Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukuman Cambuk dalam Bilangan dan Kepelikan

Pemerintahan daerah telah diberi amanat langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Melalui otonomi ini, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus sendiri pemerintahan terutama dalam sejumlah bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, penataan ruang, perumahan rakyat, kawasan pemukiman, ketertiban umum, dan masalah sosial. Selain otonomi yang berlaku di seluruh daerah, beberapa daerah memiliki otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Salah satu contoh daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah Provinsi Aceh, melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Aceh diberikan keistimewaan untuk menyelenggarakan kehidupan beragama berdasarkan Syariat Islam dalam bidang ibadah, ahwal al-syakshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayat (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Keseluruhan penyelenggaraan kehidupan beragama ini diatur dengan Qanun Aceh.iv Salah satu qanun yang banyak menimbulkan kontrovesi terkait dengan legalitas dan pelaksanaannya adalah Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Qanun Jinayat mengatur perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam (jarimah) dan penerapan hukuman (‘uqubat) bagi pelakunya. Salah satu jenis hukuman tersebut ialah cambuk.

Pemberlakuan hukuman cambuk tersebut menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Pelapor Khusus untuk Penyiksaan, Manfred Nowak, menyatakan bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara untuk mencegah terjadinya hukuman corporal. Amnesty Internasional menyebut hukuman cambuk sebagai suatu kemunduran bagi penegakan HAM di Indonesia. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) juga menolak dengan tegas pemberlakuan hukuman cambuk diberlakukan di Aceh karena dinilai tidak manusiawi. Permohonan keberatan atas Qanun Jinayat kepada Mahkamah Agung juga pernah diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menilai penggunaan hukuman cambuk masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Mahkamah Agung menolak permohonan ini karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan dasar dalam permohonan keberatan uji materiil sedang diproses pengujiannya pada Mahkamah Konstitusi.

Terhadap persoalan hukuman cambuk ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) memiliki posisi yang sama dengan para pengkritik hukuman cambuk. LBH Masyarakat menilai pelaksanaan hukuman cambuk merupakan penodaan bagi penegakan HAM di negera ini. Pelaksanaan hukuman cambuk adalah pelanggengan terhadap hukuman badan yang sudah tidak sesuai dengan arah pemidanaan modern. Berdasarkan atas keyakinan ini, kami melakukan monitoring dan dokumentasi media sepanjang tahun 2016 agar dapat mengetahui lebih jauh tentang praktek pelanggaran HAM melalui pelaksanaan hukuman cambuk dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.

Rilis Pers LBH Masyarakat – Jaksa Agung Harus Hentikan Persiapan Eksekusi Mati Gelombang Empat

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam pernyataan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang secara sepihak menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai pembatasan waktu pengajuan grasi adalah tidak berlaku surut.[i] Dengan penafsiran sepihak yang keliru ini, Pemerintah melalui Jaksa Agung, berpotensi mengulang pelanggaran hukum yang sama yang pernah dilakukan pada eksekusi mati gelombang ketiga (Juli 2016), yaitu mengeksekusi terpidana mati yang masih memiliki hak, atau tengah, mengajukan permohonan grasi. Jaksa Agung sendiri bahkan belum pernah secara resmi menjelaskan alasan yuridis dan non-yuridis yang menjadi dasar penundaan eksekusi 10 terpidana mati pada gelombang ketiga tersebut, sehingga menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat.[ii]

Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[iii] Dengan demikian, semua terpidana, termasuk terpidana mati, yang belum mengajukan grasi masih memiliki hak untuk mengajukan grasi kapan pun tanpa dibatasi waktu. Terkait dengan dibatalkannya pembatasan waktu tersebut, Pasal 3[iv] dan Pasal 13[v] UU Grasi telah menjamin bahwa dalam hal pidana mati, permohonan grasi dapat menunda pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).[vi]

Jaksa Agung berasumsi bahwa Putusan MK tersebut di atas tidak berlaku surut, seakan-akan terpidana mati yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap dan melewati jangka waktu 1 tahun sebelum Putusan MK dibacakan, sudah gugur hak mengajukan grasinya oleh karena keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi. Padahal, pernyataan ini tidak memiliki dasar yang kuat dan berpotensi melanggar hak hukum terpidana mati untuk mengajukan grasi.

Asumsi tersebut juga bertentangan dengan fakta dikabulkannya permohonan grasi Antasari Azhar. Putusan pidana Antasari Azhar telah berkekuatan hukum tetap sejak permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 21 September 2010. Sehingga, jika mengikuti logika berpikir Jaksa Agung, seharusnya hak mengajukan grasi Antasari sudah gugur pada tanggal 21 September 2011 oleh keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi.

Namun, oleh karena Putusan MK membatalkan pasal tersebut di atas, Antasari dapat mengajukan grasi kepada Presiden pada tanggal 8 Agustus 2016.[vii] Terhadap pengajuan grasi ini, Presiden bukan saja menerima permohonan grasi tersebut secara prosedural, namun juga mengabulkannya, sebagaimana termuat dalam Keputusan Presiden Nomor I/G/2017. Hal ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung telah salah menafsirkan Putusan MK di atas. Kesalahan tersebut jika dikaitkan dengan eksekusi gelombang ketiga, tidak hanya memperlihatkan bahwa Jaksa Agung telah mengangkangi kewenangan konstitusional Presiden untuk mengabulkan permohonan grasi, tetapi juga melakukan pelanggaran hukum yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. LBH Masyarakat menilai potensi terulangnya pelanggaran hukum oleh Jaksa Agung tersebut sangat besar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Menghentikan segala bentuk persiapan eksekusi mati dalam rangka mengeliminasi kemungkinan pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum;
  2. Membentuk tim independen untuk melakukan investigasi terhadap indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam eksekusi mati yang telah dilaksanakan; dan juga meninjau kembali kasus-kasus terpidana mati yang belum dieksekusi;
  3. Segera menjelaskan ke publik alasan yuridis dan non-yuridis penundaan eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati pada eksekusi Juli 2016 lalu;
  4. Mencopot Muhammad Prasetyo dari posisi Jaksa Agung dan secara cermat memilih Jaksa Agung yang berkompeten dalam bidang konstitusi, hukum, dan hak asasi manusia;
  5. Mematuhi dan melaksanakan Putusan MK yang membatalkan batasan waktu pengajuan grasi serta menghormati hak para terpidana mati untuk mengajukan upaya hukum;

Jakarta, 23 Februari 2017

Narahubung:

Ricky Gunawan

Direktur LBH Masyarakat

[i] Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/22/15530571/kejagung.tengah.persiapkan.eksekusi.mati.jilid.iv, diakses 22 Februari 2017.

[ii] Pasca eksekusi gelombang ketiga, Jaksa Agung, menyatakan bahwa penundaan eksekusi terhadap 10 orang terpidana mati telah melalui pertimbangan yuridis dan non-yuridis, namun sampai sekarang tidak pernah menjelaskan apa saja pertimbangan tersebut.

Lihat Eksekusi 10 terpidana mati ‘akan ditentukan kemudian,’ BBC.com, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160728_indonesia_penangguhan_eksekusi_kejagung, diakses 22 Februari 2017.

[iii] Putusan dapat diunduh melalui http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/107_PUU-XIII_2015.pdf. Pasal tersebut sebelumnya mengatur bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

[iv] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 3, menyebutkan: “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan utusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.”

[v] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 13, menyebutkan: “bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”

[vi] Jaksa Agung pada eksekusi gelombang ketiga telah melakukan pelanggaran hukum dengan mengeksekusi mati Humphrey Ejike, Seck Osmane, dan Freddy Budiman yang pada saat itu masih dalam proses mengajukan permohonan grasi. Terhadap pelanggaran ini LBH Masyarakat bersama Koalisi Hapus Hukuman Mati telah melaporkan Jaksa Agung ke Ombudsman dan Komisi Kejaksaan.

Lihat, misalnya, Jaksa Agung Diduga Lakukan Maladministrasi Eksekusi Mati, CNNIndonesia.com, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808161735-12-149951/jaksa-agung-diduga-lakukan-maladministrasi-eksekusi-mati/, diakses 22 Februari 2017; dan, Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Jaksa Agung Prasetyo ke Komisi Kejaksaan RI, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2016/08/10/14002601/koalisi.masyarakat.sipil.laporkan.jaksa.agung.prasetyo.ke.komisi.kejaksaan.ri, diakses 22 Februari 2017.

[vii] Alasan Pengacara Antasari Azhar Sambangi Setneg Hari Ini, Liputan6.com, http://news.liputan6.com/read/2660314/alasan-pengacara-antasari-azhar-sambangi-setneg-hari-ini, diakses 22 Februari 2017.

Press Release – Indonesian Government Scholarship Programme Discriminates People Living With HIV/AIDS

Jakarta, 6 February 2017

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) condemns the requirement of HIV-free for applicants of Eastern Indonesia Scholarship Programme, managed by the Indonesia Endowment Fund for Education (LPDP).

In the booklet issued by the LPDP, applicants of the above scholarship programme must enclose a letter from healthcare providers stating that they are ‘free from HIV/AIDS, Tuberculosis, and drug use’. Such requirement is a direct discrimination against and violation of the right to education of people living with HIV/AIDS, as guaranteed by the Constitution of the Republic of Indonesia, and Indonesian regulations and laws.

Article 28 C Paragraph 2 of the Constitution, Article 12 of the Law Number 39 Year 1999 regarding Human Rights, and Article 4 Paragraph 1 of the Law Number 20 Year 2003 regarding National Education System guarantees that education must be carried out in a democratic and non-discriminatory manner; respecting human rights principles, religious and cultural values, as well as nation’s diversity. Thereby, the scholarship programme, as part of the implementation of education system, should be implemented in accordance with those principles. Further, it should not limit or hinder access or opportunity for anyone to scholarship, including those living with HIV/AIDS.

Education is an indispensable means of realizing other human rights. Therefore, the prohibition against discrimination on the right to education “is subject to neither progressive realization nor the availability of resources; it applies fully and immediately to all aspect of education.”[1] The Government of Indonesia, therefore, has no justification whatsoever to apply such requirement.

In addition to the discrimination on the basis of HIV/AIDS status, such requirement is also a direct discrimination against eastern Indonesians, as it applies only to applicants from the eastern part of Indonesia.

With regard to this matter, LBH Masyarakat urges the Government of Indonesia to:

  1. Repeal the requirement of ‘free from HIV/AIDS, Tuberculosis, and drug use’ for applicants of Eastern Indonesia Scholarship Programme;
  2. Guarantee the fulfilment of the right to education of people living with HIV/AIDS in any level and type of education, including in accessing domestic and international scholarship provided by the government;
  3. Reiterate the non-discriminatory principle in any Indonesian regulations and laws; and,
  4. Eliminate discriminatory practices and policies against people living with HIV/AIDS in any aspects of their lives.

Contact Persons:

Ajeng Larasati

Coordinator of Programme, Research, and Campaign

+62 812 1276 1876

Naila Rizqi Zakiah

Public Defender

+62 812 9373 2988

[1] General Comment No. 13: The Right to Education (Article 13 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), paragraph 31.

Rilis Pers LBH Masyarakat – Beasiswa LPDP untuk Indonesia Timur Diskriminatif terhadap ODHA

LBH Masyarakat mengecam keras pemberlakuan syarat bebas HIV/AIDS bagi pendaftar beasiswa Indonesia Timur yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Republik Indonesia. Persyaratan ini adalah bentuk langsung diskriminasi dan pelanggaran hak atas pendidikan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia.

Dalam buku panduan (booklet) yang dikeluarkan oleh LPDP Republik Indonesia, tertulis bahwa salah satu persyaratan Beasiswa Indonesia Timur adalah ‘menyertakan surat keterangan sehat (bebas HIV/AIDS, TBC, dan narkoba) dari unit pelayanan kesehatan’.[1] Bebas HIV/AIDS yang dijadikan syarat untuk mendapatkan beasiswa tersebut tidak sesuai dengan prinsip non-diskriminasi terhadap pemenuhan hak atas pendidikan bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

Jaminan pemenuhan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi dapat ditemukan pada Pasal 28 C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih khusus, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan secara demokratis, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, baik beasiswa di dalam maupun ke luar negeri, adalah bagian dari proses penyelenggaraan pendidikan yang harus memenuhi prinsip penyelenggaraan tersebut. Dengan demikian, penyelenggaraan beasiswa dalam program apapun tidak boleh membatasi/mengurangi kesempatan setiap orang untuk mengakses beasiswa, termasuk bagi ODHA.

Selain melanggar Konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional, persyaratan bebas HIV ini juga mengingkari prinsip-prinsip dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; serta Konvensi UNESCO mengenai Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan yang menyebutkan bahwa segala bentuk diskriminasi yang bertujuan untuk meniadakan atau merusak kesetaraan dalam pendidikan harus dihapuskan dalam tipe dan level pendidikan apapun. Pemenuhan hak atas pendidikan yang non-diskriminatif tidak bisa dilakukan setengah-tengah tetapi harus secara penuh dan seketika. Pemerintah Indonesia, dalam konteks ini, Kementerian Keuangan sebagai penyelenggara beasiswa LPDP seharusnya mencegah dan menghapus ketentuan diskriminatif dalam penyelenggaran program beasiswa sebagaimana diwajibkan dalam Kovenan di atas.

Selain diskriminatif terhadap ODHA, program beasiswa khusus Indonesia Timur ini juga diskriminatif terhadap warga negara Indonesia di bagian timur karena syarat bebas HIV ini hanya berlaku bagi Pendaftar Beasiswa Indonesia Timur dan tidak berlaku bagi Pendaftar program Beasiswa Pendidikan Indonesia lainnya.

Pemerintah Indonesia tidak memiliki justifikasi apapun untuk membatasi setiap orang, termasuk orang dengan HIV, mengakses pendidikan ataupun kesempatan beasiswa. Oleh karena itu, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah untuk:

  1. Mencabut dan membatalkan persyaratan umum dalam Booklet Beasiswa Indonesia Timur pada poin 8 yang mensyaratkan Surat Keterangan yang menyatakan Pendaftar bebas dari HIV/AIDS, TBC, dan Narkoba;
  1. Menjamin terpenuhinya hak atas pendidikan bagi ODHA di setiap tipe dan level pendidikan apapun, termasuk akses terhadap beasiswa baik dalam maupun luar negeri;
  1. Menegaskan penyebutan prinsip non-diskriminasi bagi ODHA dalam setiap peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah;
  1. Menghentikan praktik-praktik diskriminatif baik melalui peraturan dan kebijakan maupun perlakuan di setiap penyelenggaraan pemerintahan terhadap semua orang, termasuk ODHA;

Jakarta, 6 Februari 2017

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat

Naila Rizqi Zakiah – Pengacara Publik LBH Masyarakat

[1] Buku panduan atau booklet dapat diunduh melalui tautan berikut ini: http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/beasiswa/beasiswa-indonesia-timur/

Dibutuhkan: Relawan Penerjemah Bahasa Kanton dan Khek

LBH Masyarakat adalah organisasi non-pemerintah nirlaba yang menyediakan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu dan terpinggirkan. LBH Masyarakat juga aktif melakukan advokasi terhadap isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sehubungan dengan hal tersebut saat ini LBH Masyarakat membutuhkan relawan untuk menjadi penerjemah bagi WNA yang tidak dapat berbahasa Indonesia, dan hanya menggunakan bahasa Kanton (Cantonese) dan bahasa Khek. Selain penerjemahan dalam komunikasi lisan, relawan juga diharapkan dapat membantu penerjemahan tulisan.

Persyaratan:

  1. Memiliki ketertarikan terhadap isu hak asasi manusia;
  2. Lancar dalam berbicara, menulis dan membaca dalam bahasa Khek atau bahasa Kanton (Ketentuan ini tidak berlaku kumulatif. Kami akan dengan senang hati menerima penerjemah yang menguasai 2 bahasa itu sekaligus. Namun apabila penerjemah yang bersangkutan hanya menguasai salah satunya, maka ia telah memenuhi kualifikasi dan kami harap tetap mendaftar);
  3. Diutamakan mahasiswa (namun tidak menutup kemungkinan bagi penerjemah berpengalaman yang ingin memberikan pelayanan pro bono);
  4. Berdomisili di Jakarta (atau kota-kota satelitnya);
  5. Bersedia mengunjungi kantor kepolisian, pengadilan dan rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan;

Kami tidak menyediakan honorarium tapi kami memberikan kesempatan bagi relawan untuk mendapat pengalaman untuk secara langsung dan aktif dalam kerja-kerja bantuan hukum secara langsung di lapangan.

Segera kirim CV terbaru anda ke abadar@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 25 Februari 2017. Jika ada pertanyaan yang ingin diajukan, anda dapat menghubungi Sdr. Antonius Badar di nomor 0856 9799 8944 (HP) atau di 021 – 837 897 66

Rilis Pers – Pengendalian Perdagangan Gelap dari LP: Cerita Lawas, Pendekatan Usang

Perdagangan gelap narkotika dari dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) di Indonesia semakin marak dan terus berulang, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasinya, termasuk penerapan hukuman mati dan eksekusi. Ketika persoalan terus berulang, sementara cara-cara yang ditempuh tidak efektif, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk memikirkan ulang kebijakan narkotikanya dan mencari alternatif solusi.

Sebagaimana tajuk utama Harian Kompas, 3 Februari 2017, “Bisnis Narkoba Dikendalikan di 39 LP”, berita ini pada intinya menunjukkan betapa masifnya perdagangan gelap narkotika yang melibatkan narapidana di dalam LP. Namun di sisi lain, berita ini belum mengeksplor lebih dalam aspek-aspek yang membuat hal tersebut terjadi.

Masuknya telepon seluler ke dalam LP menjadi salah satu faktor yang perlu analisis lebih lanjut. Bagaimana dengan mudahnya telepon seluler dapat masuk ke dalam LP? Apakah karena disebabkan lemahnya pengawasan? Apakah menyuap sipir demi memiliki telepon seluler di dalam LP merupakan hal yang lumrah? Kesejahteraan sipir, kemudian, juga menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi hal-hal semacam ini.

Dari sudut pandang narapidana, juga perlu dilihat fakta bahwa hidup di penjara sungguh mahal. Hal ini terjadi dikarenakan budaya pungli (pungutan liar) yang sudah kronis. Setiap layanan (kamar, alat mandi, makanan, dan lain-lain) di dalam penjara juga memiliki harganya masing-masing. Hal ini membuat narapidana di satu sisi juga perlu memiliki sumber penghasilannya sendiri. Sumber penghasilan yang dibutuhkan ini mendorong narapidana untuk kembali melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum.

Mengenai faktor pengawasan, rekan-rekan sipir di LP tentu mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh warga binaan. Hal ini dikarenakan sebagian besar LP di Indonesia saat ini terpaksa menampung narapidana dengan jumlah yang melebihi kapasitasnya. Fenomena overcrowded ini disulut oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sendiri yang dengan kejam juga mengirimkan orang-orang yang sekedar pemakai narkotika ke dalam penjara.

Terhadap masalah-masalah ini, Pemerintah, di dalam berita itu, merencanakan setidaknya 2 (dua) langkah untuk mengatasinya. Yang pertama adalah pengadaan CCTV dan pemindai badan. Lebih dari soal pengadaan alat, yang terutama ialah man behind the gun. Jika CCTV dan pemindai badan tersebut disupervisi oleh orang yang juga korup dan terlibat dalam permainan gelap ini, maka semua pengadaan tersebut akan sia-sia.

Pada eksekusi mati April 2016 kita pelajari bersama hal tersebut. Fredi Budiman, melalui testimoni Haris Azhar, menyampaikan bahwa ada beberapa oknum Pemerintah yang menemui ia di Nusakambangan. Hal tersebut dapat dilihat melalui CCTV yang mengawasi kamarnya. Namun demikian, hasil daripada apa yang direkam di CCTV tersebut tidak pernah terungkap ke hadapan publik. Transparansi menjadi hal yang penting jika memang Pemerintah serius mengatasi problem ini. Sayangnya, kami tidak melihat hal itu, baik soal transparansi dan keseriusan, sampai hari ini.

Hal kedua yang direncanakan Pemerintah ialah mengenai rotasi narapidana. LBH Masyarakat mengecam rencana ini. Ada beberapa alasan kami menolak cara ini. Pertama, pemindahan ini menjadikan narapidana berada jauh dari keluarga yang mana merupakan pengkhianatan terhadap hak narapidana  untuk dikunjungi oleh teman dan keluarga. Kedua, narapidana juga akan jauh dari kuasa hukumnya yang mana akan sangat merugikan narapidana apabila ingin melakukan upaya hukum atau langkah hukum lain yang ia butuhkan. Ketiga, hal ini tidak lebih sebagai shortcut yang diambil Pemerintah dalam soal pengawasan yang sayangnya tidak akan menolong keadaan. Idealnya melempar narapidana dari satu LP ke LP lain akan membuat si narapidana kesulitan beradaptasi dan akhirnya, dalam konstruksi Pemerintah, tidak mampu untuk membuat jaringan baru. Namun jika problem korupsi itu sendiri gagal diatasi, maka si narapidana tetap bisa mengatur ke mana ia akan dirotasi dan malahan sudah menyiapkan jaringan di kota yang baru.

Kami juga ingin menyikapi mengenai 4-CMC yang di dalam berita tersebut disebut sebagai narkotika jenis baru. Apabila Pemerintah mau memeriksa laporannya sendiri, dapat disaksikan bahwa stimulan menjadi kategori zat yang paling banyak dikonsumsi dalam beberapa waktu terakhir. Namun demikian, perlu disadari bahwa memasukan zat tertentu ke dalam daftar narkotika bukanlah sebuah jawaban. Hal tersebut hanya akan menjadi permainan tanpa akhir antara penegak hukum dan pasar gelap. Melihat permintaan yang tinggi akan narkotika dengan dampak tertentu, tentu pasar gelap akan merespon dengan menciptakan zat baru dengan dampak sejenis yang belum masuk di dalam daftar. Zat baru tersebut merupakan risiko karena kebaruannya membuat kita tidak memiliki data apapun tentangnya sehingga rawan akan dampak yang tidak kita mengerti. Berita ini menuliskan bahwa 4-CMC bisa mengakibatkan kematian namun tanpa menerangkan lebih lanjut tentang situasi seperti apa yang dapat menimbulkan kematian tersebut. Suatu zat selalu bisa mengakibatkan kematian jika konsumsi terhadap zat tersebut di atas yang jumlah yang sepatutnya. Hal ini juga berlaku untuk zat-zat umum yang biasa kita konsumsi, seperti air [1].

Respon pasar ini akan terus datang dan Pemerintah akan selalu ketinggalan. Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemerintah untuk mencoba pendekatan baru dalam mengatasi persoalan narkotika. Penjara jelas bukan jawabannya. Untuk mengatasi dampak buruk fenomena zat psikoaktif baru seperti di atas, Pemerintah harus mampu mengedukasi khalayak ramai, termasuk juga pemakai narkotika, untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan zat tersebut. Sekarang, bagaimana pemerintah mau merangkul pemakai narkotika, entah untuk membongkar jaringan perdagangan gelap maupun untuk penyuluhan kesehatan, jika di saat yang sama Pemerintah juga mengancam mereka dengan penjara?

Oleh karena itu, untuk menyikapi hal-hal ini kami menyarankan kepada Pemerintah untuk:

  1. Mendekriminalisasi pemakaian dan kepemilikan narkotika dalam jumlah terbatas. Langkah ini akan dengan cepat, mengatasi problem overcrowded di dalam LP. Dengan jumlah narapidana yang sedikit di dalam LP akan memudahkan rekan-rekan sipir di LP melakukan pengawasan. Dekriminalisasi juga membuat rekan-rekan pemakai narkotika lebih nyaman berinteraksi dengan Pemerintah, termasuk di dalamnya penegak hukum dan petugas kesehatan, sehingga dapat membongkar jaringan lebih besar dan melakukan intervensi kesehatan lebih baik.
  2. Merapikan sistem yang ada sekarang daripada mencoba hal baru yang menghabiskan anggaran. Daripada melakukan pengadaan baru dan melakukan rotasi yang hanya bersifat tambal-sulam, Pemerintah seharusnya menantang dirinya untuk bisa mensterilkan LP dari telepon seluler yang masuk secara ilegal, memperbaiki situasi sel isolasi, dan menghapus budaya pungli.
  3. Meningkatkan kesejahteraan rekan-rekan sipir di LP. Hal ini dilakukan dengan maksud agar rekan-rekan sipir tidak melihat narapidana sebagai sumber pendapatan.

Narahubung: Yohan Misero (085697545166)

[1] Man dies of water overdose after drinking 17 pints in eight hours to soothe sore gums http://www.dailymail.co.uk/news/article-1032795/Man-dies-water-overdose-drinking-17-pints-hours-soothe-sore-gums.html

Dibutuhkan: Relawan Pemantauan Media Kasus Narkotika 2017

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat berjuang untuk mewujudkan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pemakai narkotika di Indonesia. Bukan hanya memberikan bantuan hukum, kami juga menerbitkan publikasi-publikasi yang berkaitan dengan kebijakan narkotika berdasarkan hasil riset dan pemantauan media.

Untuk membantu kami menjalani fungsi ini, kami membuka lowongan bagi relawan (volunteer) yang ingin ikut berkontribusi membangun sistem hukum yang lebih manusiawi bagi pemakai narkotika. Kami membutuhkan relawan yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya sepanjang tahun 2017. Kriteria relawan yang kami butuhkan adalah:

  • Memiliki ketertarikan pada isu hak asasi manusia dan narkotika
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi
  • Lebih disukai mahasiswi/a jurusan hukum namun jurusan lain tetap boleh mendaftar

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan implementasi kebijakan narkotika terutama mengenai penggebrekan skala besar dan kasus-kasus di dalam Lapas.

Kami selalu memastikan bahwa setiap relawan kami bukan hanya bekerja, tetapi juga bisa belajar dan membagikan pemikirannya di kantor. Ini juga bisa menjadi sebuah kesempatan bagi kamu yang tertarik menjajaki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke abadar@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 30 Januari 2017.

“What matters in life is not what happens to you but what you remember and how you remember it.” – Gabriel García Márquez

Rilis Pers – Pembubaran Porseni Bissu/Waria: Pengingkaran terhadap Keberagaman Budaya dan Seksualitas

LBH Masyarakat mengecam pembubaran paksa Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria/Bissu se-Sulawesi Selatan di Soppeng yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kamis, 19 Januari 2017. Polisi tidak hanya menggagalkan Porseni tetapi juga menciptakan terror dan rasa takut dengan memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan peserta. Pembubaran paksa ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia. Insiden ini mengonfirmasi laporan Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2016 terjadi peningkatan kekerasan dan ancaman kekerasan, seperti pembubaran pondok pesanteran Waria di Yogyakarta.[1]

Pembubaran ini bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang juga dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik pada Pasal 21. Pemerintah juga telah melanggar hak kelompok LGBTIQ+ untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah telah dengan sadar mengingkari asas non-diskriminasi di mana perlindungan dari negara berhak diterima setiap warga negara termasuk mereka yang merupakan kelompok minoritas,

Insiden ini memperlihatkan bahwa Pemerintah justru menjadi pelaku dan pelindung pelaku kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+. Seharusnya Pemerintah, dalam konteks ini Polda Sulawesi Selatan dan seluruh jajarannya, bertugas untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berserikat dari ancaman pemberangusan ilegal seperti ini, bukannya tunduk pada tekanan ormas.

Dalam budaya Bugis, Bissu merupakan pemimpin besar agama Bugis pra-Islam yang memiliki dua elemen gender perempuan dan laki-laki yang berperan sebagai penghubung inter-dimensional antara manusia dan Tuhan.[2] Tradisi ini telah hidup jauh sebelum bangsa ini berdiri.

Porseni tahunan Bissu dan Waria yang sejatinya akan dilaksanakan dari tanggal 19 – 21 Januari 2017 ini terpaksa dibubarkan oleh pihak kepolisian karena adanya ancaman demonstrasi dari 16 ormas Islam di Sulawesi Selatan.[3] Porseni yang telah diselenggarakan sebanyak 19 kali ini merupakan media bagi para Bissu dan Waria untuk mengapresiasi dan mengekspresikan kekayaan budaya serta keragaman seksualitas dan gender nusantara. Acara ini berlangsung damai dan oleh karena itu negara tidak memiliki landasan apa pun untuk menghentikannya. Pembubaran acara ini telah secara langsung menciderai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, mengingkari keragaman budaya dan seksualitas, serta melukai nafas kehidupan berdemokrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Memberikan sanksi yang tegas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang telah membubarkan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  2. Menyatakan permintaan maaf kepada seluruh elemen yang terlibat pada penyelenggaraan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
  3. Menghormati keberagaman budaya dan seksualitas tradisi Bissu di Sulawesi Selatan;
  4. Menindak tegas kelompok-kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan serta diskriminasi kepada kelompok LGBTIQ+;
  5. Menjamin perlindungan dan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi kelompok LGBTIQ+ dan memastikan kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.

 

Naila Rizqi – Pengacara Publik LBH Masyarakat

 

[1] Human Rights Watch, “ Permainan Politik ini  Menghancurkan Hidup Kami” Komunitas LGBT Indonesia Dalam Ancaman. https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0816bahasaindonesia_web_0.pdf

[2] http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/04/09/eksistensi-calalai-dalam-budaya-sulawesi-selatan/

[3] Informasi mengenai kronologi kejadian dapat dilihat di http://aruspelangi.org/siaran-pers/bubar_porseni-waria-bissu-se-sulawesi-selatan/

Cara Kami Membaca Angka Sedikit Berbeda dengan Jaksa

Sepanjang tahun 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyampaikan bahwa kasus narkotika memimpin klasemen jumlah kasus yang ditangani yakni sebanyak 2.262 kasus (Pikiran Rakyat, 30/12/2016). Masyarakat umum akan memandang angka ini sebagai wujud kerja keras yang membuahkan hasil dan layak dipuji. Padahal upaya Kejaksaan Tinggi dalam menangani kasus narkotika menyumbang ledakan populasi penghuni rumah tahananan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Jawa Barat. Kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini pun tidak bertambah. Dibangunnya rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan baru untuk menambah ruang bagi tahanan atau narapidana, serta ide untuk memberikan pengamanan super maksimum dengan menempatkan binatang buas, sejatinya hanyalah langkah emosional. Hal tersebut bukanlah langkah yang bijak dan tepat. Karena selain akan menguras keuangan negara, langkah tersebut juga tidak menyasar pada pada akar persoalan penanganan kasus narkotika. Cara pemerintah menangani kasus narkotika tidak memberikan fokus yang seimbang dengan khitah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang yang juga menekankan memberikan tindakan pemulihan bagi penyalahguna narkotika.

Ketidakseimbangan pendekatan ini juga diperumit oleh Presiden Joko Widodo yang menabuh genderang perang terhadap narkotika (war on drugs) yang secara implisit memberikan legitimasi terhadap aparat penengak hukum untuk menindak keras terhadap pelaku yang terlibat dengan narkotika, termasuk melakukan eksekusi mati yang, melalui berbagai penelitian, diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap menurunnya peredaran gelap narkotika.  Narasi war on drugs, jika berkaca di negeri asalnya, Ameriksa Serikat, yang didendangkan oleh Presiden Richard Nixon dengan dukungan anggaran yang melimpah, terbukti mengalami kegagalan karena mengirimkan ribuan orang yang terlibat narkotika kedalam penjara dan hal demikian akan berdampak pada biaya sosial yang ditanggung negara dan juga pelaku. Potensi dampak buruk dari kebijakan ini antara lain ialah semakin rentannya penularan beberapa penyakit seperti HIV dan TB di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang juga dapat berdampak pada masyarakat yang lebih luas. Narasi punitif ini secara lebih sadis diterapkan oleh Presiden Rodrigo Duterte di Filipina yang telah menewaskan lebih dari ribuan orang hingga September 2016.

Fakta-fakta ini tidak kemudian membuat dukungan publik terhadap pendekatan semacam ini berkurang, yang kemungkinan diakibatkan oleh kuatnya narasi pemberantasan narkotika melalui media. Hal ini membuat penanganan kasus narkotika di Indonesia memiliki dimensi politik yang kuat karena \”memperdagangkan\” perolehan penanganan kasus dengan jabatan atau kekuasaan karena publik memberikan kepercayaan setelah melihat \”prestasi\” yang sebetulnya sangat patut dipertanyakan.

Maka politik hukum penanganan kasus narkotika sepatutnya dikembalikan ke jalur yang menitikberatkan pada aspek medis, terutama pada kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Politik hukum tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 112 Undang-Undang Narkotika adalah keranjang sampah atau pasal karet karena pecandu narkotika tidak akan terlepas dari penguasaan narkotika terlebih dahulu. Penguasaan narkotika oleh pecandu narkotika harus melihat konteks bukan pada teks undang-undang. Adanya konstruksi hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut memberikan pesan kepada penuntut umum yang untuk menghadirkan hasil asesmen aspek medis untuk melihat riwayat pelaku berhubungan dengan narkotika dan aspek hukum untuk menginvestigasi keterkaitan pelaku dengan jaringan peredaran gelap narkotika. Ini terkait kewenangan dominus litis Penuntut Umum yang berperan untuk mengikuti perkembangan penyidikan dengan tugas memberikan petunjuk terhadap berkas perkara penyidikan sebuah kasus.

Hasil asesmen dapat membantu Penuntut Umum dalam agenda pembuktian dan juga menentukan tuntutan: apakah akan meminta pelaku dipenjara atau menjalani rehabilitasi. Di sisi lain, mengenyampingkan hasil asesmen yang memiliki kualifikasi sebagai alat bukti surat dapat dipandang sebagai sebuah hal yang gegabah dan dapat membuat dakwaan dalam posisi rawan. Pada praktik, Penuntut Umum kerap tidak memerdulikan hal ini karena beranggapa sudah memenuhi 2 (dua) alat bukti dengan menghadirkan saksi polisi yang melakukan penangkapan dan alat bukti surat hasil uji forensik zat narkotika. Padahal, kehadiran polisi sebagai saksi di persidangan sesungguhnya ditentang oleh KUHAP karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) karena kesaksian polisi ialah ruang untuk memuluskan tugas polisi sebagai penegak hukum untuk menjebloskan pelaku ke dalam penjara. Praktik demikian sejatinya tidak tepat dan mendapat kritikan dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 pada kasus Ket San. Putusan tersebut menilai bahwa kesaksian polisi tidak dalam posisi yang objektif karena polisi sudah memiliki persepsi dan kepentingan terhadap terdakwa sehingga profilnya tidak lagi sesuai dengan tugas seorang saksi yang semestinya memberikan keterangan yang objektif, jujur, bebas dan netral.

Di samping itu, keengganan Penuntut Umum menyertakan hasil asesmen merupakan pengkhianatan terhadap prinsip fair trial yang termaktub dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Padahal berdasarkan Guidelines on the Role of Prosecutors, Penuntut Umum harus memperhitungkan dengan tepat posisi dari pelaku tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang berdampak terhadap pelaku. Oleh karenanya, hasil asesmen, terlepas dari bahwa dokumen tersebut akan merugikan atau menguntungkan terdakwa, menjadi wajib untuk dihadirkan. Keengganan Penuntut Umum dalam menghadirkan hasil asesmen juga dipengaruhi oleh minimnya akses terhadap bantuan hukum. Situasi ini semakin membuat rentan posisi pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum. Hal demikian mengakibatkan pemakai narkotika menjadi bagian terbesar dari demografi penjara di banyak tempat. Maka jumlah penanganan sekian banyak kasus narkotika tidak tepat bila dipandang sebagai sebuah prestasi. Ia justru adalah angka yang mencerminkan masifnya praktik ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Liputan Media tentang Pekerjaan Kami pada 2016

Berikut adalah beberapa tautan dari portal-portal berita nasional terkait kerja-kerja kami dalam periode Januari-September 2016:

  1. Napza Indonesia, 13 Januari 2016, “LBH Masyarakat : Eksekusi Mati Akan Sejajarkan Indonesia dengan Arab Saudi”
  2. Napza Indonesia, 13 Januari 2016, “LBH Masyarakat : Lapas Narkotika Tidak Bermanfaat Bila Lingkungannya Korup”
  3. Republika, 18 April 2016, “Kelompok Ini Minta Hukuman Mati Bandar Narkoba Dihapus”
  4. Rakyat Merdeka, 23 April 2016, “Berantas Narkoba, Jangan Lupa HAM”
  5. Infopublik.id, 28 April 2016, “Hukuman Mati Kasus Narkotika Tak Efektif Turunkan Kasus”
  6. Harian Terbit, 12 Mei 2016, “Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati, Pemerintah Harus Transparan Eksekusi Mati Jilid 3”
  7. Gres News, 12 Mei 2016, “Eksekusi Mati dan Transparansi Proses Hukum”
  8. Sindo, 16 Mei 2016, “Datangi Istana, Aktivis LSM Tolak Eksekusi Terpidana Mati”
  9. Jitu News, 16 Mei 2016, “LSM: Hukuman Mati Tetap Suburkan Pengedaran Narkoba”
  10. Antara, 16 Mei 2016, “Koalisi Anti-Hukuman Mati Datangi Istana”
  11. Tempo, 16 Mei 2016, “Koalisi Masyarakat Sipil Desak Moratorium Hukuman Mati”
  12. Detik, 16 Mei 2016, “Koalisi LSM Sambangi KSP Minta Jokowi Stop Eksekusi Mati”
  13. Suara Kita, 18 Mei 2016, “Understanding Sexuality Diversity: Ketika Manusia Tidak Hanya Hitam dan Putih”
  14. Gres News, 24 Mei 2016, “Dalih Penolakan Rencana Penerbitan Perppu Kebiri”
  15. Kompas, 25 Juni 2016, “Kebijakan Pemerintah Perangi Narkoba Masih Dinilai Kurang Efektif”
  16. Tribun Pekanbaru, 25 Juni 2016, “Kebijakan Pemerintah Perangi Narkoba Masih Dinilai Kurang Efektif”
  17. Netral News, 25 Juli 2016, “LBH Masyarakat Desak Pemerintah Hentikan Eksekusi Mati Gelombang III”
  18. Netral News, 25 Juli 2016, “Eksekusi Terpidana Mati Bakal Dilangsungkan dalam 3X24 Jam”
  19. Harian Suara, 26 Juli 2016, “LBH Masyarakat: Hentikan Eksekusi Mati Gelombang III”
  20. Satu Harapan, 27 Juli 2016, “Organisasi Masyarakat Sipil Kecam Eksekusi Mati”
  21. Liputan 6, 27 Juli 2016, “LBH Sebut Eksekusi Mati Humprey Jefferson Tidak Sah”
  22. Netral News, 28 Juli 2016, “LBH Anggap Eksekusi Mati Merri Utami sebagai Dosa Pemerintah”
  23. Magdalene, 28 Juli 2016, “Ratu Heroin? Jalan Hidup Merry Utami Berkata Lain”
  24. VOA Indonesia, 28 Juli 2016, “Pemerintah Tolak Desakan PBB, Uni Eropa untuk Hentikan Eksekusi”
  25. Kompas, 28 Juli 2016, “Seribu Lilin Kekecewaan untuk Jokowi”
  26. KBR, 28 Juli 2016, “Aktivis HAM: Eksekusi Mati Tiga Nama Ini Bakal Jadi Dosa Sejarah RI”
  27. Tempo, 28 Juli 2016, “Dua Permintaan Merry Utami Sebelum Dieksekusi”
  28. Liputan 6, 28 Juli 2016, “Pengacara Akan Bawa Jasad Merry Utami Usai Eksekusi Mati”
  29. Republika, 28 Juli 2016, “Jenazah Merry Utami Akan Dibawa Kuasa Hukumnya”
  30. Antara, 28 Juli 2016, “Jenazah Merry Utami akan dibawa kuasa hukumnya”
  31. Suara, 29 Juli 2016, “Jenazah Merry Utami Akan Dibawa Kuasa Hukumnya”
  32. Okezone, 29 Juli 2016, “Usai Dieksekusi, Jenazah Merry Utami Akan Dibawa Kuasa Hukumnya”
  33. Benarnews.org, 29 Juli 2016, “Eksekusi Mati Dinilai Tidak Sah”
  34. Tempo, 29 Juli 2016, “Aktivis Anggap Eksekusi Mati Humprey Jefferson Tidak Sah”
  35. BBC, 29 Juli 2016, “Pelaksanaan Eksekusi Mati Dinilai Langgar Aturan”
  36. Fotokita, 29 Juli 2016, “Aksi seribu lilin tolak hukuman mati”
  37. Lensa Indonesia, 29 Juli 2016, “Merry Utami dan Zulfiqar Ali, dua terpidana yang lolos dari regu tembak”
  38. Radar Banyumas, 29 Juli 2016, “Detik-detik Terakhir Terpidana Mati, Freddy Sempatkan Foto Bersama Anak, Michael Titus Terlihat Stress”
  39. Polrestro Jakpus, 29 Juli 2016, “Aksi Damai Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat”
  40. Apakabaronline.com, 29 Juli 2016, “Merry Utami Batal Dieksekusi Mati”
  41. JPNN, 29 Juli 2016, “Merry Utami Sudah Sebut Permintaan Terakhir, Batal Dieksekusi”
  42. Pojok Satu, 29 Juli 2016, “Minta Dijenguk Dua Cucu, Merry Utami Malah Batal Dieksekusi Mati”
  43. National Geographic, 29 Juli 2016, “Kontroversial, Akankah Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan?”
  44. Rappler, 29 Juli 2016, “LINIMASA: Yang Perlu Kamu Tahu tentang Eksekusi Mati Tahap Tiga”
  45. Rappler, 30 Juli 2016, “KontraS: Freddy Budiman dieksekusi demi menutup akses informasi”
  46. Tempo, 31 Juli 2016, “Jaksa Agung Dinilai Lalai Penuhi Hak Terpidana Mati”
  47. Gresnews, 31 Juli 2016, “Fredi Budiman Mati Menyeret Polisi”
  48. Riau Online, 31 Juli 2016, “Benarkah Ada Kejanggalan dan Dugaan Pelanggaran Jelang Eksekusi 4 Terpidana Mati”
  49. Dipanpers.com, 31 Juli 2016, “Indonesia Lakukan Eksekusi Mati Ilegal!”
  50. Kompas, 31 Juli 2016, “Kuasa Hukum Terpidana Mati Ungkap Kejanggalan dan Dugaan Pelanggaran Jelang Eksekusi”
  51. Kompas, 31 Juli 2016, “Terpidana Mati Merri Utami Diusulkan Jadi “Justice Collaborator””
  52. Pontianak Post, 1 Agustus 2016, “Jaksa Agung Dinilai Melanggar UU”
  53. Rima News, 3 Agustus 2016, “LBH Masyarakat Kecam Pemidanaan Haris Azhar”
  54. DW, 3 Agustus 2016, “Terpidana Yang Tunggu Eksekusi Mati Tidak Mendapat Pemberitahuan Pembatalan”
  55. Komisi Informasi, 4 Agustus 2016, “MK KIP Beri Dua Opsi kepada LBH Masyarakat”
  56. Metro TV, 5 Agustus 2016, “PKNI Desak Pemerintah Hentikan Kriminalisasi Haris Azhar”
  57. Tribun News, 8 Agustus 2016, “LBH Masyarakat Adukan Jaksa Agung ke Ombudsman”
  58. CNN, 8 Agustus 2016, “Posko Bongkar Aparat Terima 30 Aduan Pemerasan”
  59. Tempo, 8 Agustus 2016, “Prosedur Eksekusi Mati Kejaksaan Agung Diadukan ke Ombudsman”
  60. Media Indonesia, 8 Agustus 2016, “Laporan Masyarakat Mengalir ke KontraS”
  61. Indonews.id, 8 Agustus 2016, “Aktivis Beberkan Cacat Eksekusi Mati ke Ombudsman Siang Ini”
  62. PGI, 8 Agustus 2016, “Ricky Gunawan: “Eksekusi Jilid III Tidak Sah dan Melanggar Hukum””
  63. Radar Pekalongan, 9 Agustus 2016, “Jaksa Agung Diduga Lakukan Maladministrasi Eksekusi Mati”
  64. Tribun, 9 Agustus 2016, “Ombudsman Duga Ada Kesalahan Administrasi Eksekusi Mati Terpidana Mati”
  65. CNN, 10 Agustus 2016, “Sepuluh Terpidana Mati Menunggu Nasib di Balik Jeruji”
  66. Okezone, 10 Agustus 2016, “LBH Nilai Banyak Ketidakjelasan Teknis Eksekusi Mati Tahap III”
  67. Okezone, 10 Agustus 2016, “Eksekusi Mati Dinilai Melanggar Hukum, Jaksa Agung Dilaporkan ke Komjak”
  68. Kompas, 10 Agustus  2016, “Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Jaksa Agung Prasetyo ke Komisi Kejaksaan RI”
  69. Tempo, 10 Agustus 2016, “Koalisi Masyarakat Laporkan Jaksa Agung ke Komisi Kejaksaan”
  70. Semarak.news, 12 Agustus 2016, “JSKK, KontraS, dan LBH Masyarakat Gelar Aksi Kamisan ke 454”
  71. Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2016, “KontraS Beberkan Kejanggalan Kasus Freddy Budiman”
  72. Komisi Informasi, 15 Agustus 2016, “MK KIP Cabut Register LBH Masyarakat versus Kejagung”
  73. Antara, 19 Agustus 2016, “KontraS: aduan “Bongkar Aparat” sebagian besar terkait narkoba”
  74. Koran Tempo, 22 Agustus 2016, “Belasan Aparat Diadukan atas Kasus Narkoba”
  75. Tempo, 27 Agustus 2016, “Ini Pidato dari Forum LGBTIQ Pemenang Tasrif Award dari AJI”
  76. Okezone, 30 Agustus 2016, “LBH Masyarakat: Pelanggaran Jaksa Agung Lebih dari Administratif”
  77. Suara Kita, 30 Agustus 2016, “Bincang tokoh bersama lbh masyarakat: hentikan hukuman mati”
  78. Liputan 6, 30 Agustus 2016, “Merasa Tertekan, Terpidana Mati Merry Utami Ingin Pindah Lapas”
  79. Rima News, 9 September 2016, “LBH Masyarakat: UU Narkotika Gagal”
  80. Rima News, 9 September 2016, “LSM Kecam BNN Ikuti Gaya Duterte Dalam Tanggulangi Kasus Narkoba”
  81. Tribun, 9 September 2016, “LBH Jakarta: Penjara Penuh Pemakai Narkoba Kelas Teri, Bandar Besar Lolos”
  82. Tribun, 9 September 2016, “Konyol Jika Kedatangan Duterte Ingin Tukar Mary Jane dan Kuota Haji”
  83. Vivanews, 26 November 2016, “LBH Masyarakat Minta Jokowi Kabulkan Grasi Merri Utami”
  84. Jurnal Perempuan, 28 November 2016, “​Arinta Dea Dini Singgi: Hukuman Mati Hanya Obat Penenang & Tidak Menyelesaikan Masalah Narkotika”
  85. Rappler, 29 November 2016, “SAKSIKAN: LBH Masyarakat mengikuti Mannequin Challenge”