[KOMIK EPISODE 01] Perjuangan Orang dengan Sindroma Down Mengakses Hak Dasarnya di Indonesia

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode pertama ini menceritakan kehidupan orang dengan Sindroma Down yang masih harus menghadapi berbagai tantangan.

[SIARAN PERS] PTUN Jakarta Mengabulkan Eksepsi Jaksa Agung: Hak atas Bebas dari Penyiksaan bagi Merri Utami Dipertanyakan

Pada tanggal 7 Desember 2023, melalui e-court, instrumen Pengadilan sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dalam hal pendaftaran perkara secara online, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara nomor: 256/G/TF/2023/PTUN.JKT tidak menerima gugatan Merri Utami atas Tindakan Administrasi Pemerintah/Tindakan Faktual yang tidak melakukan tindakan hukum (omission) yang dilakukan oleh (1) Presiden Republik Indonesia, (2) Jaksa Agung Republik Indonesia, dan (3) Menteri Hukum dan HAM Indonesia. Adapun dasar gugatan ini adalah karena Merri Utami merasa para Tergugat tidak melakukan tindakan hukum atas penderitaan psikologis dan mental yang dialami Merri Utami terkait pemenjaraannya selama lebih dari 22 tahun.

Selama persidangan, Saksi yang memeriksa kondisi psikologi Merri Utami menyatakan bahwa Merri Utami mengalami penderitaan psikologis dan mental terkait pemenjaraannya yang tak kunjung usai meski telah melewati 22 tahun. Tak hanya itu, posisi Merri Utami yang pernah masuk ke dalam daftar terpidana yang akan menjalani eksekusi mati di tahun 2016, nyatanya juga berkontribusi terhadap kesehatan jiwanya. Terlepas pada tanggal 27 Februari 2023, Presiden Republik Indonesia mengabulkan grasi Merri Utami melalui Keputusan Presiden Nomor 1/G/2023, yang telah diajukan sejak tanggal 24 Juli 2016. Namun, itu tidak secara otomatis membuat kondisi psikologi dan mentalnya pulih. Tetapi melanggengkan penyiksaan terhadap Merri Utami. Bahkan bukti tertulis yang dihadirkan Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa terjadi kesalahpahaman penghukuman terhadap Merri Utami. 

Namun, dari berbagai alat bukti yang dihadirkan Majelis Hakim, dalam putusannya lebih mempertimbangkan hal-hal bersifat administratif, sebagaimana yang didalilkan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai Tergugat II, yaitu menganggap apa yang digugat oleh Merri Utami telah melewati batas waktu yang ditentukan (kadaluwarsa). Pertimbangan hakim tersebut sarat dengan ketidakadilan. Sebab secara teknis hukum, pengajuan gugatan ini yang diunggah melalui sistem e-court ternyata beberapa fiturnya tidak kompatibel dengan hukum acara pengajuan gugatan yaitu terkait Merri Utami sebagai Penggugat wajib mengunggah selain dokumen gugatan yaitu dokumen upaya administratif kepada Para Tergugat.

Ketiadaan unggahan dokumen upaya administratif dalam sistem e-court bisa berdampak terhadap gugatan Merri Utami tidak dapat di register dan diperiksa PTUN Jakarta. Namun tragisnya pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa upaya administratif tidak wajib. Sehingga antara fitur e-court yang mewajibkan unggahan dokumen upaya administratif dengan pertimbangan Majelis Hakim sangat kontradiksi, yang membuat keadilan bagi Merri Utami semakin menjauh.   

Pada sisi lain, keberanian Merri Utami untuk menggugat Para Tergugat harus diapresiasi karena tidak serta-merta untuk dirinya sendiri, melainkan turut mengupayakan pembelaan terhadap para terpidana-terpidana Indonesia lainnya yang mengalami hal serupa, yaitu pemenjaraan yang tidak jelas ujungnya kapan, imbas abainya Para Tergugat.

LBH Masyarakat (LBHM) selaku Tim Kuasa Hukum Merri Utami berterima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses persidangan ini, antara lain Dra. Probowatie Tjondroegoro, M.Si., selaku Psikolog yang selama ini melakukan pemeriksaan psikologi terhadap Merri Utami dari dalam penjara dan Saksi di PTUN Jakarta. Begitu juga kepada Dra. Mamik Sri Supatmi, M.Si., selaku dosen Kriminologi Universitas Indonesia (UI) yang hadir sebagai Ahli dalam perkara ini. Kami juga berterima kasih kepada seluruh individu dan organisasi masyarakat yang juga turut mengawal dan hadir dalam persidangan dan terus memberikan dukungan kepada Merri Utami.

Setelah putusan tersebut, Merri Utami sempat mengajukan upaya hukum atas putusan nomor: 256/G/TF/2023/PTUN.JKT, namun pada akhirnya dicabut dan beralih mengajukan remisi kepada Presiden yang telah diajukan per tanggal 22 Desember 2023 terkait pengubahan pidana seumur hidup. Upaya ini merupakan salah satu mekanisme terkait hak warga binaan pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-03.PS.01.04 Tahun 2000.

Keduanya merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagai peraturan teknis dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan 1995) yang belum dicabut meski terdapat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan 2022) yang mencabut UU Pemasyarakatan 1995. Sebab, Pasal 94 UU Pemasyarakatan 2022 menyebutkan sebelum ada peraturan pelaksana yang baru, peraturan pelaksana yang dilahirkan dari UU Pemasyarakatan 1995 tetap berlaku. Ke depannya, LBHM sebagai kuasa Merri Utami akan mengawal proses pengajuan remisi kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Jakarta, 11 Januari 2024

Narahubung:

  • Aisyah Humaida : 0822-6452-7724
  • Awaludin Muzaki : 0812-9028-0416

[INFOGRAFIS] Hak-Hak Orang dengan Sindroma Down: Panduan Mewujudkan Masyarakat Inklusif

Meski pemerintah Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas), nyatanya itu masih belum berhasil melaksanakan pembangunan yang inklusif bagi orang dengan Sindroma Down. Hal ini tergambarkan dari rendahnya partisipasi mereka dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kondisi ini kemudian menyebabkan rendahnya partisipasi bermakna mereka dalam pembangunan, sehingga tidak mendapat manfaat pembangunan yang sama dengan orang non-disabilitas.

Riset Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tahun 2023 menemukan 23 aturan tentang Orang dengan Sindroma Down yang bertentangan dengan mandat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities/CRPD). Temuan itu mempertanyakan arah dan pijakan atas penghormatan dan perlindungan hak-hak Orang dengan Sindroma Down di Indonesia jika melawan arus dengan konvensi utamanya.

Dari situasi tersebut, ditambah anggapan bahwa orang dengan Sindroma Down seringkali diidentifikasikan lambat dalam berperilaku dan kemampuannya yang hanya dipatok ukuran skor intelligence quotient (IQ), berdampak pada terisolasinya orang dengan Sindroma Down dari hak-hak mereka. Padahal ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa dengan lingkungan yang baik dan hak-hak yang terpenuhi, orang dengan Sindroma Down dapat hidup secara mandiri, di antaranya yang ditulis oleh Martha Beck dalam The Gift of Down Syndrome: Some Thoughts for New Parents.

Data dalam Infografis ini, yang berangkat dari penelitian LBHM berjudul Akses Pemenuhan Hak untuk orang dengan Sindroma Down di Indonesia (2023), harapannya dapat memberikan penjelasan secara sistematis terkait pemenuhan hak-hak mereka, sehingga dapat menyumbang informasi yang mampu mendorong perubahan kebijakan dan pembangunan yang menyertakan Orang dengan Sindroma Down secara bermakna. Selamat membaca!

LAPORAN-KEUANGAN-660x330

[RILIS PERS] LBHM Ajak Pemuka Lintas Agama Beri Narasi Positif dan Toleran dalam Mendukung Layanan Pengurangan Dampak Buruk bagi Pengguna Narkotika

Peran pemuka agama di kehidupan masyarakat amat penting, termasuk dalam mendukung layanan pengurangan dampak buruk (harm reduction) bagi pengguna narkotika. Pengaruh mereka bisa membawa pengguna narkotika ke arah yang positif lewat tuntunan rohani. Lewat tuntunan rohani, kehidupan pengguna narkotika bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Terlebih lagi, jika narasi yang disampaikan menggunakan pendekatan yang toleran, bukan penghukuman.

Hal positif itu hendak diupayakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) lewat kegiatan Webinar yang mengambil tema “Peran Pemuka Agama dalam Layanan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika”. Webinar itu berupaya menjembatani diskusi yang produktif dan berkelanjutan antar pemuka agama serta memberikan forum untuk menyebarkan narasi-narasi yang toleran atas pengguna narkotika.

Webinar yang diadakan pada Rabu, 22 November 2023 secara online ini, menghadirkan enam (6) narasumber.

Narasumber pertama yaitu Nuraida sebagai Peneliti. Ia memaparkan hasil penelitian yang sebelumnya diluncurkan LBHM pada awal tahun 2023 lalu, berjudul “Perspektif Keagamaan Terhadap Pengguna Narkotika dan Layanan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika di Indonesia”.

Nuraida menyampaikan, pengguna narkotika pada dasarnya berharap kepada pemuka agama agar dapat merangkul mereka, berperan aktif dalam permasalahan pengguna narkotika, dan tidak menstigma mereka ketika mengikuti kegiatan keagamaan.

“Dari hasil temuan yang kami dapatkan, teman-teman pengguna narkotika yang berada di komunitas punya banyak harapan. Harapan kepada tokoh agama untuk dirangkul dan dibimbing 13 orang, berharap ada penerimaan 4 orang, berharap (pemuka agama) berperan aktif 7 orang, dan tidak menstigma 9 orang,” kata Nuraida.

Temuan itu disambut baik oleh narasumber kedua, yaitu Prof. Musdah Mulia sebagai Akademisi sekaligus ulama perempuan yang berkecimpung di isu-isu hak asasi manusia, salah satunya isu narkotika. Ia menyebut, pemuka agama seharusnya memainkan peranan penting dalam mendorong penghargaan dan penghormatan terhadap setiap individu, salah satunya pengguna narkotika.

“Pemuka agama sebaiknya fokus kepada upaya-upaya membangun kedamaian dengan mengedepankan ajaran agama yang penuh nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, empati, saling menghargai dan menolong sesama, terutama kepada kelompok rentan dan tertindas, seperti pengguna narkotika,” jelas dia.

Berbagai hal positif tersebut, dalam konteks Malaysia, sebenarnya telah dilakukan. Narasumber ketiga, yaitu Dr. Rusdi bin Abdul Rashid sebagai Project Coordinator for Spiritual Enhanced Drug Addiction Rehabilitation, menyampaikan bahwa di Malaysia, telah ada beberapa masjid di sana yang menyediakan terapi rumatan metadon untuk pengguna narkotika.

“Di Malaysia, kami memberdayakan komunitas masjid untuk mendorong pemikiran kolaboratif untuk lebih meningkatkan rehabilitasi kecanduan dalam intervensi spiritual Islam yang inovatif. Salah satunya, dengan mengimplementasikan program Peningkatan Spiritual pada Kecanduan dan Rehabilitasi Narkotika (SEDAR) di tahun 2010,” ungkapnya.

Program tersebut bermula sejak tahun 2010 di Masjid Ar-Rahman Malaysia, kemudian memperluas cakupannya ke Masjid Ad-Deeniah pada tahun 2015, lalu Layanan Metadon Keliling Masjid pada tahun 2019 yang menyasar Masjid Gelugor Pulau Pinang, Masjid Terapung Pulau Pinang, dan Masjid Merbah Sempah Pulau Pinang. Tak berhenti di sana, rencananya program tersebut juga akan diperluas yang melibatkan 2000 masjid di Malaysia.

Rima Ameilia sebagai Peneliti, juga menyampaikan bahwa agama selain Islam, misalnya Kristen, Katolik, dan Protestan, juga memiliki peranan penting terhadap kehidupan pengguna narkotika. Namun sayangnya, masih banyak dari beberapa tokoh agama tersebut yang memberikan stigma kepada pengguna narkotika.

“Hasil survei dari masyarakat Kristen, Katolik, dan Protestan memiliki stigma negatif bahwa pengguna narkotika menyimpangi ajaran agama dan menyembah hal lain selain Tuhan,” tuturnya.

Padahal, di agama Kristen sendiri, telah banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa penghargaan terhadap hidup seseorang jadi hal yang tak kalah penting, termasuk kepada pengguna narkotika. Anggapan ini diperkuat oleh Lenta Simbolon, Sekretaris Eksekutif Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Ia menyatakan secara prinsipnya, ajaran gereja mendukung program terapi rumatan metadon (PTRM) sebagai salah satu program untuk mendukung pengguna narkotika.

“Pendampingan pastoral bagi warga gereja (termasuk yang kecanduan narkotika) ada ayat Al-Kitab yang isinya untuk melayani dan mendampingi siapapun: Petrus 5:2-4, misalnya. ‘Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena malu mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri’. Namun hal ini masih kurang dilakukan oleh gereja-gereja yang ada di Indonesia,” imbuhnya.

Di akhir sesi pemaparan narasumber, Ester Kincová sebagai Public Affairs and Policy Manager Transform Drug Policy Foundation, sebuah organisasi masyarakat sipil berbasis di United Kingdom yang fokus pada kebijakan narkotika, memberi gambaran bagaimana keterlibatan kongregasi-kongregasi gereja Kristen dan Katolik di Inggris yang aktif terlibat dalam layanan pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkotika.

“Ada banyak kongregasi gereja Kristen yang terlibat dalam pelayanan pengurangan dampak buruk narkotika, dan setuju untuk mendorong wacana reformasi kebijakan narkotika secara khusus,” tutupnya.

[RILIS PERS Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2023] Pidana Mati: Melanggengkan Penyiksaan

Setiap tanggal 10 Oktober, selain memperingati hari kesehatan mental internasional, seluruh masyarakat di seluruh dunia juga memperingati hari menentang hukuman mati. Peringatan ini menjadi momentum yang penting untuk terus mendorong penghapusan hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Mereka yang setuju akan penerapan pidana mati beranggapan ini menjadi salah satu alat yang tepat untuk membuat pelaku kejahatan mendapatkan efek jera, bahkan menurunkan tingkat kejahatan. Di sisi lain, mereka yang setuju dengan penerapan pidana mati tak sadar akan dimensi penyiksaan yang tak bisa diubah dari penerapan hukuman mati.

Selain masih banyaknya praktik penyiksaan dalam proses peradilan, terdapat juga fenomena deret tunggu eksekusi pidana mati (death row phenomenon) yang juga berpotensi pada masalah kesehatan jiwa yang dialami oleh banyak terpidana mati. LBH Masyarakat (LBHM) mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2023, terdapat 62 orang mengaku mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian dari total 331 responden (19%). Fakta ini harusnya dimaknai bahwa dalam proses hukum, Indonesia belum tertib akan administrasi peraturan dan masih menghiraukan instrumen hak asasi manusia (HAM). Tak hanya penyiksaan, setidaknya 36 dari 331 orang juga mengaku mengalami pemerasan di tingkat penyidikan (11%). Dalam bentuk pelanggaran lainnya, LBHM mencatat terdapat 13 dari 331 orang (4%) mengalami pelecehan seksual. Salah satu terjadinya hal ini adalah karena minimnya pemenuhan hak atas bantuan hukum, yang mana kami menemukan 293 dari 331 orang (89%) terlanggar.

LBHM sendiri pernah meminta data terkait jumlah terpidana mati di Indonesia, yang mana sampai dengan Juni, 2023, terdapat 479 orang berstatus sebagai terpidana mati. Secara klasifikasi gender, 467 orang adalah laki-laki (97%) dan 12 orang adalah perempuan (3%). Sayangnya, data ini tidak mengakomodir persoalan jenis tindak pidana, lamanya penahanan yang telah dijalani, dan status upaya hukum yang telah dilakukan. Sampai dengan tahun 2023, LBHM tengah mendampingi 12 terpidana mati, yang mana 4 terpidana mati telah menjalani penahanan lebih dari 15 tahun. 2 terpidana mati diantaranya bahkan telah melewati penahanan selama 20 tahun. Kondisi seperti ini yang mungkin luput dari pengawasan negara, sebab timbul persoalan baru, yaitu penyiksaan dan kesehatan jiwa bagi si terpidana. Faktanya, masih banyak pengabaian terhadap hak-hak terpidana, khususnya bagi mereka yang berstatus sebagai terpidana mati.

Dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan. Hal itu ditunjukkan dengan fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis luar biasa akibat penundaan berkepanjangan terhadap eksekusi mati yang diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan. Dalam ketidakpastian hukum tersebut terpidana mati harus terus menunggu hingga eksekusi dilakukan. Di Indonesia sendiri eksekusi hukuman mati terakhir dilakukan pada tahun 2016. Namun untuk vonis hukuman mati masih memiliki tren tinggi.

Pada dasarnya hukuman mati melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Selain itu, jika dilihat berdasarkan aturan internasional, hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6.

Kemudian pemerintah masih bersikap standar ganda dalam penerapan hukuman mati. Pemerintah menolak apabila ada warga negara Indonesia (WNI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang melakukan kejahatan di luar negeri dihukum mati. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia, saat ini terdapat 168 WNI terancam hukuman mati di luar negeri, laki-laki 92 orang dan perempuan 23 orang. PMI korban TPPO yang di jebak dalam sindikat narkotika masih menggunakan UU Narkotika tidak mengunakan UU TPPO. Sehingga dapat menjerat PMI menghadapi pidana mati. Namun pemerintah malah memasukkan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru disahkan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru). Banyaknya upaya yang dilakukan Pemerintah untuk kepentingan WNI yang divonis pidana mati di luar negeri. Sikap ini justru menunjukkan adanya standar ganda dari pemerintah atas pidana mati. Pemerintah perlu bersikap lebih konsisten. Pidana mati dalam KUHP Baru justru berpotensi disalahgunakan, karena memberi ruang diskresi yang besar kepada pengambil keputusan.

Pada isu perempuan yang dikriminalisasi karena kejahatan narkotika, mewakili 30 persen dari total penangkapan di seluruh dunia karena perdagangan narkotika. Perempuan dalam pusaran pidana mati khususnya pada kejahatan narkotika cenderung datang dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah, orang tua tunggal, melakukan tindak pidana di bawah paksaan-paksaan dan warga negara asing atau migran. Perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas gender adalah populasi terpidana mati yang tidak terlihat. Dikarenakan jumlah mereka yang dieksekusi jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki – menjadikan penderitaan dan kebutuhannya seringkali diabaikan. Pun hal-hal spesifik yang menyebabkan banyak dari mereka dijatuhi hukuman mati seperti: berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berasal dari diskriminasi gender. Kerentanan perempuan dalam pidana mati juga telah mendapat perhatian dari PBB yang dapat dilihat melalui acara 75th session of the UN General Assembly Virtual High-Level Side Event “Death Penalty and Gender Dimension – Exploring Disadvantage and Systemic Barriers Affecting Death Sentences” pada September 2020. Komisaris Tinggi HAM menyerukan penghapusan pidana mati dalam segala kondisi.

Hasil wawancara PPRI dengan beberapa terpidana mati yang masih berada dalam Lapas, menunjukan bahwa banyak hal yang melatar belakangi seseorang membuat keputusan atau mengambil pilihan yang membuat mereka bersalah dimata hukum. Tekanan dari seseorang sehingga membuat seseorang melakukan tindak pidana, relasi kuasa dalam hubungan, kebutuhan ekonomi, ketergantungan terhadap narkotika, dan/atau kerentanan perempuan. Sayangnya latar belakang kerentanan perempuan tersebut sama sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang dapat meringankan hukuman, dan alasan tidak mendukung program pemerintah dalam menegakkan hukum narkotika selalu memenangkan simpati hakim, hingga tidak melihat sisi kerentanan seorang perempuan yang berhadapan dengan hukum narkotika.

Terakhir, Tindak Pidana Perdagangan Orang (human traficking) termasuk ke dalam kejahatan terorganisir lintas batas negara dilakukan secara illegal dan canggih. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kejahatan yang di alami manusia terutama perempuan dan anak-anak juga sebagai bentuk kejahatan pelanggaran hak asasi manusia.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami sebagai bagian dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dalam momentum memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 2023 hendak mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera:

  1. Melakukan langkah-langkah progresif untuk segera menghapus praktik penjatuhan pidana mati dalam setiap tindak pidana oleh karena tidak memiliki dampak penurunan angka tindak pidana dan efek jera;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Membentuk aturan-aturan teknis berkaitan dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana mati, sebagaimana yang diatur dalam KUHP Baru;
  4. Meninjau kembali modus dan sarana/modus perdagangan orang, yang sebelumnya tidak melihat kerentanan untuk dieksploitasi sebagai kurir narkotika, sekarang sudah saatnya untuk dikaji dan dipertimbangkan, karena sudah ada kasus-kasus yang nyata adanya persinggungan antara TPPO dan penyelundupan narkotika;
  5. Memperkuat akses terhadap peradilan yang adil sehingga Pekerja Migran Indonesia (PMI) mendapatkan haknya untuk keadilan dan pemenuhan hak atas informasi dan komunikasi bagi PMI terancam hukuman mati dan keluarganya;
  6. Meningkatkan perjanjian dengan negara tujuan dan memperkuat akuntabilitas negara; Selamatkan Pekerja Migran dari hukuman mati dan menghapus hukuman mati di dalam negeri;
  7. Pemerintah segera menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dengan mengadopsi kebijakan berbasis gender untuk mengatasi kekerasan, bias dan diskriminasi gender yang menjadi ciri penyelidikan dan persidangan, yang juga berkontribusi dalam membawa perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas gender lain ke hukuman mati;
  8. Melakukan pembinaan yang baik di dalam Lapas agar tidak melahirkan generasi bandar narkotika baru di Indonesia;
  9. Pemerintah segera meninjau hukuman mati dari korban tindak pidana perdagangan sindikat narkotika.

Narahubung:

  • LBH MASYARAKAT: 0878-7721-6278
  • KABAR BUMI: 0812-8338-0486
  • WOMXN’S VOICE: 0812-1333-7127
  • Yayasan Mutiara Maharani: 0812-9834-6174
  • PBHI: 0852-5235-5928
  • Forum Akar Rumput Indoensia (FARI): 0896-1553-5777
  • KontraS: 0812-3275-8888
  • PPRI: 0819-1021-0423

[Rilis Pers] Hentikan Pendekatan Keamanan dan Militeristik dalam Kebijakan Narkotika

Pada Senin, 11 September 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelenggaran rapat terbatas (Ratas) soal pemberantasan dan penanganan narkotika di Indonesia. Dalam Ratas itu, Jokowi menyampaikan terdapat usulan agar rehabilitasi narkotika bisa dilakukan di Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam). Jokowi mengatakan usulan itu muncul dari Panglima Daerah Militer (Pangdam). Namun demikian, Jokowi tidak menyebutkan usulan itu muncul dari Pangdam wilayah mana.

Jokowi bukan pertama kali ini saja mewacanakan penggunaan pendekatan atau pelibatan aktor keamanan dalam kebijakan narkotika. Sebelumnya, pada tahun 2016, Jokowi pernah secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Dalam arahan tersebut, tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Perintah tembak di tempat yang diserukan Jokowi tersebut kemudian mulai memakan korban. Berdasarkan pemantauan LBH Masyarakat (LBHM), dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Catatan tersebut menunjukan watak Jokowi lebih menyukai pendekatan perang dalam mengatasi permasalahan narkotika (War on Drugs), ketimbang pendekatan yang berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan atau sains yang sejalan dengan hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Undang-Undang TNI), dalam ketentuan Pasal 7 pada pokoknya telah menyebutkan bahwa TNI memiliki tugas pokok menegakan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan negara Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang TNI tersebut, tugas pokok TNI tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Merujuk ketentuan tersebut tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa TNI diberikan kewenangan untuk melakukan rehabilitasi masalah narkotika.

Pelibatan TNI dalam kebijakan narkotika hanya akan menambah rentetan permasalahan dwi fungsi TNI yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Jika terus dibiarkan, kebiasan buruk ini akan mengancam iklim demokrasi dan HAM yang susah payah telah diperjuangkan dalam reformasi tahun 1998. Padahal, dalam kebijakan narkotika sepatutnya pendekatan kesehatan dengan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan HAM yang seyogyanya dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan kebijakan narkotika di Indonesia.

Berdasarkan catatan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN), rehabilitasi bukanlah satu-satunya alternatif solusi, apalagi rehabilitasi yang bersifat paksa. Dari jumlah 13% pengguna narkotika yang mengalami masalah dalam penggunaannya, tentunya membutuhkan pendekatan yang bervariasi dan tidak terbatas pada pendekatan rehabilitasi rawat inap/jalan. Upaya dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan, serta intervensi berbasis sosial bagi 87% pengguna narkotika tanpa gangguan lebih memberikan solusi, ketimbang mengirim mereka ke penjara dan/atau memaksa mengakses (bersifat mandatory) layanan rehabilitasi, termasuk jika nanti dilakukan di Rindam.

Oleh sebab itu, sudah seyogyanya Jokowi kembali kejalan yang benar dan menolak usulan-usulan yang justru menjerumuskan kebijakan narkotika secara khusus, dan situasi HAM Indonesia secara umum, ke dalam keterpurukan yang lebih dalam. Berdasarkan hal-hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika menuntut, sebagai berikut:

  1. Negara harus menjamin bahwa praktik perang terhadap narkotika (War on Drugs) harus diakhiri;
  2. Negara harus mengambil tindakan yang efektif dalam permasalahan narkotika yang berlandaskan pendekatan kesehatan dan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan HAM;
  3. Negara harus menghentikan segala upaya untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI.

Jakarta, 12 September 2023

Hormat kami:

LBH Masyarakat
KontraS
Imparsial
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Centra Initiative
Rumah Cemara
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)
Lingkar Ganja Nusantara (LGN)
Paguyuban Peduli Kebijakan Napza Parahiangan (PPKNP)

Narahubung:

  1. Maruf Bajammal
  2. Andy Muhammad Rezaldy

JOINT CALL FOR SINGAPORE TO HALT EXECUTIONS IMMEDIATELY

25 July 2023

This week Singapore intends to execute Mohd Aziz bin Hussain, a 56-year-old Singaporean Malay man convicted of trafficking approximately 50g of diamorphine (heroin) and Saridewi binte Djamani, a 45-year-old Singaporean woman convicted of trafficking approximately 30g of diamorphine (heroin). It has been almost twenty years since Singapore last executed a woman. If these executions proceed, Singapore will have executed 15 people for drug offences since 30 March 2022, an average of one execution every month.

International law restricts the death penalty to the ‘most serious crimes’ understood as intentional killing: executions for drug offences clearly fail to meet the ‘most serious crimes’ criterion under the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Singapore is among a handful of countries that have executed (China, Iran and Saudi Arabia) or are likely to have executed (Vietnam and North Korea) individuals for drug offences in 2022 (see reports of Amnesty International and Harm Reduction International).

In an interview in September 2022, Law Minister K. Shanmugam confirmed that Singapore’s harsh policy on drugs is not resulting in the arrest of the so-called ‘Kingpins’: “Are we only catching the small guys and not the big guys? It’s a non-question because, you know, the big guys don’t come into Singapore for good reasons”. In July 2022, eight United Nations Special Procedures experts observed that “A disproportionate number of minority persons were being sentenced to the mandatory death penalty in Singapore”. In sum, instead of disrupting drug cartels, as it often claims to be the objective, the Government of Singapore deliberately retains capital drug laws that, in practice, operate to punish low-level traffickers and couriers, who are typically recruited from marginalised groups with intersecting vulnerabilities.

In December 2022, 125 countries voted for a moratorium on the death penalty at the United Nations. In June 2022, Thailand removed marijuana and hemp (that is below 0.2% THC) from its narcotics list. In April 2023, Malaysia’s parliament voted to abolish the mandatory death penalty, a law that took effect in July 2023, including for drug trafficking. The Government of Singapore is out of step with the global trend by continuing with this cruel and abhorrent practice.

The notion of national sovereignty cannot be used to undermine or negate the State’s obligation to protect the right to life. We strongly urge the Government of Singapore to immediately halt these scheduled executions. Instead, Singapore should pursue effective measures to humanely address the complex problem of drug trafficking in the country, particularly in the absence of any evidence that the death penalty is a uniquely effective deterrent for those who commit drug offences.

We also call on the UN Office on Drugs and Crime to take concrete actions to urge States to dispel the misguided notion that capital punishment is allowed under the UN Drug Conventions.

We call on the international community, particularly States who have abolished the death penalty in law or practice, to help halt this inhumane, ineffective and discriminatory practice in Singapore. 

Signed:

Amnesty International

Anti-Death Penalty Asia Network, Malaysia

Capital Punishment Justice Project, Australia

Coalition Against the Death Penalty, Philippines

Eleos Justice, Faculty of Law, Monash University, Australia

Ensemble contre la peine de mort (ECPM), France

Harm Reduction International, United Kingdom

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia

Odhikar, Bangladesh

Transformative Justice Collective, Singapore

RILIS PERS – Amicus Curiae untuk Terdakwa Ferdy Sambo, Penjatuhan Pidana Mati Wajib Berefikasi pada Reformasi Polri

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen mendorong penghapusan hukuman mati di seluruh tindak pidana di sistem hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengirimkan Amicus Curiae pada 4 Juli 2023 untuk Pemeriksaan Tingkat Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 53/PID/2023/PT.DKI jo. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 796/PID.B/2022/PN.JKT.SEL a.n. Terdakwa Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H.

Melalui Amicus Curiae yang LBHM kirimkan, harapannya Hakim dapat membaca kemarahan publik dan mengejawantahkannya kepada keadilan yang mampu mendorong untuk melakukan reformasi Polri, dan juga sekaligus memberikan restitusi kepada korban atau keluarga korban, dan pihak-pihak lain yang turut serta, menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus ini.

Berikut catatan LBHM kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Tingkat Kasasi terhadap Terdakwa Ferdy Sambo:

  1. Mempertimbangkan tidak adanya kejadian atau kondisi spesifik yang memberatkan Terdakwa.
  2. Mempertimbangkan tidak adanya keberulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
  3. Menjatuhkan Terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup atau waktu tertentu.
  4. Membebankan Terdakwa biaya restitusi terhadap keluarga Korban dan terhadap pihak-pihak lain yang telah dirugikan oleh perbuatan Terdakwa.
  5. Memerintahkan untuk melakukan reformasi Institusi Polri yang terukur, sistematis, dan transparan untuk mencegah keberulangan.

Silakan membaca Amicus Curiae tersebut melalui pranala di bawah ini:

Link Download