Rilis Pers – Moratorium Hukuman Mati, Upaya Diplomasi Menyelamatkan Ratusan Pekerja Migran

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati, seorang pekerja migran Indonesia, oleh Saudi Arabia, tanggal 29 Oktober 2018 kemarin.

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Luar Negeri RI, eksekusi tersebut dilakukan oleh Saudi Arabia tanpa didahului dengan notifikasi oleh otoritas setempat kepada perwakilan Indonesia di Saudi Arabia. Eksekusi mati tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia sekaligus juga menciderai tata krama diplomasi internasional.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan yang tegas untuk merespon kejadian tersebut, dan mengevaluasi hubungan kerja sama bilateral Indonesia-Saudi Arabia, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja migran Indonesia di Saudi Arabia.

LBH Masyarakat kembali mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk secara resmi menerapkan moratorium hukuman mati di Indonesia. Hal ini penting guna memaksimalkan upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menyelamatkan ratusan tenaga kerja migran Indonesia yang masih berhadapan dengan hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

 

Jakarta, 30 Oktober 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – 10 Oktober, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia: Hentikan Stigma, Sayangi Jiwa

Hari ini, 10 Oktober, adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Sayangnya persoalan kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi isu marjinal. Diskursus tentang kesehatan jiwa seringnya diselimuti mitos, yang tak jarang menghasilkan stigma dan diskriminasi tak berkesudahan bagi orang dengan disabilitas psikososial (ODP).

Masyarakat masih sering menganggap orang dengan disabilitas psikososial sebagai individu yang tidak mampu berpikir rasional, sulit diajak bicara, dan membahayakan masyarakat atau kerap berbuat onar. Selain stigma, orang dengan disabilitas psikososial juga sering mengalami kekerasan. Temuan LBH Masyarakat tahun 2017 menunjukkan setidaknya terdapat 159 orang dengan disabilitas psikososial mengalami kekerasan. Bentuk kekerasannya pun beragam dan dampaknya begitu mengkhawatirkan dampaknya, antara lain pemerkosaan, pembunuhan, pengeroyokan yang menyebabkan kematian, penelantaran, pengamanan paksa, hingga pemasungan. Orang dengan disabilitas psikososial juga mendapat kekerasan dalam panti rehabilitasi yang seharusnya menjadi tempat mereka menjalani perawatan. Tercatat ada 17,6% korban yang mengalami kekerasan saat berada di panti sosial.

Meski pemerintah telah berkomitmen menciptakan Indonesia bebas pasung, nyatanya angka kekerasan berupa pasung masih menjadi yang tertinggi. Laporan LBH Masyarakat di 2017 juga menemukan bahwa terdapat korban pasung sebanyak 35,2%, di mana 6 kasus di antaranya merupakan kasus pemasungan anak-anak. Ada berbagai alasan keluarga melakukan pemasungan. Sebanyak 7,1% keluarga beralasan masalah finansial. Sementara 12,5% keluarga mengaku melakukan pasung untuk keselamatan korban, dan 62,5% untuk menjaga keselamatan orang lain. Alasan-alasan ini menunjukkan kurangnya informasi yang tepat dan masih abainya pemerintah terhadap permasalahan kesehatan jiwa.

Mengambil momentum 10 Oktober ini, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kesehatan jiwanya, mulai dari memperhatikan hak-hak orang dengan disabilitas psikososial. Dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, sudah seyogyanya pemerintah menjamin penuh perlindungan hak orang dengan disabilitas psikososial. Jika hak atas kebebasan fisik dan bebas dari kekerasan saja tidak dapat dilindungi oleh negara, bagaimana kita bisa memastikan orang dengan disabilitas psikososial memiliki hak atas politik, pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak, atau bahkan menjamin hak-hak mereka ketika berhadapan hukum.

 

Jakarta, 10 Oktober 2018

Astried Permata – Staf Komunikasi

Harapan Dewi Keadilan

Hukum memiliki sifat memaksa dan bertujuan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Hukum juga tidak pandang bulu dalam menjatuhkan vonis. Itulah kenapa hukum disimbolkan dengan Dewi Keadilan yang matanya tertutup. Namun, privilese yang tidak dimiliki banyak orang, sebut saja tingkat ekonomi dan pendidikan, membuat hukum lebih sering menjerat kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Dalam melawati prosesnya, kelompok marjinal akan sulit mendapatkan keadilan.

Mengingat sulitnya masyarakat yang buta hukum dan tertindas mendapatkan keadilan, peran Pemberi Bantuan Hukum (PBH/advokat) menjadi sangatlah vital, khususnya PBH pro-bono. Pasalnya, tarif yang dikenakan oleh PBH profit bisa mencapai sekitar 100 juta hingga miliaran rupiah per kasus.[1] Padahal, penghasilan masyarakat kecil hanya sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah. Tak heran apabila keberadaan PBH pro-bono sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Sayangnya jumlah PBH pro-bono masih sangat terbatas. Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Siti Ma\’zuma mengungkapkan, se­tiap tahun pihaknya menangani sekitar 400an kasus hukum. Sementara advokatnya hanya 5 orang.[2] Ini baru satu contoh saja. Untuk mengatasi hal tersebut, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) memberdayakan komunitas sebagai paralegal untuk membantu kerja-kerja advokasi mereka.

Belum ada satupun undang-undang yang mengatur definisi paralegal. Namun biasanya definisi paralegal adalah orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, tetapi mempunyai keterampilan hukum setelah menjalani pembekalan yang diberikan oleh organisasi hukum/hak asasi manusia. Peran paralegal dalam konteks hukum Indonesia dapat dilihat di Permenkumham No. 1 Tahun 2018, di mana Pasal 11 memperbolehkan paralegal untuk memberikan bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini dapat dilakukan setelah paralegal tersebut terdaftar pada PBH dan mendapatkan sertifikat pelatihan paralegal tingkat dasar.[3] Bantuan litigasi yang paralegal lakukan adalah menjadi pendamping advokat pada lingkup PBH yang sama. Secara non-litigasi, paralegal melakukan bantuan hukum berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara (baik secara elektronik maupun nonelektronik), penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan perancangan dokumen hukum. Bisa dibilang kerja paralegal selama ini adalah membantu menangani permasalahan hukum atas masalah struktural yang terjadi di masyarakat.Dalam kerja-kerjanya, paralegal berada di bawah bimbingan seorang pengacara atau orang berkemampuan hukum.[4]

Pembentukan paralegal diawali dengan pengorganisasian dengan metode pendekatan kasus struktural. Pendekatan isu-isu struktural yang digunakan yakni isu-isu yang sering ditemui di masyarakat miskin kota dan termarjinalkan atau yang dekat dengan lingkungan mereka. Mayoritas paralegal adalah mereka yang berasal dari komunitas/individu yang memang terkait isu tersebut. Setelah dipilih, kemudian paralegal dilatih dengan menggunakan metode pelatihan on sitetraining, yaitu pelatihan komunitas masyarakat atau menggunakan media yang telah terbentuk.[5]

Kerja paralegal tidak bisa dipandang sebelah mata. Paralegal paham dan mengerti keadaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu kasus yang didampingi oleh LBH Masyarakat merupakan rujukan dari paralegal. Adalah LM, seorang perempuan posistif HIV yang ditangkap polisi karena dugaan tindakan kriminal. Kasus hukum yang menjeratnya pun tidak lepas dari buruknya persepsi tentang isu HIV di masyarakat sehingga membebani pikiran LM. Hal ini yang sebaiknya juga masuk dalam pertimbangan aparat penegak hukum. Sebaliknya, karena tidak sensitif terhadap isu HIV dan gender, JPU menuntut LM 20 tahun penjara. Namun berkat advokasi yang dikerjakan paralegal dan tim LBH Masyarakat, LM mendapatkan vonis 3 tahun dari hakim, 17 tahun lebih kecil dari tuntutan JPU. Selama proses hukum berlangsung, paralegal dan tim LBH Masyarakat gigih membantu LM mendapatkan layanan kesehatan sehingga ia tetap bisa mengakses ARV. Dalam hal ini paralegal mempunyai peran yang krusial. Sebagai orang yang berasal dari komunitas yang sama, paralegal lebih mudah memberi masukan-masukan hukum kepada korban. Di sisi lain, korban juga lebih percaya masukan yang diberikan oleh paralegal. Peran paralegal juga strategis karena sering membantu pengacara untuk mendapatkan informasi-informasi yang ditutupi oleh klien.

Sayangnya, kerja paralegal harus terhambat dengan adanya putusan Mahkamah Agung (2018) yang mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh sejumlah advokat terkait peran paralegal sebagaimana diatur di dalam Permenkumham ini. Mahkamah Agung setuju dengan argumen penggugat bahwa paralegal tidak dapat memberikan pendampingan hukum kepada pihak berperkara di pengadilan (jalur litigasi). Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Muhammad Afif mengatakan, putusan Mahkamah Agung tersebut berpotensi menyebabkan kesulitan bagi masyarakat tertentu untuk mendapatkan pendampingan hukum.

Selama ini banyak masyarakat yang menggunakan jasa paralegal dalam pendampingan kasus hukum, tidak semua masyarakat mampu menggunakan jasa advokat, oleh sebab itu putusan MA ini sangat disayangkan”, ujar Afif.

LBH Masyarakat juga memandang bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan hukum kepada semua lapisan masyarakat. Keputusan tersebut mengabaikan realita bahwa kemampuan masyarakat dalam menggunakan jasa advokat tidak sama.[6]

Harus diakui paralegal telah memberikan kontribusi yang banyak dalam permasalah hukum. keberadaan paralegal justru jadi ‘angin segar’ di tengah absennya pemerintah menghadirkan keadilan bagi masyarakat.

Apakah putusan Mahkamah Agung tersebut adalah suatu hal yang dicita-citakan oleh Dewi Keadilan yang matanya tertutup itu?

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1]Pramidia Arhando, “Benarkah Bayaran Pengacara di Indonesia Miliaran Rupiah?”, Kompas, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/01/060000426/benarkah-bayaran-pengacara-di-indonesia-miliaran-rupiah.

[2]Ogi Mansyah, “Warga Miskin Bakal Sulit Mendapat Bantuan Hukum”, Rmol, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui http://www.rmolbengkulu.com/read/2018/07/13/9487/Warga-Miskin-Bakal-Sulit-Mendapat-Bantuan-Hukum-

[3]Permenkumham No. 1 Tahun 2018, Pasal 11

[4]Lalu Ramadhan, “Alasan MA Kabulkan Uji Materi Permenkumham tentang Paralegal”, Tirto, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://tirto.id/alasan-ma-kabulkan-uji-materi-permenkumham-tentang-paralegal-cPlE

[5]YLBHI, “Pemberdayaan Hukum Bagi Kaum Miskin”, Jakarta, 2007. Hal. 53

[6]Tribun Asia, “LBH Masyarakat: Putusan Mahkamah Agung Mengecewakan”, diakses pada 30 Agustsu 2018, melalui https://tribunasia.com/index.php/2018/07/14/lbh-masyarakat-putusan-mahkamah-agung-mengecewakan/

Rilis Pers – Menanti Keseriusan Negara Mengatasi Masalah Overdosis

LBH Masyarakat mengajak seluruh pihak untuk terus mendorong Pemerintah dan Parlemen untuk menciptakan kebijakan yang betul-betul mengatasi problem overdosis. Overdosis adalah situasi di mana konsumsi atas obat atu zat di atas dosis atau takaran yang semestinya. Hal ini dapat mengakibatkan kematian.

Hari ini, 31 Agustus, diperingati secara internasional sebagai International Overdose Awareness Day di mana kita mengenang mereka yang meninggal dunia akibat overdosis. Tentunya, tidak akan ada perubahan yang akan tercipta dengan sekedar mengenang, namun kenangan tersebut haruslah menjadi alasan yang cukup untuk perubahan kebijakan demi terciptanya situasi yang lebih baik.

