SIARAN PERS “USUT TUNTAS TRAGEDI KEMANUSIAAN KANJURUHAN”

I M P A R S I A L , L B H S U R A B A Y A P O S M A L A N G , L B H J A K A R T A , Y L B H I , P B H I
N A S I O N A L , K O N T R A S , S E T A R A I N S T I T U T E , P U B L I C V I R T U E , I C J R , W A L H I ,
L B H M A S Y A R A K A T , L B H P E R S , E L S A M , H R W G , C E N T R A I N I T I A T I V E , I C W

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK REFORMASI SEKTOR KEAMANAN

Kami turut berduka cita atas Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang yang menewaskan kurang lebih 182 orang. Namun kami juga mengecam sekaligus mengutuk keras kelalaian Panitia dan Operator Liga yang tidak menerapkan mitigasi risiko dengan baik dan benar, sehingga Kapasitas Stadion yang seharusnya hanya dapat diisi maksimal 38.000 Orang membludak hingga mencapai sekitar 42.000 orang yang mengakibatkan penonton harus berdesak-desakan, himpit-himpitan dan mengalami gangguan pernafasan, pertanggungjawaban Panitia dan Operator Liga harus dimintai baik dalam kerangka kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dan ganti rugi serta rehabilitasi kepada korban. Kelalaian panitia dan operator liga tersebut diperburuk dengan tindakan pengamanan yang tidak proporsional dan bahkan cenderung berlebihan (excessive use of force) oleh Aparat Kepolisian yang bertugas dilapangan, dalam video yang beredar di Media Sosial terlihat bahwa terdapat penggunaan Gas Air Mata yang dilarang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, selain penggunaan Gas Air Mata juga terdapat kekerasan terhadap para korban. Dalam. Video yang beredar kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Kepolisian tetapi juga dilakukan oleh Anggota TNI. Koalisi juga menilai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) harus melakukan pemeriksaan terhadap aparat yang bertugas dilapangan karena jelas ada penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, selain itu terhadap Anggota TNI harus juga diperiksa oleh Panglima TNI mengingat penerjunan Anggota untuk mengamankan Pertandingan Sepakbola jelas bukanlah tugas prajurit TNI. Lebih dari pada itu, atasan Anggota Polisi dan TNI yang bertugas di lapangan juga harus dimintai pertanggunjawaban (command responsibility) karena sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan. Untuk itu Koalisi mendesak:
Pertama, Presiden RI harus meminta maaf secara terbuka kepada korban dalam tragedi kemanusiaan Kanjuruhan dan memastikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban secara menyeluruh;
Kedua, Presiden RI harus membuat Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menemukan sebab terjadinya Tragedi Kemanusian dengan melibatkan Lembaga Negara Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
Ketiga, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima TNI harus memeriksa semua anggota yang bertugas dilapangan secara etik, disiplin dan Pidana; Keempat, penyelenggara pertandingan sepakbola tidak lagi melibatkan aparat Kepolisian dan TNI serta berhenti menerapkan pendekatan Keamanan Dalam Negeri di dalam stadion, melainkan pengamanan ketertiban umum (stewards/civil guards).


Narahubung:
1 . Hussein Ahmad;

  1. Teo Reffelsen
  2. M. Hikari Ersada
  3. Julius Ibrani

Bebaskan Mary Jane Veloso, Merry Utami dan Tutik Dari Hukuman Mati, Selamatkan WNI dari Hukuman Mati

Marry Jane Veloso (MJV) adalah seorang Pekerja Migran asal Filipina, seorang ibu dari dua
anak. MJV berasal dari keluarga miskin untuk menghidupi keluarganya dia bekerja di Dubai,
namun dia menerima percobaan pemerkosaan oleh majikannya kemudian MJV pulang. Pada
18 April 2010 MJV ditawari oleh tetangganya Cristina Serio bekerja sebagai pekerja rumah
tangga di Malaysia. MJV membayar 20.000 Peso untuk biaya keberangkatannya. Pada
tanggal 22 April 2010, MJV berangkat bersama Cristina Serio ke Malaysia. Selama 3 hari
tinggal di Malaysia, MJV dibelikan baju dan berbagai barang. Setelah itu Cristina Serio
menyampaikan pekerjaanya di Malaysia susah tidak tersedia dan berjanji akan mencarikan
pekerjaan dan meminta MJV menunggu di Indonesia.

Pada 25 April 2010, Cristina Serio meminta MJV mengemas barangnya dan dia diberi koper
kosong dan sejumlah uang. Setibanya di Bandara Yogyakarta di Indonesia, MJV ditangkap
karena di bagian lapisan dalam koper yang diberikan Cristina terdapat heroin seberat 2,6
kilogram. Pada 11 Oktober 2010, Mary Jane dijatuhi hukuman mati di Pengadilan Negeri
Sleman. MJV baru mendapat pengacara dari Pemerintah Filipina setelah dia divonis hukuman
mati. Berbagai upaya mulai dari banding, kasasi, grasi dan PK sudah dilakukan namun semua
ditolak. Pada 29 April 2015, MJV masuk daftar terpidana mati yang akan dieksekusi mati dan
menghuni sel isolasi di Lapas di Nusakambangan. Tapi menjelang eksekusi mati, MJV
diberikan penangguhan eksekusi mati. Penangguhan ini meskipun tidak jelas sampai kapan
tapi diberikan atas desakan dan aksi di berbagai negara dan di Indonesia bahwa MJV adalah
korban dan dibuktikan dengan Cristina Serio sekarang diputus seumur hidup atas kasus
perekrutan illegal. Sementara sidang kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih
berlangsung di Filipina dan MJV diputuskan memberikan kesaksian sejak 2019. Namun
sampai saat ini MJV masih belum diberi kepastian kapan akan diminta kesaksiannya.

Kasus yang serupa juga dialami oleh pekerja migran Indonesia yang bernama Tutik. Dia
dijanjikan akan dipekerjakan di pabrik elektronik dengan gaji yang lebih besar. Ketika dia
masih bekerja di Malaysia. Kemudian Tutik pulang untuk kepengurusan kerjanya di Malaysia
seperti yang dijanjikan, namun setelah sampai di Malaysia Tutik dipaksa menjadi kurir
narkoba dengan dipaksa menelan sejumlah pil kedalam tubuhnya. Tutik dikirim ke China,
dan sesampainya di bandara dia sakit dan menyerahkan diri.

Setali tiga uang, buruh migran Indonesia yang terjebak dan di eksploitasi sindikat peredaran
gelap narkotika dialami Merri Utami. Pada tahun 2001, Merri Utami diserahkan ke Polisi
setelah pihak bandara memeriksa tas tangan yang dibawa dari Nepal berisi heroin sebanyak 1
kilogram. Padahal tas tersebut merupakan tas yang dipaksa dititipkan kepada Merri Utami
oleh teman pacarnya yang selama di Nepal, pacarnya justru meninggalkan Merri Utami
sendiri. Rantai kekerasan yang dialami oleh Merri Utami tidak berhenti di situ. Akar
kekerasan yang dialami Merri Utami berasal dari perlakuan suaminya. Atas kekerasan
tersebut Merri Utami dipaksa bekerja sebagai buruh migran, terlebih kondisi finansial
keluarga Merri Utami mengalami kesulitan. Namun selama di persidangan rantai kekerasan
ini tidak sama sekali digali dan dipertimbangkan. Pengadilan malah jadi ajang memutus dan
menghukum. Lebih mendasar dari itu, pemenjaraan yang dijalani Merri Utami saat ini telah
mencapai 20 tahun. Durasi pemenjaraan yang melewati ketentuan yang telah ditentukan.
Sehingga patut dipertanyakan, penghukuman apa yang sedang dijalani oleh Merri Utami saat
ini. Tragisnya, di awal 2016, Merri Utami masuk sel isolasi untuk menghadapi eksekusi mati.
Tapi beberapa saat kemudian, Jaksa Agung Pidana Umum menyampaikan bahwa Merri
Utami ditunda eksekusi matinya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kondisi ini
menimbulkan problem psikologis yang tidak sama sekali diakomodasi oleh sistem hukum.
Padahal hukuman yang timbul ini merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat
manusia dan bagian dari penyiksaan.

Pada sisi lain, Merri Utami saat ini berharap pada grasi Presiden Jokowi. Tapi sejak 2016
diajukan, permohonan grasi tidak pernah ada kabar. Padahal dalam aturan tentang grasi,
Presiden memutuskan grasi terikat waktu. Namun waktu yang diberikan aturan sudah
melewati batas waktu yang ditentukan.

Berdasarkan hal di atas, Mary Jane, Merri Utami dan Tutik mereka adalah perempuan pekerja
migran yang menjadi korban sindikat international peredaran gelap narkotika yang
memanfaatkan kelemahan perempuan pekerja migran dengan menawarkan lowongan
pekerjaan dan iming-iming gaji serta pendekatan relasi kuasa yang tidak seimbang. Mereka
ditipu daya, dipaksa dan diintimidasi oleh sindikat perdagangan manusia dan narkotika.

Tepat pada tanggal 4 sampai 6 September 2022, Indonesia yang diwakili oleh Presiden
Jokowi menerima tamu kehormatan dari Filipina, yaitu kedatangan Presiden Ferdinand
Macos Jr atau Bong Bong yang akan membicarakan beberapa kesepakatan negara dalam
bidang kerjasama-kerjasama ekonomi, militer dan politik.

Namun, kami dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) ingin mengingatkan kepada Presiden
Joko Widodo, agar di dalam pertemuan juga melakukan pembahasan terkait memberikan
perlindungan sejati kepada warga negaranya yang menjadi pekerja migran di luar negeri.
Terlebih Indonesia dan Filipina merupakan negara pengirim tenaga kerja ke luar negeri.
Pertemuan kali ini kami harapkan sebagai pertemuan untuk membahas pembebasan Mary
Jane Veloso juga membahas mekanisme dan waktu pemberian kesaksian Mary Jane Veloso
dalam memberikan kesaksian atas sidang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang
sedang berlangsung di Filipina.

Kami juga meminta kepada Presiden Joko Widodo memberikan ampunan kepada Marry Jane,
Meri Utami dan membebaskan Buruh Migran Indonesia yang sedang menghadapi hukuman
mati di berbagai negara tujuan penempatan, termasuk juga Tutik seorang buruh migran asal
Indonesia. Terlebih Mary Jane merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang yang
seharusnya korban tidak bisa dipidana.

Pembebasan Marry Jane khususnya akan menjadi nilai diplomatik yang tinggi bagi politik
bargaining Indonesia dalam meningkatkan kerjasama khususnya dengan Filipina dan upaya
perlindungan dan dukungan pembebasan ratusan Warga Negara Indonesia yang mayoritas
pekerja migran yang kini sedang menghadapi hukuman mati di berbagai Negara. Namun
upaya ini perlu dibarengi juga dengan penghapusan hukuman mati dalam sistem hukum
pidana nasional sebagai legitimasi dalam mengupayakan politik diplomasi dalam
membebaskan buruh migran yang menghadapi hukuman mati atau menunggu eksekusi mati.

Bebaskan Mary Jane Veloso !!!
Bebaskan Merry Utami !!!
Bebaskan Tutik !!!
Hapus Hukuman Mati !!!

Jakarta, 6 September 2022

Hormat kami
Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

Narahubung
Wiwin Warsiating: 0812 8338 0486
Nixon Randy Sinaga: 0822 4114 8034

Bebaskan Mary Jane Veloso, Merry Utami dan Tutik dari Hukuman Mati Selamatkan WNI dari Hukuman Mati

Marry Jane Veloso (MJV) adalah seorang Pekerja Migran asal Filipina, seorang ibu dari dua
anak. MJV berasal dari keluarga miskin untuk menghidupi keluarganya dia bekerja di Dubai,
namun dia menerima percobaan pemerkosaan oleh majikannya kemudian MJV pulang. Pada
18 April 2010 MJV ditawari oleh tetangganya Cristina Serio bekerja sebagai pekerja rumah
tangga di Malaysia. MJV membayar 20.000 Peso untuk biaya keberangkatannya. Pada
tanggal 22 April 2010, MJV berangkat bersama Cristina Serio ke Malaysia. Selama 3 hari
tinggal di Malaysia, MJV dibelikan baju dan berbagai barang. Setelah itu Cristina Serio
menyampaikan pekerjaanya di Malaysia susah tidak tersedia dan berjanji akan mencarikan
pekerjaan dan meminta MJV menunggu di Indonesia.

Pada 25 April 2010, Cristina Serio meminta MJV mengemas barangnya dan dia diberi koper
kosong dan sejumlah uang. Setibanya di Bandara Yogyakarta di Indonesia, MJV ditangkap
karena di bagian lapisan dalam koper yang diberikan Cristina terdapat heroin seberat 2,6
kilogram. Pada 11 Oktober 2010, Mary Jane dijatuhi hukuman mati di Pengadilan Negeri
Sleman. MJV baru mendapat pengacara dari Pemerintah Filipina setelah dia divonis hukuman
mati. Berbagai upaya mulai dari banding, kasasi, grasi dan PK sudah dilakukan namun semua
ditolak. Pada 29 April 2015, MJV masuk daftar terpidana mati yang akan dieksekusi mati dan
menghuni sel isolasi di Lapas di Nusakambangan. Tapi menjelang eksekusi mati, MJV
diberikan penangguhan eksekusi mati. Penangguhan ini meskipun tidak jelas sampai kapan
tapi diberikan atas desakan dan aksi di berbagai negara dan di Indonesia bahwa MJV adalah
korban dan dibuktikan dengan Cristina Serio sekarang diputus seumur hidup atas kasus
perekrutan illegal. Sementara sidang kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih
berlangsung di Filipina dan MJV diputuskan memberikan kesaksian sejak 2019. Namun
sampai saat ini MJV masih belum diberi kepastian kapan akan diminta kesaksiannya.

Kasus yang serupa juga dialami oleh pekerja migran Indonesia yang bernama Tutik. Dia
dijanjikan akan dipekerjakan di pabrik elektronik dengan gaji yang lebih besar. Ketika dia
masih bekerja di Malaysia. Kemudian Tutik pulang untuk kepengurusan kerjanya di Malaysia
seperti yang dijanjikan, namun setelah sampai di Malaysia Tutik dipaksa menjadi kurir
narkoba dengan dipaksa menelan sejumlah pil kedalam tubuhnya. Tutik dikirim ke China,
dan sesampainya di bandara dia sakit dan menyerahkan diri.

Setali tiga uang, buruh migran Indonesia yang terjebak dan di eksploitasi sindikat peredaran
gelap narkotika dialami Merri Utami. Pada tahun 2001, Merri Utami diserahkan ke Polisi
setelah pihak bandara memeriksa tas tangan yang dibawa dari Nepal berisi heroin sebanyak 1
kilogram. Padahal tas tersebut merupakan tas yang dipaksa dititipkan kepada Merri Utami
oleh teman pacarnya yang selama di Nepal, pacarnya justru meninggalkan Merri Utami
sendiri. Rantai kekerasan yang dialami oleh Merri Utami tidak berhenti di situ. Akar
kekerasan yang dialami Merri Utami berasal dari perlakuan suaminya. Atas kekerasan
tersebut Merri Utami dipaksa bekerja sebagai buruh migran, terlebih kondisi finansial
keluarga Merri Utami mengalami kesulitan. Namun selama di persidangan rantai kekerasan
ini tidak sama sekali digali dan dipertimbangkan. Pengadilan malah jadi ajang memutus dan
menghukum. Lebih mendasar dari itu, pemenjaraan yang dijalani Merri Utami saat ini telah
mencapai 20 tahun. Durasi pemenjaraan yang melewati ketentuan yang telah ditentukan.
Sehingga patut dipertanyakan, penghukuman apa yang sedang dijalani oleh Merri Utami saat
ini. Tragisnya, di awal 2016, Merri Utami masuk sel isolasi untuk menghadapi eksekusi mati.
Tapi beberapa saat kemudian, Jaksa Agung Pidana Umum menyampaikan bahwa Merri
Utami ditunda eksekusi matinya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kondisi ini
menimbulkan problem psikologis yang tidak sama sekali diakomodasi oleh sistem hukum.
Padahal hukuman yang timbul ini merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat
manusia dan bagian dari penyiksaan.

Pada sisi lain, Merri Utami saat ini berharap pada grasi Presiden Jokowi. Tapi sejak 2016
diajukan, permohonan grasi tidak pernah ada kabar. Padahal dalam aturan tentang grasi,
Presiden memutuskan grasi terikat waktu. Namun waktu yang diberikan aturan sudah
melewati batas waktu yang ditentukan.

Berdasarkan hal di atas, Mary Jane, Merri Utami dan Tutik mereka adalah perempuan pekerja
migran yang menjadi korban sindikat international peredaran gelap narkotika yang
memanfaatkan kelemahan perempuan pekerja migran dengan menawarkan lowongan
pekerjaan dan iming-iming gaji serta pendekatan relasi kuasa yang tidak seimbang. Mereka
ditipu daya, dipaksa dan diintimidasi oleh sindikat perdagangan manusia dan narkotika.

Tepat pada tanggal 4 sampai 6 September 2022, Indonesia yang diwakili oleh Presiden
Jokowi menerima tamu kehormatan dari Filipina, yaitu kedatangan Presiden Ferdinand
Macos Jr atau Bong Bong yang akan membicarakan beberapa kesepakatan negara dalam
bidang kerjasama-kerjasama ekonomi, militer dan politik.

Namun, kami dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) ingin mengingatkan kepada Presiden
Joko Widodo, agar di dalam pertemuan juga melakukan pembahasan terkait memberikan
perlindungan sejati kepada warga negaranya yang menjadi pekerja migran di luar negeri.
Terlebih Indonesia dan Filipina merupakan negara pengirim tenaga kerja ke luar negeri.
Pertemuan kali ini kami harapkan sebagai pertemuan untuk membahas pembebasan Mary
Jane Veloso juga membahas mekanisme dan waktu pemberian kesaksian Mary Jane Veloso
dalam memberikan kesaksian atas sidang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang
sedang berlangsung di Filipina.

Kami juga meminta kepada Presiden Joko Widodo memberikan ampunan kepada Marry Jane,
Meri Utami dan membebaskan Buruh Migran Indonesia yang sedang menghadapi hukuman
mati di berbagai negara tujuan penempatan, termasuk juga Tutik seorang buruh migran asal
Indonesia. Terlebih Mary Jane merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang yang
seharusnya korban tidak bisa dipidana.

Pembebasan Marry Jane khususnya akan menjadi nilai diplomatik yang tinggi bagi politik
bargaining Indonesia dalam meningkatkan kerjasama khususnya dengan Filipina dan upaya
perlindungan dan dukungan pembebasan ratusan Warga Negara Indonesia yang mayoritas
pekerja migran yang kini sedang menghadapi hukuman mati di berbagai Negara. Namun
upaya ini perlu dibarengi juga dengan penghapusan hukuman mati dalam sistem hukum
pidana nasional sebagai legitimasi dalam mengupayakan politik diplomasi dalam
membebaskan buruh migran yang menghadapi hukuman mati atau menunggu eksekusi mati.

Bebaskan Mary Jane Veloso !!!
Bebaskan Merry Utami !!!
Bebaskan Tutik !!!
Hapus Hukuman Mati !!!

Jakarta, 6 September 2022

Hormat kami
Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

Narahubung
Wiwin Warsiating: 0812 8338 0486
Nixon Randy Sinaga: 0822 4114 8034

Putusan Komisi Informasi Pusat: Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tidak Memiliki Dokumen Penelitian Narkotika Jenis Ganja untuk Kepentingan Medis

Pada Senin (22/08/22), Komisi Informasi Pusat (KIP) Republik Indonesia (RI) melaksanakan sidang dengan agenda pembacaan putusan ajudikasi hasil mediasi sengketa informasi antara Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI dengan nomor perkara: 020/IX/KIP-PS-A-M/2020, Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan nomor perkara: 021/IX/KIP-PS-A-M/2020, dan Kementrian Kesehatan RI dengan nomor perkara: 022/IX/KIP-PS-A-M/2020.

Putusan yang dibacakan oleh Majelis Komisioner KIP RI menyatakan bahwa para pihak dalam hal ini BNN RI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementrian Kesehatan RI belum pernah melakukan penelitian dan/atau menerima penelitian terkait dengan kandungan narkotika jenis ganja sehingga tidak bisa memberikan dokumen dan/atau informasi yang dimohonkan.

Oleh karena itu, berdasarkan putusan sengketa informasi yang dibacakan oleh Majelis Komisioner KIP tersebut, LBHM merasa kecewa karena masing-masing termohon tidak dapat memberikan dokumen dan/atau informasi yang dimohonkan. Hal ini memunculkan pertanyaan atas dasar apa termohon informasi menyampaikan penjelasan tentang kandungan narkotika jenis ganja yang belum pernah diteliti secara resmi dalam bentuk penelitian. Sebagai perwakilan negara, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementrian Kesehatan RI tidak sepatutnya menyatakan bahwa narkotika jenis ganja tidak dapat digunakan untuk kepentingan medis tanpa dasar penelitian yang jelas yang dapat diakses oleh publik secara luas.

Sebagai informasi, keputusan sengketa informasi di atas adalah hasil dari permohonan informasi yang telah dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang diwakili oleh LBHM pada 2020 kepada BNN RI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan RI terkait dengan informasi:

  1. Laporan penelitian yang menyatakan bahwa sudah pernah ada penelitian ganja di Indonesia yang mana kandungan THC ganja di Indonesia lebih tinggi dan CBD-nya rendah;
  2. Laporan penelitian yang menyatakan bahwa ganja di Indonesia tidak melalui rekayasa genetik;
  3. Laporan penelitian yang menyimpulkan penggunaan ganja di Indonesia lebih banyak untuk rekreasional, bukan untuk kepentingan medis;
  4. Laporan penelitian bahwa ganja meningkatkan angka orang sakit dan kematian.

Informasi-informasi di atas disampaikan di dalam rapat koordinasi antar lembaga-lembaga yang diprakarsai oleh Badan Narkotika Nasional guna menyiapkan jawaban Indonesia untuk komite ahli ketergantungan obat World Health Organization (WHO).

Selain mengajukan permohonan informasi, pada tahun 2020 Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan melakukan permohonan Uji MateriIl larangan narkotika untuk pelayanan kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara: 106/PUU-XVIII/2020. Putusan Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemerintah untuk segera melakukan penelitian atas manfaat ganja medis bagi kesehatan.

Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa contoh pemanfaatan narkotika jenis ganja untuk keperluan medis, yakni kasus Fidelis Arie pada 2017 dan kasus Reyndhart Siahaan pada 2020. Kemudian, ada juga tiga orang ibu yakni Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayanti yang menggunakan narkotika jenis ganja untuk pengobatan anak-anaknya menderita penyakit menderita Cerebral Palsy dan sekaligus juga menjadi Pemohon Uji Materiil di MK.

Sebagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat, penting untuk melakukan penelitian narkotika jenis ganja di bidang medis sebagai praktik baik yang harus segera dilakukan demi merespon perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus juga melaksanakan amanat pasal 13 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Jakarta, 1 September 2022

Hormat kami,

LBHM

Kontak:

Ma’ruf: 0812-8050-5706

Awaludin Muzaki: 0812-9028-0416

Hasil putusan KIP bisa diakses melalui tautan berikut:

Putusan Mediasi Nomor 020/IX/KIP-PS-A-M/2020 antara LBHM dan BNN

Putusan Mediasi Nomor 021/IX/KIP-PS-A-M/2020 antara LBHM dan Polri

Putusan Mediasi Nomor 022/IX/KIP-PS-A-M/2020 antara LBHM dan Kemenkes

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+

Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu kelompok yang sering mendapatkan ancaman keselamatan ketika sedang menjalankan tugas-tugasnya. Persekusi dari aktor negara ataupun aktor privat berdampak pada kesehatan fisik dan psikis dari para pembela HAM. Hal yang sama terjadi kepada pembela HAM yang fokus pada individu-individu LGBTIQ+ di Indonesia. Tingginya kasus krisis yang dialami oleh individu LGBTIQ+— paralegal Konsorsium CRM mencatat 51 kasus pada tahun 2021—menimbulkan beban fisik dan mental bagi pembela HAM LGBTIQ+/

Berangkat dari hal tersebut, Konsorsium CRM bersama dengan Jaringan Transgender Indonesia dan perEMPUan melalui dukungan Program Voice Indonesia memproduksi Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia. Kami berharap panduan ini bisa digunakan seluas-luasnya ketika pembela HAM LGBTIQ+ mengalami dampak negatif stress ketika menjalankan tugasnya. Selain memberikan panduan praktis untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk, panduan ini juga memberikan kontak layanan lanjutan kesehatan mental yang ramah LGBTIQ+ di Indonesia.

Unduh laporan selengkapnya dengan menekan tautan di bawah:

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia

PENGUMUMAN PESERTA LIGHTS 2022 TERPILIH

LBHM mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah mengirimkan aplikasi untuk turut serta dalam Living the Human Rights (LIGHTS) 2022. Sebuah keputusan sulit bagi kami menyeleksi aplikasi-aplikasi yang luar biasa bagus, tapi dengan segala keterbatasan kami hanya dapat memilih 12 nama peserta yang dalam turut serta dalam LIGHTS 2022. Berikut adalah 12 nama peserta yang terpilih:

  1. Kevin Aryatama
  2. Rajendra Amira
  3. Osan Ramdan
  4. Dararima Sani
  5. Ahmad Faiz Muzaki
  6. Suparno
  7. Ayu Dio Nuril Istihgfara
  8. Thalita Avifah Yuristina
  9. Nikita Mas Berlian Situmeang
  10. Yamanan
  11. Raham Abyasa Dirgantara
  12. Zana Chobita Eretusa

Kematian Brigadir J: Proporsionalitas ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR

Ancaman hukuman mati di kasus tewasnya almarhum Brigadir J menyeret aktor baru yaitu Brigadir RR sebagai ajudan atau sopir istri FS. Brigadir RR ditetapkan sebagai tersangka oleh Timsus pada Minggu, 7 Agustus 2022 dengan tuduhan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 Jo. Pasal 55 Jo. Pasal 56 KUHP) dengan ancaman pidana mati.

Pidana mati masih diakui dalam hukum pidana di Indonesia tetapi penerapannya kontradiktif dengan norma hak asasi manusia, yaitu hak hidup. Meskipun kasus ini menyebabkan terenggutnya nyawa Brigadir J, pemberian ancaman hukuman mati bukan sebagai saluran balas dendam. Terlebih Brigadir RR justru rentan menjadi pihak yang diperdaya oleh aktor utama yang memiliki kewenangan dan kekuasaan memberi perintah.

Penggunaan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR seolah menjadi solusi jitu untuk kasus ini. Padahal, kepastian akan peran Brigadir RR dalam kematian Brigadir J masih menjadi polemik di tengah ketidakjelasan keberadaan pelaku lain yang mungkin menjadi dalang dalam perkara ini. Belum jelas apakah ada pelaku lain dan bagaimana relasi pelaku tersebut dengan Brigadir RR. Di tengah ketidakjelasan ini, bukan tidak mungkin Brigadir RR memiliki peranan minor yang tingkat kesalahannya jauh di bawah pelaku utama.

Kemungkinan adanya relasi kuasa atas nama perintah atasan dapat memaksa Brigadir RR yang berstatus sebagai ajudan atau sopir istri FS bertindak bukan atas dasar kehendak dan nuraninya sendiri. Pada tahap ini, pelaku-pelaku minor seharusnya mendapat perlindungan agar dapat membantu mengungkap pelaku utama, daripada mengancam mereka dengan pidana mati secara tidak proporsional.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM mendesak:
1. Kapolri untuk menghentikan penerapan pasal dengan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR dalam kasus kematian Brigadir J;
2. Timsus segera mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain dan menjelaskan relasinya dengan Brigadir RR;
3. Memberikan perlindungan kepada saksi dan keluarga korban kasus pembunuhan Brigadir J untuk membantu mengungkap kejelasan perkara;
4. Menghormati standar hak asasi manusia dalam proses penyidikan kematian Brigadir J dan melakukan penyidikan secara transparan serta berbasis scientific crime investigation:
5. Melakukan investigasi secara proporsional dengan tidak hanya menyasar pelaku-pelaku pembantu dengan peran minor.

Jakarta, 8 Agustus 2022
LBHM

Pernyataan Bersama Merespons Eksekusi Mati Pembela HAM di Myanmar

Jakarta, 27 Juli 2022 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mengecam ekesekusi mati yang dilakukan oleh Pemerintahan Junta Militer Myanmar terhadap tiga orang aktivis prodemokrasi, yakni TMP Phyo Zeya Thaw, Kyaw Min Yu, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, pada tanggal 25 Juli 2022. Pernyataan sikap ini kami ajukan bersama dengan Anti-Death Penalty Asia Network (ADPAN), Capital Punishment Justice Project, (CPJP), Eleos Justice, Monash University, Malaysians Against Death Penalty and Torture (MADPET), Odhikhar, Taiwan Alliance to End the Death Penalty, ECPM (Together Against the Death Penalty) dan Transformative Justice Collective.

Eksekusi yang dilakukan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Bukan hanya merampas nyawa orang lain, pemerintah Myanmar juga tidak memberikan hak atas peradilan yang adil berupa hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk melakukan banding. Kami mendesak Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan komunitas internasional untuk bersama-sama mengecam eksekusi tersebut dan melakukan advokasi bagi orang-orang yang terancam dengan eksekusi mati di Myanmar.

Baca pernyataan lengkap kami pada tautan berikut:

Anti-Death Penalty and Human Rights organisations outraged by the execution of human rights defenders by the Myanmar Military Junta

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial – Pendokumentasian di Tiga Rutan

Hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial) merupakan prinsip dasar dan bentuk manifestasi dari perlindungan hak asasi manusia. Prinsip ini mutlak harus menjadi pondasi dalam berjalannya sistem peradilan pidana secara terpadu di Indonesia sebagaimana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sayangnya, fakta dan realitas justru berkata lain. Berbagai hak dasar seorang tersangka maupun terdakwa yang berhadapan dengan proses hukum kerap terlanggar, mulai dari pemeriksaan tingkat kepolisian sampai dengan tingkat pengadilan. Pandemi COVID-19 yang menyebabkan penumpukan jumlah tahanan di Rutan Kepolisian turut berkontribusi pada pelanggaran hak-hak ini.

Pada semester pertama tahun 2021, LBHM telah mempublikasi hasil dokumentasi kegiatan penyuluhan dan konsultasi hukum di 2 (dua) rumah tahanan di Jakarta, yakni Rumah Tahanan Kelas I Cipinang (Rutan Cipinang) dan Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur (Rutan Pondok Bambu). Publikasi kali ini merupakan kelanjutan dari hasil kegiatan penyuluhan hukum yang terakumulasi pada periode kedua, yakni bulan Juli sampai dengan Desember 2021, yang mengumpulkan 350 responden.

Keterangan para responden memberikan indikasi pelanggaran hak atas bantuan hukum, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk peradilan yang adil dan bersih. Selain itu, masifnya penindakan perkara narkotika pada periode ini turut membuat kita berpikir ulang apakah sistem penegak hukum telah secara serius berupaya mengedepankan keadilan restoratif dan mengatasi kelebihan kapasitas di penjara-penjara Indonesia.

Publikasi ini dapat dibaca lebih lanjut pada tautan berikut:

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial: Pendokumentasian Kegiatan Penyuluhan dan Konsultasi Hukum di Tiga Rumah Tahanan Wilayah DKI Jakarta Sepanjang Tahun 2021

Hakim dan Panitera ditangkap kasus narkotika: BNN dan Mahkamah Agung saatnya reformasi kebijakan narkotika

Jakarta, 23 Mei 2022 – Dua Hakim dan seorang Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung ditangkap oleh BNN Provinsi Banten. Informasi penangkapan ini menunjukan bahwa kasus narkotika telah juga menyentuh sampai pengetok palu keadilan.

Potret penanganan kasus narkotika yang menimpa Hakim dan aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung menunjukan realitas lapangan bahwa perang terhadap narkotika (war on drugs) telah gagal menyelamatkan aparatur penegak hukum (APH) dari jerat narkotika. Realitas ini seyogyanya dijadikan bahan evaluasi pendekatan penanganan narkotika yang selama ini lebih mengedepankan penegakan hukum daripada kesehatan.

Pada sisi lain, penangkapan yang menyasar Hakim dan Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung menunjukan bahwa persoalan narkotika dapat menyasar kalangan manapun, termasuk institusi Pengadilan atau APH lainnya. Dengan demikian, pimpinan Mahkamah Agung sebagai atasan dari Hakim dan Aparatur Pengadilan ini tidak bisa menghindar dari kasus ini.

Lebih mendasar dari itu, persoalan orang dengan ketergantungan narkotika yang menjalani proses hukum sangat erat kaitannya dengan menguatnya perkembangan paradigma sosial yang melabeli narkotika, termasuk penyalahgunaan narkotika sebagai sesuatu yang negatif dan dikategorikan melanggar hukum. Kondisi ini khawatir memberikan justifikasi, terutama APH untuk menggunakan sanksi tinggi. Dalam konteks kasus dua Hakim dan aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung ini berpotensi menambah berat hukuman yang diterapkan, mengingat berprofesi sebagai APH di Pengadilan.

Penanggulangan narkotika yang diterapkan seperti itu akan berdampak terhadap stagnannya perubahan kebijakan narkotika yang saat ini sedang direvisi oleh DPR. Padahal berkaca temuan lapangan, kebijakan narkotika saat ini telah terbukti gagal karena hanya memberikan social cost yang tinggi dengan berkontribusi terhadap beban penegakan hukum dan overcrowding penjara, yang faktanya didominasi kasus-kasus narkotika. Oleh karena itu, Mahkamah Agung sebagai salah satu pengampu sistem peradilan pidana, perlu mengedepankan formula penanggulangan narkotika yang bukan menghukum.

Basis hukum yang dimiliki Mahkamah Agung pada saat ini sesungguhnya cukup memadai sebagaimana termaktub dalam SE Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan Peraturan Bersama yang disusun oleh Ketua Mahkamah Agung, Kepala Polri, Jaksa Agung, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Menteri Hukum dan HAM Tahun 2014 Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Pertanyaannya, apakah regulasi tersebut akan diimplementasikan secara konsisten?

Berdasarkan uraian di atas, LBHM mendesak:

Pertama, BNN mengungkap secara rinci dan transparan kepada publik terkait penanganan kasus yang menimpa dua Hakim dan seorang Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung; dan

Kedua, Mahkamah Agung melakukan pembinaan terhadap dua Hakim dan seorang Aparatur Pengadilan Negeri Rangkasbitung yang terlibat penyalahgunaan narkotika dengan mengedepankan pendekatan kesehatan dibandingkan proses hukum.

Narahubung:
M. Afif Abdul Qoyim: 081320049060
Yosua Octavian: 081297789301