Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Arif Pulang Malam Ini, Terima Kasih Majelis Hakim!

LBH Masyarakat mengapresiasi Majelis Hakim yang memeriksa perkara klien kami, Arif Fauzi Fadillah (Arif), di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas putusannya, pada Kamis, 14 Desember 2017 kemarin, yang cermat terhadap lemahnya fakta persidangan dan berani untuk membebaskan klien kami dari segala tuduhan. Putusan Majelis Hakim, yang terdiri dari Dwi Dayanto, S.H., M.H. (Ketua Majelis); Abdul Bari A. Rahim, S.H., M.H.; dan Antonius Simbolon, S.H., M.H., telah memenuhi hak klien kami atas peradilan yang jujur dan adil juga mengembalikan Arif pada keluarga yang merindukannya.

Arif adalah klien LBH Masyarakat, yang bersama beberapa warga jatiwaringin lainnya, dituding oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur melakukan pembunuhan secara bersama-sama, melakukan pengeroyokan secara bersama-sama dan dituduh melakukan penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain secara bersama-sama. Kasus ini, secara keliru, sering dibingkai oleh beberapa liputan sebagai “Geng Motor Jatiwaringin” padahal para terdakwa justru adalah pihak-pihak yang melindungi kampung mereka dari ancaman geng motor yang dimaksud.

Dalam pendampingan hukum yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam proses interogasi yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Timur terhadap Arif dan tujuh terdakwa terdapat perlakuan yang tidak manusiawi yakni pemukulan dan intimidasi. Perlakuan yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan ini adalah bentuk penyiksaan yang terang benderang.

Selain itu, di dalam persidangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan: barang bukti tidak ada kaitannya dengan terdakwa, barang bukti yang dihadirkan tidak diperiksa di laboratorium, tidak ada saksi yang menyebutkan dan melihat terdakwa melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada mereka, serta penyidik yang bertugas mengumpulkan barang bukti dan saksi verbalisan yang disebut terdakwa melakukan penyiksaan, tidak bisa hadir memberikan keterangan sebagai saksi dipersidangan.

Lemahnya fakta yang dikumpulkan dalam proses penyidikan dan penuntutan juga dilihat oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Hal tersebut membuat Arif dan tujuh terdakwa lainnya dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Dalam putusannya, Majelis Hakim juga memerintahkan agar Arif dibebaskan dari tahanan.

Di saat yang sama, kami juga menyesalkan lambannya kerja Kejaksaan Negeri Jakarta Timur dan Rumah Tahanan Negara Cipinang dalam memenuhi perintah Majelis Hakim dalam putusan untuk segera mengeluarkan Arif dari tahanan. Butuh waktu lebih dari 24 jam hingga akhirnya Arif dikeluarkan dari Rutan Cipinang pada malam hari ini, Jumat, 15 Desember 2017. Hal ini hendaknya menjadi catatan bagi Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam aspek peningkatan kualitas kerja.

Melalui rilis ini, kami juga meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan/atau Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur untuk memeriksa penyidik dalam kasus klien kami, Arif, yang diduga kuat melakukan pelanggaran etik, profesi, dan disiplin sebagai anggota Polri.

Kami berterima kasih juga pada pendukung-pendukung kami yang juga telah menyerukan #PulangkanArif melalui media sosial. Melalui kasus ini, kami melihat betapa esensialnya pemantauan publik terhadap sistem peradilan pidana serta pentingnya keberadaan penasihat hukum yang kapabel untuk mengungkap insiden penyiksaan dan lemahnya pembuktian dari penegak hukum.

Kasus ini menunjukan masih eksisnya praktik penyiksaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebuah hal yang patut menjadi catatan penting bagi kita semua. Mengingat masih punitifnya hukum di Indonesia, maka kita semua adalah korban potensial praktik penyiksaan. Praktik penyiksaan dan intimidasi adalah praktik yang sudah seharusnya dihentikan – karena, siapapun dia, setiap manusia: berharga.

Jakarta, 15 Desember 2017

Maruf Bajammal, S.H. – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Flash Release LBH Masyarakat in relation to the Constitutional Court Decision Number 46/PUU-XIV/2016

LBH Masyarakat appreciates the Constitutional Court decision that rejects the judicial review on Articles 284 (1) – (5), 285, and 292 of the Criminal Code. Through this decision, MK affirms its authority as a negative legislator and cannot be a positive legislator as requested by the applicant. In line with that, MK also rejects the notion that they can criminalize a certain activity. 

LBH Masyarakat is of the view that through this decision, MK upholds the right to privacy, refuses to contribute to over-population of prisons, prevents persecutions taking place against gender minority and women, avoiding the potential of backsliding HIV programs, as well as retaining the articles that protect children from sexual violence.

It should be noted that the judicial review brought by the applicant is an attempt to regress Indonesia’s human rights protection agenda. The effort to criminalize certain activities before the Constitutional Court should not be taking place. It is a matter for law making bodies to decide – an idea that the Constitutional Court has repeatedly argued in this decision. LBH Masyarakat hopes that in the future the Constitutional Court can maintain its position and role as a negative legislator and not to bow to any pressures from various groups that often undertake in the name of religious morality. 

On the other hand, LBH Masyarakat regrets dissenting opinions from four Constitutional Court judges. It is appreciated that as judges, they have the right to put forward their dissenting views. However, in this case, their reasoning is invalid and misplaced. The four dissenting judges tend to agree the justification of criminalizing extramarital and gay sex under the pretext of religious morality that is highly subjective and multi interpretation. This line of argument can be harmful because it generates punitive narrative against sexual minority groups.

 

 

Naila Rizqi Zakiah – Public Defender of LBH Masyarakat

Rilis Kilat LBH Masyarakat terkait Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016

LBH Masyarakat mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan judicial review terhadap Pasal 284 ayat (1) s/d (5), 285 dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan nomor perkara 46/PUU-XIV/2016. Melalui putusan ini MK menegaskan kewenangannya sebagai negative legislator dan tidak bisa menjadi positive legislator sebagaimana dimintakan oleh pemohon. Sejalan dengan itu, MK juga menolak menjadi lembaga yang dapat mengkriminalisasi suatu perbuatan.

Melalui putusan ini, MK secara langsung telah menjaga hak atas privasi warga negaranya, tidak menambah overpopulasi penjara, mencegah terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas gender dan perempuan, menjauhkan regulasi yang memungkinkan mundurnya kesuksesan intervensi HIV, serta menjaga keberadaan pasal yang melindung anak-anak dari hubungan seksual yang terjadi karena relasi kuasa dari orang yang lebih dewasa secara usia. 

Permohonan para pemohon terhadap tiga pasal ini perlu dicatat sebagai sebuah upaya memundurkan agenda perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Upaya kriminalisasi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidaklah pada tempatnya. Menjadikan sebuah aktivitas sebagai sebuah tindak pidana sepatutnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Hal ini juga berulang kali disebutkan dalam Putusan MK ini. LBH Masyarakat berharap bahwa dalam putusan-putusan MK ke depan, MK tetap setia pada perannya sebagai negative legislator dan tidak tunduk pada tekanan pihak manapun yang kerap mengatasnamakan moralitas agama.

Di sisi lain, LBH Masyarakat juga menyesalkan 4 Hakim Konstitusi yang melakukan dissenting opinion dalam putusan ini. LBH Masyarakat menghargai dissenting opinion sebagai sebuah hak Hakim Konstitusi, namun mencatat bahwa pertimbangan dalam dissenting opinion tersebut tidaklah  tepat dan bijak. Dalam pertimbangannya, dissenting opinion menyebutkan niat untuk mengkriminalisasi komunitas LGBT atas nama moralitas agama yang sangatlah subyektif dan multitafsir. Pertimbangan semacam ini, meski hari ini tidak mengubah hukum nasional, dapat berdampak buruk karena menciptakan narasi punitif bagi minoritas seksual.

 

Naila Rizqi Zakiah – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Lawyering on the Margin 2018

ABOUT THE PROGRAMME

The 2018 “Lawyering on the Margins” will be the fifth unique global gathering of lawyers working with marginalized groups; specifically people who use drugs, sex workers and lesbian, gay, bisexual and transgender people (LGBTQIA+). For the first time the convening will be organized by Release – the UK centre of expertise on drugs and drugs law – in partnership with LBH Masyarakat – the leading Indonesian NGO providing free legal services for the poor and victims of human rights abuses.

 

OBJECTIVES

We will bring together a group of lawyers to meet, network and learn from their peers in other countries and settings. They will have the opportunity to discuss their successes, failures, strategies, and ambitions for ensuring that those that sit on the margins of society have access to justice. Lawyering on the Margins is a seminar for lawyers who are working towards social change and securing fundamental human rights for all in society, and who believe that the law is an important means towards this end. For more information please see here.

 

AGENDA

It is anticipated that the structure of the meeting will follow that of previous Lawyering on the Margins meetings, combining engagement with local organizations working with marginalized groups, presentations, information-sharing and strategizing. However, the exact content of the meeting will be the result of consultation and collaboration with the selected participants.

 

ELIGIBILITY

Successful candidates will be lawyers with a track-record of working with marginalized groups; specifically people who use drugs, sex workers and lesbian, gay, bisexual and transgender people (LGBTQIA+).  Priority will be given to qualified and practicing lawyers, but we also welcome applications from paralegals working with these groups.

Participants from previous Lawyering on the Margins meetings can apply, but are not guaranteed to be selected simply because of past attendance.

 

HOW TO APPLY

To be considered for the programme, applicants should submit the completed application form (below) by 05 January 2018 to LOTM@release.org.uk

 

TERMS

The Lawyering on the Margins programme provides funding to a maximum of twenty five people to attend the convening in Indonesia. The placement decision will be made by the programme selection committee, comprised of representatives from Release and LBH Masyarkat.

Participation in the convening is contingent upon acquiring a letter of support from the finalist’s employer and proper immigration and travel authorizations.

The programme will be designed so that the connections and international networks will serve as a resource and support for the participant both during and following the meeting, and develop into a strong functioning network of lawyers.

 

TIMELINE

Applications open on: 22 November 2017

Application closes on: 05 January 2018 (midnight GMT)

Selection: Successful applicants will receive a response by 19 January 2018

Course: 4 days taking place in September or October 2018

 

APPLICATION

Rilis Pers – BNN Tidak Berwenang Urus PCC

LBH Masyarakat mengkritik keterlibatan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pengungkapan kasus paracetamol caffeine carisoprodol (PCC) di Semarang pada Minggu kemarin, 3 Desember 2017. BNN semestinya tidak terlibat dalam, apalagi memimpin, operasi tersebut mengingat BNN hanya berwenang untuk mengurusi narkotika – dan secara hukum, PCC bukanlah narkotika.

Pasal 70 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa tugas BNN adalah “…memberantas…peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.” Di sisi lain, Pasal 1 angka 1 UU Narkotika menyebutkan bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis…yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Kemudian, Pasal 6 ayat 3 UU Narkotika mengatur “Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika…diatur dengan Peraturan Menteri.”

Merujuk pada sejumlah peraturan di atas, semestinya BNN hanya mengerjakan kasus yang zatnya memang sudah disebut dalam lampiran UU Narkotika. Lampiran UU Narkotika yang terakhir, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2017, tidak mencantumkan PCC di dalam zat yang dilarang.

LBH Masyarakat memandang bahwa elemen penegak hukum yang lebih tepat, secara hukum, untuk mengurusi persoalan PCC ini adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kasus ini lebih tepat dikenakan dengan Pasal 196 dan/atau Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melarang produksi dan peredaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar kualitas dan tanpa izin edar. Polri berwenang untuk menyelesaikan perkara di UU Kesehatan sedangkan BNN tidak memiliki kewenangan tersebut. Wewenang BNN terbatas pada UU Narkotika saja.

BNN hanya berwenang untuk menangani hal ini apabila ada kandungan zat-zat narkotika atau prekursor yang sudah terdaftar dalam Permenkes 41/2017 di dalam sampel pil-pil yang menuntun BNN ke pengungkapan ini atau di dalam pil-pil yang di dapatkan dalam upaya penggebrekan ini. Apabila situasinya memang demikian, LBH Masyarakat menghimbau pada BNN maupun rekan-rekan media untuk tidak memakai terminologi pil PCC dalam reportase kasus ini. Bagaimanapun juga, PCC merujuk pada satu obat tertentu yang, meski tak lagi beredar di Indonesia, digunakan untuk pemulihan beberapa jenis penyakit. Sungguh tidak bijak apabila obat yang memiliki potensi manfaat medis justru distigma sebagai hal yang meracuni masyarakat dan kemudian didramatisir secara berlebihan. Beberapa liputan, ahli, dan pemeriksaan juga telah menyebut bahwa pil-pil yang ditemukan di Kendari pada insiden beberapa waktu lalu juga tidak murni PCC atau bahkan bukan PCC sama sekali.

LBH Masyarakat mendukung penuh upaya penghentian peredaran obat-obatan ilegal. Namun dalam melakukan upaya pemberantasan, penegak hukum tetap perlu mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan ketentuan hukum. Jangan sampai kasus dan temuan sepenting ini kemudian tidak dapat diproses lebih jauh karena persoalan pelanggaran hukum acara. Tentu kita tidak mau persoalan pajak kita diurus oleh Satpol PP. Kita juga tidak mau persoalan imigrasi kita diurus oleh militer atau KPK, bukan? Konstitusi Indonesia jelas menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kita harus hormati hal itu untuk semua urusan, termasuk narkotika dan obat ilegal.

 

Jakarta, 4 Desember 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – Presiden Joko Widodo, Hormati Supremasi Hukum!

LBH Masyarakat mengecam beberapa pernyataan Presiden Joko Widodo dalam acara Pencanangan Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat di Jakarta Timur pada hari ini (Selasa, 3 Oktober 2017).

Pernyataan-pernyataan kami pandang cenderung emosional, tidak berbasis bukti, tidak evaluatif terhadap kinerja pemerintah sendiri, dan cenderung berat ke aspek penegakan hukum. Pemerintahan Presiden Joko Widodo kerap melupakan berbagai aspek lain dalam urusan narkotika, di antaranya layanan kesehatan, distribusi obat, dan bahkan perlindungan anak.

Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dalam urusan penyalahgunaan obat, pemerintah harus kejam. Daripada kekejaman, kami memandang bahwa yang dibutuhkan agar sebuah pemerintah dapat berhasil dalam program-programnya adalah kecermatan, ketepatan, data yang baik, dan akuntabilitas. Namun penting melihat pernyataan ini sebagai sebuah cara komunikasi politik Presiden Joko Widodo untuk tampil tangguh dan kuat. Hal ini selaras dengan seruan menggebuk komunis oleh pemerintah akhir-akhir ini.

Presiden Joko Widodo juga menyiratkan perlunya menggebuk beramai-ramai seseorang yang terlibat peredaran gelap narkotika pada Kabareskrim Komjen Pol Ari Dono. Ketika seorang polisi dengan ribuan bawahan dihadapkan dengan respon semacam ini dari seorang kepala pemerintahan, besar kemungkinan ia akan mencoba menjawab harapan pimpinannya ini. Hal ini membuat risiko penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum baik di pusat dan di daerah akan meningkat. Penyalahgunaan wewenang ini antara lain: pemerasan, penyiksaan, tembak di tempat tanpa mengikuti prosedur yang benar, serta berbagai pengingkaran hak tersangka.

Pada kesempatan ini pula, Presiden Joko Widodo mempromosikan penembakan untuk mengatasi peredaran obat-obatan ilegal. Setidaknya sudah ada dua kebijakan dalam hal peredaran gelap obat-obatan yang telah dilakukan rezim ini: yang pertama adalah hukuman mati dan yang kedua adalah tembak mati di tempat. Kedua hal ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang terang benderang, terutama untuk urusan hak hidup dan fair trial.

Namun di luar hal tersebut, bertindak keras terhadap peredaran gelap dengan senjata tanpa melakukan reformasi kebijakan yang menyeluruh maka hal tersebut tidak akan bermanfaat banyak. Hal ini dapat terlihat dari perang terhadap narkotika yang dilaksanakan di Amerika Tengah, Thailand, dan sekarang Filipina yang memakan banyak korban jiwa baik dari pihak sipil dan penegak hukum – namun kerap kali tidak menunjukan efektivitas.

Aksi nasional ini sendiri sedikit banyak juga dipengaruhi oleh insiden di Kendari beberapa waktu lalu yang memakan korban jiwa anak-anak. Obat yang dikonsumsi itu diberitakan luas sebagai PCC, walau ternyata memiliki kandungan zat lain di dalamnya. Insiden ini justru memperlihatkan beberapa pekerjaan rumah pemerintah:

  1. Jika ini obat PCC legal, maka sebenarnya sejak pelarangan PCC dahulu masih ada pasar yang mengonsumsi PCC. Melihat manfaat aslinya yang memang digunakan untuk situasi medis tertentu, ada baiknya pemerintah mengecek kebutuhan obat sejenis. Ketika peredarannnya diblok, mungkin ada pihak yang ingin mencari untung dari kekosongan pemasok di pasar.
  2. Jika ini obat PCC ilegal, maka pemerintah perlu mengecek betul bagaimana prekursor obat ini dapat beredar dengan mudah dan murah. BPOM dan Polri perlu bekerja lebih keras, bukan dengan bertindak lebih kejam – namun lebih tanggap dalam menghadapi upaya dari mafia peredaran gelap. Investasi lebih dalam soal teknologi kami pikir penting bagi rekan-rekan penegak hukum dalam hal ini.
  3. Maraknya anak-anak yang menggunakan narkotika sesungguhnya menjadi waktu bagi pemerintah untuk berpikir: sudahkah pemerintah memberikan kebutuhan anak-anak? Menyajikan tayangan bermutu bagi perkembangannya? Membangun sekolah dengan fasilitas budaya dan olahraga yang memadai agar anak-anak memiliki aktivitas? Memberikan akses internet murah dan aman agar mereka memiliki pengetahuan yang baik dan luas? Apakah Pemerintah memiliki program tertentu untuk mempersiapkan seseorang menjadi orangtua?

Kami tentu dalam posisi yang sangat mendukung upaya pemerintah dalam hal penegakan hukum dan pencegahan untuk menghindarkan upaya mafia peredaran gelap menjangkau anak-anak. Namun di sisi lain, ada kebutuhan anak yang nampaknya terlupakan hingga berpaling pada obat-obatan. Insiden ini menunjukan luasnya dimensi penggunaan obat – kami hanya ingin pemerintah menyadari betul hal tersebut.

Namun kami sepakat pada pernyataan Presiden Joko Widodo pada acara ini bahwa fenomena ini tidak bisa dianggap angin lalu saja. Ia menggambarkannya seperti puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan. Kami harap pada akhirnya Presiden Joko Widodo juga mengerti bahwa untuk mengatasi peredaran gelap obat dibutuhkan perubahan kebijakan yang mendasar, berbasis bukti, serta memperhatikan standar HAM – bukan hanya membangun kesan tangguh tanpa arah.

 

Jakarta, 3 Oktober 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Annual Report 2016

\”There is always rainbow after the rain.\” Ricky said to describe how LBH Masyarakat were going through in 2016. We Lost our friend and our client, Humphrey Jefferson. He was executed by Joko Widodo\’s administration last year. We went down for awhile but we woke up and got several achievement. You may see our journey by reading our annual report in this link.

Policy Paper: Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law

This paper sets out a study of mental capacity in Indonesian criminal law, capital punishment and civil law. Indonesian Law Number 18 Year 2014 Regarding Mental Health (UUKJ) provides a new legislative framework for mental health issues within Indonesia that seeks to protect and rehabilitate mentally ill people.

Articles 71-73 of UUKJ are of particular importance because they attempt to clarify the legal framework for mental capacity evaluation in criminal and civil law. Mental capacity is the ability to ‘comprehend both the nature and consequences of ones [decisions and] actions’. Capacity concerns the ‘assessment of a person’s ability to make a decision, not the decision they make’. Mental capacity assessment is imperative to determining their legal standing in criminal law, capital punishment cases and civil law.

However, UUKJ is still in its infancy and its effectiveness cannot yet be ascertained, thus it is prudent to comparatively assess mental health laws throughout the Asian region to determine the best method of implementation in the future. This policy paper tries to show how Indonesian laws position mentally ill people and how is it compared with other countries.

This policy paper titled \’Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law\’ which is written by Codey J. Larkin, student of La Trobe University, when he received internship in LBH Masyarakat could be accessed at this link.

Policy Paper: Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law

This paper sets out a study of mental capacity in Indonesian criminal law, capital punishment and civil law. Indonesian Law Number 18 Year 2014 Regarding Mental Health (UUKJ) provides a new legislative framework for mental health issues within Indonesia that seeks to protect and rehabilitate mentally ill people.

Articles 71-73 of UUKJ are of particular importance because they attempt to clarify the legal framework for mental capacity evaluation in criminal and civil law. Mental capacity is the ability to ‘comprehend both the nature and consequences of ones [decisions and] actions’. Capacity concerns the ‘assessment of a person’s ability to make a decision, not the decision they make’. Mental capacity assessment is imperative to determining their legal standing in criminal law, capital punishment cases and civil law.

However, UUKJ is still in its infancy and its effectiveness cannot yet be ascertained, thus it is prudent to comparatively assess mental health laws throughout the Asian region to determine the best method of implementation in the future. This policy paper tries to show how Indonesian laws position mentally ill people and how is it compared with other countries.

The policy paper titled \”Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law\” which is written by Codey J. Larkin, student of La Trobe University, when received an internship in LBH Masyarakat could be accessed at this link.

Rilis Pers – Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia: Hormati Kehidupan, Rayakan Kemanusiaan

Dalam rangka memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober, LBH Masyarakat menyelenggarakan sebuah festival kemanusiaan satu-hari yang bertajuk, A Day for Forever: Celebrating Life and Hope, pada hari Sabtu, 7 Oktober 2017, bertempat di Conclave, Jl. Wijaya.

LBH Masyarakat memilih tema festival tersebut di atas karena kami resah melihat politik hukum dan HAM hari-hari ini yang kian menepikan arti penting kehidupan dan mengingkari martabat kemanusiaan. Di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), telah dilangsungkan tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa 18 orang terpidana mati. Kesemuanya dijalankan dengan dalih “darurat narkotika”. Memasuki tahun ketiga rezim Jokowi, angka kejahatan narkotika tidaklah menunjukkan penurunan, yang ada justru tindak pidana narkotika kian marak dan aparat penegak hukum juga terlibat di dalam peredaran gelap narkotika. Bukannya mengevaluasi kebijakan narkotika yang tengah berjalan, Jokowi justru mendorong terus kebijakan punitif yang nirhasil.

Di tengah kepemimpinan yang goyah karena diterpa isu anti-Islam, diasosiasikan dengan PKI, dan cenderung otoriter, Jokowi sekali lagi menggunakan isu narkotika untuk tampil heroik. Belum lagi mengingat mendekatnya kontestasi politik 2019, Jokowi seperti hendak terlihat gagah mengatasi persoalan kejahatan yang menyeruak. Gejala ini menunjukkan betapa penyelesaian sebuah persoalan publik, yang seharusnya dilihat dari kacatama ilmiah yang jernih, malah rentan dieksploitasi dan dimanfaatkan sebagai alat elektoral guna mendulang suara.

Berangkat dari situasi di atas, LBH Masyarakat memandang penting untuk terus menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap kemanusiaan di tengah derasnya arus narasi pemerintah yang hendak meminggirkan norma-norma hak asasi manusia dalam menyelesaikan pelbagai problem sosial dan hukum. Selain itu, LBH Masyarakat juga merasa perlu untuk senantiasa mengajak publik tetap dapat menjaga kekritisannya dalam mengawal jalannya pemerintahan. Atas dasar inilah, LBH Masyarakat mengadakan A Day for Forever.

Jakarta, 5 Oktober 2017