Skip to content

Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional

Orang dengan HIV, adalah individu yang rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. Penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik, yang dinilai bertentangan dengan moral di masyarakat, memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV. “Stigma mengacu kepada kepercayaan dan/atau perilaku yang mendiskreditkan seseorang seperti ketika karakter tertentu dilekatkan secara berlebihan pada budaya atau keadaan tertentu dan didiskreditkan atau tidak berharga.” Stigma akan berakibat pada diskriminasi yaitu “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi atau perlakuan yang berbeda lainnya yang secara langsung atau tidak langsung berdasarkan pada alasan diskriminasi yang dilarang dan yang bertujuan atau berdampak pada meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, dari hak-hak yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.”

Banyak negara mengkategorisasi stigma dan diskriminasi HIV—bersama dengan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia—sebagai penghalang utama untuk meningkatkan layanan HIV/AIDS dan mencapai akses universal atas pencegahan, perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV secara komprehensif. Untuk mengatasi hal tersebut, semua negara anggota yang tergabung dalam PBB berkomitmen dalam Deklarasi Politik HIV/AIDS PBB tahun 2011 untuk menyusun strategi kebijakan HIV dan AIDS nasional yang mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk membuat program untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV.

Penguatan atas hak asasi manusia dapat “memastikan layanan HIV dapat dicapai oleh orang-orang yang paling membutuhkan, memberdayakan individu untuk proaktif dalam mengakses layanan kesehatan, meningkatkan permintaan layanan dan meningkatkan kualitas layanan.” Promosi dan proteksi hak asasi manusia juga berarti menciptakan lingkungan yang kondusif atau optimal untuk memberikan dan memperoleh layanan HIV yang esensial serta pengobatan dan perawatan yang lebih efisien, efektif dan berkelanjutan.14 Sebab, lemahnya perlindungan atas hak asasi manusia dapat meningkatkan penyebaran HIV dan memperburuk dampak HIV itu sendiri.

Stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan HIV terjadi di banyak sektor. Namun terdapat tiga sektor di mana orang dengan HIV nampaknya paling rentan menghadapi stigma dan diskriminasi. Ketiga sektor tersebut adalah kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan. Terjadinya stigma dan diskriminasi tersebut bisa disebabkan karena adanya instrumen hukum yang diskriminatif dan/atau adanya kekosongan instrumen hukum yang berlaku di suatu negara. Instrumen hukum yang diskriminatif dapat memperburuk perlindungan hak asasi orang dengan HIV, dan juga melanggengkan stigma dan diskriminasi. Sementara, ketiadaan instrumen hukum membuat orang dengan HIV tidak terlindungi secara hukum dari stigma dan praktik-praktik yang diskriminatif. Adanya instrumen hukum yang melindungi hak asasi orang dengan HIV menentukan sikap negara dalam menanggulangi HIV dan sebagai jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi orang dengan HIV.

Mengingat rentannya stigma dan diskriminasi orang dengan HIV di tiga sektor tersebut, LBH Masyarakat berinisiatif melakukan audit peraturan perundang-undangan pada tataran peraturan nasional. Laporan ini hendak melihat jaminan perlindungan hukum hak asasi manusia bagi orang dengan HIV dalam ranah pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Laporan ini menganalisis peraturan di Indonesia yang berkaitan dengan HIV berdasarkan standar hak asasi manusia. Peraturan yang akan diaudit adalah peraturan yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Analisis akan dibatasi pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan berikut.

Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek Tahun 2014

Pada tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 (SEMA No. 4 Tahun 2010) yang menjadi panduan bagi hakim untuk mengidentifikasi apakah seseorang merupakan pengguna narkotika dan memiliki kebutuhan untuk direhabilitasi. Hingga tahun 2015, tidak pernah ada dokumentasi mengenai pelaksanaan dari SEMA No. 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penelitian mengenai implementasi SEMA No. 4 Tahun 2010.

Untuk melihat implementasi dari SEMA No. 4 Tahun 2010 ini, peneliti menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengumpulkan putusan di 9 (sembilan) pengadilan negeri di wilayah Jabodetabek yang diputus sepanjang tahun 2014, dan diunduh di website resmi Mahkamah Agung. Kriteria putusan yang diunduh adalah putusan tersebut memiliki barang bukti di bawah ambang batas jumlah narkotika yang telah ditetapkan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010.

Dari putusan yang telah diunduh, peneliti akan melihat apakah putusan-putusan tersebut memenuhi semua kriteria seperti yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010 yaitu: barang bukti dibawah ambang batas jumlah maksimum narkotika; tertangkap tangan; positif menggunakan narkotika yang dibuktikan melalui tes urine; dan hasil asesmen medis dari dokter jiwa/psikiater. Kriteria terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak peneliti sertakan karena bias dan tidak bisa diukur.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.  

Mengurai Undang-Undang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-undang ini merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor 22 tahun 1997 tersebut, antara lain: tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Secara umum, terdapat beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan dan penambahan definisi di dalam bab tentang Ketentuan Umum, ruang lingkup dan tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Dokumentasi Pelanggaran Hak Tersangka Kasus Narkotika

Buku ini memuat laporan dokumentasi yang telah LBH Masyarakat lakukan selama satu tahun sepanjang 2011. Hasil dokumentasi tersebut mengafirmasi cerita-cerita yang sebelumnya pernah kami dengar. Nyaris semua tahanan kasus narkotika pernah mengalami pelanggaran HAM di tingkat penyidikan, baik upaya paksa yang dilakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian maupun penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Buku ini tidak berpretensi untuk menyajikan laporan penelitian kuantitatif melainkan lebih kepada pemaparan analisis kualitatif yang terefleksi dari hasil temuan tersebut.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Indonesia, beberapa waktu yang lalu telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini tentu layak mendapat apresiasi positif karena menjadi landasan hukum bagi setiap orang untuk hak atas informasi, sekalipun dalam beberapa hal, undang-undang ini memiliki keterbatasan.

Buku saku ini disusun sebagai upaya untuk mengenalkan undang-undang yang baru tersebut kepada pendamping masyarakat dan aktivis ornop. Diharapkan setelah membaca buku saku ini dapat memperoleh pemahaman yang mendasar mengenai undang-undang tersebut, sehingga dapat menggunakannya ketika diperlukan terutama dalam kerja-kerja mendampingi masyarakat.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat

Buku berjudul Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat ini hadir dengan maksud untuk memberi potret yang jelas untuk menggambarkan apa itu pemberdayaan hukum masyarakat ala LBH Masyarakat. Kami sadar betul bahwa rumusan dalam buku ini bukanlah rumus baku untuk menjalankan pemberdayaan hukum masyarakat. Penjabaran ide-ide dalam buku ini hendaknya diperlakukan sebagai uraian ramuan, yang peracikannya diserahkan kepada setiap pelaku pemberdayaan. Gagasan dalam buku ini juga memang sejak awal diposisikan sebagai living manifestos. Dia tidak kaku, fleksibel dan adaptif. Dia akan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mengingat masyarakat akan terus berubah, begitu pula halnya dengan pemberdayaan hukum. Kami juga sadar betul bahwa pemberdayaan hukum masyarakat akan ada banyak model. Oleh karena itulah, buku ini adalah satu dari sekian banyak referensi yang dapat Anda rujuk ketika hendak menjalankan pemberdayaan hukum.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat

Buku “Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat” adalah kumpulan pengalaman para penyuluh hukum LBH Masyarakat dalam melakukan pemberdayaan hukum di empat komunitas. Empat komunitas itu adalah komunitas nelayan Kali Adem, komunitas remaja keluarga korban Tragedi Mei 1998 di Klender, komunitas pemakai dan mantan pemakai narkotika di Jakarta, dan komunitas remaja yang bersekolah di sekolah alternatif di Terminal Depok.

Catatan perjalanan yang para penyuluh tuliskan di buku ini tidak berintensi untuk menjadi sebuah panduan lengkap dalam melakukan aktivitas pemberdayaan hukum. Guratan tulisan dalam buku ini sesungguhnya bertujuan untuk berbagi cerita perjalanan yang para penyuluh alami dalam melakukan pemberdayaan hukum. Membaca torehan pengalaman para penyuluh hukum dalam buku ini bisa membuat Anda tertawa kecil, larut dalam haru, terbawa dalam kegeraman, dan bukan tidak mungkin menginspirasikan Anda untuk dapat berbuat lebih dalam melakukan pemberdayaan hukum.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Policy Brief: Fenomena Ganja Sintetis

Status ganja yang ilegal di Indonesia membuat fenomena ganja sintetis menyeruak. BNN mendorong agar zat yang terkandung di dalam ganja sintetis dimasukkan ke dalam lampiran UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memandang bahwa negara harus hati-hati menyikapi fenomena ini. LBH Masyarakat mendorong pemerintah untuk segera mendekriminalisasi konsumsi dan kepemilikan ganja untuk konsumsi pribadi dalam jumlah tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk zat yang terkandung di dalam ganja sintetis serta menghentikan fenomena overcriminalization yang menghabiskan anggaran negara.

Versi lengkap policy brief ini bisa diunduh melalui tautan berikut: 280116_Policy Brief Fenomena Ganja Sintetis_LBH Masyarakat

Foto: HS

Policy Brief: Kebijakan Minuman Beralkohol

Peraturan Menteri Perdagangan 06/M-DAG/PER/1/2015 telah melarang penjualan minuman keras di mini market. Kini, beberapa kalangan masyarakat mendorong untuk adanya ketentuan yang mengkriminalkan kegiatan memproduksi, menjual dan membeli, mengedarkan, meminum serta menyimpan minuman beralkohol. LBH Masyarakat berpandangan bahwa pelarangan penjualan minuman beralkohol di mini market, dan kriminalisasi jual-beli, peredaran dan konsumsi minuman beralkohol, memiliki dimensi pelanggaran hak asasi manusia dan justru meningkatkan risiko kesehatan kepada masyarakat.

Versi lengkap policy brief ini bisa diunduh melalui tautan berikut: 280116_Policy Brief Kebijakan Minuman Beralkohol_LBH Masyarakat

 

Foto: RG