Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Menyoroti Perilaku Jaksa dan Wajah Peradilan Indonesia

Baru-baru ini publik ramai membicarakan kasus Ibu Baiq Nuril yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal, yang bersangkutan adalah korban pelecehan seksual. Di antara banyak persoalan hukum yang muncul di kasus tersebut, perilaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) patut menjadi catatan. Di kasus tersebut, JPU sangat berhasrat untuk memenjarakan Ibu Nuril. Karena di pengadilan tingkat pertama Ibu Nuril telah divonis bebas, JPU kemudian langsung mengajukan kasasi. Semangat JPU untuk memenjarakan tersebut berbanding terbalik dengan keseriusan JPU untuk melakukan penuntutan dalam persidangan pada tingkat pengadilan negeri. Hal ini tercermin, misalnya, dari tidak adanya barang bukti berupa ponsel dan rekaman percakapan asli yang dihadirkan oleh jaksa ke persidangan.

Ketidakseriusan JPU dalam melakukan penuntutan sebenarnya bukan hanya di kasus Ibu Nuril saja. Sadikin Arifin, klien LBH Masyarakat yang saat ini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mengalami persoalan serupa. Bahkan dalam persidangan Sadikin, JPU secara eksplisit menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan bukti rekaman percakapan dan transkrip percakapan, yang LBH Masyarakat minta untuk dihadirkan di persidangan. Padahal bukti rekaman percakapan tersebut memegang peranan yang sangat krusial menyangkut pembuktian perkara yang dituduhkan kepada terdakwa.

Selain itu, dalam persidangan yang saat ini LBH Masyarakat tengah jalani, JPU telah menunda agenda persidangan untuk pembacaan surat tuntutan sebanyak enam kali. Bahkan di penundaan yang terakhir JPU dengan Hakim mencari justifikasi untuk melakukan penundaan pembacaan surat tuntutan dengan alasan ketidaklengkapan Majelis Hakim yang bersidang. Perilaku JPU yang terus menunda-nunda persidangan dan tidak profesional itu sesungguhnya telah menyandera persidangan. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 50 KUHAP yang mengamanatkan agar seorang tersangka/terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera tanpa penundaan yang tak beralasan (undue delay).

Mengingat tindakan jaksa yang sewenang-wenang dan tidak profesional, maka perlu dilakukan upaya koreksi terhadap perilaku jaksa. LBH Masyarakat meyakini ketidakprofesionalan jaksa baik di kasus Ibu Nuril maupun Sadikin adalah sedikit dari sekian banyak kasus yang tidak banyak terangkat atau tersorot media. Atas dasar hal tersebut, LBH Masyarakat akan melayangkan somasi kepada Jaksa Agung, sebagai bentuk teguran sekaligus pengingat bahwa tindakan kesewenangan jaksa harus berhenti. Hal tersebut kami lakukan juga dengan harapan agar Jaksa Agung dapat segera mengembalikan marwah institusi Kejaksaan ke arah tegaknya keadilan, demi terselenggaranya negara hukum yang melindungi harkat dan martabat manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi.

 

Jakarta, 18 November 2018

Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Rilis Pers – Moratorium Hukuman Mati, Upaya Diplomasi Menyelamatkan Ratusan Pekerja Migran

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati, seorang pekerja migran Indonesia, oleh Saudi Arabia, tanggal 29 Oktober 2018 kemarin.

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Luar Negeri RI, eksekusi tersebut dilakukan oleh Saudi Arabia tanpa didahului dengan notifikasi oleh otoritas setempat kepada perwakilan Indonesia di Saudi Arabia. Eksekusi mati tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia sekaligus juga menciderai tata krama diplomasi internasional.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan yang tegas untuk merespon kejadian tersebut, dan mengevaluasi hubungan kerja sama bilateral Indonesia-Saudi Arabia, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja migran Indonesia di Saudi Arabia.

LBH Masyarakat kembali mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk secara resmi menerapkan moratorium hukuman mati di Indonesia. Hal ini penting guna memaksimalkan upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menyelamatkan ratusan tenaga kerja migran Indonesia yang masih berhadapan dengan hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

 

Jakarta, 30 Oktober 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – 10 Oktober, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia: Hentikan Stigma, Sayangi Jiwa

Hari ini, 10 Oktober, adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Sayangnya persoalan kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi isu marjinal. Diskursus tentang kesehatan jiwa seringnya diselimuti mitos, yang tak jarang menghasilkan stigma dan diskriminasi tak berkesudahan bagi orang dengan disabilitas psikososial (ODP).

Masyarakat masih sering menganggap orang dengan disabilitas psikososial sebagai individu yang tidak mampu berpikir rasional, sulit diajak bicara, dan membahayakan masyarakat atau kerap berbuat onar. Selain stigma, orang dengan disabilitas psikososial juga sering mengalami kekerasan. Temuan LBH Masyarakat tahun 2017 menunjukkan setidaknya terdapat 159 orang dengan disabilitas psikososial mengalami kekerasan. Bentuk kekerasannya pun beragam dan dampaknya begitu mengkhawatirkan dampaknya, antara lain pemerkosaan, pembunuhan, pengeroyokan yang menyebabkan kematian, penelantaran, pengamanan paksa, hingga pemasungan. Orang dengan disabilitas psikososial juga mendapat kekerasan dalam panti rehabilitasi yang seharusnya menjadi tempat mereka menjalani perawatan. Tercatat ada 17,6% korban yang mengalami kekerasan saat berada di panti sosial.

Meski pemerintah telah berkomitmen menciptakan Indonesia bebas pasung, nyatanya angka kekerasan berupa pasung masih menjadi yang tertinggi. Laporan LBH Masyarakat di 2017 juga menemukan bahwa terdapat korban pasung sebanyak 35,2%, di mana 6 kasus di antaranya merupakan kasus pemasungan anak-anak. Ada berbagai alasan keluarga melakukan pemasungan. Sebanyak 7,1% keluarga beralasan masalah finansial. Sementara 12,5% keluarga mengaku melakukan pasung untuk keselamatan korban, dan 62,5% untuk menjaga keselamatan orang lain. Alasan-alasan ini menunjukkan kurangnya informasi yang tepat dan masih abainya pemerintah terhadap permasalahan kesehatan jiwa.

Mengambil momentum 10 Oktober ini, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kesehatan jiwanya, mulai dari memperhatikan hak-hak orang dengan disabilitas psikososial. Dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, sudah seyogyanya pemerintah menjamin penuh perlindungan hak orang dengan disabilitas psikososial. Jika hak atas kebebasan fisik dan bebas dari kekerasan saja tidak dapat dilindungi oleh negara, bagaimana kita bisa memastikan orang dengan disabilitas psikososial memiliki hak atas politik, pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak, atau bahkan menjamin hak-hak mereka ketika berhadapan hukum.

 

Jakarta, 10 Oktober 2018

Astried Permata – Staf Komunikasi

Rilis Pers – Menanti Keseriusan Negara Mengatasi Masalah Overdosis

LBH Masyarakat mengajak seluruh pihak untuk terus mendorong Pemerintah dan Parlemen untuk menciptakan kebijakan yang betul-betul mengatasi problem overdosis. Overdosis adalah situasi di mana konsumsi atas obat atu zat di atas dosis atau takaran yang semestinya. Hal ini dapat mengakibatkan kematian.

Hari ini, 31 Agustus, diperingati secara internasional sebagai International Overdose Awareness Day di mana kita mengenang mereka yang meninggal dunia akibat overdosis. Tentunya, tidak akan ada perubahan yang akan tercipta dengan sekedar mengenang, namun kenangan tersebut haruslah menjadi alasan yang cukup untuk perubahan kebijakan demi terciptanya situasi yang lebih baik.

Pemerintah Indonesia, melalui BNN dalam pimpinan Heru Winarko, terus mengampanyekan angka puluhan orang mati setiap tahunnya melalui berbagai kesempatan, misalnya acara-acara di televisi. Kampanye yang disaksikan banyak orang tersebut sesungguhnya dilandaskan pada penelitian yang sudah sering dikritisi oleh banyak akademisi, aktivis, dan peneliti baik di nasional maupun internasional karena metodenya yang bermasalah.

Andai pun angka-angka yang diproklamirkan Pemerintah itu benar adanya, sejauh apa sebenarnya Pemerintah sudah serius mengatasi problem overdosis?

Pemerintah tidak mengizinkan naloxone, yakni obat untuk mengatasi overdosis opioid untuk dapat digunakan rekan-rekan pekerja LSM di bidang pengurangan dampak buruk narkotika. Padahal obat tersebut sangat dibutuhkan agar rekan-rekan pemakai narkotika dapat menolong rekannya dengan cepat apabila muncul insiden overdosis.

Karena overdosis adalah problem kesehatan yang menyasar pada pemakai narkotika, maka sudah sepatutnya kita mengedepankan pendekatan kesehatan. Apa yang terjadi pada Fariz RM dan Richard Muljadi belakangan menunjukan hal yang berbeda. Ternyata yang dikedepankan untuk persoalan narkotika Indonesia masihlah instrumen hukum pidana. Bila seorang pemakai narkotika malah disodori penyidik, bukannya perawat atau konselor, bagaimana kita bisa berharap angka kematian akibat overdosis akan berkurang?

Meningkatnya eskalasi kekerasan akibat narasi war on drugs juga mengkhawatirkan. Riset LBH Masyarakat menunjukan bahwa sepanjang 2017, setidaknya ada 99 kematian karena tembak mati dalam penanganan kasus narkotika. Beberapa saat lalu di Aceh, ada seorang polisi yang meninggal dunia saat berhadapan dengan mafia peredaran gelap. Eskalasi kekerasan ini, selain berakibat fatal pada rekan-rekan penegak hukum, juga akan membuat intervensi kesehatan pada pemakai narkotika semakin sulit karena pemakai narkotika akan makin tersembunyi dari mata Pemerintah dan LSM.

Hal ini juga diperparah oleh hukum kita yang belum memberikan jaminan pada mereka yang memberikan pertolongan pada orang yang mengalami overdosis. Pasal 531 KUHP mengancam pidana seseorang yang tidak memberikan pertolongan pada orang yang terancam nyawanya namun di lain pihak Pasal 131 UU Narkotika mengancam pidana orang-orang yang mengetahui adanya tindak pidana narkotika namun tidak melapor pada penegak hukum. Untuk apa seseorang yang nyawanya terancam kita laporkan ke penegak hukum?

Oleh karena empat hal di atas, LBH Masyarakat melihat bahwa ada beberapa hal yang patut kembali diserukan pada hari ini untuk mengatasi problem overdosis di Indonesia hari ini:

  1. Mencabut aturan terkait pidana narkotika dari RKUHP karena pidana narkotika sangat berkaitan dengan intervensi dan urusan-urusan tentang kesehatan yang spesifik. Sifat RKUHP yang sangat umum tidak dapat memaktub hal tersebut;
  2. Merevisi UU Narkotika yang ada sekarang dengan mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan pemakaian narkotika dalam jumlah terbatas agar Pemerintah dapat lebih mudah berkomunikasi dengan komunitas dan memberikan intervensi pengetahuan dan kesehatan yang diperlukan; dan
  3. Memastikan adanya jaminan hukum di tingkat undang-undang bahwa mereka yang membantu menyelamatkan nyawa orang lain, yang tengah mengalami overdosis misalnya, tidaklah dapat dijerat pidana.

 

Jakarta, 31 Agustus 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Dibutuhkan: Fundraising and Engagement Officer

LBH Masyarakat sedang membutuhkan seorang Fundraising and Engagement Officer. Posisi ini memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan dan menjalankan serangkaian aktivitas dan program kerja terkait dengan strategi penggalangan dana publik (fundraising) LBH Masyarakat, guna meningkatkan jumlah pendanaan organisasi.

Jika anda tertarik mengisi posisi ini, silahkan mengirim surat lamaran dan CV terbaru kamu ke rekrutmen@lbhmasyarakat.org dengan subyek email: Aplikasi FEO_nama kamu

Aplikasi ini ditutup pada hari Jumat, 10 Agustus 2018, 17:00 WIB.

Untuk informasi lebih detil, silakan klik di sini.

 

Rilis Pers – Penjara Bukan Solusi untuk Tyo Pakusadewo dan Seluruh Pemakai Narkotika

Jakarta, 17 Juli 2018 – LBH Masyarakat menilai bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Irwan Susetyo alias Tyo Pakusadewo bin Setiono Hardjo terlampau tinggi dan berharap Majelis Hakim yang akan memutus perkara ini dapat melihat bahwa penjara bukan solusi bagi pemakai narkotika.

Dalam kasus narkotika yang menimpa aktor Tyo Pakusadewo, JPU mengajukan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda 1 miliar rupiah subsider 6 bulan. Bagi kami hal ini memperlihatkan sekali lagi kegagalan Pemerintah dalam memahami persoalan pemakai narkotika.

Kegagalan ini sebenarnya sudah dapat dibaca dari dakwaan JPU yang masih menggunakan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 112 yang mengatur tentang penguasaan narkotika bukan tanaman memang kerap digunakan untuk menjerat pemakai narkotika.

Dalam konteks pemakai narkotika bukan tanaman, umum terjadi bahwa seorang pemakai haruslah membeli dahulu, yang membuat kemudian ia menguasai narkotika tersebut, sebelum akhirnya narkotika itu dipakai. Oleh karena itu, nyawa rehabilitasi yang ada di dalam Pasal 127, yang sebetulnya juga bermuatan pidana, dihabisi ketika JPU masih juga menempatkan Pasal 112 di dakwaan.

Di sisi lain, kami juga menyesalkan rekomendasi RS Bhayangkara yang menyarankan agar Tyo Pakusadewo ditahan saja karena dalam penanganan tidak kooperatif. Pertama, itu bukan rekomendasi yang dapat diberikan institusi medis. Kedua, bukankah kita seharusnya juga ingat bahwa justru ancaman pemenjaraan ini membuat terdakwa tidak nyaman untuk melaksanakan perawatan?

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa perlu repot-repot mengangkat dan membahas kasus ini? Mengapa para akademisi dan organisasi HAM membuat Amicus Curiae untuk kasus ini? Jawabannya sederhana sekali: kasus ini terjadi berulang kali serta membuang waktu, anggaran, dan energi penegak hukum dan oleh karena itu kami akan selalu mencari ruang untuk menyerukan bahwa bagi pemakai narkotika: penjara bukan solusi.

Di rancangan perubahan UU Narkotika yang terbaru, yang eksistensinya terancam oleh ketentuan narkotika di dalam RKUHP, disebutkan bahwa untuk pemakaian pada diri sendiri maka penguasaan narkotika tidak dipidana. Kami harap di sini Majelis Hakim juga dapat merasakan adanya pergeseran persepsi dan pemahaman di masyarakat, yang tercermin dalam rancangan perubahan UU Narkotika, bahwa seorang pemakai narkotika tidak perlu dipenjara.

Salah satu argumen JPU tentang hal-hal yang memberatkan adalah bahwa terdakwa Tyo Pakusadewo tidak mendukung program pemerintah untuk persoalan narkotika. Justru dakwaan dan tuntutan JPU di sini yang mengancam kelangsungan program rehabilitasi yang dilaksanakan Pemerintah. Di sini Majelis Hakim dihadapkan pada pilihan, apakah ingin menunjukan wajah ketegasan tanpa efektivitas atau justru memberikan kesempatan bagi seorang manusia untuk memulihkan diri dan membangun hidupnya kembali?

 

Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat)

 

Rilis Pers ini telah disampaikan di bilangan Cikini, Jakarta Pusat dalam konferensi pers mengenai Amicus Curiae untuk Tyo Pakusadewo dari LBH Masyarakat, PKNI, ICJR, Mappi FHUI, dan tiga pengajar STH Indonesia Jentera yakni Miko Ginting, Anugerah Rizki Akbari, dan Estu Dyah.

 

Program LIGHTS (Living The Human Rights) 2018

LIGHTS adalah program pengenalan HAM intensif bagi mahasiswa/I fakultas hukum atau non-hukum yang sudah diadakan sejak tahun 2008. Dalam program ini, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjugi lembaga-lembaga negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga memiliki perhatian pada pemenuhan HAM. LIGHTS 2018 akan diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 6 hingga 17 Agustus 2018.

Untuk kedua kalinya, tersedia kesempatan bagi calon peserta yang berkuliah dan berdomisili dari luar pulau Jawa untuk mendapatkan beasiswa secara penuh, yang meliputi;

– Tiket Pesawat (PP),

– Akomodasi, serta

– Uang saku

Untuk persyaratan calon peserta LIGHTS 2018 antara lain:

  1. Mahasiswa aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri.
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua Fakultas,
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang dapat diunduh di website LBH Masyarakat
  4. Menyerahkan CV
  5. Menyerahkan esai tentang “Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia dalam era populisme dan pasca kebenaran?” Esai ditulis dengan ketentuan 650-800 kata dan ketentuan lain yang terdapat di form pendaftaran.
  6. Bagi pelamar beasiswa, menyerahkan esai tentang, “Bagaimana partisipasi dalam LIGHTS 2018 dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar Anda?” Esai ditulis dengan ketentuan 300-500 kata dan ketentuan lain yang juga terdapat di form pendaftaran.

 

Unduh formulir pendaftaran dengan klik tautan ini.

Kirim formulir dan persyaratan ke mbajammal@lbhmasyarakat.org

 

Pendaftaran dibuka hingga 20 Juli 2018 

Narahubung: Ma’ruf (0812 8050 5706)

 

Rilis Pers – Suara yang Terlupakan Setiap 26 Juni

LBH Masyarakat menyerukan agar 26 Juni 2018 ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk merenungkan kembali kebijakan perang terhadap narkotika yang dikobarkan beberapa tahun terakhir ini. Perang yang terbukti mengorbankan berbagai aspek hak asasi manusia serta masa depan anak bangsa sendiri.

26 Juni kerap diperingati di Indonesia sebagai Hari Anti Narkotika Internasional (HANI). Padahal 26 Juni sesungguhnya diputuskan oleh Sidang Umum PBB pada Desember 1987 sebagai “International Day against Drug Abuse and Illicit Trafficking” yang dalam Bahasa Indonesia dapat disebut sebagai “Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat.”

Penyederhanaan terminologi menjadi semata ‘anti-narkotika’ saja tentunya membawa implikasi dalam konteks narasi di tengah publik. Publik tidak diedukasi untuk bagaimana mengentaskan problem kesehatan yang timbul akibat pemakai narkotika namun justru diajak untuk mengenyahkan teman-teman pemakai narkotika, yang adalah bagian dari masyarakat. Publik tidak diajak untuk mencari solusi efektif mengatasi peredaran gelap narkotika namun justru didorong untuk menyalurkan dendam dengan mengelu-elukan eksekusi mati.

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mengecam keberadaan lebih dari 30.000 pemakai narkotika yang mendekam di dalam penjara, setidaknya sampai Mei lalu. Angka tersebut bisa jauh lebih besar lagi karena kacaunya regulasi pidana dalam persoalan narkotika, hal yang hanya akan bertambah kacau bila RKUHP jadi disahkan.

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempertanyakan sudah sejauh mana fasilitas kesehatan diberikan negara pada pemakai narkotika dan sudah seefektif apa program-program pemulihan narkotika. Apakah hal-hal tersebut sudah menjadi prioritas? Jika Pemerintah mengklaim bahwa programnya efektif, mengapa angka pemakai narkotika terus meningkat setiap tahunnya?

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempersoalkan Pemerintah Indonesia yang, di bawah masa Presiden Joko Widodo, mengeksekusi mati 18 orang dan menembak mati 99 orang di luar proses hukum atas nama perang terhadap narkotika. Setiap satu gelombang eksekusi mati, selalu diikuti adanya pemberitaan tentang BNN atau Polri menghadang masuknya narkotika ilegal. Bukankah hal ini menunjukkan peluru tidak menyelesaikan masalah?

26 Juni 2018 ini mestinya kita gunakan untuk mempertanyakan apakah Indonesia benar-benar serius memperjuangkan perdamaian dunia seperti ditulis dalam Konstitusi. Tahun ini Indonesia ditetapkan kembali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Posisi ini diharapkan oleh banyak pihak agar Indonesia dapat mendorong terciptanya perdamaian di berbagai belahan dunia, seperti di Myanmar dan Palestina. Namun, apa yang bisa kita harapkan dari negara yang tega memenjarakan warga negaranya hanya karena menguasai selinting ganja? Apa yang kita bisa harapkan dari negara yang membunuh manusia hanya untuk menunjukkan usaha mereka mengatasi masalah narkotika? Perdamaian dunia seperti apa yang yang ingin diciptakan negara yang Presidennya tanpa ragu memproklamirkan perang terhadap narkotika tanpa mengindahkan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Hari ini semestinya kita pakai untuk mendorong perubahan kebijakan narkotika, terutama dalam persoalan pidana, ke arah yang berbasis bukti – bukannya emosi. 26 Juni 2018 ini sepatutnya kita manfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan Presiden Joko Widodo dalam persoalan narkotika yang, sayangnya, jauh dari istimewa dan justru bangga atas metode-metode yang tak efektif dan tak manusiawi. Sepertinya Presiden Joko Widodo mesti menyadari bahwa yang ada yang lebih genting dari situasi narkotika Indonesia, yakni strategi Beliau.

 

Jakarta, 26 Juni 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – Menyayangkan Vonis Mati pada Aman Abdurrahman

LBH Masyarakat mengecam vonis mati yang dijatuhkan terhadap Aman Abdurrahman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, siang ini. LBH Masyarakat menolak hukuman mati atas kejahatan apapun.

LBH Masyarakat memahami bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh jaringan Aman Abdurahman adalah tindakan yang keji dan telah memakan banyak korban. Tetapi hukuman mati bukanlah jawaban atau respon yang tepat untuk mengatasi serangan teror yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya di 2008, tiga pelaku teror, Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas telah dieksekusi. Namun nyatanya, eksekusi mati terhadap ketiganya tidak menyurutkan aksi terorisme. Eksekusi mati di dalam kasus terorisme justru berpotensi menyulut perlawanan balik dan dapat menguatkan semangat mereka untuk melanjutkan aksi teror. Terhadap Aman Abdurahman, salah satu opsi penghukuman yang bisa diambil misalnya hukuman seumur hidup sambil yang bersangkutan menjalani proses deradikalisasi.

Hukuman mati adalah hukuman yang bersifat ilusi karena seolah dapat mengatasi maraknya serangan teror yang terjadi, padahal tidak berhasil menghentikan laju perkembangan terorisme. Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang kompleks dan membutuhkan solusi terukur bersifat jangka panjang dan holistik, serta tidak bisa mengandalkan langkah reaksioner seperti hukuman mati.

 

Jakarta, 22 Juni 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Terjemahkan Dulu KUHP, Baru Bicara RKUHP!

LBH Masyarakat mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera menghentikan upaya pengesahan RKUHP sampai adanya terjemahan resmi dari KUHP sekarang. KUHP yang Indonesia gunakan saat ini sesungguhnya masih berbahasa Belanda. Dunia akademik maupun praktik kerap menggunakan KUHP terjemahan dari penerjemah yang berbeda-beda. Ketika masih banyak pasal-pasal dalam RKUHP yang merujuk pada pasal-pasal KUHP alangkah lebih baik bila kita memiliki satu terjemahan resmi sebagai acuan.

Kerap kita dengar bahwa RKUHP hendak segera disahkan pada 17 Agustus nanti sebagai hadiah bagi Indonesia, mungkin sebaiknya kita bertanya lagi: bukankah hadiah untuk Indonesia sudah sepatutnya diberikan dengan menghargai Bahasa Indonesia itu sendiri? Tidak bisakah dibayangkan bahwa selama ini proses hukum yang terjadi di negara kita ini menggunakan dokumen yang masih menggunakan bahasa pemerintah kolonial Belanda? Jika memang ingin memberi hadiah bagi Indonesia, sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak lari dari tanggung jawab yang sungguh penting: menerjemahkan KUHP.

Bahasa, apalagi dalam urusan hukum dan identitas bangsa, selalu merupakan hal yang teramat penting. Pada tahun 2012 misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutus sebuah sengketa perdagangan antara satu perusahaan Indonesia dengan perusahaan asal Amerika. Sengketa tersebut diakibatkan oleh sebuah perjanjian pinjam meminjam tahun 2010 yang dibuat tidak dengan Bahasa Indonesia. Pada 2012, perusahaan Indonesia ini menggugat ke Pengadilan karena merasa dirugikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian yang dibuat.

Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan memuat kata “wajib” untuk setiap perjanjian yang dibuat termasuk menyasar perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh pihak swasta. Meski ada surat dari Menkumham yang menyatakan bahwa tidak adanya bahasa Indonesia dalam perjanjian tidak menggugurkan keberlakuan perjanjian karena dilandasai oleh asas kebebasan berkontrak, namun Pengadilan kemudian memutus bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum Hal yang kemudian diamini oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Preseden tersebut semakin meneguhkan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap hal, termasuk juga urusan KUHP. Terjemahan KUHP saat ini masih merujuk pada ahli-ahli hukum pidana seperti Prof. Moeljatno, R. Sianturi, BPHN, dan ahli lainnya. Kondisi yang rawan menimbulkan multi tafsir. Kejaksaan, sesuai SEJA Nomor: SE-005/A/JA/2009, memerintahkan jajarannya untuk menggunakan terjemahan KUHP terbitan BPHN. Namun BPHN sendiri tidak mengklaim dirinya sebagai institusi yang menetapkan secara resmi terjemahan KUHP yang dibuatnya sebagai terjemahan resmi pemerintah. Dan yang paling penting: apakah kemudian perintah tersebut mengikat polisi dan hakim? Ketiadaan KUHP terjemahan resmi bahasa Indonesia ini problematik karena ia digunakan untuk menguji bersalah atau tidaknya seseorang. Hal ini mempertaruhkan keadilan dan kepastian hukum.

Dengan tiadanya terjemahan resmi ini maka terang sudah bahwa Pemerintah telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. DPR juga tidak berinisiatif untuk menjalankan fungsi pengawasannya. Oleh karena itu, LBH Masyarakat, yang didirikan untuk melakukan advokasi kebijakan persoalan hukum yang melingkupi aspek kehidupan kemasyarakatan dan bernegara, akan menggunakan hak hukumnya untuk menggugat Presiden, Menteri Hukum dan HAM serta DPR.

Beberapa putusan pengadilan mengakui hak gugat Lembaga atau organisasi di pengadilan, seperti WALHI vs Inti Indorayon Utama, YLBHI vs Presiden, dan Lapindo Brantas. Oleh karena itu, LBH Masyarakat akan memiliki legal standing untuk menggugat Presiden, Menkumham dan DPR agar segera menetapkan terjemahan KUHP berbahasa Indonesia.

Jangan dilupakan bahwa tiadanya terjemahan resmi KUHP telah menimbulkan kerugian imateril yang, secara praktik, sulit dihitung nilainya. Apalagi jika kita ingin menghitung sejak diberlakukannya KUHP pada tahun 1946 sampai sekarang.

Kepastian hukum dijamin oleh Konstitusi. Dan negara yang baik tentu taat pada konstitusinya. Kepastian hukum macam apa yang ingin dicapai ketika tidak memiliki dokumen resmi yang jelas untuk kitab pidananya? Belum saatnya mengesahkan RKUHP apabila Pemerintah dan DPR belum mampu memberikan kepastian hukum dari regulasi yang saat ini masih berlaku.

 

Jakarta, 7 Juni 2018

Afif Abdul Qoyim – Koordinator Advokasi dan Penanganan Kasus

 

Rilis ini telah disampaikan pada media briefing dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP tentang rencana gugatan pada Presiden, Menkumham, dan DPR karena telah lalai tidak membuat terjemahan resmi KUHP. Media briefing tersebut dilaksanakan di kantor LBH Masyarakat pada 7 Juni 2018. Menjadi pembicara pada acara tersebut adalah Afif Abdul Qoyim (LBH Masyarakat) dan Sustira Dirga (ICJR)>