Skip to content

Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Perempuan dalam Jerat Sindikat

Isu perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir mencuat ketika Mary Jane Veloso dan Merri Utami masuk ke dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahun 2015 dan 2016. Dalam berbagai kesempatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keterlibatan perempuan sebagai kurir narkotika bukan lah hal yang baru. Rani Andriani, yang telah dieksekusi mati 2015 lalu, tertangkap akan mengantarkan narkotika di Soekarno-Hatta pada tahun 2000. Begitu juga dengan Merri Utami yang ditangkap pada tahun 2001.

Tidak ada definisi yang jelas mengenai kurir narkotika, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sekalipun. Terminologi ini dibuat oleh media, pemerintah dan masyarakat dan digunakan secara luas. Pada praktiknya, perempuan kurir narkotika akan dipidana dengan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika yang melarang perbuatan “menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan” narkotika. Laporan ini mendefinisikan kurir sebagai seseorang yang mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya. Laporan ini juga akan menggunakan frase “perempuan kurirnarkotika” untuk menjelaskan perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap sebagai kurir narkotika, semata-mata untuk memudahkan penulisan, tanpa bermaksud untuk memberikan label negatif kepada perempuan.

LBH Masyarakat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mendampingi 9 (sembilan) kasus perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika, 5 (lima) di antaranya terlibat sebagai kurir. Satu perempuan dipidana dengan pidana mati, satu perempuan dihukum seumur hidup, tiga perempuan dipidana dengan pidana penjara selama 12, 14 dan 16 tahun penjara. Selama mendampingi kasus-kasus tersebut, kami menemukan pola yang serupa muncul berulang kali, yaitu keterlibatan akibat disuruh atau diperdaya oleh pasangan intim, berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah dan pernah mengalami kekerasan domestik.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Untuk mendapat gambaran yang lebih holistik dan komprehensif mengenai latar belakang perempuan kurir narkotika, pola perekrutan serta modus yang sering digunakan, dan juga relasi perekrut dengan perempuan, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan berita perempuan kurir narkotika sepanjang tahun 2017. Laporan pemantauan ini juga merupakan bagian dari advokasi perlindungan perempuan, yang seringkali menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang dalam peredaran gelap narkotika, namun, dijatuhi dengan hukuman berat bahkan hingga pidana mati.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Stigma HIV, Impresi yang Belum Terobati

Kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap ODHA menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Hal ini menyebabkan orang yang beresiko terdampak HIV menjadi enggan melakukan tes HIV. Kesalahpahaman persepsi ini kemudian menjelma menjadi stigma, yang seringkali berujung pada praktek-praktek diskriminasi terhadap ODHA.

Perwujudan stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat dilihat dalam bentuk produk-produk hukum seperti kebijakan dan prosedur administrasi. Produk-produk tersebut sering ditemukan sebagai suatu perangkat yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, tetapi kerap dijumpai implementasinya justru memperkuat praktik-praktik diskriminasi dan pengekalan stigma. Contoh lain dari wujud stigma dan diskriminasi adalah implementasi kebijakan yang justru mendiskreditkan ODHA. Misalnya, dengan menerbitkan regulasi yang membatasi mobilitas ODHA.

Stigma dan diskriminasi jelas menyebabkan implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS tidak dapat dilakukan secara optimal. Dari berbagai sisi, stigma dan diskriminasi memberikan dampak yang sama luasnya, jika tidak lebih luas, dibandingkan dengan HIV itu sendiri. Disadari atau tidak, stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi hidup ODHA, tetapi juga orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Stigma dan diskriminasi juga diperparah oleh faktor-faktor seperti gender, seksualitas dan kelas sosial.

Menyadari kondisi tersebut, LBH Masyarakat merasa perlu untuk melakukan monitor media terhadap pemberitaan tentang stigma dan diskriminasi pada ODHA. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi yang masuk pemberitaan media sepanjang tahun 2017. Harapannya, laporan monitor dan dokumentasi ini dapat membantu memetakan persoalan stigma dan diskriminasi pada ODHA, dan dapat berperan dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat memberikan dampak baik pada program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

 

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Dibutuhkan: Relawan Advokasi dan Pemantauan Media 2018

LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang berdiri sejak 2007. Lebih dari 10 tahun sudah, kami memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan.

Untuk mendukung kerja bantuan hukum, kami juga menulis laporan dan melakukan advokasi kebijakan pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang kerap dipandang sebelah mata. Kerja-kerja kami dapat kamu lihat di situs resmi LBH Masyarakat dan official account kami di Instagram, Twitter, dan Facebook.

Kamu juga dapat terlibat aktif dalam kerja-kerja kami memperjuangkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kami tengah membutuhkan tiga (3) orang relawan untuk membantu kerja advokasi dan pemantauan media yang rutin kami lakukan setiap tahunnya. Kriteria relawan yang kami butuhkan:

  1. Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
  2. Internet-Savvy;
  3. Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  4. Memiliki laptop;
  5. Memiliki motivasi tinggi;
  6. Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa (tidak ada batasan angkatan atau jurusan);
  7. Berkomitmen untuk bekerja selama 300 jam;
  8. Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
    • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
    • sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Albert Wirya (Peneliti LBH Masyarakat) di awirya@lbhmasyarakat.org paling lambat Jumat, 6 April 2018.

Berjuang tak bisa sendirian, kawan-kawan. Seperti kata Martin Garrix dan Dua Lipa, “…scared to be lonely.”  Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian nanti:

because every human matters.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Mati di Bui, Pembelajaran bagi Sistem Pemasyarakatan

Kematian sebaiknya tercatat, bukan hanya melalui ingatan orang-orang yang ditinggalkan tapi juga lewat percikan tinta di atas kertas. Undang-Undang Administrasi Kependudukan mewajibkan setiap kematian untuk dicatat oleh kantor sipil. Dokumentasi akan kematian ini mempermudah warga negara dalam mengurus waris, uang duka, tunjangan kecelakaan, asuransi, dan lain sebagainya.

Melalui pencatatan kematian juga, negara bisa belajar banyak. Setiap tahunnya, contohnya, Kementerian Kesehatan mempublikasikan laporan kinerja yang berisi jumlah kematian akibat penyakit tertentu. Berdasarkan data ini, pemerintah bisa membangun kebijakan kesehatan yang tepat sasaran untuk mengurangi angka kematian.

Untuk tujuan yang sama pulalah, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan pendokumentasian berita-berita kematian. Spesifiknya, kematian-kematian yang terjadi di penjara. Dari berita-berita kematian, kami dapat menganalisis akses layanan kesehatan, ketersediaan layanan kesehatan mental, dugaan penyiksaan dan lain-lain. Pemantauan semacam ini kami lakukan di tahun 2016 dan kami publikasikan menjadi sebuah laporan yang mengidentifikasi sejumlah permasalahan di tempat-tempat tahanan. Di tahun 2017, kegiatan pendataan ini kami lanjutkan.

Ada setidaknya dua alasan mengapa LBH Masyarakat melakukan pendokumentasian kasus kematian ini. Yang pertama adalah kosongnya laporan berkaitan dengan kematian di penjara. Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) sebenarnya memiliki laporan kinerja yang menuliskan secara detail jumlah dan sebab kematian sepanjang tahun, sayangnya laporan in berhenti di tahun 2014. Kepolisian pun tidak memiliki laporan berisi data kematian di tahanan polisi. Sekiranya pun ada, laporan tersebut tidak bisa dengan mudah diakses publik.

Alasan kedua adalah sulitnya untuk mengetahui kebenaran tentang sebuah kematian ketika itu terjadi di ruang yang miskin akses informasi baik untuk masuk ataupun keluar. Wajar-tidaknya suatu kematian seringkali dinyatakan oleh otoritas tempat tahanan, bukan ahli medis.

Di Indonesia, pengelola tempat tahanan memiliki mekanisme pemeriksaan yang harus dipenuhi ketika seorang tahanan meninggal. Apabila meninggal di tahanan kepolisian, polisi melakukan visum et repertum dan memberitahukan hasilnya kepada keluarga. Apabila meninggal di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas), manajemen penjara harus membuat surat keterangan kematian atau melaporkan ke polisi apabila kematiannya dianggap tidak wajar. Keberadaan mekanisme pemeriksaan ini patut untuk diapresiasi, tapi independensi penyelidikannya harus terus diawasi. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi 19 kematian yang tidak jelas yang kami temukan pada tahun 2016.

Penjara didirikan untuk tugas yang mulia. Ruang tahanan kepolisian dan rutan, didirikan untuk menjaga tersangka atau terdakwa sampai hakim mengetuk palu dan keadilan ditegakkan. Sementara lapas, menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bertujuan agar “Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.” Tujuan semacam ini akan sia-sia ketika tahanan meninggal di dalam. Lebih sia-sia lagi ketika tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari kematiannya.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Laporan Tahunan 2017

Tidak terasa perjalanan LBH Masyarakat telah menginjak usia ke-10 tanggal 8 Desember 2017 kemarin. Dalam 10 tahun itu, LBH Masyarakat aktif di banyak isu hukum dan hak asasi manusia (HAM), dan kemudian menjadi pionir gerakan HAM untuk isu narkotika dan HIV yang sepuluh tahun lalu masih menjadi isu pinggiran di antara organisasi hukum dan HAM.

Tentu saja, tantangan dan pekerjaan rumah LBH Masyarakat masih banyak. Ketidakadilan masih mendominasi wajah hukum Indonesia. Tapi LBH Masyarakat percaya bahwa kita harus terus bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan dan merawat nilai-nilai kemanusiaan.

Di 2017, banyak juga pencapaian dan juga tantangan yang harus LBH Masyarakat hadapi dalam bekerja. Kisah-kisah tersebut dapat kawan-kawan lihat pada Laporan Tahunan 2017 LBH Masyarakat yang dapat teman-teman akses dengan klik tautan ini.

Selamat membaca!

Kertas Kebijakan: Tembak di Tempat, Kebijakan Penanganan Narkotika yang Salah Arah

Tanggal 27 Desember kemarin, Budi Waseso beserta jajaran BNN lainnya dengan bangga mengumumkan hasil pemburuan meraka. Anak buah BNN menembak mati 79 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkotika. Entah apa yang ada di pikiran Buwas (Budi Waseso), begitu ia sering disapa, memamerkan dengan bangga jumlah manusia yang berhasil ia bunuh atas nama perang terhadap narkotika.

Mungkin kebanggaan ini juga muncul karena seruan Presiden Joko Widodo pada salah satu acara peringatan Hari Narkotika Sedunia tahun 2016 silam. Jokowi sempat bergurau ” Saya ingin ingatkan kepada kita semuanya di kementerian, di lembaga, di aparat-aparat hukum kita, kejar mereka (pengedar narkotika), tangkap mereka, hajar mereka, hantam mereka. Kalau Undang-Undang memperbolehkan, dor mereka.” Ucapan Jokowi kini bukan hanya sekedar auman belaka, praktik tok hang di Filipina kini nyata diterapkan di Indonesia.

Praktik yang memakan banyak korban tidak bersalah di Filipina, dan mendapat berbagai kecaman dari dunia internasional, nyatanya jelas-jelas ditiru oleh aparat penegak hukum di Indonesia, tidak hanya BNN tetapi juga Kepolisian RI. Kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat juga ikut-ikutan bertindak brutal. Penggerebekan pada 13 Juli lalu misalnya, Pasukan polri menembak mati warga negara Taiwan yang diduga terlibat dalam perdagangan gelap narkotika.

Atas semua pihak yang terlibat dengan aksi ugal-ugalan ini, mulai dari Presiden, Kepala BNN, hingga Kapolri RI, yang patut kita pertanyakan adalah benarkah Indonesia membutuhkan tindakan membabi buta, menerkam banyak nyawa demi memberantas narkotika? Atau mereka (pemerintah) hanya terjebak dalam citra? Bingung dan tidak tahu arah?

Sebelum menelan lebih banyak lagi korban jiwa, LBH Masyarakat bersama PKNI dan PBHI merumuskan kertas kebijakan sebagai kritik praktik tembak di tempat. Melalui kertas kebijakan ini kami menggambarkan bahaya tembak mati di Indonesia dan kaitannya dengan hak asasi manusia. Kertas kebijakan ini juga mendeskripsikan apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia dalam menyikapi peredaran gelap narkotika.

Anda bisa mengakses kertas kebijakan ini melalui tautan ini.

Karena setiap manusia berharga.

Mapping Out Drug Dependency Treatment in Indonesia

Upon winning the presidential election in 2014, Joko Widodo, often referred as Jokowi – launched the war on drugs in Indonesia. He claimed that Indonesia is in a drug emergency situation. This emergence is marked by the existence of 4.5 million people who use drugs in Indonesia; worse, 1.2 million of them ‘can no longer be rehabilitated because of their deteriorating condition’.

When Jokowi made such statement, it was expected that he would adopt a policy that was aimed to address the impact of drug trafficking. For example, by providing wider access to drug dependency rehabilitation. The question was and still relevant, is, how drug dependency rehabilitation is currently implemented in Indonesia?

Through this report, LBH Masyarakat seeks to provide information on how drug dependency rehabilitation is carried out in Indonesia. This report consists of information on the type, methodology, inclusiveness and participation, financing, and human resources situation with regard to implementing drug dependency rehabilitation. We find that there are barriers, both practical and structural, that hinder effective implementation of drug rehabilitation. At the end of this report, we develop recommendations for relevant stakeholders with a view that the proposed recommendations would contribute in creating drug dependency rehabilitation in Indonesia that is more accessible and with good quality.

We would like to express our sincere gratitude to …?? for their tremendous help and contribution in the development of this report. We thank the Ministry of Health, the Ministry of Social Affairs, and the National Narcotic Board for welcoming us to interview and observe drug dependency rehabilitation facilities under their auspices, or that they support. We thank all the patients, doctors, health care workers, and managements of drug dependency rehabilitation at YPI Nurul Ichsan, RS Jiwa Atma Husada, RSUD Sanglah, Yayasan Ar-Rahman, Yayasan Hikmah Syahadah, Balai Rehabilitasi Lido, Balai Rehabilitasi Badokka, AKSI NTB, Yayasan Karisma, Puskesmas Gambir, and RSKO Cibubur.

We thank Mainline Foundation for their support and assistance from the beginning until the finalisation stage of this report.

This report is just a part, or even a beginning of the long and winding road in the advocacy towards a more humane drug policy in Indonesia. To close this, we believe that #PrisonIsNotASolution, #BecauseEeryHumanMatters.

You can download this research by visiting this link.

Pemetaan Pemulihan Ketergantungan Narkotika di Indonesia

“Indonesia sudah gawat narkotika.” Itu pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang kemudian menjadi tanda dimulainya perang terhadap narkotika di bawah era kepresidenannya. Kegawatdaruratan ini, tambahnya, ditandai dengan, salah satunya, keberadaan 4,5 juta orang di Indonesia yang, dalam kalimatnya Joko Widodo, ‘terkena narkoba’. Terlebih lagi, 1,2 juta orang diantaranya yang ‘sudah tidak bisa direhabilitasi karena sudah terlanjur sangat parah’.

Tentunya pernyataan ini seharusnya diterjemahkan ke dalam kebijakan yang diharapkan dapat mengatasi kondisi tersebut. Salah satunya adalah penyediaan perawatan pemulihan ketergantungan narkotika, yang – harapannya – dapat membantu mengatasi persoalan penggunaan narkotika dan mempersiapkan mereka untuk berintegrasi kembali ke masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana sesungguhnya perawatan tersebut dilakukan di Indonesia?

LBH Masyarakat, melalui laporan penelitian ini, berusaha menyajikan informasi terkait dengan pelaksanaan program perawatan pemulihan ketergantungan narkotika di Indonesia. Laporan ini akan mencakup informasi seputar jenis, metode, keikutsertaan, pembiayaan, serta sumber daya lainnya. Ada banyak likaliku pelaksanaan program ini yang kami temukan, yang pada akhirnya kami harapkan dapat membuka mata para pembaca semuanya akan realita pelaksanaan program pemulihan ketergantugan narkotika di Indonesia. Di bagian akhir, LBH Masyarakat menyajikan rekomendasi, yang kami yakini dapat membantu memperbaiki kualitas perawatan pemulihan ketergantungan narkotika di Indonesia ke depannya.

LBH Masyarakat juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya bagi pihak-pihak yang turut serta membantu pelaksanaan penelitian ini. Kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Badan Narkotika Nasional yang telah membukakan pintunya untuk dapat kami wawancarai dan kami mintakan ijin berkunjung ke fasilitas rehabilitasi di bawah penyelenggaraannya masing-masing. Kepada seluruh pasien, dokter, konselor, perawat, maupun manajemen fasilitas rehabilitasi dari kesebelas fasilitas rehabilitasi yang kami kunjungi, wawancarai, dan observasi; yaitu YPI Nurul Ichsan, RS Jiwa Atma Husada, RSUD Sanglah, Yayasan Ar-Rahman, Yayasan Hikmah Syahadah, Balai Rehabilitasi Lido, Balai Rehabilitasi Badokka, AKSI NTB, Yayasan Karisma, Puskesmas Gambir, dan RSKO Cibubur.

Terima kasih ini juga kami sampaikan kepada Mainline Foundation yang telah membantu penelitian ini sejak dari awal perancangannya sampai akhirnya laporan penelitian ini dapat diterbitkan.

Tentunya penelitian ini hanyalah awalan dari serangkaian advokasi menuju kebijakan narkotika yang lebih manusiawi dan terbukti efektivitasnya di Indonesia.

Akhir kata, LBH Masyarakat percaya bahwa #PenjaraBukanSolusi, #KarenaSetiapManusiaBerharga.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Laporan Pelanggaran HAM – Ancaman Bagi Kesehatan Populasi Kunci HIV dan TB

Virus HIV dan TB rentan menjangkit kelompok-kelompok yang termarjinalkan di masyarakat, seperti pengguna narkotika, waria, laki-laki gay, pekerja seks, tahanan, dan orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi. Karenanya, tidak jarang mereka mendapatkan stigma berganda yang kerap kali menghalangi upaya mereka untuk hidup sehat dan bermanfaat.

Penelitian ini melakukan dokumentasi terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami oleh para populasi kunci HIV dan TB di 14 distrik di Indonesia selama periode waktu 2016-2017. Penelitian ini menemukan 387 kasus pelanggaran HAM dan perlakuan buruk yang semuanya memberikan kerugian materil bagi mereka dan menambah risiko mereka semakin sulit mengakses layanan kesehatan.

Populasi kunci paling sering mengalami pelanggaran HAM di lingkungan kesehatan. Pelanggaran ini terjadi karena negara tidak bisa memenuhi aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas dari layanan kesehatan. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mereka terima contohnya seperti tidak tersedianya tenaga kesehatan, tidak tersedianya obat, penolakan ketika mendapatkan pelayanan tertentu, dan ketidakramahan petugas kesehatan ketika mereka mengakses layanan. Selain itu terdapat juga tindakan pemaksaan perlakuan medis yang melanggar aspek kebebasan pasien.

Karena ketakutan mendapatkan stigma dan diskriminasi, para populasi kunci seringkali menyembunyikan status mereka sebagai ODHA, pengidap TB, pekerja seks, pengguna narkotka, ataupun homoseksual. Sayangnya, privasi ini masih sering dibocorkan oleh aktor-aktor negara yang seharusnya menyimpan rahasia mereka, seperti tenaga kesehatan atau penegak hukum. Tidak sedikit korban pembocoran status yang mengalami diskriminasi lanjutan di tempat kerja atau lingkungan ketetanggaan.

Beberapa anggota populasi kunci seperti pengguna narkotika dan pekerja seks seringkali harus berhadapan dengan penegak hukum. Pada saat berhadapan inilah, mereka kerap kali mendapatkan penyiksaan. Para populasi kunci seperti LSL dan pekerja seks yang sering menjadi korban tindak pidana pun seringkali mendapatkan pembatasan ketika mengakses peradilan pidana.

Pihak penyedia jasa pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan yang dikelola oleh negara turut melakukan pelanggaran HAM terhadap populasi kunci. Mereka dianggap sakit-sakitan, berdosa, atau menjadi ancaman bagi orang lain sehingga ditolak dan didiskriminasi ketika hendak belajar atau bekerja.

Populasi kunci juga menghadapi kendala dalam mengakses hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal. Beberapa pengidap HIV dan TB menghadapi pengusiran yang difasilitasi oleh kepala wilayah tempatnya bermukim.

Selain menghadapi ancaman dari negara, anggota populasi kunci juga tetap mendapatkan kecaman dari masyarakat sipil. Mereka menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan di lingkungan ketetanggaan dan lingkungan privat. Negara seharusnya bisa hadir di sana untuk menjaga agar tindakan-tindakan semacam ini tidak terjadi.

Dokumentasi yang ada di hadapan Anda ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan betapa pelanggaran HAM sanggup untuk menghalangi upaya pemulihan kesehatan populasi kunci. Pelanggaran HAM harus secara cepat dan menyeluruh ditanggulangi oleh negara sehingga korban mendapatkan keadilan dan pelanggaran berikutnya bisa dicegah.

Infografis oleh: Astried Permata

Anda dapat mengunduh laporan ini dengan klik link berikut.

Kertas Kebijakan: Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata

Tulisan ini menjabarkan studi mengenai kapasitas mental dalam hukum pidana dan hukum perdata Indonesia, serta kaitannya dengan hukuman mati di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UUKJ) menyediakan sebuah kerangka hukum baru untuk isu kesehatan jiwa yang bertujuan untuk melindungi hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Pasal 71-73 UUKJ mencoba memperjelas kerangka hukum untuk mengevaluasi kapasitas mental dalam hukum perdata dan pidana. Kapasitas mental adalah kemampuan untuk ‘memahami karakter dan konsekuensi dari tindakannya [dan keputusannya]’. Kapasitas merujuk pada ‘penilaian  kemampuan seseorang untuk membuat sebuah keputusan, bukan penilaian atas keputusan yang mereka buat’. Penilaian kapasitas mental seseorang sangat penting untuk menentukan posisi mereka dalam lingkup hukum pidana, hukum perdata, dan kaitannya dengan kasus hukuman mati.

Namun, UUKJ masih baru dan efektivitasnya belum dapat dipastikan. Membandingkan dengan peraturan serupa di negara-negara lain adalah langkah yang bijak guna menentukan metode implementasi terbaik ke depannya. Kertas kebijakan ini berupaya menunjukkan bagaimana perangkat hukum di Indonesia memosisikan ODGJ dan bagaimana perbandingannya dengan negara lain.

Kertas Kebijakan berjudul “Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata” yang ditulis oleh Codey J. Larkin, mahasiswa Universitas La Trobe, Melbourne, selama menjalani masa magang di LBH Masyarakat ini bisa diakses di tautan ini.