Skip to content

Category: Opini

Opini LBHM

Sidang Jaman Now: Tidak Ada yang Gratis!

Hak semestinya bukan sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Namun saat Agil – bukan nama sebenarnya – harus berurusan dengan penegak hukum karena penguasaan narkotika jenis sabu, ia harus merelakan hak-haknya karena pemenuhan hak di negeri ini ternyata harus disertai dengan upeti.

Sebelum semua ini terjadi, Agil, 23 tahun, bekerja untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karirnya yang masih panjang hilang begitu saja oleh kebijakan narkotika Indonesia yang mengedepankan hukum pidana daripada upaya kesehatan.

Pada Mei 2017, Joni – juga bukan nama sebenarnya, teman Agil, mengirimkan sebuah pesan untuk menawarkan sabu seharga 200.000 rupiah. Agil bilang pada Joni bahwa ia tak bisa membelinya karena ia belum memiliki uang. Joni kemudian berkata bahwa pembayaran bisa dilakukan besok atau lusa. Agil tertarik dan menyepakati tawaran tersebut.

Joni mengantar sendiri sabu yang dijanjikan ke kamar kost Agil di daerah Jakarta Selatan. Setelah menyerahkan sabu tersebut, Joni langsung pergi. Sabu tersebut Agil letakkan di saku celananya. Celana tersebut kemudian ia gantung di belakang pintu kamarnya. Setelah itu, Agil bersantai sejenak dengan menonton televisi.

Tak lama kemudian, Agil mendengar pintu kamarnya diketuk. Agil pikir Joni kembali lagi ke kamarnya. Saat pintu dibuka, dua orang bertubuh kekar langsung merangsek masuk. Tidak menggunakan seragam, dua orang ini mengaku sebagai anggota kepolisian dari Sat Narkoba Polsek Pasar Minggu. Agil langsung didorong ke dinding kamarnya dan orang yang mengaku sebagai penyidik itu langsung menggeledah isi kamar Agil. Sabu yang baru saja diantar Joni pun ditemukan. Hal ini membuat Agil dibawa ke Polsek Pasar Minggu untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sikap penyidik amat disesalkan karena terbilang sewenang-wenang dalam upaya penangkapan dan penggeledahan ini. Penyidik luput menyertakan surat perintah penangkapan dan surat perintah izin penggeledahan dalam pelaksanaan upaya paksanya ini.

Setelah tiba di Polsek Pasar Minggu, Agil diinterogasi dan ia mengakui bahwa sabu itu miliknya. Ia juga menceritakan bahwa sabu tersebut didapat dari Joni, temannya, dan bahwa sabu tersebut akan ia gunakan sendiri. Tidak memperdulikan keterangan Agil tersebut, penyidik menetapkan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pasal yang akan dikenakan pada Agil karena ia terindikasi sebagai seseorang yang “…tanpa hak atau melawan hukum memilki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman”. Pasal ini mengancam setiap orang yang melanggar dengan 4-12 tahun penjara ditambah denda 800 juta sampai 8 milyar rupiah.

Sebenarnya ada pasal yang lebih tepat bagi Agil dalam UU Narkotika yakni Pasal 127 yang menyatakan bahwa setiap penyalaguna narkotika golongan 1, termasuk sabu, dipidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal ini dikenal sulit didapatkan oleh pengguna narkotika di ranah praktik proses peradilan pidana karena regulasi dari UU Narkotika yang amburadul serta keengganan penegak hukum menerapkannya.

Keluarga Agil baru mendapat surat penangkapan serta surat penahanan dari Polsek Pasar Minggu 3 hari setelah penangkapan. Keluarga Agil pun menjenguk dan menanyakan perkembangan status penahanan Agil pada kepolisian. Keluarga juga menanyakan apakah Agil terbukti positif atau tidak menggunakan sabu – sebuah keterangan yang penting untuk melihat Agil sebagai seorang sebagai pengguna atau bukan. Sayangnya, penyidik menganggap tidak perlu dilakukan tes urin terhadap Agil – yang pada saat proses penangkapan, tidak sedang menggunakan sabu. Ini menunjukan masih masifnya perspektif punitif di kalangan penegak hukum kepada pengguna narkotika dan seharusnya menjadi satu alasan pentingnya untuk segera merevisi UU Narkotika ke arah yang lebih memahami situasi pengguna narkotika: tidak akan ada penggunaan narkotika tanpa pembelian dan penguasaan terlebih dahulu.

Sesungguhnya, betapa berantakannya UU Narkotika ini – terutama dalam aspek hukum pidana – juga disadari oleh berbagai institusi yang mengimplementasikannya. Pada 2014, 7 institusi (Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Narkotika Nasional, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama untuk mencoba mereduksi masalah ini. Peraturan tersebut mengatur mengenai sebuah sistem yang disebut dengan Tim Asesmen Terpadu (TAT). Tim tersebut terdiri dari orang berlatar belakang hukum dan medis untuk memeriksa apakah seseorang yang tersangkut kasus narkotika, seperti Agil, patut diberikan rehabilitasi atau tidak. Seorang tersangka hanya dapat diasesmen oleh TAT apabila ada rekomendasi dari dari penyidik kepolisian kepada Badan Narkotika Nasional.

Setelah keluarga mengetahui informasi tersebut, keluarga pun menanyakan hal ini kepada penyidik dan jawabannya sangat di luar dugaan: penyidik meminta uang sebesar 20 juta rupiah kepada keluarga Agil agar proses TAT dapat diselenggarakan. Padahal sudah jelas tertulis dalam Pasal 14 ayat 4 Peraturan Bersama 7 institusi tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi bahwa “Biaya pelaksanaan asesmen yang di lakukan oleh Team Asesmen Terpadu dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional.” Angka setinggi 20 juta rupiah sungguh terlampau tinggi buat keluarga Agil sehingga keluarga pun merelakan Agil untuk tidak diasesmen. Lebih dari itu, membayar penegak hukum untuk memperoleh hak sesungguhnya hanya akan melanggengkan praktik korupsi yang seharusnya dilenyapkan dari negeri ini.

Pada Juli 2017, Agil menjalani sidang perdananya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agil didakwa Penuntut Umum dengan pasal tunggal yakni Pasal 112 ayat 1 UU Narkotika. Perlu dicatat bahwa pada sidang perdana itu Majelis Hakim luput menanyakan mengenai pendampingan penasihat hukum pada Agil – suatu hal yang esensial bagi seorang terdakwa.

Selang seminggu, persidangan dilanjutkan dengan agenda keterangan saksi. Penuntut Umum menghadirkan saksi dari penyidik yang menerangkan mengenai kronologis penangkapan. Agil, yang tidak didampingi penasihat hukum, mengiyakan semua keterangan saksi. Tanpa memberikan kesempatan pada Agil selaku terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan bagi dirinya, Majelis Hakim pada hari itu langsung melanjutkan persidangan dengan agenda keterangan terdakwa. Pada saat memberikan keterangan, Agil mengakui bahwa sabu tersebut ia gunakan untuk dirinya sendiri sebagai penambah stamina saat bekerja dan ia merasa telah dijebak oleh Joni.

Persidangan dilanjutkan seminggu kemudian dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum meminta kepada Majelis Hakim agar Agil dihukum pidana penjara sebesar 4 tahun 6 bulan. Majelis Hakim kemudian, kali ini tidak lupa, menanyakan pada Agil mengenai pembelaan. Agil menjawab bahwa ia ingin melakukan pembelaan secara tertulis. Majelis Hakim kemudian memberikan waktu seminggu bagi Agil untuk menyusun pembelaannya.

Pada pembelaan yang ia bacakan sendiri, Agil menceritakan berbagai pengingkaran hak dari awal penangkapan hingga saat itu. Ia juga menyampaikan bahwa tuntutan 4 tahun 6 bulan sungguh terlampau besar bagi seseorang yang dijebak sepertinya – hal ini adalah sebuah penderitaan luar biasa baginya dan keluarga. Ia berharap kepada Majelis Hakim untuk menolak tuntutan Penuntut Umum. Pun jika ia dinyatakan terbukti bersalah dan harus dihukum dengan penjara, Agil memohon agar ia dihukum selayaknya sebagai pengguna yakni dengan pidana penjara di bawah angka 4 tahun.

Setelah mendengar pembelaan Agil tersebut, Majelis Hakim menanyakan kepada Penuntut Umum mengenai keberadaan hasil asesmen terdakwa. “Tidak ada, Yang Mulia”, jawab Penuntut Umum. Ketua Majelis Hakim kemudian menanyakan langsung kepada Agil, “Apakah kamu diasesmen?” Agil kemudian dengan jujur menjawab, “Tidak, Yang Mulia. Hal ini dikarenakan pada saat keluarga saya mengajukan asesmen, penyidik justru meminta uang sebesar 20 juta rupiah.” Respon Ketua Majelis Hakim saat itu sungguh luar biasa, “Kenapa kamu tidak membayar? Jaman sekarang ini, segala sesuatu harus menggunakan uang.” Terkejut, Agil berkata, “Saya tidak mampu untuk memenuhi permintaan penyidik tersebut, Yang Mulia.”

Ketua Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa Agil tidak bisa direhabilitasi kalau tidak ada rekomendasi atau hasil asesmen dari BNN. Sidang kemudian dilanjutkan seminggu kemudian dengan agenda pembacaan putusan. Majelis Hakim memutuskan pidana penjara 4 tahun 3 bulan bagi Agil. Hasil ini sungguh mengecewakan bagi Agil mengingat berbagai haknya yang terlanggar dalam proses ini.

Sudah ada berbagai upaya, baik dari masyarakat maupun negara, untuk mengubah UU Narkotika atau, setidaknya, memperbaiki implementasinya. Namun mengingat segala ketidaksempurnaan dari UU  Narkotika kita hari ini, proses persidangan memiliki peran yang amat penting sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan dan mengungkap kebenaran. Semua harap itu pun sirna ketika, pada kasus Agil setidaknya, Majelis Hakim yang memiliki kedudukan tertinggi di persidangan melakukan hal yang berlawanan dengan mengaminkan praktik korupsi yang terjadi. Regulasi narkotika yang buruk dan penegak hukum yang korup: kombinasi sempurna yang telah merenggut Agil dan puluhan ribu anak-anak bangsa dari keluarga mereka. Bukankah ini saatnya berubah?

Penulis: Ari Susanto

Editor: Yohan Misero

Malam-Malam Sulis: Sex, Drugs, and Court & Rule

Sex.

Andai sang ayah tidak meninggalkan ibunya demi perempuan lain, mungkin masa remaja Sulis (bukan nama sebenarnya) tidak berakhir di penjara. Ekonomi keluarga yang terguncang setelahnya memaksa sang ibu untuk menjadi tukang cuci pakaian bagi para tetangga meski hanya dibayar Rp 5.000 – Rp 10.000 sehari. Melihat ibu pulang dengan baju yang basah akibat keringat dan air cucian, Sulis merasa dirinya harus membantu mencari nafkah.

Sulis mengundurkan diri dari bangku sekolah tahun 2008. Tidak lagi belajar dari guru di kelas, tidak lagi ada kepala sekolah yang menanyakan biaya sekolah, tidak lagi bertemu teman-teman di kantin. Untuk meringankan beban ibunya, Sulis rela menggadaikan pendidikannya. Meski baru 10 tahun usianya, Sulis pergi mengamen jauh dari rumahnya. Sulis sering kucing-kucingan dengan Pamong Praja agar tidak ditangkap saat mengamen. Ia pun kerap dipalak oleh preman di areanya mengamen. Anak sekecil itu dipaksa menyadari bahwa pulang tanpa uang ternyata jauh lebih berat dibanding PR matematika.

Dua bulan mengamen, Sulis bertemu seorang perempuan bernama Indah (yang juga bukan nama sebenarnya). Indah tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari gubuk tempat Sulis dan keluarga tinggal. Pada suatu siang, Indah memanggil Sulis untuk datang ke kontrakannya. Indah bilang pada Sulis bahwa ada pekerjaan untuknya – hal yang langsung disambut Sulis dengan gembira. Indah kemudian menanyakan tentang kehidupan yang Sulis jalani sekarang. Indah menyatakan keibaannya atas hidup yang sedang Sulis jalani dan berkata bahwa ia juga pernah ada di posisi itu. Pada Sulis, Indah menjelaskan bahwa pekerjaan Sulis sekarang tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi ia dan ibunya. Saat Sulis berkata bahwa dalam satu hari ia hanya membawa pulang Rp 20.000, Indah tertawa.

“Kamu bisa membawa uang Rp 100.000 – Rp 200.000 sehari tanpa berpanas-panasan seperti apa yang kamu lakukan sekarang,” ucap Indah pada Sulis. Terkejut mendengar kemungkinan itu, Sulis langsung menanyakan pekerjaan apa yang dimaksud. Indah tidak menjelaskan secara lengkap. Indah hanya menggambarkan bahwa inti pekerjaan ini ialah menemani seorang di sebuah ruangan pada malam hari. Sulis yang masih anak-anak tidak dapat membaca yang tersirat di balik ucapan tersebut. Indah segera menanyakan pada Sulis apakah ia mau mengambil pekerjaan tersebut atau tidak – pertanyaan yang diiyakan Sulis karena kepolosannya dan tekanan ekonomi yang ia hadapi. Sulis bahkan bersedia untuk membohongi ibunya dengan mengatakan bahwa ia akan mulai bekerja sebagai penjaga toko di malam hari.

Keesokan malamnya, mereka pergi ke daerah Tamansari, Jakarta Barat. Indah mengajak Sulis masuk ke dalam sebuah ruko sambil berkata, “Di sinilah kantormu sekarang, keren kan?” Sulis terdiam dan membatin “Wah, siapa yang menyangka kalau saya bisa bekerja di sebuah kantor yang besar dan megah.” Tak lama kemudian, Indah mengajak Sulis berkeliling ruko dan mengenalkannya pada pekerja lainnya, yang semuanya perempuan.

“Mami!” terdengar teriakan pekerja yang ditujukan kepada Indah, Sulis bingung dan bertanya-tanya siapa Indah sebetulnya. Setelah Sulis diajak berkeliling untuk dikenalkan, Indah langsung memerintahkan Sulis mengenakan pakaian kerja, di mana pakaian tersebut sama dengan pakaian perempuan-perempuan yang ia lihat barusan.

Hanya menurut dan diam, Sulis mengenakan pakaian tersebut. Sulis tak pernah mengenakan pakaian semacam itu sebelumnya sehingga ia sedikit risih mengenakannya. Tapi apa daya, itu adalah pakaian wajib setiap pekerja di situ. Tak lupa, Indah mengajari Sulis cara bersolek agar terlihat lebih menawan. Selang 1 jam, ada seorang tamu, pria berumur sekitar 40 tahun, yang tertarik dengan Sulis. Sang tamu dan Sulis diantar Indah ke sebuah ruangan khusus. Tak pernah Sulis bayangkan, bahwa ia harus melayani hasrat seksual sang tamu. Sulis, yang takut setengah mati, tak melawan dan mengikuti kemauan sang tamu 60 menit lamanya. Setelahnya, Sulis, yang masih dalam syok luar biasa, langsung menemui Indah untuk menanyakan apa sebetulnya pekerjaan yang harus dilakukannya ini. Indah hanya tertawa dan mengatakan, “Apa yang kamu kerjakan barusan, itulah pekerjaan kamu.” Sulis, dengan segala situasi sosial ekonominya tadi, tak kuasa menolak. Ia merasa sudah bersepakat dengan Indah dan takut risiko yang muncul apabila ia berhenti begitu saja.

Sekitar pukul satu dini hari, para pekerja yang telah bekerja dan mendapatkan tamu dikumpulkan oleh Indah di sebuah ruangan dan masing-masing diberi Rp 150.000. Ditambah Rp 50.000 dari tamu tadi, maka di hari pertama ini Sulis membawa pulang Rp 200.000. Dalam perjalanan pulang, Indah bertanya pada Sulis tentang penghasilan malam ini. Indah ingin Sulis berpikir bahwa pekerjaan ini jauh lebih menguntungkan dibanding mengamen. “Bayangin, kamu bisa dapat Rp 200.000 dalam sehari, bagaimana kalau kamu kerja selama 1 bulan? Ibumu pasti senang karena kamu bawa uang banyak,” kata Indah meyakinkan.

Kira-kira pada dua dini hari, Sulis sampai di rumah dan ibunya sudah tidur lebih dulu. Paginya, Sulis langsung menyerahkan penghasilannya semalam pada ibunya. Kaget akan uang sebanyak itu, ibunya bertanya dari mana uang tersebut. Sesuai pembicaraan dengan Indah sebelumnya, Sulis menjawab bahwa itulah upahnya menjaga toko di malam hari. Dengan bimbang, ibunya mengambil uang tersebut yang langsung dibelikan stok makanan untuk 2 hari dan membayar hutangnya pada tetangga.

Malamnya, Sulis kembali bekerja. Kali ini, ia berangkat sendiri tanpa Indah. Sulis langsung naik ke lantai dua, mengganti pakaiannya, berdandan, dan duduk menunggu tamu. Hari ini nasib baik berpihak pada Sulis, ada tiga tamu yang Sulis temani dan setiap tamu memberikan tip untuknya. Sulis membawa pulang lebih dari Rp 200.000 yang semuanya diberikan pada ibunya untuk keperluan sehari-hari.

Hampir 8 tahun lamanya Sulis telah menjadi seorang pekerja seks. Sudah berbagai tamu ia temui: pemilik toko, supir, anak muda, tua renta, macam-macam! Sesungguhnya, perasaan Sulis campur aduk ketika melakukan pekerjaan ini: takut, sedih, malu – namun, di sisi lain, harus dilakukan demi kelangsungan hidup keluarganya.

Sulis sering bertanya-tanya: mengapa orangtuanya tidak memiliki banyak uang dan hubungan yang harmonis? Mungkin bila ia memiliki keduanya, ia akan melakukan pekerjaan lain. Namun realita punya jalannya sendiri. Pernah bersekolah sampai kelas 2 SD pun sudah menjadi kebanggan bagi Sulis untuk dapat diceritakan ke anak cucu kelak. Setidaknya, Sulis pernah menggenakan seragam putih merah, berangkat pagi-pagi, membawa bekal, mengikuti upacara bendera, dan belajar di kelas bersama teman-teman. Satu hal yang paling membuatnya sedih ialah bahwa ia harus terus membohongi ibunya. Rp 200.000 setiap pagi ternyata tidak membuat ibunya tersenyum. Subuh jadi saksi air mata Sulis yang benci berbohong. Mungkin sampai detik ini, ibunya masih percaya bahwa Sulis adalah seorang penjaga toko.

Drugs.

Hubungan pekerjaan antara Indah dan Sulis tak selalu berjalan mulus. Sulis dan Indah sering bertengkar perkara selisih uang yang tidak seberapa. Pada September 2016, semuanya bertambah buruk.

Seorang tamu menyuruh Indah untuk membeli sabu. Indah kemudian memaksa Sulis untuk mencari dan mendapatkan narkotika tersebut. Sesungguhnya, Sulis takut menuruti suruhan Indah kali ini. Selain itu, Sulis tidak tahu cara memperolehnya.

Malam itu sangatlah sial bagi Sulis, belum ada seorang tamu pun untuknya. Sulis membayangkan ibunya tersenyum menutupi kekecewaan karena Sulis pulang tidak membawa uang. Akhirnya Sulis mau melakukan apa yang diperintah Indah, dengan perjanjian bahwa Indah akan memberikan tamu kepada Sulis.

Sulis bertemu dengan seorang pria yang mau membantunya mencari. Pria tersebut bernama Dika (lagi-lagi, bukan nama sebenarnya), seorang tukang ojek di daerah Mangga Besar, Jakarta Barat, yang penghasilannya tidak lebih baik dari Sulis. Sulis baru sekitar 2 bulan mengenal Dika. Sulis sering meminta agar Dika menjemput dan mengantar Sulis berangkat dan pulang kerja.

Dika sudah menyarankan untuk tidak menuruti kata Indah. Namun pada Dika, Sulis memberikan dua kata yang membuat Dika berhenti mendebatnya, “Demi uang.” Dika kemudian pergi mencari dan berhasil mendapatkan sabu seharga Rp 450.000.

Saat Sulis menyerahkan sabu pada Indah, Indah malah mengajak Sulis menaiki bajaj ke tujuan yang tidak diketahui oleh Sulis. Sulis sempat menanyakan pada Indah untuk apa dirinya ikut. Alasan Indah saat itu adalah transaksi di dalam perjalanan menggunakan bajaj sangat aman. Perasaan Sulis sedikit tenang setelah mendengar alasan itu. Di dalam bajaj, Indah langsung meminta sabu tersebut dan langsung diberikan oleh Sulis. Indah lalu memasukkan sabu tersebut ke dalam sebuah bungkus rokok.

Indah kemudian menyuruh supir bajaj untuk berhenti di depan Dunkin Donuts dekat dengan Stasiun Mangga Besar. Indah bilang pada Sulis bahwa ia mau membeli donat untuk suaminya. Indah meminta Sulis untuk tetap di dalam bajaj, karena Indah meninggalkan tasnya di dalam bajaj. “Repot,” kata Indah. Indah bilang bahwa ia hanya akan membeli beberapa donat dan dalam 5 menit akan kembali.

Tak lama setelah Indah turun, 3 anggota kepolisian dari Polsek Metro Tamansari menyergap Sulis di dalam bajaj. Salah satu polisi langsung menemukan bungkus rokok berisi sabu di bawah tas yang ditinggalkan oleh Indah. Sulis mencoba menjelaskan bahwa tas dan bungkus rokok yang berisi sabu tersebut adalah milik Indah dan bahwa dirinya dimintakan tolong oleh Indah untuk mencarikan sabu tersebut. Bukannya mencari siapa dan di mana Indah, polisi malah menanyakan darimana sabu tersebut Sulis peroleh. Dengan kooperatif, Sulis menjawab bahwa ada seorang pria bernama Dika yang membantu Sulis untuk mendapatkannya. Petugas kepolisian langsung meminta Sulis ikut dan menunjukan di mana posisi Dika berada.

Dengan bantuan Sulis, polisi dengan mudah menemukan Dika yang sedang menunggu penumpang. Sulis bingung harus mengatakan apa kepada Dika karena ia pun dijebak oleh Indah. Sulis dan Dika pun dibawa ke Polsek Metro Tamansari untuk diproses lebih lanjut. Berulang-ulang Sulis menjelaskan tentang Indah kepada polisi namun tetap diabaikan. Tak lama kemudian, Sulis dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu untuk menjalani penahanan dengan mengantongi Pasal 114 ayat (1) subsidair Pasal 112 ayat (1) juncto Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai sangkaan atas perbuatannya.

Court & Rule.

Memakai kemeja putih kusut dengan rompi bewarna merah, Sulis bersiap menduduki panasnya bangku terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Duduk di depan tiga mejelis hakim bukanlah sebuah keinginan, namun harus dilakukan lantaran perbuatannya. Proses persidangan yang harus Sulis jalani juga tidak mudah.

Sulis sebenarnya lahir tahun 1998 sehingga saat penangkapan terjadi usia Sulis masih berusia 17 tahun. Namun karena pada akhir 2016 Sulis berencana untuk menikah, Sulis dan keluarga mengganti tahun kelahiran Sulis di berbagai dokumen menjadi 1996. Hal yang Sulis bayangkan akan menguntungkannya, ternyata membuatnya kehilangan akses terhadap proses peradilan anak.

Sulis menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa saat peristiwa penangkapan terjadi ia masih seorang anak 17 tahun. Sulis meminta kepada Majelis Hakim agar dirinya disidangkan dengan proses persidangan anak. Namun, Majelis Hakim menolak argumen yang Sulis sampaikan dalam eksepsi karena tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.

Beberapa kali Sulis dijemput dari Pondok Bambu lalu masuk ruang tahanan di pengadilan, namun tidak dipanggil sidang sampai sore sebelum dikembalikan ke rutan. Berulang-ulang Sulis mengalami penundaan sidang tanpa alasan yang jelas.

Sampai pada 12 Januari 2017 kemarin, Sulis harus menerima pahitnya penerapan hukum acara di Indonesia. Tiga hari sebelumnya, Sulis diberitahu oleh Majelis Hakim bahwa agenda sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Setelah Jaksa membacakan surat tuntutan kepada Sulis di hari itu, seharusnya yang menjadi agenda selanjutnya adalah penyampaian pembelaan dari Sulis. Namun entah di mana Dewi Yustisia saat itu.

Sulis sudah berniat untuk menyampaikan pembelaan pada sidang berikutnya, namun Majelis Hakim tidak memberikan hak tersebut. Setelah pembacaan surat tuntutan tadi, Majelis Hakim seakan mengambil jalan pintas dengan melakukan tanya jawab dengan Sulis sebagai sebuah bentuk nota pembelaan. Secara umum, Majelis Hakim menanyakan tentang penyesalan dan diminta berjanji untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Padahal ada hal penting lainnya yang ingin Sulis jelaskan di agenda pembelaan, seperti kronologi peristiwa yang sesungguhnya. Hal-hal yang tidak tersampaikan inilah yang kemudian Sulis, melalui penulis, jelaskan lewat tulisan ini. Karena tak sampai 5 menit melakukan tanya jawab dengan Sulis, Majelis Hakim langsung menjatuhkan pidana penjara yang akan diberikan kepada Sulis. Dalam 1 hari yang sama, Sulis harus menjalankan 3 agenda sekaligus. Padahal di hari-hari sebelumnya Sulis kerap tidak dipanggil sidang lantaran Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim belum siap. Sulis bingung dan bertanya: mengapa mereka bisa menunda apabila belum siap sedangkan dirinya tidak punya privilese yang sama?

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana kepada Sulis sebesar 6 tahun tahun penjara. Setelah berpikir dalam waktu yang amat singkat, terucaplah angka 5 tahun 2 bulan pidana penjara terhadap Sulis dari mulut Ketua Majelis Hakim.

Perlu diingat bahwa banyak sekali hak Sulis yang terlanggar hak di proses ini. Selain tidak diberikan kesempatan menyampaikan pembelaan, Sulis juga tidak diberikan pengacara pada tahap penyidikan oleh kepolisian. Bagi Sulis, pengadilan kini bukanlah tempat mencari keadilan melainkan tempat penghukuman belaka. 5 tahun 2 bulan akan Sulis lewati tanpa senyuman dari ibunya. 5 tahun 2 bulan yang diberikan oleh proses persidangan yang cacat. 5 tahun 2 bulan untuk seseorang yang setiap malam berjuang melawan ketimpangan.

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

Cara Kami Membaca Angka Sedikit Berbeda dengan Jaksa

Sepanjang tahun 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyampaikan bahwa kasus narkotika memimpin klasemen jumlah kasus yang ditangani yakni sebanyak 2.262 kasus (Pikiran Rakyat, 30/12/2016). Masyarakat umum akan memandang angka ini sebagai wujud kerja keras yang membuahkan hasil dan layak dipuji. Padahal upaya Kejaksaan Tinggi dalam menangani kasus narkotika menyumbang ledakan populasi penghuni rumah tahananan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Jawa Barat. Kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini pun tidak bertambah. Dibangunnya rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan baru untuk menambah ruang bagi tahanan atau narapidana, serta ide untuk memberikan pengamanan super maksimum dengan menempatkan binatang buas, sejatinya hanyalah langkah emosional. Hal tersebut bukanlah langkah yang bijak dan tepat. Karena selain akan menguras keuangan negara, langkah tersebut juga tidak menyasar pada pada akar persoalan penanganan kasus narkotika. Cara pemerintah menangani kasus narkotika tidak memberikan fokus yang seimbang dengan khitah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang yang juga menekankan memberikan tindakan pemulihan bagi penyalahguna narkotika.

Ketidakseimbangan pendekatan ini juga diperumit oleh Presiden Joko Widodo yang menabuh genderang perang terhadap narkotika (war on drugs) yang secara implisit memberikan legitimasi terhadap aparat penengak hukum untuk menindak keras terhadap pelaku yang terlibat dengan narkotika, termasuk melakukan eksekusi mati yang, melalui berbagai penelitian, diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap menurunnya peredaran gelap narkotika.  Narasi war on drugs, jika berkaca di negeri asalnya, Ameriksa Serikat, yang didendangkan oleh Presiden Richard Nixon dengan dukungan anggaran yang melimpah, terbukti mengalami kegagalan karena mengirimkan ribuan orang yang terlibat narkotika kedalam penjara dan hal demikian akan berdampak pada biaya sosial yang ditanggung negara dan juga pelaku. Potensi dampak buruk dari kebijakan ini antara lain ialah semakin rentannya penularan beberapa penyakit seperti HIV dan TB di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang juga dapat berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Narasi punitif ini secara lebih sadis diterapkan oleh Presiden Rodrigo Duterte di Filipina yang telah menewaskan lebih dari ribuan orang hingga September 2016.

Fakta-fakta ini tidak kemudian membuat dukungan publik terhadap pendekatan semacam ini berkurang, yang kemungkinan diakibatkan oleh kuatnya narasi pemberantasan narkotika melalui media. Hal ini membuat penanganan kasus narkotika di Indonesia memiliki dimensi politik yang kuat karena \”memperdagangkan\” perolehan penanganan kasus dengan jabatan atau kekuasaan karena publik memberikan kepercayaan setelah melihat \”prestasi\” yang sebetulnya sangat patut dipertanyakan.

Maka politik hukum penanganan kasus narkotika sepatutnya dikembalikan ke jalur yang menitikberatkan pada aspek medis, terutama pada kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Politik hukum tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 112 Undang-Undang Narkotika adalah keranjang sampah atau pasal karet karena pecandu narkotika tidak akan terlepas dari penguasaan narkotika terlebih dahulu. Penguasaan narkotika oleh pecandu narkotika harus melihat konteks bukan pada teks undang-undang. Adanya konstruksi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut memberikan pesan kepada penuntut umum yang untuk menghadirkan hasil asesmen aspek medis untuk melihat riwayat pelaku berhubungan dengan narkotika dan aspek hukum untuk menginvestigasi keterkaitan pelaku dengan jaringan peredaran gelap narkotika. Ini terkait kewenangan dominus litis Penuntut Umum yang berperan untuk mengikuti perkembangan penyidikan dengan tugas memberikan petunjuk terhadap berkas perkara penyidikan sebuah kasus.

Hasil asesmen dapat membantu Penuntut Umum dalam agenda pembuktian dan juga menentukan tuntutan: apakah akan meminta pelaku dipenjara atau menjalani rehabilitasi. Di sisi lain, mengenyampingkan hasil asesmen yang memiliki kualifikasi sebagai alat bukti surat dapat dipandang sebagai sebuah hal yang gegabah dan dapat membuat dakwaan dalam posisi rawan. Pada praktik, Penuntut Umum kerap tidak memerdulikan hal ini karena beranggapa sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti dengan menghadirkan saksi polisi yang melakukan penangkapan dan alat bukti surat hasil uji forensik zat narkotika. Padahal, kehadiran polisi sebagai saksi di persidangan sesungguhnya ditentang oleh KUHAP karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) karena kesaksian polisi ialah ruang untuk memuluskan tugas polisi sebagai penegak hukum untuk menjebloskan pelaku ke dalam penjara. Praktik demikian sejatinya tidak tepat dan mendapat kritikan dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 pada kasus Ket San. Putusan tersebut menilai bahwa kesaksian polisi tidak dalam posisi yang objektif karena polisi sudah memiliki persepsi dan kepentingan terhadap terdakwa sehingga profilnya tidak lagi sesuai dengan tugas seorang saksi yang semestinya memberikan keterangan yang objektif, jujur, bebas dan netral.

Di samping itu, keengganan Penuntut Umum menyertakan hasil asesmen merupakan pengkhianatan terhadap prinsip fair trial yang termaktub dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Padahal berdasarkan Guidelines on the Role of Prosecutors, Penuntut Umum harus memperhitungkan dengan tepat posisi dari pelaku tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang berdampak terhadap pelaku. Oleh karenanya, hasil asesmen, terlepas dari bahwa dokumen tersebut akan merugikan atau menguntungkan terdakwa, menjadi wajib untuk dihadirkan. Keengganan Penuntut Umum dalam menghadirkan hasil asesmen juga dipengaruhi oleh minimnya akses terhadap bantuan hukum. Situasi ini semakin membuat rentan posisi pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum. Hal demikian mengakibatkan pemakai narkotika menjadi bagian terbesar dari demografi penjara di banyak tempat. Maka jumlah penanganan sekian banyak kasus narkotika tidak tepat bila dipandang sebagai sebuah prestasi. Ia justru adalah angka yang mencerminkan masifnya praktik ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Lessons from Indonesia’s Recent Executions

This piece was written by Ricky Gunawan and was published in Rappler on 9 August 2016.

 

When Merri Utami walked into a McDonalds in Central Jakarta in 2001, she was exactly the type of person drug-trafficking cartels target. They are very well aware that poorly-educated, migrant workers and victims of domestic violence are easily manipulated.

There waiting for her was ‘Jerry’, a smooth Canadian national and business man. For a short 3 months after that ‘chance’ meeting, Merri felt she was living a dream. Far from abusing her, Jerry wanted to protect her. He wanted her to give up her migrant work in Taiwan. He invited her on vacation to Nepal. He even wanted to marry her. Merri thought she was in love.

Unfortunately, after 3 days in Nepal, Jerry was forced to leave ‘for business reasons.’ He insisted that Merri should stay, however, to enjoy the rest of the vacation as planned. Thoughtfully he even pointed out her suitcase was shabby and so arranged for her to get a good one.

A strong, high quality and rather heavy suitcase was duly delivered.

pic.twitter.com/VT1eta4MLx

— Ricky Gunawan (@erge17) July 26, 2016

When Merri arrived back in Jakarta, customs officers found 1.1 kg of heroin in the suitcase provided for her by the man Merri thought loved her. Jerry proved to be the most cruel of all the people Merri had encountered in her fraught life.

Justice?

My organization, LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), recently took the case of Merri, shortly before she was taken to Nusakambangan – the execution island – where she was prepared for execution on July 29, 15 years after that fateful lunch in McDonalds. Jerry is still at large, presumably continuing to profit from young, vulnerable women like Merri. Had Merri’s bag not been routinely checked as she left Jakarta airport, Jerry would have recovered more than half a billion rupiah worth of heroin.

Merri would never have even known how she had enriched him.

Merri was slated to be executed last week. However, as the drama evolved, we found out that she was ‘reprieved’ at the last minute. Although she is now spared from execution, she may be executed in the future. Unless we stand firmly behind her, it is Merri that stands to die.

Is this justice? Is this even an effective way to tackle drug crime?

Indonesia still claims that by killing drug mules, it will stop this terrible crime. Is there any evidence of this? Definitely not, judging from past experience. Unsurprisingly, the number of prisoners incarcerated for drug-related crimes kept increasing after two rounds of executions in 2015.

In part, this is because many of those killed are not even aware they are committing a crime. This is not only because it can be easy for the unscrupulous to deceive; to blackmail; or to exploit the desperate. In some cases, we are even killing the innocent.

Racist court

I also represented Humphrey Jefferson Ejike who was executed on 29 July 2016 together with three other people.

Humphrey was a devout religious Nigerian who had set up a restaurant in Tanah Abang, Central Jakarta. On August 2, 2003, police officers came to search his restaurant because they had information that there were drugs inside his restaurant. He then voluntarily returned from a church in Bekasi (which is about 2 hours by car from Jakarta) to be present during the search.

After the search, the police found 1.7 kg of heroin inside a bedroom in the restaurant – a bedroom Humphrey had never used because he had an apartment in Kemayoran, Central Jakarta. He was then arrested and spent five months without access to adequate legal representation. This is in breach of both international conventions and Indonesia’s own criminal procedural code.

In that time he claims to have been beaten and threatened with shooting unless he ‘confessed’. No investigation was made into Humphrey’s allegations, despite the decision to sentence him to death on such flimsy evidence.

Humphrey may have been targeted simply because of his nationality. The trial judgment notes that ‘black skinned people from Nigeria’ are under police surveillance because they are suspected of drug trafficking in Indonesia.

In short, Humphrey was executed because he was convicted by a racist court for drug offenses on the basis of a ‘confession’ made under completely unacceptable circumstances. This is a shameful chapter for Indonesia’s human rights agenda.

Take a stand

Like a number of other ASEAN countries, Indonesia is amongst the minority of countries that still applies the death penalty. Of the 58 (out of 198) countries in the world that have not abolished the death penalty, just 25 carried out executions in 2015. Of those exceptions, four of them were ASEAN countries.

It is not only by practicing capital punishment that these countries are in violation of the international obligations, but also in the way they apply it – for it is primarily applied for drug-related offenses.

Yet, in accordance with Art 6 of the the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) to which Indonesia is a signatory, the death penalty should only be applicable in the case of the most serious crime, and drug offenses do not meet this threshold.

It is time to take a stand against this misguided, inept and cruel attempt to address the drug problem. And for this reason I encourage more people to join forces with organizations such as the recently established Coalition against the Death Penalty in ASEAN (CADPA) – a group of 55 organizations from ASEAN countries.

It is time for us to stand up and say that the death penalty is not justice.

For Women Swept Up in the Drug Trade, Legal Help That Starts Early

This piece was written by Muhammad Afif & Yosua Octavian and was published in Open Society Foundations\’ website on 22 June 2016.

 

Rani Andriani was just 23 when she was sentenced to death for trafficking three-and-a-half kilograms of heroin. From a family of modest means in West Java, she had been a bright high school student and a dedicated daughter. Young, naïve, and under the financial stress that affects so many village families, she was lured by the false promises of a drug syndicate and became a drug mule.

After serving 15 years in prison for drug trafficking, Rani was executed in January 2015, along with five other drug offenders.

Poor and marginalized women like Rani are vulnerable to being sucked into the drug trade, usually as mules. Yet in its eagerness to address the drug problem, the Indonesian government ignores the conditions that trigger the involvement of everyday people in drug trafficking.

LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), a Jakarta-based human rights organization, seeks to challenge this injustice by providing free legal services to people who use drugs and people on death row for drug offenses.

This year, LBH Masyarakat went to court to defend three young women like Rani. By stepping in early, we succeeded in convincing the court not to impose the death penalty. The stories of Tara, Evie, and Siena (not their real names) are the stories of many vulnerable women in Indonesia.

Tara was a widow from a poor economic background. Her entry into the drug trade was through Kenny, a foreigner who claimed to be a rich businessman. After a few meetings, they started dating and Kenny promised to marry her. Madly in love, Tara would have done anything to maintain their relationship—even carry a kilogram of methamphetamine. After she delivered the narcotics, she was arrested. Kenny was never charged, despite the information Tara gave them about his involvement in the deal.

Evie’s experience was similar. After a few months of dating Jacky, a man who also purported to be a wealthy businessman, Evie was asked to hire a woman who would be willing to pick up a package from a courier service. Evie recruited Siena, who needed the money, at a beauty salon. After the two women picked up Jacky’s package, they were arrested and charged with trafficking four-and-a-half kilograms of methamphetamine. As in Tara’s case, Jacky was neither found nor arrested, even though Evie and Siena told the police of his whereabouts.

Tara, Evie, and Siena share a common problem: they are poor and vulnerable to drug syndicates. In some cases, a person charged with trafficking may be genuinely unaware they were ever in possession of drugs. In other cases, they may be paid, or under pressure in a relationship with a significant power imbalance.

In defending Tara, Evie, and Siena, we summoned expert witnesses to provide critical extra information about the use of women as mules in the drug trade, shedding new light on these cases for the prosecutors and judges. In the case of Tara, LBH Masyarakat also argued that she was a cooperating witness—or “justice collaborator”—as confirmed by the Witness and Victims Protection Agency. These arguments were effective—none of the women were sentenced to death. But, given sentences that ranged from 12 to 14 years, all three of them still lost their youth.

For over a decade, we have been deeply involved in the movement to abolish the death penalty in Indonesia, and have provided legal assistance to people facing it. We also work globally to end the death penalty, including through the United Nations, where in April our government was booed, and where a consensus on ending capital punishment was not reached.

We know that in a broken and corrupt system where capital punishment is on the table, poor women like Tara, Evie, and Siena can be easily and unfairly sentenced to death. We are also aware that judges and prosecutors have very little knowledge about the vulnerability of female drug mules.

These cases taught us the importance of early access to justice for vulnerable people. We have witnessed so many cases in which drug offenders were sentenced to death because they did not have adequate legal assistance. There are cases in which defense lawyers take money from their clients and disappear, and cases in which lawyers are connected with the police—a clear conflict of interest. There are also cases in which defense lawyers are present and attentive throughout the process, but do not have the necessary expertise in criminal defense, the death penalty, or drug offenses.

We call on the Indonesian government to support law enforcement agencies and actors in the justice system to understand the conditions that result in women acting as drug mules. The Indonesian government must address the roots of our drug problem, not just its symptoms.

Prison Infernos: Fire Defeated Drug Policy

This piece was written by Yohan Misero and was published in The Jakarta Post on 6 April 2016.

 

The riot at Malabero Prison in Bengkulu last week was not just about a burning prison. Rather, it symbolized a defeated public policy. It was a sign that accentuates the failed drug war stubbornly waged by Indonesia.

Similar riots have occurred in the prisons of Tanjung Gusta, Medan, in 2013 and in Kerobokan, Denpasar, in 2012.

One fundamental issue is overcrowding. The Law and Human Rights Ministry, since a few years ago, had planned to build more prisons, but as long as Indonesia is driven by the politics of over-criminalization, prisons will always be overcrowded.

Thus, inmates are more prone to tuberculosis and human immune deficiency virus (HIV) and security problems abound. It also breeds corruption because inmates bribe wardens for better facilities.

In the past years, Indonesia has been obsessed with criminalizing certain acts and sending offenders to prison. This must be changed and to change it, one must understand that such a problem is intertwined with Indonesia’s war on drugs.

In prison, drug offenders make up a large proportion of the population. In some prisons, drug offenders are more than half of the population. The 2009 Narcotics Law, which criminalizes drug use and drug possession, fueled this mass incarceration since thousands of drug users were imprisoned.

The criminalization of drug use is a threat to public health. People who use drugs are discouraged to access treatment if they are criminalized.

This further forces them to a hidden population. As a result, is difficult drug treatment and that creates risk.

In 2010, the Supreme Court endeavored to “decriminalize” drug use, by issuing a circular recommending judges impose rehabilitation sentences on drug users, instead of imprisonment.

If a drug user meets the prescribed criteria, the judges are supposed to send him or her to a treatment facility.

In 2014, several state institutions issued a joint regulation establishing the integrated assessment team. This team was tasked with assessing whether someone is a drug user. These measures, however, are not effective because the law still criminalizes drug use.

Despite Indonesia’s attempts to address its complicated drug problems and overcrowded prisons, such efforts have little positive results. Indonesia should consider an alternative: drug use and drug possession involving small quantities must be decriminalized.

This alternative should be seen from a pragmatic paradigm and an evidence-based approach.

By decriminalizing drug use, drug users will no longer be imprisoned and they will be more eager to access treatment. This would help solve the drug problem and the overcrowding prisons, as demonstrated in countries such as Portugal and the Czech Republic.

But is Indonesia willing to consider this alternative?

After the Malabero riot, the Law and Human Rights Ministry requested the National Narcotics Agency (BNN) take drug inmates into the BNN’s rehabilitation centers.

This request echoes the decriminalization message and it shows that there is an opportunity to honestly debate this notion within the government. However, the BNN rejected the request.

After taking office in October 2014, President Joko “Jokowi” Widodo declared, quoting Richard Nixon, a “war on drugs”.

Indonesia’s recent standing on the Commission on Narcotic Drugs session in Vienna showcases that Indonesia is still in favor of punitive drug laws and continues to implement compulsory treatment — leaving no room for alternatives.

It seems unlikely that Indonesia will shift its position at the UN General Assembly Special Session on the world drug problem, which will take place next month.

While Canada, Colombia, Guatamela and Mexico call for drug policy reform that will allow decriminalization of drug use, Indonesia is still implementing the same failed method while hoping for a different result.

Hence, the change that we desperately hope to see will not happen in the near future. We will continue to see a 19-year-old boy risk losing four to 12 years of his life for only possessing small marijuana joint.

Merri Utami: Menyurati Hidup

Mohon untuk diperhatikan permohonan grasi yang sudah terdaftar di Pengadilan Negeri Tangerang berdasarkan Akta Permohonan Grasi Nomor: 02/Pid/2016/PN.TNG, tertanggal 26 Juli 2016 merupakan tambahan permintaan terakhir terpidana mati atas nama Merri Utami yang diajukan pada tanggal 27 Juli 2016 sebelum menghadapi eksekusi mati.

Permintaan di atas tercatat dalam berita acara penambahan permintaan terakhir yang dikuasai Jaksa Eksekutor dan merupakan dokumen negara. Permohonan grasi yang diajukan oleh Merri Utami kepada Presiden merupakan hak yang melekat pada seorang terpidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi Merri Utami sebagai terpidana mati yang masih dalam proses pemeriksaan secara hukum menangguhkan eksekusi mati. Sebelum Keputusan Presiden tentang permohonan grasi diterima oleh Merri Utami, eksekusi mati terhadap dirinya tidak boleh dilakukan. Rangkaian proses ini harus dihormati terutama oleh Jaksa Eksekutor yang memiliki wewenang sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati yang sedang mengajukan grasi, sebagaimana kita saksikan akhir Juli lalu, sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum.

Grasi tidak bisa semata-mata diartikan sebagai bentuk pengakuan atas sebuah dosa yang kemudian disertai permohonan maaf dan permintaan pengampunan. Pandangan tersebut sudah tidak lagi relevan dengan konsep grasi yang tertuang dalam huruf (b) pertimbangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang membuka peluang terhadap permohonan grasi atas perkara yang mengandung ketidakadilan demi menggapai keadilan hakiki dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rangka penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini baiknya dipandang oleh Presiden sebagai sebuah alat penyembuh luka bagi korban rekayasa kasus dan peradilan yang tidak adil dan memihak serta korban kriminalisasi. Pemahaman ini juga dapat dijadikan kesempatan oleh Presiden untuk mengganti putusan hukuman mati sebagai penghormatan atas hak hidup yang dijamin Konstitusi.

Sejalan dengan konstruksi tersebut, permohonan grasi Merri Utami yang telah terdaftar di Pengadilan Negeri Tangerang berdasar pada ikhtiarnya untuk merebut keadilan dan penegakkan hak asasi manusia. Merri Utami terseret dalam peredaran gelap narkotika karena dirinya terjebak dan tertipu oleh sindikat peredaran gelap narkotika internasional. Merri menjalin hubungan dengan seseorang yang hanya ingin memanfaatkannya dalam peredaran gelap narkotika. Merri Utami merasa ia hanya membantu seorang kekasih, tanpa sadar bahwa ia sedang menjadi alat sebuah sindikat. Belum lagi faktor relasi kuasa yang dipengaruhi oleh ketergantungan Merri Utami terhadap pasangannya ini dalam konteks materi. Hal ini dapat dipahami karena situasi sosial dan ekonominya yang sedang terpuruk saat itu. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatan anaknya yang tidak kunjung pulih karena ia tidak memiliki biaya perawatan.

\"\"

 

Bagi kami di LBH Masyarakat, kasus semacam ini bukan hal baru. Selama 2016 ini saja, setidaknya ada empat kasus dengan konstruksi sosial serupa yang kami tangani. Sindikat memanfaatkan perempuan yang rentan secara sosial ekonomi untuk menjadi pion dalam peredaran gelap narkotika. Perempuan-perempuan yang kerentanannya dieksploitasi ini membawa narkotika dalam jumlah besar melewati batas-batas negara yang diancam dengan hukuman yang tidak manusiawi: hukuman mati.

Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana seharusnya sensitif dan dapat menjawab situasi sosial ini dengan bijak, bukannya menciptakan ketidakadilan baru dengan vonis pidana mati. Di tengah penegakan hukum yang tengah terpuruk dan korup, Presiden seharusnya memanfaatkan grasi sebagai mekanisme koreksi dan menjadi jawaban atas ketidakadilan yang dihadapi Merri Utami dan perempuan-perempuan lain korban sindikat peredaran gelap narkotika yang mendapat vonis mati.

***

LBH Masyarakat, selaku kuasa hukum Merri Utami, mengajukan permohonan grasi 1 (satu) hari setelah Merri Utami mendapatkan pemberitahuan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang disampaikan melalui Pengadilan Negeri Cilacap pada tanggal 25 Juli 2016. Padahal putusan PK Merri Utami diputus pada tanggal 15 Agustus 2014. Artinya, ada keterlambatan penyampaian isi putusan PK kepada Merri Utami. Momen keterlambatan penyampaian isi putusan PK ini berbarengan dengan rencana eksekusi mati.

Kondisi ini diduga kuat untuk menyulitkan terpidana mati agar tidak dapat mengajukan langkah hukum, termasuk grasi. Namun, kami berhasil melakukan pendaftaran grasi ditengah sempitnya waktu yang tersedia. Hal ini tidak kami lakukan untuk buying time. Pun kami sudah mengajukan grasi sebelumnya, permohonan PK harus tetap diputus terlebih dahulu. Hal ini jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi yang menjelaskan bahwa grasi yang diajukan berbarengan dengan permohonan PK, maka prioritas utama untuk diperiksa dan diputus adalah permohonan PK terlebih dahulu dibanding permohonan grasi. Yang kami lakukan ialah semata memenuhi hak terpidana.

Semoga Presiden dapat melihat situasi ini, serta mempertimbangkan faktor-faktor eksploitasi kerentanan situasi sosial ekonomi dan cacat prosedur dengan keterlambatan penyampaian putusan, untuk menghormati hak hidup Merri Utami.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Saksi Pelaku: Mencari Proteksi dan Apresiasi

Saksi mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana. Di dalam praktik, seringkali saksi tidak dapat memberikan keterangan yang sesungguhnya dan sebaik-baiknya dalam setiap perkara dikarenakan adanya suatu bentuk ancaman yang diperoleh selama di dalam proses persidangan. Atas pertimbangan tersebut, seyogyanya peran saksi tersebut harus diberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang baik sebagai saksi.

Di Indonesia sebenarnya sudah dikenal tentang saksi pelaku yang bekerjasama sebelum adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 mengenai saksi mahkota. Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi mengenai saksi mahkota (kroon getuide), akan tetapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Maksud dari saksi mahkota disini adalah ‘saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut’.[1]

Realita yang terjadi di dalam sistem peradilan Indonesia justru sebaliknya, di mana seorang justice collaborator tetap mendapatkan hukuman yang sama. Pada kasus Agus Condro misalnya, ia mendapatkan hukuman yang sama walaupun telah menjadi saksi pelapor dan mengungkap adanya kasus suap cek pelawat yang melibatkan banyak orang sebagai pelaku.

Dalam perspektif tersebut, menjadi suatu pertanyaan bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Sehingga dengan dikategorikannya seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan mendapatkan suatu keistimewaan baik berupa pengurangan hukuman maupun perlindungan yang lebih dikarenakan menjadi pelopor dan kunci dalam mengungkap suatu tindak pidana yang melibatkan banyak pihak dan terorganisir.

Konsep tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam perkembangan hukum pidana di negara-negara lain yang telah lebih dahulu menggunakan konsep yang sama dengan istilah yang berbeda-beda. Penulis berpendapat bahwa di KUHAP belum memberikan ruang perlindungan yang cukup bagi pelaku yang dijadikan saksi sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan serta penambahan-penambahan untuk dapat dan mampu mengakomodir perkembangan hukum pidana, yang tentu tidak terbatas dalam persoalan definisi  justice collaborator saja, namun juga hal-hal lain seperti mekanisme reward dengan tujuan dapat memberikan perlindungan, kepastian, dan kemanfaatan serta keadilan bagi semua pihak.

Sekitar tahun 1970, Amerika Serikat berusaha membongkar kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh mafia yang dibentuk oleh imigran-imigran asal Italia. Dalam dunia mafia Italia terdapat sumpah diam (code of silence) atau yang dikenal dengan istilah Omerta.[2] Hal ini yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat mengenal praktik perlindungan terhadap para saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang berusaha dan beritikad baik dalam rangka pemberantasan dan membongkar suatu tindak pidana dalam kejahatan yang melibatkan banyak orang dan terorganisir.[3]

Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, memberikan apresiasi terhadap para saksi pelaku di konteks hukum Indonesia sangatlah sulit. Alasan yang sering dikemukakan oleh penegak hukum ialah bahwa saksi pelaku ini juga berkontribusi dalam tindak pidana. Namun, amat disayangkan bahwa proses peradilan kerap luput dalam menilai sejauh apa dalam taraf bagaimana dan apa yang mempengaruhi kontribusi seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana.

Hal seperti ini sering terjadi di kasus narkotika. Belakangan ini, Pemerintah Indonesia keras menyuarakan bahwa negara ini dalam situasi darurat narkotika. Maka, penting untuk melihat apakah dalam tujuannya memberantas narkotika para penegak hukum berhasil menangkap para bandar[4] narkoba? Penulis melihat, pada praktiknya, para penegak hukum hanya melakukan penangkapan kepada para perantara yang menyerahkan atau menerima narkotika tersebut.

Ketika berhasil menangkap seseorang atau sekolompok orang dalam kasus narkotika, ini menjadi sebuah kebanggaan bagi para penegak hukum dan tercitrakan sebagai sebuah prestasi besar di media. Tanpa perlu mengetahui siapa ‘bos besar’ dalam kasus ini, pengungkapan seseorang atau sekelompok orang tadi dianggap cukup atau selesai. Jika penegak hukum berpikir lebih jauh, akan lebih baik jika si pelaku yang sudah terungkap tersebut diminta untuk bekerjasama dalam hal mencari siapa ‘otak’ dalam kejahatan ini.

Dalam film Bridge of Spies[5], Tom Hanks berperan menjadi seorang pengacara probono bernama James B. Donovan yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mata-mata Uni Soviet. Pada saat proses penangkapan yang terjadi di apartemennya, si polisi mengatakan:

“…kau akan bebas jika kau mau bekerjasama dengan kami…”

Kurang lebih itulah yang dikatakan oleh si polisi kepada Rudolf Abel, seorang mata-mata Uni Soviet. Dalam film tersebut, Rudolf yang diperankan oleh Mark Rylance, menolak untuk bekerjasama tanpa alasan yang jelas. Pada film tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang dapat dijadikan justice collaborator dalam proses penegakan hukum sejak proses penangkapan. Urusan mau atau tidak, itu dikembalikan kepada si pelaku. Hal demikian belum jamak kita temukan dalam praktik hukum di tanah air.

***

Belum lama ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) pernah mendampingi sebuah kasus drug mule. Seorang perempuan berusia 40 tahun harus menjalani hukuman yang cukup tinggi dengan melalui proses hukum yang, menurut hemat Penulis, tidak perlu ia jalani.

TP, inisial perempuan ini, menjalin hubungan dengan seorang pria asal Ghana, berinisial K. Pria ini mengaku kepadanya memiliki usaha di area Tanah Abang.  Pada awalnya hubungan asmara antara TP dan K ini baik-baik saja, namun semua berubah ketika K meminta tolong kepada TP untuk mengambil barang, yang  baru diketahui belakangan bahwa barang tersebut berisi narkotika) dari D (yang pada akhirnya tertangkap di daerah Bekasi, Jawa Barat).

Setelah berhasil mengambil barang tersebut, TP membawa pulang barang tersebut tempat kosnya di daerah Jakarta Pusat. Selanjutnya, K kembali meminta tolong pada TP untuk memberikan barang tersebut kepada seseorang yang lain. Namun karena saat itu TP merasa lelah, TP menolak untuk mengantarkan barang tersebut.

Pada tanggal 15 Juni 2015, TP dan kekasihnya menginap di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat. Keesokan harinya, TP pulang ke rumah orang tuanya di daerah Bekasi, Jawa Barat, akan tetapi K masih berada di kamar hotel tersebut.

Di tempat terpisah, sebuah jasa ekspedisi memberikan informasi kepada polisi tentang keanehan barang kiriman yang diterima, yaitu 27 kotak alat refleksi. Kemudian polisi melakukan penyelidikan dan polisi menemukan bahwa isi dari kotak tersebut adalah narkotika jenis sabu. Paket tersebut dialamatkan kepada D dan yang mengirim adalah seseorang berinisial M. Setelah polisi melakukan pengembangan, maka terungkaplah bahwa TP juga sebagai orang yang diduga ikut serta dalam transaksi jual beli barang tersebut.

Polisi akhirnya berhasil menangkap TP di rumah orang tuanya. Polisi yang menangkap TP menawarkan sebuah bentuk ‘kerja sama’ agar dapat menangkap pelaku yang lain. TP bersedia melakukan hal tersebut. Di hari penangkapan tersebut, TP diminta oleh K untuk memberikan barang tersebut kepada seorang perempuan berinisial W yang merupakan pacar dari B, teman K. Bukannya menangkap K dan B sebagai ‘otak’ dari perkara ini, polisi justru menangkap W, yang mana hanya melakukan semua ini atas suruhan B yang merupakan pacarnya. Setelah penangkapan tersebut, K dan B sudah berhasil kabur tanpa meninggalkan jejak dan tidak dapat ditemukan sampai saat ini.

***

Para pengacara publik LBH Masyarakat, yang secara probono menjadi kuasa hukum bagi TP, mengupayakan secara maksimal agar TP dapat dikategorikaan sebagai justice collaborator (dan saksi mahkota nantinya) untuk membantu mengungkap jaringan internasional yang lebih besar. Upaya kami ini, sayangnya, tidak diindahkan oleh penegak hukum. LBH Masyrakat pun sudah mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang sayangnya tak dapat memberikan rekomendasi tersebut.

Jaksa membacakan dakwaan terhadap TP tanpa adanya pengacara. Hal ini kami pandang hal yang amat tidak elok. TP didakwa  dengan Pasal 114 ayat (2) subsidair Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan diancam dengan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Ini jelas pelanggaran akan akses terhadap bantuan hukum dan kesetaraan di depan hukum.

Para pengacara publik dari LBH Masyarakat meminta kepada hakim dalam petitumnya untuk tidak melanjutkan kasus seperti ini karena, dalam pandangan pengacara, posisi TP selaras dengan rumusan Pasal 10 Undang-Undang LPSK.[6] Akan tetapi dalam putusan sela, poin-poin eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum ditolak oleh hakim.

Di sisi lain, TP adalah seorang single mother yang memiliki seorang putra berusia 15 tahun yang sedang duduk di bangku SLTP. Jaksa Penuntut Umum menuntut TP dengan 17 tahun penjara. Jika Majelis Hakim memenuhi tuntutan JPU, si anak yang ditinggalkan tersebut sudah berusia ± 32 tahun saat TP keluar dari penjara. Selama 17 tahun juga, si anak tersebut akan tumbuh tanpa mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu yang merupakan satu-satunya orang tuanya.

Tim penasihat hukum harus menunggu selama empat minggu lamanya hanya untuk mendengarkan isi tuntutan dari JPU. Sedangkan tim penasihat hukum hanya diberi waktu tiga hari untuk menyusun pembelaan. Jelas terlihat ada ketidakadilan dalam hal pemeberian waktu dalam persiapan berkas.

Setelah tim penasihat hukum membacakan nota pembelaan dan ‘meneriakan’ segala argumentasi, ternyata Majelis Hakim memutuskan untuk memberikan putusan di hari itu juga, Sidang diskors selama lima menit untuk memberikan waktu kepada Majelis Hakim agar berpikir. Dengan helaam napas dan tetesan air mata, TP mendengar angka tiga belas tahun diganjarkan Majelis Hakim pada dirinya. Setelah berdiskusi dengan tim penasihat hukum, TP menjelaskan bahwa dirinya menerima dan berusaha ikhlas.

Satu perkara sudah selesai, namun ada tanya yang tak kunjung usai. Untuk apa semua ini? Mengapa penegak hukum tidak bekerjasama dengan TP untuk membongkar jaringan perdagangan gelap narkotika yang lebih besar? Mengapa perang itu harus dikobarkan kepada mereka yang lemah?  Leges Sine Moribus Vanae.

 

Penulis: Yosua Octavian Simatupang

Editor: Yohan Misero

 

[1] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Citra Aditya Bakti; Bandung; Hal. 107

[2] Omerta adalah sumpah para mafia untuk menyimpan rahasia. Tidak membocorkan informasi apapun kepada siapapun yang bukan anggotanya. Menjaga rahasia sudah menjadi kewajiban dan tugas mulia yang dipercaya kepada anggota mafia, yang dikenal dengan Mafioso. Klan sebuah mafioso bisanya akan berhubungan dengan klan yang lain.

[3] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Op.cit.

[4] Bandar narkoba dapat diartikan sebagai orang yang mengendalikan suatu aksi kejahatan narkoba secara sembunyi-sembunyi atau sebagai pihak yang membiayai aksi kejahatan itu. Dalam praktiknya, bandar narkoba itu antara lain: orang yang menjadi otak di balik penyelundupan narkoba, permufakatan kejahatan narkotika, dan sebagainya. Jawaban Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., dalam pertanyaan: Apakah Bandar Narkotika Sama Dengan Pengedar? Lihat: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56cf393b411a0/apakah-bandar-narkotika-sama-dengan-pengedar

[5] Film Biodrama Thriller asal Amerika Serikat yang di produksi pada tahun 2015 dan disutradarai oleh Steven Spielberg. Film ini dibintangi oleh Tom Hanks, Mark Rylance, Amy Ryan, dan Alan Alda. Bridge of Spies berlatar tragedi 1960 U-2.

[6] Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Mengapa Perlu Merevisi KUHP?

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini dinilai banyak pihak sudah tidak relevan dengan sistem hukum pidana yang ideal. Secara spesifik, hal ini menyangkut pengaturan tentang hukuman yang didominasi dengan hukuman pembatasan kebebasan bergerak, atau pemenjaraan, yang menjadi jenis hukuman yang paling banyak dijatuhkan. Konstruksi ini berdampak terhadap populasi penjara yang terus meningkat setiap bulan, sebagaimana disajikan dalam sistem database pemasyarakatan yang menggambarkan bahwa populasi penghuni penjara di bulan Januari 2015 sebanyak 165.008 orang sedangkan di bulan Januari 2016 sebanyak 178.345 orang. Angka ini menunjukan bahwa populasi penghuni penjara mengalami kenaikan sebanyak 13.337 orang. Pada bulan Juli dan Agustus terdapat penurunan yang dipengaruhi program remisi untuk Idul Fitri dan remisi kemerdekaan 17 Agustus. Namun, di bulan-bulan selanjutnya, populasi penjara kembali mengalami peningkatan.

Merujuk pada data tersebut, dapat dikatakan bahwa populasi penjara tidak pernah surut. Hal ini terjadi secara struktural karena dipengaruhi oleh rumusan hukuman pidana yang termuat dalam KUHP, yang saat ini masih mengadopsi penjara sebagai solusi penghukuman yang paling mujarab. Denda, di sisi lain, adalah jenis penghukuman yang, dalam beberapa pasal di KUHP, dapat diterapkan sebagai alternatif dari penjara. Sungguh tragis, denda kerap tidak digunakan karena ketiadaan aturan yang selevel dengan KUHP (undang-undang) tentang penyesuaian nilai denda di KUHP dengan nilai uang saat ini. Kondisi ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap meningkatnya populasi penjara.

Di samping itu, di dalam Buku ke-II KUHP, yang mengatur 564 jenis tindak pidana, terdapat 235 jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara di bawah 5 (lima) tahun dan 329 jenis tindak pidana yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun. Sebanyak 235 jenis tindak pidana, yang diancam hukuman penjara dibawah 5 (lima) tahun berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dapat dikenakan penahanan. Landasan yuridis ini secara praktis dapat menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam menekan populasi penghuni penjara.

Akan tetapi, dalam praktiknya, orang-orang yang diduga melanggar ketentuan pidana sangat sering dipenjara mengingat tindak pidana yang diancam hukuman penjara di bawah 5 (lima) tahun merupakan tindak pidana yang jarang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa contoh tindak pidana ini adalah tindakan membuka rahasia (Bab XVII KUHP), perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak (Bab XXVI KUHP), dan sebagainya.

Tindak pidana yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun, seperti pencurian dan perjudian, misalnya, merupakan tindak pidana yang lebih sering dilakukan oleh masyarakat ekonomi lemah. Hal ini membuat penghuni penjara lebih didominasi oleh masyarakat ekonomi lemah. Pengalihan jenis penahanan yang sudah ada di ada di dalam KUHP tidak bisa dijalankan karena banyak ketentuan pidana yang sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat dan banyak pasal yang tidak berfungsi dalam menanggulangi kecanggihan suatu tindak pidana.

Berangkat dari uraian tersebut, maka perubahan terhadap KUHP merupakan kebutuhan yang mendesak dalam rangka harmonisasi peraturan dengan rasa keadilan masyarakat. Terkait dengan hal itu, sudah tepatlah program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2016 yang memasukkan revisi KUHP. Namun, pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP), yang dilakukan oleh DPR RI saat ini, seyogyanya melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan masukan agar tercipta KUHP yang humanis dan adil.

 

Penulis: Muhammad Afif

Editor: Yohan Misero

AM dari Depok: Sebuah Refleksi akan Pentingnya Penasihat Hukum dalam Kasus Narkotika Anak

Menurut hukum, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1] Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah berumur dua belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan demikian, negara tidak berhak melanjutkan proses persidangan anak yang belum genap berusia dua belas tahun.[2] Dari pantauan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat, 27,5% penghuninya adalah anak yang terlibat dengan kasus narkotika dan sisanya terlibat kasus kriminal seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan, dan pelecehan seksual.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) beberapa kali meyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan sesi konsultasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah DKI Jakarta yaitu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat. Kami sering memberikan bantuan hukum pada anak yang terlibat dalam kasus narkotika baik melalui penyuluhan maupun sesi konsultasi. Beberapa anak sering menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika dengan tugas mengantarkan narkotika tersebut kepada orang lain (pembeli).

Disebabkan oleh faktor ekonomi keluarga yang minim, anak bisa terpengaruh oleh iming-imingan uang dalam memutuskan untuk menjadi perantara dalam transaksi jual-beli narkotika. Namun anak sering belum menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan hukum di Indonesia dan dapat dijerat pidana penjara.

Beberapa anak yang kami dampingi bahkan dapat dikategorikan sebagai pecandu narkotika. Baik anak maupun orang dewasa yang menjadi pecandu narkotika sudah seharusnya tidak dipenjara, sesuai dengan amanat Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Anak-anak tersebut kini harus melewati proses persidangan. Kurangnya pendampingan penasehat hukum atau pengacara saat proses penyidikan di tingkat kepolisian berpotensi membuat hak-hak anak tidak terpenuhi. Contohnya, jika seorang anak terbukti sebagai pecandu narkotika, maka dari awal pada anak itu semestinya diberikan asesmen agar si anak tidak dipidana penjara tapi ditempatkan di tempat rehabilitasi.

Bagaimana jika anak tersebut tidak didampingi pengacara sampai proses persidangan? Apakah si anak mengerti agenda-agenda persidangan yang akan mereka jalani? Misalkan, proses eksepsi.[3] Melalui eksepsi, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang keliru bisa ditangkis. Jika seandainya si anak menghadapi proses persidangan tanpa pengacara, apakah eksepsi itu berani diajukan? Kemudian, jika dari awal dakwaannya sudah salah, bagaimana nasib agenda-agenda sidang berikutnya?

Kebutuhan akan hadirnya pengacara dalam kasus anak berhadapan dengan narkotika sering terbentur dengan tudingan yang umum di tengah masyarakat bahwa, “memakai jasa pengacara dalam kasus narkotika bikin proses persidangan lama dan toh hasilnya sama saja”. Namun keberadaan istilah ini telah mengurungkan niat banyak tersangka, terdakwa, maupun keluarga mereka untuk menggunakan jasa pengacara. Mereka terlena dengan bujukan “Sudahlah, yang peting cepat.” Namun untuk apa proses persidangan cepat tapi hasilnya merugikan kita sendiri?

Belum lagi keraguan dan ketakutan keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi untuk mengeluarkan uang bagi jasa si pengacara tersebut. Tidak semua orang mengetahui adanya keberadaan organisasi yang memberikan bantuan hukum secara gratis. LBH Masyarakat adalah salah satu contoh lembaga non-profit yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.

***

Masih teringat di benak saya, pada tanggal 11 Desember 2015, datanglah seorang laki-laki bersama saudara dan temannya dari Depok, Jawa Barat ke kantor kami, LBH Masyarakat, di Jalan Tebet Timur Dalam VI No. 3, Jakarta Selatan. Ia adalah ayah dari AM, 15 tahun, yang menjadi tersangka kasus Narkotika dengan sangkaan pasal 114 ayat (1) sub. 111 ayat (1) jo. 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Setelah mendengar kronologis secara umum dari si ayah (RT), kami putuskan untuk langsung bertemu dengan anak tersebut di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) Salemba, Jakarta Pusat untuk mencari informasi dan kronologis lebih dalam lagi, langsung dari si anak tersebut. Kami dapati bahwa AM tersangkut kasus ganja. Ia tertangkap bersama satu orang dewasa dan satu orang teman sekolahnya di daerah Depok.

AM mengatakan bahwa pada tanggal 14 Desember 2015 ia sudah harus menjalani proses persidangan. Mendengar kabar tentang waktu yang singkat itu, kami langsung menanyakan kepada si ayah, “Apakah kalian mau kami beri Pendampingan Hukum pada saat proses persidangan?“ Mereka langsung menyetujui untuk menerima bantuan hukum dari kami. Surat kuasa langsung dibuat dan kami ajukan kepada anak dan ayah untuk ditandatangani di atas materai Rp 6.000,-.

Sidang pertama dibuka dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilanjutkan dengan agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi, seorang polisi dari Polsek Pasar Minggu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, AM tidak sendiri. AM duduk berdampingan di depan hakim bersama temannya, yang juga masih dalam kategori anak, berinisial KM. Hakim kemudian menanyakan kepada KM tentang keberadaan pengacara. KM bersama keluarga pun kemudian menunjuk LBH Masyarakat sebagai penasihat hukum.[4]

Hanya sehari kemudian, pada tanggal 15 Desember 2015, agenda persidangan adalah tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Mereka (AM dan KM) dituntut pidana penjara 2 tahun 8 bulan. Melihat ancaman hukuman pidana penjara tersebut, kami langsung membuat nota pembelaan bagi dua anak tersebut. Kami beragumen bahwa AM dan KM tidak terbukti secara sah melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, memberi, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Kami juga meminta hakim untuk agar segera mengeluarkan mereka (AM dan KM) dari tahanan dengan pidana alternatif berupa pengawasan dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembimbing Kemasyarakatan sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Ternyata, di hari yang sama Hakim langsung menjatuhkan Putusan kepada mereka, AM dan KM. Setelah kami sebagai tim kuasa hukum menyampaikan pledoi, secara tertulis dan lisan, di dalam ruang sidang anak dan didengarkan oleh Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Panitera dan dua anggota Balai Pemasyarakatan, Hakim meminta seluruh yang ada di ruang sidang anak untuk keluar dari ruangan (kecuali mereka sebagai terdakwa). Hakim ingin berpikir serta menimbang pokok pembelaan yang kami ajukan. Setelah 10 menit sidang diskors, Panitera yang bertugas  kemudian memanggil kami untuk masuk dan mendengarkan putusan dari si Hakim. Dengan suara yang cukup lantang dan penuh percaya diri, Hakim memutuskan untuk memberikan pidana 1 tahun 8 bulan Pidana Penjara oleh karena bagi hakim yang terbukti ialah Pasal 111 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim bersifat kooperatif dan langsung menanyakan, Apakah kalian menerima putusan tersebut? Atau kalian mau melakukan upaya hukum?” Pertanyaan itu langsung ditujukan kepada kami sebagai Penasihat Hukum. Kami menjawab bahwa kami memerlukan waktu untuk berpikir-pikir terlebih dahulu selama waktu yang telah ditentukan Undang-Undang.

Kami selaku Penasihat Hukum menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang harus dilakukan, apakah harus menerima atau harus melakukan upaya hukum. Kami memberitahukan kepada keluarga si anak segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika menerima atau mengajukan banding. Semua itu disampaikan agar keluarga bisa berpikir lebih jauh dan memberikan jawaban kepada kami.

Akhirnya keluarga dari dua anak tersebut sepakat memutuskan untuk melakukan banding atas putusan Hakim. Mendapat kabar tentang keputusan keluarga, maka kami langsung memberitahukan permohonan banding secara lisan kepada Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selang 3 hari kemudian, kami langsung berikan semua persyaratan banding kami, yaitu memori banding dan surat kuasa ditambah dengan surat penangguhan penahanan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kami beranggapan bahwa anak tidak layak diberikan pidana di dalam penjara karena potensi anak yang masih bisa berkembang dengan menuntut ilmu. Bayangkan jika mereka dipenjara selama satu tahun, maka selama satu tahun juga si anak tersebut berada di Lapas Salemba dan tidak mendapatkan pendidikan secara penuh yang akan menjadi bekal mereka untuk dewasa kelak.

Hal yang berbeda akan terjadi apabila mereka dipenjara. Sekeluarnya mereka dari sana, besar potensi bahwa kerasnya kehidupan penjara itu akan ‘terbawa’ ke keluarga dan lingkungan tempat dia tinggal, bermain atau bekerja. Namun jika mereka ditempatkan di luar penjara, mereka dapat memperoleh pendidikan maupun pelajaran kerohanian.

Dua puluh lima hari berikutnya keluarlah putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dua orang staf dari LBH Masyarakat yang ingin mengetahui hasil putusan banding pergi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Begitu sampai di ruang panitera pidana, kami langsung diberikan ucapan selamat oleh si Panitera. Kami bingung akan maksud ucapan tersebut yang kurang lebih isi percakapannya sebagai berikut: “Kalian siapa? Penasihat Hukumnya ya?” Kami menjawab benar bahwa kami memang Penasihat Hukum dari kedua anak tersebut. “Wah selamat ya, mereka diberikan pidana penjara hanya delapan bulan saja oleh Hakim.”

Sontak kami berdua bingung mengapa kami diberi selamat karena memori banding yang kami ajukan tidak mempermasalahkan waktu pemidanaan melainkan tempat pemidanaan dan jenis pemidanaannya. Meskipun demikian, kami tetap mengabari keluarga AM dan KM tentang hasil putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut. Keluarga langsung senang mendapatkan hasil putusan tersebut. Padahal kami selaku Penasihat Hukum sudah sepakat bersama keluarga untuk mengajukan upaya hukum banding atas jenis dan tempat pemidanaan, bukan waktu pemidanaan. Namun dikarenakan keluarga sudah menerima putusan ini, kami anggap tugas kami selaku Penasihat Hukum sudah selesai.

***

Kami memandang bahwa Penasehat Hukum sangat mempunyai peran penting dalam mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, terutama pada kasus narkotika. Memang dari kasus di atas, kami tidak berhasil membantu dua anak tersebut untuk lolos dari pidana penjara. Namun setidaknya, kami sudah berhasil membuat hukuman yang dijatuhkan kepada mereka sedikit lebih rendah. Ini bantahan langsung pada argumen bahwa kehadiran pengacara tidak memberi dampak. Ditambah lagi, kami berikan bantuan hukum ini secara gratis. Ini hanya satu bagian dari perjalanan kami dalam berjuang bagi masyarakat. Sebuah perjalanan yang berliku dan banyak rintangan, tetapi kami yakin bahwa keadilan bukanlah sebuah utopia.

 

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

 

[1]Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

[2]Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[3]Tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima | Yahya Harahap; Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan; Sinar Grafika; 2007; Hal. 418

[4] Surat kuasa hari itu adalah kuasa lisan dan disetujui oleh Hakim dan Jaksa.