Pemerintah Indonesia, melalui BNN dalam pimpinan Heru Winarko, terus mengampanyekan angka puluhan orang mati setiap tahunnya melalui berbagai kesempatan, misalnya acara-acara di televisi. Kampanye yang disaksikan banyak orang tersebut sesungguhnya dilandaskan pada penelitian yang sudah sering dikritisi oleh banyak akademisi, aktivis, dan peneliti baik di nasional maupun internasional karena metodenya yang bermasalah.

Andai pun angka-angka yang diproklamirkan Pemerintah itu benar adanya, sejauh apa sebenarnya Pemerintah sudah serius mengatasi problem overdosis?

Pemerintah tidak mengizinkan naloxone, yakni obat untuk mengatasi overdosis opioid untuk dapat digunakan rekan-rekan pekerja LSM di bidang pengurangan dampak buruk narkotika. Padahal obat tersebut sangat dibutuhkan agar rekan-rekan pemakai narkotika dapat menolong rekannya dengan cepat apabila muncul insiden overdosis.

Karena overdosis adalah problem kesehatan yang menyasar pada pemakai narkotika, maka sudah sepatutnya kita mengedepankan pendekatan kesehatan. Apa yang terjadi pada Fariz RM dan Richard Muljadi belakangan menunjukan hal yang berbeda. Ternyata yang dikedepankan untuk persoalan narkotika Indonesia masihlah instrumen hukum pidana. Bila seorang pemakai narkotika malah disodori penyidik, bukannya perawat atau konselor, bagaimana kita bisa berharap angka kematian akibat overdosis akan berkurang?

Meningkatnya eskalasi kekerasan akibat narasi war on drugs juga mengkhawatirkan. Riset LBH Masyarakat menunjukan bahwa sepanjang 2017, setidaknya ada 99 kematian karena tembak mati dalam penanganan kasus narkotika. Beberapa saat lalu di Aceh, ada seorang polisi yang meninggal dunia saat berhadapan dengan mafia peredaran gelap. Eskalasi kekerasan ini, selain berakibat fatal pada rekan-rekan penegak hukum, juga akan membuat intervensi kesehatan pada pemakai narkotika semakin sulit karena pemakai narkotika akan makin tersembunyi dari mata Pemerintah dan LSM.

Hal ini juga diperparah oleh hukum kita yang belum memberikan jaminan pada mereka yang memberikan pertolongan pada orang yang mengalami overdosis. Pasal 531 KUHP mengancam pidana seseorang yang tidak memberikan pertolongan pada orang yang terancam nyawanya namun di lain pihak Pasal 131 UU Narkotika mengancam pidana orang-orang yang mengetahui adanya tindak pidana narkotika namun tidak melapor pada penegak hukum. Untuk apa seseorang yang nyawanya terancam kita laporkan ke penegak hukum?

Oleh karena empat hal di atas, LBH Masyarakat melihat bahwa ada beberapa hal yang patut kembali diserukan pada hari ini untuk mengatasi problem overdosis di Indonesia hari ini:

  1. Mencabut aturan terkait pidana narkotika dari RKUHP karena pidana narkotika sangat berkaitan dengan intervensi dan urusan-urusan tentang kesehatan yang spesifik. Sifat RKUHP yang sangat umum tidak dapat memaktub hal tersebut;
  2. Merevisi UU Narkotika yang ada sekarang dengan mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan pemakaian narkotika dalam jumlah terbatas agar Pemerintah dapat lebih mudah berkomunikasi dengan komunitas dan memberikan intervensi pengetahuan dan kesehatan yang diperlukan; dan
  3. Memastikan adanya jaminan hukum di tingkat undang-undang bahwa mereka yang membantu menyelamatkan nyawa orang lain, yang tengah mengalami overdosis misalnya, tidaklah dapat dijerat pidana.

 

Jakarta, 31 Agustus 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Pengumuman Peserta Terpilih LIGHTS 2018

Kami mengucapkan selamat pada nama-nama di bawah ini karena sukses lulus seleksi untuk menjadi peserta LIGHTS 2018.

Jalur Non-beasiswa:

  1. Ahmad Baihaqi (Universitas Indonesia)
  2. Judith Chanutomo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
  3. Raina Raifika (Universitas Trisakti)
  4. Fadelia Deby Subandi (Universitas Indonesia)
  5. Renald Markus (Universitas Jenderal Soedirman)
  6. Maria Teresa Utami Prasetio (Universitas Gadjah Mada)

Jalur Beasiswa:

  1. Harry Wellsy Bakarbessy (Universitas Pattimura) (Ambon)
  2. Bunga Revina Palit (Universitas Sam Ratulangi) (Manado)
  3. Diki Rafiqi (Universitas Andalas) (Padang)
  4. Juwita Desry Anggraini (Universitas Malikussaleh) (Aceh)
  5. Lica Veronika (Universitas Bengkulu) (Bengkulu)
  6. Erick Jeremy Manihuruk (Universitas Sumatera Utara) (Medan)

Terima kasih untuk semua yang sudah mendaftarkan diri. Semoga semangat kawan-kawan sekalian untuk mempelajari hak asasi manusia terus membara.

Untuk peserta yang lulus, panitia (Ma\’ruf – 0812 8050 5706) akan segera menghubungi peserta dalam satu atau dua hari ke depan untuk mengonfirmasi keikutsertaan teman-teman yang lulus. Jika ada yang membatalkan atau tidak mengonfirmasi, maka panitia akan mengontak peserta lain. Oleh karena itu, teman-teman yang lulus diharapkan cepat merespon apabila dikontak panitia.

Dibutuhkan: Fundraising and Engagement Officer

LBH Masyarakat sedang membutuhkan seorang Fundraising and Engagement Officer. Posisi ini memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan dan menjalankan serangkaian aktivitas dan program kerja terkait dengan strategi penggalangan dana publik (fundraising) LBH Masyarakat, guna meningkatkan jumlah pendanaan organisasi.

Jika anda tertarik mengisi posisi ini, silahkan mengirim surat lamaran dan CV terbaru kamu ke rekrutmen@lbhmasyarakat.org dengan subyek email: Aplikasi FEO_nama kamu

Aplikasi ini ditutup pada hari Jumat, 10 Agustus 2018, 17:00 WIB.

Untuk informasi lebih detil, silakan klik di sini.

 

Untuk Anak?

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo berkali-kali melontarkan jargon perang terhadap narkotika untuk melindungi anak dari penyalahgunaan narkotika. Katanya, narkotika telah membunuh generasi muda. Oleh sebab itu, pelaku harus dihukum berat. Yang mungkin Bapak Jokowi tidak tahu adalah kebijakannya untuk memerangi narkotika telah memberikan dampak luar biasa terhadap anak, yaitu terhadap anak pengguna narkotika dan anak yang menunggu kepulangan ayah dan/atau ibunya dari penjara.

Resa (bukan nama sebenarnya), seorang anak yang harus berhadapan dengan hukum karena mengonsumsi ganja, tidak bisa menjalani proses diversi pada tahap penyidikan dan penuntutan. Resa disangkakan Pasal 111 Undang-Undang Narkotika yang memberikan ancaman 12 tahun penjara. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) melarang diversi dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun penjara. Resa harus ditahan di kantor polisi dan Rutan Pondok Bambu selama hampir dua bulan lamanya dan tidak bersekolah. Orang tuanya harus berbohong kepada pihak sekolah bahwa Resa sedang sakit, juga kepada teman-temannya. Tidak ada intervensi kesehatan ataupun psikososial terhadap dirinya.

Resa seharusnya tidak perlu menjalani penahanan dan menjalani proses persidangan yang panjang namun pembatasan dalam UU SPPA telah menghalangi Resa dan anak pengguna narkotika lainnya untuk menjalani proses diversi. Aturan PBB mengenai Perlindungan Anak yang Dirampas Kebebasannya menyebutkan bahwa penahanan harus dijadikan sebagai upaya terakhir serta mengedepankan alternatif pemidanaan untuk menghindari dampak buruk terhadap anak.

