Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Mahasiswa, Advokat, hingga Korban Penyiksaan Ajukan Permohonan Informasi Publik ke DPR RI Menuntut Naskah Akademik dan Draft RUU KUHAP Dibuka kepada Publik!

Rabu, 19 Februari 2025 – Perwakilan mahasiswa, advokat, dan keluarga korban penyiksaan mengajukan permohonan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini adalah dampak dari keputusan DPR RI pada rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025 yang menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi RUU inisiatif DPR RI. Sayangnya, dalam proses penyusunan ini, tidak ada proses partisipasi publik yang bermakna.

Muhammad Fawwaz Al Farabi, Ketua BEM FH UI selaku pemohon menyatakan, “Kami amat menyayangkan DPR RI yang main petak umpet sama rakyat, padahal perlu diingat bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, ada yang namanya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapannya, yaitu hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangan pendapatnya, serta untuk diberikan jawaban. Jadi sebetulnya harusnya tanpa kami mintakan permohonan informasi publik seperti ini, sudah menjadi kewajiban DPR RI untuk membuka draftnya.” “Ini menambah daftar panjang RUU yang dibuat secara ugal-ugalan.” Fawwaz berharap, nantinya pembahasan KUHAP dapat melibatkan publik, sebab ia menyatakan, “KUHAP milik publik, dan sudah seharusnya begitu, maka pembahasannya harus melibatkan publik!” “Mahasiswa juga sering menjadi korban ‘penculikan’ aparat, bukan lagi ‘penangkapan’, karena surat-suratnya tidak ada. Nah di situ ada masalah mendasar dari KUHAP, makanya publik perlu dilibatkan dalam pembahasannya,” kata Mahasiswa FH UI tersebut.

Astatantica Belly Stanio selaku pemohon yang berlatar belakang profesi advokat menyatakan, “Sebagai bagian dari penegak hukum, peran advokat perlu dikuatkan dalam KUHAP. Penguatan peran advokat merupakan upaya memperbaiki KUHAP. Fakta bahwa dalam proses penyidikan banyak terjadi pelanggaran HAM, sehingga diperlukan peran advokat sebagai pendamping orang yang berhadapan dengan hukum. Beberapa isu advokat yang perlu diperbaiki dalam KUHAP adalah pentingnya memasukkan konsep miranda rules sehingga orang yang berhadapan dengan hukum memiliki hak diam, hingga mendapatkan pendamping hukum, kemudian peran advokat dalam proses penyidikan juga perlu diperkuat. Akses bantuan hukum harus diperluas bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya bagi orang yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih. Oleh karenanya, KUHAP perlu dibahas bersama dengan masyarakat. KUHAP kita sekarang memang bermasalah, tapi kalau pembahasan RUU KUHAP tidak melibatkan publik seluas-luasnya, bisa jadi justru RUU KUHAP akan menambah masalah dalam sistem peradilan pidana kita.”

Rusin selaku pemohon pribadi menyatakan, “Harusnya wakil rakyat itu ya atasannya adalah rakyat, sudah sepantasnya draftnya dibuka kepada publik. Saya sebagai orang tua dari korban penyiksaan dan salah tangkap, yaitu Sdr. Fikri, sebagai warga negara, saya merasa perlu untuk dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHAP, agar kedepannya hal seperti ini tidak terjadi lagi. Kami, rakyat Indonesia ingin tahu, draftnya ini seperti apa. Kalau misalnya ada yang tidak benar, bisa diperbaiki. Saya misalnya sebagai keluarga korban penyiksan bisa juga mengevaluasi berdasarkan pengalaman yang saya miliki di lapangan. Libatkanlah masyarakat, karena kekuasan tertinggi di tangan rakyat. DPR harus ingat, sebagai wakilnya rakyat, maka suara rakyat harus didengar. Segera buka draft dan naskah akademiknya.” Rusin sendiri merupakan orang tua M. Fikri, salah seorang korban penyiksaan pada tahun 2021-2022.

Ketiganya berharap DPR RI segera membuka naskah akademik dan Draft RUU KUHAP sebagai langkah nyata untuk mewujudkan partisipasi publik yang bermakna. Draft Naskah Akademik dan Draft RUU merupakan informasi publik yang dikelola oleh badan publik dalam konteks legislatif, yaitu DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal  1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sesuai dengan Pasal 22 ayat (7) UU KIP, DPR RI wajib memberikan jawaban terhadap permohonan informasi tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.

Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bidang Advokasi menyatakan bahwa hal ini menambah praktik buruk legislasi yang dilakukan DPR RI. “YLBHI mendesak DPR RI untuk segera membuka draf NA dan RUU KUHAP ke Publik. KUHAP adalah regulasi penting untuk memastikan hak atas keadilan masyarakat dijamin dan penegakan hukum bisa transparan dan bertanggungjawab. KUHAP tidak boleh seolah hanya urusan DPR Pemerintah dan APH saja. KUHAP adalah kepentingan bersama warga negara untuk memastikan penegakan hukum pidana berlangsung secara berkeadilan dan menjunjung tinggi HAM.

Menutup akses informasi publik terhadap dokumen legislasi tersebut sama saja menutup dan melanggar hak konstitusional warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan UU sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.” “Jika ada upaya menutup-nutupi, kita patut menduga ada hak rakyat yg mau ‘dicuri’ atau ‘dikorupsi’ karena Penyusunan UU akan mengatur kepentingan publik. DPR RI semestinya belajar dari kesalahan penyusunan regulasi sebelumnya dan tidak melakukan korupsi legislasi seperti halnya yang terjadi pada penyusunan UU bermasalah sebelumnya seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, atau UU KPK. Informasi legislasi seperti NA dan RUU KUHAP adalah hak konstitusional warga negara bahkan tanpa perlu diminta semestinya informasi terkait legislasi harus dibuka oleh DPR atau Pemerintah. Sayangnya beberapa tahun terakhir justru diabaikan,” kata Arif.

Narahubung: 082210946456 – Asta

Amnesti Tanpa Rehabilitasi: Desakan LBHM atas Kelanjutan Rencana Amnesti Pemerintah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi kembali rencana pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana di Indonesia, terutama yang ditujukan kepada terpidana narkotika. Perkembangan rencana ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, bertempat di Kantor Kemenko Kumham Imipas pada hari Selasa, 21 Januari 2025.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Kompas.com, Yusril mengumumkan bahwa amnesti akan diberikan kepada narapidana kasus narkotika yang masih muda dan produktif melalui tahapan rehabilitasi atau masuk ke angkatan Komponen Cadangan (Komcad) untuk kemudian berkarya di proyek-proyek pemerintah, seperti pembukaan lahan pertanian di Kalimantan dan Papua.[1] Alasan prosesnya dibuat demikian adalah supaya penerima amnesti yang telah dibebaskan ini tidak meresahkan masyarakat.[2]

LBHM memandang ada beberapa poin dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan yang perlu dikritisi.

Pertama, rencana rehabilitasi setelah amnesti akan menambah permasalahan hak bagi para terpidana. Faktanya, tidak semua orang yang menggunakan narkotika akan menjadi ketergantungan dan membutuhkan rehabilitasi. Faktor konsumsi narkotika bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan, sebab ada beragam faktor biologis, seperti usia dan faktor sosial seperti dukungan support system yang berpengaruh pada tingkat ketergantungan narkotika. Hasil survei Badan Narkotika Nasional pada tahun 2023 pun menyebutkan bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkotika setahun pakai sebesar 173 orang per 10,000 penduduk, sedangkan angka prevalensi penyalahgunaan narkotika pernah pakai dalam seumur hidupnya sebesar 220 orang per 10.000 penduduk[3], menunjukkan adanya pengguna narkotika yang tidak sedang menggunakan narkotika selama setahun terakhir.

Seperti layaknya intervensi kesehatan yang lain, rehabilitasi ketergantungan narkotika harusnya dipandang sebagai hak, bukan pengganti hukuman. Pemerintah tidak bisa memukul rata bahwa puluhan ribu terpidana kasus narkotika yang akan diberikan amnesti semuanya membutuhkan rehabilitasi.

Kedua, penugasan terpidana narkotika ke Komcad adalah rencana yang gegabah. Kehadiran Komcad sebagai pelengkap sistem pertahanan Indonesia masih ditentang oleh berbagai elemen masyarakat. Komcad yang dibentuk dan ditugaskan untuk membantu proyek pertanian dikhawatirkan akan meningkatkan konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat dan menambah panjang daftar pelanggaran HAM.[4]  Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 saja, jumlah konflik agraria tercatat mencapai 241 kasus, yang merampas 638.188 hektar lahan, dan 135.608 kepala keluarga terdampak imbas konflik ini.[5] Data tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2022, di mana terdapat 212 kasus, yang merampas 1.035.613 hektar lahan, dan 346.402 kepala keluarga yang terdampak.[6] Dengan demikian, kehadiran Komcad yang sampai sekarang masih banyak ditentang berbagai elemen masyarakat, berpotensi membuat masalah konflik agraria yang ada jadi semakin rumit.

Tak hanya itu, Desember 2024 lalu, LBHM bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain juga telah mengkritisi agenda amnesti untuk Komcad ini. Kami menjabarkan bahwa syarat keikutsertaan narapidana dalam Komcad tanpa kriteria yang jelas tentang rekrutmen dan kompensasi kerja berisiko membuat program ini menjadi perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.

Ketiga, kekhawatiran program amnesti akan meresahkan masyarakat seharusnya tidak ada sepanjang proses pemasyarakatan di dalam lembaga pemasyarakatan betul-betul dijalankan. Program pemasyarakatan sejatinya adalah program untuk membina dan membimbing para terpidana agar menempuh reintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, seharusnya para terpidana yang menjadi target amnesti telah mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang sesuai yang akan mampu menempatkannya kembali ke dunia kerja.

Pemerintah juga bisa belajar dari pengalaman percepatan asimilasi yang dilakukan pada masa Pandemi Covid-19. Monitoring dari LBHM menunjukkan bahwa di tengah asimilasi sekitar 40 ribu terpidana pada April-Agustus 2020, hanya ada 72 narapidana yang kembali diberitakan melakukan kejahatan.[7] Persentase residivisme yang kecil ini juga bisa didorong dengan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan para narapidana.

Keempat, penjelasan bahwa program amnesti akan diberikan kepada yang masih muda dan produktif menjurus ke diskriminasi berbasis usia atau ageism. Hal ini seperti kontradiktif dengan upaya pemerintah, terutama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, untuk memanusiakan lansia yang menjadi narapidana. Selama ini pemerintah sudah cukup berbangga dengan sikapnya untuk membentuk the Jakarta Statement on the Treatment of Elderly Prisoners dengan mengakui bahwa narapidana lanjut usia di Indonesia memiliki kebutuhan berbeda dengan narapidana lain.[8]

Jika program amnesti diberikan hanya kepada mereka yang produktif, semakin kuat pandangan masyarakat bahwa program amnesti ini bukan tentang keadilan, tetapi sepenuhnya urusan untung-rugi ekonomi.

“Sudah sepatutnya Amnesti dikembalikan kepada ikhtiarnya sebagai mekanisme untuk memperbaiki kesalahan peradilan pidana dan penghukuman di masa lalu. Terhadap pengguna narkotika, pemerintah seharusnya menempatkan program amnesti ini sebagai pengakuan bahwa pengguna narkotika tidak boleh dipenjara,” terang Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Rabu, (22/01/2025), di Jakarta.

Berdasarkan perkembangan terbaru ini, LBHM menyampaikan beberapa tuntutan:

  1. Mendesak pemerintah untuk mengembalikan tujuan amnesti pada pemenuhan keadilan dan Hak Asasi Manusia, khususnya untuk memperbaiki kesalahan penghukuman dalam kasus narkotika dan kasus kebebasan berpendapat.
  2. Memaksa pemerintah untuk mencabut syarat wajib mengikuti rehabilitasi dan Komcad pasca amnesti.
  3. Mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan program amnesti sesuai dengan standar-standar HAM yang ada, yakni dengan membuka partisipasi terpidana untuk menentukan apa yang ia hendak lakukan setelah amnesti; memastikan tidak ada diskriminasi berbasis usia, gender, atau status sosial lain dalam pemberian amnesti; memberikan informasi yang memadai kepada terpidana dan publik atas ketentuan amnesti.
  4. Untuk meredakan anggapan bahwa amnesti akan menyebabkan keresahan di masyarakat, pemerintah perlu memastikan bahwa sistem dukungan bagi mereka yang baru menjalani amnesti agar mereka bisa menempuh reintegrasi di masyarakat. Dukungan ini meliputi tapi tidak terbatas pada, pembiayaan kepulangan mereka ke keluarga, menghubungkan para penerima amnesti dengan fasilitas layanan kesehatan di luar penjara, memberikan layanan perlindungan sosial yang sesuai dalam bentuk jaminan sosial dan bantuan sosial.

Jakarta, 22 Januari 2025

Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)

[1] Haryanti Puspa Sari, Dani Prabowo, “Yusril Sebut Prabowo Ingin Napi Narkotika yang Terima Amnesti Direhabilitasi dan Ikut Komcad”, Kompas.com, 21 Januari 2025. Diakses di https://nasional.kompas.com/read/2025/01/21/15584841/yusril-sebut-prabowo-ingin-napi-narkotika-yang-terima-amnesti-direhabilitasi.

[2] Ibid.

[3] BNN, BRIN, BPS, Laporan Hasil Pengukuran Prevalensi Narkoba Tahun 2023, Hal. 53.

[4] “Menggugat Komponen Cadangan,” imparsial.org, 30 Juni 2022, diakses di https://imparsial.org/menggugat-komponen-cadangan-2/

[5] Konsorsium Pembaruan Agraria, Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi dari Enam Negara Asia, 27 Februari 2024. Diakses di https://www.kpa.or.id/2024/02/27/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dari-enam-negara-asia/

[6] Aryo Bhawono, KPA Catat 212 Letusan Konflik Agraria di 2022, betahita, 13 Januari 2023. Diakses di https://betahita.id/news/detail/8356/kpa-catat-212-letusan-konflik-agraria-di-2022.html?v=1673576856

[7] Hisyam Ikhtiar, Analisis Kebijakan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat).

[8] “The Jakarta Statement Menuju Standar International Perlakuan Narapidana Lansia,” ditjenpas.go.id, 19 Desember 2019, diakses di https://www.ditjenpas.go.id/the-jakarta-statement-menuju-standar-international-perlakuan-narapidana-lansia

Habis Amnesti Terbitlah Milisi: Problematik atau Solutif?

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengapresiasi upaya Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini menyetujui pemberian amnesti atau pengampunan hukuman kepada 44 ribu narapidana di Indonesia.[1] Berdasarkan keterangan Prabowo, amnesti itu diberikan atas dasar kemanusiaan dan keadilan, sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mengurangi angka over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga 30%, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.[2]

Beberapa kategori narapidana yang mendapatkan amnesti tersebut di antaranya narapidana perkara tindak pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penghinaan kepada kepala negara, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa, narapidana kasus makar tidak bersenjata di Papua, serta narapidana yang merupakan pengguna narkotika, yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.[3]

Sepintas, upaya ini menunjukkan langkah positif untuk menyelesaikan permasalahan overkapasitas di Lapas. Tapi, ketika ditelaah, langkah positif itu punya ‘kepentingan terselubung’ yang berpotensi melanggar hak asasi manusia para narapidana yang mendapatkan amnesti.

Menurut keterangan berbagai pihak, ketika pemberian amnesti itu telah dilakukan, narapidana yang masuk ke dalam kategori usia produktif akan diusulkan untuk ikut ke dalam Komponen Cadangan (Komcad), selain mengikuti program swasembada pangan (jadi petani).[4]   

“Padahal, telah banyak pihak yang mengkritik keberadaan Komcad. Kebijakan Prabowo yang memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana tapi diusulkan untuk menjadi bagian dari Komcad tidak lebih dari memindahkan satu masalah ke masalah lain. Kerangka berpikir seperti ini tidak menyelesaikan akar masalah yang terjadi di masyarakat,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Albert Wirya, Selasa, (17/12/2024), di Jakarta.

Wacana ini bermasalah karena beberapa hal, yakni:

Pertama, pemberian amnesti belum diikuti perubahan politik hukum. Terdapat 3 (tiga) kriteria tindak pidana yang diusulkan bisa mendapatkan amnesti yakni, tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara, tindak pidana makar yang tidak bersenjata di Papua, dan tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan penggunaan narkotika. Kesemua tindak pidana tersebut sampai saat ini masih diberlakukan sebagai delik pidana dalam hukum pidana nasional Indonesia.

Seyogianya, jika ke semua delik pidana tersebut sudah dianggap tidak relevan lagi oleh pemerintah sehingga layak diberikan amnesti, pemberian amnesti harus juga diikuti perubahan politik hukum. Caranya adalah dengan merevisi segala peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi dasar hukum pemberlakuan ke semua delik pidana tersebut. 

Kedua, potensi penyalahgunaan anggaran Komcad. Pendanaan untuk Komcad yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) rawan diselewengkan. Dugaan ini muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah dalam laporan keuangan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Tahun Anggaran 2021, khususnya yang berhubungan dengan program Komcad. Ada penggunaan anggaran ratusan miliar rupiah yang dinilai menyalahi peraturan perundang-undangan.[5]

BPK menemukan berbagai kegiatan yang menelan anggaran sebesar Rp531,96 miliar. Sekitar Rp235,26 miliar di antaranya digunakan untuk pembentukan Komcad. Namun penggunaan anggaran itu sepenuhnya tidak didukung APBN 2021.[6]

Ketidakjelasan dalam proses penganggaran juga bisa menjadi pintu masuk bagi tindakan maladministrasi. Seharusnya pemerintah bisa belajar dari hal ini agar persoalan serupa tak terulang kembali pada kemudian hari.

Ketiga, keberadaan Komcad mengancam konflik horizontal di masyarakat. Pengaturan yang luas dan tidak jelas dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda atas ancaman yang dihadapi, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan

mereka sendiri. Keberadaan Komcad ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba).

Keempat, potensi pelanggaran hak atas pekerjaan. Syarat keikutsertaan warga binaan dalam Komcad atau program swasembada pangan akan membuat warga binaan tidak bisa memberikan pilihan bebas tentang hidup mereka pasca pemenjaraan. Belum ada kriteria yang jelas juga berapa lama keikutsertaan mereka dalam program tersebut dan apa keuntungan yang bisa mereka dapatkan dalam program tersebut. Tanpa adanya kompensasi yang sesuai, program ini berpotensi untuk meningkatkan angka perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.

LBHM tetap mengapresiasi dan mendorong pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana, dengan catatan sebagai berikut:

  1. Proses amnesti besar-besaran tetap penting dijalankan untuk mengoreksi pendekatan punitif yang selama ini terjadi dalam kasus-kasus narkotika dan kebebasan berpendapat;
  2. Amnesti harus dipandang sebagai hak terpidana yang mengalami ketidakadilan akibat penghukumannya. Dengan demikian, sepatutnya tidak perlu ada kewajiban-kewajiban yang perlu dilakukan oleh terpidana setelah ia menerima amnesti, seperti ikut serta dalam Komcad atau program swasembada pangan;
  3. Jika pemerintah hendak memberikan akses terhadap pekerjaan bagi para terpidana yang akan diberikan amnesti, pemerintah hendaknya memastikan bahwa terpidana bisa memberikan pilihan bebas apakah mereka akan mau menerima pekerjaan itu atau tidak, serta memastikan pekerjaan yang diberikan sesuai dengan standar peraturan ketenagakerjaan dan di sektor usaha yang tidak merusak lingkungan atau menimbulkan konflik horizontal;
  4. Praktik amnesti tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan overcrowding secara tuntas. Perlu ada reformasi kebijakan pemidanaan, salah satunya reformasi kebijakan narkotika yang mendekriminalisasi pengguna narkotika, penghapusan delik pidana penghinaan kepada kepala negara, dan pembatasan tindak pidana makar hanya bisa diberlakukan ketika ada penggunaan kekuatan bersenjata yang telah diwujudkan ke dalam perbuatan yang konkrit.

 

Jakarta, 17 November 2024

Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)


[1] M Algredi, Presiden Prabowo Setujui Amnesti atas Dasar Kemanusiaan dan Stabilitas Sosial, padek.jawapos.com, 16 Desember 2024. Diakses di https://padek.jawapos.com/nasional/2365427500/presiden-prabowo-setujui-amnesti-atas-dasar-kemanusiaan-dan-stabilitas-sosial

[2] BPMI Setpres, Presiden Prabowo Setujui Pemberian Amnesti untuk Kemanusiaan dan Rekonsiliasi, presidenri.go.id, 13 Desember 2024. Diakses di https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-prabowo-setujui-pemberian-amnesti-untuk-kemanusiaan-dan-rekonsiliasi/

[3] Hendrik Yaputra, Menteri HAM Ungkap Alasan Prabowo Beri Amnesti bagi Narapidana Kasus Papua dan ITE, tempo.co, 15 Desember 2024. Diakses di https://www.tempo.co/politik/menteri-ham-ungkap-alasan-prabowo-beri-amnesti-bagi-narapidana-kasus-papua-dan-ite-1181723

[4] Emir Yanwardhana, Ide Baru Prabowo: Usul Napi Dilatih Jadi Petani dan Tentara Cadangan, cnbcindonesia.com, 15 Desember 2024. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20241215123347-4-596088/ide-baru-prabowo-usul-napi-dilatih-jadi-petani-dan-tentara-cadangan

[5] Seknas Fitra, Anggaran Komponen Cadangan Rawan Dikorupsi, 2 November 2022. Diakses di https://seknasfitra.org/anggaran-komponen-cadangan-rawan-dikorupsi/

[6] Ibid

BERIBADAH ADALAH HAK KAIN KECAM PERSEKUSI DAN DISKRIMINASI TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

6 Desember 2024

Rabu (4/12), PJ Bupati Kuningan Agus Toyib, secara resmi menyatakan larangan terhadap kegiatan

Jalsah  Salanah  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  yang  akan  diselenggarakan  pada  tanggal  6-8

Desember 2024 di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat. Hal tersebut disampaikan melalui surat resmi Bupati Kuningan no. 200.1.4.3/4697/BKBP. Di dalam surat tersebut PJ Bupati Agus menyatakan bahwa kegiatan tersebut “dapat menyebabkan kondusifitas daerah terganggu”. Lebih lanjut, sebagaimana dilansir oleh kanal berita online, Kapolres Kuningan AKBP Willy Andrian juga meminta kegiatan Jalsah Salanah tersebut untuk tidak digelar demi “menjaga keamanan wilayah Kuningan”.

Atas peristiwa ini, Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam keras sikap intoleran dan aksi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

KAIN  menilai  pelarangan  pelaksanaan kegiatan keagamaan ini merupakan ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Padahal, perlindungan terhadap kebebasan setiap   warga   negara   untuk   memeluk   agama   dan   kepercayaannya   masing-masing   serta menjalankan  ibadah  berdasarkan  agama  dan  kepercayaannya  sudah  jelas  diatur  di  dalam Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Selain merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, larangan ini adalah bentuk pengabaian terhadap komitmen Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak berekspresi serta hak berkumpul dari setiap warga negara Indonesia yang tertuang di dalam UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tidak  hanya  itu,  pelarangan  ini  merupakan  bentuk  diskriminasi  yang  telah  dilakukan  oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selama ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan salah satu kelompok yang paling sering menerima diskriminasi dari negara, baik berupa penyegelan rumah ibadah hingga pelabelan terhadap pengikutnya.

KAIN berpandangan alih-alih melarang pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah tersebut, Pemkab dan Polres Kuningan seharusnya memastikan bahwa Jemaat Ahmadiyah dapat melangsungkan kegiatan keagamaannya dengan aman dan lancar, tanpa adanya intimidasi maupun kekerasan dari kelompok masyarakat lain.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka KAIN menuntut:

  1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kepolisian Resor Kuningan untuk menjalankan kewajibannya menghormati dan melindungi hak asasi manusia Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, berekspresi, serta berkumpulnya sebagaimana tertuang di dalam UUD 1945;
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan untuk mencabut larangan pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya dengan khidmat;
  3. Pemerintah Pusat,   Provinsi,   Kota   dan   Kabupaten,   serta   masyarakat   luas   untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan persekusi kepada JAI dan menindak dengan tegas para pelaku tindakan diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI; serta
  4. Presiden Prabowo dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK) guna memberikan perlindungan bagi seluruh kelompok rentan di Indonesia dari tindakan-tindakan diskriminatif.

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 49 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung: 085939676720 (Albert)

Dorong Percepatan Revisi Undang-Undang Narkotika, LBHM Menyelenggarakan Dialog Kebijakan

Pada Hari Rabu, 4 Desember 2024, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyelenggarakan kegiatan Dialog “Reformasi Kebijakan Narkotika dan Penerapan Harm Reduction di Indonesia” di Jakarta untuk mendiskusikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang telah masuk ke dalam dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 100 orang, baik secara luring dan daring ini menghasilkan beberapa kesepakatan penting.

Dalam pidato kuncinya, Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum Republik Indonesia, memberikan apresiasi atas ruang dialog yang dibangun oleh masyarakat sipil ini untuk membangun kebijakan penanggulangan narkotika yang efisien dan efektif dengan merujuk pada bukti dan perkembangan dunia internasional. Ia juga menegaskan kembali semangat revisi UU Narkotika yang memberikan pendekatan kesehatan.

“Sejak 28 tahun yang lalu ketika saya menulis skripsi tentang narkotika dan psikotropika, saya memang sudah memberikan rekomendasi terhadap pengguna itu memang tidak dihukum tapi diobati,” ujarnya.

Pada sesi diskusi pertama, empat pembicara sama-sama menggarisbawahi urgensi pembahasan revisi UU Narkotika yang sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2025. Salah satu tujuannya adalah beralih dari kebijakan punitif yang ada sekarang. Hal inilah yang disampaikan oleh H. Adang Daradjatun, Anggota Komisi III, yang menyatakan, “Kita sepakati, baik dari Mahkamah Agung, dari teman BNN, bahwa memperluas akses rehabilitasi tanpa kriminalisasi ini sangat penting sekali.”

Pendekatan punitif yang sekarang dilakukan juga tidak mampu untuk membeda-bedakan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan derajat kebersalahannya. Obsevasi ini disampaikan oleh Hakim Agung Sutarjo, Hakim Agung Kamar Pidana yang menyampaikan “Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak memberikan parameter kriteria penyalahgunaan narkotika yang jelas dan yang benar. Yang dikatakan penyalahguna seperti apa, pengedar seperti apa, sebagai penjual, sebagai pembeli, itu yang parameternya tidak jelas.”

Toton Rasyid, selaku Direktur Hukum, Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional, menyatakan bahwa orientasi pendekatan rehabilitasi dalam UU Narkotika sekarang masih menempatkan rehabilitasi sebagai kewajiban. Ia menyampaikan, “Cuma masalahnya sekarang rezim hukum memang harus diubah Undang-Undang ini. Kalau kita bicara Undang-Undang 35/2009, di pasal 103 rehabilitasi itu bagian dari menjalani hukuman. Jadi kita masih seperti itu. Kalau teman-teman mengatakan ini, jangan, (karena) orang punya hak menentukan untuk direhab atau tidak, ya (revisi) Undang-Undang ini harus segera kita selesaikan.”

Desakan yang tegas untuk merevisi UU Narkotika juga datang dari elemen masyarakat sipil, diwakili oleh Maidina Rahmawati dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN). Ia menyoroti pembobotan yang lebih berat UU Narkotika pada penghukuman dan bukannya kesehatan. Revisi UU Narkotika ini menurutnya akan membenahi tata kelola narkotika. Ia menyampaikan: “Ke depannya kita butuh dorongan bersama kawal pembahasan revisi UU Narkotika. Pastikan intervensi kesehatan tersebut diperkenalkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika.”

Pada sesi kedua setelah makan siang, diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana reformasi kebijakan narkotika melalui penuntasan amanat Prolegnas Prioritas 2025 turut bisa memperkuat kebijakan pengurangan dampak buruk (harm reduction) di Indonesia. Pembicara pertama sesi kedua, Nixon Randy Sinaga, pengacara publik LBHM memaparkan hasil penulisan kertas kebijakan menyoal kondisi kebijakan narkotika di Indonesia yang perlu mengintegrasi pendekatan pengurangan dampak buruk. Dia menyatakan, “Pengurangan dampak buruk adalah kebijakan yang mengarusutamakan hak atas kesehatan, yang berusaha untuk memitigasi dampak-dampak negatif dari penggunaan narkotika baik secara kesehatan, sosial, maupun aspek hukum dari penggunaan narkotika.Hal ini berangkat dari pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.”

Rosma Karlina, Direktur Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara, menjelaskan bahwa program pengurangan dampak buruk yang didorong oleh masyarakat sipil adalah pendekatan yang sifatnya holistik dan inklusif. Ia menekankan pentingnya memahami kebutuhan pengguna narkotika yang bisa berbeda-beda. Rosma menjelaskan, “Kebijakan pengurangan dampak buruk yang belum responsif terhadap gender, mengakibatkan rasa takut akan diskriminasi dan kriminalisasi bagi perempuan pengguna narkotika.” Ia menceritakan kasus-kasus di mana perempuan pengguna narkotika mendapatkan kekerasan dan melapor ke polisi, tapi bukannya kasus kekerasan yang diselesaikan, polisi malah sibuk mengkriminalisasi mereka atas penggunaan narkotika.

Melihat skema intervensi kesehatan yang sekarang tersedia bagi pengguna narkotika, Elly Hotnida Gultom, menjelaskan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Ia menjabarkan bahwa Kementerian Kesehatan fokus untuk membangun layanan terapi kesehatan terpadu di lebih banyak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia dengan penambahan sekitar 700 fasyankes Institusi Penerima Wajib Lapor. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pengguna narkotika perlu untuk direhabilitasi. Ia menyatakan, “Dari World Drug Report itu, 1 banding 8 (pengguna) yang membutuhkan layanan kesehatan.”

Permasalahan rehabilitasi yang mencuat dalam diskusi sejak pagi hari juga ditangkap dengan sangat baik oleh Marsono, Koordinator Pokja Napza dan Analis Kebijakan pada Direktorat Rehabilitasi Korban Bencana dan Kedaruratan, Kementerian Sosial. Marsono menyatakan bahwa Kementerian Sosial memiliki visi untuk terus memperbaiki standar layanan rehabilitasi Lembaga Kesejahteraan Sosial. Pada closing statement-nya, ia menyatakan, “Saat ini, perlu penertiban-penertiban terhadap lembaga-lembaga yang memang belum terstandar. Itu wajib kita proses ke sana.”

Dalam kegiatan ini, Nixon dan Rosma menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan badan legislatif untuk mereorientasi kebijakan narkotika di Indonesia dengan pendekatan hak atas kesehatan dan mereduksi penggunaan sarana penal, secara khusus bagi pengguna narkotika. Agenda reformasi kebijakan narkotika harus berangkat dari penghormatan hak asasi manusia, inklusif, non-diskriminatif, partisipatif, dan mengakomodasi seluruh kelompok rentan seperti perempuan, keberagaman gender, anak, dan disabilitas. 

Acara ditutup jam 16.00 waktu setempat. Dialog semacam ini, yang menyatukan perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil dalam satu ruangan, menjadi cara untuk menjunjung prinsip partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Harapannya, akan ada diskusi-diskusi serupa supaya revisi Undang-Undang Narkotika yang akan disahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung

0896-3970-1191 (Kiki Marini)

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

*Brutalitas Polisi Terus Makan Korban, Dari Warga hingga Pelajar SMK Ditembak Mati, Polri Harus Segera Direformasi!*

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) mengutuk keras kasus tembak mati (extrajudicial killing) yang melibatkan aparat kepolisian di sejumlah wilayah dalam beberapa hari terakhir. Minggu, 24 November 2024, anggota kepolisian Polres Semarang menembak mati seorang anak, Gamma Rizkynata Oktafandy (16), pelajar SMKN 4 Semarang yang juga melukai salah seorang rekannya. Di hari yang sama, warga Desa Tunggang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka, Beni (45) meninggal akibat tembakan anggota Brimob Polda Bangka Belitung setelah dituduh mencuri buah sawit di area perkebunan PT. BPL.

Padahal beberapa hari sebelumnya (Jumat, 22/11/2024), telah ramai diberitakan peristiwa polisi tembak polisi berujung kematian, yang dilakukan Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar terhadap Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar. Kejadian ini juga dikabarkan terkait dengan praktik beking tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian.

Koalisi mendesak Kapolri dan Kompolnas untuk menindak tegas para pelaku,  mengusut tuntas kasus ini serta memastikan tidak ada yang ditutup-tutupi. Presiden dan DPR RI juga tidak boleh tutup mata dan harus segera bertindak. Evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian mesti dilakukan agar korban tidak terus berjatuhan.

Di kasus kematian Gamma, Kapolrestabes Semarang memunculkan versi berbeda.  Penembakan merupakan bagian dari penanganan tawuran dan meminta masyarakat memahami tindakan kepolisian tersebut. Polisi menyebut bahwa korban merupakan anggota geng Tanggul Pojok yang sedang melakukan tawuran di Semarang Barat.

Tuduhan Polisi ini dibantah oleh kesaksian keluarga, guru, teman, warga sekitar dan Satpam perumahan tempat kejadian. Informasi media seperti Tempo dan Tribunjateng dan media lain menyebutkan bahwa menurut keluarga, guru dan teman korban. Korban adalah murid baik dan berprestasi dan tergabung dalam paskibraka, sehingga tidak mungkin melakukan tawuran. Selain itu, Satpam dan warga sekitar juga mengatakan bahwa hari itu tidak ada tawuran di daerah tersebut. Kejanggalan pun muncul, CCTV di sekitar kejadian mendadak “hilang” disita Polisi. Pola yang relatif mirip di kasus “Sambo”, Alm. Afif Maulana, KM 50, dan lainnya.

Koalisi RFP menilai tuduhan Polisi kepada korban adalah upaya institusi kepolisian untuk menutupi kasus dan menjaga citranya yang terus tercoreng. Koalisi mencatat pola yang serupa, dalam berbagai kasus. Muncul stigma buruk yang ditujukan kepada korban penembakan polisi untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Belajar dari kasus Ferdy Sambo, mulanya polisi menyatakan bahwa penembakan diawali oleh Brigadir Josua menembak Fredy Sambo, namun dalam investigasi ternyata sebaliknya. Respon kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.

Koalisi RFP memandang kasus penembakan yang berujung kematian ini menunjukan masih kuatnya arogansi, brutalitas, watak militeristik, dan kesewenang-wenangan anggota Polri terhadap masyarakat, bahkan terhadap korban yang masih berstatus anak. Alih-alih menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, kasus ini justru kian memperkuat potret kegagalan sistemik institusi kepolisian yang kian menempati posisi sebagai aktor pemegang monopoli kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menjamin “Setiap manusia memiliki hak untuk hidup.” Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang”. Sebagai ketentuan fundamental, hak ini kemudian ditegaskan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius. Tidak terkecuali terhadap pelanggaran atas asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang menjadi prinsip utama dalam sistem peradilan dan Negara Hukum.

Di kasus Gamma di Semarang, kepolisian harus mengusut secara cepat dan tuntas sebagaimana diatur Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Atas sederet tragedi penembakan berujung kematian tersebut, para pelaku harus diperiksa secara mendalam dan sungguh-sungguh terkait adanya pelanggaran sejumlah ketentuan seperti Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang mekanisme Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, termasuk Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO).

Namun tidak cukup melakukan pemeriksaan dan menghukum berat pelaku, kejadian ini harus dipandang sebagai kegagalan reformasi kepolisian yang menyebabkan kultur brutalitas yang masih terus mengakar di institusi Polri, tidak terkecuali untuk kembali mengevaluasi relevansi penggunaan senjata api di kepolisian yang notabene bertugas melakukan penegakan hukum dan menjaga keamanan dalam negeri yang kerap berhadapan dengan warga negara sendiri.

Mengacu data yang dihimpun KontraS dalam rentang 2020 – 2024 praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020 – Juni 2021 setidaknya telah terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

YLBHI mencatat sepanjang 2019 terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI menghimpun setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi RFP mendesak agar:

  1. Kapolri segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan penegakan hukum secara objektif dan profesional dengan mengusut tuntas dugaan pembunuhan dan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polres Semarang tersebut, serta memastikan akuntabilitas dan penghukuman tegas bagi pelaku ;
  2. Kapolri melakukan evaluasi ketat terhadap penggunaan senjata api di lingkungan kepolisian, bahkan perlu meniadakan penggunaan senjata api di institusi kepolisian, dengan mengganti dengan penggunaan senjata yang tidak mematikan, karena hanya akan menimbulkan korban-korban nyawa warga negara di kemudian hari;
  3. Kapolri segera memberhentikan polisi terduga pelaku penembakan dan pembunuhan tersebut;
  4. Presiden dan DPR RI segera menindaklanjuti seluruh persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan menjalankan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan polisi dan pemolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel;
  5. Kompolnas untuk menjalankan peran pengawasannya secara efektif dan memastikan agenda reformasi kepolisian dapat sepenuhnya dijalankan;
  6. Komnas HAM agar melakukan pemantauan, penyelidikan, dan melakukan audit institusi Polri terhadap kewenangan polisi menggunakan senjata api;
  7. Ombudsman, LPSK, dan KPAI dan lembaga terkait lainnya untuk aktif memantau dan memastikan proses hukum berjalan secara objektif, transparan, dan profesional;
  8. Mendesak DPR RI, khususnya Komisi III untuk segera memanggil Kapolri pada rapat kerja untuk memberikan pertanggungjawaban atas seluruh kejadian tembak mati, khususnya yang terjadi di Semarang, Bangka Belitung, dan Solok Selatan serta memastikan Reformasi Polri untuk menjamin ketidakberulangan tindak kekerasan yang dilakukan jajaran kepolisian.

 

Jakarta, 26 November 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

Arif (+62 817-256-167)

Paul (+62 822-9790-8465)

Pernyataan Sikap Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Dukungan Pemulangan Mary Jane Veloso Melalui Mekanisme Transfer of Prisoner

Jakarta, 21 November 2024

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan individu yang berkomitmen untuk menghapuskan hukuman mati, mengapresiasi upaya kolaboratif Pemerintah Indonesia dan Filipina yang menyepakati langkah penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) melalui jalur diplomasi Transfer of Prisoner. Momen ini merupakan perkembangan signifikan perjuangan MJV mendapatkan keadilan yang telah berlangsung hampir 15 tahun.

JATI juga mendorong agar Pemerintah Indonesia dan Filipina segera untuk  mengkonkretkan kesepakatan Transfer of Prisoner ini dengan segera menetapkan langkah-langkah dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV ke negaranya.

Lebih dari 14 tahun MJV telah berstatus sebagai terpidana mati dan duduk dalam deret tunggu eksekusi mati, jauh dari keluarga tercintanya, dan menghadapi ancaman hukuman yang kejam dan penyiksaan tidak langsung. Pernyataannya yang konsisten bahwa dirinya adalah korban perdagangan manusia yang didukung dengan bukti-bukti baru di Filipina, telah menyingkap kelemahan mendasar penerapan hukuman mati. Pemindahannya ke tahanan Filipina membuka peluang untuk memastikan bahwa hak-haknya dihormati sepenuhnya dan suaranya didengar.

MJV merupakan simbol kerentanan sekaligus ketangguhan dari mereka yang miskin dan terpinggirkan saat berhadapan dengan ketidakadilan. Kasus yang dialaminya unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, karena melintas batas yurisdiksi hukum antar negara yang membutuhkan keberanian penyikapan dan terobosan hukum.  Kasusnya memberi pelajaran dan semakin menegaskan mendesaknya penanggulangan perdagangan manusia, sekaligus pembelajaran agar lebih cermat dalam penggunaan Undang-Undang Narkotika yang menegasikan korban sindikat perdagangan manusia.

JATI menyerukan kepada Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk memperlakukan kasus MJV dengan sangat hati-hati, menghormati hak-haknya sebagai korban perdagangan manusia, dan saat kembali ke negaranya memastikan bahwa ia menerima dukungan hukum dan psikologis yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupannya. JATI mengingatkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tentang ekstradisi menjelaskan bahwa proses ekstradisi harus memastikan bahwa kondisi tempat negara penerima harus tidak memberikan resiko adanya eksekusi pidana mati bagi terpidana yang ditransfer. Jaminan ini seharusnya dapat dilaksanakan mengingat bahwa Filipina telah menghapuskan pidana mati pada 2006.

Kami juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menggunakan kasus ini sebagai batu loncatan untuk memperkuat langkah-langkah dalam memerangi perdagangan manusia dan melindungi hak-hak pekerja migran di luar negeri, sekaligus menyelamatkan mereka dari hukuman mati yang tersebar di beberapa negara yang masih menerapkan pidana mati.

JATI menegaskan kembali komitmennya untuk penghapusan hukuman mati secara menyeluruh dalam hukum pidana nasional. Kasus Mary Jane menjadi pengingat pahit bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dan tidak mengatasi akar penyebabnya. Bahkan dalam kasus MJV menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum bisa menjamin implementasi prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan membiarkan peradilan sesat yang sering menyasar kasus hukuman mati sehingga penghapusan hukuman mati dan pengubahan hukuman (commutation) pidana mati menjadi tindakan yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia.

Perlu diingat, MJV tidak sendiri, masih banyak korban-korban perdagangan manusia lainnya yang menghadapi jerat hukuman mati di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia maupun luar Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di luar negeri. Rentetan kasus seperti ini menyimpulkan bahwa hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan, menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menolak keadilan bagi mereka yang dituduh dan dieksploitasi secara tidak adil.    

JATI juga hendak mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa karakteristik kasus perdagangan manusia yang mengeksploitasi perempuan atau kelompok rentan lain sebagai kurir narkotika tidak hanya menimpa Mary Jane Veloso. Banyak terpidana narkotika baik berkewarganegaraan asing maupun Indonesia yang menerima hukuman maksimal dan tidak pernah mendapatkan pengakuan atau perlindungan sebagai korban perdagangan manusia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu untuk mempertimbangkan melakukan skema-skema transfer of prisoners, komutasi, ataupun amnesti kepada para terpidana mati dengan karakteristik kasus yang serupa dengan Mary Jane Veloso.

Untuk itu kami menyampaikan sikap:

  1. Pemerintah Indonesia dan Filipina segera menyusun dan menyepakati langkah-langkah konkret dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV dari Indonesia ke Filipina;
  2. Pemerintah Filipina memperlakukan MJV sebagai korban perdagangan manusia, oleh karena itu hak-haknya harus dihormati dan dipenuhi, termasuk haknya untuk mengajukan pengurangan hukuman;
  3. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan melakukan mekanisme transfer of prisoner, komutasi, atau amnesti bagi terpidana mati yang terbukti sebagai korban perdagangan manusia, mengambil contoh baik dari rencana pemulangan MJV;
  4. Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dalam hukum pidana nasional, termasuk merevisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berkontribusi dalam pelanggaran prinsip fair trial dan sumber rekayasa kasus;
  5. Pemerintah Indonesia meninjau kasus hukuman mati dan segera melakukan perubahan hukuman terpidana mati sebagaimana mandat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Narahubung:

  1. Iweng Karsiwen (KABAR BUMI) – 081281045671
  2. Yosua Octavian (LBHM) – 081297789301
  3. Maidina Rahmawati (ICJR) – 085773825822
  4. M. Afif Abdul Qoyim (YLBHI) – 081320049060
  5. Gina Sabrina Monik (PBHI) – 085252355928
  6. Amira (KontraS) – 08176453325

Ancaman Semu LGBTQ dalam Kajian Wantannas: Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Kamis, 14 November 2024, yang menyajarkan isu LGBTQ sebagai ancaman negara prioritas pada tahun 2025. Pernyataan yang dibuat tanpa dasar logika dan riset yang matang berpotensi menambah aksi persekusi dan kekerasan yang diterima oleh individu LGBTQ di Indonesia.

Di hadapan anggota dewan, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat memaparkan kajian strategis lembaganya tentang dinamika geopolitik nasional dan internasional, serta mengulas isu strategis keamanan pada tahun 2025. Isu LGBTQ masuk ke dalam isu budaya, bersama dengan penguatan jati diri di Papua, konflik pesisir, minta petani untuk generasi muda, kesejahteraan dosen, kualitas sarjana dan mutu pendidikan, budaya antikorupsi, dan konten TV. Dalam sesi tanya-jawab, diskusi yang memosisikan LGBTQ sebagai ancaman juga datang dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI.

Asosiasi LGBTQ sebagai ancaman negara yang perlu ditindak dengan pendekatan sekuritisasi ini keliru dalam setidak-tidaknya tiga poin:

Pertama, pengkategorian LGBTQ sebagai ancaman bangsa justru kontraproduktif dengan tujuan dari Wantannas sendiri yang salah satunya adalah menjaga keamanan bangsa. Dalam RDP tersebut, tercetus anggapan bahwa LGBTQ adalah bom waktu, yang kalau dibiarkan sekarang akan merugikan di masa depan. Pengaitan individu LGBTQ dengan istilah-istilah militeristik ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2016, Ryamizard Ryacudu, mantan Menteri Pertahanan era Jokowi juga mengaitkan LGBTQ dengan nuklir.[1] Perumpamaan yang kering imajinasi ini tidak didukung oleh argumen yang logis dan malah bersifat menakut-nakuti masyarakat awam tentang keragaman orientasi seksual dan identitas gender di Indonesia.

Selama ini, individu LGBTQ adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan dan persekusi. Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan dari 401 responden LGBTQ, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.[2] Dari situasi tersebut, RDP yang terjadi minggu lalu malah semakin menambah bara dalam kepungan serangan terhadap individu LGBTQ di Indonesia dan memperlemah keamanan bangsa.

Kedua, kajian Wantannas tentang ancaman LGBTQ disebabkan oleh ketidaktahuan tentang ragam identitas gender dan orientasi seksual. Sekjen Wantannas menyatakan bahwa LGBTQ berbahaya karena penambahan identitas queer yang ia definisikan sebagai “Segala sesuatu orang yang orientasi seksualnya masih belum jelas.” Bahkan, ia menyamakan individu queer dengan hubungan seksual manusia dengan binatang (zoophilia), manusia dengan peralatan/boneka (hubungan seksual dengan sex toys), dan pedofilia. Pada kenyataannya, orang heteroseksual dan cisgender[3] pun bisa masuk ke kategori orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, peralatan dan boneka. Banyak juga individu heteroseksual yang dijatuhi hukuman pidana karena melakukan hubungan seksual dengan anak. Kasus Herry Wirawan, misalnya, menunjukkan bahwa seorang pria heteroseksual bisa melakukan kekerasan seksual kepada 13 santriwati yang berusia dari 14-20 tahun.[4]

Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Wantannas tentang identitas queer. Queer adalah kelompok identitas bagi orang-orang yang merasa tidak nyaman dikelompokkan ke dalam kategori identitas gender atau orientasi seksual yang bersifat kaku. Dengan demikian, istilah queer adalah istilah yang memayungi ragam gender dan seksualitas lainnya (umbrella term). Secara historis, istilah ini awalnya muncul sebagai hinaan, tapi kemudian diambil alih oleh kelompok queer sebagai identitas yang menguatkan, karena dengan istilah tersebut seseorang mendapatkan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri.[5] Akar etimologi dan histori inilah yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memilih identitas queer tidak sama dengan orang-orang yang melakukan kekerasan seksual.

Ketiga, tidak ada bukti bahwa individu LGBTQ menyebabkan rendahnya angka pernikahan dan penurunan populasi. Pernyataan ini keluar dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI, yang mengaitkan perkembangan kehidupan LGBT dan angka pernikahan di Indonesia yang semakin hari semakin menurun. Ia lantas membandingkan kondisi ini dengan negara Korea Selatan di mana, menurut cerita anekdotalnya, sekolah-sekolah kekurangan anak didik sehingga pemerintahnya memohon-mohon negara lain untuk mengirimkan peserta didik ke Korea Selatan.

Tidak ada bukti akademis yang menyatakan bahwa eksistensi dari individu LGBTQ menyebabkan penurunan populasi. Di Korea Selatan, penurunan angka pernikahan dan penurunan angka kelahiran lebih disebabkan oleh harga perumahan yang melambung tinggi, budaya mementingkan kerja di atas segalanya (workism), diskriminasi terhadap perempuan pekerja yang memiliki anak. Semua hal ini mempengaruhi keputusan orang muda di Korea Selatan untuk tidak menikah dan/atau tidak memiliki anak.[6] Bahkan, Korea Selatan belum termasuk negara yang mengakui pernikahan sesama jenis, sehingga mengada-ngada ketika penurunan populasi Korea Selatan dikaitkan dengan individu LGBTQ.

“Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak Wantannas mengkaji ulang isu-isu strategis yang perlu untuk ditangani di 2025,” kata Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. “Individu LGBTQ sudah rentan menjadi target serangan dan diskriminasi yang masif dari berbagai kelompok.”

“Jika Wantannas memang serius hendak mengubah fungsinya dari Dewan Ketahanan Nasional ke Dewan Keamanan Nasional, seharusnya lembaga ini turut berkontribusi untuk melindungi hak-hak dasar dari semua orang di Indonesia, tidak terkecuali individu LGBTQ.”

 

Jakarta, 18 November 2024

 

Narahubung: Albert (0859 3967 6720)

[1] Hakim, Syaiful. “Menhan: LGBT Bagian Proxy War.” Antaranews. 23 Februari 2016. Diakses di  http://www.antaranews.com/berita/546668/menhan-lgbt-bagian-proxy-war

[2] Saputra, A. F. Shabrina, D. Nugraha, R. K. (2022). Sampai Kapan Kami Harus Sembunyi? Laporan Situasi Minoritas Gender dan ragam Orientasi Seksual di Indonesia. Jakarta, Consortium CRM.

[3] Cisgender: Seseorang yang identitas gendernya sama dengan identitas gender yang ditetapkan padanya saat dia lahir.

[4] Budi, Candra Setia. “Perjalanan Kasus Pemerkosaan 13 Santri oleh Herry Wirawan, Kronologi hingga Vonis Mati.” Kompas.com. 4 April 2022. Diakses di https://bandung.kompas.com/read/2022/04/04/225025378/perjalanan-kasus-pemerkosaan-13-santri-oleh-herry-wirawan-kronologi-hingga?page=all.

[5] Andrew, Scottie. “What it means to be queer.” CNN.com. 11 Juni 2024. Diakses di https://edition.cnn.com/us/queer-meaning-lgbtq-cec/index.html

[6] Ahn, Ashley. “South Korea has the world’s lowest fertility rate, a struggle with lessons for us all.” Npr.org. 19 Maret 2023. Diakses di https://www.npr.org/2023/03/19/1163341684/south-korea-fertility-rate

Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Atas Opsi Pemindahan Narapidana Mary Jane Veloso

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menyambut usulan transfer of prisoner terhadap penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso. Langkah penyelesaian diplomatik ini menjadi angin segar atas ketidakpastian kasus yang dihadapi Mary Jane Veloso, kendati sudah jelas statusnya sebagai salah satu korban perekrutan ilegal dan tindak pidana perdagangan orang di Filipina. Namun, JATI memiliki catatan penting yang patut dipertimbangkan atas upaya transfer of prisoner ini.

Pertama, usulan transfer of prisoner bukan hanya memindahkan terpidana ke negara asalnya dan menghabiskan sisa masa hukuman yang telah dijatuhkan pengadilan di Indonesia. Upaya transfer of prisoner ini sepatutnya diawali dengan memperjelas status hukuman terhadap terpidana warga negara asing yang akan dipindahkan dan mempertimbangkan segala keputusan pengadilan yang berkaitan dengan kasus tersebut, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan Indonesia.

Pada kasus Mary Jane Veloso misalnya, jaminan non punishment terhadap korban perdagangan orang, sebagaimana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, belum pernah diterapkan sama sekali. Maka, mengeluarkan Mary Jane Veloso dari status terpidana dengan pertimbangan hasil putusan pengadilan Filipina yang menyebutnya sebagai korban perdagangan orang menjadi langkah pertama yang harus diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Kedua, langkah transfer of prisoner maupun upaya-upaya penyelesaian diplomatik lain seyogianya tidak terbatas hanya pada Mary Jane Veloso. Kesempatan ini juga harus diberikan kepada narapidana warga negara asing lain yang sakit kronis, menjadi korban kejahatan, dan memiliki alasan-alasan kemanusiaan lain untuk dikembalikan ke negara asal. Opsi pemulangan yang luas ini akan memungkinkan Indonesia memiliki posisi tawar untuk meminta warga negara Indonesia berstatus terpidana, terutama bagi mereka yang berstatus terpidana mati, di negara lain untuk dipulangkan ke Indonesia. Mengingat ada banyak warga negara Indonesia yang berstatus terpidana mati di Malaysia dan Kingdom of Saudi Arabia. Pemulangan warga negara Indonesia melalui transfer of prisoners seharusnya juga menjamin akses mereka terhadap hak-hak pengubahan atau pengurangan hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Ketiga, terbukanya peluang penyelesaian pidana dengan langkah-langkah diplomasi ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat bukti keterkaitan korban perdagangan orang dan kerentanannya terhadap pidana mati, yang satu di antaranya karena menjadi kurir narkotika. Situasi ini tidak hanya menyelamatkan korban perdagangan orang yang dieksploitasi sebagai kurir narkotika dan diposisikan sebagai terdakwa atas suatu tindak pidana, tetapi mempertegas dan memperkuat posisi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang rentan menjadi kurir narkotika, terutama di mata internasional.

Demikian catatan penting yang patut menjadi pertimbangan dalam usulan upaya transfer of prisoner ini. Kami mendesak pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, merealisasikan secara serius transfer of prisoners ini dengan pelibatan bermakna Mary Jane Veloso, keluarganya, serta organisasi masyarakat sipil yang relevan.

Narahubung:

  • Kabar Bumi: 0812 8104 5671
  • LBH Masyarakat: 0822 6452 7724

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan!

Pernyataan Sikap dalam Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 9 Oktober 2024

 

Setiap tanggal 10 Oktober, berbagai negara, organisasi, dan advokat di seluruh dunia bersatu dalam solidaritas untuk kembali menegaskan sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga, dan tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil. Pada hari ini, kami Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis, advokat, praktisi, tokoh agama, dan komponen masyarakat sipil lainnya turut bersolidaritas dan menyerukan diakhirinya praktik tersebut. Kami mengingatkan pentingnya hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun dan bahwa keadilan seharusnya adalah tentang rehabilitasi dan pemulihan, bukan pembalasan.

Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 55 negara masih mempertahankan hukuman mati untuk pidana luar biasa, 222 orang dieksekusi mati sepanjang 2023, serta terdapat 41.047 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang di dipublikasi di website https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu, 11 orang di antaranya adalah perempuan.

Pidana mati telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, menimbulkan pertanyaan tentang moral, hukum, dan dampak sosialnya. Dalam banyak kasus, hukuman mati secara tidak proporsional menargetkan masyarakat yang terpinggirkan, orang miskin, dan bahkan mereka yang dituduh secara tidak benar dengan melanggar hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial). Dampak dari hukuman mati bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sangat personal. Kisah-kisah terpidana mati dan keluarga mereka memberikan gambaran yang sangat jelas tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Dari tuduhan pengadilan yang tidak adil hingga laporan penderitaan mental yang diderita oleh mereka yang menunggu eksekusi, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa hukuman mati sejatinya adalah tentang penyiksaan dan penderitaan yang nyata, sehingga penerapan pidana mati tampak sebagai hukuman berlapis.

Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan. Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun. Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban. Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati.

Kami juga mengingatkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan 2 Januari 2023 (UU No.1 Tahun 2023), pidana mati merupakan pidana alternatif yang pemidanaannya selalu diberikan satu paket dengan masa percobaan 10 tahun untuk dapat dilakukan pengubahan hukuman menjadi seumur hidup. KUHP yang baru juga menetapkan pembentukan mekanisme penilaian terhadap terpidana mati untuk melihat adanya perubahan sikap dan perbuatan yang terpuji sebagai syarat pengubahan pidana mati.

Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional. Malaysia, baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib (mandatory death sentence) dan membuat kebijakan pemindahan ulang (resentencing) yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati. Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia ini, kami menyerukan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo sebelum menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 untuk menyelesaikan komutasi massal bagi 557 terpidana mati. Sedangkan bagi Presiden terpilih dan anggota DPR yang baru saja dilantik, serta seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) dan Pemerintah (Eksekutif) untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab, manusiawi dan adil, bergabung dengan negara-negara lain untuk mengakhiri bentuk hukuman keji dan tidak dapat dipulihkan ini (irrevisible).

Ini saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah yang terukur dan berani untuk menghapuskan hukuman mati.

Untuk itu,kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkrit dan terukur untuk menghapuskan hukuman mati, melalui langkah-langkah berikut :

  1. Melakukan moratorium penuntutan pidana mati;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Memastikan dibentuknya mekanisme penilaian untuk pengurangan hukuman mati;
  4. Melakukan asesmen secepatnya terhadap terpidana mati di deret tunggu yang sudah menjalani pidana penjara 10 tahun lebih untuk pengurangan hukuman;
  5. Melakukan pemantauan secara berkala pada tempat-tempat penahanan terpidana mati untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mencegah terjadinya penyiksaan;
  6. Memastikan responsivitas gender dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga penahanan/pemenjaraan sehingga kebutuhan, situasi dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan dipertimbangkan;
  7. Menjamin terpenuhinya Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas sejak dari proses penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan sehingga kebutuhan, hambatan, dan kerentananan Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan proses yang setara dan adil diakui dan dipertimbangkan;
  8. Menyelamatkan Warga Negara Indonesia atau buruh migran dari hukuman mati di luar negeri.

Daftar Lembaga dan Individu:

Lembaga

  1. Imparsial
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  4. Reprieve
  5. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  6. JPIC Divina Providentia
  7. ICJR
  8. Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)
  9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  10. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN)
  11. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  12. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  13. JALA PRT
  14. Marsinah.id
  15. Institut Sarinah
  16. Artsforwomen Indonesia
  17. FSBPI
  18. GMNI
  19. Kidung
  20. KKPPMP KEPRI
  21. YAPESDI
  22. Sikola Mombine, Sulteng
  23. Suluh Perempuan
  24. Perempuan Mahardhika
  25. Migrant CARE
  26. PBHI
  27. IJRS
  28. Beranda Migran
  29. Peduli Buruh Migran
  30. debtWATCH Indonesia
  31. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  32. PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia).
  33. LRC KJHAM
  34. SETARA Institute
  35. Yayasan Inklusif
  36. ELSAM
  37. Komunitas Perempuan Berkisah
  38. Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya)
  39. Yayasan Srikandi Sejati
  40. Pasah Kahanjak
  41. Kolektif Semai
  42. Caritas Indonesia
  43. Jaringan Nasional Anti TPPO (JarNas Anti TPPO)
  44. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
  45. Emancipate Indonesia
  46. Human Rights Working Group (HRWG)
  47. Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya
  48. INFID
  49. CENTRA Initiative
  50. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP)
  51. KASBI
  52. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  53. Solidaritas Perempuan
  54. Koalisi Perempuan Indonesia
  55. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  56. Asosiasi LBH APIK Indonesia (APIK)
  57. F-SEDAR
  58. Aliansi Magang, Outsourcing, Kontrak Melawan (AMUK)
  59. Amnesty International Indonesia

 

Individu

  1. Rosma Karlina
  2. Baby V. Nurmaya
  3. Rizki Kurniawan
  4. Bambang Yulistyo Tedjo
  5. Yuyu Marliah Sukabumi
  6. Eva Sundari
  7. Olin Monteiro
  8. Fanda Puspitasari
  9. Syahar Banu
  10. Panca Saktiyani
  11. Ririn Sefsani
  12. Siti Rubaidah
  13. Maria Yohanista Djou
  14. Amelia Efiliana
  15. DessiDesmaniar
  16. Wahyu Susilo
  17. Puspa Yunita
  18. Rully Winata
  19. Dicky Sulaeman, S.H.
  20. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal)
  21. Raditya Budi Setiawan, S.E.
  22. Iwan Misthohizzaman
  23. Arimbi Heroepoetri
  24. Youngster1312
  25. Yuli Riswati
  26. Sr Laurentina SDP
  27. Hery Oktavianus
  28. Dewi Tjakrawinata
  29. Sari Aznur
  30. Halili Hasan
  31. Alimah Fauzan
  32. Kekek Apriana DH
  33. Ditta Wisnu
  34. Erwin Natosmal Oemar
  35. Nabila Tauhida
  36. Jesse Adam Halim
  37. Eric Sindunata
  38. Dike Nomia
  39. Erwin Netosmal Oemar
  40. Dian Kartika Sari
  41. Pera Sopariyanti
  42. Aida Milasari
  43. Yessi Talibo
  44. Savitri Wisnuwardhani
  45. Mike Verawati
  46. Nursyahbani Katjasungkana