Skip to content

Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Policy Brief Risiko dan Mitigasi Dampak Pengaturan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Pelaksana KUHP

Formalisasi Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (HYHDM) dalam KUHP membawa risiko   besar bagi kelompok marginal dan rentan, serta menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam hukum pidana nasional. Sebab, formalisasi HYHDM berpotensi mematikan sifat dinamis dan fleksibel dari HYHDM, meningkatkan obesitas regulasi dan berbiaya tinggi di tingkat daerah, serta memperkuat diskriminasi dan hegemoni kelompok elit dominan di dalam masyarakat.

Dampak nyata dari formalisasi ini adalah over-kriminalisasi, ketidakpastian hukum, dan disparitas dalam pelaksanaan hukum pidana, yang bisa memperparah ketidakadilan bagi  kelompok marginal dan rentan. Maka, sebaiknya Pemerintah tidak perlu membentuk peraturan pelaksana HYHDM. Namun apabila pembentukan peraturan pelaksana tetap dilanjutkan, diperlukan upaya mitigasi yang sistematis berlandaskan prinsip keadilan, partisipatif, pemberdayaan, dan keberpihakan dalam proses pembentukan peraturan pelaksana KUHP.

Untuk meminimalisir risiko dari peraturan pelaksana KUHP, policy brief ini akan menekankan pada pembentuk peraturan untuk memperhatikan aspek proses, indikator substansi, dan implementasi ketentuan HYHDM

Unduh Policy Brief:

Laporan Dokumentasi Implementasi Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan

Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan (SDPK) adalah istilah yang berasal dari konsep supported decision-making yang penjelasannya tercantum dalam Komentar Umum Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Konsep SDPK merupakan mekanisme alternatif bagi Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) untuk menggantikan konsep substitute decision-making yang sarat diskriminasi.

Secara konseptual, SDPK menghormati otonomi, keinginan, dan preferensi individu, sebagaimana tertuang dalam dokumen komentar umum yang sama poin ke-24. Selain itu, SDPK juga merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat orang dengan disabilitas sebagai penentu utama keputusan.

Konsep SDPK menempatkan individu sebagai subjek yang menentukan pengambilan keputusan meski terdapat orang lain yang membantunya, sehingga berdampak positif pada kemandirian dan produktivitas individu tersebut.

Meskipun SDPK memiliki penjelasan terperinci dan berkaitan erat dengan persoalan kapasitas hukum, CRPD tidak memberi aturan baku implementasi SDPK. Begitupun dengan Indonesia, sebagai salah satu negara pihak dalam CRPD, belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, termasuk aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, secara formal, Indonesia masih belum mampu menghapus pengampuan yang berkiblat pada paradigma substitute decision-making.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, maupun aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, Indonesia masih belum mampu menghapus sistem pengampuan yang berhaluan SSPK, sebuah sistem yang menjadi antitesa SDPK.

Namun, penerapan SDPK di Indonesia tidaklah mustahil, sebab pengakuan hak-hak dasar orang dengan disabilitas telah tercantum dalam berbagai peraturan, termasuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak-hak orang dengan disabilitas beserta beberapa peraturan turunannya.

Beberapa peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang memuat hak-hak dasar, termasuk yang berkaitan dengan SDPK. Ditambah lagi, meski belum spesifik membahas SDPK, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) yang dikelola oleh beberapa pemangku kepentingan di pemerintahan, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Gagasan SDPK bersifat multidimensional dan bentuk implementasinya beragam. Ragam implementasi itu tercantum dalam penelitian LBHM (2021) yang membandingkan praktik SDPK di berbagai negara yang menegaskan bahwa ada dugaan kuat bahwa praktik-praktik yang mengusung prinsip SDPK sejatinya sudah terlaksana di Indonesia, meskipun sifatnya informal.

Salah satu contohnya adalah kelompok dukungan sebaya atau peer-support group yang telah dipraktikkan oleh organisasi masyarakat sipil. Contoh lainnya adalah peer counseling dimana konseling dilakukan oleh sebaya, bukan oleh profesional. Konsep peer counseling sendiri muncul dari kebutuhan menghilangkan jarak antara konselor dengan yang berkonsultasi, agar hubungannya lebih setara. Selain itu, terdapat pula konsep group activity atau aktivitas kelompok yang dalam pelaksanaannya menerapkan prinsip dalam SDPK.

Unduh laporan dokumentasi untuk mengetahui bagaimana praktik SDPK ini dilakukan di Indonesia oleh KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan REMISI (Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia):

Versi Bahasa Indonesia

Versi Bahasa Inggris

Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia

Orang dengan Sindroma Down di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses hak-hak dasar mereka, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Hasil riset LBHM bersama YAPESDI berjudul “Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia” (2023) mengungkapkan berbagai tantangan signifikan yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down.

Akses pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down masih terbatas dan fakta tersebut terlihat dari rendahnya jumlah siswa Sindroma Down di sekolah. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah jumlah orang dengan Sindroma Down yang mengaksesnya. Di samping persoalan ketersediaan, dunia pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down juga masih menghadapi tantangan aksesibilitas dan inklusivitas.

Di bidang pekerjaan, pemerintah juga masih terkendala untuk mendorong penyedia kerja baik pemerintah maupun swasta untuk menyediakan lowongan bagi orang dengan Sindroma Down. Orang dengan Sindroma Down tak bisa mengakses layanan perbankan secara setara karena salah paham mengenai kapasitas hukum dan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri.

Melihat dari persoalan di atas, bagaimana akses pemenuhan hak-hak dasar, yakni hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perbankan, dan hak atas layanan publik, yang meliputi layanan kesehatan, layanan akomodasi, layanan administrasi dan pendataan, serta jaminan sosial, terhadap orang dengan Sindroma Down?

Selain itu apa saja kendala yang dihadapi orang dengan Sindroma Down untuk mendapat pemenuhan hak-hak tersebut?

Baca selengkapnya melalui link di bawah ini:

Sobat Matters juga dapat mengakses laporan penelitian tersebut dalam versi bahasa sederhana melalui link di bawah ini:

Pengalaman dan Pembelajaran dari Pendampingan terhadap Enam Terpidana Mati dalam Pengajuan Peninjauan Kembali

Pada 2023, LBH Masyarakat (LBHM) mengajukan lima permohonan Peninjauan Kembali (PK) melalui tiga Pengadilan Negeri berbeda di wilayah DKI Jakarta. Satu permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada 2022. Adapun kelima Pemohon PK di tahun 2023 ini merupakan terpidana mati dengan pembagian empat Warga Negara Asing (WNA) dan satu Warga Negara Indonesia (WNI). Satu dari lima orang ini merupakan perempuan dan satu-satunya WNI. Kelima terpidana mati yang mengajukan PK ini telah menjalani pemidanaan selama 7-9 tahun.

Kesemua Pemohon PK mendalilkan alasan adanya kekhilafan hakim dalam menjatuhkan pidana, yang mana narasi permohonan ini kami kembangkan sesuai dengan gagasan dan semangat KUHP baru (2023). Dalam KUHP 2023, pidana mati berubah menjadi pidana alternatif, dimana terdapat ketentuan yang mengatur perihal adanya perubahan pidana mati dengan alasan ‘menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji’.

Atas dasar inilah, LBHM merasa sudah tepat jika kelima terpidana mati yang mengajukan PK ini perlu mendapatkan perhatian, mengingat mereka sudah menjalani pemidanaan hampir selama 10 tahun, tidak pernah melakukan/berbuat tindak pidana lain, dan tidak pernah melakukan pelanggaran bersifat administratif.

Selain itu, pada 7 Oktober 2022 lalu, LBHM sebagai kuasa hukum perempuan terpidana mati Merri Utami, mengajukan permohonan sekaligus menyerahkan dokumen PK kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Tangerang (PN Tangerang).

Selama proses pendaftaran, pihak yang bertugas di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Tangerang mengecek seluruh kelengkapan dokumen beserta alasan alasan PK. Pada saat itu, petugas PTSP menilai bahwa PK Merri Utami ini sudah pernah diajukan pada 2014 sehingga untuk pengajuan PK yang lebih dari satu kali tidak diperkenankan.

Mendapatkan penjelasan tersebut, LBHM mendorong agar yang melakukan penilaian adalah Mahkamah Agung sehingga dokumen PK secara administratif dikirimkan saja ke Mahkamah Agung untuk diregister.

Bagaimana pengalaman LBHM dalam menangani seluruh permohonan PK tersebut, baik secara kendala maupun tantangan, atau hal baik yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran?

Baca selengkapnya terbitan baru kami melalui link di bawah ini:

Download

Perkembangan Pidana Mati dalam Proses Peradilan: Analisis Awal Berbasis Kasus Berdimensi Hukuman Mati Terbaru

Indonesia sudah menunjukan gejala perubahan ke arah abolisi hukuman mati dengan disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun Indonesia masih mempertahankan keberadaan hukuman mati secara de jure, namun perkembangan dalam KUHP yang mengubah karakter dari hukuman mati menjadi hukuman alternatif dengan masa percobaan 10 tahun patut diapresiasi sebagai langkah mendekati penghapusan hukuman mati.

Kabar pergerakan penghapusan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan Indonesia ini sudah terdengar sejak satu dekade yang lalu dan semakin riuh terdengar realisasinya sejak sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019 sampai dengan 2021.

Perkembangan KUHP dengan ketentuan pidana mati yang baru ini mendorong Reprieve dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk melihat apakah Indonesia sudah siap atau sudah memulai proses penyesuaian diri dengan ketentuan hukum yang akan berlaku pada tahun 2026 dengan melihat pola penuntutan dan penjatuhan putusan pidana mati.

Berangkat dari perhatian tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah Jaksa dan Hakim mengaplikasikan semangat yang tertuang dalam KUHP yang baru?

Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana

KUHP Baru yang disahkan akhir tahun 2022 lalu oleh DPR bersama Presiden masih memuat pidana mati sebagai hukuman yang diberlakukan dalam tindak pidana di Indonesia. Meski pidana mati masih dipertahankan, KUHP Baru menempatkan pidana mati bukan lagi pidana pokok sebagaimana existing KUHP. Ini artinya, pidana mati bukan lagi pemidanaan yang bersifat utama.

Dalam konteks implementasinya, KUHP Baru mengatur terkait penerapan pidana mati diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 98 KUHP Baru.

Tetapi secara konseptual, skema pidana mati alternatif ini menjadikan tindak pidana yang bersifat khusus berubah menjadi tindak pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 67 KUHP Baru dan penjelasannya, diantaranya tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.

Dari konstruksi hukum tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis, apa saja jenis-jenis tindak pidana yang tidak disebutkan dalam Penjelasan Pasal 67 KUHP Baru? Apakah pidana mati akan diberlakukan secara alternatif juga?

Baca selengkapnya terbitan baru kami: “Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana”

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2023 – Kelabu(i) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lewat instrumen hukum dan kekuasaannya, rezim Joko Widodo (Jokowi) mempertunjukkan praktik busuk, bagaimana bangunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi itu dirobohkan. Kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi juga masif kita lihat, utamanya tertuju kepada kelompok rentan dan populasi kunci.

Dalam konteks elektoral di tahun 2024, masing-masing kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden intens mengobral janji, ditandai dari merebaknya penggunaan slogan no one left behind, padahal slogan itu tak lebih dari jargon semata untuk mendulang suara dan terkesan inklusi.

Di tengah praktik negara yang kian ugal-ugalan, lewat gerakan bantuan hukum yang digagas lebih dari 2 windu (16 tahun), LBH Masyarakat (LBHM) konsisten mengawal penghormatan dan pemenuhan demokrasi serta gigih membersamai korban pelanggaran HAM. Kerja-kerja LBHM itu terpotret dalam Laporan Tahunan 2023, yang mengangkat tema: Kelabu(i) Demokrasi & Hak Asasi Manusia.

Silakan membaca Laporan Tahunan 2023 melalui link ini.

Karpet Merah bagi Koruptor dan Penjahat HAM, Bahaya Kriminalisasi bagi Pengguna Narkotika: Legal Opinion tentang Pidana Khusus dalam KUHP

Tahukah kamu, Sobat Matters? Kalau sejak awal pembahasan draft KUHP Baru oleh DPR bersama Presiden saat itu sudah menimbulkan potensi overlap (tumpang tindih) dengan undang-undang asalnya. Banyak pasal-pasal yang kontra-produktif dengan karakteristik tindak pidana khusus yang berbeda dengan tindak pidana umum.

Meskipun tim perumus KUHP Baru saat itu mengadopsi skema bridging article yang menjembatani tindak pidana khusus dalam ketentuan asal dengan ketentuan dalam KUHP Baru, yang terlihat justru pasal-pasal copy-paste dalam KUHP Baru. Bahkan, penarikan tindak pidana khusus ke dalam KUHP Baru merevisi pemidanaan dalam ketentuan asal.

Seharusnya, KUHP Baru mengembangkan berbagai rumusan yang belum diatur dalam ketentuan asal, sehingga karakteristik dari tindak pidana khusus semakin terlihat dan bervariasi, khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan korupsi, hak asasi manusia, hingga pengguna narkotika.

Bagaimana subtansi aturan dalam KUHP Baru itu yang cenderung melemahkan karakteristik pidana khusus? Selengkapnya baca Legal Opinion mengenai hal tersebut melalui link di bawah ini:

Pembatasan oleh Negara yang Melampaui Batas: Legal Opinion tentang Hak Kebebasan Berpendapat dalam KUHP

Tahukah kamu, Sobat Matters? Kalau pada tahun 2023 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang (UU).

Pengesahan RKUHP ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).

Meskipun telah disahkan menjadi undang-undang, KUHP Baru itu masih banyak menuai kontroversi dari masyarakat. Salah satu kontroversi itu berkaitan dengan delik kebebasan berpendapat, seperti Pasal 218-220, Pasal 240-Pasal 241, dan Pasal 353-Pasal 354.

Mengapa pasal-pasal itu menuai kontroversi di masyarakat? Selengkapnya baca Legal Opinion mengenai hal tersebut melalui link di bawah ini: