Media Coverage of Our Works in 2016

Here are links to several articles which covered the works of LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to September 2016:

  1. Alliance India, 28 April 2016, “United Nation, Divided on Drugs”
  2. Rappler, 28 April 2016, “Indonesia executions one year on: Mary Jane lives but death penalty questions linger”
  3. Southeast Asia Globe, 5 Mei 2016, “Region\’s harsh drug policies slammed by experts”
  4. Equal Times, 5 Mei 2016, \”Indonesia\’s Tragic War on Drugs\”
  5. Elsam, 15 Mei 2016, “Joint Statement: Imminent Executions In Singapore And Indonesia Must Be Halted
  6. Vice, 18 Mei 2016, “Indonesia Plans to Castrate Pedophiles Following Rampant Reports of Sexual Abuse”
  7. Mic, 19 Mei 2016, “Indonesia Drafts Law That Would Punish Pedophiles With Chemical Castration”
  8. The Jakarta Post, 27 Juni 2016, “Jokowi to go all out on drugs”
  9. The Diplomat, 11 Juli 2016, “Indonesia Prepares for Another Round of Executions”
  10. The Jakarta Post, 16 Juli 2016, “Relatives take quiet steps to save convicts”
  11. Coconuts Jakarta, 22 Juli 2016, “What Explains Indonesia’s Enthusiasm for Death Penalty?”
  12. The Guardian, 25 Juli 2016, “Indonesia executions loom as convict Merri Utami is sent to prison island”
  13. The Jakarta Post, 26 Juli 2016, “Jokowi told to cancel execution plan”
  14. The Guardian, 27 Juli 2016, “Indonesia ready to execute 14 this week despite doubts over prisoners’ guilt”
  15. International Business Times UK, 27 Juli 2016, “Indonesia: 6 Nigerians, 3 Asians among 14 drug convicts facing imminent execution”
  16. SBS, 28 Juli 2016, “Indian national Gurdip Singh likely to be executed in Indonesia”
  17. The Australian, 28 Juli 2016, “Death-row inmates in Indonesia \’abused and tortured\’”
  18. SF Gate, 28 Juli 2016, “News of the day from across the globe, July 29”
  19. Stuff NZ, 28 Juli 2016, “Indonesia fast-tracks execution of 14 death row prisoners to anguish of families involved”
  20. Pulse Nigeria, 28 Juli 2016, “Discrimination \’They want to kill me because I am black\’”
  21. The Influence, 28 Juli 2016, “Indonesia is Now Executing Drug Prisoners in A Horrific Violation of Human Rights”
  22. Uncova, 28 Juli 2016, “Ejike Eleweke, Who Is Facing Imminent Execution in Indonesia Maintains His Innocence, Reufuses to Sign Paper”
  23. ABQ Journal, 28 Juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted to drugs”
  24. BellaNaija, 28 Juli 2016, “Indonesia Set to Execute 6 Nigerians, 8 Others for Trafficking”
  25. International Business Times UK, 28 Juli 2016, “Indonesia going ahead with plans to execute 14 people for drug crimes”
  26. The Guardian, 28 Juli 2016, “Indonesia: families told that 14 death row prisoners will be executed tonight”
  27. African Spotlight, 28 Juli 2016, “6 Nigerians To Be Executed in Indonesia for Drug Trafficking“
  28. 風傳媒 (新聞發布) (註冊), 28 Juli 2016, “反毒用重典》印尼政府將處決14名毒販 人權團體呼籲:槍下留人!”
  29. News AU, 29 Juli 2016, “Dark days\’ as drug traffickers executed in Indonesia”
  30. Tempo, 29 Juli 2016, “Two Last Requests of Death-Row Convict Merry Utami”
  31. Radio Intereconomía, 29 juli 2016, “Indonesia ejecuta la condena a muerte de cuatro presos por trafico de droga”
  32. Tempo, 29 juli 2016, “Humprey Jefferson`s Execution is Illegal: Activist”
  33. The Times, 29 juli 2016, “Indonesia executions ‘a complete mess’ as coffins await the reprieved”
  34. The Borneo Post, 29 Juli 2016, “Indonesian Executions a “Complete Mess”: Lawyer”
  35. Business Insider, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes 4 People Convicted of Drug Crimes”
  36. Journal Star, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes 4 People Convicted Drug Crimes”
  37. The Kathmandu Post, 29 Juli 2016, “Indonesian and Three Nigerians Executed for Drug Crimes”
  38. BBC, 29 Juli 2016, “Indonesia and three Nigerian executed for drug crimes”
  39. CNN, 29 Juli 2016, “Indonesia executes four convicted drug offenders”
  40. China Daily Asia, 29 Juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted of drug crimes”
  41. The Daily Mail, 29 juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted of drug crimes”
  42. Echo Net Daily, 29 Juli 2016, “’Dark Days’ as Four Executed in Indonesia”
  43. 9news AU, 29 Juli 2016, “Four executed at ‘Alcatraz of Indonesia’”
  44. Fredonia Leader, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes Drug Convicts Despite Protest”
  45. EFE, 29 July 2016, “Indonesia ejecuta la condena a muerte de cuatro presos por tráfico de droga”
  46. UOL Noticias, 29 July 2016, “Indonésia executa 4 presos por tráfico de droga”
  47. Sidney Morning Herald, 30 Juli 2016, “Indonesia death row 10: Last-minute reprieve, but for how long?”
  48. Taipei Times, 30 Juli 2016, “Indonesian executions a ‘mess,’ lawyer says”
  49. The Jakarta Post, 1 Agustus 2016, “Trail of Legal Violations up to Execution of Four Inmates”
  50. Rappler, 2 Agustus 2016, “What it was like waiting for death”
  51. The Daily Mail, 3 Agustus 2016, “Convicts in the dark for hours about Indonesia execution reprieve”
  52. The Jakarta Post, 3 Agustus 2016, “After escaping death, convicts fight for clemency”
  53. The Jakarta Post, 6 Agustus 2016, “Kontras vows to continue efforts to probe drugs mafia”
  54. The Jakarta Post, 12 Agustus 2016, “Govt should re-investigate old case in probing Freddy\’s claim”
  55. The New York Times, 13 Agustus 2016, “Indonesia’s Push to Execute Drug Convicts Underlines Flaws in Justice System”
  56. TODAYonline, 15 Agustus 2016, “Indonesia\’s justice system in question over push to execute drug convicts”
  57. Tempo, 22 Agustus 2016, “Dozens of Police Personnel Reported over Drug Cases”
  58. The Jakarta Post, 9 September 2016, “Jokowi urged not to trade Veloso for illegal Indonesian pilgrims”
  59. The Jakarta Post, 10 September 2016, \”Indonesian legal aid, activist call for new legal process for Mary Jane\”
  60. The Washington Post, 27 October 2016, “Indonesia’s top court weighs ban on sex outside marriage”
  61. Rappler, 5 December 2016, “Int\’l groups to Duterte gov\’t: Death penalty isn\’t effective”

Liputan: LIGHTS (Living The Human Rights) 2016

Living The Human Rights (LIGHTS) merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat. Lights, yang awalnya bernama Summer Internship, merupakan kegiatan yang bertujuan membumikan konsep HAM sehingga mahasiswa/i dapat mengidentifikasi dan memecahkan problem hak asasi manusia (HAM) yang terjadi  disekitar mereka. Konsep membumikan HAM dilakukan dengan metode seperti pemberian materi, diskusi, sharing pengalaman, kunjungan ke berbagai komunitas, hingga pemutaran film. Sejak tahun 2007, Lights telah menghasilkan ratusan orang alumnus yang tersebar diseluruh Indonesia.

Naila Rizqi menjadi moderator penutupan LIGHTS 2016 yang menghadirkan 3 perempuan tangguh sebagai pembicara: Siti Aminah, Tunggal Pawestri, Prodita Sabarani
Naila Rizqi menjadi moderator penutupan LIGHTS 2016 yang menghadirkan 3 perempuan tangguh sebagai pembicara: Siti Aminah, Tunggal Pawestri, dan Prodita Sabarani

Tahun ini, kegiatan LIGHTS kembali diadakan oleh LBH Masyarakat pada 29 Juli – 12 Agustus 2016. Setelah melalui seleksi oleh panitia Lights, terpilihah 19 mahasiswa/i yang diterima sebagai peserta Lights 2016. Tercatat 13 orang berasal dari fakultas hukum dan 6 orang peserta dari fakultas Non-hukum.

Pelaksanaan LIGHTS tahun ini sedikit berbeda dengan pelaksanaan Lights sebelumnya. Pertama, Lights tahun ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa/i multi disipliner untuk ikut serta. Alasan diberikannya kesempatan bagi mahasiwa/i multi-disipliner karena LBH Masyarakat meyakini bahwa konsep HAM itu harus dipahami dan dilakukan oleh semua mahasiswa apapun fakultasnya. Keterlibatan mahasiwa multi-disipliner diharapkan akan dapat membumikan konsep HAM dengan efektif dan masif. Kedua, materi Lights tahun ini fokus untuk mengenalkan isu-isu yang concern dilakukan oleh LBH Masyarakat. Isu-isu tersebut antara lain hak atas kesehatan, narkotika, LGBT rights, perempuan dan anak, hukuman mati dan lain sebagainya.

Berikut adalah pesan-kesan dari Diny Arista Risandy, peserta terbaik LIGHTS 2016:

Terpilih untuk menjadi peserta “Living The Human Rights 2016” (LIGHTS 2016) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat selama dua minggu di bulan Agustus lalu, menjadi salah satu pengalaman berharga bagi diri saya secara pribadi. Jadi, jika kemudian harus menjawab pertanyaan seperti ‘hal-hal apa saja yang telah saya dapatkan setelah mengikuti program ini,’ nampaknya tidak mungkin dapat saya jawab hanya dengan satu dua kata saja — ‘cause I have totally gained lots of knowledge that surely broaden my horizons of thought.

Lain halnya ketika belajar di kampus, yang menitikberatkan pembelajaran mengenai Hukum dan HAM dari perspektif teoritis semata, melalui LIGHTS 2016 saya mendapatkan pengetahuan yang jauh lebih komprehensif mengenai teori-teori Hukum dan HAM, serta berbagai isu terkait penegakan Hukum dan HAM yang terjadi secara konkret di lapangan.

Usman Hamid datang sebagai pemateri dalam LIGHTS 2016 dan menjelaskan mengenai Kampanye HAM
Usman Hamid datang sebagai pemateri dalam LIGHTS 2016 dan menjelaskan mengenai Kampanye HAM

Beberapa isu tersebut, yang pertama di antaranya ialah terkait dengan fakta dan tantangan perlindungan serta pemenuhan HAM pada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia. Skizofrenia sebagai salah satu bentuk bentuk gangguan jiwa yang dialami manusia, dibahas secara spesifik oleh Bagus Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) saat saya dan peserta lainnnya mengunjungi KPSI. Skizofrenia singkatnya merupakan sebuah penyakit yang menyebabkan penderita tidak memilki kemampuan menilai mana yang bersifat realitas mana yang bersifat imajiner, sehingga si penderita ini seringkali merasakan adanya rangsangan pada panca inderanya tanpa ada sumber yang nyata atas rangsangan tersebut. Misalnya, si penderita seringkali mendengar bisikan-bisikan yang bersifat ‘mengolok-olok’ dirinya. Bisikan tersebut tidaklah nyata, akan tetapi terasa sangat konkret bagi si penderita sehingga dalam jangka waktu lama si penderita bisa menjadi stress dan kemudian phobia akan lingkungan sosial.

Isu perihal Skizofrenia ini masih belum membumi di Indonesia, sehingga para penderita Skizofrenia tidak mendapatkan penanganan layak untuk penyembuhan. Berdasarkan pernyataan Bagus Otomo sebagai narasumber, sekitar 40% penderita Skizofrenia melakukan upaya bunuh diri. Di Indonesia sendiri, 2-3 juta orang telah menderita Skizofrenia dan setiap harinya ada penderita yang meninggal dunia karena keterlantaran. Hal yang demikian kemudian bisa menjadi sebuah bentuk kejahatan pembiaran (crime by omission) oleh Negara, di mana Negara dalam hal ini tidak mengupayakan perawatan dan penyembuhan bagi penderita Skizofrenia pula telah mempersulit hak si penderita untuk menerima layanan kesehatan yang maksimal.

Selain terbatasnya akses atas kesehatan, tantangan-tantangan lain yang dihadapi ialah bahwa dengan memberi label kepada penderita Skizofrenia dengan istilah ‘gila,’ hal yang demikian menyebabkan sulitnya akses penderita atas pekerjaan demi menunjang penghidupan yang layak. Akibat dilabeli ‘gila,’ penderita Skizofrenia ditakuti oleh masyarakat, dan tidak jarang penderita Skizofrenia ini kemudian berusaha sekuat tenaga menolak kenyataan bahwa dirinya mengidap Skizofrenia. Padahal mereka juga berhak dan dimungkinkan produktif kembali dengan pengobatan yang sesuai dengan tingkatan gejala yang dihadapinya.

Peserta berkunjung ke Komunitas Kali Adem, komunitas nelayan dampingan LBH Masyarakat.
Peserta berkunjung ke Komunitas Kali Adem, komunitas nelayan dampingan LBH Masyarakat.

Selain itu, yang menarik perhatian saya secara khusus ialah pembahasan mengenai HIV/AIDS. Ayu Oktariani, seorang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang telah cukup lama terjun ke masyarakat untuk membantu ODHA lainnya, menjadi narasumber dalam LIGHTS 2016 dan berbagi ilmu dan pengalaman, di antaranya soal stigma negatif masyarakat awam bahwa ODHA berawal dari hal-hal semacam free sex dan penggunaan obat-obatan terlarang secara illegal dan oleh sebab itu yang bersangkutan bukanlah pribadi yang ‘terhormat.’ Lahir pula pandangan keliru (dan dimiliki oleh banyak masyarakat) lainnya, yakni bahwa HIV/AIDS itu dapat menular dengan sangat mudah layaknya penyakit flu atau batuk, sehingga berdekatan dan berbincang dengan ODHA adalah hal yang berbahaya karena akan berpotensi besar tertular. Padahal hal demikian sama sekali tidak benar, sebab media penularan HIV/AIDS hanya melalui darah, cairan sperma/vagina, dan Air Susu Ibu (ASI).

Perlu kita sadari bersama bahwa stigma negatif serta pandangan yang keliru semacam ini membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan ODHA. ODHA seringkali termarjinalkan, sebab dengan stigma negatif dan pandangan yang keliru tersebut ODHA tidak dapat bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, yang mana masyarakat senantiasa ingin menjaga jarak akibat ketakutan yang tidak berdasar. Hak untuk dapat berekspresi, menikah dan melanjutkan keturunan, serta hak atas pekerjaan sebagaimana dijamin oleh negara hanya menjadi harapan semu, sebab eksistensi ODHA itu sendiri dianggap sebagai bahaya bagi yang lainnya. Padahal mereka adalah pihak yang justru perlu mendapatkan perhatian lebih; mereka berhak atas informasi bahwa mereka juga tetap memiliki probabilitas untuk memiliki pasangan, mempunyai keturunan, dan hidup bahagia. Bayangkan saja bahwa pada kenyataannya terjadi fenomena seorang anak Sekolah Dasar yang terkena HIV/AIDS dipaksa keluar dari tempatnya menuntut ilmu karena desakan para orang tua siswa lain agar anak yang bersangkutan keluar dari sekolah tersebut; sang anak kemudian tidak ingin lagi menuntut ilmu dan memilih untuk terus berada di rumah — betapa sedihnya sang anak yang kemudian melabeli dirinya sendiri sebagai ‘sampah masyarakat,’ tanpa tahu apa yang salah atas dirinya. Selain itu, keluarga yang tidak suportif juga menjadi masalah besar bagi seorang ODHA sehingga tidak jarang mereka lebih memilih untuk hidup menyendiri tanpa menikmati indahnya kebersamaan keluarga.

Peserta berkunjung ke OPSI. Mempelajari mengenai aspek-aspek hak asasi manusia dalam kehidupan pekerja seks.
Peserta berkunjung ke OPSI. Mempelajari aspek-aspek hak asasi manusia dalam kehidupan pekerja seks.

Beberapa pembelajaran tersebut kemudian membuka cakrawala berpikir saya menjadi jauh lebih luas, yakni bahwa sudah seyogyanya saya tidak melihat fenomena sosial yang ada hanya berbasis satu sudut pandang yang sempit dan menolak untuk melihat perspektif lainnya; sebab ketika saya berkenan melihat keseluruhan aspek, saya menyadari banyak sekali pihak-pihak yang mengalami pelanggaran HAM dan oleh karenanya tidak dapat menjalani kehidupan yang layak. Pihak-pihak tersebut terkungkung dalam penilaian mengenai benar dan salah serta baik dan buruk oleh konstruksi sosial secara umum di masyarakat yang bersifat asumtif dan seringkali tidak tepat.

Oleh karena itu, program-program yang berkaitan dengan pembelajaran mengenai Hukum dan HAM harus terus digalakkan, agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik bahwa tiap-tiap individu memiliki hak-hak asasi yang sepatutnya terpenuhi; dimana ketika telah paham mengenai hak-hak asasi tersebut maka diharapkan menyadari bahwa tidak semua pihak terpenuhi hak-hak asasinya, dan oleh karenanya membutuhkan uluran tangan untuk membantu mewujudkan atau menegakkannya. Paham mengenai Hukum dan HAM juga berarti paham bahwa Negara pun memiliki kewajiban utama untuk menghormati (respect), memenuhi (fulfill), dan melindungi (protect) HAM warga negaranya, dan oleh karenanya sebagai warga negara diharapkan mampu memantau kinerja pemerintah dalam menjalankan kewajiban utamanya tersebut.

LIGHTS 2016, sebagai salah satu program yang memberikan pelatihan di bidang Hukum dan HAM, membawa dampak bagi diri saya pribadi untuk ke depannya bisa berpikir lebih analitis dan kritis terhadap berbagai isu-isu terkait dengan HAM dan penegakan hukum. Program ini juga berkontribusi siginifikan meningkatkan kepekaan dan kepedulian saya secara lebih besar untuk memperjuangkan HAM, membantu para korban pelanggaran HAM serta kaum minoritas membutuhkan bantuan hukum.

Dimoderatori Dominggus Christian Polhaupessy, peserta mendapat materi dari Raynov Gultom dan Muhammad Afif mengenai pendampingan terpidana mati di Indonesia.
Dimoderatori Dominggus Christian, peserta mendapat materi dari Raynov Gultom dan Muhammad Afif mengenai pendampingan terpidana mati di Indonesia.

Liputan acara ini ditulis oleh Dominggus Christian (Staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat dan Penanggung Jawab Program LIGHTS 2016) dan Diny Arista (Peserta Terbaik LIGHTS 2016 dan Relawan LBH Masyarakat).

Lessons from Indonesia’s Recent Executions

This piece was written by Ricky Gunawan and was published in Rappler on 9 August 2016.

 

When Merri Utami walked into a McDonalds in Central Jakarta in 2001, she was exactly the type of person drug-trafficking cartels target. They are very well aware that poorly-educated, migrant workers and victims of domestic violence are easily manipulated.

There waiting for her was ‘Jerry’, a smooth Canadian national and business man. For a short 3 months after that ‘chance’ meeting, Merri felt she was living a dream. Far from abusing her, Jerry wanted to protect her. He wanted her to give up her migrant work in Taiwan. He invited her on vacation to Nepal. He even wanted to marry her. Merri thought she was in love.

Unfortunately, after 3 days in Nepal, Jerry was forced to leave ‘for business reasons.’ He insisted that Merri should stay, however, to enjoy the rest of the vacation as planned. Thoughtfully he even pointed out her suitcase was shabby and so arranged for her to get a good one.

A strong, high quality and rather heavy suitcase was duly delivered.

pic.twitter.com/VT1eta4MLx

— Ricky Gunawan (@erge17) July 26, 2016

When Merri arrived back in Jakarta, customs officers found 1.1 kg of heroin in the suitcase provided for her by the man Merri thought loved her. Jerry proved to be the most cruel of all the people Merri had encountered in her fraught life.

Justice?

My organization, LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), recently took the case of Merri, shortly before she was taken to Nusakambangan – the execution island – where she was prepared for execution on July 29, 15 years after that fateful lunch in McDonalds. Jerry is still at large, presumably continuing to profit from young, vulnerable women like Merri. Had Merri’s bag not been routinely checked as she left Jakarta airport, Jerry would have recovered more than half a billion rupiah worth of heroin.

Merri would never have even known how she had enriched him.

Merri was slated to be executed last week. However, as the drama evolved, we found out that she was ‘reprieved’ at the last minute. Although she is now spared from execution, she may be executed in the future. Unless we stand firmly behind her, it is Merri that stands to die.

Is this justice? Is this even an effective way to tackle drug crime?

Indonesia still claims that by killing drug mules, it will stop this terrible crime. Is there any evidence of this? Definitely not, judging from past experience. Unsurprisingly, the number of prisoners incarcerated for drug-related crimes kept increasing after two rounds of executions in 2015.

In part, this is because many of those killed are not even aware they are committing a crime. This is not only because it can be easy for the unscrupulous to deceive; to blackmail; or to exploit the desperate. In some cases, we are even killing the innocent.

Racist court

I also represented Humphrey Jefferson Ejike who was executed on 29 July 2016 together with three other people.

Humphrey was a devout religious Nigerian who had set up a restaurant in Tanah Abang, Central Jakarta. On August 2, 2003, police officers came to search his restaurant because they had information that there were drugs inside his restaurant. He then voluntarily returned from a church in Bekasi (which is about 2 hours by car from Jakarta) to be present during the search.

After the search, the police found 1.7 kg of heroin inside a bedroom in the restaurant – a bedroom Humphrey had never used because he had an apartment in Kemayoran, Central Jakarta. He was then arrested and spent five months without access to adequate legal representation. This is in breach of both international conventions and Indonesia’s own criminal procedural code.

In that time he claims to have been beaten and threatened with shooting unless he ‘confessed’. No investigation was made into Humphrey’s allegations, despite the decision to sentence him to death on such flimsy evidence.

Humphrey may have been targeted simply because of his nationality. The trial judgment notes that ‘black skinned people from Nigeria’ are under police surveillance because they are suspected of drug trafficking in Indonesia.

In short, Humphrey was executed because he was convicted by a racist court for drug offenses on the basis of a ‘confession’ made under completely unacceptable circumstances. This is a shameful chapter for Indonesia’s human rights agenda.

Take a stand

Like a number of other ASEAN countries, Indonesia is amongst the minority of countries that still applies the death penalty. Of the 58 (out of 198) countries in the world that have not abolished the death penalty, just 25 carried out executions in 2015. Of those exceptions, four of them were ASEAN countries.

It is not only by practicing capital punishment that these countries are in violation of the international obligations, but also in the way they apply it – for it is primarily applied for drug-related offenses.

Yet, in accordance with Art 6 of the the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) to which Indonesia is a signatory, the death penalty should only be applicable in the case of the most serious crime, and drug offenses do not meet this threshold.

It is time to take a stand against this misguided, inept and cruel attempt to address the drug problem. And for this reason I encourage more people to join forces with organizations such as the recently established Coalition against the Death Penalty in ASEAN (CADPA) – a group of 55 organizations from ASEAN countries.

It is time for us to stand up and say that the death penalty is not justice.

For Women Swept Up in the Drug Trade, Legal Help That Starts Early

This piece was written by Muhammad Afif & Yosua Octavian and was published in Open Society Foundations\’ website on 22 June 2016.

 

Rani Andriani was just 23 when she was sentenced to death for trafficking three-and-a-half kilograms of heroin. From a family of modest means in West Java, she had been a bright high school student and a dedicated daughter. Young, naïve, and under the financial stress that affects so many village families, she was lured by the false promises of a drug syndicate and became a drug mule.

After serving 15 years in prison for drug trafficking, Rani was executed in January 2015, along with five other drug offenders.

Poor and marginalized women like Rani are vulnerable to being sucked into the drug trade, usually as mules. Yet in its eagerness to address the drug problem, the Indonesian government ignores the conditions that trigger the involvement of everyday people in drug trafficking.

LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), a Jakarta-based human rights organization, seeks to challenge this injustice by providing free legal services to people who use drugs and people on death row for drug offenses.

This year, LBH Masyarakat went to court to defend three young women like Rani. By stepping in early, we succeeded in convincing the court not to impose the death penalty. The stories of Tara, Evie, and Siena (not their real names) are the stories of many vulnerable women in Indonesia.

Tara was a widow from a poor economic background. Her entry into the drug trade was through Kenny, a foreigner who claimed to be a rich businessman. After a few meetings, they started dating and Kenny promised to marry her. Madly in love, Tara would have done anything to maintain their relationship—even carry a kilogram of methamphetamine. After she delivered the narcotics, she was arrested. Kenny was never charged, despite the information Tara gave them about his involvement in the deal.

Evie’s experience was similar. After a few months of dating Jacky, a man who also purported to be a wealthy businessman, Evie was asked to hire a woman who would be willing to pick up a package from a courier service. Evie recruited Siena, who needed the money, at a beauty salon. After the two women picked up Jacky’s package, they were arrested and charged with trafficking four-and-a-half kilograms of methamphetamine. As in Tara’s case, Jacky was neither found nor arrested, even though Evie and Siena told the police of his whereabouts.

Tara, Evie, and Siena share a common problem: they are poor and vulnerable to drug syndicates. In some cases, a person charged with trafficking may be genuinely unaware they were ever in possession of drugs. In other cases, they may be paid, or under pressure in a relationship with a significant power imbalance.

In defending Tara, Evie, and Siena, we summoned expert witnesses to provide critical extra information about the use of women as mules in the drug trade, shedding new light on these cases for the prosecutors and judges. In the case of Tara, LBH Masyarakat also argued that she was a cooperating witness—or “justice collaborator”—as confirmed by the Witness and Victims Protection Agency. These arguments were effective—none of the women were sentenced to death. But, given sentences that ranged from 12 to 14 years, all three of them still lost their youth.

For over a decade, we have been deeply involved in the movement to abolish the death penalty in Indonesia, and have provided legal assistance to people facing it. We also work globally to end the death penalty, including through the United Nations, where in April our government was booed, and where a consensus on ending capital punishment was not reached.

We know that in a broken and corrupt system where capital punishment is on the table, poor women like Tara, Evie, and Siena can be easily and unfairly sentenced to death. We are also aware that judges and prosecutors have very little knowledge about the vulnerability of female drug mules.

These cases taught us the importance of early access to justice for vulnerable people. We have witnessed so many cases in which drug offenders were sentenced to death because they did not have adequate legal assistance. There are cases in which defense lawyers take money from their clients and disappear, and cases in which lawyers are connected with the police—a clear conflict of interest. There are also cases in which defense lawyers are present and attentive throughout the process, but do not have the necessary expertise in criminal defense, the death penalty, or drug offenses.

We call on the Indonesian government to support law enforcement agencies and actors in the justice system to understand the conditions that result in women acting as drug mules. The Indonesian government must address the roots of our drug problem, not just its symptoms.

Prison Infernos: Fire Defeated Drug Policy

This piece was written by Yohan Misero and was published in The Jakarta Post on 6 April 2016.

 

The riot at Malabero Prison in Bengkulu last week was not just about a burning prison. Rather, it symbolized a defeated public policy. It was a sign that accentuates the failed drug war stubbornly waged by Indonesia.

Similar riots have occurred in the prisons of Tanjung Gusta, Medan, in 2013 and in Kerobokan, Denpasar, in 2012.

One fundamental issue is overcrowding. The Law and Human Rights Ministry, since a few years ago, had planned to build more prisons, but as long as Indonesia is driven by the politics of over-criminalization, prisons will always be overcrowded.

Thus, inmates are more prone to tuberculosis and human immune deficiency virus (HIV) and security problems abound. It also breeds corruption because inmates bribe wardens for better facilities.

In the past years, Indonesia has been obsessed with criminalizing certain acts and sending offenders to prison. This must be changed and to change it, one must understand that such a problem is intertwined with Indonesia’s war on drugs.

In prison, drug offenders make up a large proportion of the population. In some prisons, drug offenders are more than half of the population. The 2009 Narcotics Law, which criminalizes drug use and drug possession, fueled this mass incarceration since thousands of drug users were imprisoned.

The criminalization of drug use is a threat to public health. People who use drugs are discouraged to access treatment if they are criminalized.

This further forces them to a hidden population. As a result, is difficult drug treatment and that creates risk.

In 2010, the Supreme Court endeavored to “decriminalize” drug use, by issuing a circular recommending judges impose rehabilitation sentences on drug users, instead of imprisonment.

If a drug user meets the prescribed criteria, the judges are supposed to send him or her to a treatment facility.

In 2014, several state institutions issued a joint regulation establishing the integrated assessment team. This team was tasked with assessing whether someone is a drug user. These measures, however, are not effective because the law still criminalizes drug use.

Despite Indonesia’s attempts to address its complicated drug problems and overcrowded prisons, such efforts have little positive results. Indonesia should consider an alternative: drug use and drug possession involving small quantities must be decriminalized.

This alternative should be seen from a pragmatic paradigm and an evidence-based approach.

By decriminalizing drug use, drug users will no longer be imprisoned and they will be more eager to access treatment. This would help solve the drug problem and the overcrowding prisons, as demonstrated in countries such as Portugal and the Czech Republic.

But is Indonesia willing to consider this alternative?

After the Malabero riot, the Law and Human Rights Ministry requested the National Narcotics Agency (BNN) take drug inmates into the BNN’s rehabilitation centers.

This request echoes the decriminalization message and it shows that there is an opportunity to honestly debate this notion within the government. However, the BNN rejected the request.

After taking office in October 2014, President Joko “Jokowi” Widodo declared, quoting Richard Nixon, a “war on drugs”.

Indonesia’s recent standing on the Commission on Narcotic Drugs session in Vienna showcases that Indonesia is still in favor of punitive drug laws and continues to implement compulsory treatment — leaving no room for alternatives.

It seems unlikely that Indonesia will shift its position at the UN General Assembly Special Session on the world drug problem, which will take place next month.

While Canada, Colombia, Guatamela and Mexico call for drug policy reform that will allow decriminalization of drug use, Indonesia is still implementing the same failed method while hoping for a different result.

Hence, the change that we desperately hope to see will not happen in the near future. We will continue to see a 19-year-old boy risk losing four to 12 years of his life for only possessing small marijuana joint.

Ketika Anak Pengguna Narkotika Tak Lagi Didengar

Anak seringkali rentan terlibat dalam penggunaan narkotika. Keterlibatan anak dalam penggunaan narkotika kerap dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti misalnya lingkungan keluarga, masyarakat dan pergaulan sehari-hari. Negara kemudian mengambil sikap keras, tetapi keliru, dalam mengatasi peredaran gelap narkotika dengan alasan untuk melindungi generasi muda dari penggunaan narkotika. Negara justru sering mengabaikan dan tidak menyediakan perlindungan penuh kepada anak yang menggunakan narkotika (selanjutnya disebut sebagai anak pengguna narkotika). Perlindungan yang setengah hati dan ketidakpedulian negara terhadap kepentingan terbaik anak pengguna narkotika justru mengancam masa depan mereka. Berangkat dari latar belakang ini, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melihat hukum dan kebijakan nasional berkaitan dengan anak pengguna narkotika pada tiga aspek yaitu pencegahan dan perawatan (dalam konteks penggunaan narkotika), dan penegakan hukum terhadap anak pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Dalam menganalisis peraturan dan kebijakan nasional tersebut, LBH Masyarakat menggunakan standar hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan hak anak secara umum maupun pengguna narkotika, mengingat topik khusus hak anak pengguna narkotika juga belum tersedia secara spesifik di tataran hukum internasional.

Studi ini diawali dengan membedah standar hak asasi manusia internasional yang relevan dengan atau dapat diaplikasikan kepada anak pengguna narkotika di aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Tim peneliti mengumpulkan dan mengelompokkan standar internasional yang berkaitan dengan hak anak pengguna narkotika ke dalam beberapa sub-bab yang untuk analisis lebih mendalam. Peneliti kemudian mengumpulkan, membaca dan mempelajari 41 (empat puluh satu) peraturan nasional mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bersama, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri hingga peraturan internal lembaga negara seperti Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Jaksa Agung, Peraturan Kepala BNN, dan lain sebagainya. Metode pengumpulan peraturan tersebut adalah dengan meminta informasi atau peraturan terkait kepada instansi yang relevan dan mengunduh dari internet. Perlu diketahui bahwa, oleh karena itu, mungkin saja terdapat peraturan yang luput untuk tim peneliti pelajari. Berbagai peraturan tersebut juga dilihat dari tiga aspek yaitu aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Dari standar internasional dan peraturan nasional yang sudah dikumpulkan, peneliti kemudian menganalisis gap atau kekosongan aturan berkenaan dengan anak pengguna narkotika baik pada tataran peraturan nasional.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa temuan terkait dengan anak pengguna narkotika. Pada aspek pencegahan, terdapat beberapa peraturan nasional yang mengatur kurikulum pada institusi pendidikan sebagai upaya pencegahan penggunaan narkotika. Pendidikan yang diajarkan pada anak, di Indonesia, menekankan bahaya narkotika semata dan harapan akan dunia yang bebas narkotika. Sistem dan materi pendidikan yang ada justru tidak mengedepankan diskusi interaktif dan inklusif mengenai narkotika, penjelasan hak atas kesehatan dan kesalahpahaman mengenai dunia bebas narkotika, yang konsekuensinya dapat menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika akan cenderung enggan mencari pertolongan ketika terlanjur menggunakan narkotika. Stigma dan diskriminasi akan menjauhkan anak pengguna narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Pada aspek perawatan, peraturan nasional pada umumnya mengatur layanan kesehatan untuk pengguna narkotika dewasa. Peraturan yang secara spesifik menyebutkan layanan kesehatan bagi anak pengguna narkotika sangat sedikit, atau kalaupun ada tidak menyediakan ketentuan yang komprehensif. Ketiadaan peraturan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung abai dengan kondisi kesehatan anak yang menggunakan narkotika. Kekosongan hukum pada tataran implementasi juga berakibat pada ketiadaan jaminan hukum akan layanan kesehatan bagi anak yang menggunakan narkotika.

Sedangkan pada aspek penegakan hukum, negara masih melakukan kriminalisasi terhadap pengguna narkotika, dengan demikian termasuk pula anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika harus berhadapan dengan ancaman pidana yang cukup berat yang akan menyulitkan anak pengguna narkotika untuk mendapatkan diversi, remisi ataupun hak anak yang sedang berhadapan dengan hukum lainnya. Anak pengguna narkotika juga rentan dipenjara daripada mendapatkan rehabilitasi. Anak pengguna narkotika tampaknya masih dipandang sebagai kelompok pelaku kejahatan paling serius dan tidak mendapat perlindungan dari negara.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.

Dibutuhkan: Analis Pemantauan Media

PKNI adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang pemenuhan hak-hak asasi manusia untuk pengguna NAPZA di Indonesia. PKNI saat ini berkantor di area Tebet, Jakarta Selatan.

PKNI membuka lowongan pekerjaan untuk posisi Media Monitoring Analyst dengan jangka waktu pekerjaan selama 2 (dua) bulan yang meliputi ruang lingkup tugas sebagai berikut:

  1. Membangun kerangka pemantauan media;
  2. Pengumpulan dan analisa data pada media on-line;
  3. Bertanggung jawab untuk pemetaan berikut laporan akhir monitoring;
  4. Identifikasi kebutuhan serta rumusan komunikasi strategis sebagai rekomendasi terhadap hasil analisis.

Kami membutuhkan tenaga dengan kualifikasi sebagai berikut:

  1. Laki-laki / perempuan berusia maksimal 28 tahun;
  2. Menguasai MS Office;
  3. Memiliki pemahaman tentang media di Indonesia;
  4. Diutamakan dari Jurusan Komunikasi / Hubungan Masyarakat;
  5. Mahasiswa tingkat akhir juga diperkenankan untuk mendaftar;
  6. Cepat beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan dan mampu bekerja di dalam tim;
  7. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan;
  8. Memiliki integritas dan ketelitian dalam menjalankan tugas.

Lamaran dapat dikirim ke alamat e-mail: sekretariat@pkni.org Untuk mengetahui lebih lanjut mengetahui PKNI, silakan mengunjungi situs http://korbannapza.org/

Merri Utami: Menyurati Hidup

Mohon untuk diperhatikan permohonan grasi yang sudah terdaftar di Pengadilan Negeri Tangerang berdasarkan Akta Permohonan Grasi Nomor: 02/Pid/2016/PN.TNG, tertanggal 26 Juli 2016 merupakan tambahan permintaan terakhir terpidana mati atas nama Merri Utami yang diajukan pada tanggal 27 Juli 2016 sebelum menghadapi eksekusi mati.

Permintaan di atas tercatat dalam berita acara penambahan permintaan terakhir yang dikuasai Jaksa Eksekutor dan merupakan dokumen negara. Permohonan grasi yang diajukan oleh Merri Utami kepada Presiden merupakan hak yang melekat pada seorang terpidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi Merri Utami sebagai terpidana mati yang masih dalam proses pemeriksaan secara hukum menangguhkan eksekusi mati. Sebelum Keputusan Presiden tentang permohonan grasi diterima oleh Merri Utami, eksekusi mati terhadap dirinya tidak boleh dilakukan. Rangkaian proses ini harus dihormati terutama oleh Jaksa Eksekutor yang memiliki wewenang sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati yang sedang mengajukan grasi, sebagaimana kita saksikan akhir Juli lalu, sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum.

Grasi tidak bisa semata-mata diartikan sebagai bentuk pengakuan atas sebuah dosa yang kemudian disertai permohonan maaf dan permintaan pengampunan. Pandangan tersebut sudah tidak lagi relevan dengan konsep grasi yang tertuang dalam huruf (b) pertimbangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang membuka peluang terhadap permohonan grasi atas perkara yang mengandung ketidakadilan demi menggapai keadilan hakiki dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rangka penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini baiknya dipandang oleh Presiden sebagai sebuah alat penyembuh luka bagi korban rekayasa kasus dan peradilan yang tidak adil dan memihak serta korban kriminalisasi. Pemahaman ini juga dapat dijadikan kesempatan oleh Presiden untuk mengganti putusan hukuman mati sebagai penghormatan atas hak hidup yang dijamin Konstitusi.

Sejalan dengan konstruksi tersebut, permohonan grasi Merri Utami yang telah terdaftar di Pengadilan Negeri Tangerang berdasar pada ikhtiarnya untuk merebut keadilan dan penegakkan hak asasi manusia. Merri Utami terseret dalam peredaran gelap narkotika karena dirinya terjebak dan tertipu oleh sindikat peredaran gelap narkotika internasional. Merri menjalin hubungan dengan seseorang yang hanya ingin memanfaatkannya dalam peredaran gelap narkotika. Merri Utami merasa ia hanya membantu seorang kekasih, tanpa sadar bahwa ia sedang menjadi alat sebuah sindikat. Belum lagi faktor relasi kuasa yang dipengaruhi oleh ketergantungan Merri Utami terhadap pasangannya ini dalam konteks materi. Hal ini dapat dipahami karena situasi sosial dan ekonominya yang sedang terpuruk saat itu. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatan anaknya yang tidak kunjung pulih karena ia tidak memiliki biaya perawatan.

\"\"

 

Bagi kami di LBH Masyarakat, kasus semacam ini bukan hal baru. Selama 2016 ini saja, setidaknya ada empat kasus dengan konstruksi sosial serupa yang kami tangani. Sindikat memanfaatkan perempuan yang rentan secara sosial ekonomi untuk menjadi pion dalam peredaran gelap narkotika. Perempuan-perempuan yang kerentanannya dieksploitasi ini membawa narkotika dalam jumlah besar melewati batas-batas negara yang diancam dengan hukuman yang tidak manusiawi: hukuman mati.

Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana seharusnya sensitif dan dapat menjawab situasi sosial ini dengan bijak, bukannya menciptakan ketidakadilan baru dengan vonis pidana mati. Di tengah penegakan hukum yang tengah terpuruk dan korup, Presiden seharusnya memanfaatkan grasi sebagai mekanisme koreksi dan menjadi jawaban atas ketidakadilan yang dihadapi Merri Utami dan perempuan-perempuan lain korban sindikat peredaran gelap narkotika yang mendapat vonis mati.

***

LBH Masyarakat, selaku kuasa hukum Merri Utami, mengajukan permohonan grasi 1 (satu) hari setelah Merri Utami mendapatkan pemberitahuan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang disampaikan melalui Pengadilan Negeri Cilacap pada tanggal 25 Juli 2016. Padahal putusan PK Merri Utami diputus pada tanggal 15 Agustus 2014. Artinya, ada keterlambatan penyampaian isi putusan PK kepada Merri Utami. Momen keterlambatan penyampaian isi putusan PK ini berbarengan dengan rencana eksekusi mati.

Kondisi ini diduga kuat untuk menyulitkan terpidana mati agar tidak dapat mengajukan langkah hukum, termasuk grasi. Namun, kami berhasil melakukan pendaftaran grasi ditengah sempitnya waktu yang tersedia. Hal ini tidak kami lakukan untuk buying time. Pun kami sudah mengajukan grasi sebelumnya, permohonan PK harus tetap diputus terlebih dahulu. Hal ini jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi yang menjelaskan bahwa grasi yang diajukan berbarengan dengan permohonan PK, maka prioritas utama untuk diperiksa dan diputus adalah permohonan PK terlebih dahulu dibanding permohonan grasi. Yang kami lakukan ialah semata memenuhi hak terpidana.

Semoga Presiden dapat melihat situasi ini, serta mempertimbangkan faktor-faktor eksploitasi kerentanan situasi sosial ekonomi dan cacat prosedur dengan keterlambatan penyampaian putusan, untuk menghormati hak hidup Merri Utami.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Pengumuman Pemilihan Penyuluh Hukum dan HAM

Menindaklanjuti proses pemilihan penyuluh hukum dan HAM di tujuh belas kota yang telah kami buka sejak 23 Juli lalu, berikut ini kami umumkan nama-nama penyuluh yang terpilih:

  1. Asma’ Hanifah
  2. Gilbert Lianto
  3. Ma’ruf Bajammal
  4. Okti P. Zakaria

Kami juga ingin menghaturkan ucapan terima kasih untuk teman-teman yang sudah mengikuti seleksi tetapi tidak terpilih. Lembaga kami sangat menghargai baik kemauan dan kemampuan teman-teman. Kami selalu membuka ruang bagi siapapun yang memiliki minat dalam usaha perjuangan Hak Asasi Manusia untuk bergabung menjadi relawan kami.

Untuk keempat orang yang namanya dicantumkan di atas, sila tunggu instruksi via e-mail atau SMS yang akan kami kirimkan segera. Mari kita berjuang bersama!

Rilis Pers – Antara Penegak Hukum dan Freddy Budiman: Buruk Muka, Cermin Dibelah

LBH Masyarakat mengecam pengaduan tindak pidana penghinaan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap saudara kami, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.

Pengaduan tersebut terkait dengan catatan Haris Azhar mengenai pembicaraan yang ia lakukan dengan almarhum Freddy Budiman di Nusakambangan pada 2014 lalu.

Kami menilai bahwa pemerintah seharusnya menanggapi catatan yang diungkap Haris Azhar sebagai sebuah katalis perbaikan diri, reformasi institusi, dan pengkajian ulang kebijakan narkotika.

Cerita yang diungkap Haris Azhar sebaiknya digunakan pemerintah untuk memeriksa beberapa hal yang secara implisit terungkap dalam catatan itu, antara lain: CCTV yang menyorot Freddy Budiman, catatan kunjungan penjara, serta penelusuran transaksi keuangan penegak-penegak hukum yang terkait dengan kasus tersebut.

Pemerintah justru saat ini menunjukan wajah anti-kritik yang tentu jauh dari nilai-nilai demokrasi yang ingin dicapai negeri ini.

Tindakan pengaduan ini memperlihatkan tangan besi pemerintah yang kerap menepuk dada bangga atas prestasi yang diklaim sendiri, namun menampar keras setiap orang yang ingin memberi masukan demi perubahan.

Pemerintahan ini nampak tidak ingin dikenang sebagai sebuah pemerintahan yang menjadi jawara dalam hukum dan hak asasi manusia, melainkan sebagai otoritas yang membungkam semua kritik tajam yang menghunusnya.

Sikap keras yang ditunjukan pemerintah terhadap kritik atau cerita semacam ini justru membuat publik bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya?” yang dalam banyak hal malah memperburuk citra yang dibangun pemerintahan ini.

Oleh karena hal-hal di atas, kami mendesak BNN, TNI, dan Polri untuk:

  1. Segera mencabut aduan penghinaan terhadap Saudara Haris Azhar
  2. Mempercepat reformasi institusi dan memproses hukum anggota institusi yang menjadi pelindung bagi pengedar gelap narkotika

Kami juga tidak lupa mendesak Presiden untuk:

  1. Mengkaji ulang kebijakan narkotika yang saat ini diterapkan Indonesia
  2. Mendorong Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan investigasi ke institusi penegak hukum untuk mengindentifikasi oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam penegakan hukum narkotika
  3. Melakukan moratorium hukuman mati selagi mereformasi institusi penegak hukum

Agar Pemerintah dan masyarakat juga mendapat gambaran yang lebih besar mengenai buruknya situasi penegakan hukum narkotika, LBH Masyarakat bersama KontraS dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) membuka Posko Darurat Bongkar Aparat.

Posko ini adalah posko pengaduan bagi masyarakat yang ingin mengadukan pengalaman mereka menghadapi praktik-praktik buruk yang dilakukan oleh aparat dalam isu narkotika seperti pemerasan, rekayasa kasus, penyiksaan, penjebakan, ancaman, dan sebagainya.

Posko ini adalah ekspresi ketidakpuasan atas sistem penegakan hukum Indonesia, di bidang narkotika khususnya, yang kerap cacat prosedur, korup, namun menolak dikoreksi.

Masyarakat yang ingin menceritakan pengalamannya dapat membuat laporan kepada kami dengan menyertakan nama, bukti, kronologi kasus yang melibatkan aparat, serta dokumen terkait seperti foto atau berkas-berkas lainnya.

Posko Darurat Bongkar Aparat ini terletak di Kantor KontraS di Jl. Kramat II No. 7, Senen, Jakarta Pusat. Masyarakat juga dapat menjangkau kami melalui surat elektronik di bongkaraparat@kontras.org atau telepon dengan Arif (KontraS) di 081513190363 atau Yohan (LBH Masyarakat) di 085697545166 sebagai narahubung.

Melalui rilis pers ini juga, sebagai institusi dan rekan seperjuangan, LBH Masyarakat dengan lantang menyerukan:

#SayaPercayaKontraS

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat