Tag: Pemerintah

The Absence of a Comprehensive Legal Framework for Anti-Discrimination Protection in Indonesia: The Urgency of an Anti-Discrimination Legislation

Discrimination continues to be a pressing issue faced by People Living with HIV (PLHIV) and Key Populations, Sexual Orientation and Gender Identity and Expression (SOGIE) communities, persons with disabilities, Indigenous peoples, women, adherents of faith and belief systems, and many other vulnerable groups. The root of the problem lies in existing policies that are partial in scope, provide limited and stagnant recognition of vulnerable identities, and remain closed-ended. As a result, the number of victims of discrimination continues to rise, while at the same time, the current legal system has yet to effectively respond to these challenges.

This discourse encouraged  the National Coalition of Vulnerable Groups Against Discrimination (KAIN) and the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia (FISIP UI), in collaboration with the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) and the Equal Rights Trust (ERT), convened the National Symposium on the Draft Bill on the Elimination of Comprehensive Discrimination (RUU PDK). The symposium was held on 16–17 September 2025 at the Department of Criminology, FISIP UI, and gathered more than 150 participants, bringing together strategic stakeholders and various groups consisting of academics, international experts, representatives of ministries/ institutions, civil society actors, foreign embassies in Indonesia, media/journalists, and students.

This symposium was born out of the need for evidence-based regulation, policies that are needs-based and problem-solving oriented, and a genuine aspiration for a law that guarantees comprehensive protection for every citizen without exception. Furthermore, this event was   the initiative of civil society coalitions to remind the state of its commitments in the Universal Periodic Review (UPR) Cycle IV of 2023 and the 2024 Concluding Observations of the Human Rights Committee on Civil and Political Rights, in which the Indonesian government agreed to  anti-discrimination legislation.

The Dean of FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, opened the symposium by emphasizing that discrimination not only impacts individuals but also undermines social cohesion and threatens political legitimacy. He stressed that comprehensive anti-discrimination law must go beyond written text to serve as a real instrument of justice, especially for the vulnerable and marginalized who have long been excluded from state protection. Similarly, Claude Cahn of OHCHR stated: “With just one law, the state can fulfill many of its international human rights obligations. This law gives people a direct tool to fight discrimination. Rights that are usually written only in constitutions or international treaties may feel distant, but with this law, people can use them in their daily lives.”

During the first plenary session, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA, Expert Staff for Development Financing Innovation at the Ministry of National Development Planning/Bappenas, emphasized that anti-discrimination legislation aligns with Indonesia’s national development framework. In the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025–2045, one of the policy directions is to ensure that no one is left behind in development. Two pillars supporting this are the rule of law and access to justice. This reference  should be understood as a mandate enabling stakeholders to follow up on international recommendations for Indonesia.

To examine the RUU PDK in greater depth, the symposium featured four thematic panel discussions. 

Panel 1 explored definitions and the scope of discrimination, emphasizing that discrimination arises from failures to recognize diversity, and that its essence is injustice toward diversity. Accordingly, the bill must be based on protected grounds and adopt an open-ended definition. 

Panel 2 with the theme of enforcement mechanisms for accountability and victim redress. This theme highlights the ideal law enforcement mechanism in the bill, which is carried out through the establishment of  a new independent,  inclusive, participatory, participatory body/institution that represents various  vulnerable and minority groups, sufficiently resourced, and staffed with individuals of integrity and sensitivity to discrimination issues. This mechanism must be able to respond to all incidents of discrimination with processes that provide convenience, reliability, and certainty. They must ensure the enforcement and restoration of victims’ rights in an  accountable, effective, comprehensive, and inclusive way.

Panel 3 highlighted effective prevention measures to prevent discrimination need to include data collection for policy-making, meaningful participation of vulnerable groups in decision-making, access to justice, and the establishment of individual complaints systems. Preventive measures must be grounded in international principles and local norms that uphold diversity and be implemented through the mandates of human rights institutions, law enforcement agencies, education, culture, and local government. 

Panel 4 delved into the effective implementation of comprehensive anti-discrimination legislation.  The critical components of implementation are  ensuring  independent  enforcement bodies/institutions and conducting regulatory audits to assess the impact of the Anti-Discrimination bill .
The symposium concluded with remarks by Ratna Batara Munti, Commissioner and Vice Chair of the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), who declared full support for KAIN’s initiative to push for Indonesia’s adoption of the RUU PDK. She reaffirmed that Komnas Perempuan will actively advocate for the inclusion of the bill in the National Legislative Program (Prolegnas) priority agenda of the House of Representatives (DPR), and ensure it is deliberated and passed, using Komnas Perempuan’s mandate, functions, and authority.

Contact Persons:
Arul (KAIN) – +62 822 2406 1490
Iswan Sual (KAIN) – +62 897 8534 135

Menyambut Pemberlakuan KUHP Baru: Pemerintah Harus Jamin Pendekatan Hak Asasi Manusia pada Aturan Pelaksana Tentang Living Law serta Perubahan Pidana Mati dan Seumur Hidup

Jakarta, 14 Juli 2025 – LBHM dan PBHI menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan pada Kementerian Hukum Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan berlaku mengikat pada 2 Januari 2026 mendatang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk menyusun sejumlah aturan pelaksana. Dua di antaranya adalah RPP Living Law dan RPP Komutasi. LBHM dan PBHI telah konsisten mengawal proses pembentukan dua kebijakan ini sejak tahun 2024 dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada dua isu tersebut dan menjaring aspirasi publik melalui serangkaian diskusi publik yang diselenggarakan di universitas-universitas. Salah satu agenda advokasi yang telah kami lakukan adalah melakukan rangkaian audiensi dengan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan,Kementerian Hukum Republik Indonesia untuk memastikan proses pembuatan kedua peraturan tersebut transparan dan substansinya sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Namun demikian, PBHI dan LBHM menyampaikan perhatian serius terhadap substansi dan arah kebijakan dalam kedua RPP tersebut. Kami menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM pada kedua rancangan peraturan pemerintah tersebut.

RPP tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) Harus Menjadi Langkah Awal Menuju Penghapusan Pidana Mati di Indonesia

KUHP Baru mengatur sejumlah perubahan pada penerapan pidana mati di Indonesia. Semula, KUHP warisan kolonial Belanda menempatkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok. Dalam KUHP Baru, pidana mati harus dipandang sebagai ketentuan yang bersifat alternatif. Meskipun ketentuan baru ini “tampak memberi perubahan baik”, namun hal tersebut tidak lantas melepaskan Indonesia dari predikat negara retensionis. Pembuatan RPP ini harus menjadi tonggak pertama bagi pemerintah Indonesia untuk beranjak kepada pemenuhan hak atas hidup sebagai instrumen yang paling utama dalam kerangka penghormatan hak asasi manusia, terkhusus bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. 

Namun sayangnya, penyusunan RPP Komutasi ini masih menyisakan sejumlah celah yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, DIM yang kami serahkan ini pada dasarnya memuat catatan kritis perihal muatan penting yang harus diakomodasi oleh pemerintah dalam menyusun RPP Komutasi.

  • RPP ini harus memastikan bahwa proses komutasi bersifat dan berjalan secara otomatis bagi setiap terpidana mati maupun narapidana dengan vonis penjara seumur hidup ketika telah memenuhi syarat minimal menjalani pemidanaan. RPP ini harus memastikan bahwa masa tunggu eksekusi (masa percobaan 10 tahun) bagi terpidana mati dan 15 tahun pidana penjara bagi narapidana seumur hidup dihitung sejak masa penahanan dan dikategorikan sebagai bagian dari masa menjalani pidana. Hal ini penting untuk mencegah penghukuman ganda dan memastikan akses terhadap perubahan pidana lanjutan secara adil dan manusiawi.
  • Syarat dan proses dalam mengakses komutasi tidak boleh menghambat, bersifat diskriminatif, atau subjektif. Begitu juga dengan durasi setiap tahapan dalam proses komutasi dari tingkat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga pembuatan Keputusan Presiden, harus terlaksana secara transparan dan akuntabel. RPP ini harus memastikan bahwa sikap diam Presiden terhadap pengajuan komutasi terhadap setiap narapidana berarti Presiden menerima pengajuan komutasi. 
  • Meskipun saat ini pemerintah juga tengah menyusun RUU tentang Pelaksanaan Pidana Mati, namun RPP ini harus memuat ketentuan larangan pelaksanaan pidana mati, dalam hal: (1) narapidana tegah menjalani 10 tahun masa percobaan, (2) narapidana sedang menjalani proses komutasi. dan (3) narapidana sedang mengajukan grasi, amnesti, maupun abolisi. Jaminan ini penting untuk menciptakan kepastian hukum. 
  • Proses komutasi harus bersifat berkelanjutan. RPP ini tidak boleh membatasi narapidana untuk mengakses komutasi hanya untuk 1 kali saja. Ketentuan komutasi harus menjadi langkah awal menuju abolisi atau penghapusan total pidana mati di Indonesia. 
  • Ketentuan komutasi dalam RPP ini harus berlaku surut bagi seluruh terpidana mati maupun narapidana seumur hidup yang telah menjalani pemidanaan sebelum KUHP Baru berlaku secara mengikat. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per 14 Juli 2025, populasi terpidana mati di Indonesia mencapai angka 589 orang, dan sebanyak 2.228 narapidana penjara seumur hidup. 

LBHM dan PBHI pada dasarnya mendorong dan mendesak penghapusan pidana mati secara total pada seluruh jenis tindak pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Hak atas hidup merupakan instrumen hak asasi manusia paling mendasar untuk dapat mengakses berbagai hak asasi lainnya. Oleh karena itu, negara seharusnya hadir dan tidak merampas hak hidup warga negaranya sendiri.

RPP Living Law Perlu Safeguards HAM, Bukan Blank Check untuk Perda Diskriminatif

LBHM dan PBHI juga menyoroti RPP Living Law yang berpotensi menjadi instrumen untuk melegitimasi diskriminasi jika tidak dikawal secara ketat. Alih-alih menjadi ruang pengakuan terhadap hukum adat, pengaturan ini justru membuka potensi pelembagaan norma-norma adat yang menindas, represif, dan bias terhadap kelompok rentan. 

LBHM dan PBHI menilai bahwa gagasan menyusun RPP ini menunjukkan adanya ketegangan antara hukum pidana nasional dan hukum adat. Hukum pidana bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan kemerdekaan seseorang melalui sanksi yang definitif, sehingga mensyaratkan aturan yang jelas dan tertulis. Sementara hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, lahir dari norma dan praktik yang telah lama diterima di suatu masyarakat adat dan diyakini sebagai pedoman oleh masyarakat adatnya. Sanksi dalam hukum adat dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kosmik di wilayah adat tersebut. Pengaturan mengenai perbuatan adat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adat melalui hukum tertulis dapat berpotensi ke arah kriminalisasi. 

RPP Living Law ini belum secara eksplisit memastikan bahwa pengaturan kriteria perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai  tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah tunduk pada prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesetaraan gender, dan HAM. Di tengah masifnya dorongan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai payung hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, pemerintah justru  membuka keran permasalahan baru melalui RPP Living Law yang tidak sejalan dengan perjuangan masyarakat adat. Sebab  ruang hukum adat akan rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, represi terhadap masyarakat adat, kriminalisasi kelompok minoritas, membatasi hak-hak sipil, dan memperkuat nilai patriarkal. Ketidakjelasan arah pengaturan melalui RPP ini juga dapat menimbulkan dualisme penegakan hukum dan secara jangka panjang rentan menggerus proses penyelesaian melalui tatanan hukum adat setempat. 

Oleh karena itu, PBHI dan LBHM menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM yang telah diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dengan poin-poin sebagai berikut:

  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum perlu menegaskan prinsip-prinsip HAM sebagai syarat mutlak dalam menentukan tindak pidana adat yang akan diatur melalui Peraturan Daerah.
  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum agar tidak mengatur ulang perbuatan-perbuatan pidana yang telah diatur melalui Undang-Undang yang bersifat khusus, seperti UU TPKS, UU PKDRT, UU Disabilitas, dan sebagainya. 
  • Dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD   wajib melibatkan Masyarakat Adat setempat, organisasi masyarakat sipil dan kelompok rentan serta prosesnya harus bersifat transparan.
  • Mengatur secara proporsional mengenai mekanisme penegakan tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah untuk menjaga otonomi Masyarakat Hukum Adat dan mencegah kooptasi negara. 
  • Membangun mekanisme evaluasi terhadap implementasi RPP ini, termasuk Peraturan Daerah sebagai bentuk akuntabilitas dan perbaikan kebijakan. 

PBHI dan LBHM meminta agar pemerintah mempertimbangkan dan mengakomodasi setiap usulan dan rekomendasi yang kami sampaikan melalui DIM RPP Komutasi dan Living Law. Tanpa pembahasan substansial, RPP tersebut justru akan mengancam prinsip keadilan, memperluas diskriminasi, dan memperkuat kewenangan yang tidak akuntabel dalam sistem hukum pidana nasional yang baru.

*Untuk melihat daftar inventarisasi masalah terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) yang LBHM dan PBHI susun dapat dilihat melalui link berikut www.kawalkuhp.id/#/publikasi

Narahubung:

PBHI : 0852 5235 5928

LBHM : 0852 1524 1116

 

Rilis Pers – Melawan Kekerasan Berbasis Agama Dengan Tetap Memperhatikan Prinsip Negara Hukum: Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil akan SKB Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI

Pada Hari Ini, 30 Desember 2020 Pemerintah Republik Indonesia Mengumumkan ” Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol Dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam” dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Berbagai organisasi Masyarakat Sipil selama ini turut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Berbagai organisasi tersebut juga meminta Aparat Penegak Hukum serta negara melakukan tindakan-tindakan penegakkan hukum terhadap orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan tersebut. Kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum. Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum. Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian namun di sisi lain, Negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law.

Namun, Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (selanjutnya disingkat SKB FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Pernyataan lengkap Koalisi Masyarakat Sipil terhadap terbitnya SKB terkait pembubaran FPI dapat di baca di tautan ini

Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pembubaran Ormas FPI dapat di unduh di sini

Rilis Pers – Sengketa Informasi Penolakan Ganja untuk Kepentingan Kesehatan ke Publik

Juni lalu Pemerintah dan BNN sepakat untuk menolak rekomendasi WHO terkait legalisasi Ganja untuk kepentingan medis. Dalih penolakannya adalah jenis ganja yg ada di Indonesia dengan yang ada di luar Indonesia berbeda (dengan Eropa, Amerika dll). Selain itu Pemerintah mengejutkan publik dengan mengeluarkan \’hasil penelitian\’ terkait ganja di Indonesia dimana dikatakan ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18 %) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat Psikoaktif—Canabis/ Ganja dapat digunakan untuk pengobatan seperti epilepsi adalah yang berasal dar hasil budidaya rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi (high CBD) dan kandungan THC rendah (low THC), bukan seperti Ganja dari Indonesia.

Sayangnya klaim ini tidak berdasar karena Indonesia sama sekali belum pernah melakukan riset terkait ganja medis. Oleh karena itu pada bulan Juli Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan melayangkan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Kementerian Kesehatan. Namun hingga saat ini belum mendapat jawaban/respon oleh pemerintah sama sekali.

Karena \’gayung tak bersambut\’, pada tanggal 28 September 2020, sengketa ini harus berlanjut ke tahap sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP). Karena tidak ada satu pun dari 3 instansi pemerintah yang ditujukan BNN, Polri, dan Kementrian Kesehatan yang menjawab permohonan informasi publik yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di link ini