Selama ini di masyarakat sendiri masih terjadi miskonsepsi seputar Human Immunodeficiency Virus (HIV), anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang mematikan malah menimbulkan presepsi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) dianggap membahayakan. Kesalahpahaman ini nantinya menciptakan stigma dan diskriminasi kepadapopulasi kunci. LBH Masyarakat (LBHM) dalam kurun waktu 2016-2018 menunjukkan bahwa praktek stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci HIV masih terjadi. Setidaknya terdapat 184 kasus yang terjadi pada populasi kunci HIV dan 138 diantaranya terindikasi sebagai pelanggaran HAM.
Ironisnya,
praktek stigma dan diskriminasi yang terjadi justru mayoritas dilakukan oleh
mereka, yang seharusnya menerapkan asas non-diskriminasi dalam memberikan
pelayanan, tidak hanya pemberi layanan bahkan masyarakat sipil, organisasi
masyarakat dan media pun turut juga memberikan stigma dan diskriminasi. Banyak
dari teman-teman populasi kunci HIV yang menjadi korban dari tindakan stigma
dan diskriminasi yang tidak berani menindaklanjuti pelanggaran yang diterimanya
karena ketidaktahuan mereka tentang hukum – kemana mereka harus melapor dan
bagaimana cara pelaporannya. Stigma dan diskriminasi yang tidak diselesaikan
dapat membuat korban menjadi enggan untuk mengakses layanan kesehatan maupun
membuka status kesehatannya yang nantinya akan menghambat upaya penanggulangan
HIV di Indonesia.
Maka dari itu LBHM menyusun buku saku mekanisme pengaduan yang berisi beragam mekanisme pengaduan hak dalam konteks pelayanan publik. Buku saku ini dapat di unduh di sini.
Saat ini, advokasi kebijakan narkotika tidak bisa dilepaskan dari isu hak asasi manusia. Pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, seperti misalnya penghapusan penyiksaan bagi tersangka kasus narkotika, dan pemenuhan hak atas kesehatan di dalam Rumah Tahanan (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), melatari diskursus advokasi kebijakan narkotika.
Isu advokasi kebijakan narkotika masih dianggap sebagai isu yang maskulin. Tidak banyak terjadi diskursus secara mendetil mengenai bagaimana perempuan terdampak penggunaan maupun terlibat dalam peredaran narkotika. Ataupun bagaimana harusnya sebuah kebijakan nasional merespon kebutuhan spesifik atau khusus perempuan juga belum banyak dibicarakan. Dalam hal akses terhadap kesehatan bagi pengguna narkotika pun kerentanan perempuan kerap kali tidak terangkat, dan oleh karenanya sangat sulit untuk dapat diatasi.
Di sisi lain, dalam diskursus-diskursus yang terjadi di kalangan pejuang perempuan, isu perempuan pengguna narkotika, atau yang terlibat dalam peredaran narkotika seringkali luput menjadi perhatian. Pun dalam advokasi reformasi lapas yang dilakukan oleh kelompok aktivis HAM, isu pemenuhan hak perempuan dalam tahanan juga minim pembahasannya.
Absennya pembahasan mengenai kondisi dan kerentanan perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika, baik di kalangan aktivis kebijakan narkotika, perempuan, maupun aktivis yang bergerak dalam isu pemenjaraan, mendorong Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) untuk melakukan penelitian awal guna memetakan situasi perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat jumlah perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika semakin meningkat setiap tahunnya. Ditambah lagi, tren menjadikan perempuan sebagai kurir narkotika (drug mules) juga semakin tinggi, yang mana hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus perempuan yang ditangkap karena perannya sebagai drug mules.
Akhir kata, kami berharap penelitian ini dapat mengisi kekosongan diskursus, sekaligus mengawal advokasi seputar isu perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Kami percaya bahwa kebijakan narkotika yang berperspektif gender bukan hanya menguntungkan perempuan saja, tetapi juga semua pihak.
Dukung! Jangan Hukum!
Untuk membaca laporan detailnya, silahkan untuk mengunduhnya
di sini.
LBH Masyarakat Menyesalkan Misinformasi Kompas.com Terkait Infografis Penggunaan Ganja.
LBH Masyarakat (LBHM) mengkritik artikel berita yang dirilis Kompas.com pada tanggal 21 Agustus 2019, dengan judul “Geliat Narkoba di Kampus: Persekongkolan Mahasiswa, Alumnus dan Sekuriti”. Artikel ini membahas tentang peredaran ganja di kampus, termasuk di kalangan mahasiswa. Artikel ini dilengkapi dengan infografis-infografis yang ditujukan untuk mempermudah visualisasi informasi. Namun sayangnya, terdapat satu infografis yang memberikan informasi yang tidak berbasis data yang akan menimbulkan misinformasi di masyarakat.
Ada dua kritik utama LBHM terhadap artikel tersebut.
Pertama, infografis tersebut berisi misinformasi terkait ganja, termasuk mengenai kematian karena ganja.
Sampai saat ini belum ada riset atau data yang kredibel, yang menunjukkan bahwa seseorang dapat meninggal dunia karena menggunakan ganja. Banyak penelitian ilmiah, salah satunya, yang berjudul “The Health Effects of Cannabis and Cannabinoids” menyebutkan bahwa ganja tidaklah menyebabkan kematian. Peristiwa kematian karena relasinya dengan ganja justru terjadi karena perilaku berisiko saat menggunakan ganja, misalnya menghisap ganja sambil mengendarai kendaraan.
Kedua, LBHM menilai pemberitaan ini berat sebelah karena tidak menampilkan informasi terkait manfaat dari penggunaan ganja sebagai medis yang sudah terbukti banyak risetnya.
LBHM menyayangkan kegagalan Kompas.com dalam menjalankan kaidah jurnalistik. Pemberitaan yang baik haruslah berimbang dan tidak boleh berat sebelah, atau dikenal dengan istilah cover both side. Infografis ini hanya menonjolkan narasi negatif tentang ganja tanpa menyebutkan tentang kegunaan atau manfaat dari ganja itu sendiri. Banyak negara di dunia telah menggunakan ganja sebagai pengobatan. Salah satunya adalah Kroasia yang menggunakan ganja untuk mengobati penyakit kronis seperi kanker dan multiple sclerosis. Selain itu dalam Laporan yang berjudul The Health Effects of Cannabis and Cannabinoids: The Current State of Evidence and Recommendations for Research yang diterbitkan oleh National Academies Press (Amerika Serikat), mengurai secara detil manfaat medis dari ganja. Contohnya yakni sebagai terapi untuk penyakit kronis, sebagai antiemetic dalam chemotherapy–induced, dan meningkatkan kesehatan pasien yang mengalami gejala multiple sclerosis.
Kelalaian dalam memberikan informasi, sebagaimana misinformasi yang disajikan oleh Kompas.com, memiliki implikasi negatif. Hal ini bukan hanya memperparah stigma dan kesalahpahaman mengenai ganja, tetapi juga menunjukkan bahwa Kompas.com telah gagal menjalankan tanggung jawab moralnya dalam memberikan materi edukasi yang komprehensif bagi masyarakat.
LBHM mendorong Kompas.com untuk merevisi artikel tersebut karena ada misinformasi di dalam infografis tersebut. LBHM berharap ke depannya Kompas.com dapat lebih berimbang lagi ketika melakukan pemberitaan, terutama untuk topik seperti persoalan narkotika. LBHM senantiasa bersedia menjadi mitra diskusi bagi Kompas.com, khususnya dalam hal pemberitaan terkait masalah narkotika dan hukum/kebijakannya.
Kebijakan narkotika di Indonesia adalah produk yang cukup kontroversial sejak diresmikan sebagai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui kebijakan ini, banyak orang yang ditahan dan dipenjarakan akibat terindikasi berurusan dengan hal-hal seputar narkotika, baik sebagai pengguna, terindikasi sebagai pengedar, terlibat sebagai kurir, dan lain sebagainya. Menurut Direktur Jendral Pemasyarakatan, jumlah narapidana kasus narkotika mencapai 115 ribu dari total 255 ribu narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentunya merupakan angka yang cukup fantastis dan dominan dibanding kasus-kasus lainnya, yaitu mencapai sekitar 45.09% dari total keseluruhan kasus pidana yang ada.
Banyaknya jumlah narapidana narkotika ini menimbulkan banyak pertanyaan, misalnya menyoal efektivitas dari pemenjaraan dalam menangani kasus narkotika ini. Meninjau dari tren tahunan, data Direktorat Jendral Pemasyarakatan menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir (2016-2018) terjadi peningkatan jumlah orang yang dipenjara karena kasus narkotika, yaitu pada tahun 2016 terdapat 81.948 orang yang dipenjara karena kasus narkotika. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2017, menjadi 99.507 orang, dan kembali mengalami peningkatan menjadi sekitar 115 ribu orang pada tahun 2018. Dengan tren pemenjaraan yang kerap meningkat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa pendekatan pidana kepada pelaku narkotika efektif untuk menangani permasalahan? Sekiranya, hal tersebut perlu dipikirkan ulang. Terus meningkatnya kasus narkotika mengindikasikan bahwa pemidanaan tidaklah berpengaruh signifikan terhadap keberadaan narkotika yang dikatakan ilegal di Indonesia. Pengguna, pengedar, kurir, penadah, dan pelaku narkotika lainnya akan tetap ada kendati ribuan orang telah dimasukkan ke penjara.
Meninjau fakta di atas, perguliran narkotika agaknya tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan represif dan punitif seperti pemidanaan. Beranjak dari hal tersebut, tim peneliti LBHM berusaha melokalisasi beberapa permasalahan yang terjadi dalam konteks narkotika dan pemidanaan sebagai langkah untuk menanganinya. Permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan seperti:
Apakah tren kenaikan jumlah orang yang dipenjara karena narkotika menginvalidasi pendekatan pidana dalam menangani permasalahan narkotika?
Mengapa permasalahan narkotika tidak dapat dituntaskan oleh pendekatan pidana dalam menangani kasus narkotika?
Adakah solusi yang lebih baik daripada pendekatan pidana?
Pendekatan yang bersifat represif dalam menangani suatu perkara agaknya sudah usang sebagai suatu pendekatan dalam usaha menyelesaikan masalah. Pernyataan paranoid dan brutal seperti yang menyatakan bahwa narkotika adalah “the first evil we must deal with” yang mana kita harus perangi merupakan narasi usang yang harus ditinggalkan. Pasalnya, narasi yang demikian justru menciptakan teror pelanggaran hak asasi manusia seperti penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pembunuhan ekstrayudisial karena diduga sebagai bandar narkotika, hukuman mati terhadap pelaku yang terlibat, dan lain sebagainya. Oleh sebab inilah pendekatan represif harus setidak-tidaknya dikaji ulang, sebab seharusnya penyelesaian permasalahan narkotika harus tetap dalam kerangka humanitarian, bukan hanya praktik penghukuman semata.
Sebagai suatu usaha menangani narkotika, seharusnya pemenjaraan menjadi opsi/alat terakhir, atau yang dikenal sebagai ultimum remedium. Oleh karenanya, penanganan terhadap persoalan narkotika hendaknya secara jeli melihat opsi selain pemenjaraan. Terlebih, persoalan narkotika cenderung lebih mengarah kepada persoalan kesehatan, yang penanganannya seharusnya menitikberatkan kepada pengurangan dampak buruk narkotika (harm reduction).
Demi mendorong terjadinya revolusi kebijakan terhadap persoalan narkotika, tim peneliti LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media terhadap topik peredaran narkotika di dalam tahanan. Data ini dikumpulkan sepanjang tahun 2018 dan akan disajikan ke dalam bentuk laporan penulisan yang sifatnya ilmiah. Dalam mengumpulkan data yang ada, kami menggunakan metode tertentu yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dari laporan ini.
Untuk membaca laporan penuhnya, silahkan mengunduh file dengan klik disini.
Tahun 2018 dikenal sebagai tahun politik, di mana masyarakat bersiap untuk menghadapi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada April 2019. Manuver politik digunakan untuk meraup suara. Ada setidaknya tiga isu yang sering dijadikan alat politik pendulang suara, narkotika, terorisme dan kelompok minoritas seksual (baca: LGBT). Kelompok LGBT, yang dengan salah dianggap sebagai musuh masyarakat, sering kali menjadi korban serangan. Tampaknya serangan ini dianggap dapat menguntungkan dan menambah suara pendukung terhadap calon-calon penegak kekuasaan, sehingga mereka kerap dalam kampanye-nya secara terang-terangan berbicara mengenai usulan untuk membuat peraturan diskriminatif terhadap LGBT. Bahkan tidak sedikit yang memberikan usulan untuk memidanakan LGBT. Tindakan-tindakan tidak manusiawi, ajakan untuk memerangi, memberantas bahkan mengkategorikan LGBT sebagai gangguan jiwa seakan menjadi hal yang sering ditemui dalam pemberitaan mengenai kelompok LGBT di tahun 2018, didukung dengan framing media terhadap kelompok LGBT yang cenderung negatif.
Persoalan pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT mendapat perhatian dari banyak badan PBB, Pengadilan HAM dan badan-badan HAM regional. Lembaga-lembaga ini juga telah memberikan kontribusi penting dalam perjuangan pemenuhan HAM kelompok LGBT, diantaranya melalui pengembangan argumen hukum berdasarkan hukum internasional terhadap perlindungan hak-hak orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda. Tidak hanya dilingkup hukum Internasional, di Indonesia sendiri Rancangan aksi nasional HAM Indonesia 2004-2009 dengan tegas menyatakan bahwa LGBTIQ sebagai kelompok yang harus dilindungi negara. Prinsip ini juga dimuat dalam The Yogyakarta Principles pada tahun 2007 yang menegaskan perlindungan HAM terhadap kelompok LGBTIQ. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa semua manusia, terlepas dari apapun orientasi maupun identitas gendernya, terlahir merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam The Yogyakarta Principles menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan, di mana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.
Terlepas dari perlindungan hukum yang diberikan di atas, pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT tetap terjadi. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan atas dasar orientasi seksual atau identitas gender nyata dirasakan oleh kelompok minoritas seksual, termasuk juga dengan hal yang paling mengerikan seperti penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan eksekusi di luar proses hukum.
Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi stigma, diskriminasi dan stereotip ini tidak jarang datang dari organisasi keagamaan, pemuka agama bahkan pemerintah yang seharusnya melindungi, menjamin keamanan dan sepatutnya justru memenuhi hak asasi warga negaranya. Dalam hal ini argumen tradisional, dari perspektif agama dan moral serta dari perspektif \’ilmiah\’ memang telah menimbulkan banyak pertentangan mengenai penerimaan atau penolakan keberagaman gender tidak hanya oleh perkembangan dalam sains tetapi juga oleh perkembangan hukum seperti yurisprudensi internasional dan berpengaruh di berbagai pengadilan di seluruh dunia.
Sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak minoritas dan korban pelanggaran HAM, LBHM kembali melakukan pendokumentasian dan pemantauan pemberitaan media terhadap stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian terhadap kelompok LGBT, sebagaimana yang saat ini sedang anda baca. Data yang telah kami kumpulkan pada dua tahun terakhir menunjukkan stigma, diskriminasi dan stereotip semakin tinggi dan kerap terjadi.
Laporan selengkapnya dapat diunduh dengan mengklik tautan ini.
Deterrence is one of the fundamental justifications for the death penalty across the world. This report assesses the feasibility of conducting systematic empirical research on deterrent effects of the death penalty on drug and other criminal offences in Indonesia. Research on detterence requires complex empirical analyses within contemporary theoritical frameworks using multiple indicators and alternate or competing causal models.This report summarises potential strategies, and assesses the feasibility of adapting them to the unique and complex context of Indonesia. The report suggests a preferred strategy that will produce reliable and detailed estimates of deterent effects.Download this report here.For Bahasa Indonesia version, click here.
Efek gentar adalah salah satu justifikasi fundamental bagi hukuman mati di berbagai belahan dunia. Laporan ini mengkaji kelayakan pelaksanaan penelitian empiris sistematik mengenai efek penggentar hukuman mati terhadap tindak pidana narkotika dan tindak pidana lain di Indonesia.
Penelitian tentang efek gentar memerlukan analisis empiris yang kompleks di dalam kerangka teoritis kontemporer menggunakan indikator jamak dan model kausal alternatif atau kompetitif. Laporan ini merangkum strategi potensial dan menilai kelayakan mengadaptasinya terhadap konteks Indonesia yang unik dan kompleks. Laporan ini juga menyarankan suatu strategi pilihan yang akan menghasilkan estimasi efek gentar yang andal dan rinci.
Tiga puluh tahun terakhir muncul sebuah gerakan yang mendorong secara progresif penghapusan dan pembatasan hukuman mati. Hukum internasional saat ini memungkinkan \’retensi terbatas\’ hanya untuk kejahatan \’paling serius\’. Namun konsep ini telah ditafsirkan berbeda sesuai budaya nasional, tradisi, dan corak politik khususnya di banyak negara Asia yang menganggap tindak pidana narkotika sebagai salah satu kejahatan paling serius.
Banyak pernyataan tanpa dasar fakta dibuat tentang tingginya jumlah kematian terkait narkotika untuk membenarkan respons peradilan pidana yang punitif terhadap penggunaan, penjualan, dan peredaran narkotika. The Death Penalty Projecy (DPP) dan University of Oxford, pada Januari 2019, mengidentifikasi tiga asumsi utama di balik \’perang melawan narkoba\’ di Asia Tenggara:
masyarakat sangat mendukung hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika,
hanya hukuman mati yang dapat mencegah tindak pidana narkotika,
dan mereka yang dituntut dan dihukum mati dengan tindak pidana narkotika adalah orang-orang yang paling berbahaya, kuat, dan korup dalan peredaran narkotika.
Namun, tidak pernah ada data empiris untuk menguji asums-asumsi tersebut.
Oleh karena itu, kami ingin memulai untuk menguji salah satu dari tiga asumsi utama di atas yang kerap digunakan untuk mempertahankan eksistensi hukuman mati: bahwa baik elite maupun publik sangat mendukung hukuman mati dan tidak akan menoleransi abplisi atau pembatasan penggunaannya secara progresif. Studi seperti itu akan mengisi kesenjangan pengetahuan dan mengurai tantangan bagi Indonesia untuk menuju abolisi dan mengatasi tantangan yang ada.
Maraknya kesalahpahaman mengenai Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkembang di masyarakat melahirkan stigma terhadap HIV dan Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Stigma yang diberikan masyarakat ini berdampak buruk pada ODHA, mengingat pelabelan cap buruk umumnya disertai dengan tindakan diskriminatif. Salah satu stigma yang disematkan masyarakat terhadap HIV, yakni dianggap menjadi faktor penghambat pembangunan dan penyebab kesejahteraan menurun.
Pelekatan stigma dan perlakuan diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA tersebut mengakibatkan ODHA tidak dapat menikmati hak asasi manusianya secara penuh. Pelanggaran hak atas privasi berupa pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien menempati posisi teratas dalam pelanggaran hak-hak ODHA. Sulitnya mengakses layanan kesehatan juga menjadi bukti yang kuat ada cedera dalam pemenuhan hak-hak ODHA.
Salah satu contoh diskriminasi pada tahun 2018 terjadi di Provinsi Papua. Para calon atlet yang akan mengikuti kompetisi Pekan Olahraga Nasional 2020 wajib mengikuti serangkaian tes kesehatan yang salah satu indikatornya terbebas dari virus HIV. Hasilnya beberapa calon atlet batal mengikuti kompetisi karena dinyatakan terinfeksi virus HIV. Bentuk diskriminasi lain yang masih sering terjadi adalah penolakan masyarakat untuk memulasara jenazah ODHA. Kesalahpahaman terhadap cara penularan HIV ini membuat masyarakat enggan untuk membantu pemrosesan perawatan jenazah ODHA.
Dilihat dari fakta-fakta ini, pemanusiaan ODHA masih harus menempuh perjalanan panjang. Posisi ODHA sebagai bagian dari kelompok rentan membuatnya sulit untuk menuntut hak-haknya. Terlebih lagi dalam situasi ini pemerintah juga menjadi pelaku diskriminasi ODHA melalui produk hukum. Contohnya seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang mewajibkan calon pengantin melakukan tes HIV melalui Perda Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.
Kamu dapat mengunduh laporan ini dengan mengunjungi tautan berikut.
Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, masih adanya sistem pemenjaraan yang menekankan pada balas dendam, dan penjeraan akhirnya membuat sistem pemenjaraan ini tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Padahal, pemidanaan yang berfungsi sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, selain tertuang dalam peraturan nasional, juga diakui secara internasional pada pada the United Nation Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules).
Mandat rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat dikatakan adiluhung, tetapi pada saat yang sama masih merupakan utopia untuk praktik sistem pidana yang berlangsung hari ini. Fakta bahwa masih ada banyak masalah di penjara di Indonesia seperti tidak terpenuhinya hak asasi manusia, budaya kekerasan di penjara, dan residivisme menjadikan rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu dengan praktiknya akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Termasuk salah satu permasalahan yang penting adalah perkara kematian dalam tahanan.
Bagaimana bisa penjara yang di dalam undang-undang mempunyai fungsi sebagai rehabilitasi dan reintegrasi sosial, malah menjadi tempat pemberhentian terakhir bagi tahanan dalam menjalani hidup? Hal ini jelas menjauhkan praktik pemenjaraan dari mandat pemasyarakatan seperti yang disebut di atas. Sekalipun menjalani masa penahanan ataupun penghukuman, seorang tahanan pun masih mempunyai hak-hak dasar sebagai manusia dan wajib dipenuhi. Kematian dalam tahanan menjadi contoh dari pelanggaran hak seorang tahanan, yakni hak hidup.
Dari data yang LBH Masyarakat (LBHM) himpun sepanjang 2018 melalui pantauan media daring, setidaknya terdapat 116 kasus kematian dalam tahanan yang diberitakan oleh media. Penyebab kematian didominasi oleh sakit, kemudian diikuti oleh bunuh diri. Fakta ini mengindikasikan adanya permasalahan kompleks yang saling berkaitan satu sama lain, terutama yang berkaitan dengan hak hidup seorang tahanan. Terlanggarnya hak hidup sendiri saling berkaitan dengan terlanggarnya hak-hak lain, seperti tidak terpenuhinya hak atas kesehatan seorang tahanan (termasuk di dalamnya hak atas sanitasi yang bersih, hak lingkungan yang sehat, dan lain sebagainya). Pertanyaan mengenai “apakah tempat tahanan sudah menghormati hak-hak seorang tahanan?” pun muncul. Sebagaimana mestinya, setiap fasilitas yang dikelola negara haruslah mempunyai standar yang baik dan mendukung pemenuhan hak seorang tahanan, alih-alih abai atau menelantarkannya.
Mengingat penjara memiliki cita-cita yang sangat tinggi seperti menjaga dan menyeimbangkan tatanan sosial masyarakat, maka penanggungjawab atas penjara adalah negara sebagai organisasi dengan sumber daya terbesar, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas). Sekalipun kematian bisa terjadi karena tindakan atau kelalaian narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk di antaranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.
Demi menelusuri pelbagai permasalahan di atas yang kerap terjadi dari waktu ke waktu, LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media yang dituangkan dalam laporan ini. Pencarian, kodifikasi, dan analisis terhadap pemberitaan media daring menjadi salah satu usaha kami dalam melakukan pemaparan analitis-evaluatif terhadap kondisi sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut.