orang dengan HIV, dan juga melanggengkan stigma dan diskriminasi. Sementara, ketiadaan instrumen hukum membuat orang dengan HIV tidak terlindungi secara hukum dari stigma dan praktik-praktik yang diskriminatif. Adanya instrumen hukum yang melindungi hak asasi orang dengan HIV menentukan sikap negara dalam menanggulangi HIV dan sebagai jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi orang dengan HIV.

Mengingat rentannya stigma dan diskriminasi orang dengan HIV di tiga sektor tersebut, LBH Masyarakat berinisiatif melakukan audit peraturan perundang-undangan pada tataran peraturan nasional. Laporan ini hendak melihat jaminan perlindungan hukum hak asasi manusia bagi orang dengan HIV dalam ranah pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Laporan ini menganalisis peraturan di Indonesia yang berkaitan dengan HIV berdasarkan standar hak asasi manusia. Peraturan yang akan diaudit adalah peraturan yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Analisis akan dibatasi pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan berikut.

Rilis Pers – Pernyataan Sikap Bersama Masyarakat Sipil Terkait dengan Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

SAATNYA MENGEDEPANKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENANGGULANGI PERSOALAN NARKOTIKA

Pernyatan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia terkait dengan

Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

___

Pada tanggal 19-21 April 2016 di New York, Amerika Serikat, akan berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sesi Spesial mengenai Permasalahan Narkotika Dunia (United Nations General Assembly Session atau biasa disingkat dengan UNGASS 2016).

Sehubungan dengan dilangsungkannya UNGASS 2016 yang akan dihadiri oleh negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia hendak menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana lazimnya proses negosiasi politik multilateral tingkat tinggi di mana pemerintah sebuah negara berpartisipasi, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil adalah kemutlakan. Dalam konteks ini, Pasal 3 (e) dan Pasal 6 Resolusi PBB Nomor 70/181 mengenai UNGASS 2016 telah menjamin dibukanya ruang keterlibatan masyarakat sipil dalam memberikan kontribusi di setiap tahapan persiapan UNGASS, termasuk di level nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya melibatkan masyarakat sipil di dalam tahapan persiapan menuju UNGASS 2016.

Pada bulan Desember 2015, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia telah menginisiasi koordinasi terkait UNGASS di tataran instansi pemerintahan. Namun sayangnya, upaya yang dimulai sejak Desember 2015 belum melibatkan masyarakat sipil. Pada bulan Februari 2016, LBH Masyarakat telah mengingatkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kemlu mengenai pentingnya membuka ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat sipil ini. Namun dua bulan berlalu, permintaan LBH Masyarakat tesebut tidak kunjung direspon oleh BNN dan Kemlu. Baru satu minggu sebelum UNGASS, Pemerintah Indonesia mengundang perwakilan masyarakat sipil untuk hadir di dalam rapat koordinasi. Tetapi, rapat koordinasi yang diadakan hanya satu minggu sebelum UNGASS berlangsung menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat sipil secara berarti dalam perumusan sikap dan pernyataan pemerintah untuk ikut membentuk kebijakan narkotika global. Rapat tersebut seakan dipaksakan agar pemerintah dapat mengklaim telah melibatkan masyarakat sipil dalam proses UNGASS.

Kedua, kebijakan narkotika Indonesia saat ini telah memunculkan sejumlah konsekuensi negatif berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kriminalisasi pemakaian narkotika sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah bentuk pelanggaran hak atas kesehatan pemakai narkotika dan justru memunculkan serangkaian pelanggaran HAM lainnya. Kriminalisasi pemakaian narkotika membuat pemakai narkotika enggan dan sulit mengakses program pemulihan ketergantungan narkotika dan menjauhkan mereka dari penjangkauan layanan kesehatan, karena khawatir akan pemenjaraan. Memenjarakan pemakai narkotika justru makin menyuburkan peredaran gelap narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan. Artinya, kriminalisasi pemakaian bukannya menurunkan angka ketergantungan, tetapi malah meningkatkannya dan memperburuk kondisi kesehatan pemakai narkotika. Dengan kriminalisasi pemakaian narkotika, pemakai narkotika juga semakin rentan mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.

Kebijakan kriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan narkotika juga telah memenjarakan banyak orang hingga penjara-penjara di Indonesia harus menampung narapidana lebih dari kapasitas yang semestinya. Anggaran penegakan hukum pun jadi membengkak, dari tahap penyelidikan sampai pemenjaraan, disebabkan oleh menumpuknya kasus-kasus semacam ini.

Ketiga, kebijakan narkotika Indonesia yang punitif juga semakin melanggengkan praktik hukuman mati dan eksekusi.  Presiden Joko Widodo telah mengeksekusi empat belas orang pelaku tindak pidana narkotika pada tahun 2015 dalam kurun waktu empat bulan. Sejak eksekusi dilakukan, angka peredaran gelap narkotika terbukti tidak menurun. Justru peredaran gelap narkotika semakin marak, dan dari banyak kasus terungkap bahwa aparat penegak hukum pun terlibat dalam peredaran gelap tersebut. Pemerintah seharusnya tidak menutup pada fakta dan bukti dalam merumuskan sebuah kebijakan. Intensi dari eksekusi mati yang dilakukan oleh Indonesia adalah memberantas peredaran gelap narkotika. Tetapi ketika peredaran gelap narkotika tetap marak sekalipun eksekusi mati dilakukan, hal ini jelas menunjukkan bahwa eksekusi mati tidak terbukti berhasil memberantas peredaran gelap narkotika.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Mendekriminalisasi pemakaian narkotika serta penguasaan narkotika dalam jumlah terbatas

Sudah saatnya Indonesia mendekriminalisasi pemakaian narkotika secara sungguh-sungguh. Dekriminalisasi adalah tidak sama dengan legalisasi pemakaian narkotika. Dekriminalisasi pemakaian narkotika sesungguhnya selaras dengan pemenuhan hak atas kesehatan dan sesuai dengan semangat pemidanaan modern.

  1. Menghapus hukuman mati dalam perkara narkotika, karena tidak terbukti menurunkan angka kejahatan peredaran gelap narkotika.

UNGASS adalah peluang bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menimbang ulang kebijakan narkotikanya saat ini dan memberikan ruang bagi pendekatan baru yang lebih berpijak pada hak asasi manusia, kesehatan publik, inklusi sosial dan ilmiah. Oleh karena itulah UNGASS menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan narkotikanya agar tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang justru berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Penanggulangan persoalan narkotika haruslah dan dapat sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Jakarta, 17 April 2016

Koalisi Masyarakat Sipil

1. East Java Action (EJA)

2. Human Rights Working Group (HRWG)

3. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

4. Imparsial

5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

6. Jaringan Nasional GWL-INA

7. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

8. LBH Masyarakat

9. Lingkar Ganja Nusantara (LGN)

10. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI)

11. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI)

12. Pelopor Perubahan Institute

13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)

14. Rumah Cemara (RC)

15. Stigma Foundation

16. Yayasan GAYa NUSANTARA

17. Yayasan Karisma

18. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

19. Yayasan Orbit

Narahubung:

Ricky Gunawan             (rgunawan@lbhmasyarakat.org)

Albert Wirya                  0819 3206 0682 (awirya@lbhmasyarakat.org)

 

Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek Tahun 2014

Pada tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 (SEMA No. 4 Tahun 2010) yang menjadi panduan bagi hakim untuk mengidentifikasi apakah seseorang merupakan pengguna narkotika dan memiliki kebutuhan untuk direhabilitasi. Hingga tahun 2015, tidak pernah ada dokumentasi mengenai pelaksanaan dari SEMA No. 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penelitian mengenai implementasi SEMA No. 4 Tahun 2010.

Untuk melihat implementasi dari SEMA No. 4 Tahun 2010 ini, peneliti menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengumpulkan putusan di 9 (sembilan) pengadilan negeri di wilayah Jabodetabek yang diputus sepanjang tahun 2014, dan diunduh di website resmi Mahkamah Agung. Kriteria putusan yang diunduh adalah putusan tersebut memiliki barang bukti di bawah ambang batas jumlah narkotika yang telah ditetapkan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010.

Dari putusan yang telah diunduh, peneliti akan melihat apakah putusan-putusan tersebut memenuhi semua kriteria seperti yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010 yaitu: barang bukti dibawah ambang batas jumlah maksimum narkotika; tertangkap tangan; positif menggunakan narkotika yang dibuktikan melalui tes urine; dan hasil asesmen medis dari dokter jiwa/psikiater. Kriteria terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak peneliti sertakan karena bias dan tidak bisa diukur.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.  

Reality Behind Bars

Law enforcement measures inevitably involve a contradiction: on the one hand they aim to create order by imposing certain restrictions on freedoms and liberties, while on the other hand they must honor liberties and freedoms of every individual that they limit. Humans inherently are endowed with rights, and when these rights are derogated from them, their humanity is undermined. A question then arises, in the event of a crime that poses a threat to public order what are we supposed to do with the perpetrators of the crime? Doing nothing will disrupt public order and will lead to a chaos that in turn will deny the human rights of other individuals. Law enforcement essentially involves some restrictions to the human rights of the perpetrators, but at the same time, the perpetrators of the crime are also humans endowed with rights that must be protected. This is exactly the critical point of the tension between these two opposite situations.

You can download this book from this link.

id_IDIndonesian