Tag: Korupsi

Kerangkeng Bupati Langkat: Bukti Suburnya Praktik Rehabilitasi Liar

Oleh LBH Masyarakat (LBHM) & Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Jakarta, 25 Januari 2022 – Penangkapan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin atas kasus korupsi, yang diikuti dengan penemuan kerangkeng besi yang diduga digunakan sang koruptor untuk mengurung pekerja yang menggarap sawitnya, turut menguak dugaan praktik perbudakan.

Jeruji besi tersebut diketahui sudah ada sejak 2012, dan dikatakan hendak digunakan sebagai tempat rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika meski tidak layak secara fasilitas. Pemberitaan menyebutkan bahwa pada 2017 Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat sempat meminta Terbit mengurus perizinan jika hendak menjadikan ruangan tersebut sebagai tempat rehabilitasi. Namun, hingga kini tempat tersebut dilaporkan tidak berizin.

Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi. Penempatan manusia ke dalam kerangkeng seperti yang dilakukan Terbit jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak, yang hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan. Masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika pun benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, hal ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi. Konsep panti rehabilitasi bukan penjara, dan tidak bisa dipersamakan dengan penjara.

Kecenderungan menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap pengguna narkotika hanya akan menciptakan ruang-ruang korupsi yang masif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Banyak pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap namun tidak memiliki bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi.

Kondisi ini memikul segudang masalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius di samping dugaan praktik perbudakan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Tindakan perampasan kemerdekaan itu bahkan dapat dijerat dengan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun”. Bahkan hukuman atas perbuatan tersebut dapat diperperberat jika ditemukan luka berat bagi orang yang dirampas kemerdekaannya.

Meskipun alasan Bupati Terbit adalah terkait rehabilitasi narkotika, justru tindakan tersebut menambah satu persoalan lagi mengenai pelanggaran aspek prosedur operasional dan legalitas, yang dapat diancam pidana dengan Undang-Undang tentang Kesehatan atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Ditemukannya tempat rehabilitasi ilegal di kediaman Bupati Langkat, justru meneguhkan temuan lapangan dalam kasus-kasus narkotika. Pertama, bagi seorang pecandu yang ditangkap aparat banyak yang dikirim ke tempat-tempat rehabilitasi bukan dalam skema proses hukum. Praktik ini dikategorikan sebagai penahanan sewenang-wenang. Sebab seseorang ditahan tanpa diputus melalui persidangan sebagai mekanisme legal untuk merampas kemerdekaan seorang. Kedua, pecandu yang dikirim ke tempat rehabilitasi sebagai rangkaian dari proses hukum. Tindakan ini alih-alih untuk melakukan pemulihan, justru secara hukum dianggap bagian dari menjalani penghukuman.

Praktik serupa kerap terjadi pada panti-panti sosial bagi penyandang disabilitas mental. Mereka dikurung dalam jeruji besi sehingga tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat dan berkomunikasi dengan pihak luar. Praktik yang diklaim sebagai upaya penyembuhan justru
menghadirkan permasalahan baru karena abai terhadap pelindungan hak-hak dasar para korbannya. Praktik pengurungan seperti ini merupakan bukti akan adanya pengambilan keputusan secara sepihak, sewenang-wenang, dan di luar pengawasan medis, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan.

Lebih jauh, praktik ilegal demikian berpotensi sebagai tempat penyiksaan. Temuan masyarakat sipil terhadap tempat penyiksaan biasanya dilakukan di tempat tertutup. Institusi kepolisian menempati tempat yang paling banyak terjadi penyiksaan. Terakhir kejadian yang menimpa FNS, seorang pecandu narkotika yang ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan meninggal diduga kuat disiksa karena ditemukan luka disekujur tubuhnya. Di beberapa tempat lain seperti panti-panti
rehabilitasi dan panti-panti sosial, tidak luput dari ruang potensial terjadinya penyiksaan. Situasi ini mengkhawatirkan karena praktik penyiksaan dilakukan di tempat-tempat tertutup. Dari aspek pembuktian, kondisi tersebut menghambat pengungkapan kasusnya dan menyeret pelaku. Sehingga tidak jarang, kasus-kasus penyiksaan mandek tanpa ada kejelasan status hukumnya.

Berdasarkan uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menuntut:

  1. Polri untuk meminta pertanggung jawaban hukum kepada Bupati Terbit atas tindakannya melakukan dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan seorang;
  2. Polri menutup tempat-tempat serupa tahanan seolah-olah sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial;
  3. Penutupan oleh Polri disertai dengan koordinasi dengan lembaga negara terkait untuk memastikan hak-hak dasar para korban tidak terabaikan, khususnya perihal tempat tinggal yang layak serta menghindari stigma dari masyarakat;
  4. Kelompok kerja untuk pencegahan penyiksaan yang terdiri dari Komnas HAM, KPAI, Ombudsman, LPSK, Komnas Perempuan untuk mengintensifkan kembali kunjungan ke tempat-tempat penahanan dan serupa tahanan.

Rilis Pers – Tuntutan Pidana Mati Koruptor: Melenceng dari Pemberian Efek Jera dan Menghambat Pemenuhan Keadilan Korban

Terdakwa tindak pidana korupsi dalam perkara ASABRI dituntut dengan pidana mati oleh Kejaksaan Agung. Ia diduga menikmati hasil kejahatan sebesar Rp 12,6 triliun dari total kerugian keuangan negara sebanyak Rp 22,7 triliun. Dari segi jumlah korupsi, perkara ini memang terbilang cukup besar, namun permasalahannya: apakah hukuman mati efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku?

Penerapan tuntutan pidana mati dalam perkara korupsi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Jauh sebelum ini, tepatnya pada tahun 2006, Korps Adhyaksa juga pernah menuntut mati terdakwa pembobol Bank BNI, Dicky Iskandar Dinata. Saat itu, majelis hakim menolak tuntutan tersebut dengan alasan pasal yang digunakan jaksa penuntut umum tidak ada dalam dakwaan. Sebab, secara hukum, majelis hakim bukan berpegang pada tuntutan, akan tetapi pasal-pasal yang tertera dalam surat dakwaan.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam perkara ini sangat terlihat masih berorientasi pada pelaku semata. Padahal, esensi pemidanaan modern harus turut mempertimbangkan keadilan bagi korban kejahatan. Maka dari itu, tuntutan pidana mati ini menihilkan kerugian korban untuk mendapatkan pemulihan, baik melalui mekanisme ganti rugi atau pengembalian uang atas perkara korupsi di ASABRI.

Skema pemulihan kerugian korban sangat panjang, berliku dan banyak hambatan. Hal ini bisa dipengaruhi karena minimnya regulasi, rendahnya kapasitas aparat penegak hukum, dan skema pengembalian aset yang juga tidak transparan. Di tengah sengkarut dan ketidakmampuan untuk memaksimalkan upaya restorative jutice / pemulihan korban, Kejaksaan justru menyuguhkan tuntutan pidana mati dalam perkara ASABRI sebagai pencapaian agenda pemberantasan korupsi yang diklaim berpihak pada korban. Faktanya, korban tindak pidana korupsi hanya dijadikan bantalan dalam melegitimasi tuntutan pidana mati yang belum tentu dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku dan tidak berperspektif pada pemulihan korban.

Sudah sepatutnya Kejaksaan Agung memaksimalkan upaya pemulihan dalam bentuk pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi. Sebab, jika dilihat dari data tren vonis korupsi yang dilansir oleh ICW, pada tahun 2020 Kejaksaan menyidangkan perkara korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 56,7 triliun, akan tetapi uang pengganti yang dikabulkan oleh majelis hakim hanya berkisar Rp 19,6 triliun. Dengan sederhana masyarakat dapat memahami bahwa pemulihan kerugian keuangan negara belum tuntas dikerjakan oleh Kejaksaan Agung.

Atas uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar:

  • Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa dan mengadili kasus ASABRI, menolak tuntutan pidana mati yang diajukan tim Kejaksaan dan memberikan vonis maksimal seumur hidup kepada terdakwa;
  • Kejaksaan Agung memaksimalkan upaya perampasan aset dari perkara tindak pidana korupsi ASABRI;
  • Kejaksaan Agung melakukan pemulihan terhadap korban tindak pidana korupsi dalam perkara ASABRI.

RIlis pers bersama LBHM & ICW

Rilis Pers – 6 CATATAN UNTUK PARA HAKIM DI HARI KEHAKIMAN

Setiap tanggal 1 Maret di Indonesia, terdapat yang namanya Hari Kehakiman. Situasi kehakiman di Indonesia menjadi sorotan oleh kelompok masyarakat sipil beberapa waktu kebelakang ini. Secara undang-undang Hakim merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sayangnya, LBHM dan LBH Jakarta menemukan beberapa praktik-pratik yang mencoreng nama Hakim itu sendiri seperti:
1) Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption;
2) Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan; 
3) Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
4) Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
5) Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa;
6) Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel.

Oleh karenanya LBHM dan LBH Jakarta mendesak adanya segera perbaikan (evaluasi dan reformasi kehakiman) dalam tubuh Mahkamah Agung. Adapun poin tuntutan dari LBHM dan LBH Jakarta dapat teman-teman lihat dalam rilis pers di link berikut:

Skip to content