Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Media Coverage of Our Works in 2016

Here are links to several articles which covered the works of LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to September 2016:

  1. Alliance India, 28 April 2016, “United Nation, Divided on Drugs”
  2. Rappler, 28 April 2016, “Indonesia executions one year on: Mary Jane lives but death penalty questions linger”
  3. Southeast Asia Globe, 5 Mei 2016, “Region\’s harsh drug policies slammed by experts”
  4. Equal Times, 5 Mei 2016, \”Indonesia\’s Tragic War on Drugs\”
  5. Elsam, 15 Mei 2016, “Joint Statement: Imminent Executions In Singapore And Indonesia Must Be Halted
  6. Vice, 18 Mei 2016, “Indonesia Plans to Castrate Pedophiles Following Rampant Reports of Sexual Abuse”
  7. Mic, 19 Mei 2016, “Indonesia Drafts Law That Would Punish Pedophiles With Chemical Castration”
  8. The Jakarta Post, 27 Juni 2016, “Jokowi to go all out on drugs”
  9. The Diplomat, 11 Juli 2016, “Indonesia Prepares for Another Round of Executions”
  10. The Jakarta Post, 16 Juli 2016, “Relatives take quiet steps to save convicts”
  11. Coconuts Jakarta, 22 Juli 2016, “What Explains Indonesia’s Enthusiasm for Death Penalty?”
  12. The Guardian, 25 Juli 2016, “Indonesia executions loom as convict Merri Utami is sent to prison island”
  13. The Jakarta Post, 26 Juli 2016, “Jokowi told to cancel execution plan”
  14. The Guardian, 27 Juli 2016, “Indonesia ready to execute 14 this week despite doubts over prisoners’ guilt”
  15. International Business Times UK, 27 Juli 2016, “Indonesia: 6 Nigerians, 3 Asians among 14 drug convicts facing imminent execution”
  16. SBS, 28 Juli 2016, “Indian national Gurdip Singh likely to be executed in Indonesia”
  17. The Australian, 28 Juli 2016, “Death-row inmates in Indonesia \’abused and tortured\’”
  18. SF Gate, 28 Juli 2016, “News of the day from across the globe, July 29”
  19. Stuff NZ, 28 Juli 2016, “Indonesia fast-tracks execution of 14 death row prisoners to anguish of families involved”
  20. Pulse Nigeria, 28 Juli 2016, “Discrimination \’They want to kill me because I am black\’”
  21. The Influence, 28 Juli 2016, “Indonesia is Now Executing Drug Prisoners in A Horrific Violation of Human Rights”
  22. Uncova, 28 Juli 2016, “Ejike Eleweke, Who Is Facing Imminent Execution in Indonesia Maintains His Innocence, Reufuses to Sign Paper”
  23. ABQ Journal, 28 Juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted to drugs”
  24. BellaNaija, 28 Juli 2016, “Indonesia Set to Execute 6 Nigerians, 8 Others for Trafficking”
  25. International Business Times UK, 28 Juli 2016, “Indonesia going ahead with plans to execute 14 people for drug crimes”
  26. The Guardian, 28 Juli 2016, “Indonesia: families told that 14 death row prisoners will be executed tonight”
  27. African Spotlight, 28 Juli 2016, “6 Nigerians To Be Executed in Indonesia for Drug Trafficking“
  28. 風傳媒 (新聞發布) (註冊), 28 Juli 2016, “反毒用重典》印尼政府將處決14名毒販 人權團體呼籲:槍下留人!”
  29. News AU, 29 Juli 2016, “Dark days\’ as drug traffickers executed in Indonesia”
  30. Tempo, 29 Juli 2016, “Two Last Requests of Death-Row Convict Merry Utami”
  31. Radio Intereconomía, 29 juli 2016, “Indonesia ejecuta la condena a muerte de cuatro presos por trafico de droga”
  32. Tempo, 29 juli 2016, “Humprey Jefferson`s Execution is Illegal: Activist”
  33. The Times, 29 juli 2016, “Indonesia executions ‘a complete mess’ as coffins await the reprieved”
  34. The Borneo Post, 29 Juli 2016, “Indonesian Executions a “Complete Mess”: Lawyer”
  35. Business Insider, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes 4 People Convicted of Drug Crimes”
  36. Journal Star, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes 4 People Convicted Drug Crimes”
  37. The Kathmandu Post, 29 Juli 2016, “Indonesian and Three Nigerians Executed for Drug Crimes”
  38. BBC, 29 Juli 2016, “Indonesia and three Nigerian executed for drug crimes”
  39. CNN, 29 Juli 2016, “Indonesia executes four convicted drug offenders”
  40. China Daily Asia, 29 Juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted of drug crimes”
  41. The Daily Mail, 29 juli 2016, “Indonesia executes 4 people convicted of drug crimes”
  42. Echo Net Daily, 29 Juli 2016, “’Dark Days’ as Four Executed in Indonesia”
  43. 9news AU, 29 Juli 2016, “Four executed at ‘Alcatraz of Indonesia’”
  44. Fredonia Leader, 29 Juli 2016, “Indonesia Executes Drug Convicts Despite Protest”
  45. EFE, 29 July 2016, “Indonesia ejecuta la condena a muerte de cuatro presos por tráfico de droga”
  46. UOL Noticias, 29 July 2016, “Indonésia executa 4 presos por tráfico de droga”
  47. Sidney Morning Herald, 30 Juli 2016, “Indonesia death row 10: Last-minute reprieve, but for how long?”
  48. Taipei Times, 30 Juli 2016, “Indonesian executions a ‘mess,’ lawyer says”
  49. The Jakarta Post, 1 Agustus 2016, “Trail of Legal Violations up to Execution of Four Inmates”
  50. Rappler, 2 Agustus 2016, “What it was like waiting for death”
  51. The Daily Mail, 3 Agustus 2016, “Convicts in the dark for hours about Indonesia execution reprieve”
  52. The Jakarta Post, 3 Agustus 2016, “After escaping death, convicts fight for clemency”
  53. The Jakarta Post, 6 Agustus 2016, “Kontras vows to continue efforts to probe drugs mafia”
  54. The Jakarta Post, 12 Agustus 2016, “Govt should re-investigate old case in probing Freddy\’s claim”
  55. The New York Times, 13 Agustus 2016, “Indonesia’s Push to Execute Drug Convicts Underlines Flaws in Justice System”
  56. TODAYonline, 15 Agustus 2016, “Indonesia\’s justice system in question over push to execute drug convicts”
  57. Tempo, 22 Agustus 2016, “Dozens of Police Personnel Reported over Drug Cases”
  58. The Jakarta Post, 9 September 2016, “Jokowi urged not to trade Veloso for illegal Indonesian pilgrims”
  59. The Jakarta Post, 10 September 2016, \”Indonesian legal aid, activist call for new legal process for Mary Jane\”
  60. The Washington Post, 27 October 2016, “Indonesia’s top court weighs ban on sex outside marriage”
  61. Rappler, 5 December 2016, “Int\’l groups to Duterte gov\’t: Death penalty isn\’t effective”

Rilis Pers – Antara Penegak Hukum dan Freddy Budiman: Buruk Muka, Cermin Dibelah

LBH Masyarakat mengecam pengaduan tindak pidana penghinaan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap saudara kami, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.

Pengaduan tersebut terkait dengan catatan Haris Azhar mengenai pembicaraan yang ia lakukan dengan almarhum Freddy Budiman di Nusakambangan pada 2014 lalu.

Kami menilai bahwa pemerintah seharusnya menanggapi catatan yang diungkap Haris Azhar sebagai sebuah katalis perbaikan diri, reformasi institusi, dan pengkajian ulang kebijakan narkotika.

Cerita yang diungkap Haris Azhar sebaiknya digunakan pemerintah untuk memeriksa beberapa hal yang secara implisit terungkap dalam catatan itu, antara lain: CCTV yang menyorot Freddy Budiman, catatan kunjungan penjara, serta penelusuran transaksi keuangan penegak-penegak hukum yang terkait dengan kasus tersebut.

Pemerintah justru saat ini menunjukan wajah anti-kritik yang tentu jauh dari nilai-nilai demokrasi yang ingin dicapai negeri ini.

Tindakan pengaduan ini memperlihatkan tangan besi pemerintah yang kerap menepuk dada bangga atas prestasi yang diklaim sendiri, namun menampar keras setiap orang yang ingin memberi masukan demi perubahan.

Pemerintahan ini nampak tidak ingin dikenang sebagai sebuah pemerintahan yang menjadi jawara dalam hukum dan hak asasi manusia, melainkan sebagai otoritas yang membungkam semua kritik tajam yang menghunusnya.

Sikap keras yang ditunjukan pemerintah terhadap kritik atau cerita semacam ini justru membuat publik bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya?” yang dalam banyak hal malah memperburuk citra yang dibangun pemerintahan ini.

Oleh karena hal-hal di atas, kami mendesak BNN, TNI, dan Polri untuk:

  1. Segera mencabut aduan penghinaan terhadap Saudara Haris Azhar
  2. Mempercepat reformasi institusi dan memproses hukum anggota institusi yang menjadi pelindung bagi pengedar gelap narkotika

Kami juga tidak lupa mendesak Presiden untuk:

  1. Mengkaji ulang kebijakan narkotika yang saat ini diterapkan Indonesia
  2. Mendorong Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan investigasi ke institusi penegak hukum untuk mengindentifikasi oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam penegakan hukum narkotika
  3. Melakukan moratorium hukuman mati selagi mereformasi institusi penegak hukum

Agar Pemerintah dan masyarakat juga mendapat gambaran yang lebih besar mengenai buruknya situasi penegakan hukum narkotika, LBH Masyarakat bersama KontraS dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) membuka Posko Darurat Bongkar Aparat.

Posko ini adalah posko pengaduan bagi masyarakat yang ingin mengadukan pengalaman mereka menghadapi praktik-praktik buruk yang dilakukan oleh aparat dalam isu narkotika seperti pemerasan, rekayasa kasus, penyiksaan, penjebakan, ancaman, dan sebagainya.

Posko ini adalah ekspresi ketidakpuasan atas sistem penegakan hukum Indonesia, di bidang narkotika khususnya, yang kerap cacat prosedur, korup, namun menolak dikoreksi.

Masyarakat yang ingin menceritakan pengalamannya dapat membuat laporan kepada kami dengan menyertakan nama, bukti, kronologi kasus yang melibatkan aparat, serta dokumen terkait seperti foto atau berkas-berkas lainnya.

Posko Darurat Bongkar Aparat ini terletak di Kantor KontraS di Jl. Kramat II No. 7, Senen, Jakarta Pusat. Masyarakat juga dapat menjangkau kami melalui surat elektronik di bongkaraparat@kontras.org atau telepon dengan Arif (KontraS) di 081513190363 atau Yohan (LBH Masyarakat) di 085697545166 sebagai narahubung.

Melalui rilis pers ini juga, sebagai institusi dan rekan seperjuangan, LBH Masyarakat dengan lantang menyerukan:

#SayaPercayaKontraS

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Open Letter on Death Penalty from Tariq Ramadhan to President Joko Widodo

31st July 2016

Dear Mr President

Allow me to introduce myself. My name is Tariq Ramadan, and I am Professor of Contemporary Islamic Studies at the University of Oxford. I’m writing to you now because I understand that four people were executed in Indonesia on Friday 29th July, each convicted of offences related to drugs and that further executions may be planned in the coming days.

As the world’s largest Muslim-majority country Indonesia leads the way in demonstrating that Islam and democracy can go hand in hand. In this context, I would like to set out some principles, based on Islamic understanding of the scriptural sources and the strict conditions required by the Islamic penal code (ḥudūd), which stipulate that these executions must be stayed.

I would first note that Indonesia introduced the death penalty for drug offences in 1995 and that this did not reflect traditional or Islamic values but rather the anti-drugs climate of that period.i I do understand that the Indonesian public have very serious concerns about drug-related deaths, particularly in relation to children. However, it appears from the figures published by Indonesian civil society that, despite 14 executions last year, drug-related offences continue to rise.ii Your Head of the National Narcotics Board also noted that there was an increase of drug use from 4.2 million in June 2015, to 5.9 million people in November 2015.

No punishment for drug-related offences is specified in sharī’ah legal framework. As you will know, the Quranic principle strictly prohibits the deprivation of the right to life of any human being and stipulates that life can only be taken as explicitly specified in sharī’ah legal framework. As such the death penalty for drug-related offences is not at all regulated and/or in accordance with the agreed upon Islamic legal framework.

I am also very concerned to learn that those who were executed and many of those facing execution have not received a fair trial under Islamic principles, for example they may not have been effectively represented or did not understand the proceedings against them. I also understand that a number of those facing execution have raised credible allegations of torture and abuse; once again this is entirely contrary to Islamic principles – there is clear distortion here of the interpretation and implementation of these principles.Finally, I understand that at least three out of four people executed on last Friday have filed for clemency and a number of those facing execution have not had an opportunity to file a petition for clemency. It is vital that they are given this opportunity – Islamic law calls for forgiveness and mercy. Above and beyond all of this, raḥmah (compassion) is an absolute necessity, an essential principle, an imperative duty, even if there is no doubt and all the conditions are gathered.

In these circumstances, I would urge you therefore, as head of the state, to follow the guidance of the Prophet who guides Muslims to pardon and forgive offenders, encourages repentance and mercy, and the suspension of the death penalty whenever possible.

I would therefore urge the Government of the Republic of Indonesia to evaluate past executions and halt future executions.

Yours sincerely

Tariq Ramadan

Professor of Contemporary Islamic Studies

You can download the PDF version of the original letter here: Open Letter to President Joko Widodo 2016.07.31

Rilis Pers Koalisi – Indonesia Lakukan Eksekusi Mati Ilegal

Indonesia telah melakukan eksekusi gelombang ke-3 dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kami Jaringan masyarakat sipil yang sejak awal menolak eksekusi hukuman mati mengecam eksekusi ini disebabkan banyaknya kejanggalan, kesalahan prosedur dan pelanggaran hukum  yang dilakukan oleh Pemerintah.

Pertama, Pemerintah melakukan eksekusi ditengah banyaknya kejanggalan kasus para terpidana mati yang masuk dalam 14 list nama yang akan dieksekusi. Kejanggalan ini kemudian terkonfirmasi dengan keputusan menunda eksekusi 10 terpidana mati. Meskipun pada dasarnya keputusan ini tepat karena kami yakin memang terdapat banyak kejanggalan sejak awal, namun hal ini menunjukkan bahkan Pemerintah sendiri mengakui adanya kejanggalan kasus-kasus  tersebut.

Kedua, terdapat pelanggaran proses yang begitu nyata, Pemerintah melanggar setidaknya satu Undang-Undang dan satu putsan Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah tetap melakukan eksekusi terpidana mati yang jelas-jelas dilindungi dalam Pasal 13 UU Grasi.  Tiga terpidana mati, Sack Osmane, Humprey Jefferson, dan Freddi Budiman sedang dalam proses permohonan grasi pada saat dieksekusi. Keputusan ini tidak mengindahkan Paasal 13 UU Grasi yang melarang eksekusi dilakukan dalam hal terpidana amti sedang mengajukan grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015. Kami tekankan bahwa pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan ada tenggat waktu dalam mengajukan grasi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU grasi tidaklah mendasar, sebab berdasarkan putusan MK diatas, Pasal 7 ayat (2) UU Grasi telah dihapuskan!

Ketiga, Pemerintah sengaja menutupi segala informasi menganai eksekusi mati, baik keluarga dan advokat tidak mendapatkan informasi pasti mengenai eksekusi mati, hal ini mengakibatkan hak para terpidana mati dipertaruhkan. Tidak ada list terpidana mati yang pasti sampai dengan eksekusi, sehingga para terpidana mati tidak siap dalam melakukan upaya hukum yang masih tersedia. Selain itu, Pemerintah melanggar ketentuan UU tentang notifikasi yang mengisyaratkan eksekusi dilakukan 3×24 jam. Para terpidana mati diberikan notifikasi pada tanggal 26 Juli malam sehingga eksekusi seharusnya dilakukan pada tanggal 29 Juli malam hari, nyatanya, eksekusi dilakukan pada tanggal 29 Juli dini hari.

Keempat, dalam rencana anggaran, eksksekusi dilakukan untuk 14 terpidana mati, membengkaknya anggara terpidana mati yang mencapai 7 Milyar rupiah, dipastikan terbuang disebabkan adanya penundaan eksekusi mati. Hal ini mengkonfirmasi kecurigaan kami bahwa anggaran eksekusi mati memang rawan pelanggaran dan penyelewangan diakibatkan kesengajaan-kesengajaan kesalahan prosedur seperti eksekusi gelombang ke-3 ini bisa saja terjadi.

Atas dasar kejanggalan dan kelemahan yang kami temukan ini, maka kami menuntut pada Pemerintah unutk :

  1. Meminta Presiden dan Jaksa Agung untuk bertanggungjawab atas tindakan melanggar UU Grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015
  2. Meminta Presiden untuk membentuk tim independen guna melakukan peninjauan dan penelitian terhadap seluruh kasus-kasus terpidana mati akibat masih maraknya peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial
  3. Mendesak Presiden untuk mengambil langkah-langkah moratorium eksekusi mati dikarenakan kondisi hukum yang tidak dapat menjamin eksekusi mati berikutnya tidak didasarkan atas adanya peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial
  4. Meminta Presiden untuk menelaah dan mengkaji secara serius permohonan grasi para terpidana mati, atas pertimbangan itu meminta Presiden untuk menerima grasi para terpidana mati sebagai komitmen atas penegakan hak asasi manusia.
  5. Meminta Presiden untuk segera mencopot Jaksa Agung atas kinerja buruk dan kesalahan fatal dalam kinerja atas instruksi menjalankan eksekusi mati ilegal pada keempat terpidana mati.

Permohonan Koreksi Berita dan Pemuatan Klarifikasi Pemberitaan Humprey Ejike

Jakarta, 30 Juli 2016

Kepada Yth.

Pemimpin Redaksi

Kantor Berita Antara, Kompas.com, Republika, Metro TV, Okezone, Rimanews, Tribunnews, Detik.com

di-Tempat

Perihal: Permohonan Koreksi Berita dan Pemuatan Klarifikasi

Dengan Hormat,

Terkait adanya berita di media-media yang saudara pimpin dengan judul:

  1. Jejak Humprey Ejike yang dihukum mati (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://www.antaranews.com/berita/575683/jejak-humprey-ejike-yang-dieksekusi-mati)
  2. Akhir Perjalanan Humprey Ejike, WN Nigeria yang Dihukum Mati (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://nasional.kompas.com/read/2016/07/29/05380121/akhir.perjalanan.humprey.ejike.wn.nigeria.yang.dieksekusi.mati)
  3. Jejak Humphrey Ejike Sebelum Dieksekusi (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://news.metrotvnews.com/read/2016/07/29/561780/jejak-humphrey-ejike-sebelum-dieksekusi)
  4. Perjalanan Humprey Ejike, WN Nigeria yang Dieksekusi Mati Tadi Malam (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/07/29/perjalanan-humprey-ejike-wn-nigeria-yang-dieksekusi-mati-tadi-malam)
  5. Akhir Perjalanan Bandar Narkoba Humprey Ejike (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://rimanews.com/nasional/peristiwa/read/20160729/295203/Akhir-Perjalanan-Bandar-Narkoba-Humprey-Ejike)
  6. Jejak Humprey Warga Nigeria yang Dieksekusi Mati bersama Freddy Budiman (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://news.okezone.com/read/2016/07/29/337/1449649/jejak-humprey-warga-nigeria-yang-dieksekusi-mati-bersama-freddy-budiman)
  7. Jejak Humprey Ejike Sebelum Dieksekusi Mati (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/07/29/ob1kp9317-jejak-humprey-ejike-sebelum-dieksekusi-mati)
  8. Begini Jejak 4 Terpidana yang dieksekusi Mati di Nusakambangan (antara lain kami temukan melalui tautan berikut: https://news.detik.com/berita/3264022/begini-jejak-4-terpidana-yang-dieksekusi-mati-di-nusakambangan)

kami selaku kuasa hukum Humprey Ejike Elewake menerangkan bahwa terdapat isi berita yang keliru.

Berita-berita di atas memuat informasi keliru yang subtansinya sama, antara lain:

  1. Berita keliru: Ejike ditangkap di depok, tidak seorang diri (diberitakan pada semua media di atas, kecuali detik.com)

“Ejike ditangkap di Depok, Jawa Barat pada 2003 karena kedapatan memiliki 1,7 kilogram heroin. Dirinya tidak seorang diri, bersama rekannya yang dikenal dengan nama Doktor atau Koko.”

Kami menyatakan berita tersebut tidak benar. Yang benar adalah sebagai berikut:

 Humprey Ejike alias Jeff alias Doktor, ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2003 setelah ditemukan 1,7 kilogram heroin di restorannya. Saat digeledah Polisi, Humprey sedang berada di Bekasi lalu setelah diberitahukan Polisi maka ia kembali ke restorannya untuk menyaksikan penggeledahan. Humprey membantah memiliki dan menjualbelikan heroin karena kamar tempat ditemukan heroin ditempati oleh karyawannya bernama Ifany yang hingga kini belum tertangkap. Humprey ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam perkara ini.

  1. Berita keliru: Humprey terlibat kembali dalam peredaran narkoba dan ditangkap BNN pada November 2012 (substansinya terdapat di semua berita di media-media di atas)

Berita tersebut diantaranya ditulis sebagai berikut:

Namun ia tidak kapok juga, meski sudah ditahan, melakukan kembali aksi mengedarkan barang haram dan ditangkap oleh BNN pada November 2012.

Kami menyatakan berita tersebut tidak benar. Yang benar adalah sebagai berikut:

Humprey tidak pernah terlibat peredaran narkoba dari balik sel pada tahun 2012. Humprey tidak pernah diproses hukum untuk perkara lain, baik sebagai tersangka maupun saksi, selain satu-satunya perkara tahun 2003 dimana Humprey divonis mati. Bahwa benar sempat ada dua orang tersangka yang ditangkap di Depok tahun 2012 yang menyebut nama Humprey, namun setelah ditelusuri ternyata Humprey tidak terkait sama sekali dengan perkara tersebut.

Untuk memperjelas latar belakang bantahan kami di atas, kami sampaikan kronologi singkat terkait latar belakang kasus Humprey Ejike Elewake alias Jeff alias Doktor sebagai berikut:

Humprey dikenal sebagai orang yang religius, ia aktif di gereja-gereja untuk memberi pelayanan. Hingga akhir hayatnya Humprey rajin memberikan pelayanan doa bagi para narapidana di LP Nusakambangan. Humprey datang ke Jakarta untuk berusaha dan sempat berusaha di bidang tekstil hingga akhirnya mengelola restoran Afrika di Tanah Abang.

Pada tanggal 2 Agustus 2003, Polisi menggeledah Restoran Rekon yang dikelola Humprey Ejike di Tanah Abang. Saat itu Humprey sedang berada di Bekasi sedang bergabung dengan persekutuan doa di sana dan sedang melayani umat. Lalu Humprey diberitahukan bahwa restorannya sedang digeledah polisi, Humprey sempat berbicara dengan polisi melalui Telephone dan mempersilakan untuk dilakukan penggeledahan. Namun Polisi memintanya untuk hadir, dan Humprey bersedia lalu meminta Polisi menunggu, ia segera meluncur ke Tanah Abang.

Setibanya di Restoran, Polisi hendak memeriksa kamar yang biasa ditempati karyawannya Ifanyi, lalu dibuka kuncinya dan Polisi menemukan kaos kaki berisi heroin di bawah tempat tidur. Ketika Polisi menanyakan kepada Humprey dimana ia membeli heroin tersebut, Humprey menjawab: “kalau saya mengetahui bahwa di restoran ini ada narkotika dan sudah ada polisi yang menunggu saya untuk menggeladah, untuk apa saya kembali ke restoran secara sukarela?!”

Lalu kemudian Polisi membawa Humprey, diperiksa hingga akhirnya dibawa ke pengadilan dan divonis mati.

Selama pemeriksaan Humprey mendapatkan siksaan. Ketika persidangan Humprey tidak dijelaskan secara utuh oleh penerjemah yang ditunjuk untuk mendampinginya.  Meskipun Humprey membantah dan tidak ada bukti lain yang menunjukkan Humprey pernah berjualan atau mengedarkan narkotika namun pengadilan menggangap dengan jumlah 1,7 kg yang ditemukan di salah satu kamar di restoran miliknya dan  karena Humprey adalah orang Nigeria pengadilan mempertimbangkan bahwa “orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian, karena ada dugaan mereka sering melakukan transaksi penjualan jenis narkotika…” Humprey juga membantah kamar tempat ditemukan narkoba adalah kamarnya, karena ia sendiri sebenarnya tinggal di Apartemen Rajawali Kemayoran, sementara kamar di restoran tersebut sehari-hari ditempati karyawannya Ifanyi. Humprey hanya sesekali tidur di kamar tersebut apabila kemalaman. Namun bantahan ini juga tidak diterima majelis hakim bahwa dalam surat dakwaan tempat tinggal terdakwa disebut oleh Jaksa di Restoran tersebut. Akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Humprey bersalah memiliki dan mengedarkan narkoba dengan pertimbangan hukum di atas, dan memvonis mati. Banding dan kasasi yang dilakukan Humprey tidak mengubah putusan tersebut.

Saat di LP Cipinang, Oktober 2004, Humprey bertemu dengan Kelly mantan partner usaha restorannya yang sedang sekarat minta didoakan. Kelly dipenjara untuk kasus lain. Kelly mengaku di hadapan 7 orang saksi bahwa heroin itu bukan milik Humprey melainkan miliknya yang ia titipkan ke Ifanyi. Lalu sebulan kemudian Kelly meninggal dunia.

Humprey sempat ajukan Peninjauan Kembali (PK) berbekal keterangan tertulis dari 7 orang yang menyaksikan pengakuan Kelly. Namun oleh Mahkamah Agung pada tahun 2007 keterangan tersebut tidak dianggap sebagai bukti yang kuat sehingga PK ditolak.

LBH Masyarakat mendampingi Humprey sebagai kuasa hukum sejak tahun 2009. Pada tahun 2012, BNN sempat merelease informasi bahwa nama Humprey disebut oleh 2 orang tersangka yang tertangkap dalam kasus narkoba di Depok LBH Masyarakat menelusuri informasi tersebut dan menemui tersangka yang dimaksud yang saat itu ditahan di LP Bogor. Berdasarkan keterangan yang dihimpun tidak benar bahwa Humprey terlibat dalam kasus baru tersebut. Faktanya, Humprey tidak pernah menjalani proses hukum apapun dalam kasus tahun 2012 tersebut. Humprey tidak pernah dipanggil sebagai saksi baik dalam perkara kedua tersangka tersebut maupun perkara-perkara apapun lainnya. Humprey juga tidak mengetahui dan mengenal kedua tersangka yang katanya menyebut nama Humprey namun telah dibantah oleh kedua tersangka tersebut.

Pada 25 Juli 2016 LBH Masyarakat mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey ke PN Jakarta Pusat. Namun meskipun sedang mengajukan grasi Humprey tetap dieksekusi pada hari Jumat dini hari tanggal 29 Juli 2016.

Meskipun almarhum klien kami, Humprey Ejike Elewake telah meninggal dunia, kami tetap memiliki tanggung jawab untu menunjukkan kepada publik apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa terdapat seseorang yang mengalami proses peradilan yang tidak fair dan akhirnya dieksekusi mati harus menjadi pelajaran berharga bagi pelaksanaan hukum di negeri ini.

Kami berharap pimpinan redaksi yang terhormat dapat mengkoreksi berita yang keliru yang sebelumnya telah terlanjur diberitakan dan memuat klarifikasi kami beserta penjelasan latar belakang secukupnya untuk meluruskan pemberitaan keliru yang telah tersebar luas. Hal ini mengingat berita-berita tersebut di atas juga telah disebarkan oleh publik melalui internet sehingga tidak mungkin kami melakukan klarifikasi satu persatu.

Kami hanya mampu menelusuri berita yang dimuat secara online namun belum dapat menelusuri berita yang dimuat secara cetak. Untuk itu mohon kerjasamanya apabila terdapat berita keliru seperti substansi di atas Pimpinan redaksi yang terhormat berkenan untuk mengkoreksinya juga.

Demikian permohonan dan klarifikasi dari kami. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum

Almarhum Humprey Ejike Elewake

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

  

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M                                     Ricky Gunawan, S.H., M.A.

 

 

Rilis Pers – Eksekusi Mati Tahap III Politis dan Jelas Ilegal

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap empat orang terpidana mati yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, 29 Juli 2016, dinihari.

Terhadap eksekusi mati tersebut, LBH Masyarakat memandang:

Pertama, notifikasi eksekusi diterima oleh para terpidana mati, termasuk klien kami yang dieksekusi Humprey Jefferson, pada hari Selasa, 26 Juli 2016, sore hari. Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati menyatakan bahwa “tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.” Eksekusi seharusnya terjadi paling cepat hari Jumat, 29 Juli 2016, malam hari. Dengan demikian, eksekusi dini hari tadi adalah eksekusi yang tidak sah dan melanggar hukum.

Kedua, pemilihan empat dari empat belas terpidana mati yang dieksekusi dini hari tadi menunjukkan kesewenangan dalam kebijakan dan praktik hukuman mati Indonesia. Tidak ada dasar kriteria yang jelas dalam menentukan mengapa akhirnya empat orang tersebut yang dieksekusi ketika ada 14 orang yang menjalani masa isolasi. Lebih jauh lagi, eksekusi tersebut menunjukkan bahwa eksekusi mati selalu politis dan hanya melayani kepentingan politik tertentu. Eksekusi mati dini hari tadi tidak lebih dari sebuah opera sabun yang ditampilkan begitu dramatis di mana publik tidak mampu menerka alur ceritanya dan dikejutkan dengan akhir drama tersebut.

Ketiga, penyelenggaraan eksekusi mati yang penuh ketertutupan sejak awal hingga akhir justru menunjukkan bahwa pemerintah sepertinya menyadari bahwa pelaksanaan eksekusi yang mereka lakukan penuh kecacatan dan dilakukan dengan tidak hati-hati.

Cilacap, 29 Juli 2016

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Rilis Pers – Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016: Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Masyarakat mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap akan melakukan eksekusi Mati tahap III dini hari ini (29/07). Pasca notifikasi diberlakukannya notifikasi 3×24 jam pada hari Selasa, 26 Juli 2016 maka rencana pelaksaan eksekusi mati dini hari telah melanggar batas waktu dari yang seharusnya masih dimiliki oleh para terpidana mati untuk menunggu upaya hukumnya yakni Grasi diputus oleh Presiden, apakah diterima atau ditolak. Namun Jaksa Agung justru mempercepat pelaksanaan eksekusi mati.

Tindakan terburu-buru Jaksa Agung untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil proses pemantauan dan pendampingan yang dilakukan terhadap keluarga korban terpidana mati Tahap III ini, kami mencatat terdapat adanya aturan-aturan hukum dan HAM yang dilanggar oleh Jaksa Agung, diantaranya:

Pertama, Hingga malam ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan secara resmi nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi pada Tahap III ini. Meski Kejaksaan Agung sudah menyampaikan notifikasi 3×24 jam pelaksaan eksekusi mati oleh pihak Kejaksaan Agung kepada pihak Kedutaan, namun tidak ada nama-nama terpidana mati yang disebutkan saat notifikasi disampaikan secara terang dan resmi;

Kedua, Jika pelaksanaan eksekusi benar dilaksanakan malam ini, maka Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran hukum mengingat Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mensyaratkan adanya notifikasi 3×24 jam untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusi tersebut kepada para terpidana mati.

Ketiga, Beberapa terpidana mati yang potensial akan dieksekusi mati malam ini telah mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden RI Joko Widodo, diantaranya Zulfikar Ali (WN Pakistan), Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami (WN Indonesia) dan Humprey Jefferson (WN Nigeria). Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Dengan demikian seharusnya Jaksa Agung tidak melakukan rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih belum selesai proses hukumnya.

Keempat, kondisi kesehatan Zulfikar Ali yang kian memburuk baik dengan dan tanpa eksekusi mati, tanpa penanganan medis yang memadai adalah bukti bahwa negara bersalah membiarkan dan menggunakan instrumen koersifnya untuk memaksakan suatu tindakan yang dilarang hukum!

Dari lapangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang masih belum bisa disampaikan, karena terkait dengan keselamatan dari para terpidana mati, namun akan kami sampaikan dalam tempo cepat.

Pengingkaran-pengingkaran di atas adalah bukti bahwa Jaksa Agung HM. Prasetyo yang masih dipertahankan oleh Presiden RI dalam berbagai skema reshuffle terbukti potensial melakukan tindakan melanggar hukum Indonesia. Gelar pasukan TNI dan Polri, ambulans, dokter, menjadikan Nusa Kambangan sebagai obyek tontonan juga adalah tindakan tidak terpuji.

Nusa Kambangan,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)