Tag: Penyiksaan

Peserta Aksi May Day Mengalami Tindakan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual, TAUD Buat Laporan ke Mabes POLRI

Jakarta, 16 Juni 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah korban membuat Laporan Polisi (LP) kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas adanya tindak pidana kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Tak hanya itu, TAUD juga melaporkan dugaan pelanggaran etik ke beberapa unit lain di internal Polri yaitu; Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik), dan Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri.

Pelaporan dan pengaduan ini dilakukan karena TAUD menemukan fakta terdapatnya tindakan kekerasan pada saat aksi Hari Buruh Internasional (May day) 1 Mei 2025 yang dilaksanakan di wilayah Jakarta sekitaran Gedung DPR/MPR. TAUD menemukan sejumlah peserta aksi may day yang menjadi  korban tindak kekerasan dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian. Adapun tindakan yang mereka alami antara lain berupa intimidasi, dipiting dan dipukul hingga mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Korban tersebut meliputi mahasiswa/i, masyarakat sipil, dan juga paramedis. 

Tindakan kekerasan tersebut terjadi saat situasi demonstrasi yang chaos dan para peserta aksi meninggalkan lokasi titik aksi peringatan Hari Buruh Internasional. Setelah lebih dari 1 kilometer para peserta meninggalkan lokasi aksi, para peserta aksi mendapatkan represifitas dan tindakan brutal yang diduga kuat dilakukan oleh sejumlah aparat kepolisian di sekitar kolong jembatan layang (flyover) Jl. Gerbang Pemuda..

Tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut jelas telah melanggar dan memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pengeroyokan, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang. Serta, Pasal 351 KUHP yang mengatur mengenai tindakan penganiayaan, yaitu tindakan yang menyebabkan rasa sakit, luka, atau merusak kesehatan orang lain. 

Selain itu, tindakan kekerasan seksual dialami oleh salah satu perempuan paralegal dari tim medis (perempuan pembela HAM), yang diteriaki ‘lonte’, ‘pukimak’, ‘telanjangin-telanjangin’ hingga menarik baju dalam korban yang diduga dilakukan juga oleh aparat kepolisian. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 11 UU TPKS Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 5 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 6 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mana menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual secara fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh aparat sebagai pejabat negara dengan tujuan persekusi, menuduh hal yang dicurigai, mempermalukan dan merendahkan martabat perempuan merupakan tindakan penyiksaan seksual dengan tidak terbatas pada ruang privat namun juga di ruang publik. Sehingga, menimbulkan dampak perlukaan fisik dan psikososial yang mempengaruhi hak atas rasa aman korban di ruang publik. 

Dari apa yang dialami oleh seluruh korban, TAUD meyakini telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 11 UU TPKS, Pasal 5 dan Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS. Setelah diminta untuk berkonsultasi dengan Perwira Piket dan Petugas SPKT pada Mabes Polri yang memakan waktu sekitar 9 jam, akhirnya Mabes Polri menerima 4 (empat) Laporan Polisi yang dilaporkan oleh para korban. Laporan ini didasarkan oleh bukti-bukti terjadinya tindak pidana yang dihimpun oleh TAUD berupa foto dan video.

Adapun Laporan Polisi (LP) yang telah tercatatkan pada SPKT Badan Reserse Kriminal Republik Indonesia pada Mabes Polri adalah sebagai berikut:

  1. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/280/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  2. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/284/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  3. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/285/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  4. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/286/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 17 Juni 2025.

Setelah membuat Laporan Polisi (LP), TAUD juga mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik). Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum acara pidana yang dilakukan oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya terhadap keempat belas klien kami. Mulai dari pelanggaran prosedur dalam penangkapan, jangka waktu penangkapan, penetapan tersangka yang tidak sah, serta mekanisme “pemeriksaan” ilegal yang tidak diatur dalam KUHAP.

TAUD juga membuat pengaduan kepada Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri berdasarkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/002676/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 16 Juni 2025. Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian berupa kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat, pelanggaran hukum dalam proses hukum acara pidana, serta penyebaran berita bohong atau informasi yang keliru oleh pejabat kepolisian dalam proses penanganan kasus yang melibatkan keempat belas korban kekerasan tersebut.

Atas tindakan kekerasan fisik dan seksual yang dialami para korban serta dugaan pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses penyelidikan/penyidikan terhadap 14 orang klien kami, TAUD mendesak:

1. Bareskrim Polri menerima dan memproses laporan sebagai bentuk komitmen Polri dalam menindaklanjuti setiap pengaduan dari masyarakat sipil demi menegakkan keadilan bagi korban.

2. Divisi Propam Mabes Polri menerima pengaduan, melakukan Audit Investigasi dan pemeriksaan terhadap setiap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian (KEPP) pada serangkaian proses penangkapan sampai dengan tahap penyidikan.

3. Kepala Biro Pengawasan Penyidik Mabes Polri melakukan pemeriksaan terhadap seluruh rangkaian proses penyelidikan-penyidik perkara klien kami;

4. Kapolri untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan fisik dan seksual pada peringatan May Day 1 Mei 2025, dengan melakukan pemeriksaan internal secara menyeluruh dan transparan.

5. Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk segera melakukan penyelidikan independen terhadap tindakan kekerasan yang terjadi dalam aksi May Day, serta mengeluarkan rekomendasi pemulihan dan jaminan ketidak berulangan.

6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan atas keamanan para korban dan para saksi serta memfasilitasi restitusi penderitaan fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi yang dialami para korban dengan melakukan koordinasi dengan penyidik yang menindaklanjuti laporan.

7. Pemerintah dan institusi Polri  untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai dengan amanat konstitusi, serta menghentikan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap peserta aksi.

8.  Adanya mekanisme pemulihan dan reparasi bagi para korban, baik secara psikologis, hukum, maupun material, yang harus difasilitasi oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.

 

Hormat kami,

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Negara Harus Mengusut Pelanggaran HAM serta Menindak Tegas Pelaku Kekerasan terhadap Warga Sipil di Yuguru, Nduga, Papua Pegunungan

Jakarta, 13 Juni 2025 – Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru mengecam keras tindakan penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) terhadap seorang warga sipil Papua bernama Abral Wandikbo (27 tahun), asal Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Tindakan keji ini diduga dilakukan oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 22–25 Maret 2025 ketika menjalankan operasi militer di Kampung Yuguru.

Abral  Wandikbo  bukanlah  anggota  kelompok  bersenjata,  kelompok pro-kemerdekaan Papua, dan tidak memiliki keterlibatan apapun dalam aktivitas bersenjata. Justru sebaliknya, almarhum dikenal aktif membantu aparat dalam pembangunan kembali lapangan terbang Yuguru, demi memfasilitasi mobilitas masyarakat.

Namun, pada 22 Maret 2025, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI saat memeriksa rumah warga satu per satu. Dia ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti yang sah serta tanpa didampingi kuasa hukum. Ia kemudian dibawa ke pos TNI di lapangan terbang Yuguru dan tidak pernah kembali.

Baru pada 25 Maret 2025, Abral ditemukan telah meninggal dunia dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya termutilasi, telinga, hidung, dan mulut hilang, kaki dan betis melepuh serta kedua tangan terikat dengan borgol plastik (plasticuff). Koalisi menduga kuat bahwa Abral menjadi korban penyiksaan berat sebelum akhirnya dibunuh. Ironisnya, sebelumnya aparat TNI menyampaikan kepada keluarga bahwa Abral akan dipulangkan dalam keadaan hidup, namun kemudian menyebarkan narasi menyesatkan bahwa korban “melarikan diri”.

YKKMP bersama koalisi masyarakat sipil pada Jumat, 13 Juni 2025 telah melakukan audiensi resmi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk melaporkan kasus tersebut sebagai dugaan pelanggaran HAM berat, seperti yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan standar internasional.

Hak korban untuk hidup, tidak disiksa, dan hak untuk merasa aman jelas-jelas dilanggar. Begitu pula hak korban untuk mendapat pendampingan hukum ketika ditangkap juga diabaikan begitu saja oleh aparat yang menangkapnya.

Selain pembunuhan di luar hukum atas korban, koalisi juga mendapat laporan bahwa sebelum terjadinya kasus tersebut, aparat TNI juga diduga merusak rumah-rumah warga dan fasilitas umum di wilayah tersebut. Sebelum kasus mutilasi Abral Wandikbo, investigasi YKKMP juga menemukan fakta-fakta bahwa anggota

TNI telah melakukan perusakan terhadap sejumlah rumah warga dan fasilitas publik di kampung tersebut. Warga melihat anggota TNI melakukan pembongkaran sembilan rumah warga dan satu puskesmas, untuk mengambil papan, kayu-kayu, dan peralatan lainnya, pada tanggal 22-23 Februari 2025. Kemudian sekolah juga digeledah oleh anggota TNI pada tanggal 24 Februari 2025 hingga peralatan belajar dihamburkan seperti buku-buku, ijazah, surat baptis, dan lain sebagainya. Ini jelas pelanggaran hak warga untuk merasa aman, begitu pula pelanggaran atas hak kesehatan, hak atas pendidikan dan hak anak.

Komnas HAM mencatat ada 113 peristiwa terkait hak asasi manusia terjadi di Papua sepanjang tahun 2024, 85 kasus di antaranya berdimensi konflik bersenjata dan kekerasan. Konflik ini menimbulkan dampak besar terhadap warga sipil, termasuk korban jiwa, luka-luka, dan pengungsi internal. Koalisi diterima oleh Ketua Komnas HAM Anies Hidayah dan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P Siagian.

Anis menyatakan keprihatinannya terhadap aksi kekerasan berupa pemukulan, pembunuhan dan mutilasi terhadap warga sipil di kampung Yuguru, Papua.

“Komnas HAM mengecam aksi kekerasan itu, karena hak.hidup adalah hak fundamental. Kami mendorong tidak terjadi impunitas atas kasus kekerasan di Papua,” kata Anis Hidayah

Atas tragedi kemanusiaan ini, Koalisi menyampaikan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah dan TNI harus segera mengusut tuntas dugaan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Abral Wandikbo, serta dugaan perusakan rumah dan fasilitas umum di Yuguru. Aparat TNI di lapangan maupun pimpinan mereka di tingkat komando harus dimintai pertanggungjawaban hukum secara adil dan transparan.

Kedua, Pemerintah harus memberikan pemulihan menyeluruh kepada keluarga korban dan warga Kampung Yuguru yang turut terdampak. Pemerintah daerah juga harus merenovasi fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas yang rusak, serta memastikan kebutuhan pendidikan dan kesehatan warga terpenuhi.

Ketiga, Komnas HAM harus menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat dan segera memulai penyelidikan pro justitia sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Keempat, Pelaku penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan harus diadili secara terbuka di pengadilan sipil, bukan militer, demi menjamin keadilan dan akuntabilitas publik.

Kelima, Negara harus segera menghentikan pendekatan militeristik dalam penyelesaian konflik di Tanah Papua, yang selama ini makin memperparah kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga sipil.

Keenam, Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi pemantau HAM independen, jurnalis, dan organisasi kemanusiaan ke wilayah Papua, termasuk ke Kampung Yuguru, sebagai bentuk transparansi dan jaminan hak atas informasi. Tanpa akses yang adil bagi media dan semua pemantau HAM independen di Papua, maka Papua akan terus berada dalam bayang bayang ketertutupan dan potensi pelanggaran HAM yang luput dari pengawasan publik akan terus terjadi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru: 
  1. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua
  2. Amnesty International Indonesia
  3. Biro Papua PGI
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  5. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  6. Asia Justice and Rights
  7. LBH Masyarakat (LBHM)
  8. AJI Indonesia
  9. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

Rumah Tahanan Polisi Ladang Penyiksaan: Hentikan Penahanan di Kantor-Kantor Kepolisian, Revisi KUHAP dan UU Narkotika Sekarang!

Oleh LBH Masyrakat (LBHM), ICJR & Rumah Cemara

17 Januari 2022 – Lagi dan lagi, tahanan kepolisian meninggal. Beberapa media melaporkan korban kejadian ini terjadi pada FNS seorang tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan. Kematian FNS terjadi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta pada Kamis, 13 Januari 2022.

Menurut rekannya yang pernah menjenguk di rumah sakit, bahwa ia pernah mendengar FNS mengeluhkan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan rekan FNS melihat luka di kaki kulitnya pecah yang menimbulkan bercak darah di bagian paha. FNS mengaku kepada rekannya bahwa dirinya kerap dipukuli. Terkait kematian tahanan tersebut, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto membenarkan adanya tahanan Polres Metro Jakarta Selatan yang meninggal dunia, namun pihak Polres menyatakan sebab kematian karena sakit demam dan tidak nafsu makan.

Meskipun Kapolres Metro Jakarta Selatan mengklaim bahwa kematian tahanan tersebut disebabkan sakit, Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya. Karena FNS meninggal pada saat menjalani masa penahanan, terlebih lagi ada klaim darinya bahwa ia pernah dipukuli dan ada tanda-tanda luka.

Indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali, terlebih dalam perkara narkotika. Sebelumnya, pada Agustus tahun 2020 lalu, publik dihebohkan atas dugaan penyiksaan yang dialami Hendri Alfred Bakar. Kematian Hendri saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam diduga akibat penyiksaan. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.  

Praktik penyiksaan dalam proses hukum ini sesungguhnya telah lama dilaporkan komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh LBH Masyarakat pada 2011 menyebutkan bahwa dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi tersebut dipertegas kembali pada tahun 2021 yang menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras.

Tiga Permasalahan Mendasar

Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini.

Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Saat ini ada catat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan. Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan mehanan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan.

Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.

Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, dimana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan. Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan real time.

Atas hal ini, ICJR, LBH Masyarakat dan Rumah Cemara mendesak:

  1. Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) segera melakukan respon cepat dengan melakukan pemantauan dan asesmen pada tempat-tempat penahanan dan melakukan investigasi mandiri pada kasus ini agar memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi; Polri juga perlu  menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan;
  2. dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan, dan;
  3. Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera melakukan langkah konkret melakukan revisi KUHAP dan UU Narkotika. Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang dalam KUHAP ke depan, dekriminalisasi pengguna narkotika harus disusun dalam revisi UU Narkotika.

id_IDIndonesian