Rilis Pers – Debat III Pilpres: Hal-hal yang Sebaiknya Tidak Dilupakan

Minggu, 17 Maret 2019 – LBH Masyarakat (LBHM) berharap debat Pilpres 2019 ketiga berlangsung bernas, tajam, dan membahas beberapa hal spesifik yang kerap terlupakan ketika membahas pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan – hal-hal yang akan menjadi pokok bahasan di debat kali ini.

Isu spesifik pertama ialah narkotika. UU Narkotika yang saat ini berlaku di Indonesia terlalu bertumpu pada pendekatan penegakan hukum yang punitif, bukannya kesehatan publik. Hal ini tercermin dari terus meningkatnya jumlah pemakai narkotika yang dipenjara. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), di Februari 2011, jumlah pemakai narkotika yang dipidana penjara adalah sebesar 13.766 orang, meningkat ke 28.514 di Februari 2015, dan ke 33.704 di Februari 2019. Di satu sisi, mengirim pemakai narkotika ke penjara berkontribusi pada situasi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah penuh sesak (overcrowded). Di sisi lain, hal itu akan melahirkan persoalan baru, seperti menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; dan memperburuk kondisi sanitasi lapas dan psikologis para warga binaan.

Selain itu, wajah penegakan hukum narkotika yang punitif itu juga meminggirkan pentingnya pengelolaan narkotika, misalnya ganja, untuk kepentingan medis. Fidelis Arie (2017) harus menjalani vonis penjara 8 bulan hanya karena menanam ganja untuk mengobati istrinya yang ketika itu sedang sekarat dan menderita penyakit serius. Di saat negara lain di Asia seperti Korea Selatan dan Thailand sudah melegalisasi ganja untuk urusan medis, penting juga bagi publik untuk mendengar pandangan para cawapres tentang penggunaan narkotika untuk kepentingan medis.

Isu spesifik kedua adalah soal HIV. Masih segar di ingatan kita tentang 3 anak di Samosir dan 14 anak di Solo yang terlanggar hak atas pendidikannya karena diskriminasi dari publik terkait statusnya yang positif HIV. Kita juga sempat digegerkan dengan pemberitaan tentang korupsi serta kegagalan lelang obat terapi antiretroviral (ARV) untuk mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Publik perlu mengetahui gagasan para cawapres untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), apa program khususnya untuk menghilangkan praktik diskriminasi terhadap ODHA, dan bagaimana strategi pencegakan korupsi di sektor kesehatan.

Isu spesifik yang terakhir ialah mengenai kelompok rentan lainnya seperti minoritas seksual dan orang dengan disabilitas baik fisik maupun psikososial. LBHM mencatat bahwa sepanjang 2017 terdapat setidaknya 973 anggota komunitas LGBT yang menjadi korban stigma, diskriminasi dan pelanggaran HAM. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut antara lain persekusi, pembubaran acara secara paksa, pelarangan mendapatkan pendidikan, dan bentuk kekerasan lain. Keberadaan komunitas LGBT di Indonesia sendiri sudah sejak lama ada – jauh sebelum Indonesia merdeka, dan keragaman identitas dan orientasi seksual itu juga diakui di banyak masyarakat. Oleh karenanya penolakan dan wacana kriminalisasi LGBT bukan hanya ahistoris, tetapi juga diskriminatif.

Sementara itu di persoalan kesehatan jiwa, sepanjang 2017, terdapat setidaknya 159 orang dengan disabilitas psikososial yang menjadi korban kekerasan, termasuk pemasungan. Pemasungan terhadap orang dengan disabilitas psikososial seolah menjadi area yang tidak terlihat (blindspot) oleh pemerintah sejauh ini. Sebab, pemasungan sudah dilarang sejak 1977, namun hingga kini praktik itu masih ada di banyak tempat di Indonesia.

Baik KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno memiliki bebannya masing-masing untuk dapat mengambil posisi terhadap persoalan-persoalan di atas. KH Ma’ruf Amin, misalnya, memiliki sejarah mengeluarkan fatwa-fatwa yang cukup diskriminatif ketika menjadi pejabat MUI. Di sisi lain, pertanyaan besar menaungi Sandiaga Uno tentang bagaimana ia nanti dapat menyusun sebuah kebijakan yang progresif ketika koalisi pemerintahannya akan diisi oleh individu-individu yang memegang teguh konservatisme. Tantangan-tantangan ini yang hendaknya dijawab dengan lugas nanti malam. Rakyat ingin melihat perdebatan yang rasional, bukan silaturahmi antar elite dengan bumbu retorika.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan dengan Hukuman Mati/Eksekusi

Perkara hukuman mati sesungguhnya adalah masalah sederhana yang menjadi rumit akibat banyaknya kepentingan dan propaganda yang melingkupinya. Mitos sesat yang begitu pekat melekat pada hukuman mati menyebabkan persoalan hukuman mati semakin rumit untuk diurai sebagai sebuah diskursus bagi khalayak. Di Indonesia, perkara hukuman mati mengalami stagnasi berkepanjangan, di tengah tren dunia yang berangsur-angsur menghapusnya dari katalog penghukuman.

Penghapusan hukuman mati secara menyeluruh jelas adalah tujuan. Namun, cara mencapai pemberhentian tersebut tentu bisa ditempuh dengan sejumlah rute dan strategi. LBH Masyarakat memandang bahwa ketika penghapusan hukuman mati secara total sulit diwujudkan dalam waktu dekat, maka abolisi harus direalisasikan secara gradual.

Laporan ini adalah ikhtiar LBH Masyarakat dalam perwujudan abolisi secara bertahap, yang dibuat dengan maksud untuk memperjelas ketentuan terkait pidana mati dan eksekusi mati agar hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati tidak dicurangi.

Dengan adanya laporan ini, Negara dapat, setidak-tidaknya menyusun hukum dan kebijakan, baik dalam hal prosedural pelaksanaan hukuman mati maupun pemenuhan prasyarat dan syarat yang mengakomodir hak-hak mereka yang berhadapan dengan hukuman mati. Dengan memperketat penjatuhan pidana mati dan pelaksanaan eksekusi mati, LBH Masyarakat berharap hal tersebut dapat berkontribusi dalam menciptakan iklim moratorium hukuman mati, sekaligus menyiapkan Indonesia sampai pada penghapusan hukuman mati secara menyeluruh.

Klik di sini untuk membaca laporan ini selengkapnya.

Menanti Kebijakan Narkotika yang Ari(e)f

Andi Arief, yang dikenal sebagai politisi Partai Demokrat, ditangkap Kepolisian pada 4 Maret 2019 lalu akibat tersangkut kasus narkotika. Tidak lebih dari 48 jam sejak penangkapan, Andi Arief diperbolehkan pulang untuk menjalani rehabilitasi.

Adanya pendekatan medis dalam penanganan kasus Andi Arief merupakan keputusan yang tepat dan patut diapresiasi – meski terhadap kasus-kasus narkotika lain yang juga menyasar pemakai narkotika, penegak hukum kerap melupakan pendekatan tersebut dan larut pada pusaran proses peradilan pidana. Apa yang dialami Andi Arief ini tentu sangat kontras dengan kenyataan yang harus dihadapi masyarakat setiap hari, tapi ini perlu didorong menjadi sebuah preseden dalam menangani kasus pemakai narkotika – yang semestinya tidak perlu menjalani proses peradilan pidana yang seringkali menghindarkan pemakai narkotika dari intervensi kesehatan yang lebih dibutuhkan.

Sebelum Andi Arief dipulangkan untuk menempuh rehabilitasi, ia menjalani proses asesmen. Proses ini didasarkan sebuah aturan teknis yakni Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Kapolri, Ketua MA, Jaksa Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, serta Kepala BNN pada tahun 2014. Peraturan ini mengharuskan adanya pemeriksaan medis dan hukum terlebih dahulu kepada tersangka kasus narkotika yang dilakukan oleh Tim Asesment Terpadu (TAT) yang berada di Kantor BNN Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten. Hasil pemeriksaan TAT berupa rekomendasi menjadi dasar bagi penyidik untuk menentukan seorang tersangka layak menempuh rehabilitasi atau tidak serta pasal-pasal yang didakwakan.

Dalam praktik, rekomendasi TAT tidaklah mengikat bagi penyidik, bahkan hakim, untuk dipatuhi. Di lapangan, seringkali pemakai narkotika yang oleh TAT mendapatkan rekomendasi rehabilitasi tetap saja divonis penjara. Tidak diikutinya rekomendasi TAT oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim sejatinya menegasikan kemampuan dan kapasitas TAT yang, sepatutnya, diisi oleh ahli-ahli: dokter dan psikolog sebagai tim medis serta perwakilan Kejaksaan, Kepolisian, Kemenkumham dan BNN sebagai tim hukum. Lebih jauh dari itu, sikap penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim yang menghiraukan rekomendasi TAT kerap tidak memiliki justifikasi yang kuat dan tidak transparan.

Dikesampingkannya rekomendasi TAT memberi pesan kuat bahwa penanganan kasus narkotika tidaklah didasarkan pada scientific evidence melainkan besarnya kuasa aparat penegak hukum. Pesan ini pun viral di tengah masyarakat yang kemudian menimbulkan penegakan hukum yang transaksional – bentuknya banyak: dari tukar kepala hingga 86.

Bagi kalangan dengan situasi finansial yang memadai, praktik 86 sering dilakukan karena secara teknis mudah dilakukan: membayar. Di sisi lain, praktik tukar kepala tidaklah membutuhkan uang melainkan informasi, tentang beberapa orang lain yang juga terlibat dengan kasus narkotika, untuk diberikan pada aparat yang kemudian akan menangkap orang-orang tersebut. Praktik tukar kepala tidak memberi keuntungan finansial pada aparat namun bisa digunakan untuk klaim keberhasilan penindakan – karena aparat masih menggunakan kuantitas kasus sebagai indikator keberhasilan – serta dapat pula digunakan sebagai lahan 86 yang baru.

Sekarang, mari kita kembali ke Andi Arief, seseorang yang sudah lama bergelut dengan kekuasaan. Nalar kritis dan suaranya yang lantang memberi sumbangsih pada jatuhnya Orde Baru. Kemampuannya membawanya masuk dalam ring satu Istana sebagai staf khusus Presiden dan dipercaya menduduki jabatan strategis di BUMN pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat Andi Arief ditangkap, ada pengumuman dari Kabareskrim. Wakil Presiden bahkan juga ikut berkomentar. Perhatian yang tidak akan didapat oleh publik kebanyakan apabila terjegal kasus serupa. Mungkinkah ada politik di baliknya?

Tidak ada yang tahu dan (sejujurnya) tidak terlalu penting. Yang lebih penting ialah, selama bertahun-tahun ke belakang, kekuatan politik tidak digunakan untuk mengubah regulasi narkotika Indonesia yang salah kaprah. Partai Demokrat misalnya, yang sempat menjadi ruang Andi Arief bernaung, memenangkan Pemilu 2014 dan memiliki 61 kader di dalam DPR yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Kewenangan-kewenangan tersebut semestinya bisa digunakan sebagai corong untuk menyuarakan reformasi kebijakan narkotika yaitu revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak ramah terhadap pemakai narkotika, hal yang jelas ditunjukan lewat kasus Andi Arief ini. Lebih jauh, Partai Demokrat ini bisa mengandalkan 6 kadernya yang merupakan bagian dari 54 orang anggota DPR yang duduk di Komisi III yang membidangi Hukum dan HAM serta Keamanan untuk menjalankan fungsinya.

Komisi III DPR, sebagaimana termaktub dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 3/DPR RI/IV/2014-2015 tentang Penetapan Kembali Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2014-2019, memiliki 15 pasangan kerja yang sehari-hari sangat mendominasi dalam penegakan hukum narkotika seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, serta BNN. Komisi III DPR juga bisa melakukan komunikasi politik dengan beberapa instansi pemerintah lain yang strategis untuk mendorong upaya dekriminalisasi terhadap pemakai narkotika. Semestinya, ada pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di internal Komisi III atau pembentukan Panitia Khusus (Pansus) lintas Komisi karena persoalan narkotika sepatutnya tidak menitikberatkan pada perspektif hukum melainkan kesehatan publik yang secara teknis dan tanggung jawabnya ada di Kementerian Kesehatan, yang bukan merupakan pasangan kerja Komisi III.

Berkaca dari fungsi dan kewenangan parlemen sangat luas serta konfigurasi politik di DPR yang rumit, maka reformasi kebijakan narkotika melalui parlemen bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, anggota parlemen dan partai-partai, termasuk Partai Demokrat yang mengklaim mengambil peran sebagai penengah dalam 5 tahun ke belakang, seharusnya memulai meletakan fondasi untuk itu. Hal itu dapat dimulai dengan mengawasi praktik penegakan hukum yang tidak konsisten pada pemakai narkotika – hal yang juga dapat dicermati dari kasus Andi Arief. Bisa juga dengan menaikan alokasi anggaran bagi instansi yang melakukan pendekatan non-penal terhadap pemakai narkotika sebagai upaya untuk menggeser kebijakan narkotika dari pendekatan yang punitif.

Apakah ini akan dilakukan oleh partai-partai di parlemen pun partai-partai baru? Sebagai kebijakan partai, sepertinya hal ini sulit dilakukan karena isu kebijakan narkotika nampaknya tidak populer dan kontroversial. Iklim pemilu legislatif saat ini yang, seharusnya, mendekatkan antara calon legislator dengan konstituennya mestinya menjadi sebuah kesempatan, bagi mereka yang berani, untuk menjadikan reformasi kebijakan narkotika sebagai sebuah platform kampanye. Bagi Partai Demokrat, mempertahankan Andi Arief dalam posisi strategis di partai dapat menjadi pilihan otonom partai untuk memulai diskusi tentang itu secara internal. Sayangnya, Andi Arief saat ini sudah terlanjur mundur.

Lalu, apa yang tersisa buat masyarakat selain pemerintah yang galak, parlemen yang lamban, dan partai yang enggan berubah? Andi Arief yang ikut meruntuhkan Orde Baru mungkin dapat berkontribusi untuk menggulingkan kebijakan narkotika Indonesia yang konservatif. Lewat akun twitter-nya yang termashyur, Bung Andi dapat membantu kawan-kawan pemakai narkotika di seluruh Indonesia dengan kembali meneriakkan: “I’m not a criminal.

Penulis: Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Rilis Pers – Pernyataan LBH Masyarakat terkait Bebasnya Siti Aisyah dari Hukuman Mati di Malaysia

Jakarta, 11 Maret 2019 – LBH Masyarakat mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang melalui upaya diplomasinya berhasil mendorong pembebasan Siti Aisyah dari ancaman hukuman mati di Malaysia.

Sebagaimana diberitakan di sejumlah media, upaya ini tidak lepas dari permohonan Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly kepada otoritas Malaysia. LBH Masyarakat melihat bahwa usaha tersebut selain bentuk perlindungan pemerintah terhadap WNI, juga mencerminkan komitmen pemerintah menghormati hak asasi manusia khususnya hak untuk hidup dan wajah diplomasi yang mendukung penghapusan hukuman mati.

Namun demikian, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah Indonesia agar upaya pembebasan Siti Aisyah tidak berhenti di sini. Pemerintah harus mengintensifkan upaya penyelamatan WNI lainnya yang terancam hukuman mati di luar negeri, dengan menyediakan pendampingan hukum di kualitas terbaik, asistensi konsuler, mobilisasi dukungan internasional, dan dukungan lainnya yang relevan.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus segera menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi mati di Indonesia, secara de jure, agar berjalan beriringan dengan upaya diplomasi di luar negeri. Kebijakan Indonesia yang menerapkan hukuman mati dan eksekusi di dalam negeri, dan di waktu yang bersamaan menyelamatkan WNI terancam hukuman mati di luar, akan dibaca sebagai inkonsistensi dan sikap hipokrit oleh pemerintah negara lain. Dan hal tersebut dapat berpengaruh pada level advokasi pemerintah.

Dengan menerapkan moratorium hukuman mati juga akan menempatkan Indonesia sebagai kampiun hak asasi manusia bukan hanya di region Asia Tenggara tetapi juga di dunia. Hal mana akan berdampak pada citra dan posisi Indonesia sebagai pemimpin global.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Kasus Andi Arief: Politisasi yang Keliru

LBH Masyarakat meminta Pemerintah untuk menindak Andi Arief, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokarat, sesuai hukum yang berlaku dan sesuai dengan kapasitasnya dalam kasus tersebut.

Sejauh pantauan kami terhadap liputan media, dalam kasus Andi Arief tidak ditemukan barang bukti narkotika. Polisi hanya mendapati alat bantu hisap dan Andi Arief ditemukan positif amfetamina.

Sampai ditemukan fakta lebih jauh, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa Andi Arief tidak lebih dari seorang pemakai narkotika. Oleh karena itu, sepatutnya penegak hukum tidak perlu meneruskan kasus ini karena dalam situasi seperti ini yang lebih dibutuhkan adalah akses kepada layanan kesehatan.

Hal ini kami serukan karena apabila di kasus yang high profile seperti ini penegak hukum tetap menampilkan wajah yang punitif, justru itu akan menegaskan posisi pemerintah yang memang enggan berubah dari pendekatan prohibisionis dan war on drugs yang kerap menimbulkan lebih banyak masalah. Dalam menangani kasus pemakai narkotika, pemerintah harus mengedepankan pendekatan berbasis kesehatan guna mendukung pemulihan yang bersangkutan.

Di sisi lain, LBH Masyarakat menyesalkan penghakiman dan pelekatan stigma terhadap pemakai narkotika yang dilakukan melalui kasus ini. Aroma politik sulit dilepaskan ketika kita menghadapi situasi semacam ini, namun memaksakan penghukuman hanya karena kebencian atau lawan politik justru tidak tepat. Perlu diingat, bahwa UU Narkotika berlaku untuk semua orang dan orang-orang terdekat kita bisa saja jadi korban dari regulasi yang buruk ini. Andi Arief seharusnya dikritisi karena mendiamkan UU Narkotika efektif berlaku selama 10 tahun terakhir ini, sebuah regulasi yang mengirim puluhan ribu anak bangsa setiap tahunnya ke dalam penjara semata karena memakai narkotika. Kami berpendapat bahwa seorang politisi haruslah dinilai melalui pandangan, etika, dan kinerjanya – bukan karena dia seorang pemakai narkotika atau tidak.

 

Yohan Misero – Peneliti LBH Masyarakat

Dibutuhkan: Relawan Arsip Penanganan Kasus dan Pemantauan Media

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

LBH Masyarakat mengundang kamu untuk menjadi bagian dari kami dan terlibat dalam pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Kami membutuhkan 4 relawan yang teridiri dari 1 relawan arsip bantuan hukum dan 3 relawan pemantauan media.

Relawan Arsip Bantuan Hukum

Dari tahun ke tahun, LBH Masyarakat semakin banyak menerima kasus-kasus yang masuk. Kepercayaan publik terhadap LBH Masyarakat harus terus dijaga, termasuk soal kerahasiaan data klien yang menyampaikan permohonan bantuan hukum. Untuk mengurangi penggunaan kertas sebagai media pendokumentasian data klien, LBH Masyarakat berupaya mengubah data tersebut ke dalam format digital.

Bagi kamu yang tertarik berkontribusi dan mendapat pengalaman berharga dari kerja penanganan kasus LBH Masyarakat (penyuluhan di rutan dan lapas di Jakarta), ini adalah kesempatan yang tidak boleh kamu lewatkan. Kriteria relawan yang dibutuhkan adalah:

  • Tertarik pada isu hak asasi manusia dan penganganan kasus;
  • Memiliki kemampuan dalam pengarsipan yang baik;
  • Digital-Savvy;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Sarjana hukum atau mahasiswa hukum sedang cuti kuliah;
  • Berkomitmen untuk bekerja 5 hari dalam seminggu selama 3 bulan;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.
  • Memiliki laptop dan perangkat lunak yang bisa mendukung kerja lebih diutamakan;

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitaeterbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
  • jelaskan bagaimana pendokumentasian data klien menjadi salah satu bagian penting dari kerja penanganan kasus.

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Dominggus Christian di dchristian@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.

Relawan Pemantauan Media

Sejak 2016, LBH Masyarakat rutin melakukan penelitian pelanggaran hak asasi manusia melalui dokumentasi dan pemantauan media. Hasil penelitian akan dijadikan bahan advokasi strategis melalui pemangku kebijakan ataupun media. Adapun perincian penelitiannya meliputi:

  1. Kekerasan yang dialami orang dengan disabilitas psikososial;
  2. Stigma dan diskriminasi terhadap LGBT;
  3. Stigma dan disrkriminasi terhadap HIV;
  4. Penggerebekkan narkotika dalam tahanan;
  5. Tembak di tempat kasus narkotika;
  6. Perempuan kurir narkotika;
  7. Kematian di dalam tahanan.

. Kriteria relawan yang kami butuhkan, di antaranya:

  • Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
  • Internet-Savvy;
  • Dapat menggunakan MS Word, MS Excel, dan (SPSS nilai tambah);
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa semua jurusan minimal semester 4;
  • Berkomitmen untuk bekerja penuh selama 300 jam;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
  • sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Fuji Aotari di faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.

Sudah saatnya kamu berjalan bersama kami. Seperti kata Honne, “… Cause when you’re with me, I don’t feel blue.” Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian:

because every human matters.

Dibutuhkan: Relawan Perpustakaan HIV LBH Masyarakat

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

Untuk persoalan HIV, kami menyadari bahwa masih tingginya stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat terhadap teman-teman ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS), keluarganya, orang-orang dengan prilaku berisiko, serta mereka yang bekerja di isu ini.

Dalam pengentasan stigma dan diskriminasi itulah, kami menyadari pentingnya memunculkan narasi-narasi alternatif mengenai HIV, baik dalam bentuk kampanye, tulisan opini, reportase, dan penelitian. Dalam kerangka berpikir itu, kami di LBH Masyarakat kemudian memutuskan untuk meluncurkan Kolektiva, sebuah wadah pengetahuan yang berisi literatur yang berkaitan dengan persoalan HIV dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM).

Kolektiva, yang merupakan akronim dari “Koleksi Pustaka HIV dan Hak Asasi Manusia”, bertujuan untuk memudahkan audiens Indonesia – baik pelajar, pengajar, wartawan, analis, peneliti, rekan-rekan LSM, dan pemerintah – untuk mencari sumber pengetahuan atau referensi dalam bentuk literatur dan berbagai dokumen lain yang memuat informasi dan analisis persoalan HIV dan kaitannya dengan HAM.

Mengapa HAM? Karena kami di LBH Masyarakat percaya bahwa perlindungan HAM adalah elemen yang esensial untuk menjaga martabat manusia dalam konteks pencegahan dan penanggulangan HIV, dan upaya untuk memastikan bahwa respons negara terhadap persoalan HIV akan senantiasa efektif, berbasis bukti, dan berdasarkan HAM.

Kamu dapat berkontribusi dalam maksud baik ini dengan menjadi relawan yang bertugas untuk mengumpulkan, membuat ringkasan, serta memasukkan data dari literatur dan dokumen yang penting untuk dimasukkan ke dalam basis data Kolektiva. Selain itu, kamu juga akan dapat menyaksikan dari dekat, dan bila secara waktu memungkinkan juga terlibat, dengan kerja-kerja LBH Masyarakat.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Dengan mengambil kesempatan ini, kamu dapat mengetahui lebih dalam tentang HIV dan permasalahan-permasalahan HAM di sekitarnya. Kamu juga dapat belajar mengenai cara kerja lembaga HAM, bidang yang mungkin kamu bayangkan untuk karir kamu ke depan.

Kami membutuhkan 1 (satu) relawan dengan kriteria sebagai berikut:

  • Tertarik pada isu HIV dan HAM;
  • Internet-Savvy;
  • Fluent in English;
  • Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa (lebih disukai jurusan Komunikasi dan minimal semester 4);
  • Berkomitmen untuk bekerja selama, setidak-tidaknya, 300 jam dalam masa relawannya;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae(CV) terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
    • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
    • sebutkan sebuah kasus terkait HIV yang menarik perhatianmu dan jelaskan relasi kasus tersebut dengan HAM.

Tulis CV dan Motivation Letter kamu dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 11, dan spasi 1.

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Yohan Misero (staf LBH Masyarakat) di ymisero@lbhmasyarakat.org paling lambat Jumat, 1 Maret 2019.

Kami mengerti, bahwa seperti yang Bradley Cooper dan Lady Gaga bilang, kerap kali kita, “I find myself longing for change. And, in the bad times, I fear myself.” Tak perlu ragu, kami menunggumu!

A Day at Tangerang Youth Prison

We approached the gates of the prison at 11am on a Monday morning. Adi’s (not his real name) family greeted us with handshakes and solemn nods. We, representatives from LBH Masyarakat and Adi’s family, were informed by LBH Masyarakat’s lawyers that we would have to wait another two hours until we would be allowed into the prison: visiting times only happen after 1pm. The following two hours were filled with sipping jasmine tea at the warung adjacent to the prison, and consoling Adi’s mother as her sobs for her anguished son permeated the smoke-filled air.

Adi has been in prison since late November, held on remand for allegedly assisting in a sabu smuggling operation in West Jakarta. To the authorities, he is a criminal, found in possession of a small amount of sabu strapped to his motorbike, a “drug trafficker” exacerbating Indonesia’s “narcotics emergency”. But Adi is also a 22 year old, born into a life of poverty and disadvantage in a Chinese-Indonesian family who had to pull him out of school in 4th grade. He suffers from a severe speech impediment, mental health issues, and an undiagnosed mental disability. He can barely read or write. On the night of his arrest, he was ordered by his friend’s girlfriend, the leader of a local drug gang, to inject a small amount of drugs in himself, and then transport the rest to a buyer. His low level of education belied him, and, intimidated and afraid, he followed orders. Unbeknownst to him, his friend’s girlfriend informed the police of the operation, setting him up. Adi is a perfect example of those prone to being exploited by drug syndicates: poor, illiterate, desperate for social bonding. He has been detained ever since his arrest, in an already overcrowded detention center, unsure of when he will be reunited with his family at home.

After numerous security checks and a small taste of Indonesia’s broken prison bureaucracy, we were finally granted entry into the prison grounds. While LBH Masyarakat’s team waited for Adi inside the packed meeting hall, I was struck by our company- young men dressed in prison garments were embracing their wives and girlfriends. Friends were high-fiving one another as they sat to enjoy lunch. Detainees were embracing their young children. The evidence that the Indonesian government’s current “war on drugs” was destroying families and communities was right before us. And, despite its failures, the government continues to blindly wage this drug war, targeting the most vulnerable people.

After many minutes of waiting, Adi entered the meeting room. Through tears, he embraced his parents and shook our hands. He arduously discussed the conditions inside the prison: cramped and sweaty. They feed him rotten food and withhold his breakfast. He sleeps on a hard floor in a room with dozens of other detainees. He sits inside his room all day. As we are speaking with him, a prison official approaches us and informs Adi that his visiting time is up. The official slides his hand towards Adi’s parents and gives them a redolent look. Adi’s parents desperately look at each other, scrummaging around their bag for any money, longing for just a few more minutes with their son. The prison guard discreetly takes their money and walks off. The remaining period of the visit is filled with loud sobs from Adi and his family, long hugs, and many ‘thank-you’s’ to the LBH Masyarakat’s legal team who have been working tirelessly to arrange for Adi’s release.

It is very easy to feel sad for Adi in his situation, an innocent victim of Indonesia’s broken drug policy and flawed justice system. But as we walked out of the meeting room and back through security, I could not help feeling angry. Adi is just one person out of hundreds who are caught in this situation, held indefinitely in prison while they await trial. Bribery, dirty food, and unfit prison conditions colour his new life. As we leave the prison, I read the large sign adorning the entrance: “Siap Melayani Tanpa Pungli”, “Melindungi Hak Asasi Manusia”: “Ready to Serve without Levy”, “Protecting Human Rights”.

 

This piece is written by Olivia Jones, a Monash University student who volunteered in LBH Masyarakat from in early 2019, and edited by Ricky Gunawan.

Rilis Pers – Evaluasi Debat Hukum Capres-Cawapres: Kosongnya Visi Perlindungan HAM untuk 2019-2024

LBH Masyarakat pesimis terhadap kualitas penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia untuk lima tahun ke depan setelah menyaksikan debat pertama capres-cawapres pada Kamis malam, 17 Januari 2019.

Secara keseluruhan, kedua pasangan capres-cawapres tidak menawarkan gagasan yang visioner terkait rule of law di Indonesia, hanya menyampaikan pandangan yang nirsubstansi soal jaminan perlindungan HAM, dan miskin solusi konkrit dan segar terkait sejumlah permasalahan hukum HAM yang mendasar. Kedua pasangan juga jelas terlihat canggung dan gagap dalam menguraikan pandangan-pandangannya terkait penegakan hukum dan HAM. Hal tersebut tampaknya dilatarbelakangi faktor bahwa kedua pasangan memiliki catatan buruk dalam hal pemenuhan HAM.

Pasangan nomor urut 1, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, membuka debat dengan menyatakan visinya dengan mengarahkan isu hak asasi manusia pada aspek-aspek di luar sosial politik seperti: akses pada lahan, akses terhadap kesehatan, dan akses terhadap pembangunan. Memfokuskan diri pada isu hak ekonomi, sosial dan budaya, bisa dibilang adalah jalur elaborasi yang aman. Namun sayangnya, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo hal-hal di atas juga kerap terlupakan: mereka yang hidup dengan atau rentan terkena HIV masih sering mendapatkan diskriminasi di akses kesehatan, tata kelola BPJS yang masih bermasalah, dan juga maraknya pemenjaraan pada pemakai narkotika yang membuat mereka sulit mengakses banyak hal. Pasangan nomor urut 1 kemudian menjanjikan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tetapi di sisi lain, pemerintahan Joko Widodo belum juga berhasil mengungkap dengan terang kasus serangan terhadap Novel Baswedan.

Pasangan nomor urut 1 pada sesi yang berbeda menyatakan bahwa mereka yang melakukan persekusi harus ditindak dan dipersilakan dikabarkan pada Presiden Joko Widodo atau dilaporkan ke kepolisian. Namun sejak 2016, persekusi terhadap minoritas agama maupun LGBT terus terjadi dan bahkan mengalami eskalasi. Di banyak kasus, aparat kepolisian justru juga terlibat sebagai pelaku diskriminasi dengan mendiamkan praktik kekerasan terhadap LGBT. Di samping itu, dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI, Ma’ruf Amin, sering mendorong atau mengamini kelahiran fatwa maupun peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas.

Di sisi lain, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, tidak memberikan alternatif dan jawaban yang juga meyakinkan. Pasangan nomor urut 2 memberikan narasi sepanjang debat dalam kerangka kesejahteraan dan pembangunan (developmentalis). Hal ini juga ditunjukkan dengan memunculkan solusi tunggal terkait korupsi dan penegakan hukum yakni peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum. Memperhatikan kesejahteraan penegak hukum adalah hal yang penting, tetapi meningkatkan gaji aparat tidaklah serta merta menurunkan angka korupsi. Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, adalah antitesis paling gamblang dari formula yang Prabowo usung. Sekalipun memiliki total pendapatan sebesar 12 miliar rupiah lebih dalam kurun waktu lima tahun, Akil Mochtar tetap melakukan korupsi, dan kemudian divonis seumur hidup.

Prabowo juga mengatakan bahwa apabila ada aparat penegak hukum yang diskriminatif saat ia menjabat, ia tak akan ragu memecatnya. Hal yang digemakan oleh Sandiaga yang menyatakan bahwa HAM yang tegak adalah harga mati bagi mereka. Namun bagaimana keduanya bisa menegakkan HAM apabila Prabowo memiliki keterlibatan dengan pelanggaran HAM masa lalu, dan Sandiaga sendiri juga memiliki peran dalam kampanye yang sarat nuansa intoleran saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang lalu.

LBH Masyarakat menyayangkan kedangkalan pandangan dan jawaban kedua pasangan calon terkait sejumlah pertanyaan hukum HAM yang penting. Padahal, keduanya mengafirmasi bahwa penegakan hukum yang efektif dan adil akan menjamin pemenuhan HAM dan pemerintahan yang bersih, serta mendukung iklim investasi. Sayangnya kedua pasangan calon sama-sama banyak memberikan jawaban yang mengambang dan cenderung hampa yang mencerminkan rendahnya penguasaan masalah. Perbedaannya adalah pasangan nomor urut 1 memberikan jawaban kosong secara telanjang, sementara pasangan nomor urut 2 menyampaikan jawabannya yang kosong dengan berbalut gula. Yang lebih menyedihkan adalah, lemahnya penguasaan masalah itu justru menyiratkan kepada publik bahwa penegakan hukum dan perlindungan HAM serta pemberantasan korupsi dan penanggulangan terorisme ternyata bukanlah prioritas bagi kedua calon presiden dan wakil presiden negara ini. Ketika agenda penguatan rule of law dan pemajuan HAM tidak lagi menjadi prioritas bagi capres cawapres, sulit bagi masyarakat mengharapkan adanya terobosan dalam perwujudan keadilan di republik ini.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Polisi Positif Sabu dan Ekstasi: Waktunya Polri Berbenah Diri

LBH Masyarakat mendorong Polri untuk berkaca dan berbenah diri dalam persoalan narkotika terkait kasus mantan Kapolres Empat Lawang, AKBP Agus Setiawan, yang urinenya positif sabu dan ekstasi.

Aspek pertama yang harus dibenahi adalah persoalan proporsionalitas sanksi terhadap anggota. LBH Masyarakat menilai sesungguhnya polisi sudah bertindak cukup bijak dengan hanya mencopot jabatan Kapolres dari, bukannya memecat, AKBP Agus Setiawan. Sanksi seperti ini sesungguhnya lebih tepat apabila dibandingkan dengan sanksi yang diberikan pada beberapa kasus yang melibatkan anggota Polri dalam kasus-kasus pornografi atau zinah, misalnya, yang langsung dipecat.

Kecuali memang anggotanya terlibat dalam KDRT, kekerasan pada sipil, aktif dalam jaringan kriminal, atau tindakan-tindakan semacam itu, seorang anggota Polri yang menggunakan narkotika, berselingkuh, atau foto/videonya terekspos ke publik bukan karena kehendaknya seharusnya dilindungi sebagai korban dan Polri semestinya, seperti pada kasus AKBP Agus Setiawan, mengedepankan pembinaan daripada pemecatan.

Aspek kedua adalah persoalan keterlibatan anggota Polri dengan narkotika. Kasus yang melibatkan AKBP Agus Setiawan ini semestinya menjadi cermin yang tak bisa dihindari petinggi Polri bahwa pengguna narkotika bisa siapa saja, termasuk anggota Polri. Oleh sebab itu, Polri semestinya, juga seperti pada kasus AKBP Agus Setiawan, mengedepankan sanksi-sanksi alternatif bukannya pemenjaraan.

Ketentuan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sayangnya masih memenjarakan pengguna narkotika. Namun bercermin pada kasus ini, Polri semestinya dapat memiliki sebuah ketentuan internal terhadap pengguna narkotika agar tidak perlu berhadapan dengan pemenjaraan. Polri dapat menerbitkan sebuah peraturan internal ketika seorang ditemukan menguasai narkotika dalam jumlah tertentu ia tidak perlu ditangkap. Hal semacam ini sudah dicoba diterapkan di Belanda dan beberapa kota di Inggris dan sepertinya patut dicoba oleh Indonesia. Karena jelas, bagi AKBP Agus Setiawan dan jutaan pemakai narkotika lainnya: penjara bukan solusi.

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat