Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – LBH Masyarakat: Pemerintah Indonesia Darurat Intoleransi!

Jakarta, 24 Januari 2016

LBH Masyarakat mengecam keras pernyataan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir, mengenai pelarangan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) untuk masuk ke dalam lingkungan kampus.[i] LBH Masyarakat memandang bahwa pernyataan-pernyataan semacam ini menunjukkan sikap pemerintah yang semakin intoleran terhadap kaum minoritas di Indonesia.

Beberapa bulan belakangan nampak sikap pemerintah yang tidak ramah terhadap pecandu narkotika, adanya pengusiran paksa terhadap penganut Gafatar, dan kini komentar tak berdasar muncul dari seorang menteri riset terhadap teman-teman LGBT. “Pemerintah saat ini gemar sekali mengambil aksi melarang, memerangi, dan menyatakan keadaan darurat tentang sesuatu. Saya rasa justru tepat untuk mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia sedang dilanda darurat intoleransi,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan HAM di LBH Masyarakat.

“Pernyataan M. Nasir sesungguhnya mengandung beberapa kelemahan. Pertama, untuk konteksnya sendiri. M. Nasir sedang membicarakan tentang SGRC UI, yang sejatinya adalah kelompok studi. Jadi, pernyataannya melarang kelompok LGBT adalah inkontekstual karena SGRC UI bukanlah komunitas LGBT. Justru seharusnya ia mendukung keberadaan SGRC UI untuk melakukan kajian dan penelitian karena itulah mandat kementeriannya. Kedua, SGRC UI tidak sedang mempromosikan sesuatu. Sebaliknya, SGRC UI sedang membuka ruang bagi teman-teman LGBT yang ingin mencurahkan perasaannya karena tertindas, menjadi korban bullying, dan berbagai masalah lainnya hanya karena identitas jender dan orientasi seksualnya. Pernyataan M. Nasir justru melanggengkan stigma dan diskriminasi, menyebarkan ketakutan yang tidak berdasar, dan berisiko meningkatkan kekerasan terhadap teman-teman LGBT, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Sebuah lingkungan yang harusnya dijaga baik-baik oleh M. Nasir,” tambah Yohan.

“Ketiga, sebagai mantan rektor, M. Nasir seharusnya paham betul kompleksnya situasi perguruan tinggi. Dalam sebuah lingkungan perguruan tinggi terdapat banyak orang dari bermacam-macam suku, daerah asal, latar belakang sosial-ekonomi, dan termasuk, tentu saja, orientasi seksual. Keberagaman identitas jender dan orientasi seksual adalah sebuah keniscayaan – sesuatu yang tak terhindarkan. M. Nasir, sebagai seorang pejabat publik seharusnya menjaga pluralitas ini, karena hanya dengan demikian lingkungan akademik akan tetap kreatif, berpikiran terbuka dan melahirkan inovasi untuk kemajuan umat manusia. Keempat, pernyataan M. Nasir bahwa LGBT tidak sesuai dengan nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia adalah pernyataan yang ahistoris dan abai pada riset. Sebab, ragam identitas jender dan orientasi seksual dapat ditemukan di sejarah beberapa suku bangsa di Indonesia,” Yohan menjelaskan.

LBH Masyarakat mendesak pada semua penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, untuk tidak memperkeruh suasana dengan komentar-komentar yang tidak berdasar dan homophobic terhadap teman-teman LGBT. Khusus kepada Menristek, M. Nasir, LBH Masyarakat mendorong sebaiknya beliau lebih fokus pada upaya peningkatan kualitas riset dan pendidikan tinggi Indonesia.

Sebagai penutup, Yohan menyampaikan, “LBH Masyarakat juga tidak lupa untuk mengingatkan Universitas Indonesia agar bersikap inklusif dan toleran. Realitanya, terdapat banyak sekali organisasi atau, setidak-tidaknya, komunitas di kampus UI yang menggunakan nama/logo UI tanpa seizin rektorat. Terhadap keberadaan mereka, UI tidak mengeluarkan peringatan yang sama seperti halnya kepada SGRC UI. Artinya, bisa dibaca bahwa ada kepanikan di rektorat dalam menyikapi hal ini. Lebih jauh lagi, UI seharusnya membantu SGRC UI menjadi organisasi yang terdaftar di rektorat. Apalagi mengingat peran SGRC UI yang aktif mengadakan kajian dan diskusi ilmiah yang mana selaras dengan tridharma perguruan tinggi. Walau demikian kami menyerahkan kembali kepada pengurus SGRC UI sebagai empunya organisasi.”

LBH Masyarakat berharap Universitas Indonesia dapat tetap menjadi pilar perubahan, sebagaimana sejarah menceritakannya, dan mendukung teman-teman SGRC UI untuk mengadakan diskusi-diskusi akademik dan melindungi mereka dari ancaman kekerasan pihak-pihak yang intoleran, termasuk dari internal UI sendiri.

 

Narahubung:

Yohan David Misero   +62 856 9754 5166

***

[i] Lihat misalnya: http://www.antaranews.com/berita/541624/kampus-mestinya-tidak-dimasuki-lgbt-kata-menristek, http://www.merdeka.com/peristiwa/dianggap-jadi-ancaman-moral-lgbt-dilarang-menristek-masuk-kampus.html, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/23/o1ethv354-menristek-dikti-lgbt-tak-boleh-masuk-kampus

Surat Terbuka: Akhiri Eksekusi dan Hapus Hukuman Mati

Bapak Luhut Panjaitan,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Jl. Merdeka Barat No. 15,
Jakarta Pusat 10110
Indonesia
 

18 Januari 2016

Bapak Menteri Yang Terhormat,

Pihak berwenang harus mengakhiri eksekusi dan menghapuskan hukuman mati

Kami dari organisasi-organisasi di bawah menulis kepada Anda tentang masalah penerapan hukuman mati di Indonesia. Saat ini telah setahun sejak Pemerintah Anda melanjutkan eksekusi mati di Indonesia pada 18 Januari 2015 – setelah empat tahun tanpa eksekusi – meskipun ada banyak protes keras dari organisasi-organisasi hak asasi manusia dan komunitas internasional.

Organisasi-organisasi kami perihatin meskipun pernyataan Anda pada November 2015 bahwa Pemerintah Indonesia akan menangguhkan segala eksekusi mati dalam waktu dekat ke depan[1], Jaksa Agung telah mengumumkan[2] belakangan ini bahwa eksekusi mati lanjutan akan dilaksanakan pada 2016. Sebagaimana terus adanya keperihatinan serius akan pelanggaran HAM lainnya dan peradilan yang adil akan penerapan hukuman mati di Indonesia, kami meminta Anda untuk melakukan intervensi segera untuk merespon masalah-masalah ini. Secara khusus, kami mendesak Anda untuk memastikan semua vonis mati dievaluasi oleh sebuah badan yang independen dan imparsial, dengan pandangan mengubah vonis mati tersebut.

Temuan-temuan riset oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)[3] dan riset independen lainnya yang dilakukan oleh Amnesty International[4], ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)[5], dan organisasi-organisasi HAM lainnya, menyoroti kelemahan sistemik dari system peradilan di Indonesia dan pelanggaran terhadap peradilan yang adil dan jaminan perlindungan internasional lainnya yang harus dipatuhi di semua kasus-kasus hukuman mati[6]:

  • Para tersangka dan terdakwa di kasus-kasus yang diteliti tidak memiliki akses terhadap pembela hukum dari penangkapan dan proses hukum lainnya di masa persidangan dan banding; mereka menjadi korban perlakuan buruk selama di tahanan polisi untuk membuat mereka “mengaku” atas kejahatan yang dituduh kepada mereka atau menandatangani berita acara pemeriksaan di polisi.
  • Para terpidana mati tersebut dibawa ke muka persidangan pertama kalinya berbulan-bulan setelah penangkapan.
  • Di beberapa kasus menyangkut warga negara asing, khususnya mereka yang divonis untuk kasus narkotika, pihak berwenang gagal mengidentifikasi atau memverifikasi secara benar identitas terpidana mati dan memberi tahu perwakilan negara-negara yang relevan saat penangkapannya. Pihak berwenang juga gagal menyediakan penterjemahan kepada terpidana mati tersebut yang tidak mengerti Bahasa Indonesia, baik bagi warga negara asing maupun warga negara Indonesia.
  • Hukuman mati terus digunakan secara ekstensif terhadap kejahatan-kejahatan terkait narkotika, meskipun kajahatan tersebut tidak memenuhi ambang batas “kejahatan-kejahatan paling serius”, sebagai kategori kejahatan yang mana hukuman mati bisa diterapkan saat penangguhan penghapusannya di bawah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di mana Indonesia merupakan negara pihaknya.

Tambahan lagi, meski penghapusan yang jelas di bawah hukum internasional tentang penggunaan hukuman mati terhadap orang berumur di bawah 18 tahun atau orang yang memiliki gangguan mental atau intelektual, keluhan yang kredibel yang diajukan oleh para terpidana mati akan usia dan kondisi mental mereka tidak secara memadai diselidiki oleh pihak berwenang dan menghasilkan penggunaan hukum mati yang tidak absah, dan paling tidak pada satu kasus eksekusi mati. Meskipun hukum di Indonesia mewajibkan semua kelahiran untuk didaftarkan, pada praktiknya banyak orang tidak melakukannya, membuat penentuan usia seseorang menjadi masalah. Hal ini, ditambah dengan minimnya bantuan hukum, meningkatkan resiko di mana orang-orang berusia di bawah 18 tahun ketika kejahatannya dilakukan, akan mendapat vonis mati. Para terdakwa dan terpidana mati juga tidak secara rutin dan independen diperiksa, sehingga bisa menyebabkan gangguan mental tidak terdiagnosa dan tidak mendapat perawatan yang mereka butuhkan.

Temuan-temuan riset juga menunjukan bahwa di beberapa kasus terpidana mati tidak mendapat bantuan hukum saat mereka banding terhadap putusan awalnya, atau bahkan mereka tidak mengajukan banding karena mereka tidak diberi tahu oleh pembela hukumnya. Lebih jauh, eksekusi mati terhadapa beberapa terpidana terus berlanjut meskipun pengadilan-pengadilan Indonesia telah menerima untuk memeriksa keluhan mereka. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada Desember 2014 dan Februari 2015 bahwa Beliau tidak akan memberikan grasi kepada terpidana mati mana pun terkait kasus narkotika, dan informasi terkait beberapa penolakan grasi membuat ragu apakah kewenangan konstitusional presiden untuk memberikan grasi dijalankan secara bermakna dan kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR.

Hingga hari ini, 140 negara telah menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya atau secara praktik. Tiga negara lagi – Fiji, Madagaskar, dan Suriname – menjadi negara abolisionis untuk semua kejahatan pada 2015 saja dan Parlemen Mongolia mengadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru pada akhir tahun lalu, menyingkirkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk penghukuman di negeri tersebut. Penerapan kembali eksekusi mati di Indonesia tidak hanya membuat negeri ini melanggar kewajiban HAM internasionalnya, tetapi juga bertentangan dengan kecenderungan global menuju penghapusan bentuk hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Organisasi-organisasi kami menegaskan kembali seruan kami kepada Pemerintah Indonesia untuk menerapkan suatu moratorium eksekusi mati sebagai langkah pertama menuju penghapusan hukuman mati. Sambil menunggu penghapusan penuh, kami mendesak Anda untuk segera membentuk badan yang independen dan imparsial, atau memberikan mandate kepada institusi yang tersedia, untuk mengevaluasi semua kasus di mana orang-orang divonis mati, dengan pandangan mengubah vonis mati tersebut, atau pada kasus-kasus di mana proses hukum secara serius cacat, diberikan persidangan ulang yang secara penuh sesuai dengan standar-standar peradilan adil internasional yang tidak menggunakan hukuman mati.

 

Surat ini ditandatangai oleh organisasi-organisasi berikut:

Amnesty International
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat)
HRWG (Human Rights Working Group)
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
Imparsial (the Indonesian Human Rights Monitor)
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
LBH Masyarakarat
Migrant Care
PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia)
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)

 

[1] BBC, “Indonesia announces temporary halt to executions”, 19 November 2015, tersedia di http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-34867235.

[2] Jakarta Post, “More drug convicts to be executed next year”, 23 December 2015, tersedia di http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/23/more-drug-convicts-be-executed-next-year.html#sthash.roUDe3yX.dpuf.

[3] Komnas HAM memiliki dua laporan pada 2010 dan 2011. Laporan 2011 didasari oleh serangkaian misi yang dilakukan antara September dan Desember 2011 terhadap 17 lembaga pemasyarakatan di 13 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Timur), di mana 56 terpidana mati diwawancarai. Laporan 2010 didasari pada misi pemantauan ke 10 lembaga pemasyarakatan di lima provinsi dan wawancara terhadap 41 terpidana mati antara September dan Oktober 2010.

[4] Amnesty International, “Flawed Justice-Unfair trials and death penalty in Indonesia” (ASA 21/2434/2015), October 2015, tersedia di https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/2434/2015/en/.

[5] Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Overview on Death Penalty in Indonesia, 2015, available at: http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/06/Overview-on-Death-Penalty-in-Indonesia.pdf.

[6] Di antara standar-standar tersebut adalah, UN Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, disetujui oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 1984/50 tertanggal 25 Mei 1984.

Rilis Pers – Hentikan Pembahasan Draft Perppu Kebiri: Hukuman Kebiri Bukanlah Solusi Untuk Mengatasi Kejahatan Seksual

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam rencana pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang akan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. LBH Masyarakat berbagi keprihatinan yang sama dengan pemerintah mengenai maraknya kejahatan seksual terhadap anak. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak harus mendapatkan hukuman yang berat. Namun, hukuman kebiri adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sebab hukuman kebiri adalah penghukuman yang merendahkan martabat manusia. Di samping itu, inisiatif pemerintah tersebut tidaklah lebih sebagai langkah yang over-reaktif dan bentuk cuci tangan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak.

Alasan pemerintah menerapkan hukuman kebiri untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku justru perlu dikritisi. Sebab, faktor-faktor terjadinya kejahatan seksual bukanlah karena dorongan seksual semata, melainkan adanya peluang terjadinya kejahatan, pengalaman traumatik pelaku ketika kanak-kanak dan belum terpulihkan, dan masih banyak lagi. Apabila bentuk hukuman kebirinya adalah kebiri fisik, yang menjadi pertanyaan adalah bagian tubuh pelaku manakah yang akan dikebiri? Mengingat kekerasan seksual tidaklah terbatas pada penetrasi penis ke anal atau vagina saja, dan kekerasan seksual bisa dilakukan dengan benda tertentu. Bagaimana juga dengan pelaku kejahatan yang perempuan? Lantas, apabila bentuk hukuman kebirinya adalah kebiri kimiawi, penelitian ilmiah di banyak negara menunjukkan bahwa penerima hukuman kebiri masih bisa memulihkan kembali hormon testosteronnya dan melakukan kembali kejahatan seksual. Artinya, hukuman kebiri patut dipertanyakan efektivitasnya karena sekalipun pelaku kejahatan sudah dikebiri, mereka masih bisa mengulangi kejahatannya kembali – selama akar persoalan belum terjawab.

Pemberian hukuman kebiri sesungguhnya juga berpotensi membuat hakim mengurangi atau bahkan meniadakan hukuman penjara kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena menganggap hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sudah terwakili oleh hukuman kebiri. Hal ini menyebabkan fungsi resosialisasi yang semestinya dilakukan lembaga pemasyarakatan pelaku kekerasan seksual tidak berjalan. Selain itu, sekalipun terlihat tegas, hukuman kebiri adalah hukuman yang justru didasarkan pada semangat balas dendam dan kebencian, dan bukannya pada filosofi pemidanaan modern yang hendak membantu pelaku kejahatan dapat terintegrasi kembali ke masyarakat.

LBH Masyarakat memahami bahwa hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual masih lemah di Indonesia. Oleh karena itulah, hukuman yang sudah ada dan penegakannya-lah yang harus dibenahi, bukannya menerapkan hukuman baru yang kurang didasarkan pada bukti ilmiah dan mengingkari hak asasi manusia. Mengingat kompleksnya persoalan kejahatan seksual terhadap anak, maka solusi untuk mengatasi maraknya kejahatan tersebut haruslah menyeluruh, sistemik dan berjangka-panjang. Tidak ada solusi instan dan mudah untuk mengatasi persoalan serius ini. Aparat penegak hukum harus lebih peka dan progresif ketika menangani kasus kejahatan seksual terhadap anak. Keluarga dan institusi pendidikan harus lebih proaktif dan mengenalkan anak-anak cara-cara mendeteksi akan terjadinya kejahatan seksual. Pemulihan psikologi/psikiatri harus tersedia bukan hanya bagi anak korban kejahatan seksual tetapi juga pelaku. Hukuman kebiri hanyalah jalan pintas yang memuaskan banyak pihak tetapi mengabaikan akar persoalan sesungguhnya.

Jakarta, 13 Januari 2016

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Ricky Gunawan, S.H., M.A

Albert Wirya, S.Sos.

DirekturPeneliti

***

CP: Albert Wirya (081932060682)

Rilis Pers: LBH Masyarakat Mengecam Niat Pemerintah Indonesia untuk Melanjutkan Eksekusi Mati

 

LBH Masyarakat mengecam keras niat pemerintah Indonesia untuk melanjutkan eksekusi[i] bagi terpidana mati. Niat ini disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menkopolhukam, dan Budi Waseso, Kepala BNN, secara terpisah pada Selasa, 12 Januari 2016. LBH Masyarakat mendukung penuh usaha pemerintah untuk menciptakan rasa aman bagi publik dan mengentaskan peredaran gelap narkotika selama hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang memperhatikan aspek hak asasi manusia.

Baik Luhut maupun Buwas, dalam pernyataan-pernyataannya menyinggung tentang proses eksekusi yang tidak perlu diribut-ributkan seperti sinetron.[ii] Kecaman yang datang dari dalam maupun luar negeri atas eksekusi mati 14 orang pada 2015 lalu rupanya tidak mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan eksekusi. Pada pernyataannya, Luhut Panjaitan menyatakan bahwa eksekusi akan dilaksanakan setelah kondisi ekonomi membaik. “Sungguh menyedihkan melihat posisi pemerintah terhadap hukuman mati saat ini. Kita dapat membaca pernyataan Luhut tersebut dari beberapa sudut pandang. Pertama, eksekusi mati ternyata memang memakan banyak anggaran negara sehingga ikut memengaruhi ekonomi. Sayangnya, meski eksekusi mati ini cukup berpengaruh pada situasi ekonomi, namun tidak berpengaruh pada situasi peredaran gelap narkotika. Hal ini terbukti pada prestasi BNN dan Kepolisian sendiri yang berhasil menghentikan beberapa upaya penyelundupan narkotika ke dalam negeri, yang justru menunjukan bahwa eksekusi mati tidak memberikan ketakutan pada mafia besar peredaran gelap narkotika. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih inovatif untuk menyelesaikan masalah ini, bukannya upaya brutal seperti eksekusi mati,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

“Kedua, ekonomi akan lebih baik jika semakin banyak investasi masuk ke dalam negeri. Permasalahannya, eksekusi mati telah terbukti dapat memperburuk hubungan diplomatik dua negara apabila ada warga negara asing yang dieksekusi. Hal ini dapat kita lihat dengan tegangnya hubungan Indonesia dan Australia serta Indonesia dan Brazil setelah eksekusi tahun lalu. Oleh karena itu, kami memandang bahwa jika perbaikan ekonomi menjadi kepentingan pemerintah, moratorium hukuman mati bisa jadi salah satu solusi yang patut dipertimbangkan. Karena dengan demikian, bisa meredakan ketegangan-ketegangan yang telah terjadi sebelumnya dan tidak menambah masalah diplomatik baru,” Ricky menambahkan.

Terhadap pernyataan Luhut mengenai eksekusi 20-40 terpidana mati sekaligus[iii], Ricky mengkritisi, “Jika hal tersebut betul-betul dilaksanakan, pemerintah hanya akan mencoreng wajah situasi hak asasi manusia di Indonesia lebih parah. Indonesia, dalam cara yang tidak elok, akan disejajarkan dengan negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi yang juga punya catatan amat buruk untuk urusan eksekusi mati – padahal Indonesia selalu membanggakan dirinya berada di jajaran kelompok negara berkembang dan demokratis yang menghormati hak asasi manusia. Apa yang terjadi di negara-negara tersebut juga menunjukkan bahwa tingginya eksekusi mati juga tidak menurunkan tindak kejahatan.”

Dalam pernyataannya di Banyuwangi, Budi Waseso menyatakan bahwa eksekusi mati juga patut dilakukan mengingat masih ada terpidana mati yang melakukan peredaran gelap dari dalam penjara dan oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan untuk membangun lembaga pemasyarakatan khusus narkotika. “Ini adalah logika sesat yang selalu diulang-ulang untuk menjustifikasi eksekusi mati. Sangat jelas bahwa dalam kasus adanya peredaran gelap narkotika dari dalam penjara membuktikan bahwa yang harus dievaluasi adalah petugas dan petinggi lembaga pemasyarakatan – yang bahkan di banyak kasus para petugas lapas pun terlibat. Membangun lembaga pemasyarakatan khusus narkotika pun tidak akan bermanfaat apabila lingkungan lapas masih korup,” Ricky mengingatkan.

“Lebih dari itu,” tambah Ricky, “eksekusi mati, bagaimana pun caranya, adalah bentuk penghukuman yang kejam, tidak beradab, dan ketinggalan jaman. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik pada tahun 2005. Kovenan ini jelas-jelas mendorong negara-negara pihak, termasuk Indonesia, untuk tidak lagi menerapkan hukuman mati, maka sudah sepatutnya Indonesia mengikuti ketentuan itu. Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang masih menjalankan hukuman mati di saat negara-negara lain telah bergerak ke arah penghukuman yang lebih humanis, serta efektif. Penerapan hukuman mati terbukti tidak efektif, rentan terjadi kesalahan yang tidak bisa diperbaiki, mahal, dan dapat memperburuk hubungan diplomatik dengan negara sahabat.”

CP: Yohan Misero (085697545166)

***

[i] http://nasional.tempo.co/read/news/2016/01/12/063735093/pemerintah-akan-lanjutkan-eksekusi-hukuman-mati

[ii] http://regional.kompas.com/read/2016/01/12/06363981/Kepala.BNN.Eksekusi.Napi.Narkoba.Tak.Usah.Bertele-tele.seperti.Sinetron

[iii] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/722053-menko-luhut-minta-soal-eksekusi-mati-tak-perlu-diumbar

Pengumuman: Kami Akan Kembali Pada 11 Januari

Pengumuman!

Bahwa sejak hari Kamis ini, 24 Desember 2015, sampai Jumat, 1 Januari 2016, kantor libur dalam rangka akhir tahun.

Sedangkan dari Senin, 4 Januari 2016, hingga Jumat, 8 Januari 2016, seluruh staf LBH Masyarakat akan berada di luar kota dalam rangka rapat rencana strategis lembaga.

Kantor akan kembali aktif seperti biasa mulai hari Senin, 11 Januari 2016.

 

Tidak lupa, kami ucapkan:

Selamat Memperingati Hari Maulid Nabi Muhammad SAW bagi teman-teman Muslimin dan Muslimah,
dan Selamat Merayakan Natal bagi teman-teman yang beragama Nasrani.

Semoga damai dapat benar-benar nyata di bumi Indonesia!

Rilis Pers: LBH Masyarakat Mengecam Keras Usulan Budi Waseso agar Pengedar Narkotika Dijadikan Sasaran Tembak TNI

LBH Masyarakat mengecam dengan keras pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang mengusulkan para pengedar narkotika dilibatkan dalam latihan perang TNI sebagai sasaran tembak[i]. LBH Masyarakat mendukung penuh upaya BNN memberantas peredaran gelap narkotika tetapi upaya-upaya tersebut harus di dalam koridor hukum dan sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Pernyataan kontroversial semacam ini bukanlah yang pertama kali diujarkan oleh Budi Waseso setelah ia menjabat sebagai Kepala BNN pada tahun 2015 ini. Ia pernah menyatakan agar bandar narkotika menelan barang bukti[ii] dan agar pengedar dijejali narkotika hingga mati overdosis[iii]; menyatakan akan menenggelamkan kapal penyelundup narkotika bersama dengan para penyelundup itu sendiri[iv][v]; menyatakan bahwa 60 persen kejahatan di Indonesia karena kejahatan narkotika[vi] (hanya berdasarkan fakta bahwa 62 persen penghuni Lapas karena terjerat UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang secara tidak adil telah menyeret masyarakat yang menggunakan dan menguasai narkotika dalam jumlah kecil ke dalam penjara); menyatakan akan menghapus rehabilitasi karena hanya menghabiskan anggaran negara[vii][viii]; mengusulkan metode rehabilitasi berbasis alam yang menempatkan orang yang ketergantungan narkotika di hutan atau pulau terpencil[ix]; serta yang paling menghebohkan adalah rencana penjara khusus kejahatan narkotika yang akan dijaga oleh buaya, piranha, dan juga harimau[x], yang sayangnya mendapatkan dukungan dari beberapa orang di parlemen[xi].

“LBH Masyarakat mengecam dan menyayangkan pernyataan-pernyataan semacam ini. Menjadikan pengedar narkotika sebagai sasaran tembak TNI, bukan hanya bentuk pelanggaran hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, tetapi juga bentuk penghukuman yang biadab,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat. “Pernyataan-pernyataan tersebut tidak lebih dari ungkapan sensasional, mengada-ada, dan tidak memiliki bukti ilmiah yang sahih,” tambahnya.

“Indonesia telah meratifikasi hampir seluruh konvensi HAM internasional. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia terikat dan tunduk pada ketentuan hukum HAM internasional. Dengan demikian ketika kita hendak menghukum pelaku kejahatan tetap ada batas-batas yang harus kita patuhi dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Di samping itu, Indonesia perlu menyadari bahwa kebijakan narkotika di level internasional mulai mengalami pergeseran ke arah yang meninggalkan pendekatan yang punitif dan mulai menerapkan kebijakan yang humanis yang sungguh-sungguh melindungi warga negaranya dari dampak buruk peredaran gelap narkotika,” Ricky menambahkan.

“Pernyataan-pernyataan keras Budi Waseso tersebut justru menebar rasa takut dan meperkeruh iklim kebijakan narkotika Indonesia, sehingga pengguna narkotika enggan dan khawatir ketika mengakses layanan kesehatan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan tujuan BNN dan akan menambah panjang masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh peredaran gelap narkotika,” ujar Ricky.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk menegur Budi Waseso, sebagai Kepala BNN, agar lebih fokus pada pembenahan kebijakan narkotika dan lebih merangkul pengguna narkotika dengan tidak menyampaikan pernyataan-pernyataan yang kontroversial dan tidak berdasar.

***

[i] Budi Waseso Mau Pakai Bandar Narkoba di Latihan Perang TNI, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/18/063729019/budi-waseso-mau-pakai-bandar-narkoba-di-latihan-perang-tni

[ii] Kesal, Budi Waseso Ingin Bandar Narkoba Telan Barang Bukti, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/05/063716060/kesal-budi-waseso-ingin-bandar-narkoba-telan-barang-bukti

[iii] Buwas Ingin Pengedar Dijejali Narkoba, Overdosis lalu Mati, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/06/063716573/buwas-ingin-pengedar-dijejali-narkoba-overdosis-lalu-mati

[iv] Saingi Susi, Buwas: Kapal dan Orangnya Kami Tenggelamkan, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/09/064699142/saingi-susi-buwas-kapal-dan-orangnya-kami-tenggelamkan

[v] Budi Waseso: Mafia Narkoba Ditenggelamkan Saja, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/18/063701778/budi-waseso-mafia-narkoba-ditenggelamkan-saja

[vi] BNN: 60 Persen Kejahatan di Indonesia karena Narkotik, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/15/063727832/bnn-60-persen-kejahatan-di-indonesia-karena-narkotik

[vii] Budi Waseso: Saya Tidak Antirehabilitasi Narkoba, http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/15/063700913/budi-waseso-saya-tidak-antirehabilitasi-narkoba 

[viii] Budi Waseso Blakblakan Rencana Hapus Rehabilitasi Narkoba, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/09/064699131/budi-waseso-blakblakan-rencana-hapus-rehabilitasi-narkoba

[ix] Begini Budi Waseso Bikin Konsep Rehabilitasi Pecandu Narkoba, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/30/064705105/begini-budi-waseso-bikin-konsep-rehabilitasi-pecandu-narkoba

[x] Buaya, Piranha, dan Harimau untuk Penjara Narkoba, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151222_indonesia_budi_waseso

[xi] Jenderal Buwas Cari Buaya Buas untuk Jaga Penjara Narkoba, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151129135200-12-94724/jenderal-buwas-cari-buaya-buas-untuk-jaga-penjara-narkoba/

Siaran Pers LBH Masyarakat: Hentikan Eksekusi, Segera Terapkan Moratorium Hukuman Mati!

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati yang kembali dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI terhadap terpidana mati kasus narkotika Muhammad Abdul Hafeez, warga negara Pakistan, pada hari Minggu, 17 November 2013 dini hari.

Eksekusi ini adalah eksekusi kelima yang dilakukan oleh Indonesia sepanjang tahun 2013. Sebelumnya Indonesia telah mengeksekusi Adami Wilson, warga negara Malawi, pada bulan Maret 2013; dan Ibrahim, Jurit, dan Suryadi, kesemuanya warga negara Indonesia, pada bulan Mei 2013. Dengan eksekusi ini Presiden Susilo Bambang Yudhyono menempatkan dirinya sebagai rejim pemerintahan yang telah mengeksekusi sebanyak 21 orang sejak ia berkuasa – terbanyak setelah era Reformasi.

Mencermati pola eksekusi mati di Indonesia sejak 1998 yang marak dilakukan menjelang atau sekitar tahun pemilihan umum, dapat dikatakan bahwa penggunaan eksekusi mati di Indonesia tidak lebih dari sekedar alat politik untuk memberi kesan seolah-olah pemerintah telah dan mampu bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan yang dibenci oleh masyarakat seperti misalnya narkotika. Padahal, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa angka kejahatan kasus narkotika sejak 2008 sampai 2011 justru terus meningkat. Artinya, dalil pemerintah bahwa hukuman mati dan eksekusi dilakukan untuk memberikan efek jera adalah argumen yang tidak berdasar. Selain itu, eksekusi justru menjadi topeng untuk menutupi kegagalan pemerintah menurunkan angka kejahatan.

Tabel 1. Pengungkapan kasus narkotika oleh Kepolisian Republik Indonesia

TahunJumlah Kasus Narkotika
200810.008
200911.140
201017.897
201119.128

Sumber: website BNN yang diperoleh dari Direktorat Narkotika Polri

Tabel 2. Pengungkapan kasus narkotika oleh BNN

TahunJumlah Kasus Narkotika
2009 (Sep-Des)5
201063
201178

Sumber: website BNN

Sehubungan dengan rencana eksekusi terhadap terpidana mati lainnya, LBH Masyarakat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera menerapkan moratorium hukuman mati dan Kejaksaan Agung RI agar segera menghentikan rencana eksekusi terhadap terpidana mati lainnya dan dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, tindakan Indonesia yang melakukan eksekusi di dalam negeri adalah kontraproduktif dan tidak bermanfaat bagi upaya diplomasi dan penyelamatan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

Kedua, hukuman mati dan eksekusi telah terbukti gagal memberikan efek jera. Tinggi rendahnya kejahatan tidak semata bergantung kepada berat ringannya hukuman, tetapi faktor lain seperti lingkungan sosial, latar belakang ekonomi, dan lain sebagainya. Mengatakan bahwa tingkat kejahatan akan turun dan pelaku kejahatan terjerakan hanya karena hukuman mati dijatuhkan adalah pernyataan yang lemah dan cenderung menafikan faktor lainnya.

Ketiga, sistem peradilan Indonesia marak dengan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, dan diwarnai dengan praktik-praktik korupsi. Penjatuhan hukuman mati dan pelaksanaan eksekusi dengan sistem peradilan yang seperti itu sangatlah rentan memakan korban yang tidak bersalah. Praktiknya, eksekusi mati adalah bentuk penghukuman yang tidak dapat ditarik kembali. Dengan demikian, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan penghukuman, nyawa terpidana mati yang telah dihilangkan tidak dapat dikembalikan oleh negara.

Keempat, Komite HAM PBB (badan HAM PBB yang memantau impelementasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) telah memberikan rekomendasi kepada Indonesia di bulan Juli 2013 agar Indonesia menerapkan kembali moratorium eksekusi mati. Komite HAM PBB meminta agar Indonesia dapat menjalankan rekomendasi tersebut sesegera mungkin tidak lebih dari jangka waktu satu tahun sejak Juli 2013. Eksekusi yang dilakukan oleh Indonesia adalah bentuk pengingkaran terhadap komitmen hukum internasional yang telah dibuat oleh Indonesia.

Indonesia harus segera menghentikan rencana eksekusi mati berikutnya dan memikirkan ulang sistem pemidanaannya yang seperti telalu menyandarkan hukuman mati untuk menurunkan angka kejahatan di masyarakat.

 

Jakarta, 18 November 2013

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan, S.H., M.A.
Direktur

 

Contact person:
Ricky Gunawan
+6281210677657

Menyikapi Eksekusi Mati Terbaru yang Dilakukan oleh Kejaksaan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Menghapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengecam keras eksekusi mati yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap Adami Wilson, warga negara Nigeria terpidana mati kasus narkotika, Kamis, 14 Maret 2013, malam. Eksekusi ini adalah yang pertama dilakukan sejak November 2008.

Hukuman mati adalah pelanggaran hak untuk hidup yang telah dijamin di dalam Konstitusi Pasal 28A juncto Pasal 28I yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Jaminan konstitusional tersebut juga sejalan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada tahun 2005. Hukuman mati adalah juga bentuk penghukuman yang tidak manusiawi, tidak memiliki efek jera dan pelanggaran terhadap martabat manusia.

Koalisi HATI menilai bahwa eksekusi terhadap Adami Wilson adalah sebuah langkah mundur bagi kebijakan hak asasi manusia Indonesia dan justru menciderai komitmen politik yang telah dibuat oleh Indonesia ketika Sidang Umum PBB Desember 2012 kemarin yang memilih untuk abstain dalam hal resolusi moratorium hukuman mati. Voting abstain tersebut adalah pergeseran positif setelah di resolusi-resolusi sebelumnya Indonesia memilih untuk menolak. Eksekusi mati tersebut juga sebenarnya kontraproduktif terhadap upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk memperjuangkan warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di luar negeri. Dengan dilakukannya eksekusi mati ini, Indonesia tidak lagi memiliki legitimasi moral dan politik untuk meminta pemerintah negara lain agar tidak mengeksekusi mati WNI.

Eksekusi terhadap Adami Wilson ini sangatlah mengkhawatirkan sebab, seperti telah diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung Republik Indonesia berencana untuk melakukan eksekusi mati terhadap sembilan terpidana mati lainnya. Dengan dimulainya eksekusi ini, eksekusi mati terhadap kesembilan orang tersebut sangat berisiko tinggi akan terjadi. Koalisi HATI mendesak Kejaksaan Agung untuk menunda eksekusi mati tersebut dan segera menerapkan moratorium eksekusi mati terhadap seluruh terpidana mati di Indonesia. Moratorium bukan hanya penting untuk menghentikan eksekusi mati tetapi juga akan mengembalikan Indonesia ke jalur yang yang telah dirintisnya untuk menuju penghapusan hukuman mati sepenuhnya. Hal ini juga selaras dengan tren global dimana tidak lebih dari 20 negara, dari sekitar 200 negara di dunia, yang melakukan eksekusi mati di tahun 2011.

Koalisi HATI memandang bahwa setiap pelaku kejahatan yang serius harus mendapatkan penghukuman yang berat. Namun, penghukuman tersebut tidaklah boleh sampai mencabut nyawa manusia. Praktik hukuman mati justru tidak lebih sebagai upaya melanggengkan balas dendam. Ketika kita mengutuk tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana mati karena telah merenggut hidup banyak orang, melalui hukuman mati kita justru sedang mempraktikkan hal yang sama dengan apa yang kita kecam tersebut. Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan tidak jauh berbeda dengan mendorong agar kita semua menggunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan. Upaya memperoleh keadilan dengan motivasi balas dendam tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan peradaban manusia sekarang ini. Penghukuman justru harus dilakukan secara bermartabat dengan tetap menghargai nyawa manusia. Filosofi pemidanaan modern mensyaratkan kita untuk menerapkan keadilan restoratif, bukan retributif, yakni memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki keadaan agar dapat menjalani kehidupan di masyarakat lebih baik lagi. Sekarang saatnya Indonesia menghentikan eksekusi mati yang baru dimulai kembali dan bergerak mengarah pada penghapusan hukuman mati.

 

Jakarta, 16 Maret 2013
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Menghapus Hukuman Mati
KontraS – LBH Masyarakat – Imparsial

Kemandirian Ibu Memperjuangkan Hak Anak: Pelajaran dari Jembatan Besi

Hari Ibu yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 22 Desember adalah sebuah hari yang didedikasikan khusus terhadap ibu sebagai bentuk apresiasi karena peranannya yang besar dan krusial di dalam keluarga dan masyarakat. Ibu memegang peranan penting dalam keluarga karena ia berkontribusi bagi pembentukan karakter anak yang dilahirkan dan dibesarkan, bersama sang ayah. Peran penting yang pada akhirnya akan berkontribusi juga pada pembentukan karakter masyarakat.

Peringatan Hari Ibu biasanya selalu diisi dengan acara-acara konvensional yang sesungguhnya merayakan peran tradisionil seorang ibu. Acara seperti misalnya lomba memasak, lomba memakai kebaya dan lain semacamnya kerap diselenggarakan. Namun sesungguhnya, peringatan Hari Ibu dapat lebih sesuai perkembangan zaman dan tidak konservatif. Pada tahun ini, peringatan Hari Ibu menemukan kontekstualisasinya di masa sekarang dengan dibungkus dalam semangat perjuangan pemenuhan hak anak. Tepat di Hari Ibu, 22 Desember 2010, ratusan ibu-ibu warga Jembatan Besi dan sekitarnya akan mengajukan permohonan penetapan Akta Kelahiran untuk 15 (lima belas) dari 158 (seratus lima puluh delapan) anak ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Rencananya, setiap minggunya permohonan untuk 15 (lima belas) anak akan diajukan ke PN Jakarta Barat.

Langkah ini mungkin mudah bagi mereka yang berpunya, tapi tidak bagi mereka yang buta hukum dan berasal dari kalangan ekonomi lemah. Dengan minimnya pengetahuan seputar proses memperoleh Akta Kelahiran, jaring-jaring birokrasi yang rumit siap menjerat mereka dan pungutan liar senantiasa menghantui setiap gerak langkah mereka. Namun, kelompok ibu-ibu ini dapat membuktikan bahwa mereka berhasil melakukan gerakan bantuan hukum secara mandiri dalam memperjuangkan hak anak mereka mendapatkan Akte Kelahiran. Diawali dengan pemberian informasi hukum seputar Akte Kelahiran yang dilakukan oleh LBH Masyarakat, kemudian ibu-ibu secara kolektif mengorganisir diri, melakukan segala upaya untuk mengumpulkan persyaratan yang dibutuhkan, berhadapan dengan aparat pemerintah dengan segala kompleksitas birokrasinya, hingga akhirnya tiba di tahap pengajuan permohonan penetapan Akte Kelahiran di Pengadilan Negeri. Fase ini adalah satu titik sebelum persinggahan perjuangan terakhir mereka. Berbekal penetapan dari Pengadilan Negeri yang akan diserahkan kembali ke Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Barat, Akte Kelahiran anak mereka akhirnya akan diterbitkan.

LBH Masyarakat memandang bahwa apa yang telah dilakukan oleh ibu-ibu ini dapat menjadi cerita inspiratif dan pelajaran bagi ibu-ibu lainnya di manapun di Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan bantuan hukum secara mandiri guna memperjuangkan pemenuhan hak anak mereka. Sudah saatnya ibu dapat menunjukkan bahwa mereka bukan hanya ibu rumah tangga biasa dalam pengertian tradisional yang hanya diam di rumah dan membesarkan anak. Di kehidupan modern ini, ibu-ibu dapat memperlihatkan kepada masyarakat luas bahwa mereka mampu menjadi motor pergerakan masyarakat dalam perjuangan hak asasi, terutama hak anak.

Dalam kesempatan ini, LBH Masyarakat juga mengapresiasi kesiapan Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Barat dan PN Jakarta Barat yang mendukung kelancaran proses permohonan penetapan Akte Kelahiran ini. Tindakan positif Suku Dinas Kependudukan Jakarta Barat dan PN Jakarta Barat tentu dapat menjadi contoh yang baik bagi institusi pemerintahan lainnya sehubungan dengan pemenuhan hak warga untuk mendapatkan Akte Kelahiran. Institusi pemerintahan memang sejatinya harus melayani masyarakat, bukannya mengabaikan hak mereka. Pada akhirnya, LBH Masyarakat percaya bahwa keberhasilan perjuangan para ibu sampai sejauh ini adalah bukti konkrit bahwa masyarakat dapat berdaya dalam advokasi perjuangan hak, dan bukannya takluk di hadapan ketidakberdayaan sistem untuk menjamin pemenuhan hak warga.

 

Jakarta, 22 Desember 2010

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan

Direktur Program

Grandy Nadeak

Peneliti Hukum

Contact persons:
Ricky Gunawan
+62 812 10 677 657

Grandy Nadeak
+62 812 88 2634 86

Rilis Pers LBH Masyarakat terhadap Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta yang Menghukum Mati Baekhuni alias Babe

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) menolak vonis Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Baekhuni alias Babe dalam kasus mutilasi. Hukuman mati adalah bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak yang melekat secara inheren pada diri setiap manusia dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga. Kehidupan seorang manusia tidak diberikan oleh negara, dan oleh karenanya negara tidak memiliki hak apapun untuk mencabutnya. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental dari seluruh hak asasi manusia. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, dan juga bagi manusia yang melakukan kejahatan, tanpa terkecuali.

Hukuman mati juga merupakan bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejam karena hukuman tersebut sampai-sampai mencabut nyawa manusia. Jika kita mengatakan pembunuhan berencana itu kejam, berarti mempersiapkan regu tembak untuk menghabisi nyawa seseorang dalam hal ini Babe adalah juga kejam.  Hukuman mati juga tidak manusiawi karena ia mengingkari hakikat kemanusiaan yakni kehidupan. Ia juga merendahkan martabat manusia karena memperlakukan manusia sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara. Melihat karakternya yang eliminatif, hukuman mati tidak dapat ditarik kembali (irrevocable). Bukan tidak mungkin nyawa tidak bersalah melayang mengingat sistem pemidanaan dijalankan oleh manusia dan menjadikannya rentan karena kesalahan.

LBH Masyarakat memandang bahwa bukanlah kekejaman hukuman yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa pelaku tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur dan transparan. Seberat apapun kejahatan yang telah dilakukan, hukuman yang dijatuhkan tidaklah boleh sampai mencabut nyawa, karena hukuman mati justru menegasikan fungsi penologis sebuah lembaga pemasyarakatan. Alternatif pidana terberat yang bisa diterapkan adalah pidana penjara seumur hidup tanpa remisi (life sentence without parole). Hukuman seumur hidup akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.

LBH Masyarakat menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Babe adalah kejahatan yang kejam dan tidak dapat diterima akal sehat. Namun, atas kejahatan yang telah dilakukan oleh Babe seharusnya tidak dibalas dengan tindakan yang mencabut nyawanya. Penolakan LBH Masyarakat atas vonis hukuman mati terhadap Babe hendaknya tidak dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap keluarga korban. Penolakan terhadap hukuman mati tersebut bukanlah berarti mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Rasa kehilangan orang yang dicintai tentu dapat dipahami, namun, haruskah nyawa yang hilang dibalas dengan menghilangkan nyawa pelaku? Ketika kita mengutuk keras tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh?

LBH Masyarakat menilai bahwa mendorong keadilan restoratif yakni memulihkan keadaan korban dan bukannya melestarikan keadilan retributif yang didasarkan pada balas dendam jauh lebih penting. Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong kita menggunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan. Padahal, keadilan bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap korban.

 

Jakarta, 22 Desember 2010

Hormat kami,

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

 

Contact person:
Ricky Gunawan
0812 10 677 657