Category: Isu

Isu LBHM

PERNYATAAN BERSAMA TOKOH DAN AKTIVIS KEAGAMAAN (KRISTEN DAN ISLAM) Dalam Lokakarya Dasar-Dasar Pengurangan Dampak Buruk (NAPZA)

Dalam semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama, para tokoh serta aktivis keagamaan dari Kristen dan Islam yang hadir dalam “Lokakarya Dasar-Dasar Pengurangan Dampak Buruk Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA)” menyusun pernyataan bersama sebagai wujud tanggung jawab moral dan sosial dalam mendukung upaya pengurangan dampak buruk Napza, menyatakan sebagai berikut.

  • Memandang pengguna Napza sebagai manusia yang memiliki martabat dan hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya.
  • Menyadari bahwa Napza tidak semata berdampak negatif tetapi juga memiliki manfaat medis. Oleh karena itu, penggunaan Napza perlu dipandang bukan hanya sebagai persoalan hukum dan moral, tetapi juga masalah kesehatan publik, sosial, dan kemanusiaan lainnya.
  • Menegaskan bahwa pengguna Napza perlu dipandang sebagai orang yang membutuhkan dukungan, pemulihan, dan perlindungan hukum secara holistik. Karena itu dibutuhkan kerjasama antara pemuka agama dan kepercayaan serta para pemangku kebijakan dalam menyediakan akses informasi dan layanan pengobatan hingga pemulihan pengguna narkotika.
  • Mendorong para pemuka agama dan kepercayaan untuk lebih terbuka, merangkul, dan memberdayakan pengguna Napza di lingkungan pelayanan masing-masing.
  • Mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengedepankan pendekatan secara humanis dan berkeadilan dalam pencegahan, penanganan, serta pemulihan, bukan semata menjadikan pengguna Napza sebagai objek penindakan.

Pernyataan bersama ini menjadi pijakan moral dan sosial bagi para pemuka agama untuk terus berperan aktif dalam mendukung pengurangan dampak buruk bagi pengguna Napza. Dengan komitmen yang inklusif, humanis, dan berkeadilan, pernyataan ini juga diharapkan menjadi pijakan bagi masyarakat untuk dapat bergerak bersama membangun lingkungan yang lebih sehat, aman, dan penuh kasih, sehingga setiap individu, termasuk pengguna Napza, dapat memperoleh kesempatan untuk pulih, berdaya, dan berkontribusi bagi kehidupan bersama.

Pernyataan bersama ini disusun secara kolektif oleh para tokoh dan aktivis keagamaan dari Kristen dan Islam yang hadir dalam Lokakarya Dasar-Dasar Pengurangan Dampak Buruk Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA), yang terdiri dari:

  • Andrian Raja Nagur Purba – Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)
  • Abdul mukti – MUI Kecamatan Palmerah
  • Anom Tulus Manembah – Ahmadiyah
  • Cornelia Dumarya Manik – Gereja Kristen Indonesia / Biro Pemuda dan Remaja PGI
  • Dr. Alfian Rico Komimbin, M.Th. – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
  • Dr. Nurfadhilah, SKM, MKM – Aisyiyah Muhammadiyah
  • Pdt. Dr. Ejodia Kakunsi, M.Th – Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) / Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI DKI Jakarta)
  • Elys Lusiari Papuana Toam – Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI TP) / Biro Papua PGI
  • Emira Shafwa – Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
  • Euis Marlina – Muslimah Reformis
  • Fathiyah Adha – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
  • Fiki Alfinni’mah – Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
  • Franky Rompas – PGI Wilayah DKI Jakarta
  • Glen Ferry Pattinama – Gereja Protestan Soteria Indonesia (GPSI) / PGI Wilayah DKI Jakarta
  • Jung Muhammad Nur Natsir M.Ag. – Santri Mendunia
  • Jung Nurshabah Natsir MB – Muslimah Reformis
  • Lidya Dyani Banni – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
  • Manarisip Joyce Ellen – Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)
  • Manda Andrian – Gereja Kristen Jawa
  • Mila Muzakkar – Generasi Literat
  • Muhammad Agus Salim – Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta
  • Mujib Munawan – Ahlulbait Indonesia
  • Novie Sitri Harisa – Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia
  • Pdt. Dr. Hery Frans Pasaribu, M.Th – Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia
  • Pdt. Ronald Rischard – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
  • Pdt. Sudirman Waruwu – PGI Wilayah DKI Jakarta
  • Ria Claudia Watulingas – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
  • Sepy Rizki Amelia – Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta
  • Siti Nurkholilah – MUI Kabupaten Bekasi
  • Triman Santoso – Lembaga Dakwah Islam Indonesia
  • Zainab Alhaura – Ahlulbait Indonesia

Pengaturan Teknik Investigasi Khusus: Penyamaran, Pembelian terselubung, dan Penyerahan di Bawah Pengawasan dalam Pembaruan KUHAP

Teknik investigasi khusus seperti penyamaran, pembelian terselubung, dan penyerahan di bawah pengawasan pada dasarnya lahir untuk membongkar kejahatan terorganisasi yang sulit dijangkau dengan metode penyidikan konvensional. Instrumen ini diakui dalam hukum internasional, termasuk UNTOC, dan diadopsi dalam regulasi nasional seperti UU Narkotika serta Perkapolri No. 6 Tahun 2019.

Namun, di Indonesia, praktik ini masih problematis. Batas antara teknik investigasi dengan penjebakan (entrapment) sangat tipis. Regulasi yang ada tidak secara jelas mengatur kapan teknik ini boleh digunakan, bagaimana prosedurnya, serta mekanisme akuntabilitasnya. Akibatnya, kewenangan yang seharusnya dipakai untuk menindak kejahatan serius justru berpotensi melanggar hak tersangka dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Karena itu, pembaruan KUHAP harus memastikan adanya pengaturan ketat, batasan yang jelas, serta sistem pengawasan internal dan eksternal agar teknik investigasi khusus tidak menjadi alat kriminalisasi.

Selengkapnya dapat dibaca dalam kertas posisi: Pengaturan Teknik Investigasi Khusus: Penyamaran, Pembelian Terselubung, dan Penyerahan di Bawah Pengawasan dalam Pembaruan KUHAP.

Menatap Keadilan dari bawah Menara Gading: Catatan Kritis LBHM Terhadap Pengaturan Upaya Hukum dalam Pembaruan KUHAP

KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) sebagai instrumen utama sistem peradilan pidana Indonesia sudah berusia lebih dari 40 tahun. Alih-alih menjadi alat koreksi yang adil, KUHAP justru menyimpan banyak masalah dari lemahnya perlindungan HAM, kewenangan aparat yang sewenang-wenang, hingga akses keadilan yang terhambat.

Pada 19 Februari 2025, DPR menetapkan RKUHAP sebagai usul inisiatif dengan alasan penyelarasan terhadap KUHP baru yang akan berlaku 2026. Namun, dalih penyelarasan saja tidak cukup. Pembaruan KUHAP harus memastikan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia di setiap tahapan proses peradilan.

Salah satu persoalan mendasar adalah sistem upaya hukum. KUHAP menyediakan jalur banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memperbaiki putusan yang keliru. Akan tetapi, dalam praktiknya, upaya hukum seringkali hanya bisa diakses oleh pihak yang punya pengetahuan. Bagi banyak orang, terutama korban, mekanisme ini terasa seperti “menara gading”: jauh, dan sulit dijangkau.

LBH Masyarakat menyoroti persoalan ini melalui kertas posisi: Menatap Keadilan dari bawah Menara Gading: Catatan Kritis LBHM Terhadap Pengaturan Upaya Hukum dalam Pembaruan KUHAP

Selengkapnya, baca kertas posisi ini untuk memahami mengapa reformasi KUHAP harus benar-benar menjawab kebutuhan pencari keadilan

Catatan Kritis LBH Masyarakat atas Brutalitas Aparat dalam Penanganan Aksi Demonstrasi

Menyikapi demonstrasi yang terjadi di Jakarta minggu ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melihat beberapa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang perlu mendapatkan perhatian serius. Beberapa catatan kami yang juga dikonfirmasi oleh lembaga-lembaga lain mencakup:

1. Kekerasan Brutal dan Pembunuhan

Sepanjang pengamanan aksi demonstrasi selama ini, aparat polisi berulang kali melakukan perbuatan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejadian pembunuhan kepada Affan Kurniawan tempo hari menjadi contoh kecil di tengah masifnya tindakan kekerasan dan brutalitas aparat pada saat demonstrasi. Selama ini, proses penyelesaian kekerasan aparat di  tengah demonstrasi ini jarang diselesaikan dengan proses pidana dan etik. Sepatutnya, kepolisian melakukan pemeriksaan etik dan pemeriksaan tindak pidana bagi aparat-aparat kepolisian yang melakukan tindakan eksesif kekerasan.

2. Brimob di Aksi Damai: Menebar Ketakutan dan Kontraproduktif

Dalam menjaga keamanan selama proses unjuk rasa, kepolisian masih mengutamakan Brigade Mobil (Brimob) dalam penanganan demonstrasi. Menurut Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2022, Korps Brigade Mobil memiliki tugas membina dan mengerahkan kekuatan guna menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang berintensitas tinggi. Namun, kehadiran Brimob ketika unjuk rasa masih berjalan damai seharusnya tidak diperlukan. Malah, kehadiran Brimob dalam unjuk rasa damai akan bersifat kontraproduktif untuk keamanan karena malah menyebarkan ketakutan dan melakukan penindakan yang ‘keras’. Risiko ini terbukti dengan meninggalnya Affan Kurniawan.

3. Abuse of Power Kepolisian terhadap Anak

Dalam demonstrasi sepekan ini, aparat kepolisian dikabarkan melakukan ‘pengamanan’ atas peserta demonstrasi berusia anak. ‘Pengamanan’ ini kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan di kantor polisi, bahkan sampai masuk ke jenjang penyidikan. Padahal, siapapun, termasuk orang yang berusia anak, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengenal kewenangan ‘mengamankan’. Pengamanan yang diskriminatif kepada anak, menunjukkan adanya abuse of power dari aparat kepolisian selaku penegak hukum.

4. Tes Urin Paksa terhadap Massa Aksi

Aparat kepolisian juga banyak melakukan pemeriksaan urin secara paksa kepada massa aksi yang ditangkap. Senin 25 Agustus 2025, Polda Metro Jaya melakukan tes urine paksa terhadap 351 demonstran di depan Gedung DPR RI, yang kemudian menyebut tujuh orang di antaranya positif narkotika. Hal Ini merupakan kebiasaan pelanggaran hukum yang kebablasan karena dasar untuk melakukan tes urin tidak ada. Seharusnya tes urin untuk memeriksa penggunaan narkotika dilakukan jika ada kecurigaan seseorang terlibat dalam kasus narkotika, bukan memukul rata semua demonstran untuk dites narkotika. Tes urine dalam aksi demonstrasi juga seolah ingin menyebarkan stigma bahwa para pengunjuk rasa yang terlibat dalam demonstrasi adalah orang-orang yang salah dan tidak patut didengarkan karena mereka pengguna narkotika.

5. Penahanan Sewenang-Wenang Tanpa Prosedur

Salah satu praktik paling berbahaya yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi belakangan ini adalah penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tanpa prosedur administratif. Banyak massa aksi yang ditahan di kantor polisi (Polsek/Polres/Polda), tapi tak ada satupun dokumen resmi yang dibuat untuk mencatat tindakan tersebut. Tanpa administrasi, tindakan anggota kepolisian tidak tercatat dalam sistem hukum. Imbasnya, massa aksi yang ditahan tidak memiliki dasar hukum untuk menggugat atau melawan. Hak konstitusional mereka lenyap karena negara tidak mengakui sebagai “penahanan resmi”. Penahanan sewenang-wenang tanpa prosedur ini merupakan bentuk “kekerasan tak kasat mata” dan merampas kemerdekaan mereka.

6. Pengawasan Tak Berjalan

Mekanisme pengawasan atas tindakan brutalitas di lapangan tidak berjalan. Meskipun kita tidak berkekurangan lembaga-lembaga pengawasan internal dan eksternal, seperti Kompolnas, publik tidak bisa melihat selama ini respon mereka atas pengekangan kebebasan berpendapat oleh aparat di lapangan. Pada demonstrasi-demonstrasi yang terjadi sebelumnya, seperti demonstrasi Hari Buruh tanggal 1 Mei, tidak ada tindakan yang dilakukan oleh Kompolnas atas upaya represi dan kriminalisasi orang-orang yang sedang menyampaikan pendapat secara damai. Badan-badan pengawasan internal dan eksternal seharusnya mampu untuk meredam aksi brutalitas aparat dan melakukan penyelidikan atas aparat-aparat yang melakukan tindakan tersebut.

7. Represif terhadap Jurnalis/Media

Selama proses demonstrasi, aparat kepolisian tidak hanya represif kepada orang-orang yang sedang menyampaikan pendapat, tetapi juga kepada personil media. Beberapa personil media mendapatkan larangan untuk merekam peristiwa yang terjadi. Tindakan represif ini juga diperkuat dengan Surat Imbauan Nomor 309/KPID-DKI/VIII/2025 tertanggal 28 Agustus 2025 dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi DKI Jakarta, yang meminta kepada 66 lembaga penyiaran untuk tidak menayangkan siaran/liputan unjuk rasa yang bermuatan kekerasan secara berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa hak kebebasan berpendapat dan kebebasan pers belum sepenuhnya dijamin. Publik memiliki hak atas informasi yang berimbang dan transparan, sehingga kehadiran personil media dan lembaga penyiaran yang bebas untuk mewartakan apa yang terjadi menjadi penting.

Atas poin-poin kesalahan ini, LBHM mendesak agar:

  1. Presiden Prabowo Subianto mencopot Kepala Kepolisian RI, Sigit Listyo Prabowo, sebagai bentuk akuntabilitas pemimpin atas pelanggaran hukum dan HAM para personilnya.
  2. Pemerintah dan DPR melakukan revisi KUHAP dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna untuk memastikan bahwa aturan-aturan pemeriksaan menjunjung tinggi hak asasi manusia orang-orang yang tengah berkonflik dengan hukum.
  3. Adanya pemeriksaan yang bersifat independen kepada seluruh aparat kepolisian yang melakukan kekerasan, termasuk pembunuhan yang dilakukan kepada Affan Kurniawan, dengan melibatkan berbagai lembaga pengawas internal dan eksternal Polri untuk memastikan pelaku mendapatkan sanksi etik dan pidana yang seadil-adilnya.

 

KERTAS KEBIJAKAN | Mekanisme Penegakan Hukum Internasional untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Elemen Pemaksaan Kejahatan

Indonesia masih menghadapi ancaman serius dalam hal tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pada tahun 2023, Kepolisian mencatat 1.061 kasus dengan 3.363 korban.

Sementara itu, sepanjang tahun 2024, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Nasional Anti TPPO mendampingi 248 kasus, menunjukkan betapa luas dan kompleksnya dampak perdagangan manusia di lapangan.

Salah satu modus yang kian mengemuka adalah perdagangan manusia dengan elemen pemaksaan kejahatan (forced criminality), di mana korban dipaksa melakukan tindak pidana. Sayangnya, dalam banyak kasus, korban justru dikriminalisasi alih-alih diperlakukan sebagai pihak yang harus dilindungi.

Laporan Pemerintah Amerika Serikat tahun 2024 menempatkan Indonesia pada Tingkat 2, artinya Indonesia telah melakukan upaya signifikan, namun masih belum memenuhi standar minimum perlindungan korban secara menyeluruh. Dalam konteks kejahatan lintas negara, upaya penegakan hukum internasional sangat penting untuk mencegah kerentanan WNI menjadi korban kriminalisasi dari TPPO di negara lain.

Simak selengkapnya melalui Kertas Kebijakan yang kami buat untuk menangani persoalan diatas.

Meninjau Kebijakan dan Praktik Rehabilitasi Narkotika dalam Skema Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia

Dalam wacana kebijakan publik, rehabilitasi narkotika seringkali dipromosikan sebagai solusi “kemanusiaan” untuk menangani pengguna narkotika. Dibanding pemenjaraan, rehabilitasi dianggap lebih ramah, lebih “sehat”, dan lebih berorientasi pada pemulihan individu. Namun, penelitian terbaru LBH Masyarakat (LBHM) justru menjungkirbalikan asumsi ini secara radikal: apa yang dijual sebagai pemulihan, dalam praktiknya justru bisa berubah menjadi ruang penyiksaan terselubung.

Klaim “pemulihan” itu terbentur oleh kenyataan lapangan yang suram: rehabilitasi dijalankan tanpa standar, tanpa persetujuan pasien, dan dalam banyak kasus, tanpa akuntabilitas hukum. Alih-alih dipulihkan, para pengguna narkotika justru mengalami pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan, bahkan eksploitasi ekonomi. Mereka ditahan secara ilegal, diperas secara finansial, dilarang dijenguk, dan dibiarkan dalam kondisi tidak manusiawi di bawah kedok “rehabilitasi”.

Kasus “kerangkeng manusia” milik mantan Bupati Langkat menjadi simbol betapa lemahnya negara dalam mengontrol praktik-praktik rehabilitasi narkotika. Di balik tembok rumah pejabat publik, puluhan orang disekap, dipaksa bekerja, dan dianiaya, bahkan “dihilangkan nyawanya” secara perlahan. Label “tempat pemulihan” digunakan untuk menormalisasi penyiksaan sistematis.

Namun Langkat bukanlah kasus tunggal. Riset ini menunjukkan bahwa praktik serupa tersebar luas, namun tak tercatat dan tersembunyi, seolah negara menutup mata terhadap kekerasan yang berlangsung dalam diam. Bahkan lembaga-lembaga berbasis keagamaan yang mengklaim menawarkan pemulihan spiritual, justru memperlakukan orang dengan disabilitas psikososial atau pengguna narkotika layaknya tahanan tanpa hak.

Riset ini juga membongkar bagaimana pendekatan hukum yang punitif terhadap pengguna narkotika justru memperbesar risiko pelanggaran hak asasi. UU Narkotika masih menempatkan pengguna sebagai pelaku kriminal, bukan individu yang membutuhkan bantuan kesehatan. Akibatnya, pengguna narkotika dianggap sebagai warga kelas dua: mudah disingkirkan, mudah disalahkan, dan mudah dieksploitasi.

Baca dan unduh penelitian ini untuk memahami alasan mengapa penyelenggaraan sistem rehabilitasi harus berbasiskan pada nilai-nilai dan prinsip HAM.

PERAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DALAM REZIM KEBIJAKAN NARKOTIKA PUNITIF DI INDONESIA

Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan yang keras dan berfokus pada pemidanaan perdagangan narkotika terlarang dengan menjatuhkan hukuman penjara yang panjang untuk berbagai pidana narkotika, termasuk penggunaan dan penguasaan, serta menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi. Pembenaran terhadap pendekatan punitif ini adalah argumen efek jera: keyakinan bahwa hukuman yang cukup keras akan menggetarkan calon pelaku untuk tidak terlibat dalam pidana narkotika. Namun pada kenyataannya, perdagangan narkotika terus berkembang, dan pendekatan punitif ini justru telah mengakibatkan krisis kepadatan penjara. Situasi ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan reformasi peraturan perundang-undangan.

Laporan ini hendak mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai dampak sosial ekonomi dari pendekatan Indonesia saat ini terhadap kebijakan narkotika: siapa dalam masyarakat yang paling terdampak, dan bagaimana. Tulisan ini menelaah peran berbagai faktor sosial ekonomi dalam jalur menuju kriminalisasi untuk pidana narkotika, serta efek sosial ekonomi dari pendekatan punitif itu sendiri. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan narapidana yang menjalani hukuman untuk pidana narkotika serta dengan perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergiat dalam bidang kebijakan narkotika dan dukungan kepada narapidana.

Penelitian ini dijalankan oleh Death Penalty Research Unit (DPRU), Oxford University, bekerja sama dengan LBH Masyarakat (LBHM).

Unduh penelitian selengkapnya

Panduan Mengintegrasikan Isu Tuberkulosis dalam Kerja-Kerja Hak Asasi Manusia

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan global, dengan 10,6 juta orang didiagnosis TBC pada tahun 2022. Di Indonesia, yang menyumbang sekitar 10% dari kasus TBC dunia, tercatat 1.060.000 kasus dan 134.000 kematian akibat TBC. WHO meluncurkan strategi “End TB” untuk mengurangi insiden TBC hingga 90% pada 2030, dengan salah satu prinsip utama perlindungan dan promosi Hak Asasi Manusia (HAM) bagi orang dengan TBC.

Namun, orang dengan TBC menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM, seperti penolakan perawatan, diskriminasi sosial, dan stigma dari masyarakat dan tenaga kesehatan. Laporan LBH Masyarakat mencatat pelanggaran HAM terhadap orang dengan TBC, yang sebagian besar terkait dengan hak atas kesehatan dan perlakuan diskriminatif. Stigma internal dan eksternal memperburuk kondisi mereka, menghambat pencarian pengobatan dan memperburuk kualitas hidup.

Untuk mengatasi masalah ini, komunitas orang dengan TBC dan organisasi pasien telah mengadvokasi hak mereka, termasuk dengan mendeklarasikan “Deklarasi Hak Orang yang Terdampak Tuberkulosis” pada 2019. Deklarasi ini menegaskan kewajiban perlindungan HAM bagi orang dengan TBC.

Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021, juga menekankan pentingnya mitigasi dampak psikososial dan pemberdayaan ekonomi bagi orang dengan TBC dan keluarganya. Agar kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik, diperlukan panduan yang melibatkan komunitas, masyarakat, dan berbagai pihak, termasuk organisasi hukum dan HAM, untuk mendukung strategi nasional eliminasi TBC.

Buku panduan ini dapat menjadi referensi penting untuk memahami langkah-langkah yang harus diambil dalam mengintegrasikan perlindungan HAM dan strategi eliminasi TBC di Indonesia.

Simak selengkapnya melalui link berikut ini

Kertas Kebijakan: Mendorong Komutasi Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup yang Efektif, Berkeadilan, dan Bermartabat

Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023. Biasa dirujuk sebagai KUHP Baru, produk ini mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Artinya KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Melalui KUHP Baru, Indonesia memperkenalkan sejumlah ketentuan dengan tujuan restriksi atau melimitasi penggunaan pidana mati.

Pertama, pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 67 juncto Pasal 98 KUHP Baru. Pengancaman pidana mati secara alternatif bertujuan sebagai “upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Kedua, “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1). Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, Pasal 101 KUHP Baru menambahkan, “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Walau KUHP Baru menyediakan tiga pendekatan yang intensinya membatasi penggunaan pidana mati, KUHP Baru sesungguhnya masih mempertahankan pidana mati.

Selain pidana mati, KUHP Baru juga masih mempertahankan pidana penjara seumur hidup. Serupa dengan komutasi pidana mati, KUHP Baru memungkinkan pidana penjara seumur hidup diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dalam hal seorang narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun dan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 621 KUHP Baru menyebutkan bahwa peraturan pelaksana KUHP Baru harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak KUHP Baru diundangkan. Artinya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tersebut harus diundangkan paling lambat 2 Januari 2025.

Baca kertas kebijakan LBHM dan PBHI terkait Peraturan Pemerintah mengenai tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang harus diperhatikan oleh pemerintah melalui link di bawah ini: 

Kertas Kebijakan: Pengarusutamaan Pengurangan Dampak Buruk dalam Kebijakan Narkotika di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan pendekatan punitif dengan narasi perang melawan narkotika (war on drugs). Deklarasi perang melawan narkotika setidaknya disampaikan pada tahun 2015 oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Genderang perang ini kemudian diterjemahkan oleh aparat penegak hukum dengan melakukan penangkapan sampai dengan penjatuhan pidana dengan hukuman yang berat untuk menciptakan efek jera dan menekan angka kejahatan narkotika. Namun, setelah hampir satu dekade narasi ini digunakan, situasi kebijakan narkotika di Indonesia tidak kunjung mencapai cita-cita yang diharapkan, yakni Indonesia bebas narkotika. Sebaliknya, persoalan struktural justru timbul dan bahkan melanggar hak-hak dasar manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan negara dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia.

Pendekatan punitif dalam penanganan narkotika, yang mengandalkan sanksi keras, terbukti tidak efektif menurunkan angka kejahatan narkoba. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memuat delik atau ketentuan pidana yang bias dalam menentukan peran antara seorang “pengguna” dan “pengedar”. “pengedar”. Hal tersebut jelas menghambat akses rehabilitasi medis dan/atau sosial yang telah diatur dalam UU Narkotika. Praktik ini juga berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan pemerasan terhadap tahanan narkotika. Kondisi ini diperburuk dengan praktik penanganan kasus narkotika yang kerap kali menjadikan narasi perang melawan narkotika sebagai legitimasi perampasan hak-hak dasar orang yang berhadapan dengan hukum, secara khusus pengguna narkotika.

Selain itu pendekatan kriminal yang digunakan oleh pemerintah juga berdampak pada situasi pemasyarakatan yang tidak kunjung mampu menyelesaikan permasalahan kelebihan kapasitasnya (overcrowding).

Kebijakan pengendalian narkotika harus dipahami sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih luas, termasuk perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas kesehatan, kesetaraan dan nondiskriminasi. Oleh karena itu “perang melawan narkotika” harus dihentikan dan berfokus pada perubahan transformatif – menyusun kebijakan narkotika yang ramah terhadap gender, berdasarkan bukti, dan menempatkan hak asasi manusia sebagai pendekatan utamanya.

Lihat kertas kebijakan selengkapnya melalui link berikut