Malang juga merundung Eka (bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Ibu Eka sedang mendekam di penjara karena tindak pidana narkotika sedangkan ayah Eka harus bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehilangan kehadiran orang tua, Eka diperkosa oleh pamannya sendiri. Eka mendapatkan pendampingan dari P2TP2A DKI Jakarta dan saat ini sedang menempati sebuah panti di Jakarta, seorang diri.

EH, salah seorang perempuan pengguna narkotika yang sedang menjalani pidana di Lapas Perempuan Semarang, mengatakan anaknya pernah mengiriminya surat. Dalam surat itu, anaknya mengatakan agar EH cepat pulang karena ia iri dengan teman-temannya yang setiap hari ke sekolah diantar oleh ibunya. Anak EH bertanya dalam suratnya, “Kapan adek bisa dianterin?”. EH mengaku tidak membalas surat yang sudah tiga kali dikirimkan oleh anaknya itu karena ia terlalu sedih.

Pengalaman EH tersebut tercermin dalam penelitian yang LBH Masyarakat lakukan mengenai perempuan terpidana narkotika di Indonesia. Hasil penelitian kami menunjukkan setidaknya 82% perempuan yang dipenjara memiliki anak. Mereka umumnya adalah pemakai narkotika atau orang yang berjualan narkotika karena kemiskinan. Rata-rata pidana yang harus mereka jalani adalah pidana penjara selama 6-7 tahun. Dengan kata lain, negara telah memisahkan anak dengan ibunya, yang di dunia yang patriarkis ini diposisikan sebagai pengasuh utama anak. Pada konteks ini, muncul pentingnya pemberian rehabilitasi bagi pemakai narkotika ataupun pidana alternatif pada terpidana lain dengan menimbang situasi khusus yang mereka hadapi, termasuk di dalamnya: memiliki anak. Di sisi lain, negara juga tidak boleh melupakan anak yang memiliki orang tua yang dipenjara. Anak-anak ini kerap tidak mendapatkan pendampingan sosial, pemulihan, ataupun dukungan psikologis dari negara.

Ketiga kisah tersebut hanya puncak dari gunung es dampak kebijakan narkotika yang jarang kita dengar. Tanpa Pemerintah sadari, kebijakan perang terhadap narkotika telah berdampak amat buruk terhadap anak. Selama pendekatan pidana masih digunakan sebagai jalan utama dalam mengatasi persoalan narkotika, anak akan terus menjadi korban yang tak terdengar, tak terlihat, dan tak diketahui. Lalu kita bertanya: sebenarnya, perang terhadap narkotika ini untuk siapa?

 

Penulis: Arinta Dea Dini Singgi

Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero

Rilis Pers – Penjara Bukan Solusi untuk Tyo Pakusadewo dan Seluruh Pemakai Narkotika

Jakarta, 17 Juli 2018 – LBH Masyarakat menilai bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Irwan Susetyo alias Tyo Pakusadewo bin Setiono Hardjo terlampau tinggi dan berharap Majelis Hakim yang akan memutus perkara ini dapat melihat bahwa penjara bukan solusi bagi pemakai narkotika.

Dalam kasus narkotika yang menimpa aktor Tyo Pakusadewo, JPU mengajukan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda 1 miliar rupiah subsider 6 bulan. Bagi kami hal ini memperlihatkan sekali lagi kegagalan Pemerintah dalam memahami persoalan pemakai narkotika.

Kegagalan ini sebenarnya sudah dapat dibaca dari dakwaan JPU yang masih menggunakan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 112 yang mengatur tentang penguasaan narkotika bukan tanaman memang kerap digunakan untuk menjerat pemakai narkotika.

Dalam konteks pemakai narkotika bukan tanaman, umum terjadi bahwa seorang pemakai haruslah membeli dahulu, yang membuat kemudian ia menguasai narkotika tersebut, sebelum akhirnya narkotika itu dipakai. Oleh karena itu, nyawa rehabilitasi yang ada di dalam Pasal 127, yang sebetulnya juga bermuatan pidana, dihabisi ketika JPU masih juga menempatkan Pasal 112 di dakwaan.

Di sisi lain, kami juga menyesalkan rekomendasi RS Bhayangkara yang menyarankan agar Tyo Pakusadewo ditahan saja karena dalam penanganan tidak kooperatif. Pertama, itu bukan rekomendasi yang dapat diberikan institusi medis. Kedua, bukankah kita seharusnya juga ingat bahwa justru ancaman pemenjaraan ini membuat terdakwa tidak nyaman untuk melaksanakan perawatan?

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa perlu repot-repot mengangkat dan membahas kasus ini? Mengapa para akademisi dan organisasi HAM membuat Amicus Curiae untuk kasus ini? Jawabannya sederhana sekali: kasus ini terjadi berulang kali serta membuang waktu, anggaran, dan energi penegak hukum dan oleh karena itu kami akan selalu mencari ruang untuk menyerukan bahwa bagi pemakai narkotika: penjara bukan solusi.

Di rancangan perubahan UU Narkotika yang terbaru, yang eksistensinya terancam oleh ketentuan narkotika di dalam RKUHP, disebutkan bahwa untuk pemakaian pada diri sendiri maka penguasaan narkotika tidak dipidana. Kami harap di sini Majelis Hakim juga dapat merasakan adanya pergeseran persepsi dan pemahaman di masyarakat, yang tercermin dalam rancangan perubahan UU Narkotika, bahwa seorang pemakai narkotika tidak perlu dipenjara.

Salah satu argumen JPU tentang hal-hal yang memberatkan adalah bahwa terdakwa Tyo Pakusadewo tidak mendukung program pemerintah untuk persoalan narkotika. Justru dakwaan dan tuntutan JPU di sini yang mengancam kelangsungan program rehabilitasi yang dilaksanakan Pemerintah. Di sini Majelis Hakim dihadapkan pada pilihan, apakah ingin menunjukan wajah ketegasan tanpa efektivitas atau justru memberikan kesempatan bagi seorang manusia untuk memulihkan diri dan membangun hidupnya kembali?

 

Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat)

 

Rilis Pers ini telah disampaikan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat dalam konferensi pers mengenai Amicus Curiae untuk Tyo Pakusadewo dari LBH Masyarakat, PKNI, ICJR, Mappi FHUI, dan tiga pengajar STH Indonesia Jentera yakni Miko Ginting, Anugerah Rizki Akbari, dan Estu Dyah.

 

Program LIGHTS (Living The Human Rights) 2018

LIGHTS adalah program pengenalan HAM intensif bagi mahasiswa/I fakultas hukum atau non-hukum yang sudah diadakan sejak tahun 2008. Dalam program ini, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjugi lembaga-lembaga negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga memiliki perhatian pada pemenuhan HAM. LIGHTS 2018 akan diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 6 hingga 17 Agustus 2018.

Untuk kedua kalinya, tersedia kesempatan bagi calon peserta yang berkuliah dan berdomisili dari luar pulau Jawa untuk mendapatkan beasiswa secara penuh, yang meliputi;

– Tiket Pesawat (PP),

– Akomodasi, serta

– Uang saku

Untuk persyaratan calon peserta LIGHTS 2018 antara lain:

  1. Mahasiswa aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri.
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua Fakultas,
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang dapat diunduh di website LBH Masyarakat
  4. Menyerahkan CV
  5. Menyerahkan esai tentang “Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia dalam era populisme dan pasca kebenaran?” Esai ditulis dengan ketentuan 650-800 kata dan ketentuan lain yang terdapat di form pendaftaran.
  6. Bagi pelamar beasiswa, menyerahkan esai tentang, “Bagaimana partisipasi dalam LIGHTS 2018 dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar Anda?” Esai ditulis dengan ketentuan 300-500 kata dan ketentuan lain yang juga terdapat di form pendaftaran.

 

Unduh formulir pendaftaran dengan klik tautan ini.

Kirim formulir dan persyaratan ke mbajammal@lbhmasyarakat.org

 

Pendaftaran dibuka hingga 20 Juli 2018 

Narahubung: Ma’ruf (0812 8050 5706)

 

Rilis Pers – Suara yang Terlupakan Setiap 26 Juni

LBH Masyarakat menyerukan agar 26 Juni 2018 ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk merenungkan kembali kebijakan perang terhadap narkotika yang dikobarkan beberapa tahun terakhir ini. Perang yang terbukti mengorbankan berbagai aspek hak asasi manusia serta masa depan anak bangsa sendiri.

26 Juni kerap diperingati di Indonesia sebagai Hari Anti Narkotika Internasional (HANI). Padahal 26 Juni sesungguhnya diputuskan oleh Sidang Umum PBB pada Desember 1987 sebagai “International Day against Drug Abuse and Illicit Trafficking” yang dalam Bahasa Indonesia dapat disebut sebagai “Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat.”

Penyederhanaan terminologi menjadi semata ‘anti-narkotika’ saja tentunya membawa implikasi dalam konteks narasi di tengah publik. Publik tidak diedukasi untuk bagaimana mengentaskan problem kesehatan yang timbul akibat pemakai narkotika namun justru diajak untuk mengenyahkan teman-teman pemakai narkotika, yang adalah bagian dari masyarakat. Publik tidak diajak untuk mencari solusi efektif mengatasi peredaran gelap narkotika namun justru didorong untuk menyalurkan dendam dengan mengelu-elukan eksekusi mati.

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mengecam keberadaan lebih dari 30.000 pemakai narkotika yang mendekam di dalam penjara, setidaknya sampai Mei lalu. Angka tersebut bisa jauh lebih besar lagi karena kacaunya regulasi pidana dalam persoalan narkotika, hal yang hanya akan bertambah kacau bila RKUHP jadi disahkan.

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempertanyakan sudah sejauh mana fasilitas kesehatan diberikan negara pada pemakai narkotika dan sudah seefektif apa program-program pemulihan narkotika. Apakah hal-hal tersebut sudah menjadi prioritas? Jika Pemerintah mengklaim bahwa programnya efektif, mengapa angka pemakai narkotika terus meningkat setiap tahunnya?

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempersoalkan Pemerintah Indonesia yang, di bawah masa Presiden Joko Widodo, mengeksekusi mati 18 orang dan menembak mati 99 orang di luar proses hukum atas nama perang terhadap narkotika. Setiap satu gelombang eksekusi mati, selalu diikuti adanya pemberitaan tentang BNN atau Polri menghadang masuknya narkotika ilegal. Bukankah hal ini menunjukkan peluru tidak menyelesaikan masalah?

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempertanyakan apakah Indonesia benar-benar serius memperjuangkan perdamaian dunia seperti ditulis dalam Konstitusi. Tahun ini Indonesia ditetapkan kembali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Posisi ini diharapkan oleh banyak pihak agar Indonesia dapat mendorong terciptanya perdamaian di berbagai belahan dunia, seperti di Myanmar dan Palestina. Namun, apa yang bisa kita harapkan dari negara yang tega memenjarakan warga negaranya hanya karena menguasai selinting ganja? Apa yang kita bisa harapkan dari negara yang membunuh manusia hanya untuk menunjukkan usaha mereka mengatasi masalah narkotika? Perdamaian dunia seperti apa yang yang ingin diciptakan negara yang Presidennya tanpa ragu memproklamirkan perang terhadap narkotika tanpa mengindahkan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Hari ini semestinya kita pakai untuk mendorong perubahan kebijakan narkotika, terutama dalam persoalan pidana, ke arah yang berbasis bukti – bukannya emosi. 26 Juni 2018 ini sepatutnya kita manfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan Presiden Joko Widodo dalam persoalan narkotika yang, sayangnya, jauh dari istimewa dan justru bangga atas metode-metode yang tak efektif dan tak manusiawi. Sepertinya Presiden Joko Widodo mesti menyadari bahwa yang ada yang lebih genting dari situasi narkotika Indonesia, yakni strategi Beliau.

 

Jakarta, 26 Juni 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat