Skip to content

Kacamata Kuda Kebijakan Narkotika Indonesia

Nama saya Astried Permata. Saya bekerja di LBHM sejak Maret 2017 dan mulai saat itu saya mulai mengenal isu narkotika lebih dalam. Pada akhir 2017, dengan dukungan International Drug Policy Consortium (IDPC), LBHM bersama No Box dari Filipina dan Ozone dari Thailand mengadakan riset mengenai perempuan, pemenjaraan, dan kebijakan narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan the cost of war on drugs terhadap perempuan – secara spesifik di Indonesia, Thailand, dan Filipina. Selain saya sendiri, di Indonesia penelitian ini dikerjakan oleh perempuan-perempuan hebat di LBHM yakni: Arinta Dea, Ajeng Larasati, dan Naila Rizqi. Tulisan ini tidak akan bercerita tentang hasil penelitian itu – yang tentu akan dikabarkan ke khalayak pada lain waktu –  melainkan sebuah acara besar tentang narkotika di Vienna yang saya hadiri.

Untuk menceritakan hasil penelitian kami pada dunia, pada pertengahan Maret kemarin saya berkesempatan untuk menghadiri The Commission on Narcotic Drugs (CND) yang ke-62. CND adalah sebuah komisi di dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas untuk membantu Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) PBB dalam hal mengawasi implementasi konvensi-konvensi internasional di bidang narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) lainnya – di luar alkohol (yang tak diatur konvensi internasional) dan tembakau (yang memiliki konvensinya sendiri). CND bertemu setiap tahun di Vienna dan dihadiri oleh negara-negara anggota PBB (termasuk Indonesia), berbagai lembaga PBB, perwakilan masyarakat sipil, dan 53 negara anggota CND. Masing-masing negara melaporkan kemajuan maupun kemunduran situasi permasalahan napza di negaranya.

Sebagai kesan pertama, saya bisa bilang CND tidak terlalu ramah bagi masyarakat sipil: banyak aturan yang birokratis dan lebih banyak lagi petugas keamanan. Jumat lalu, sekelompok orang dari Filipina melakukan aksi damai kecil-kecilan: 15-20 orang tidur di lantai tanpa berkata-kata tepat di depan booth Filipina. Pesannya jelas: menolak extrajudicial killing atas nama perang terhadap narkotika yang sudah memakan lebih dari 22 ribu korban meninggal.[1] Mereka yang terlibat dalam aksi tersebut mendapat sanksi keras berupa pencabutan izin hadir di CND. Karena hal ini pula, kegiatan foto bersama yang diinisasi oleh gerakan Support Don’t Punish sempat bermasalah. Pasalnya, peserta foto dilarang menggunakan atribut seperti poster, pakaian, hingga pin yang mengandung pernyataan sikap terhadap kebijakan napza. Beberapa pihak menganggap tidak diperkenankannya penggunaan kaos yang mengandung pernyataan adalah pembatasan ekspresi yang tidak berdasar dan juga pencabutan identitas diri. Demi kelancaran upaya advokasi yang lebih besar, masyarakat sipil yang hadir di CND akhirnya sepakat untuk tidak mempermasalahkan aturan tersebut lebih jauh.

Saya juga tergelitik dengan narasi yang dibangun Pemerintah Indonesia melalui media nasional. Beberapa media memberi headline bombastis seperti “Indonesia Bicara Penegakan Hukum Tegas untuk Kejahatan Narkotika”, “.. Tegaskan Tak Beri Toleransi ke Pelaku Narkoba”, atau “Prihatin Makin Banyak Negara Legalkan Ganja”. Semuanya memberi narasi selaras yang seolah menunjukan betapa heroiknya Indonesia di kancah internasional dalam urusan napza. Kenyataannya di ruang-ruang sidang CND, Indonesia tidak mencuat muncul sebagai hero dan justru menunjukkan posisi Indonesia yang sangat old school dan tertutup terhadap perubahan. Di beberapa kesempatan, delegasi Indonesia juga berbicara dengan nada yang diplomatis. Hal ini memberi kesan bahwa Indonesia ingin terlihat ganas di media nasional, padahal di CND sendiri delegasi Indonesia tampak biasa saja. Apakah politik luar negeri kita sudah bergeser dari bebas-aktif menjadi hipokrit?

Saya akan mulai dari keprihatinan Indonesia mengenai banyak negara yang melegalkan ganja. Isu tentang ganja memang hangat menjadi perbincangan CND tahun ini. World Health Organisation (WHO) merekomendasikan agar ganja keluar dari golongan IV Single Convention on Narcotic Drugs of 1961 as amended by the 1972 Protocol (Single Convention) agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Penggunaan ganja untuk medis sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia. Ada sekitar 30 negara yang telah melegalisasi ganja medis, termasuk Turki, Chili, dan Kanada.[2] Negara-negara lain seperti Malaysia, Meksiko dan Selandia Baru ikut merencanakan legalisasi ganja medis dan rekreasional.[3] Langkah legalisasi pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis bahkan sudah diambil oleh negara tetangga Indonesia di Asia yakni Korea Selatan dan Thailand.[4] Beragamnya negara-negara yang telah melegalisasi ganja medis memperlihatkan bahwa kebijakan ganja medis ini sudah melampaui identitas dan ideologi politik negara yang bersangkutan, dan mengedepankan kesehatan publik sebagai landasan berpikirnya.

Pemerintah Indonesia menganggap legalisasi ganja medis mengkhianati konvensi-konvensi internasional. Bagi saya, ini adalah posisi yang keliru karena, setidak-tidaknya, dua alasan. Pertama, kebijakan atau aturan memang sudah sepantasnya berbasis ilmiah dan harus sejalan dengan norma hak asasi manusia (HAM). Legalisasi ganja medis di berbagai negara bukan tanpa alasan. Berbagai penelitian menemukan bahwa elemen-elemen kimia pada ganja dapat digunakan secara medis untuk, di antaranya: mengurangi mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi kanker, epilepsi pada anak-anak, perawatan paliatif pada kanker, gangguan tidur, kecemasan, depresi, hingga radang usus.[5] Salah satu kasus paling monumental di Indonesia ialah pemanfaatan ekstrak ganja oleh Fidelis Arie, seorang lelaki asal Sanggau, Kalimantan Barat, untuk menyembuhkan istrinya yang menderita syringomyelia. Diperbolehkannya ganja untuk kebutuhan medis tidak lain adalah pemenuhan HAM, khususnya hak atas kesehatan warga negara.[6]

Kedua, ketegangan (tension) suatu aturan atau regulasi dengan keadaan sekarang adalah sebuah fenomena yang wajar. Kebijakan yang dibuat manusia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menyesuaikan zaman – tidak terkecuali kovenan internasional atau regulasi nasional tentang napza. Itu kenapa kita mengenal terminologi ‘revisi’ atau ‘amandemen’. Hal ini juga menjadi salah satu kritik yang, secara tidak langsung tentunya, dilempar WHO dalam rekomendasinya mengeluarkan ganja dari golongan IV Single Convention: penggolongan narkotika saat itu, tahun 1961, tidak didasari oleh bukti ilmiah.[7] Sejak 1961, ilmu pengetahuan sudah berkembang pesat dan membantu manusia memiliki pemahaman lebih mendalam mengenai ganja dan manfaatnya untuk kesehatan. Maka, sudah saatnya membenahi aturan tersebut sekarang.

Hal lain yang digunakan untuk memperkuat kesan heroik Indonesia adalah sikap ‘keras’ dalam soal pemberantasan napza. Melalui Duta Besar Indonesia untuk Vienna, Indonesia menyatakan pentingnya penegakan hukum yang tegas, termasuk menerapkan hukuman mati. Kira-kira beginilah ucapan Darmansjah Djumal:

“…Indonesia berpandangan bahwa, meskipun pendekatan HAM dalam mengatasi masalah narkotika merupakan hal penting, namun penerapan hukuman terhadap kejahatan narkotika merupakan kedaulatan masing-masing negara.”

Saya jadi teringat sebuah momen di CND ketika salah satu aktivis senior dari sebuah organisasi masyarakat sipil berkomentar di salah satu sesi bahwa ia sangat salut dengan Selandia Baru karena dapat menempatkan HAM di atas kedaulatan negara. Bagi saya, sikap Selandia Baru sangat lumrah dan sudah seharusnya. Sebab, HAM adalah standar perilaku kita terhadap manusia, bagaimana kita memperlakukan manusia secara manusiawi. Nilai-nilai HAM adalah ethical code bagi negara dalam merancang kebijakannya. Dan selagi ia manusia – peduli setan dengan latar belakang, status ekonomi, kesehatan, apa yang ia konsumsi, dan status-status lainnya – ia harus diperlakukan sebagai manusia. Saya tidak dapat mengerti bagaimana dan mengapa kedaulatan negara bisa lebih tinggi derajatnya daripada HAM. Negara, bagaimanapun juga, terdiri dari manusia-manusia. Maka, sudah sepatutnya manusia yang punya kuasa atas dirinya ini dihormati ‘kemanusiaannya’ dan menghormati ‘kemanusiaan’ manusia lainnya. HAM bersifat universal, tidak dapat dikurangi sedikit pun, apalagi atas nama kedaulatan negara. Dia melampaui sekat batas negara, termasuk kedaulatannya. Argumen kedaulatan negara lebih tinggi daripada HAM juga berbahaya. Sebab, atas nama “kedaulatan negara” sebuah pelanggaran HAM bisa dibiarkan dan bahkan dilanggengkan.

Tentang hukuman mati, Indonesia tidak sepantasnya berbangga dan menganggap dirinya keren dengan masih memberlakukan hukuman mati. Indonesia justru jadi minoritas di tengah dunia yang berbondong-bondong melakukan penghapusan hukuman mati. Hanya tersisa 35 negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati untuk tindak pidana terkait narkotika.[8] Sementara itu, 121 negara dari 193 negara anggota PBB menyepakati resolusi moratorium hukuman mati, di mana Malaysia dan Pakistan menjadi negara baru yang memiliki posisi ini. Moratorium hukuman mati juga ditekankan oleh badan-badan PBB yang juga mengurus persoalan napza, seperti United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Narcotics Control Board (INCB). Dalam laporannya di CND, INCB menyerukan kepada anggota negara untuk memastikan penanggulangan kejahatan napza harus diikuti dengan proses hukum yang baik dan penerapan HAM. Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana terkait narkotika juga harus dihapuskan.[9] Posisi serupa juga didukung oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) dan Uni Eropa (UE) yang mengatakan bahwa kebijakan napza harus didasari dengan bukti ilmiah dan mengintegrasikan HAM dengan program-program penanggulangan masalah napza. Hukuman mati jelas menghina martabat manusia dan terbukti tidak efektif.[10]

Saya berharap masalah napza di Indonesia dapat dilihat lebih jauh dari sekedar kacamata ‘berbahaya’ atau ‘tidak’. Thailand, yang seperti Indonesia juga pernah mengobarkan war on drugs, sudah mulai terbuka bahwa problem napza membutuhkan langkah yang beragam dan solusi berkelanjutan. Masalah napza perlu memperhitungkan aspek medis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal napza dan problem kebijakan lainnya, Pemerintah Indonesia mestinya menyadari bahwa ia sedang mengurusi manusia-manusia yang memiliki kompleksitasnya masing-masing. Dunia tidak sekedar hitam dan putih. Jauh lebih luas dari itu.

Alangkah baiknya bila Indonesia berhenti sok gagah, tak lagi bebal, mulai bercermin,dan mencopot kacamata kudanya. Tidak perlu berlagak hebat ke komunitas internasional soal menjadi jawara HAM, kalau dengan ganja medis saja masih fobia akut. Tidak perlu ngomong keras-keras ke dunia soal kesiapan Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0 jika masih tertutup terhadap perubahan dan mempertahankan kebijakan napza yang old fashioned alias ketinggalan jaman.

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero

[1]Ted Regencia, “Senator: Rodrigo Duterte’s Drug War Has Killed 20.000”,  Feb 2018, Al Jazeera, retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2018/02/senator-rodrigo-duterte-drug-war-killed-20000-180221134139202.html

[2]Sean Williams, “These 30 countries Have Legalised Medical Marijuana in Some Capacity”, July 2018, retrieved from https://www.fool.com/investing/2018/07/21/these-30-countries-have-legalized-medical-marijuan.aspx

[3]Dr John Collins, “Why are so many Countries now Saying Cannabis is Ok?”, December 2018, BBC, retrieved from https://www.bbc.com/news/world-46374191

[4]Andre Bourque, “Thailand’s Legalisation of Medical Cannabis Proves One Very Important Thing,” December 2018, The Forbes, retrieved from https://www.forbes.com/sites/andrebourque/2018/12/28/thailands-legalization-of-medical-cannabis-proves-one-very-important-thing/#6faef51814b3

[5]European Monitoring Center for Drugs and Drug Addiction, “Medical Use of Cannabis and Cannabinoids”, December 2018, page 11-15, retrieved from http://www.emcdda.europa.eu/system/files/publications/10171/20185584_TD0618186ENN_PDF.pdf

[6]Yohan Misero, “Sebuah Momen Intropeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta”, April 2017, retrieved from https://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-lbh-masyarakat-sebuah-momen-introspeksi-pelarangan-semata-atau-memberi-kesempatan-pada-cinta/

[7]Tom Angel, “World Health Organisation Recommends Reclassifying Marjiuana Under International Treaties”, February 2019, Forbes, retrieved from https://www.forbes.com/sites/tomangell/2019/02/01/world-health-organization-recommends-rescheduling-marijuana-under-international-treaties/#120417316bcc

[8]Giada Gireli, “The Death Penalty for Drug Offences: Global Overview 2018”, Harm Reduction International, 2018, retrieved from https://www.hri.global/death-penalty-drugs-2018

[9]CND, “Plenary: Item 9. Implementation of the International Drug Control Treaties”, March 2019, retrieved from http://cndblog.org/2019/03/item-9-implementation-of-the-international-drug-control-treaties/

[10]Ibid.

Laporan Tahunan 2018

Tahun 2018, bukanlah tahun yang mudah bagi LBHM dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang bergerak di isu HAM. Menjelang piplres 2019, berbagai wacana populisme mulai dimainkan oleh politisi-politisi untuk meraih popularitas dan mencapai elektabilitas. Persekusi menjelma menjadi upaya kriminalisasi. RKUHP jadi momok menakutkan yang siap menargetkan siapa saja.

Namun demikian, LBHM terus bekerja keras melakukan pendampingan, menyusun strategi advokasi, terus meneliti, dan memproduksi narasi. Publikasi ini adalah refleksi kerja-lerja LBHM satu tahun belakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencaipaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Untuk membaca lengkap perjalanan kami di 2018, silahkan unduh publikasi laporan tahunan, dengan klik tautan ini.

Rilis Pers – Perkembangan Persidangan Wendra, Penyandang Disabilitas Intelektual

Sehubungan dengan berjalannya persidangan kasus pidana atas nama terdakwa Wendra Purnama, seorang disabilitas intelektual yang didakwa melakukan jual beli narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, LBH Masyarakat (LBHM) selaku kuasa hukum Wendra hendak menyampaikan pokok-pokok persidangan hari Selasa, 1 April 2019 kemarin, dengan agenda pemeriksaan saksi bernama Hau-Hau (yang juga terdakwa di berkas perkara yang terpisah).

Pertama, Hau-Hau menyampaikan bahwa pada waktu kejadian, dia bertemu dengan Ica (DPO) dan diminta Ica mengantar paket ke seseorang yang bernama Leni. Dalam keterangannya, Hau-Hau menjelaskan bahwa dia mengajak Wendra untuk bertemu Leni karena Wendra memiliki sepeda motor yang bisa digunakan. Pada saat yang bersamaan, Wendra ingin mengajak Hau-Hau bermain. Hau-Hau menegaskan bahwa baik dirinya maupun Wendra tidak tahu atau tidak mengenal sosok Leni seperti apa.

Kedua, Majelis Hakim akhirnya mengabulkan permohonan LBHM agar terhadap Wendra dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa secara independen berdasarkan perintah pengadilan. Permohonan tersebut adalah permohonan kedua, setelah sebelumnya permohonan pertama ditolak oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan bahwa Wendra tampak baik-baik saja. Hal mana menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak memahami bahwa disabilitas intelektual adalah jenis disabilitas yang tidak terlihat (invincible). Walau datang terlambat, LBHM tetap mengapresiasi keputusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan pemeriksaan kesehatan jiwa tersebut dan berharap hasil pemeriksaan independen bisa berjalan secara sungguh-sungguh, dan imparsial.

Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), wilayah Banten, Wendra diketahui memiliki IQ 55 (IQ standar ada di kisaran 80-90). Hal ini menunjukkan bahwa Wendra memiliki tingkat intelejensi rendah, mengalami keterbatasan fungsi berpikir, dan telah menyandang disabilitas intelektual dalam jangka waktu yang lama. Karena disabilitasnya tersebut, kapasitas Wendra dalam membedakan baik buruk, dan benar salah, termasuk membedakan hak dan kewajiban, sangat terdampak.

Persidangan ditunda dua minggu, untuk dilanjutkan pada hari Senin, 15 April 2019, dengan agenda pemaparan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa independen terhadap Wendra.

 

Jakarta, 2 April 2019

Antonius Badar Karwayu – Pengacara Publik LBHM

Rilis Pers – Debat III Pilpres: Hal-hal yang Sebaiknya Tidak Dilupakan

Minggu, 17 Maret 2019 – LBH Masyarakat (LBHM) berharap debat Pilpres 2019 ketiga berlangsung bernas, tajam, dan membahas beberapa hal spesifik yang kerap terlupakan ketika membahas pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan – hal-hal yang akan menjadi pokok bahasan di debat kali ini.

Isu spesifik pertama ialah narkotika. UU Narkotika yang saat ini berlaku di Indonesia terlalu bertumpu pada pendekatan penegakan hukum yang punitif, bukannya kesehatan publik. Hal ini tercermin dari terus meningkatnya jumlah pemakai narkotika yang dipenjara. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), di Februari 2011, jumlah pemakai narkotika yang dipidana penjara adalah sebesar 13.766 orang, meningkat ke 28.514 di Februari 2015, dan ke 33.704 di Februari 2019. Di satu sisi, mengirim pemakai narkotika ke penjara berkontribusi pada situasi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah penuh sesak (overcrowded). Di sisi lain, hal itu akan melahirkan persoalan baru, seperti menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; dan memperburuk kondisi sanitasi lapas dan psikologis para warga binaan.

Selain itu, wajah penegakan hukum narkotika yang punitif itu juga meminggirkan pentingnya pengelolaan narkotika, misalnya ganja, untuk kepentingan medis. Fidelis Arie (2017) harus menjalani vonis penjara 8 bulan hanya karena menanam ganja untuk mengobati istrinya yang ketika itu sedang sekarat dan menderita penyakit serius. Di saat negara lain di Asia seperti Korea Selatan dan Thailand sudah melegalisasi ganja untuk urusan medis, penting juga bagi publik untuk mendengar pandangan para cawapres tentang penggunaan narkotika untuk kepentingan medis.

Isu spesifik kedua adalah soal HIV. Masih segar di ingatan kita tentang 3 anak di Samosir dan 14 anak di Solo yang terlanggar hak atas pendidikannya karena diskriminasi dari publik terkait statusnya yang positif HIV. Kita juga sempat digegerkan dengan pemberitaan tentang korupsi serta kegagalan lelang obat terapi antiretroviral (ARV) untuk mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Publik perlu mengetahui gagasan para cawapres untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), apa program khususnya untuk menghilangkan praktik diskriminasi terhadap ODHA, dan bagaimana strategi pencegakan korupsi di sektor kesehatan.

Isu spesifik yang terakhir ialah mengenai kelompok rentan lainnya seperti minoritas seksual dan orang dengan disabilitas baik fisik maupun psikososial. LBHM mencatat bahwa sepanjang 2017 terdapat setidaknya 973 anggota komunitas LGBT yang menjadi korban stigma, diskriminasi dan pelanggaran HAM. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut antara lain persekusi, pembubaran acara secara paksa, pelarangan mendapatkan pendidikan, dan bentuk kekerasan lain. Keberadaan komunitas LGBT di Indonesia sendiri sudah sejak lama ada – jauh sebelum Indonesia merdeka, dan keragaman identitas dan orientasi seksual itu juga diakui di banyak masyarakat. Oleh karenanya penolakan dan wacana kriminalisasi LGBT bukan hanya ahistoris, tetapi juga diskriminatif.

Sementara itu di persoalan kesehatan jiwa, sepanjang 2017, terdapat setidaknya 159 orang dengan disabilitas psikososial yang menjadi korban kekerasan, termasuk pemasungan. Pemasungan terhadap orang dengan disabilitas psikososial seolah menjadi area yang tidak terlihat (blindspot) oleh pemerintah sejauh ini. Sebab, pemasungan sudah dilarang sejak 1977, namun hingga kini praktik itu masih ada di banyak tempat di Indonesia.

Baik KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno memiliki bebannya masing-masing untuk dapat mengambil posisi terhadap persoalan-persoalan di atas. KH Ma’ruf Amin, misalnya, memiliki sejarah mengeluarkan fatwa-fatwa yang cukup diskriminatif ketika menjadi pejabat MUI. Di sisi lain, pertanyaan besar menaungi Sandiaga Uno tentang bagaimana ia nanti dapat menyusun sebuah kebijakan yang progresif ketika koalisi pemerintahannya akan diisi oleh individu-individu yang memegang teguh konservatisme. Tantangan-tantangan ini yang hendaknya dijawab dengan lugas nanti malam. Rakyat ingin melihat perdebatan yang rasional, bukan silaturahmi antar elite dengan bumbu retorika.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan dengan Hukuman Mati/Eksekusi

Perkara hukuman mati sesungguhnya adalah masalah sederhana yang menjadi rumit akibat banyaknya kepentingan dan propaganda yang melingkupinya. Mitos sesat yang begitu pekat melekat pada hukuman mati menyebabkan persoalan hukuman mati semakin rumit untuk diurai sebagai sebuah diskursus bagi khalayak. Di Indonesia, perkara hukuman mati mengalami stagnasi berkepanjangan, di tengah tren dunia yang berangsur-angsur menghapusnya dari katalog penghukuman.

Penghapusan hukuman mati secara menyeluruh jelas adalah tujuan. Namun, cara mencapai pemberhentian tersebut tentu bisa ditempuh dengan sejumlah rute dan strategi. LBH Masyarakat memandang bahwa ketika penghapusan hukuman mati secara total sulit diwujudkan dalam waktu dekat, maka abolisi harus direalisasikan secara gradual.

Laporan ini adalah ikhtiar LBH Masyarakat dalam perwujudan abolisi secara bertahap, yang dibuat dengan maksud untuk memperjelas ketentuan terkait pidana mati dan eksekusi mati agar hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati tidak dicurangi.

Dengan adanya laporan ini, Negara dapat, setidak-tidaknya menyusun hukum dan kebijakan, baik dalam hal prosedural pelaksanaan hukuman mati maupun pemenuhan prasyarat dan syarat yang mengakomodir hak-hak mereka yang berhadapan dengan hukuman mati. Dengan memperketat penjatuhan pidana mati dan pelaksanaan eksekusi mati, LBH Masyarakat berharap hal tersebut dapat berkontribusi dalam menciptakan iklim moratorium hukuman mati, sekaligus menyiapkan Indonesia sampai pada penghapusan hukuman mati secara menyeluruh.

Klik di sini untuk membaca laporan ini selengkapnya.

Menanti Kebijakan Narkotika yang Ari(e)f

Andi Arief, yang dikenal sebagai politisi Partai Demokrat, ditangkap Kepolisian pada 4 Maret 2019 lalu akibat tersangkut kasus narkotika. Tidak lebih dari 48 jam sejak penangkapan, Andi Arief diperbolehkan pulang untuk menjalani rehabilitasi.

Adanya pendekatan medis dalam penanganan kasus Andi Arief merupakan keputusan yang tepat dan patut diapresiasi – meski terhadap kasus-kasus narkotika lain yang juga menyasar pemakai narkotika, penegak hukum kerap melupakan pendekatan tersebut dan larut pada pusaran proses peradilan pidana. Apa yang dialami Andi Arief ini tentu sangat kontras dengan kenyataan yang harus dihadapi masyarakat setiap hari, tapi ini perlu didorong menjadi sebuah preseden dalam menangani kasus pemakai narkotika – yang semestinya tidak perlu menjalani proses peradilan pidana yang seringkali menghindarkan pemakai narkotika dari intervensi kesehatan yang lebih dibutuhkan.

Sebelum Andi Arief dipulangkan untuk menempuh rehabilitasi, ia menjalani proses asesmen. Proses ini didasarkan sebuah aturan teknis yakni Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Kapolri, Ketua MA, Jaksa Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, serta Kepala BNN pada tahun 2014. Peraturan ini mengharuskan adanya pemeriksaan medis dan hukum terlebih dahulu kepada tersangka kasus narkotika yang dilakukan oleh Tim Asesment Terpadu (TAT) yang berada di Kantor BNN Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten. Hasil pemeriksaan TAT berupa rekomendasi menjadi dasar bagi penyidik untuk menentukan seorang tersangka layak menempuh rehabilitasi atau tidak serta pasal-pasal yang didakwakan.

Dalam praktik, rekomendasi TAT tidaklah mengikat bagi penyidik, bahkan hakim, untuk dipatuhi. Di lapangan, seringkali pemakai narkotika yang oleh TAT mendapatkan rekomendasi rehabilitasi tetap saja divonis penjara. Tidak diikutinya rekomendasi TAT oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim sejatinya menegasikan kemampuan dan kapasitas TAT yang, sepatutnya, diisi oleh ahli-ahli: dokter dan psikolog sebagai tim medis serta perwakilan Kejaksaan, Kepolisian, Kemenkumham dan BNN sebagai tim hukum. Lebih jauh dari itu, sikap penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim yang menghiraukan rekomendasi TAT kerap tidak memiliki justifikasi yang kuat dan tidak transparan.

Dikesampingkannya rekomendasi TAT memberi pesan kuat bahwa penanganan kasus narkotika tidaklah didasarkan pada scientific evidence melainkan besarnya kuasa aparat penegak hukum. Pesan ini pun viral di tengah masyarakat yang kemudian menimbulkan penegakan hukum yang transaksional – bentuknya banyak: dari tukar kepala hingga 86.

Bagi kalangan dengan situasi finansial yang memadai, praktik 86 sering dilakukan karena secara teknis mudah dilakukan: membayar. Di sisi lain, praktik tukar kepala tidaklah membutuhkan uang melainkan informasi, tentang beberapa orang lain yang juga terlibat dengan kasus narkotika, untuk diberikan pada aparat yang kemudian akan menangkap orang-orang tersebut. Praktik tukar kepala tidak memberi keuntungan finansial pada aparat namun bisa digunakan untuk klaim keberhasilan penindakan – karena aparat masih menggunakan kuantitas kasus sebagai indikator keberhasilan – serta dapat pula digunakan sebagai lahan 86 yang baru.

Sekarang, mari kita kembali ke Andi Arief, seseorang yang sudah lama bergelut dengan kekuasaan. Nalar kritis dan suaranya yang lantang memberi sumbangsih pada jatuhnya Orde Baru. Kemampuannya membawanya masuk dalam ring satu Istana sebagai staf khusus Presiden dan dipercaya menduduki jabatan strategis di BUMN pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat Andi Arief ditangkap, ada pengumuman dari Kabareskrim. Wakil Presiden bahkan juga ikut berkomentar. Perhatian yang tidak akan didapat oleh publik kebanyakan apabila terjegal kasus serupa. Mungkinkah ada politik di baliknya?

Tidak ada yang tahu dan (sejujurnya) tidak terlalu penting. Yang lebih penting ialah, selama bertahun-tahun ke belakang, kekuatan politik tidak digunakan untuk mengubah regulasi narkotika Indonesia yang salah kaprah. Partai Demokrat misalnya, yang sempat menjadi ruang Andi Arief bernaung, memenangkan Pemilu 2014 dan memiliki 61 kader di dalam DPR yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Kewenangan-kewenangan tersebut semestinya bisa digunakan sebagai corong untuk menyuarakan reformasi kebijakan narkotika yaitu revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak ramah terhadap pemakai narkotika, hal yang jelas ditunjukan lewat kasus Andi Arief ini. Lebih jauh, Partai Demokrat ini bisa mengandalkan 6 kadernya yang merupakan bagian dari 54 orang anggota DPR yang duduk di Komisi III yang membidangi Hukum dan HAM serta Keamanan untuk menjalankan fungsinya.

Komisi III DPR, sebagaimana termaktub dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 3/DPR RI/IV/2014-2015 tentang Penetapan Kembali Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2014-2019, memiliki 15 pasangan kerja yang sehari-hari sangat mendominasi dalam penegakan hukum narkotika seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, serta BNN. Komisi III DPR juga bisa melakukan komunikasi politik dengan beberapa instansi pemerintah lain yang strategis untuk mendorong upaya dekriminalisasi terhadap pemakai narkotika. Semestinya, ada pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di internal Komisi III atau pembentukan Panitia Khusus (Pansus) lintas Komisi karena persoalan narkotika sepatutnya tidak menitikberatkan pada perspektif hukum melainkan kesehatan publik yang secara teknis dan tanggung jawabnya ada di Kementerian Kesehatan, yang bukan merupakan pasangan kerja Komisi III.

Berkaca dari fungsi dan kewenangan parlemen sangat luas serta konfigurasi politik di DPR yang rumit, maka reformasi kebijakan narkotika melalui parlemen bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, anggota parlemen dan partai-partai, termasuk Partai Demokrat yang mengklaim mengambil peran sebagai penengah dalam 5 tahun ke belakang, seharusnya memulai meletakan fondasi untuk itu. Hal itu dapat dimulai dengan mengawasi praktik penegakan hukum yang tidak konsisten pada pemakai narkotika – hal yang juga dapat dicermati dari kasus Andi Arief. Bisa juga dengan menaikan alokasi anggaran bagi instansi yang melakukan pendekatan non-penal terhadap pemakai narkotika sebagai upaya untuk menggeser kebijakan narkotika dari pendekatan yang punitif.

Apakah ini akan dilakukan oleh partai-partai di parlemen pun partai-partai baru? Sebagai kebijakan partai, sepertinya hal ini sulit dilakukan karena isu kebijakan narkotika nampaknya tidak populer dan kontroversial. Iklim pemilu legislatif saat ini yang, seharusnya, mendekatkan antara calon legislator dengan konstituennya mestinya menjadi sebuah kesempatan, bagi mereka yang berani, untuk menjadikan reformasi kebijakan narkotika sebagai sebuah platform kampanye. Bagi Partai Demokrat, mempertahankan Andi Arief dalam posisi strategis di partai dapat menjadi pilihan otonom partai untuk memulai diskusi tentang itu secara internal. Sayangnya, Andi Arief saat ini sudah terlanjur mundur.

Lalu, apa yang tersisa buat masyarakat selain pemerintah yang galak, parlemen yang lamban, dan partai yang enggan berubah? Andi Arief yang ikut meruntuhkan Orde Baru mungkin dapat berkontribusi untuk menggulingkan kebijakan narkotika Indonesia yang konservatif. Lewat akun twitter-nya yang termashyur, Bung Andi dapat membantu kawan-kawan pemakai narkotika di seluruh Indonesia dengan kembali meneriakkan: “I’m not a criminal.

Penulis: Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Rilis Pers – Pernyataan LBH Masyarakat terkait Bebasnya Siti Aisyah dari Hukuman Mati di Malaysia

Jakarta, 11 Maret 2019 – LBH Masyarakat mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang melalui upaya diplomasinya berhasil mendorong pembebasan Siti Aisyah dari ancaman hukuman mati di Malaysia.

Sebagaimana diberitakan di sejumlah media, upaya ini tidak lepas dari permohonan Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly kepada otoritas Malaysia. LBH Masyarakat melihat bahwa usaha tersebut selain bentuk perlindungan pemerintah terhadap WNI, juga mencerminkan komitmen pemerintah menghormati hak asasi manusia khususnya hak untuk hidup dan wajah diplomasi yang mendukung penghapusan hukuman mati.

Namun demikian, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah Indonesia agar upaya pembebasan Siti Aisyah tidak berhenti di sini. Pemerintah harus mengintensifkan upaya penyelamatan WNI lainnya yang terancam hukuman mati di luar negeri, dengan menyediakan pendampingan hukum di kualitas terbaik, asistensi konsuler, mobilisasi dukungan internasional, dan dukungan lainnya yang relevan.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus segera menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi mati di Indonesia, secara de jure, agar berjalan beriringan dengan upaya diplomasi di luar negeri. Kebijakan Indonesia yang menerapkan hukuman mati dan eksekusi di dalam negeri, dan di waktu yang bersamaan menyelamatkan WNI terancam hukuman mati di luar, akan dibaca sebagai inkonsistensi dan sikap hipokrit oleh pemerintah negara lain. Dan hal tersebut dapat berpengaruh pada level advokasi pemerintah.

Dengan menerapkan moratorium hukuman mati juga akan menempatkan Indonesia sebagai kampiun hak asasi manusia bukan hanya di region Asia Tenggara tetapi juga di dunia. Hal mana akan berdampak pada citra dan posisi Indonesia sebagai pemimpin global.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Kasus Andi Arief: Politisasi yang Keliru

LBH Masyarakat meminta Pemerintah untuk menindak Andi Arief, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokarat, sesuai hukum yang berlaku dan sesuai dengan kapasitasnya dalam kasus tersebut.

Sejauh pantauan kami terhadap liputan media, dalam kasus Andi Arief tidak ditemukan barang bukti narkotika. Polisi hanya mendapati alat bantu hisap dan Andi Arief ditemukan positif amfetamina.

Sampai ditemukan fakta lebih jauh, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa Andi Arief tidak lebih dari seorang pemakai narkotika. Oleh karena itu, sepatutnya penegak hukum tidak perlu meneruskan kasus ini karena dalam situasi seperti ini yang lebih dibutuhkan adalah akses kepada layanan kesehatan.

Hal ini kami serukan karena apabila di kasus yang high profile seperti ini penegak hukum tetap menampilkan wajah yang punitif, justru itu akan menegaskan posisi pemerintah yang memang enggan berubah dari pendekatan prohibisionis dan war on drugs yang kerap menimbulkan lebih banyak masalah. Dalam menangani kasus pemakai narkotika, pemerintah harus mengedepankan pendekatan berbasis kesehatan guna mendukung pemulihan yang bersangkutan.

Di sisi lain, LBH Masyarakat menyesalkan penghakiman dan pelekatan stigma terhadap pemakai narkotika yang dilakukan melalui kasus ini. Aroma politik sulit dilepaskan ketika kita menghadapi situasi semacam ini, namun memaksakan penghukuman hanya karena kebencian atau lawan politik justru tidak tepat. Perlu diingat, bahwa UU Narkotika berlaku untuk semua orang dan orang-orang terdekat kita bisa saja jadi korban dari regulasi yang buruk ini. Andi Arief seharusnya dikritisi karena mendiamkan UU Narkotika efektif berlaku selama 10 tahun terakhir ini, sebuah regulasi yang mengirim puluhan ribu anak bangsa setiap tahunnya ke dalam penjara semata karena memakai narkotika. Kami berpendapat bahwa seorang politisi haruslah dinilai melalui pandangan, etika, dan kinerjanya – bukan karena dia seorang pemakai narkotika atau tidak.

 

Yohan Misero – Peneliti LBH Masyarakat

Dibutuhkan: Relawan Arsip Penanganan Kasus dan Pemantauan Media

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

LBH Masyarakat mengundang kamu untuk menjadi bagian dari kami dan terlibat dalam pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Kami membutuhkan 4 relawan yang teridiri dari 1 relawan arsip bantuan hukum dan 3 relawan pemantauan media.

Relawan Arsip Bantuan Hukum

Dari tahun ke tahun, LBH Masyarakat semakin banyak menerima kasus-kasus yang masuk. Kepercayaan publik terhadap LBH Masyarakat harus terus dijaga, termasuk soal kerahasiaan data klien yang menyampaikan permohonan bantuan hukum. Untuk mengurangi penggunaan kertas sebagai media pendokumentasian data klien, LBH Masyarakat berupaya mengubah data tersebut ke dalam format digital.

Bagi kamu yang tertarik berkontribusi dan mendapat pengalaman berharga dari kerja penanganan kasus LBH Masyarakat (penyuluhan di rutan dan lapas di Jakarta), ini adalah kesempatan yang tidak boleh kamu lewatkan. Kriteria relawan yang dibutuhkan adalah:

  • Tertarik pada isu hak asasi manusia dan penganganan kasus;
  • Memiliki kemampuan dalam pengarsipan yang baik;
  • Digital-Savvy;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Sarjana hukum atau mahasiswa hukum sedang cuti kuliah;
  • Berkomitmen untuk bekerja 5 hari dalam seminggu selama 3 bulan;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.
  • Memiliki laptop dan perangkat lunak yang bisa mendukung kerja lebih diutamakan;

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitaeterbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
  • jelaskan bagaimana pendokumentasian data klien menjadi salah satu bagian penting dari kerja penanganan kasus.

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Dominggus Christian di dchristian@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.

Relawan Pemantauan Media

Sejak 2016, LBH Masyarakat rutin melakukan penelitian pelanggaran hak asasi manusia melalui dokumentasi dan pemantauan media. Hasil penelitian akan dijadikan bahan advokasi strategis melalui pemangku kebijakan ataupun media. Adapun perincian penelitiannya meliputi:

  1. Kekerasan yang dialami orang dengan disabilitas psikososial;
  2. Stigma dan diskriminasi terhadap LGBT;
  3. Stigma dan disrkriminasi terhadap HIV;
  4. Penggerebekkan narkotika dalam tahanan;
  5. Tembak di tempat kasus narkotika;
  6. Perempuan kurir narkotika;
  7. Kematian di dalam tahanan.

. Kriteria relawan yang kami butuhkan, di antaranya:

  • Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
  • Internet-Savvy;
  • Dapat menggunakan MS Word, MS Excel, dan (SPSS nilai tambah);
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa semua jurusan minimal semester 4;
  • Berkomitmen untuk bekerja penuh selama 300 jam;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
  • sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Fuji Aotari di faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.

Sudah saatnya kamu berjalan bersama kami. Seperti kata Honne, “… Cause when you’re with me, I don’t feel blue.” Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian:

because every human matters.

Dibutuhkan: Relawan Perpustakaan HIV LBH Masyarakat

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

Untuk persoalan HIV, kami menyadari bahwa masih tingginya stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat terhadap teman-teman ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS), keluarganya, orang-orang dengan prilaku berisiko, serta mereka yang bekerja di isu ini.

Dalam pengentasan stigma dan diskriminasi itulah, kami menyadari pentingnya memunculkan narasi-narasi alternatif mengenai HIV, baik dalam bentuk kampanye, tulisan opini, reportase, dan penelitian. Dalam kerangka berpikir itu, kami di LBH Masyarakat kemudian memutuskan untuk meluncurkan Kolektiva, sebuah wadah pengetahuan yang berisi literatur yang berkaitan dengan persoalan HIV dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM).

Kolektiva, yang merupakan akronim dari “Koleksi Pustaka HIV dan Hak Asasi Manusia”, bertujuan untuk memudahkan audiens Indonesia – baik pelajar, pengajar, wartawan, analis, peneliti, rekan-rekan LSM, dan pemerintah – untuk mencari sumber pengetahuan atau referensi dalam bentuk literatur dan berbagai dokumen lain yang memuat informasi dan analisis persoalan HIV dan kaitannya dengan HAM.

Mengapa HAM? Karena kami di LBH Masyarakat percaya bahwa perlindungan HAM adalah elemen yang esensial untuk menjaga martabat manusia dalam konteks pencegahan dan penanggulangan HIV, dan upaya untuk memastikan bahwa respons negara terhadap persoalan HIV akan senantiasa efektif, berbasis bukti, dan berdasarkan HAM.

Kamu dapat berkontribusi dalam maksud baik ini dengan menjadi relawan yang bertugas untuk mengumpulkan, membuat ringkasan, serta memasukkan data dari literatur dan dokumen yang penting untuk dimasukkan ke dalam basis data Kolektiva. Selain itu, kamu juga akan dapat menyaksikan dari dekat, dan bila secara waktu memungkinkan juga terlibat, dengan kerja-kerja LBH Masyarakat.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Dengan mengambil kesempatan ini, kamu dapat mengetahui lebih dalam tentang HIV dan permasalahan-permasalahan HAM di sekitarnya. Kamu juga dapat belajar mengenai cara kerja lembaga HAM, bidang yang mungkin kamu bayangkan untuk karir kamu ke depan.

Kami membutuhkan 1 (satu) relawan dengan kriteria sebagai berikut:

  • Tertarik pada isu HIV dan HAM;
  • Internet-Savvy;
  • Fluent in English;
  • Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa (lebih disukai jurusan Komunikasi dan minimal semester 4);
  • Berkomitmen untuk bekerja selama, setidak-tidaknya, 300 jam dalam masa relawannya;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae(CV) terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
    • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
    • sebutkan sebuah kasus terkait HIV yang menarik perhatianmu dan jelaskan relasi kasus tersebut dengan HAM.

Tulis CV dan Motivation Letter kamu dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 11, dan spasi 1.

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Yohan Misero (staf LBH Masyarakat) di ymisero@lbhmasyarakat.org paling lambat Jumat, 1 Maret 2019.

Kami mengerti, bahwa seperti yang Bradley Cooper dan Lady Gaga bilang, kerap kali kita, “I find myself longing for change. And, in the bad times, I fear myself.” Tak perlu ragu, kami menunggumu!