Rilis Pers – Tidak Perlu Belajar dari Filipina

LBH Masyarakat mengecam keras pernyataan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian yang menyatakan ingin memberlakukan tembak di tempat bagi pengedar gelap narkotika. Kapolri kemudian juga menyebut kebijakan keras Presiden Rodrigo Duterte di Filipina sebagai pembanding.

Kami memandang pernyataan ini bermasalah dalam beberapa konteks. Pertama, kebijakan tembak di tempat akan sangat rawan menimbulkan insiden salah tembak. Korban yang mungkin muncul dari salah tembak tersebut antara lain anggota penegak hukum dalam penyamaran dan sipil yang tak bersalah. Hal seperti ini telah terjadi dalam kebijakan Presiden Rodrigo Duterte di mana satu orang pengusaha dari Korea Selatan tertembak dalam operasi tok hang. Kejadian itu menuai kecaman internasional dan membuat hubungan diplomatik kedua negara sempat memburuk.

Kedua, kebijakan tembak di tempat akan merugikan upaya supply reduction dalam skala besar. Menembak mati seorang pengedar gelap artinya memutus rantai informasi penting yang amat diperlukan bagi Indonesia untuk meminimalisir peredaran gelap narkotika. Penyidikan yang dilakukan secara baik tanpa menghilangkan nyawa seseorang semestinya justru dapat mengungkap sindikat peredaran gelap narkotika yang lebih besar.

Ketiga, kami memandang wacana kebijakan ini sebagai strategi yang dibuat-buat untuk membangun kesan bahwa Polri betul-betul bekerja untuk mengentaskan peredaran gelap narkotika. Padahal yang perlu Polri lakukan pertama kali adalah memastikan dirinya bersih dari oknum yang ikut melindungi peredaran gelap narkotika, bukan mencari jalan pintas dengan menghilangkan nyawa manusia. Kita tidak bisa membersihkan sesuatu dengan sapu kotor.

Keempat, Polri memiliki isu lain yang tak kalah mendesak untuk diselesaikan. Sebagai contoh, Polri belum berhasil menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan yang penyidikannya sudah berlangsung lebih dari seratus hari. Kebijakan heroisme semu yang diimpor dari negara dengan rapor hitam hak asasi manusia adalah hal yang terakhir yang kita perlukan saat ini.

Kelima, kebijakan semacam ini tidak akan memberikan efek baik dalam waktu jangka panjang. Negara Thailand di bawah kepemimpinan Thaksin Shinawatra pernah menerapkan kebijakan yang kurang-lebih sama dengan apa yang dilakukan Duterte saat ini. Dalam periode yang singkat, jumlah narkotika yang beredar memang berkurang. Namun, pembunuhan-pembunuhan ini tidak akan menyasar orang-orang yang menguasai sindikat peredaran gelap narkotika. Target-target sasaran selalu orang-orang yang ada di rantai komando paling bawah, yang ketika mereka tiada selalu bisa digantikan posisinya oleh orang lain. Hal ini akan menyebabkan pembunuhan akan terus terjadi tanpa benar-benar menyelasaikan akar masalah. Lalu kita pun akhirnya sadar terlalu banyak nyawa hilang untuk sebuah kesia-siaan.

Atas argumen-argumen di atas, kami meyakini bahwa kebijakan tembak di tempat terhadap pengedar gelap narkotika tidak diperlukan dan Indonesia punya kemampuan untuk mengatasi peredaran gelap narkotika secara lebih cerdas dan humanis - karena setiap manusia berharga.

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Pengumuman Peserta Terpilih LIGHTS 2017

Pengumuman Pendaftar Living The Human Rights (LIGHTS) 2017 yang lulus seleksi!

Selamat kepada nama-nama di bawah ini:

  1. Alfhatin Pratama
  2. Alinna Izmi Riyanto
  3. Muhammad Al Ayyubi
  4. Muhammad Rifqi Darmawan
  5. Muhammad Wildan Teddy
  6. Nadiah Agustin
  7. Sifa Lutfy

Berikut peserta di luar Pulau Jawa yang mendapatkan beasiswa:

  1. Adi Rahmad – Pontianak
  2. Aris Rinaldi – Aceh
  3. Raniansyah Rahman – Makassar
  4. Tiffany – Batam

LBH Masyarakat mengucapkan terima kasih kepada semua pendaftar atas semangatnya untuk belajar dan memahami hak asasi manusia. Mengingat kuota yang terbatas, LBH Masyarakat sangat menyesal belum bisa menerima seluruh peserta. Kami berharap para peserta dan generasi muda lainnya dapat mengikuti program HAM LBH Masyarakat lainnya di kesempatan mendatang. Pantau terus melalui website kami di www.lbhmasyarakat.org atau facebook @LBHM.id dan Twitter serta Instagram kami di @lbhmasyarakat.

Bagi peserta yang tertera namanya di atas mohon melakukan konfirmasi dengan menyebutkan nama lengkap dan universitas ke Gilbert Lianto (0812 6757 1330)

Program LIGHTS (Living The Human Rights) 2017

LIGHTS adalah program pengenalan HAM intensif bagi mahasiswa/I fakultas hukum atau non-hukum yang sudah diadakan sejak tahun 2008. Dalam program ini, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjugi lembaga-lembaga negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga memiliki perhatian pada pemenuhan HAM. LIGHTS 2017 akan diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 31 Juli 2017 hingga 11 Agustus 2017.

Di tahun pelaksanaannya yang kesembilan ini, tersedia kesempatan bagi calon peserta yang berasal dari luar pulau Jawa untuk mendapatkan beasiswa secara penuh, yang meliputi;

– Tiket Pesawat (PP),

– Akomodasi, serta

– Uang saku

Untuk persyaratan calon peserta LIGHTS 2017 antara lain:

  1. Mahasiswa aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri.
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua Fakultas,
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang dapat diunduh di website LBH Masyarakat (https://www.lbhmasyarakat.org/)
  4. Menyerahkan CV
  5. Menyerahkan Essay tentang “Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia ” (diketik 800-1.000 kata). (terdapat di form pendaftaran)
  6. Bagi pelamar beasiswa, menyerahkan essay tentang, “Bagaimana partisipasi dalam LIGHTS 2017 dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar Anda?” (diketik 300-500 kata) (terdapat di form pendaftaran)

Unduh formulir pendaftaran dengan klik tautan ini.

Kirim formulir dan persyaratan ke glianto@lbhmasyarakat.org

Pedaftaran dibuka hingga 16 Juli 2017 

Narahubung: Gilbert (0812 6757 1330)

Policy Paper: Overdosis Pemenjaraan, Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika

Di tahun 2017 ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memasuki tahun ke-delapan. Tentu ketika UU Narkotika ini dibuat, harapan para pembuat kebijakan sangat tinggi terhadap kesuksesan UU Narkotika dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Apalagi, seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pemerintah lain yang memiliki peran dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika telah mengeluarkan beberapa kebijakan internal yang ditujukan untuk mengoptimalkan implementasi UU Narkotika itu sendiri. Pada faktanya, bukan hanya angka pengguna narkotika yang meningkat, tetapi juga jumlah terpidana kasus narkotika, baik yang dipidana dengan label ‘pengguna’ maupun ‘pengedar’ – sebuah pengkategorian yang tidak tepat, yang menjadi bukti dari ketidakjelasan peraturan hukum dalam membedakan pengguna narkotika dengan pelaku peredaran gelap narkotika.

Persoalan ketidakjelasan aturan hukum dalam membedakan pengguna dengan pelaku peredaran gelap narkotika ini berujung pangkal pada penggunaan terminologi pengguna pada UU Narkotika. UU Narkotika menggunakan tiga terminologi, ‘penyalahguna’, ‘korban penyalahguna’, dan ‘pecandu’. Dengan menggunakan konstruksi logika seperti ini, UU Narkotika telah gagal melihat luasnya spektrum tipe pemakai narkotika. Kegagalan ini berujung pada keterbatasan akses rehabilitasi bagi mereka yang sebaiknya mendapatkan pendekatan kesehatan, serta kebijakan kriminalisasi yang berlebihan. Kebijakan kriminalisasi yang berlebihan ini berdampak besar pada tingginya tingkat kelebihan muatan (overcrowd) di penjara, yang saat ini telah mencapai 74% lebih banyak daripada daya tampungnya.

Saat ini sedang terjadi beberapa upaya perubahan regulasi yang akan berpengaruh besar terhadap situasi kebijakan narkotika di Indonesia. Upaya tersebut diantaranya adalah revisi UU Narkotika, revisi RKUHP, serta revisi PP No. 99 tahun 2012. Masyarakat sipil, termasuk kelompok pengguna narkotika, memiliki peran besar dalam memastikan perubahan regulasi ke arah yang lebih baik, yang lebih humanis, serta mengutamakan pendekatan kesehatan dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika.

Dalam kertas posisi ini, LBH Masyarakat menegaskan kembali posisinya terhadap kebijakan pemidaan bagi pemakai narkotika, membedah potensi serta tantangan yang muncul dari serangkaian kebijakan internal lembaga terkait dengan pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, serta memberikan rekomendasi guna memaksimalkan upaya perubahan regulasi ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan pendekatan kesehatan. Kertas posisi ini merupakan yang pertama dari beberapa kertas posisi lainnya terkait dengan regulasi narkotika di Indonesia yang akan kami sajikan secara bertahap.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Akses policy brief ” Overdosis Pemenjaraan: Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika” , yang ditulis oleh Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero pada tautan ini.

Rilis Pers – Menghapus Stigma Pada Pemakai Narkotika: Perjalanan Masih Panjang

Rilis pers ini telah disebarkan pada konferensi pers mengenai \”Koreksi dan Klarifikasi atas Pemberitaan Media terhadap Peristiwa Penolakan Penumpang Batik Air\” yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) pada 7 Juni 2017. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Andhika dan Edo Agustian dari PKNI, Yohan Misero dari LBH Masyarakat, serta Asmin Fransiska dari Unika Atmajaya. Acara ini sendiri dimoderatori oleh Totok Yulianto dari PBHI.

 

LBH Masyarakat menyesalkan peristiwa diturunkannya dua rekan kami dari Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dari Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7010 pada Selasa, 30 Mei 2017 lalu. LBH Masyarakat percaya bahwa persoalan seperti ini dapat diselesaikan dengan jauh lebih elok apabila seluruh pihak beritikad baik.

Problem ini jadi melebar karena 2 hal. Yang pertama adalah persoalan pemberitaan. Tidak bijak rasanya menyebutkan nama orang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri dari persoalan adiksinya di media. Selain karena hal tersebut mengganggu proses pemulihannya karena terdistraksi oleh hal-hal yang tidak substansial, persoalan penyebutan identitas tersebut juga adalah pelanggaran terang-terangan kepada kerahasiaan medis. Hal ini bisa saja dipermasalahkan lebih jauh. Oleh karena itu, kami menghimbau pada rekan-rekan media untuk bersama-sama mengevaluasi diri agar hal demikian tidak terjadi lagi di kemudian hari. Selain itu di Indonesia, memakai narkotika masih dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal. Maka penyebutan nama seseorang yang sedang berjuang untuk memulihkan diri, secara tidak langsung juga telah menciderai hak orang tersebut untuk memiliki pekerjaan karena masih banyak pemberi kerja, yang secara tidak tepat, mendiskriminasi rekan-rekan pemakai narkotika.

Hal kedua yang menyebabkan problem ini melebar adalah cara maskapai dan Kementerian Perhubungan menyelesaikan permasalahan ini. Langkah maskapai untuk menurunkan kawan-kawan PKNI dari pesawat tidaklah bijak karena sebenarnya hal-hal ini dapat dikomunikasikan dengan lebih baik sehingga penerbangan dapat berjalan semestinya tanpa menimbulkan insiden yang tidak perlu. Kemudian yang paling disesalkan ialah respon dari Kementerian Perhubungan. Selepas peristiwa ini rekan-rekan PKNI mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan, yang setelah lama menunggu akhirnya direspon. Surat itu sayangnya hanya menegaskan dan membenarkan langkah yang diambil maskapai tanpa ada niat untuk duduk bersama membicarakan apa yang terjadi. Surat itu, yang lebih menggelikan, juga hanya menggunakan berita daring sebagai sumber utama fakta yang dipertimbangkan. Seharusnya Kemenhub dapat memitigasi peristiwa ini dengan fair, bukannya memandang enteng seperti ini.

Berkaca pada peristiwa ini ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Namun yang terpenting adalah pemahaman bahwa menghapus stigma pada pemakai narkotika merupakan perjalanan yang masih panjang. Stigma yang memang berasal dari kebijakan punitif dan kampanye yang berat sebelah dari negara. Pemakai narkotika masih dipandang berbahaya sedemikian rupa hingga harus diturunkan dari pesawat begitu saja. Pemakai narkotika, sayangnya, terus dipandang sebagai sampah masyarakat yang namanya dapat diumbar ke mana-mana tanpa perlu memperhatikan etika medis dan jurnalistik. Tak perlu jauh berharap pada perubahan kebijakan dari pemerintah, ketika masyarakat masih terus diajak untuk menyudutkan pemakai narkotika. Bagaimana kita dapat berharap ada perubahan prilaku ketika kita terus memusuhi dan bukan merangkul rekan-rekan pemakai narkotika? Bukankah seseorang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri ini baiknya dibantu bukannya disingkirkan?

Berikutnya, cara Kemenhub memitigasi masalah masih menunjukan betapa pemakai narkotika ditempatkan sebagai warga kelas II. Rekan-rekan PKNI tidak diberikan media untuk dapat menerangkan peristiwa tersebut dari kacamata mereka. Kemenhub memandang bahwa dua berita dari media daring lebih berarti daripada pernyataan langsung dari rekan-rekan PKNI ini. Seharusnya Kemenhub mendudukan rekan-rekan PKNI ini dan maskapai yang terkait di satu meja agar jelas duduk perkaranya sehingga dapat mencapai satu solusi yang dapat diterima semua pihak.

Namun ketika rasa takut, dan bukannya pengetahuan, yang masih jadi raja, entah sampai kapan kejadian-kejadian seperti ini akan berulang.

 

 

Jakarta, 7 Juni 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Laporan Tahunan LBH Masyarakat Tahun 2016

Seperti berada dalam lorong gelap” , potongan kalimat ini dikutip dari catatan Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan ketika menggambarkan posisi LBH Masyarakat sepanjang tahun 2016. Di tahun itu, LBH Masyarakat kembali kehilangan sahabat karena pemerintah Indonesia  -sekali lagi- melaksanakan perayaan eksekusi mati. Dilanda sendu, LBH Masyarakat tetap berusaha bangkit untuk terus menjadi setitik harapan bagi masyarakat Indonesia yang terlanggar haknya. Atas keteguhannya, LBH Masyarakat meraih beberapa pencapaian. Kami rangkum perjalanan LBH Masyarakat sepanjang tahun 2016 dalam laporan tahunan yang dapat diunduh pada tautan ini.

Eksekusi Mati IV: Menukar Nyawa dengan Suara

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras pernyataan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo yang mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantungi sejumlah nama terpidana mati untuk dieksekusi dan bahwa eksekusi jilid IV akan digelar, sekalipun waktu pastinya belum bisa ditentukan. Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung hari Jumat, 19 Mei 2017, di hadapan kawan-kawan media. Lebih lanjut Prasetyo menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) perihal pembatasan waktu pengajuan grasi.

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak ubahnya sebuah manuver politik untuk mencari popularitas di tengah miskinnya prestasi Kejaksaan Agung. Di saat politik hukum Pemerintah mengarah ke pembatasan keberlakuan hukuman mati seperti tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun pernyataan Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan terakhir, pernyataan Jaksa Agung itu justru bertolak belakang dengan gestur Presiden sebagai atasannya maupun dengan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Ricky melanjutkan, “setidaknya ada dua hal yang Jaksa Agung bisa prioritaskan daripada meneruskan praktik eksekusi mati yang terbukti tidak menurunkan angka kejahatan narkotika. Pertama, mengevaluasi eksekusi jilid III kemarin yang carut-marut penuh dengan permasalahan. Melanjutkan gelombang eksekusi padahal eksekusi terakhir menyisakan banyak pertanyaan menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah belajar dari kesalahan dan berpotensi mengulang pelanggaran yang sama. Kedua, Jaksa Agung sebaiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi hutang kampanye Jokowi sebagaimana tercantum di dalam Nawacita.”

Sehubungan dengan rencana Kejaksaan Agung meminta pendapat MA terkait dengan pembatasan waktu grasi padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa grasi tidak dibatasi oleh waktu, Ricky menegaskan bahwa, “Jaksa Agung melakukan kesalahan dengan meminta fatwa MA terkait putusan MK. Tidaklah pada tempatnya Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini bukan saja memperlihatkan ketidakpahaman Jaksa Agung yang fatal mengenai sistem hukum Indonesia tetapi juga Jaksa Agung telah mengangkangi kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.”

Ricky juga mengingatkan bahwa, “Indonesia baru saja selesai diperiksa di Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), dan persoalan hukuman mati mendapat banyak sorotan dan catatan buruk dari banyak negara. Tindakan Jaksa Agung yang hendak meneruskan eksekusi mati hanya akan melanggengkan citra buruk Indonesia di hadapan komunitas internasional. Pada UPR kemarin, 28 negara memberikan rekomendasi moratorium dan abolisi. Jumlah ini meningkat sembilan kali lipat dari UPR sebelumnya di tahun 2012, di mana hanya ada 3 negara yang memberikan rekomendasi serupa.”

“Di tengah goyahnya pemerintahan Jokowi ditempa berbagai permasalahan kebangsaan, dari meningkatnya sentimen intoleran hingga belum terungkapnya serangan terhadap Novel Baswedan, janganlah Jaksa Agung menggunakan eksekusi mati sebagai langkah populis untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tersebut. Di saat sistem hukum Indonesia penuh dengan kebobrokan, akan selalu ada orang-orang yang tidak bersalah divonis mati atau mengalami proses hukum yang cacat, sebagaimana ditunjukkan di tiga gelombang eksekusi terakhir,” tambah Ricky.

Dipilihnya terpidana mati narkotika sebagai orang-orang yang akan dieksekusi Kejaksaan Agung di eksekusi jilid IV kembali memperlihatkan kebebalan pemerintah dalam mengatasi persoalan narkotika. Berdasarkan catatan LBH Masyarakat, sepanjang 2016, setidaknya terdapat 120 artikel berita yang melaporkan peristiwa pengendalian narkotika dari dalam lapas, dan 729 artikel berita mengenai penggrebekan peredaran narkotika dalam skala besar, di mana terdapat lebih dari 4.200 kg shabu dan 5.700 kg ganja disita oleh aparat. “Tidakkah cukup kasat mata bahwa eksekusi mati gagal mengatasi kejahatan narkotika? Apa lagi yang dicari Pemerintah dengan meneruskan eksekusi ketika tujuan dilakukannya eksekusi itu tidak tercapai? Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksekusi jilid IV dan menerapkan moratorium, serta mengkaji kembali kasus-kasus hukuman mati dengan tujuan perubahan hukuman. Secara khusus, Presiden Jokowi perlu segera mencopot Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung karena kinerjanya yang buruk dan telah melakukan sejumlah kesalahan hukum,” jelas Ricky.

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Adiksi pada Strategi yang Wanprestasi

Perang bukanlah kata yang manis. Ia hadir dengan beragam implikasi. Walau Indonesia kini hidup di zaman damai, bukan berarti tidak ada lagi perang di negeri ini, setidaknya menurut pemerintah. Sebuah perang yang saat ini dihadapi oleh pemerintah adalah perang terhadap narkotika, sebuah jargon yang kerap kali digunakan untuk meningkatkan sentimen negatif masyarakat terhadap narkotika dan penggunaannya.

Dalam perang ini, salah satu alat yang paling penting adalah kebijakan. Setelah seruan perang terhadap narkotika yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo di awal periode ia menduduki kursi kepresidenan, penegak hukum kemudian makin memasifkan duapendekatan guna merespon situasi perang ini. Sayangnya, kedua respon ini, yaitu pemenjaraan dan hukuman mati, sejauh ini belum memperlihatkan hasil signifikan terhadap perbaikan situasi. LBH Masyarakat, dengan tahun-tahun pengalamannya dalam menangani kasus narkotika, memandang upaya perang terhadap narkotika ini sebagai sesuatu yang usang.

Upaya ini telah dicoba berbagai negara, bahkan dilengkapi dengan tiga kovenan internasional yang khusus mengatur mengenai narkotika. Namun semua ini belum berhasil mengentaskan perdagangan gelap narkotika. Selayaknya perang-perang lainnya, perang terhadap narkotika juga dilengkapi dengan sebaran propaganda. Propaganda tersebut didatangkan langsung ke telepon genggam kita dalam wujud berita dalam jaringan (daring). LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumentasi media daring terhadap dua isu terkait dengan narkotika.

Isu pertama mengenai penangkapan skala besar (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PSB), dan isu kedua mengenai pengendalian narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PDL). Pemilihan kedua isu ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa pemantauan media terhadap kedua isu ini dapat menunjukkan tingkat efektivitas dari kedua pendekatan keras yang diambil pemerintah, serta elemen-elemen lain yang menarik yang terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Kami berharap hasil pemantauan ini dapat bermanfaat dalam proses dialog menuju perubahan kebijakan narkotika yang lebih baik. Kami pun sepakat bahwa peredaran gelap narkotika perlu negara atasi. Tetapi, kebijakan narkotika – sama halnya seperti kebijakan negara lainnya – haruslah menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta berbasis bukti.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan berikut.

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657