Skip to content

Category: Isu

Isu LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: LGBT = Nuklir? Indonesia Darurat Fobia

Dalam budaya yang patriarkis, LGBT menjadi entitas liyan yang diasingkan oleh komunitas yang heteronormatif. Pengasingan ini menimbulkan stigma dan diskriminasi. Pandangan umum masyarakat mengenai LGBT sebagai sesuatu yang melawan kodrat dan bertentangan dengan nilai relijiusitas mayoritas menyumbang pada suburnya homofobia dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Dalam konteks Indonesia, situasi ini diperburuk dengan vakumnya instrumen hukum yang menjadi titik lemah perlindungan Negara terhadap kelompok LGBT. Hal ini diperparah dengan pengabaian pemerintah akan persoalan stigma dan diskriminasi yang dihadapi kelompok LGBT.

Sejatinya, jaminan perlindungan terhadap kelompok LGBT tidak benar –benar kosong. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, pada Pasal 27 ayat (1) telah menegaskan bahwa  setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, oleh karenanya perlindungan hukum berhak diperoleh semua warga negara, termasuk kelompok LGBT.  Prinsip non-diskriminasi ini juga dapat ditemukan pada Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Walaupun Konstitusi  dan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak menyebut secara eksplisit mengenai larangan diskriminasi berbasis identitas dan orientasi seksual, namun pada prinsipnya Negara tetap berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari pembedaan perlakuan yang berdampak pada berkurangnya atau hilangnya hak asasi seseorang, termasuk kelompok LGBT. Kewajiban Indonesia untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memegang teguh prinsip kesetaraan dan non diskriminasi sesuai dengan komitmennya ketika meratifikasi kovensi-konvensi internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Culture), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women), dan perjanjian internasional lainnya yang memuat jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.  Berdasarkan konvensi-konvensi tersebut, Indonesia memiliki tiga kewajiban, yakni kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak setiap warga negaranya terutama mereka yang rentan dan marjinal.

Sayangnya, kesetaraan dan perlindungan hak asasi kelompok LGBT di Indonesia masih jauh dari harapan. Stigma, homophobia, dan diskriminasi masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh kelompok LGBT.Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan dan pencatatan terkait stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia melalui media selama tahun 2016. Pemantauan ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan advokasi untuk melihat persoalan stigma dan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Kematian Tahanan, Kegagalan Pemidanaan

Lahirnya penjara dianggap sejalan dengan perubahan tujuan penghukuman dari asas pembalasan (retaliation) menjadi pembinaan (rehabilitation). Pelaku kejahatan tidak hanya dianggap orang yang telah menimbulkan penderitaan, tetapi juga seseorang yang telah melakukan kesalahan dan mampu dibina kembali. Akan tetapi, implementasi kebijakan pemenjaraan akhirnya seringkali mengkhianati cita-cita ini.

Berbagai permasalahan yang ditemukan seperti terlalu padatnya penjara, tidak terpenuhinya hak-hak asasi manusia, terbentuknya budaya kekerasan dalam penjara, tingginya angka residivisme, serta putusnya hubungan sosial antara narapidana dan keluarganya, menunjukkan bahwa diskursus penghukuman lewat penjara masih bersifat kontradiktif dengan tujuan awal penjara. Rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Di antara persoalan tersebut, boleh jadi, masalah kematian di dalam penjara adalah ciri paling kontradiktif dari diskursus pemenjaraan. Kematian seperti menyempurnakan absurditas penjara.

Selain alasan sentimental retoris bahwa tidak ada orang yang mau mati di dalam penjara, kematian juga menimbulkan kontradiksi dari tujuan rehabilitatif penjara. Pembinaan yang selama ini dijalankan oleh narapidana – kecuali untuk narapidana hukuman seumur hidup – menjadi tidak ada gunanya/sia-sia/hilang karena tidak sempat dipraktikkan di tempat tujuan, yakni masyarakat di luar dinding penjara. Alih-alih berfungsi sebagai tempat sementara/peralihan, penjara menjadi stasiun pemberhentian terakhir bagi tahanan itu, karena di sanalah mereka mencapai kodrat manusiawinya: kematian.

Yang semakin memperburuk kondisi ini adalah apabila kematian itu tidak terjadi secara wajar, seperti akibat kecelakaan dalam penjara, pembunuhan, bunuh diri, dan overdosis zat. Di Amerika Serikat, negara yang memiliki populasi tahanan paling banyak di dunia, sebanyak 967 tahanan penjara meninggal pada tahun 2013. Sekitar 34% dari total kematian disebabkan oleh bunuh diri.

Mengingat penjara adalah sebuah fasilitas negara – paling tidak di Indonesia – maka penanggungjawab utama ketika terjadi kematian tidak wajar di dalam penjara adalah negara, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Sekalipun kematian bisa disebabkan oleh narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk diataranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.

Terlepas dari absurditas pelaksanaan pemenjaraan, praktik ini tetap dianggap penting untuk dipertahankan karena Indonesia tidak memiliki penghukuman alternatif yang sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, bukan berarti praktik irasional dalam pemenjaraan yang akhirnya menyebabkan kematian tidak perlu untuk ditantang dan diperbaiki. Karena itulah, LBH Masyarakat berusaha untuk melakukan dokumentasi dan monitor atas peristiwa kematian dalam lembaga pemasyarakatan sepanjang tahun 2016. Dokumentasi ini kami harap bisa membuka kejelasan dari situasi absurd dari kematian dalam lembaga pemasyarakatan Indonesia.

Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukuman Cambuk dalam Bilangan dan Kepelikan

Pemerintahan daerah telah diberi amanat langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Melalui otonomi ini, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus sendiri pemerintahan terutama dalam sejumlah bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, penataan ruang, perumahan rakyat, kawasan pemukiman, ketertiban umum, dan masalah sosial. Selain otonomi yang berlaku di seluruh daerah, beberapa daerah memiliki otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Salah satu contoh daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah Provinsi Aceh, melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Aceh diberikan keistimewaan untuk menyelenggarakan kehidupan beragama berdasarkan Syariat Islam dalam bidang ibadah, ahwal al-syakshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayat (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Keseluruhan penyelenggaraan kehidupan beragama ini diatur dengan Qanun Aceh.iv Salah satu qanun yang banyak menimbulkan kontrovesi terkait dengan legalitas dan pelaksanaannya adalah Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Qanun Jinayat mengatur perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam (jarimah) dan penerapan hukuman (‘uqubat) bagi pelakunya. Salah satu jenis hukuman tersebut ialah cambuk.

Pemberlakuan hukuman cambuk tersebut menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Pelapor Khusus untuk Penyiksaan, Manfred Nowak, menyatakan bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara untuk mencegah terjadinya hukuman corporal. Amnesty Internasional menyebut hukuman cambuk sebagai suatu kemunduran bagi penegakan HAM di Indonesia. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) juga menolak dengan tegas pemberlakuan hukuman cambuk diberlakukan di Aceh karena dinilai tidak manusiawi. Permohonan keberatan atas Qanun Jinayat kepada Mahkamah Agung juga pernah diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menilai penggunaan hukuman cambuk masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Mahkamah Agung menolak permohonan ini karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan dasar dalam permohonan keberatan uji materiil sedang diproses pengujiannya pada Mahkamah Konstitusi.

Terhadap persoalan hukuman cambuk ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) memiliki posisi yang sama dengan para pengkritik hukuman cambuk. LBH Masyarakat menilai pelaksanaan hukuman cambuk merupakan penodaan bagi penegakan HAM di negera ini. Pelaksanaan hukuman cambuk adalah pelanggengan terhadap hukuman badan yang sudah tidak sesuai dengan arah pemidanaan modern. Berdasarkan atas keyakinan ini, kami melakukan monitoring dan dokumentasi media sepanjang tahun 2016 agar dapat mengetahui lebih jauh tentang praktek pelanggaran HAM melalui pelaksanaan hukuman cambuk dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.

Ketika Anak Pengguna Narkotika Tak Lagi Didengar

Anak seringkali rentan terlibat dalam penggunaan narkotika. Keterlibatan anak dalam penggunaan narkotika kerap dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti misalnya lingkungan keluarga, masyarakat dan pergaulan sehari-hari. Negara kemudian mengambil sikap keras, tetapi keliru, dalam mengatasi peredaran gelap narkotika dengan alasan untuk melindungi generasi muda dari penggunaan narkotika. Negara justru sering mengabaikan dan tidak menyediakan perlindungan penuh kepada anak yang menggunakan narkotika (selanjutnya disebut sebagai anak pengguna narkotika). Perlindungan yang setengah hati dan ketidakpedulian negara terhadap kepentingan terbaik anak pengguna narkotika justru mengancam masa depan mereka. Berangkat dari latar belakang ini, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melihat hukum dan kebijakan nasional berkaitan dengan anak pengguna narkotika pada tiga aspek yaitu pencegahan dan perawatan (dalam konteks penggunaan narkotika), dan penegakan hukum terhadap anak pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Dalam menganalisis peraturan dan kebijakan nasional tersebut, LBH Masyarakat menggunakan standar hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan hak anak secara umum maupun pengguna narkotika, mengingat topik khusus hak anak pengguna narkotika juga belum tersedia secara spesifik di tataran hukum internasional.

Studi ini diawali dengan membedah standar hak asasi manusia internasional yang relevan dengan atau dapat diaplikasikan kepada anak pengguna narkotika di aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Tim peneliti mengumpulkan dan mengelompokkan standar internasional yang berkaitan dengan hak anak pengguna narkotika ke dalam beberapa sub-bab yang untuk analisis lebih mendalam. Peneliti kemudian mengumpulkan, membaca dan mempelajari 41 (empat puluh satu) peraturan nasional mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bersama, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri hingga peraturan internal lembaga negara seperti Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Jaksa Agung, Peraturan Kepala BNN, dan lain sebagainya. Metode pengumpulan peraturan tersebut adalah dengan meminta informasi atau peraturan terkait kepada instansi yang relevan dan mengunduh dari internet. Perlu diketahui bahwa, oleh karena itu, mungkin saja terdapat peraturan yang luput untuk tim peneliti pelajari. Berbagai peraturan tersebut juga dilihat dari tiga aspek yaitu aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Dari standar internasional dan peraturan nasional yang sudah dikumpulkan, peneliti kemudian menganalisis gap atau kekosongan aturan berkenaan dengan anak pengguna narkotika baik pada tataran peraturan nasional.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa temuan terkait dengan anak pengguna narkotika. Pada aspek pencegahan, terdapat beberapa peraturan nasional yang mengatur kurikulum pada institusi pendidikan sebagai upaya pencegahan penggunaan narkotika. Pendidikan yang diajarkan pada anak, di Indonesia, menekankan bahaya narkotika semata dan harapan akan dunia yang bebas narkotika. Sistem dan materi pendidikan yang ada justru tidak mengedepankan diskusi interaktif dan inklusif mengenai narkotika, penjelasan hak atas kesehatan dan kesalahpahaman mengenai dunia bebas narkotika, yang konsekuensinya dapat menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika akan cenderung enggan mencari pertolongan ketika terlanjur menggunakan narkotika. Stigma dan diskriminasi akan menjauhkan anak pengguna narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Pada aspek perawatan, peraturan nasional pada umumnya mengatur layanan kesehatan untuk pengguna narkotika dewasa. Peraturan yang secara spesifik menyebutkan layanan kesehatan bagi anak pengguna narkotika sangat sedikit, atau kalaupun ada tidak menyediakan ketentuan yang komprehensif. Ketiadaan peraturan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung abai dengan kondisi kesehatan anak yang menggunakan narkotika. Kekosongan hukum pada tataran implementasi juga berakibat pada ketiadaan jaminan hukum akan layanan kesehatan bagi anak yang menggunakan narkotika.

Sedangkan pada aspek penegakan hukum, negara masih melakukan kriminalisasi terhadap pengguna narkotika, dengan demikian termasuk pula anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika harus berhadapan dengan ancaman pidana yang cukup berat yang akan menyulitkan anak pengguna narkotika untuk mendapatkan diversi, remisi ataupun hak anak yang sedang berhadapan dengan hukum lainnya. Anak pengguna narkotika juga rentan dipenjara daripada mendapatkan rehabilitasi. Anak pengguna narkotika tampaknya masih dipandang sebagai kelompok pelaku kejahatan paling serius dan tidak mendapat perlindungan dari negara.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.

Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional

Orang dengan HIV, adalah individu yang rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. Penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik, yang dinilai bertentangan dengan moral di masyarakat, memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV. “Stigma mengacu kepada kepercayaan dan/atau perilaku yang mendiskreditkan seseorang seperti ketika karakter tertentu dilekatkan secara berlebihan pada budaya atau keadaan tertentu dan didiskreditkan atau tidak berharga.” Stigma akan berakibat pada diskriminasi yaitu “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi atau perlakuan yang berbeda lainnya yang secara langsung atau tidak langsung berdasarkan pada alasan diskriminasi yang dilarang dan yang bertujuan atau berdampak pada meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, dari hak-hak yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.”

Banyak negara mengkategorisasi stigma dan diskriminasi HIV—bersama dengan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia—sebagai penghalang utama untuk meningkatkan layanan HIV/AIDS dan mencapai akses universal atas pencegahan, perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV secara komprehensif. Untuk mengatasi hal tersebut, semua negara anggota yang tergabung dalam PBB berkomitmen dalam Deklarasi Politik HIV/AIDS PBB tahun 2011 untuk menyusun strategi kebijakan HIV dan AIDS nasional yang mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk membuat program untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV.

Penguatan atas hak asasi manusia dapat “memastikan layanan HIV dapat dicapai oleh orang-orang yang paling membutuhkan, memberdayakan individu untuk proaktif dalam mengakses layanan kesehatan, meningkatkan permintaan layanan dan meningkatkan kualitas layanan.” Promosi dan proteksi hak asasi manusia juga berarti menciptakan lingkungan yang kondusif atau optimal untuk memberikan dan memperoleh layanan HIV yang esensial serta pengobatan dan perawatan yang lebih efisien, efektif dan berkelanjutan.14 Sebab, lemahnya perlindungan atas hak asasi manusia dapat meningkatkan penyebaran HIV dan memperburuk dampak HIV itu sendiri.

Stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan HIV terjadi di banyak sektor. Namun terdapat tiga sektor di mana orang dengan HIV nampaknya paling rentan menghadapi stigma dan diskriminasi. Ketiga sektor tersebut adalah kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan. Terjadinya stigma dan diskriminasi tersebut bisa disebabkan karena adanya instrumen hukum yang diskriminatif dan/atau adanya kekosongan instrumen hukum yang berlaku di suatu negara. Instrumen hukum yang diskriminatif dapat memperburuk perlindungan hak asasi orang dengan HIV, dan juga melanggengkan stigma dan diskriminasi. Sementara, ketiadaan instrumen hukum membuat orang dengan HIV tidak terlindungi secara hukum dari stigma dan praktik-praktik yang diskriminatif. Adanya instrumen hukum yang melindungi hak asasi orang dengan HIV menentukan sikap negara dalam menanggulangi HIV dan sebagai jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi orang dengan HIV.

Mengingat rentannya stigma dan diskriminasi orang dengan HIV di tiga sektor tersebut, LBH Masyarakat berinisiatif melakukan audit peraturan perundang-undangan pada tataran peraturan nasional. Laporan ini hendak melihat jaminan perlindungan hukum hak asasi manusia bagi orang dengan HIV dalam ranah pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Laporan ini menganalisis peraturan di Indonesia yang berkaitan dengan HIV berdasarkan standar hak asasi manusia. Peraturan yang akan diaudit adalah peraturan yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Analisis akan dibatasi pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan berikut.

Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek Tahun 2014

Pada tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 (SEMA No. 4 Tahun 2010) yang menjadi panduan bagi hakim untuk mengidentifikasi apakah seseorang merupakan pengguna narkotika dan memiliki kebutuhan untuk direhabilitasi. Hingga tahun 2015, tidak pernah ada dokumentasi mengenai pelaksanaan dari SEMA No. 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penelitian mengenai implementasi SEMA No. 4 Tahun 2010.

Untuk melihat implementasi dari SEMA No. 4 Tahun 2010 ini, peneliti menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengumpulkan putusan di 9 (sembilan) pengadilan negeri di wilayah Jabodetabek yang diputus sepanjang tahun 2014, dan diunduh di website resmi Mahkamah Agung. Kriteria putusan yang diunduh adalah putusan tersebut memiliki barang bukti di bawah ambang batas jumlah narkotika yang telah ditetapkan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010.

Dari putusan yang telah diunduh, peneliti akan melihat apakah putusan-putusan tersebut memenuhi semua kriteria seperti yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010 yaitu: barang bukti dibawah ambang batas jumlah maksimum narkotika; tertangkap tangan; positif menggunakan narkotika yang dibuktikan melalui tes urine; dan hasil asesmen medis dari dokter jiwa/psikiater. Kriteria terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak peneliti sertakan karena bias dan tidak bisa diukur.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.  

Mengurai Undang-Undang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-undang ini merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor 22 tahun 1997 tersebut, antara lain: tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Secara umum, terdapat beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan dan penambahan definisi di dalam bab tentang Ketentuan Umum, ruang lingkup dan tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Dokumentasi Pelanggaran Hak Tersangka Kasus Narkotika

Buku ini memuat laporan dokumentasi yang telah LBH Masyarakat lakukan selama satu tahun sepanjang 2011. Hasil dokumentasi tersebut mengafirmasi cerita-cerita yang sebelumnya pernah kami dengar. Nyaris semua tahanan kasus narkotika pernah mengalami pelanggaran HAM di tingkat penyidikan, baik upaya paksa yang dilakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian maupun penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Buku ini tidak berpretensi untuk menyajikan laporan penelitian kuantitatif melainkan lebih kepada pemaparan analisis kualitatif yang terefleksi dari hasil temuan tersebut.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Indonesia, beberapa waktu yang lalu telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini tentu layak mendapat apresiasi positif karena menjadi landasan hukum bagi setiap orang untuk hak atas informasi, sekalipun dalam beberapa hal, undang-undang ini memiliki keterbatasan.

Buku saku ini disusun sebagai upaya untuk mengenalkan undang-undang yang baru tersebut kepada pendamping masyarakat dan aktivis ornop. Diharapkan setelah membaca buku saku ini dapat memperoleh pemahaman yang mendasar mengenai undang-undang tersebut, sehingga dapat menggunakannya ketika diperlukan terutama dalam kerja-kerja mendampingi masyarakat.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat

Buku berjudul Wajah Pemberdayaan Hukum Masyarakat ini hadir dengan maksud untuk memberi potret yang jelas untuk menggambarkan apa itu pemberdayaan hukum masyarakat ala LBH Masyarakat. Kami sadar betul bahwa rumusan dalam buku ini bukanlah rumus baku untuk menjalankan pemberdayaan hukum masyarakat. Penjabaran ide-ide dalam buku ini hendaknya diperlakukan sebagai uraian ramuan, yang peracikannya diserahkan kepada setiap pelaku pemberdayaan. Gagasan dalam buku ini juga memang sejak awal diposisikan sebagai living manifestos. Dia tidak kaku, fleksibel dan adaptif. Dia akan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mengingat masyarakat akan terus berubah, begitu pula halnya dengan pemberdayaan hukum. Kami juga sadar betul bahwa pemberdayaan hukum masyarakat akan ada banyak model. Oleh karena itulah, buku ini adalah satu dari sekian banyak referensi yang dapat Anda rujuk ketika hendak menjalankan pemberdayaan hukum.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.