Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Menagih Kembali Komitmen Politik HAM SBY: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat dalam rangka Hari HAM Internasional 2010

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), sehubungan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 10 Desember, kembali menagih komitmen politik kemanusiaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Politik HAM adalah politik yang meletakkan kemanusiaan sebagai nilai keutamaan (virtue) dalam setiap pengambilan keputusan. LBH Masyarakat memandang bahwa pemenuhan HAM akan terlaksana apabila penegakan hukum berjalan rasional dan dengan dilandasi oleh komitmen politik yang kuat. Namun sayangnya, sepanjang 2010, penegakan hukum di Indonesia kian suram dan komitmen politik semakin memudar (lack of political will). Sederet peristiwa sepanjang tahun ini menunjukkan wajah dan watak politik HAM SBY yang kian jauh dari janji pemenuhan HAM, mengingkari keadilan dan melecehkan penegakan hukum.

Salah satu contoh yang mencerminkan rendahnya komitmen politik HAM SBY adalah pemilihan Timur Pradopo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Pemilihan tersebut menambah deret potret buram pengisian jabatan publik yang melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tidak transparan karena SBY tidak menjelaskan kepada publik alasan di baliknya pemilihan Timur Pradopo sebagai Kapolri, padahal publik berhak tahu dasar pilihan politik SBY tersebut – mengingat Kapolri adalah jabatan publik. Promosi pangkat dan jabatan Timur Pradopo dalam hitungan jam memperkuat kecurigaan publik bahwa pemilihannya lebih bernuansa politis daripada kepentingan untuk pemajuan HAM. Pilihan tersebut jelas juga tidak akuntabel karena rekam jejak Timur Pradopo yang diduga kuat bertanggung jawab dalam kasus Trisakti 1998 dan serangkaian ketidakberhasilan Timur Pradopo menyelesaikan kasus-kasus yang menyita perhatian publik seperti penyerangan kantor TEMPO, penganiayaan terhadap Tama S. Langkun, aktivis ICW, maupun yang paling terakhir adalah kasus Ampera. Dengan tetap memilih Timur Pradopo sebagai Kapolri justru menunjukkan ketidakpekaan SBY terhadap persoalan penegakan hukum dan pemenuhan HAM. Jabatan Kapolri hendaknya tidak boleh diisi oleh figur yang memiliki catatan buruk di kedua hal tersebut. Tidaklah mengherankan apabila kemudian penegakan hukum dan perlindungan HAM dalam beberapa bulan terakhir semakin cepat berjalan mundur, mengingat Polri dipimpin oleh figur yang integritasnya rendah.

LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat 2 (dua) hal mendasar yang mendesak untuk dibenahi oleh SBY guna mengkonkritkan politik HAM-nya:

  1. Menghapus kultur impunitas. Video kekerasan Papua menyita perhatian kita di pertengahan menjelang akhir 2010. Kesan bahwa praktik kekerasan melekat erat pada insitusi militer (dan juga kepolisian) menjadi kenyataan dengan munculnya video tersebut. LBH Masyarakat memandang bahwa kekerasan tersebut terjadi karena masih kuatnya kultur impunitas di Indonesia sehingga aparat negara masih bisa leluasa melakukan kekerasan dan lolos dari penghukuman, atau mendapat hukuman yang ringan dan tidak menjerakan. Belum lagi realisasi komitmen SBY untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu juga tidak berbanding lurus dengan apa yang pernah dijanjikan. Padahal SBY dapat memerintahkan Kejaksaan untuk menindaklanjuti hasil temuan Komnas HAM untuk beberapa kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Kegagalan SBY menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu kian mempertebal iklim impunitas. SBY harus mampu menghapus kultur impunitas dengan cara mengefektifkan penegakan hukum dan pemulihan hak bagi korban, termasuk di dalamnya dengan menjamin ketidakberulangan kejahatan HAM.
  2. Mempercepat reformasi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara menyeluruh. Polri adalah salah satu institusi Negara yang kerjanya kerap bersinggungan dengan perlindungan HAM. Ironisnya, bukannya melindungi dan mengayomi warga, Polri justru terkesan melindungi dan mengayomi pelaku kekerasan seperti misalnya Front Pembela Islam (FPI). LBH Masyarakat mengidentifikasi 3 (tiga) persoalan pokok HAM yang berhubungan dengan buruknya kinerja Polri tahun ini:
    1. Absennya kepekaan Polri terhadap keadilan. Tahun 2010 kita masih menjumpai beberapa kasus tindak pidana minor yang pelakunya diproses oleh Kepolisian atas nama prosedural. Padahal, secara substansial tindakan Polri yang memproses pelaku adalah berlebihan dan tidak sensitif. Institusi Polri seharusnya dapat menilai apakah kasus-kasus tersebut layak dibawa ke pengadilan dan pelakunya mendapat penghukuman. Over-kapasitas Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sesungguhnya tidak terlepas dari tindakan Kepolisian yang dengan mudah dan tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat menahan dan menginvestigasi seseorang. Sehingga, salah satu kontribusi utama untuk pengurangan kapasitas Rutan dan Lapas adalah mendorong Kepolisian untuk lebih peka terhadap nilai-nilai keadilan agar tidak secara mudah menjerat seseorang, dan bukannya membangun gedung Rutan dan Lapas baru.
    2. Penyiksaan, kekerasan dan penggunaan senjata api yang eksesif dan disproporsional. Kasus-kasus seperti Aan dan yang paling akhir penembakan mahasiswa Universitas Bung Karno membuktikan bahwa Polri masih sering menggunakan kekerasan sebagai cara bekerjanya. Pendidikan HAM bagi Polri dan Peraturan Kapolri tentang Implementasi HAM dalam kerja Polri nomor 8 tahun 2009 seakan menjadi investasi yang mubazir karena belum memberi hasil yang positif.
    3. Absennya dan diamnya Polri dalam upaya perlindungan HAM. Di beberapa kasus seperti misalnya HKBP Ciketing, termasuk serangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan komunitas LGBT di beberapa daerah di Indonesia oleh FPI mengafirmasi kekhawatiran publik bahwa di bawah kepemimpinan Timur Pradopo yang pernah menyatakan akan merangkul FPI, Polri akan impoten ketika berhadapan dengan kelompok ekstremis, bigot dan vigilante seperti FPI. Kegagalan demi kegagalan Polri dalam menindak tegas FPI dan kelompok sejenis memberi sinyal kuat seakan Negara merawat FPI dan mengamini tindak kekerasan yang mereka lakukan. Serangan terhadap kelompok Ahmadiyah yang terus menerus berulang juga menjadi bukti bahwa komitmen politik HAM SBY terhadap kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan Konstitusi, nihil. Baik serangan terhadap Ahmadiyah berdasarkan tafsir sempit agama maupun kekerasan terhadap komunitas LGBT atas nama moralitas, adalah pertanda kuat bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum agama dan moral, bukannya hukum Negara.

Untuk menjamin keberlanjutan reformasi kepolisian, maka pembaruan institusi Polri yang kini tengah berjalan harus dievaluasi secara komprehensif untuk mengetahui letak jurang disparitas antara kerangka konseptual dan praktik. Setelah mengkajinya secara menyeluruh, konsep reformasi Kepolisian kemudian harus dirancang-bangun kembali dan dipercepat serta diefektifkan agar dapat meningkatkan kinerja Polri. Hal ini penting dilakukan mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin meluruh.

LBH Masyarakat menyayangkan di tahun pertama periode kedua pemerintahan SBY, justru pelanggaran HAM kian vulgar terjadi dan Negara berulang kali melakukan pembiaran atas pelanggaran yang telah terjadi. Padahal SBY, yang tidak akan terpilih lagi sebagai Presiden RI untuk periode berikutnya, seharusnya dapat meninggalkan legacy yang kuat dalam hal pemenuhan HAM. Di tahun 2010, perselingkuhan antara Negara dengan korporasi pelaku pelanggaran HAM dan kelompok ekstremis terus melahirkan serial kejahatan HAM baik di ranah sipil-politik, maupun ekonomi-sosial-budaya. Rendahnya komitmen politik yang berujung pada lemahnya penghukuman terhadap pelaku kejahatan HAM adalah faktor determinan yang berdampak pada reproduksi pelanggaran HAM secara berkelanjutan. Oleh sebab itu LBH Masyarakat mendesak Presiden SBY untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat guna mewujudkan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. SBY harus membuktikan bahwa Negara tidak boleh dan memang tidak kalah dengan pelaku kejahatan HAM.

 

Jakarta, 9 Desember 2010

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Negara Harus Segera Melakukan Moratorium Hukuman Mati

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan moratorium hukuman mati terhadap enam terpidana mati yang putusan pengadilannya sudah berkekuatan hukum tetap. Lebih jauh lagi, LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan moratorium hukuman mati terhadap semua terpidana mati.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan eksekusi hukuman mati terhadap enam terpidana mati. Adapun keenam terpidana mati yang siap dieksekusi tersebut yaitu: Meirika Franola (perkara narkotika), Gunawan Santosa alias Acin (perkara narkotika), Bahar bin Matsar (perkara pembunuhan), Jurit bin Abdullah (perkara pembunuhan), Ibrahim bin Ujang (perkara pembunuhan) dan Suryadi Swhabuana (perkara pembunuhan). Pelaksanaan hukuman mati hanya akan memperpanjang rantai pembalasan dan melegalisasi pembunuhan atas nama keadilan.

Konstitusi Indonesia Pasal 28A juncto Pasal 28I menyebutkan dengan tegas bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karenanya, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang inheren melekat pada diri setiap manusia yang tidak hanya diakui dalam Konstitusi Indonesia tetapi juga beragam aturan hukum internasional.

LBH Masyarakat memandang bahwa hukuman mati merupakan bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia karena:

  1. Hukuman tersebut sampai mencabut nyawa manusia, dan proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman mati tersebut menempatkan terpidana dalam suasana ketidakpastian sehingga menambah kekejaman dari sebuah hukuman mati (death row phenomenon).
  2. Hukuman mati adalah bentuk pengingkaran kemanusiaan yang hakikatnya adalah kehidupan.
  3. Hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat yang dimiliki terpidana, dan ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.

LBH Masyarakat percaya bahwa setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Pidana terberat yang dapat dijadikan sebagai alternatif solusi pemidanaan adalah penjara seumur hidup tanpa remisi (life imprisonment without parole). Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.

LBH Masyarakat juga menegaskan kembali bahwa penerapan hukuman mati sebagai efek jera adalah alasan klasik yang sudah usang dan tidak pernah terbukti penjeraannya. Data dan fakta yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan karena sesungguhnya terdapat banyak faktor yang memberikan kontribusi atas tinggi rendahnya kejahatan. Bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur dan transparan.

LBH Masyarakat melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati hanya akan melanggengkan lingkar balas dendam (cycle of vengeance). Ketika kita mengutuk keras kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh? Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong agar kita semua selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental, melekat dan berlaku bagi semua manusia, tanpa terkecuali. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, termasuk juga bagi manusia yang melakukan kejahatan.

 

Jakarta, 28 Januari 2010

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi sampai HIV

Telah menjadi dogma di kalangan pemerhati hak perempuan bahwa budaya patriarki yang kuat akan melahirkan relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan. “Dalam lingkungan yang dihegemoni oleh lelaki, perempuan begitu rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan terlanggar haknya. Pemenuhan hak perempuan akhirnya sulit tercapai mengingat lelaki akan mengekang perempuan untuk menjalani fungsi tradisionil jendernya yaitu menjadi ibu rumah tangga. Dalam hal seorang perempuan juga membawa identitas lain yang kontroversial di mata mayoritas masyarakat, perempuan tersebut akan mengalami diskriminasi berlapis,” tegas Ricky Gunawan, Direktur Program LBH Masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Ricky di acara pemutaran film pendek dokumenter berjudul Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi, sampai HIV, hari Jumat, 13 Agustus 2010 di Pusat Kebudayaan Italia, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) bekerjasama dengan Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC) dan Women’s International Shared (WISE) Project.

Lebih lanjut Ricky mengungkapkan bahwa seorang perempuan pemakai narkotika akan mengalami stigma dan penolakan dari keluarga, sementara lelaki pemakai narkotika akan dimaklumi oleh keluarga sebagai kenakalan khas lelaki. Seorang perempuan pekerja seks akan dipandang manusia rendahan, tidak beragama – menafikan kenyataan bahwa eksistensi mereka tidak terlepas dari lelaki hidung belang pemburu seks. Seorang lelaki yang transjender – memilih jender perempuan sebagai jalan hidup – akan diusir dari keluarga. Seorang perempuan yang transjender – memilih jender lelaki – juga akan mengalami pemaksaan identitas sebagai tetap “perempuan”. Dan, seorang perempuan dengan HIV positif akan mendapat citra sebagai perempuan yang “gemar seks bebas” dan amoral.

Berangkat dari situasi tersebut di ataslah pelatihan pembuatan film sebagai perangkat advokasi bagi perempuan pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan perempuan dengan HIV positif diselenggarakan. LBH Masyarakat, AHRC/ALRC dan WISE hendak meletakkan konteks persoalan di atas dalam kerangka advokasi hak asasi manusia dengan menggunakan medium video. WISE sendiri adalah sebuah program yang diinisiasi oleh AHRC/ALRC dan mengambil skala Asia sebagai wilayah kerjanya. WISE telah melakukan pelatihan bagi perempuan tertindas dan hidup dalam kemiskinan di Pakistan. Setelah Indonesia, WISE akan melanjutkan kegiatan ini ke Thailand dan Sri Lanka. “WISE bertujuan untuk memberi pelatihan bagi perempuan untuk produksi video dan penggunaan internet sebagai media komunikasi dan mendorong mereka untuk melanjutkan kegiatan serupa sekalipun program telah usai,” ungkap Danielle Spencer, Koordinator Program WISE.

Danielle mengutip survey global Bank Dunia tahun 1999 terhadap 60.000 orang yang berpenghasilan kurang dari satu dollar sehari (kurang lebih sepuluh ribu rupiah). Ketika ditanyakan apa yang dapat memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap hidup mereka, sebagai jawaban nomor satu, bahkan di atas kebutuhan pangan dan tempat tinggal adalah akses untuk menyuarakan aspirasi mereka. “Di titik inilah WISE meletakkan konteksnya untuk membuka celah advokasi bagi mereka yang suaranya tidak pernah terdengar,” tambahnya.

Di Indonesia, sepuluh perempuan yang berasal dari latar belakang mantan pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan perempuan dengan HIV positif dikumpulkan untuk mengikuti pelatihan intensif selama 9 (sembilan) hari mulai dari Senin, 2 Agustus 2010 sampai Kamis, 12 Agustus 2010. Kesepuluh perempuan ini belum pernah menggunakan video-kamera dan perangkat pembuatan film lainnya. Selama pelatihan para perempuan tersebut diminta untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan dan pandangan mereka mengenai problematika menjadi seorang perempuan di Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya, dalam medium sebuah film berdasarkan pengalaman dan perspektif mereka, dengan memperhatikan segala persoalan kontekstual sosial, ekonomi dan budaya. Film ini, sederhananya, adalah interpretasi para perempuan tersebut terhadap persoalan yang muncul di hadapan mereka. Film ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadi salah satu perangkat advokasi dan kampanye hak asasi manusia yang dapat mereka dan komunitas mereka manfaatkan. Film tersebut diberi judul, Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi, dan HIV.

 

Jakarta, 13 Agustus 2010

 

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)
Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC)
Women’s International Shared (WISE) Project

 

Tentang LBH Masyarakat:
Organisasi non-pemerintah nirlaba yang memfokuskan program kerja utamanya pada: penyediaan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan terpinggirkan; pemberdayaan hukum masyarakat di tingkat akar rumput melalui pendidikan hukum dan HAM; advokasi kebijakan; dan kampanye HAM di tingkat nasional dan internasional.

Contact person:
Ricky Gunawan
Direktur Program
rgunawan@lbhmasyarakat.org
+62 812 10 677 657

Tentang AHRC:
Organisasi non-pemerintah regional yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi untuk isu HAM di Asia. AHRC berdiri pada tahun 1984.

Tentang ALRC:

Organisasi non-pemerintah regional yang memegang status konsultasi untuk Sidang Ekonomi dan Sosial PBB. ALRC bertujuan untuk memperkuat dan mendorong langkah positif dalam hal persoalan hukum dan HAM di tingkat nasional di negara-negara Asia.

Tentang WISE:

Sebuah program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan tertindas dan terpinggirkan agar mampu menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka mengenai persoalan yang mereka alami. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pembuatan film dan penggunaan teknologi internet sebagai alat advokasi.

Contact person:
Danielle Spencer
Koordinator Program
danielle.spencer@ahrc.asia
http://www.wisevoicesthroughvideo.org

Pemakai Narkotika Membutuhkan Rehabilitasi, Bukan Penjara

Rabu 29 Juli 2009, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 798/Pid.B/2009/PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan. Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu.

Pertimbangan putusan ini disampaikan dalam perkara atas nama Wulan Rahayu Nur Setiawan. Wulan adalah pecandu yang tertangkap tangan sedang menguasai narkotika untuk kebutuhan sekali pakai ketika baru saja membeli dari seorang bandar di daerah Salemba Tengah (sampai saat ini bandar belum tertangkap). Selama persidangan, Wulan dan Tim Penasehat Hukumnya mengakui semua yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun Wulan menambahkan kalau dirinya adalah pecandu yang mengalami ketergantungan sehingga wajib untuk menjalani rehabilitasi dan diperhitungkan sebagai masa tahanan. Dakwaan Jaksa yang hanya mendakwa dirinya sebagai pemilik narkotika dipandang tidak tepat, Jaksa seharusnya mendakwa Wulan sebagai pemakai yang mengalami ketergantungan.

Majelis Hakim dalam putusan selanya, memerintahkan kepada Penasihat Hukum dan Terdakwa untuk membuktikan bahwa Wulan adalah pecandu yang mengalami ketergantungan. Selama persidangan, juga sempat diperiksa orang tua Wulan Rahayu yang menceritakan bahwa karena narkotika ia telah kehilangan anak sulung dan menantunya. Saat ini hanya tinggal Wulan dan seorang cucu yang merupakan anak Wulan. Wulan benar-benar mengalami ketergantungan narkotika.

Atas dasar itu semua, Majelis Hakim berani untuk melakukan terobosan dengan menggunakan Pasal 47 UU Narkotika yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menghukum seorang pecandu narkotika menjalani rehabilitasi. Kewenangan sebagaimana telah diafirmasi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI) No 7 tahun 2009. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim tidak hanya menjatuhkan pidana selama 1 tahun 8 bulan penjara (yang dipotong masa tahanan), tapi juga memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi terlebih dahulu di RSKO Cibubur selama 6 (enam) bulan yang akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.

Pertimbangan Majelis Hakim yang memandang pecandu sebagai orang sakit yang butuh terapi kesehatan serta penjara bukan tempat yang pas bagi pecandu adalah sebuah pertimbangan yang layak diapresiasi dan dipertimbangkan oleh seluruh hakim di Indonesia. Dengan pertimbangan ini, majelis hakim justru akan mendukung program penanggulan narkotika di negara ini. Memenjarakan pecandu semata, tanpa memberi kesempatan untuk rehabilitasi sama saja dengan mengabaikan Hak Asasi Manusia. Sekarang, giliran kejakaan khususnya Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk segera melaksanakan putusan tersebut. Dengan segera melaksanakan putusan ini, Jaksa berarti mendukung upaya penyembuhan dan pemulihan harkat dan martabat pecandu sebagai manusia.

Demikian media release ini dibuat, untuk keperluan konfirmasi dan eksplorasi lebih lanjut dapat menghubungi Ajeng Larasati di nomor 0818.0615.3345 atau 021.830.5450.

Seruan Terbuka: Kekerasan Terhadap Penggiat Bantuan Hukum

Jakarta, 28 Juli 2009

 

Kepada Yth.
Kepala Kepolisian Resort Jakarta Utara
Di tempat

Perihal: Kekerasan Terhadap Penggiat Bantuan Hukum

 

Dengan hormat,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat telah menerima informasi dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengenai penahanan terhadap Tommy Albert Tobing (Pengacara Publik) dan M. Haris Barkah (Assisten Pengacara Publik)  LBH Jakarta, penahanan saksi yang masih berusia di bawah umur, kekerasan terhadap Asfinawati (Direktur), Nurkholis Hidayat dan Kiagus Ahmad BS (para pengacara publik) yang keseluruhannya diduga dilakukan oleh oleh aparat dan pimpinan Polres Jakarta Utara. Waktu kejadian tersebut terjadi pada hari Senin, 27 Juli 2009 sampai Selasa, 28 Juli 2009, bertempat di kantor Kepolisian Resort Jakarta Utara.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat memahami bahwa telah terjadi pelanggaran hak atas peradilan yang jujur (fair trial) dan juga serangan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia (human rights defender).

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menilai bahwa penahanan saksi yang masih di bawah umur adalah bentuk pelanggaran terhadap Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesian dan juga Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengusiran secara paksa terhadap para pembela bantuan hukum yang hendak memberikan  pendampingan dan bantuan hukum nyata-nyata juga merupakan pelanggaran terhadap hak setiap orang atas bantuan hukum.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat lebih jauh menilai bahwa kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Jakarta Utara terhadap Tommy Albert Tobing dan Haris Barkah, serta kekerasan terhadap Asfinawati dan pengacara publik lainnya adalah bentuk serangan dan ancaman terhadap eksistensi pekerja bantuan hukum dan pembela hak asasi manusia di Indonesia. Singkat kata, serangan terhadap pembela hak asasi manusia adalah serangan terhadap hak asasi manusia itu sendiri.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan tindak kekerasan yang terjadi dalam proses hukum mengingat Kepolisian Republik Indonesia baru saja menerbitkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi standard dan prinsip-prinsip HAM dalam pelasanaan tugas Kepolisian Republik Indonesia.

Berangkat dari uraian yang disebut di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mendesak Kepolisian Resort Jakarta Utara untuk segera membebaskan pengacara publik LBH Jakarta yang ditahan tanpa dasar yang jelas dan menindak tegas para pelaku kekerasan.

Demikian Seruan Terbuka ini kami sampaikan.

 

Hormat kami,

Dewan Pengurus

 

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M.
Ketua

Syarat Nikah Bebas HIV/AIDS: Melenggangkan Stigma terhadap ODHA

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH) Masyarakat mengecam keras rencana Wakil Gubernur Bengkulu yang didukung oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Bengkulu untuk memasukkan ketentuan bebas HIV/AIDS sebagai syarat pra-nikah. Langkah tersebut justru terlalu berlebihan dan tidak proporsional dalam upaya pencegahan HIV/AIDS.

Merebaknya HIV/AIDS di Indonesia memang mengkhawatirkan dan merupakan persoalan yang harus segera diatasi. Namun, resolusi untuk persoalan tersebut harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) universal. Perwujudan HAM adalah kunci utama untuk dapat mengurangi permasalahan yang menyelimuti HIV/AIDS.

Sudah terlalu banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami stigmatisasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM seperti penyiksaan, pembatasan hak atas kesehatan dan hak atas pekerjaan serta pengabaian hak atas persamaan di hadapan hukum dan lain sebagainya. Memasukkan bebas HIV/AIDS sebagai salah satu persyaratan untuk dapat melangsungkan pernikahan jelas bukanlah jawaban untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS. Sebaliknya, syarat semacam itu justru semakin menegaskan bahwa negara tidak menghormati HAM orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

Pencegahan HIV /AIDS seharusnya dilakukan dengan cara yang tepat sasaran, bukannya justru memerangi manusianya. Memasukkan ketentuan bebas HIV/AIDS sebagai syarat nikah malah menutup ruang gerak ODHA untuk mengembangkan hidupnya dan meminggirkan mereka dari masyarakat hanya karena status HIV/AIDS-nya.

LBH Masyarakat memandang bahwa upaya pencegahan HIV/AIDS tetap dapat dilakukan dalam kerangka HAM seperti di bawah ini:

  1. Memastikan program nasional HIV/AIDS terdapat langkah-langkah untuk melawan stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap ODHA dan orang-orang yang berpotensi terinfeksi HIV/AIDS;
  2. Memastikan kaum muda mendapatkan akses penuh terhadap segala informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan seksualitas;
  3. Melakukan pemberdayaan hukum terhadap ODHA sehingga mereka mengetahui hak-hak hukum mereka;
  4. Melakukan reformasi institusi lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk mengurangi jumlah narapidana yang telah melebihi kapasitas yang ada (overcrowded), menciptakan kondisi yang higienis di dalam lapas dan untuk mengurangi tingkat kerentanan penyebaran HIV/AIDS;
  5. Menghapus hambatan-hambatan hukum maupun hambatan yang sifatnya non-hukum terhadap upaya pencegahan dan perawatan HIV/AIDS;.
  6. Membuka ruang pengaduan yang efektif bagi para pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya yang rentan HIV/AIDS yang kerap mengalami perlakuan diskriminatif dan kekerasan;

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Bengkulu dan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menghentikan segala langkah-langkah yang menjadikan kriteria bebas HIV/AIDS sebagai salah satu syarat pranikah. Upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS tidaklah boleh mengorbankan hak asasi setiap orang tanpa terkecuali termasuk orang yang hidup dengan HIV/AIDS.

 

Jakarta, 10 Juni 2009

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Deklarasi Solidaritas Melawan Korupsi

Kami generasi muda Indonesia, mahasiswa dan mahasiswi dari Fakultas Hukum berbagai Universitas di Jakarta yang tergabung dalam kegiatan Summer Internship di LBH Masyarakat, merasa prihatin dan jijik dengan kondisi korupsi yang semakin merajalela di Republik ini.

Kami cemas apabila persoalan korupsi saat ini belum berhasil diatasi, maka hanya akan membebani generasi kami di masa yang akan datang.

Kami memahami bahwa KORUPSI adalah kejahatan luar biasa. Sehingga, dalam pencegahan dan penanggulangannya membutuhkan upaya yang extraordinary juga. KORUPSI juga adalah penyakit akut dan kronis yang telah menggerogoti Bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi sudah tepat.

Kini, kami memperhatikan dengan seksama adanya upaya-upaya yang ingin melemahkan KPK.

Kami juga mencermati dan merasakan adanya serangan-serangan dari para koruptor dan kroni-kroninya terhadap KPK.

Kami juga menyadari adanya friksi antara KPK dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugas dan kewenangan untuk memberantas KORUPSI.

Kami khawatir apabila KPK dikerdilkan dan koruptor memenangkan pertarungan ini, upaya pemberantasan KORUPSI yang dilakukan secara gemilang oleh KPK selama ini akan menjadi sia-sia.

Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, dengan ini kami menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kami sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK dengan tetap berada di dalam koridor hukum dan sesuai dengan norma-norma Hak Asasi Manusia.
  2. Menolak dengan tegas segala upaya untuk melemahkan KPK.
  3. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak goyah dan tetap berada di belakang KPK untuk melawan para koruptor yang telah merugikan negara ini.

SIAPAPUN ANDA, BAGAIMANAPUN ANDA,
SEPANJANG ANDA BERSUNGGUH-SUNGGUH MELAWAN KORUPSI,
KAMI BERSAMA ANDA!

GO KPK, GO!
WE’RE TOGETHER WITH YOU!

 

Jakarta,  24 Juli 2009

 

Ajeng Larasati
Andy Wiyanto
Answer Styannes
Antonius Badar
Christine Tambunan
Fery Syahputra
Kiki Santoso
Pebri Rosmalina
Ricky Gunawan
Yura Pratama

Mencari Kebenaran di Sisa-sisa Harapan: Pers Rilis LBH Masyarakat Dalam Rangka Sebelas Tahun Tragedi Mei 1998

Mei sebelas tahun lalu akan selalu menjadi catatan kelam dalam sejarah modern Indonesia. Penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian menjalar pada peristiwa pembakaran Jakarta dan kota besar lainnya telah mengguncang akal sehat kita.

Tragedi yang tidak mungkin dapat diungkap dengan rangkaian kata yang kemudian kita kenal dengan Tragedi Mei 1998 itu meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Pengungkapan kebenaran, penghukuman pelaku, dan pemberian reparasi bagi korban dan keluarga korban adalah pra-kondisi yang harus dipenuhi oleh Negara guna memastikan bahwa luka tersebut terpulihkan.

Kejahatan yang terjadi bukan hanya merenggut nyawa ratusan bahkan ribuan anak bangsa tetapi juga meluruhkan hakikat kemanusiaan kita semua. Kebenaran di balik peristiwa tersebut masih terus menghantui kita, dan membuat langkah kita untuk bergerak ke depan semakin berat. Hingga kini, tidak ada pelaku kejahatan yang telah dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan hukum secara adil. Ironisnya lagi, para pelaku yang diduga terlibat dalam kejahatan tersebut kini tengah melakukan sirkus politik, mengejar kursi nomor satu di republik ini.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai bahwa kegagalan Negara dalam menghukum si pelaku adalah indikasi kuat bahwa mereka yang dekat dengan tampuk kekuasaan akan tetap tak tersentuh hukum. Rule by the  few, bukan rule of law.

Dalam proses elektoral yang baru saja dilaksanakan, beberapa partai yang diduga erat memiliki hubungan dengan pelaku kejahatan ternyata meraih suara yang cukup berarti. Fenomena ini menggambarkan betapa sebagian besar publik telah lupa akan tragedi kemanusiaan tersebut. Publik sepertinya terpikat dengan tawaran perubahan yang mereka usung, tidak peduli bahwa di tangan mereka masih berlumuran noda darah anak bangsa. Keberpihakan kepada pelaku mengirim sinyal kuat bahwa rakyat Indonesia memaafkan mereka dan seakan tidak masalah bila mereka memimpin Indonesia.

LBH Masyarakat memandang bahwa Negara harus menunjukkan taji hukumnya jika tidak ingin Indonesia dikungkung terus dengan hawa impunitas. Para pemimpin bangsa harus berani menyingkap kebenaran di balik Tragedi Mei 1998, karena hanya dengan pengungkapan kebenaran itulah, rakyat mengetahui persis apa, siapa, dan bagaimana kejadian pilu tersebut terjadi.

Sepahit apapun kenyataan yang terjadi adalah sebuah harga mahal yang harus dibayar. Karena dengan demikian, rakyat yang kini tidak peduli menjadi tahu bagaimana para pelaku memainkan perannya. Rakyat tahu bagaimana sebuah kejahatan kemanusiaan dirancang dan dilakukan dengan rapih. Rakyat juga menjadi paham bagaimana para aktor intelektual kejahatan tersebut secara mahir menyebarkan virus amnesia kepada publik.

Dengan pengungkapan kebenaran, rakyat sudah bisa merasakan gejala-gejala terulangnya peristiwa kelabu itu di masa mendatang, menyelamatkan generasi masa depan Indonesia. Sehingga rakyat akan berani melawan lupa dan dengan lantang menyerukan jangan pernah lagi ada kejahatan kemanusiaan serupa. Sepedih apapun fakta yang harus diungkap adalah kunci bagi bangsa ini untuk memasuki ruang yang lebih beradab, yang lebih menghormati hakikat manusia.

LBH Masyarakat mendesak kepada Pemerintah untuk segera menyeret pelaku yang sebenarnya ke pengadilan dan mendesak kepada seluruh calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden 2009 agar dengan jiwa ksatria membuka tabir Tragedi Mei yang sesungguhnya. Permintaan maaf secara terbuka (public apology) harus pula disampaikan oleh para pemimpin bangsa, termasuk juga mengakui kesalahannya dan menyatakan bersedia bertanggungjawab untuk itu.

Di waktu yang sedikit tersisa menuju pemilihan presiden, harapan penegakan HAM itu masih ada. Rakyat Indonesia akan menentukan arah masa depan bangsa ini. Larut dalam lupa dan terjerumus dalam rezim represif yang mengekang kodrati kita yang paling hakiki, atau melawan lupa demi terwujudnya negara demokratis yang menghormati hak asasi manusia dengan mengungkap kebenaran pelanggaran HAM dan menghukum pelaku serta memulihkan hak korban.

 

Jakarta, 13 Mei 2009

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Legalisasi Pembunuhan Atas Nama Keadilan: Pernyataan Sikap LBH Masyarakat atas Vonis Mati terhadap Very Idham Henyansyah alias Ryan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras tindak pidana pembunuhan berencana yang disertai mutilasi yang dilakukan oleh Very Idham Heryansyah alias Ryan. Pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ryan sungguh mengerikan dan tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia. Namun, LBH Masyarakat menyayangkan penggunaan hukuman mati sebagai jawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh Ryan. Kengerian tindak pidana yang dilakukan oleh Ryan tidak dapat dijawab dengan kengerian lainnya yaitu hukuman mati. Sekejam apapun tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana, penghukuman hendaknya tetap memanusiakannya dan mengarah kepada kemanusiaan yang lebih beradab.

LBH Masyarakat menentang keras penggunaan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan dan jawaban atas penyelesaian kasus-kasus hukum termasuk juga dalam hal tindak pidana pidana pembunuhan berencana. Kami memandang bahwa:

  1. Pertama, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup setiap manusia yang merupakan hak yang inheren melekat pada diri setiap manusia dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga, sebagaimana diakui dalam Konstitusi Indonesia serta beragam aturan hukum internasional.
  2. Kedua, hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejam karena hukuman tersebut sampai-sampai mencabut nyawa manusia, dan proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman mati tersebut menempatkan terpidana dalam suasana ketidakpastian sehingga menambah kekejaman dari sebuah hukuman mati. Tidak manusiawi karena hukuman mati adalah bentuk pengingkaran kemanusiaan yang hakikatnya adalah kehidupan. Merendahkan martabat manusia karena hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat yang dimiliki terpidana, dan ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.
  3. Ketiga, setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Pidana terberat yang kami ajukan sebagai alternatif solusi pemidanaan adalah penjara seumur hidup tanpa remisi (life imprisonment without parole). Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.
  4. Keempat, data dan fakta menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan karena sesungguhnya banyak faktor yang memberikan kontribusi atas tinggi rendahnya kejahatan. Sebaliknya, bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang adil dan transparan.

Penolakan kami terhadap penggunaan hukuman mati terhadap Ryan bukan berarti kami mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Kami memahami betul artinya rasa kehilangan orang yang dicintai, namun haruskah nyawa yang hilang dibalas dengan menghilangkan nyawa pelaku? Ketika kita mengutuk keras tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh? Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong agar kita semua selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.

Keadilan menurut kami bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai kita melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap kita.

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental dari seluruh hak asasi manusia. Hak asasi ini berlaku bagi semua manusia, sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia yaitu kesetaraan. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, dan juga berlaku bagi manusia yang melakukan kejahatan, tanpa terkecuali.

 

Jakarta, 7 April 2009

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

Menciptakan Martabat dan Keadilan untuk Semua: 60 Tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di Indonesia

10 Desember enam puluh tahun yang lalu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi ini dilahirkan dari pemikiran yang visioner dari sejumlah tokoh pejuang kemanusiaan. Pemikiran ini dilandasi dengan mimpi akan terciptanya masa depan peradaban kemanusiaan yang lebih baik, mengingat pada saat itu peradaban manusia di dunia ini berada di tengah tragedi kemanusiaan yang keji (perang dunia). DUHAM membawa satu pesan harapan bahwa manusia haruslah memanusiakan sesama manusia.

DUHAM mengakui sebuah prinsip utama bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama yang tidak dapat dicabut dari seluruh umat manusia adalah fondasi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. DUHAM memberikan satu pijakan dasar dari seluruh hak asasi yang terkandung, bukan hanya tercatat, dalam Deklarasi tersebut yakni: Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

Berangkat dari pijakan dasar tersebut kemudian lahirlah sejumlah hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi tersebut. DUHAM tidak berdiam diri menjadi satu norma yang hanya menjadi standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, tetapi lebih dari itu, ia menjelma menjadi beragam kovenan internasional, konvensi, dan segala bentuk aturan hukum internasional. Deretan hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi pun menggema ke berbagai Konstitusi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia menuangkan sejumlah hak asasi manusia di dalam Konstitusinya, termasuk juga meratifikasi sejumlah kovenan internasional dan konvensi HAM. Tetapi apakah semua aturan ini, yang merupakan bentuk nyata pengakuan terhadap martabat dan keadilan bagi semua manusia, memberikan kontribusi yang positif bagi pemajuan hak asasi manusia di dunia? Lebih khusus lagi di Indonesia?

Sepanjang 60 tahun usia Deklarasi, Indonesia telah menjadi saksi bagaimana manusia Indonesia memangsa manusia Indonesia lainnya. Pelanggaran HAM demi pelanggaran HAM terus terjadi hingga kini. Mulai dari pembantaian 1965 hingga kasus Lumpur Lapindo, tragedi Tanjung Priok hingga tragedi Trisakti-Semanggi I-II, pembunuhan ekstra-yudisial, penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, penghilangan paksa, hukuman mati, penggunaan kekerasan untuk menjawab kebebasan beragama, penggusuran paksa hingga pengingkaran hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu, dan masih banyak lagi. Semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi tersebut masih belum terjawab dan menyisakan iklim impunitas yang kental. Sepanjang 60 tahun ini, belum ada kontribusi positif bagi pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.

Tepat dengan 60 tahun peringatan DUHAM, Indonesia memasuki masa kampanye menjelang pemilu 2009. Kampanye bukan lagi merupakan ajang seorang kandidat untuk memperjuangkan gagasan dan cita-cita, tapi menjadi ajang untuk mempersolek diri di hadapan konstituen. Berbagai hal dijadikan sebagai kosmetik untuk mempercantik diri. Bahkan, salah satunya adalah Hak Asasi Manusia.

Sepanjang tahun 2008 hak asasi manusia menjadi seperti barang dagangan, komoditas politik bagi para aktor pemerintah, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kehadiran Panitia Khusus Orang Hilang di DPR, sepertinya lebih menjadi arena kampanye politik para anggota Dewan ketimbang menjawab esensi permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi. Di samping itu, alih-alih melindungi perempuan dan anak, DPR justru mengesahkan Undang-Undang Pornografi yang justru jatuhnya malah mengkriminalisasi perempuan, dan mengkhianati kebhinekaan Indonesia.

Peran yang harusnya diemban oleh para anggota DPR dan Pemerintah, sebagai legislator di Indonesia ternyata justru diabaikan. Hingga tahun ini Indonesia masih belum memiliki satu aturan hukum pun mengenai penghapusan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat-aparat negara dalam proses penegakan hukum. Hal ini membuat para korban penyiksaan tidak pernah mendapatkan pemulihan hak, dan para pelaku lepas tak terhukum. Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan yang dijadwalkan akan diratifikasi pada tahun ini ternyata masih belum terealisasi, menciptakan peluang pencegahan penyiksaan semakin kecil.

Sederet permasalahan hak asasi manusia tersebut terancam tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dan tidak akan diselesaikan secara tuntas dalam waktu dekat ini, mengingat 2009 akan menjadi tahun politik. Tahun dimana para wakil rakyat justru berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya seolah-olah mereka berpihak pada rakyat kecil dan berpihak pada kemanusiaan, padahal ini semua dilakukan demi mendapat kursi kekuasaan.

Sejalan dengan tema peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini yaitu “Martabat dan Keadilan Untuk Semua”, dan menyambut Pemilu 2009, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mendesak kalangan partai politik maupun pelaku politik lainnya untuk mendepankan kemanusiaan dalam menjalankan kekuasaan, demi mencapai keadilan untuk semua. DUHAM telah mencatat bahwa tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia. Tentu, kita semua tidak menghendaki adanya kebengisan dan kemarahan hati nurani manusia terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam kemanusiaan. Dan, saatnya sekarang untuk memulihkan kekelaman yang pernah terjadi dan mencegah kebengisan baru terjadi di masa yang akan datang.

LBH Masyarakat memandang bahwa mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan menyediakan pemulihan hak bagi para korban adalah kunci untuk melenyapkan impunitas di Indonesia. Pengadilan dan pertanggungjawaban dari para pelaku akan membuat setiap fakta dan kejadian akan terungkap secara gamblang dan transparan, serta menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menghindari kekejaman serupa di masa mendatang.

LBH Masyarakat lebih jauh lagi menilai bahwa partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan publik adalah faktor penting untuk menghindari adanya pelaksanaan kebijakan publik yang menimbulkan kerugian terhadap kemanusiaan. Jika korban penggusuran dapat diajak berdialog dan difasilitasi untuk mendapatkan solusi pasca penggusuran, tentu tidak akan terjadi penggusuran paksa yang menimbulkan jatuhnya korban. Jika suara masyarakat diperhatikan dalam proses legislasi dan para wakil rakyat tidak elitis, niscaya produk legislatif yang dihasilkan akan berpihak pada kemanusiaan.

 

Jakarta, 10 Desember 2008

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Ricky Gunawan

Direktur Program

 

Dhoho Ali Sastro

Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat dan Penanganan Kasus

 

Andri G. Wibisana

Direktur Penelitian dan Pengembangan