Skip to content

Sidang Jaman Now: Tidak Ada yang Gratis!

Hak semestinya bukan sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Namun saat Agil – bukan nama sebenarnya – harus berurusan dengan penegak hukum karena penguasaan narkotika jenis sabu, ia harus merelakan hak-haknya karena pemenuhan hak di negeri ini ternyata harus disertai dengan upeti.

Sebelum semua ini terjadi, Agil, 23 tahun, bekerja untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karirnya yang masih panjang hilang begitu saja oleh kebijakan narkotika Indonesia yang mengedepankan hukum pidana daripada upaya kesehatan.

Pada Mei 2017, Joni – juga bukan nama sebenarnya, teman Agil, mengirimkan sebuah pesan untuk menawarkan sabu seharga 200.000 rupiah. Agil bilang pada Joni bahwa ia tak bisa membelinya karena ia belum memiliki uang. Joni kemudian berkata bahwa pembayaran bisa dilakukan besok atau lusa. Agil tertarik dan menyepakati tawaran tersebut.

Joni mengantar sendiri sabu yang dijanjikan ke kamar kost Agil di daerah Jakarta Selatan. Setelah menyerahkan sabu tersebut, Joni langsung pergi. Sabu tersebut Agil letakkan di saku celananya. Celana tersebut kemudian ia gantung di belakang pintu kamarnya. Setelah itu, Agil bersantai sejenak dengan menonton televisi.

Tak lama kemudian, Agil mendengar pintu kamarnya diketuk. Agil pikir Joni kembali lagi ke kamarnya. Saat pintu dibuka, dua orang bertubuh kekar langsung merangsek masuk. Tidak menggunakan seragam, dua orang ini mengaku sebagai anggota kepolisian dari Sat Narkoba Polsek Pasar Minggu. Agil langsung didorong ke dinding kamarnya dan orang yang mengaku sebagai penyidik itu langsung menggeledah isi kamar Agil. Sabu yang baru saja diantar Joni pun ditemukan. Hal ini membuat Agil dibawa ke Polsek Pasar Minggu untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sikap penyidik amat disesalkan karena terbilang sewenang-wenang dalam upaya penangkapan dan penggeledahan ini. Penyidik luput menyertakan surat perintah penangkapan dan surat perintah izin penggeledahan dalam pelaksanaan upaya paksanya ini.

Setelah tiba di Polsek Pasar Minggu, Agil diinterogasi dan ia mengakui bahwa sabu itu miliknya. Ia juga menceritakan bahwa sabu tersebut didapat dari Joni, temannya, dan bahwa sabu tersebut akan ia gunakan sendiri. Tidak memperdulikan keterangan Agil tersebut, penyidik menetapkan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pasal yang akan dikenakan pada Agil karena ia terindikasi sebagai seseorang yang “…tanpa hak atau melawan hukum memilki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman”. Pasal ini mengancam setiap orang yang melanggar dengan 4-12 tahun penjara ditambah denda 800 juta sampai 8 milyar rupiah.

Sebenarnya ada pasal yang lebih tepat bagi Agil dalam UU Narkotika yakni Pasal 127 yang menyatakan bahwa setiap penyalaguna narkotika golongan 1, termasuk sabu, dipidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal ini dikenal sulit didapatkan oleh pengguna narkotika di ranah praktik proses peradilan pidana karena regulasi dari UU Narkotika yang amburadul serta keengganan penegak hukum menerapkannya.

Keluarga Agil baru mendapat surat penangkapan serta surat penahanan dari Polsek Pasar Minggu 3 hari setelah penangkapan. Keluarga Agil pun menjenguk dan menanyakan perkembangan status penahanan Agil pada kepolisian. Keluarga juga menanyakan apakah Agil terbukti positif atau tidak menggunakan sabu – sebuah keterangan yang penting untuk melihat Agil sebagai seorang sebagai pengguna atau bukan. Sayangnya, penyidik menganggap tidak perlu dilakukan tes urin terhadap Agil – yang pada saat proses penangkapan, tidak sedang menggunakan sabu. Ini menunjukan masih masifnya perspektif punitif di kalangan penegak hukum kepada pengguna narkotika dan seharusnya menjadi satu alasan pentingnya untuk segera merevisi UU Narkotika ke arah yang lebih memahami situasi pengguna narkotika: tidak akan ada penggunaan narkotika tanpa pembelian dan penguasaan terlebih dahulu.

Sesungguhnya, betapa berantakannya UU Narkotika ini – terutama dalam aspek hukum pidana – juga disadari oleh berbagai institusi yang mengimplementasikannya. Pada 2014, 7 institusi (Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Narkotika Nasional, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama untuk mencoba mereduksi masalah ini. Peraturan tersebut mengatur mengenai sebuah sistem yang disebut dengan Tim Asesmen Terpadu (TAT). Tim tersebut terdiri dari orang berlatar belakang hukum dan medis untuk memeriksa apakah seseorang yang tersangkut kasus narkotika, seperti Agil, patut diberikan rehabilitasi atau tidak. Seorang tersangka hanya dapat diasesmen oleh TAT apabila ada rekomendasi dari dari penyidik kepolisian kepada Badan Narkotika Nasional.

Setelah keluarga mengetahui informasi tersebut, keluarga pun menanyakan hal ini kepada penyidik dan jawabannya sangat di luar dugaan: penyidik meminta uang sebesar 20 juta rupiah kepada keluarga Agil agar proses TAT dapat diselenggarakan. Padahal sudah jelas tertulis dalam Pasal 14 ayat 4 Peraturan Bersama 7 institusi tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi bahwa “Biaya pelaksanaan asesmen yang di lakukan oleh Team Asesmen Terpadu dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional.” Angka setinggi 20 juta rupiah sungguh terlampau tinggi buat keluarga Agil sehingga keluarga pun merelakan Agil untuk tidak diasesmen. Lebih dari itu, membayar penegak hukum untuk memperoleh hak sesungguhnya hanya akan melanggengkan praktik korupsi yang seharusnya dilenyapkan dari negeri ini.

Pada Juli 2017, Agil menjalani sidang perdananya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agil didakwa Penuntut Umum dengan pasal tunggal yakni Pasal 112 ayat 1 UU Narkotika. Perlu dicatat bahwa pada sidang perdana itu Majelis Hakim luput menanyakan mengenai pendampingan penasihat hukum pada Agil – suatu hal yang esensial bagi seorang terdakwa.

Selang seminggu, persidangan dilanjutkan dengan agenda keterangan saksi. Penuntut Umum menghadirkan saksi dari penyidik yang menerangkan mengenai kronologis penangkapan. Agil, yang tidak didampingi penasihat hukum, mengiyakan semua keterangan saksi. Tanpa memberikan kesempatan pada Agil selaku terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan bagi dirinya, Majelis Hakim pada hari itu langsung melanjutkan persidangan dengan agenda keterangan terdakwa. Pada saat memberikan keterangan, Agil mengakui bahwa sabu tersebut ia gunakan untuk dirinya sendiri sebagai penambah stamina saat bekerja dan ia merasa telah dijebak oleh Joni.

Persidangan dilanjutkan seminggu kemudian dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum meminta kepada Majelis Hakim agar Agil dihukum pidana penjara sebesar 4 tahun 6 bulan. Majelis Hakim kemudian, kali ini tidak lupa, menanyakan pada Agil mengenai pembelaan. Agil menjawab bahwa ia ingin melakukan pembelaan secara tertulis. Majelis Hakim kemudian memberikan waktu seminggu bagi Agil untuk menyusun pembelaannya.

Pada pembelaan yang ia bacakan sendiri, Agil menceritakan berbagai pengingkaran hak dari awal penangkapan hingga saat itu. Ia juga menyampaikan bahwa tuntutan 4 tahun 6 bulan sungguh terlampau besar bagi seseorang yang dijebak sepertinya – hal ini adalah sebuah penderitaan luar biasa baginya dan keluarga. Ia berharap kepada Majelis Hakim untuk menolak tuntutan Penuntut Umum. Pun jika ia dinyatakan terbukti bersalah dan harus dihukum dengan penjara, Agil memohon agar ia dihukum selayaknya sebagai pengguna yakni dengan pidana penjara di bawah angka 4 tahun.

Setelah mendengar pembelaan Agil tersebut, Majelis Hakim menanyakan kepada Penuntut Umum mengenai keberadaan hasil asesmen terdakwa. “Tidak ada, Yang Mulia”, jawab Penuntut Umum. Ketua Majelis Hakim kemudian menanyakan langsung kepada Agil, “Apakah kamu diasesmen?” Agil kemudian dengan jujur menjawab, “Tidak, Yang Mulia. Hal ini dikarenakan pada saat keluarga saya mengajukan asesmen, penyidik justru meminta uang sebesar 20 juta rupiah.” Respon Ketua Majelis Hakim saat itu sungguh luar biasa, “Kenapa kamu tidak membayar? Jaman sekarang ini, segala sesuatu harus menggunakan uang.” Terkejut, Agil berkata, “Saya tidak mampu untuk memenuhi permintaan penyidik tersebut, Yang Mulia.”

Ketua Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa Agil tidak bisa direhabilitasi kalau tidak ada rekomendasi atau hasil asesmen dari BNN. Sidang kemudian dilanjutkan seminggu kemudian dengan agenda pembacaan putusan. Majelis Hakim memutuskan pidana penjara 4 tahun 3 bulan bagi Agil. Hasil ini sungguh mengecewakan bagi Agil mengingat berbagai haknya yang terlanggar dalam proses ini.

Sudah ada berbagai upaya, baik dari masyarakat maupun negara, untuk mengubah UU Narkotika atau, setidaknya, memperbaiki implementasinya. Namun mengingat segala ketidaksempurnaan dari UU  Narkotika kita hari ini, proses persidangan memiliki peran yang amat penting sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan dan mengungkap kebenaran. Semua harap itu pun sirna ketika, pada kasus Agil setidaknya, Majelis Hakim yang memiliki kedudukan tertinggi di persidangan melakukan hal yang berlawanan dengan mengaminkan praktik korupsi yang terjadi. Regulasi narkotika yang buruk dan penegak hukum yang korup: kombinasi sempurna yang telah merenggut Agil dan puluhan ribu anak-anak bangsa dari keluarga mereka. Bukankah ini saatnya berubah?

Penulis: Ari Susanto

Editor: Yohan Misero

Laporan Pelanggaran HAM – Ancaman Bagi Kesehatan Populasi Kunci HIV dan TB

Virus HIV dan TB rentan menjangkit kelompok-kelompok yang termarjinalkan di masyarakat, seperti pengguna narkotika, waria, laki-laki gay, pekerja seks, tahanan, dan orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi. Karenanya, tidak jarang mereka mendapatkan stigma berganda yang kerap kali menghalangi upaya mereka untuk hidup sehat dan bermanfaat.

Penelitian ini melakukan dokumentasi terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami oleh para populasi kunci HIV dan TB di 14 distrik di Indonesia selama periode waktu 2016-2017. Penelitian ini menemukan 387 kasus pelanggaran HAM dan perlakuan buruk yang semuanya memberikan kerugian materil bagi mereka dan menambah risiko mereka semakin sulit mengakses layanan kesehatan.

Populasi kunci paling sering mengalami pelanggaran HAM di lingkungan kesehatan. Pelanggaran ini terjadi karena negara tidak bisa memenuhi aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas dari layanan kesehatan. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mereka terima contohnya seperti tidak tersedianya tenaga kesehatan, tidak tersedianya obat, penolakan ketika mendapatkan pelayanan tertentu, dan ketidakramahan petugas kesehatan ketika mereka mengakses layanan. Selain itu terdapat juga tindakan pemaksaan perlakuan medis yang melanggar aspek kebebasan pasien.

Karena ketakutan mendapatkan stigma dan diskriminasi, para populasi kunci seringkali menyembunyikan status mereka sebagai ODHA, pengidap TB, pekerja seks, pengguna narkotka, ataupun homoseksual. Sayangnya, privasi ini masih sering dibocorkan oleh aktor-aktor negara yang seharusnya menyimpan rahasia mereka, seperti tenaga kesehatan atau penegak hukum. Tidak sedikit korban pembocoran status yang mengalami diskriminasi lanjutan di tempat kerja atau lingkungan ketetanggaan.

Beberapa anggota populasi kunci seperti pengguna narkotika dan pekerja seks seringkali harus berhadapan dengan penegak hukum. Pada saat berhadapan inilah, mereka kerap kali mendapatkan penyiksaan. Para populasi kunci seperti LSL dan pekerja seks yang sering menjadi korban tindak pidana pun seringkali mendapatkan pembatasan ketika mengakses peradilan pidana.

Pihak penyedia jasa pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan yang dikelola oleh negara turut melakukan pelanggaran HAM terhadap populasi kunci. Mereka dianggap sakit-sakitan, berdosa, atau menjadi ancaman bagi orang lain sehingga ditolak dan didiskriminasi ketika hendak belajar atau bekerja.

Populasi kunci juga menghadapi kendala dalam mengakses hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal. Beberapa pengidap HIV dan TB menghadapi pengusiran yang difasilitasi oleh kepala wilayah tempatnya bermukim.

Selain menghadapi ancaman dari negara, anggota populasi kunci juga tetap mendapatkan kecaman dari masyarakat sipil. Mereka menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan di lingkungan ketetanggaan dan lingkungan privat. Negara seharusnya bisa hadir di sana untuk menjaga agar tindakan-tindakan semacam ini tidak terjadi.

Dokumentasi yang ada di hadapan Anda ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan betapa pelanggaran HAM sanggup untuk menghalangi upaya pemulihan kesehatan populasi kunci. Pelanggaran HAM harus secara cepat dan menyeluruh ditanggulangi oleh negara sehingga korban mendapatkan keadilan dan pelanggaran berikutnya bisa dicegah.

Infografis oleh: Astried Permata

Anda dapat mengunduh laporan ini dengan klik link berikut.

Malam-Malam Sulis: Sex, Drugs, and Court & Rule

Sex.

Andai sang ayah tidak meninggalkan ibunya demi perempuan lain, mungkin masa remaja Sulis (bukan nama sebenarnya) tidak berakhir di penjara. Ekonomi keluarga yang terguncang setelahnya memaksa sang ibu untuk menjadi tukang cuci pakaian bagi para tetangga meski hanya dibayar Rp 5.000 – Rp 10.000 sehari. Melihat ibu pulang dengan baju yang basah akibat keringat dan air cucian, Sulis merasa dirinya harus membantu mencari nafkah.

Sulis mengundurkan diri dari bangku sekolah tahun 2008. Tidak lagi belajar dari guru di kelas, tidak lagi ada kepala sekolah yang menanyakan biaya sekolah, tidak lagi bertemu teman-teman di kantin. Untuk meringankan beban ibunya, Sulis rela menggadaikan pendidikannya. Meski baru 10 tahun usianya, Sulis pergi mengamen jauh dari rumahnya. Sulis sering kucing-kucingan dengan Pamong Praja agar tidak ditangkap saat mengamen. Ia pun kerap dipalak oleh preman di areanya mengamen. Anak sekecil itu dipaksa menyadari bahwa pulang tanpa uang ternyata jauh lebih berat dibanding PR matematika.

Dua bulan mengamen, Sulis bertemu seorang perempuan bernama Indah (yang juga bukan nama sebenarnya). Indah tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari gubuk tempat Sulis dan keluarga tinggal. Pada suatu siang, Indah memanggil Sulis untuk datang ke kontrakannya. Indah bilang pada Sulis bahwa ada pekerjaan untuknya – hal yang langsung disambut Sulis dengan gembira. Indah kemudian menanyakan tentang kehidupan yang Sulis jalani sekarang. Indah menyatakan keibaannya atas hidup yang sedang Sulis jalani dan berkata bahwa ia juga pernah ada di posisi itu. Pada Sulis, Indah menjelaskan bahwa pekerjaan Sulis sekarang tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi ia dan ibunya. Saat Sulis berkata bahwa dalam satu hari ia hanya membawa pulang Rp 20.000, Indah tertawa.

“Kamu bisa membawa uang Rp 100.000 – Rp 200.000 sehari tanpa berpanas-panasan seperti apa yang kamu lakukan sekarang,” ucap Indah pada Sulis. Terkejut mendengar kemungkinan itu, Sulis langsung menanyakan pekerjaan apa yang dimaksud. Indah tidak menjelaskan secara lengkap. Indah hanya menggambarkan bahwa inti pekerjaan ini ialah menemani seorang di sebuah ruangan pada malam hari. Sulis yang masih anak-anak tidak dapat membaca yang tersirat di balik ucapan tersebut. Indah segera menanyakan pada Sulis apakah ia mau mengambil pekerjaan tersebut atau tidak – pertanyaan yang diiyakan Sulis karena kepolosannya dan tekanan ekonomi yang ia hadapi. Sulis bahkan bersedia untuk membohongi ibunya dengan mengatakan bahwa ia akan mulai bekerja sebagai penjaga toko di malam hari.

Keesokan malamnya, mereka pergi ke daerah Tamansari, Jakarta Barat. Indah mengajak Sulis masuk ke dalam sebuah ruko sambil berkata, “Di sinilah kantormu sekarang, keren kan?” Sulis terdiam dan membatin “Wah, siapa yang menyangka kalau saya bisa bekerja di sebuah kantor yang besar dan megah.” Tak lama kemudian, Indah mengajak Sulis berkeliling ruko dan mengenalkannya pada pekerja lainnya, yang semuanya perempuan.

“Mami!” terdengar teriakan pekerja yang ditujukan kepada Indah, Sulis bingung dan bertanya-tanya siapa Indah sebetulnya. Setelah Sulis diajak berkeliling untuk dikenalkan, Indah langsung memerintahkan Sulis mengenakan pakaian kerja, di mana pakaian tersebut sama dengan pakaian perempuan-perempuan yang ia lihat barusan.

Hanya menurut dan diam, Sulis mengenakan pakaian tersebut. Sulis tak pernah mengenakan pakaian semacam itu sebelumnya sehingga ia sedikit risih mengenakannya. Tapi apa daya, itu adalah pakaian wajib setiap pekerja di situ. Tak lupa, Indah mengajari Sulis cara bersolek agar terlihat lebih menawan. Selang 1 jam, ada seorang tamu, pria berumur sekitar 40 tahun, yang tertarik dengan Sulis. Sang tamu dan Sulis diantar Indah ke sebuah ruangan khusus. Tak pernah Sulis bayangkan, bahwa ia harus melayani hasrat seksual sang tamu. Sulis, yang takut setengah mati, tak melawan dan mengikuti kemauan sang tamu 60 menit lamanya. Setelahnya, Sulis, yang masih dalam syok luar biasa, langsung menemui Indah untuk menanyakan apa sebetulnya pekerjaan yang harus dilakukannya ini. Indah hanya tertawa dan mengatakan, “Apa yang kamu kerjakan barusan, itulah pekerjaan kamu.” Sulis, dengan segala situasi sosial ekonominya tadi, tak kuasa menolak. Ia merasa sudah bersepakat dengan Indah dan takut risiko yang muncul apabila ia berhenti begitu saja.

Sekitar pukul satu dini hari, para pekerja yang telah bekerja dan mendapatkan tamu dikumpulkan oleh Indah di sebuah ruangan dan masing-masing diberi Rp 150.000. Ditambah Rp 50.000 dari tamu tadi, maka di hari pertama ini Sulis membawa pulang Rp 200.000. Dalam perjalanan pulang, Indah bertanya pada Sulis tentang penghasilan malam ini. Indah ingin Sulis berpikir bahwa pekerjaan ini jauh lebih menguntungkan dibanding mengamen. “Bayangin, kamu bisa dapat Rp 200.000 dalam sehari, bagaimana kalau kamu kerja selama 1 bulan? Ibumu pasti senang karena kamu bawa uang banyak,” kata Indah meyakinkan.

Kira-kira pada dua dini hari, Sulis sampai di rumah dan ibunya sudah tidur lebih dulu. Paginya, Sulis langsung menyerahkan penghasilannya semalam pada ibunya. Kaget akan uang sebanyak itu, ibunya bertanya dari mana uang tersebut. Sesuai pembicaraan dengan Indah sebelumnya, Sulis menjawab bahwa itulah upahnya menjaga toko di malam hari. Dengan bimbang, ibunya mengambil uang tersebut yang langsung dibelikan stok makanan untuk 2 hari dan membayar hutangnya pada tetangga.

Malamnya, Sulis kembali bekerja. Kali ini, ia berangkat sendiri tanpa Indah. Sulis langsung naik ke lantai dua, mengganti pakaiannya, berdandan, dan duduk menunggu tamu. Hari ini nasib baik berpihak pada Sulis, ada tiga tamu yang Sulis temani dan setiap tamu memberikan tip untuknya. Sulis membawa pulang lebih dari Rp 200.000 yang semuanya diberikan pada ibunya untuk keperluan sehari-hari.

Hampir 8 tahun lamanya Sulis telah menjadi seorang pekerja seks. Sudah berbagai tamu ia temui: pemilik toko, supir, anak muda, tua renta, macam-macam! Sesungguhnya, perasaan Sulis campur aduk ketika melakukan pekerjaan ini: takut, sedih, malu – namun, di sisi lain, harus dilakukan demi kelangsungan hidup keluarganya.

Sulis sering bertanya-tanya: mengapa orangtuanya tidak memiliki banyak uang dan hubungan yang harmonis? Mungkin bila ia memiliki keduanya, ia akan melakukan pekerjaan lain. Namun realita punya jalannya sendiri. Pernah bersekolah sampai kelas 2 SD pun sudah menjadi kebanggan bagi Sulis untuk dapat diceritakan ke anak cucu kelak. Setidaknya, Sulis pernah menggenakan seragam putih merah, berangkat pagi-pagi, membawa bekal, mengikuti upacara bendera, dan belajar di kelas bersama teman-teman. Satu hal yang paling membuatnya sedih ialah bahwa ia harus terus membohongi ibunya. Rp 200.000 setiap pagi ternyata tidak membuat ibunya tersenyum. Subuh jadi saksi air mata Sulis yang benci berbohong. Mungkin sampai detik ini, ibunya masih percaya bahwa Sulis adalah seorang penjaga toko.

Drugs.

Hubungan pekerjaan antara Indah dan Sulis tak selalu berjalan mulus. Sulis dan Indah sering bertengkar perkara selisih uang yang tidak seberapa. Pada September 2016, semuanya bertambah buruk.

Seorang tamu menyuruh Indah untuk membeli sabu. Indah kemudian memaksa Sulis untuk mencari dan mendapatkan narkotika tersebut. Sesungguhnya, Sulis takut menuruti suruhan Indah kali ini. Selain itu, Sulis tidak tahu cara memperolehnya.

Malam itu sangatlah sial bagi Sulis, belum ada seorang tamu pun untuknya. Sulis membayangkan ibunya tersenyum menutupi kekecewaan karena Sulis pulang tidak membawa uang. Akhirnya Sulis mau melakukan apa yang diperintah Indah, dengan perjanjian bahwa Indah akan memberikan tamu kepada Sulis.

Sulis bertemu dengan seorang pria yang mau membantunya mencari. Pria tersebut bernama Dika (lagi-lagi, bukan nama sebenarnya), seorang tukang ojek di daerah Mangga Besar, Jakarta Barat, yang penghasilannya tidak lebih baik dari Sulis. Sulis baru sekitar 2 bulan mengenal Dika. Sulis sering meminta agar Dika menjemput dan mengantar Sulis berangkat dan pulang kerja.

Dika sudah menyarankan untuk tidak menuruti kata Indah. Namun pada Dika, Sulis memberikan dua kata yang membuat Dika berhenti mendebatnya, “Demi uang.” Dika kemudian pergi mencari dan berhasil mendapatkan sabu seharga Rp 450.000.

Saat Sulis menyerahkan sabu pada Indah, Indah malah mengajak Sulis menaiki bajaj ke tujuan yang tidak diketahui oleh Sulis. Sulis sempat menanyakan pada Indah untuk apa dirinya ikut. Alasan Indah saat itu adalah transaksi di dalam perjalanan menggunakan bajaj sangat aman. Perasaan Sulis sedikit tenang setelah mendengar alasan itu. Di dalam bajaj, Indah langsung meminta sabu tersebut dan langsung diberikan oleh Sulis. Indah lalu memasukkan sabu tersebut ke dalam sebuah bungkus rokok.

Indah kemudian menyuruh supir bajaj untuk berhenti di depan Dunkin Donuts dekat dengan Stasiun Mangga Besar. Indah bilang pada Sulis bahwa ia mau membeli donat untuk suaminya. Indah meminta Sulis untuk tetap di dalam bajaj, karena Indah meninggalkan tasnya di dalam bajaj. “Repot,” kata Indah. Indah bilang bahwa ia hanya akan membeli beberapa donat dan dalam 5 menit akan kembali.

Tak lama setelah Indah turun, 3 anggota kepolisian dari Polsek Metro Tamansari menyergap Sulis di dalam bajaj. Salah satu polisi langsung menemukan bungkus rokok berisi sabu di bawah tas yang ditinggalkan oleh Indah. Sulis mencoba menjelaskan bahwa tas dan bungkus rokok yang berisi sabu tersebut adalah milik Indah dan bahwa dirinya dimintakan tolong oleh Indah untuk mencarikan sabu tersebut. Bukannya mencari siapa dan di mana Indah, polisi malah menanyakan darimana sabu tersebut Sulis peroleh. Dengan kooperatif, Sulis menjawab bahwa ada seorang pria bernama Dika yang membantu Sulis untuk mendapatkannya. Petugas kepolisian langsung meminta Sulis ikut dan menunjukan di mana posisi Dika berada.

Dengan bantuan Sulis, polisi dengan mudah menemukan Dika yang sedang menunggu penumpang. Sulis bingung harus mengatakan apa kepada Dika karena ia pun dijebak oleh Indah. Sulis dan Dika pun dibawa ke Polsek Metro Tamansari untuk diproses lebih lanjut. Berulang-ulang Sulis menjelaskan tentang Indah kepada polisi namun tetap diabaikan. Tak lama kemudian, Sulis dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu untuk menjalani penahanan dengan mengantongi Pasal 114 ayat (1) subsidair Pasal 112 ayat (1) juncto Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai sangkaan atas perbuatannya.

Court & Rule.

Memakai kemeja putih kusut dengan rompi bewarna merah, Sulis bersiap menduduki panasnya bangku terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Duduk di depan tiga mejelis hakim bukanlah sebuah keinginan, namun harus dilakukan lantaran perbuatannya. Proses persidangan yang harus Sulis jalani juga tidak mudah.

Sulis sebenarnya lahir tahun 1998 sehingga saat penangkapan terjadi usia Sulis masih berusia 17 tahun. Namun karena pada akhir 2016 Sulis berencana untuk menikah, Sulis dan keluarga mengganti tahun kelahiran Sulis di berbagai dokumen menjadi 1996. Hal yang Sulis bayangkan akan menguntungkannya, ternyata membuatnya kehilangan akses terhadap proses peradilan anak.

Sulis menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa saat peristiwa penangkapan terjadi ia masih seorang anak 17 tahun. Sulis meminta kepada Majelis Hakim agar dirinya disidangkan dengan proses persidangan anak. Namun, Majelis Hakim menolak argumen yang Sulis sampaikan dalam eksepsi karena tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.

Beberapa kali Sulis dijemput dari Pondok Bambu lalu masuk ruang tahanan di pengadilan, namun tidak dipanggil sidang sampai sore sebelum dikembalikan ke rutan. Berulang-ulang Sulis mengalami penundaan sidang tanpa alasan yang jelas.

Sampai pada 12 Januari 2017 kemarin, Sulis harus menerima pahitnya penerapan hukum acara di Indonesia. Tiga hari sebelumnya, Sulis diberitahu oleh Majelis Hakim bahwa agenda sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Setelah Jaksa membacakan surat tuntutan kepada Sulis di hari itu, seharusnya yang menjadi agenda selanjutnya adalah penyampaian pembelaan dari Sulis. Namun entah di mana Dewi Yustisia saat itu.

Sulis sudah berniat untuk menyampaikan pembelaan pada sidang berikutnya, namun Majelis Hakim tidak memberikan hak tersebut. Setelah pembacaan surat tuntutan tadi, Majelis Hakim seakan mengambil jalan pintas dengan melakukan tanya jawab dengan Sulis sebagai sebuah bentuk nota pembelaan. Secara umum, Majelis Hakim menanyakan tentang penyesalan dan diminta berjanji untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Padahal ada hal penting lainnya yang ingin Sulis jelaskan di agenda pembelaan, seperti kronologi peristiwa yang sesungguhnya. Hal-hal yang tidak tersampaikan inilah yang kemudian Sulis, melalui penulis, jelaskan lewat tulisan ini. Karena tak sampai 5 menit melakukan tanya jawab dengan Sulis, Majelis Hakim langsung menjatuhkan pidana penjara yang akan diberikan kepada Sulis. Dalam 1 hari yang sama, Sulis harus menjalankan 3 agenda sekaligus. Padahal di hari-hari sebelumnya Sulis kerap tidak dipanggil sidang lantaran Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim belum siap. Sulis bingung dan bertanya: mengapa mereka bisa menunda apabila belum siap sedangkan dirinya tidak punya privilese yang sama?

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana kepada Sulis sebesar 6 tahun tahun penjara. Setelah berpikir dalam waktu yang amat singkat, terucaplah angka 5 tahun 2 bulan pidana penjara terhadap Sulis dari mulut Ketua Majelis Hakim.

Perlu diingat bahwa banyak sekali hak Sulis yang terlanggar hak di proses ini. Selain tidak diberikan kesempatan menyampaikan pembelaan, Sulis juga tidak diberikan pengacara pada tahap penyidikan oleh kepolisian. Bagi Sulis, pengadilan kini bukanlah tempat mencari keadilan melainkan tempat penghukuman belaka. 5 tahun 2 bulan akan Sulis lewati tanpa senyuman dari ibunya. 5 tahun 2 bulan yang diberikan oleh proses persidangan yang cacat. 5 tahun 2 bulan untuk seseorang yang setiap malam berjuang melawan ketimpangan.

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

Rilis Pers – Presiden Joko Widodo, Hormati Supremasi Hukum!

LBH Masyarakat mengecam beberapa pernyataan Presiden Joko Widodo dalam acara Pencanangan Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat di Jakarta Timur pada hari ini (Selasa, 3 Oktober 2017).

Pernyataan-pernyataan kami pandang cenderung emosional, tidak berbasis bukti, tidak evaluatif terhadap kinerja pemerintah sendiri, dan cenderung berat ke aspek penegakan hukum. Pemerintahan Presiden Joko Widodo kerap melupakan berbagai aspek lain dalam urusan narkotika, di antaranya layanan kesehatan, distribusi obat, dan bahkan perlindungan anak.

Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dalam urusan penyalahgunaan obat, pemerintah harus kejam. Daripada kekejaman, kami memandang bahwa yang dibutuhkan agar sebuah pemerintah dapat berhasil dalam program-programnya adalah kecermatan, ketepatan, data yang baik, dan akuntabilitas. Namun penting melihat pernyataan ini sebagai sebuah cara komunikasi politik Presiden Joko Widodo untuk tampil tangguh dan kuat. Hal ini selaras dengan seruan menggebuk komunis oleh pemerintah akhir-akhir ini.

Presiden Joko Widodo juga menyiratkan perlunya menggebuk beramai-ramai seseorang yang terlibat peredaran gelap narkotika pada Kabareskrim Komjen Pol Ari Dono. Ketika seorang polisi dengan ribuan bawahan dihadapkan dengan respon semacam ini dari seorang kepala pemerintahan, besar kemungkinan ia akan mencoba menjawab harapan pimpinannya ini. Hal ini membuat risiko penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum baik di pusat dan di daerah akan meningkat. Penyalahgunaan wewenang ini antara lain: pemerasan, penyiksaan, tembak di tempat tanpa mengikuti prosedur yang benar, serta berbagai pengingkaran hak tersangka.

Pada kesempatan ini pula, Presiden Joko Widodo mempromosikan penembakan untuk mengatasi peredaran obat-obatan ilegal. Setidaknya sudah ada dua kebijakan dalam hal peredaran gelap obat-obatan yang telah dilakukan rezim ini: yang pertama adalah hukuman mati dan yang kedua adalah tembak mati di tempat. Kedua hal ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang terang benderang, terutama untuk urusan hak hidup dan fair trial.

Namun di luar hal tersebut, bertindak keras terhadap peredaran gelap dengan senjata tanpa melakukan reformasi kebijakan yang menyeluruh maka hal tersebut tidak akan bermanfaat banyak. Hal ini dapat terlihat dari perang terhadap narkotika yang dilaksanakan di Amerika Tengah, Thailand, dan sekarang Filipina yang memakan banyak korban jiwa baik dari pihak sipil dan penegak hukum – namun kerap kali tidak menunjukan efektivitas.

Aksi nasional ini sendiri sedikit banyak juga dipengaruhi oleh insiden di Kendari beberapa waktu lalu yang memakan korban jiwa anak-anak. Obat yang dikonsumsi itu diberitakan luas sebagai PCC, walau ternyata memiliki kandungan zat lain di dalamnya. Insiden ini justru memperlihatkan beberapa pekerjaan rumah pemerintah:

  1. Jika ini obat PCC legal, maka sebenarnya sejak pelarangan PCC dahulu masih ada pasar yang mengonsumsi PCC. Melihat manfaat aslinya yang memang digunakan untuk situasi medis tertentu, ada baiknya pemerintah mengecek kebutuhan obat sejenis. Ketika peredarannnya diblok, mungkin ada pihak yang ingin mencari untung dari kekosongan pemasok di pasar.
  2. Jika ini obat PCC ilegal, maka pemerintah perlu mengecek betul bagaimana prekursor obat ini dapat beredar dengan mudah dan murah. BPOM dan Polri perlu bekerja lebih keras, bukan dengan bertindak lebih kejam – namun lebih tanggap dalam menghadapi upaya dari mafia peredaran gelap. Investasi lebih dalam soal teknologi kami pikir penting bagi rekan-rekan penegak hukum dalam hal ini.
  3. Maraknya anak-anak yang menggunakan narkotika sesungguhnya menjadi waktu bagi pemerintah untuk berpikir: sudahkah pemerintah memberikan kebutuhan anak-anak? Menyajikan tayangan bermutu bagi perkembangannya? Membangun sekolah dengan fasilitas budaya dan olahraga yang memadai agar anak-anak memiliki aktivitas? Memberikan akses internet murah dan aman agar mereka memiliki pengetahuan yang baik dan luas? Apakah Pemerintah memiliki program tertentu untuk mempersiapkan seseorang menjadi orangtua?

Kami tentu dalam posisi yang sangat mendukung upaya pemerintah dalam hal penegakan hukum dan pencegahan untuk menghindarkan upaya mafia peredaran gelap menjangkau anak-anak. Namun di sisi lain, ada kebutuhan anak yang nampaknya terlupakan hingga berpaling pada obat-obatan. Insiden ini menunjukan luasnya dimensi penggunaan obat – kami hanya ingin pemerintah menyadari betul hal tersebut.

Namun kami sepakat pada pernyataan Presiden Joko Widodo pada acara ini bahwa fenomena ini tidak bisa dianggap angin lalu saja. Ia menggambarkannya seperti puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan. Kami harap pada akhirnya Presiden Joko Widodo juga mengerti bahwa untuk mengatasi peredaran gelap obat dibutuhkan perubahan kebijakan yang mendasar, berbasis bukti, serta memperhatikan standar HAM – bukan hanya membangun kesan tangguh tanpa arah.

 

Jakarta, 3 Oktober 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Annual Report 2016

\”There is always rainbow after the rain.\” Ricky said to describe how LBH Masyarakat were going through in 2016. We Lost our friend and our client, Humphrey Jefferson. He was executed by Joko Widodo\’s administration last year. We went down for awhile but we woke up and got several achievement. You may see our journey by reading our annual report in this link.

Policy Paper: Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law

This paper sets out a study of mental capacity in Indonesian criminal law, capital punishment and civil law. Indonesian Law Number 18 Year 2014 Regarding Mental Health (UUKJ) provides a new legislative framework for mental health issues within Indonesia that seeks to protect and rehabilitate mentally ill people.

Articles 71-73 of UUKJ are of particular importance because they attempt to clarify the legal framework for mental capacity evaluation in criminal and civil law. Mental capacity is the ability to ‘comprehend both the nature and consequences of ones [decisions and] actions’. Capacity concerns the ‘assessment of a person’s ability to make a decision, not the decision they make’. Mental capacity assessment is imperative to determining their legal standing in criminal law, capital punishment cases and civil law.

However, UUKJ is still in its infancy and its effectiveness cannot yet be ascertained, thus it is prudent to comparatively assess mental health laws throughout the Asian region to determine the best method of implementation in the future. This policy paper tries to show how Indonesian laws position mentally ill people and how is it compared with other countries.

This policy paper titled \’Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law\’ which is written by Codey J. Larkin, student of La Trobe University, when he received internship in LBH Masyarakat could be accessed at this link.

Policy Paper: Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law

This paper sets out a study of mental capacity in Indonesian criminal law, capital punishment and civil law. Indonesian Law Number 18 Year 2014 Regarding Mental Health (UUKJ) provides a new legislative framework for mental health issues within Indonesia that seeks to protect and rehabilitate mentally ill people.

Articles 71-73 of UUKJ are of particular importance because they attempt to clarify the legal framework for mental capacity evaluation in criminal and civil law. Mental capacity is the ability to ‘comprehend both the nature and consequences of ones [decisions and] actions’. Capacity concerns the ‘assessment of a person’s ability to make a decision, not the decision they make’. Mental capacity assessment is imperative to determining their legal standing in criminal law, capital punishment cases and civil law.

However, UUKJ is still in its infancy and its effectiveness cannot yet be ascertained, thus it is prudent to comparatively assess mental health laws throughout the Asian region to determine the best method of implementation in the future. This policy paper tries to show how Indonesian laws position mentally ill people and how is it compared with other countries.

The policy paper titled \”Determining Mental Capacity in Criminal and Civil Law\” which is written by Codey J. Larkin, student of La Trobe University, when received an internship in LBH Masyarakat could be accessed at this link.

Kertas Kebijakan: Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata

Tulisan ini menjabarkan studi mengenai kapasitas mental dalam hukum pidana dan hukum perdata Indonesia, serta kaitannya dengan hukuman mati di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UUKJ) menyediakan sebuah kerangka hukum baru untuk isu kesehatan jiwa yang bertujuan untuk melindungi hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Pasal 71-73 UUKJ mencoba memperjelas kerangka hukum untuk mengevaluasi kapasitas mental dalam hukum perdata dan pidana. Kapasitas mental adalah kemampuan untuk ‘memahami karakter dan konsekuensi dari tindakannya [dan keputusannya]’. Kapasitas merujuk pada ‘penilaian  kemampuan seseorang untuk membuat sebuah keputusan, bukan penilaian atas keputusan yang mereka buat’. Penilaian kapasitas mental seseorang sangat penting untuk menentukan posisi mereka dalam lingkup hukum pidana, hukum perdata, dan kaitannya dengan kasus hukuman mati.

Namun, UUKJ masih baru dan efektivitasnya belum dapat dipastikan. Membandingkan dengan peraturan serupa di negara-negara lain adalah langkah yang bijak guna menentukan metode implementasi terbaik ke depannya. Kertas kebijakan ini berupaya menunjukkan bagaimana perangkat hukum di Indonesia memosisikan ODGJ dan bagaimana perbandingannya dengan negara lain.

Kertas Kebijakan berjudul “Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata” yang ditulis oleh Codey J. Larkin, mahasiswa Universitas La Trobe, Melbourne, selama menjalani masa magang di LBH Masyarakat ini bisa diakses di tautan ini.

Rilis Pers – Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia: Hormati Kehidupan, Rayakan Kemanusiaan

Dalam rangka memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober, LBH Masyarakat menyelenggarakan sebuah festival kemanusiaan satu-hari yang bertajuk, A Day for Forever: Celebrating Life and Hope, pada hari Sabtu, 7 Oktober 2017, bertempat di Conclave, Jl. Wijaya.

LBH Masyarakat memilih tema festival tersebut di atas karena kami resah melihat politik hukum dan HAM hari-hari ini yang kian menepikan arti penting kehidupan dan mengingkari martabat kemanusiaan. Di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), telah dilangsungkan tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa 18 orang terpidana mati. Kesemuanya dijalankan dengan dalih “darurat narkotika”. Memasuki tahun ketiga rezim Jokowi, angka kejahatan narkotika tidaklah menunjukkan penurunan, yang ada justru tindak pidana narkotika kian marak dan aparat penegak hukum juga terlibat di dalam peredaran gelap narkotika. Bukannya mengevaluasi kebijakan narkotika yang tengah berjalan, Jokowi justru mendorong terus kebijakan punitif yang nirhasil.

Di tengah kepemimpinan yang goyah karena diterpa isu anti-Islam, diasosiasikan dengan PKI, dan cenderung otoriter, Jokowi sekali lagi menggunakan isu narkotika untuk tampil heroik. Belum lagi mengingat mendekatnya kontestasi politik 2019, Jokowi seperti hendak terlihat gagah mengatasi persoalan kejahatan yang menyeruak. Gejala ini menunjukkan betapa penyelesaian sebuah persoalan publik, yang seharusnya dilihat dari kacatama ilmiah yang jernih, malah rentan dieksploitasi dan dimanfaatkan sebagai alat elektoral guna mendulang suara.

Berangkat dari situasi di atas, LBH Masyarakat memandang penting untuk terus menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap kemanusiaan di tengah derasnya arus narasi pemerintah yang hendak meminggirkan norma-norma hak asasi manusia dalam menyelesaikan pelbagai problem sosial dan hukum. Selain itu, LBH Masyarakat juga merasa perlu untuk senantiasa mengajak publik tetap dapat menjaga kekritisannya dalam mengawal jalannya pemerintahan. Atas dasar inilah, LBH Masyarakat mengadakan A Day for Forever.

Jakarta, 5 Oktober 2017

Rilis Pers – IJP Berhak Direhabilitasi

LBH Masyarakat mendorong terciptanya proses hukum yang ramah, humanis, serta akuntabel untuk pemakai narkotika – termasuk untuk IJP, politisi Partai Golkar yang baru-baru ini tertangkap tangan mengonsumsi sabu. LBH Masyarakat melalui rilis pers ini juga memuji penegak hukum, dalam hal ini polisi, yang langsung memberikan tes urin pada IJP – hal yang kerap terlupakan ketika menindak pemakai narkotika lainnya sehingga membuat banyak pemakai narkotika terjerat pasal yang tidak tepat.

Selalu ada latar belakang mengapa seseorang mengonsumsi narkotika – faktor sosial, lingkungan, juga tekanan pekerjaan sebaiknya juga menjadi bagian dari asesmen yang dilakukan penegak hukum. Hukum pidana tidak sepatutnya dikedepankan dalam mengatasi persoalan pemakai narkotika. Apalagi, pasal 127 UU Narkotika – meski tetap bermuatan pidana – juga menyediakan opsi rehabilitasi bagi mereka yang dinilai punya masalah adiksi. Ketiadaan barang bukti dalam kasus ini juga seharusnya membuat Pasal 127 UU Narkotika menjadi satu-satunya pasal yang patut dikenakan pada IJP. Meski demikian, LBH Masyarakat juga berharap kasus ini dihentikan saja karena tidak memberikan nilai tambah apapun dalam upaya negara mengentaskan narkotika dalam skala besar.

Terkait kasus ini, LBH Masyarakat berharap Partai Golkar tidak terburu-buru untuk memecat kadernya yang memakai narkotika. Golkar sepatutnya dapat memberikan contoh bagi partai-partai lain serta institusi-institusi negara untuk tidak mendiskriminasi pemakai narkotika serta memberikan kesempatan pada seseorang untuk dapat melalui proses pemulihan.

Kasus ini sepatutnya dapat dijadikan pelajaran bagi berbagai pihak bahwa justru kriminalisasi terhadap pemakai narkotika, bukan narkotikanya semata, yang akan menghancurkan karir – dalam banyak bidang – yang telah dibangun lama dan luar biasa baik.

Di sisi lain, LBH Masyarakat menyesalkan pendekatan penegak hukum yang masih terus bottom up, mengincar pemakai narkotika dulu baru bandarnya, bukannya sebaliknya. LBH Masyarakat percaya bahwa penegak hukum telah memiliki informasi dan sumber daya yang cukup untuk menjerat bandar-bandar besar terlebih dahulu sebelum kemudian menjerat bandar-bandar kecil, tanpa perlu ada upaya mengkriminalisasi pemakai narkotika.

Untuk ke depannya, LBH Masyarakat terus berharap pemerintah dapat mendekriminalisasi pemakaian, pembelian, dan penguasaan narkotika dalam jumlah sangat terbatas – yang mana hal-hal tersebut adalah hal yang kerap dilakukan pemakai narkotika dalam memenuhi kebutuhannya. Dekriminalisasi dapat bermanfaat untuk mengentaskan stigma dan diskriminasi pada pemakai narkotika, membuat penegak hukum fokus pada kasus serta pelaku kejahatan yang lebih besar, serta menghemat anggaran untuk meningkatkan intervensi kesehatan.

 

Jakarta, 14 September 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

id_IDIndonesian