Skip to content

Rilis Pers – Hentikan Rencana Eksekusi Mati Jilid Empat!

Memperhatikan pernyataan-pernyataan Jaksa Agung M. Prasetyo baru-baru ini yang seperti mengindikasikan akan dilaksanakannya eksekusi mati jilid empat di 2018, LBH Masyarakat dengan ini mendesak Jaksa Agung untuk menghentikan segala rencana mengadakan eksekusi mati tersebut.

Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai bahwa “Pernyataan-pernyataan yang Jaksa Agung sampaikan ke media seminggu belakangan tidak lebih sebagai upaya untuk mencari perhatian publik di panggung hukum nasional.” “Jika dibandingkan dengan institusi penegakan hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung dan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia jelas paling tertinggal dan kering prestasi,” lanjutnya.

Sejak dilantik sebagai Jaksa Agung pada November 2014, M. Prasetyo tidak kunjung menghasilkan prestasi yang membanggakan. “Oleh karena itulah, eksekusi mati jelas menjadi jalan pintas bagi Jaksa Agung untuk menunjukkan kepada publik bahwa seolah-olah institusi Kejaksaan Agung telah bekerja dengan baik,” jelas Ricky. Padahal pada Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia telah menyatakan bahwa eksekusi mati jilid tiga yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada Juli 2016 mengandung maladministrasi dan Kejaksaan Agung harus membenahi dirinya.

Rencana Kejaksaan Agung yang ingin melaksanakan eksekusi mati jilid 4 juga sesungguhnya kontra-produktif dengan diplomasi Indonesia di arena politik internasional. Indonesia baru saja menerima kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB pada Februari 2018, dan mengincar posisi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, serta tengah gencar menyelamatkan ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Ricky menambahkan, “Eksekusi mati justru akan mencoreng citra Indonesia di hadapan komunitas internasional.” Daripada menyiapkan rencana eksekusi mati, lebih baik Kejaksaan Agung mempercepat reformasi birokrasi di dalam tubuh kejaksaan serta menyelesaikan segala perkara korupsi besar dan pelanggaran HAM masa lalu yang belum juga tuntas.

LBH Masyarakat mendukung upaya pemerintah Indonesia menangani persoalan narkotika, tetapi upaya tersebut harus sejalan dengan hak asasi manusia dan berbasis bukti ilmiah. “Maraknya peredaran gelap narkotika sekalipun Indonesia telah melakukan tiga kali eksekusi mati memperlihatkan bahwa eksekusi mati tidak memberikan efek jera sebagaimana juga telah dibuktikan melalui banyak penelitian di banyak negara,” terang Ricky.

 

 

Jakarta, 3 Maret 2018

Ricky Gunawan (Direktur LBH Masyarakat)

Laporan Tahunan 2017

Tidak terasa perjalanan LBH Masyarakat telah menginjak usia ke-10 tanggal 8 Desember 2017 kemarin. Dalam 10 tahun itu, LBH Masyarakat aktif di banyak isu hukum dan hak asasi manusia (HAM), dan kemudian menjadi pionir gerakan HAM untuk isu narkotika dan HIV yang sepuluh tahun lalu masih menjadi isu pinggiran di antara organisasi hukum dan HAM.

Tentu saja, tantangan dan pekerjaan rumah LBH Masyarakat masih banyak. Ketidakadilan masih mendominasi wajah hukum Indonesia. Tapi LBH Masyarakat percaya bahwa kita harus terus bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan dan merawat nilai-nilai kemanusiaan.

Di 2017, banyak juga pencapaian dan juga tantangan yang harus LBH Masyarakat hadapi dalam bekerja. Kisah-kisah tersebut dapat kawan-kawan lihat pada Laporan Tahunan 2017 LBH Masyarakat yang dapat teman-teman akses dengan klik tautan ini.

Selamat membaca!

James, Telanlah Omong Kosong Wajib Lapor!

“Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa tersebut selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan karena Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika).”

Lantang Penuntut Umum membacakan tuntutannya pada James – bukan nama sebenarnya – yang didakwa atas perbuatan menggunakan 0,135 gram sabu-sabu.

Pada September 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai menyidangkan kasus James. Mudahnya seseorang terjerat kasus narkotika membuat fase pembuktian pada perkara narkotika seakan tidak penting. Majelis Hakim dan Penuntut Umum kerap tidak mempertimbangkan motif pun situasi seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. James tahu betul kalau mengonsumsi narkotika dapat membuatnya berurusan dengan aparat penegak hukum – sebuah implikasi yang mestinya tidak perlu ada. James pasti punya alasan dan latar belakang yang membuat bayang-bayang berurusan dengan aparat penegak hukum dapat ia kesampingkan sementara.

Berangkat.

Cerita ini berawal pada Juli 2017. James memperoleh sabu dari seorang teman untuk dikonsumsi sendiri. Setelah serah terima, James pulang ke rumah untuk segera memakainya. Setelah merasa cukup, James memutuskan untuk berjalan-jalan dengan sepeda motor.

James kemudian, secara brutal, dihentikan oleh 3 orang anggota polisi dari Polsek Mampang. Ketika itu, James sedang membawa tas yang berisi sisa sabu yang habis ia pakai. Proses penangkapan yang mengandung tindak kekerasan dari aparat penegak hukum tersebut pun harus disaksikan oleh putra James – sebuah hal yang semestinya dihindari penegak hukum karena menciptakan trauma bagi anak.

Setelah ditangkap, James langsung dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Di sana, James menjelaskan bahwa dirinya membutuhkan sabu agar terasa segar dan semangat untuk bekerja. James adalah seorang driver ojek online yang kerap bekerja seharian untuk mencari penumpang. James juga mengatakan bahwa badannya akan lemas jika ia tidak mengonsumsi sabu.

James juga menjelaskan bahwa, sejak tengah 2011, ia adalah seorang pengguna aktif heroin (putaw). Dari akhir 2011 hingga saat itu, James pun sedang menjalani terapi rumatan metadon[1] di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. James juga menunjukan adanya kartu Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)[2] atas nama dirinya.

Keterangan-keterangan ini menunjukan bahwa James adalah seseorang yang produktif. Ia seharusnya diberikan intervensi kesehatan agar dapat terus berkontribusi pada masyarakat. Negara semestinya tidak memisahkan James dari sang putra yang masih membutuhkannya. Namun, proses peradilan bagi James nampaknya tidak mempertimbangkan hal ini.

Tak sampai 90 hari dari penangkapan, James pun menempati kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seperti umumnya kasus narkotika, saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum ialah saksi dari penyidik – dua orang dari Polsek Mampang. Kedua saksi ini menjelaskan bahwa James memperoleh narkotika jenis sabu tersebut dari seorang teman untuk digunakan sendiri. Selanjutnya, saksi juga menjelaskan bahwa dalam proses penangkapan juga ditemukan barang bukti selain sabu yaitu bong (alat hisap sabu). Saksi pun menerangkan bahwa James betul mengonsumsi sabu yang ia miliki dengan bong yang ditemukan.

Seminggu setelah penangkapan, James dibawa ke Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Jakarta Selatan guna dilakukan asesmen.[3] Fakta medis dari hasil asesmen tersebut menyatakan bahwa James adalah seorang pengguna narkotika multiple (sabu dengan pola penggunaan rekreasional dan ketergantungan opioid dalam Program Terapi Rumatan Metadon). Selain itu, dalam fakta hukum menyatakan bahwa James tidak ada indikasi keterlibatan dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Dari hal-hal di atas, tim asesmen di BNN Kota Jakarta Selatan menyimpulkan bahwa James dapat memperoleh pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi.

Sangat disayangkan di awal bulan November, 2107, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada James berupa penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan karena terbukti menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Pidana 1 (satu) tahun yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penutut Umum diterima oleh James. James mungkin merasa putusan ini tidak adil bagi seorang pecandu dan pengguna seperti dirinya, namun buramnya hukum di Indonesia membuatnya untuk tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya.

Berputar.

Pemenjaraan, sayangnya, masih dikedepankan bagi pengguna narkotika. Konsekuensi dari pemenjaraan bagi para pecandu dan pengguna narkotika adalah overcapacity di tiap-tiap Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia.[4]

Belum lagi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah dalam konteks perang terhadap narkotika, seperti hukuman mati dan tembak di tempat. Semua ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa ada puluhan orang mati setiap hari karena narkotika dan juga data yang menyebutkan bahwa narkotika telah memakan 15 ribu korban jiwa[5] – data-data yang ternyata punya banyak kelemahan mendasar.[6] Pun bila memang dampak narkotika sebesar itu – negara semestinya melakukan intervensi kesehatan untuk menghentikan kematian-kematian tersebut, bukannya melampiaskan dendam melalui tembak mati ataupun hukuman mati.

Jika mau berpikir liar, coba kita bandingkan dengan bagaimana negara mengintervensi fenomena kesehatan lainnya. Berdasarkan data WHO, penyakit pembunuh nomor 1 di dunia adalah penyakit Kardiovaskular. Penyakit tersebut berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah dan biasa disebut sebagai serangan jantung. Penyakit ini telah mengambil nyawa lebih dari 17 juta manusia di dunia. Di Indonesia sendiri, penyakit ini menjadi penyebab dari 26,4 persen kematian.[7] Secara umum, penyakit ini diakibatkan tekanan darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi, rokok, dan konsumsi alkohol secara berlebihan.

Makanan, minuman, dan produk lain yang menyebabkan penyakit kardiovaskular di atas dapat diperoleh dengan bebas di negara ini. Diabetes, misalnya, juga disebabkan oleh pola makan dengan kadar gula yang tinggi. Nasi, yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia, adalah makanan dengan kadar gula yang tinggi. Lalu, haruskah mengonsumsi nasi menjadi sebuah tindak pidana?

Perlukah ada slogan “perang terhadap nasi” atau “stop nasi”? Haruskah ada tembak di tempat atau hukuman mati bagi mereka yang memasukkan nasi ke dalam Indonesia? Apa mereka yang memiliki sawah harus ikut bertanggung jawab? Bagaimana dengan para petani? Haruskah kita penjarakan rekan-rekan kita di warung nasi terdekat? Juga mereka yang menjual beras literan di toko sebelah? Ketika banyak orang yang selalu membutuhkan nasi untuk merasa kenyang, haruskah mereka juga kita hukum dan penjarakan?

Mungkin, negara justru harus mulai bicara jujur tentang nasi dan beras: membuat beras bisa diakses di seluruh wilayah sesuai kebutuhan, memastikan ketersediaan beras dengan baik secara nasional, membicarakan potensi buruk dalam jangka panjang yang mungkin muncul jika mengonsumsi nasi dalam skala besar dan jangka panjang, serta menawarkan upaya-upaya untuk mengurangi risiko tersebut. Edukasi, bukan diskriminasi. Dukungan, bukan penghukuman.

Berharap.

James sudah mengikuti program IPWL. BNNK Jakarta Selatan juga merekomendasikan agar ia direhabilitasi. Semua itu ternyata tiada arti dihadapan Majelis Hakim – cermin gagalnya kebijakan narkotika Indonesia.

Di saat Indonesia masih berjuang menemukan nalarnya dalam merumuskan kebijakan narkotikanya, James saat ini menanggung sepi dalam penjara. Ia direnggut dari pekerjaannya. Ia diambil dari keluarganya. Semua karena kebijakan yang dibangun dengan suasana hati, bukannya dengan bukti. Butuh pembelajaran, riset dan analisa yang tepat untuk memastikan berbagai aspek teratur dan harmonis, bukannya berlandas pada pandangan moral atau ketidaksukaan belaka.

Semoga jatah air dalam penjara dapat menggantikan metadon James untuk sementara. Semoga negara pada akhirnya memenuhi hak atas kesehatan pengguna narkotika. Dan, semoga Indonesia lekas menyadari bahwa #PenjaraBukanSolusi.

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

[1] Terapi rumatan metadon ialah terapi yang diberikan pada orang yang memiliki masalah adiksi dengan heroin, terutama dengan penggunaan dengan cara suntik. Metadon dikonsumsi secara oral sehingga mengurangi dampak buruk yang mungkin muncul, seperti penyebaran HIV, Hepatitis C, maupun kerusakan pada pembuluh darah. Metadon diberikan pada dosis besar terlebih dahulu dan perlahan-lahan diturunkan hingga klien siap untuk selesai dengan terapinya.

[2] Wajib lapor adalah sebuah sistem yang dibangun oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 55 (2) UU Narkotika menyatakan bahwa orang yang memiliki masalah adiksi harus melaporkan dirinya pada negara. Lembaga yang menerima warga negara melakukan wajib lapor ini disebut Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Pemenuhan Pasal 55 ini kemudian menjadi hal yang penting bagi Majelis Hakim untuk memutus rehabiltasi berdasarkan Pasal 127 (2) UU Narkotika. Sistem ini memaksa warga negara untuk wajib melakukan rehabilitasi (mandatory) bukannya berdasarkan kesukarelaan (voluntary) – sebuah hal yang lama menjadi kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil.

[3] Mengingat masifnya kriminalisasi pada pengguna narkotika – pada tahun 2017, 7 Kementerian/Lembaga (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, dan Kementeran Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama. Pada peraturan tersebut diatur sebuah sistem yang disebut tim asesmen terpadu. Tim ini akan menilai situasi adiksi seseorang dan keterlibatannya peredaran narkotika. Hasilnya kemudian diberikan pada penegak hukum dengan harapan untuk mengurangi pemenjaraan pada pengguna narkotika.

[4] Kompas.com, “Kapasitas Lapas Berlebih, Pengguna Narkoba Disarankan Tak Masuk Bui”, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/23/13145881/kapasitas.lapas.berlebih.pengguna.narkoba.disarankan.tak.masuk.bui

[5] Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat Internasional, 26 Juni 2016. 26 Juni sering sekali dimaknai sebagai Hari Anti Narkoba Internasional, yang mana merupakan translasi yang salah kaprah. Lihat: Rappler.com, “Jokowi: 15 Ribu Anak Muda Mati Karena Narkoba, Berapa Pengedar yang Mati?”, https://www.rappler.com/indonesia/berita/154689-jokowi-15-ribu-muda-mati-narkoba

[6] Irwanto, et. al., “Evidence-informed Response to Illicit Drugs in Indonesia”, The Lancet Journal Volume 385 (2015) hal. 2249-2250, http://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-6736(15)61058-3.pdf

[7] Tirto.id, “Penyakit Kardiovaskular, Pembunuh Nomor Satu”, https://tirto.id/penyakit-kardiovaskular-pembunuh-nomor-satu-ckvS

Yali Terkurung, Yali Bertarung

Ditinggal sang ayah sejak bayi, Yali – bukan nama sebenarnya – hanya bisa melihat lebar senyum ayahnya dari selembar foto – yang kerap jadi imaji dalam benaknya. Hidup bersama sang ibu di sebuah rumah petak, Yali putus sekolah sejak sekolah menengah pertama dan menyadari betul bahwa ia harus ikut membantu ibunya, seorang tukang kopi keliling, untuk memperoleh penghidupan. Di tengah segala keterbatasan, hadirlah sebuah pekerjaan yang tulus ia jalani: juru parkir.

17 tahun umurnya kini. Ia, sayangnya, tak seberuntung anak-anak 17 tahun lain yang mungkin saat ini sedang berbelanja di mall, hang out di sebuah coffee shop, atau berlibur di Lombok. Yali harus bangun pagi-pagi untuk mengurus sepetak tempat parkir di depan Gedung Chandra, area Pancoran. Jasanya menjaga keamanan motor-motor yang sedang parkir sedikit banyak membantu ekonomi keluarganya.

17 Januari 2018 menjadi hari yang berbeda dengan biasanya karena seorang supir ojek online menghalangi petak parkir yang Yali jaga – hal yang selama ini menjadi satu-satunya sumber penghidupan baginya. Yali pun menegur sang supir. Bukannya pindah, supir itu justru memarahi Yali. Adu mulut antar keduanya tidak terelakan. Tak selang berapa lama, supir itu pergi dan kembali dengan dua temannya. Merasa terancam, Yali pun membela diri. Dua orang teman supir tadi kabur. Emosi Yali sudah tak terkendali dan ia pun memukul kepala supir tadi dengan balok. Perkelahian pun usai.

Sesampainya di rumah, ada dua pria berpakaian polisi datang ke rumah Yali. Sang ibu yang baru pulang dari berjualan kopi sontak kaget dan takut akan hadirnya kedua pria tersebut. Benar saja, polisi menangkap Yali atas tindakannya memukul si supir tadi siang. Ia pun diamankan ke Polsek Taman Sari, Jakarta Barat. Terburu-buru, sang ibu langsung mengabarkan kejadian ini kepada salah satu Pengacara Publik LBH Masyarakat, Riki Efendi.

Riki langsung datang ke Polsek Taman Sari. Di sana, Riki menemukan puluhan supir ojek online berkerumun. Riki masuk ke dalam Polsek dan bertemu dengan Yali yang saat itu tidak didampingi oleh pengacara. Riki juga bertemu dengan korban, si supir ojek online. Korban membawa alat bukti hasil visum dan bukti memar di bagian kepala dan tangan. Korban pun menuntut Yali agar masuk bui.

Meski Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak berhadapan dengan hukum sebaiknya tidak ditangkap maupun ditahan, pada kasus ini pihak kepolisian malah menahan Yali di Polsek Taman Sari untuk proses penyidikan.

LBH Masyarakat mengajukan upaya diversi mengenai kasus Yali.[1] Awalnya, pihak kepolisian dan korban meminta ‘uang perdamaian’ sebesar 5 juta rupiah. Namun, kami berusaha meyakinkan kepolisian dan korban bahwa diversi adalah hak bagi anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk untuk Yali. Terlebih, jika melihat latar belakang keluarganya, 5 juta rupiah merupakan angka yang sungguh besar.

LBH Masyarakat kemudian mempertemukan Ibu Yali dan sejumlah tokoh masyarakat di lingkungan rumah Yali dengan korban guna mencari jalan kekeluargaan dalam menyelesaikan kasus ini. Setelah berdialog cukup lama, beberapa hari kemudian mereka mendapat kesepakatan dan memilih jalan damai. Korban meminta ganti rugi atas biaya pengobatan dan kerusakan barang miliknya. Keluarga korban pun menyanggupi dengan biaya yang sudah disepakati dan berdasarkan kuitansi bukti pengobatan.

31 Januari 2018, Yali akhirnya pulang ke rumah bersama ibunya – hal yang tentu patut disyukuri. Namun, 31 Januari 2018 juga jadi penanda bagi seorang anak berumur 17 tahun: berakhirnya pedih keterasingan sekaligus dimulainya lagi letih mencari penghidupan.

Penulis: Astried Permata dan Riki Efendi

Editor: Yohan Misero

[1] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana menyebutkan dalam kasus anak berhadapan hukum wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

The Forgotten Vulnerability of Female Drug Couriers

Today’s date, March 8, marks International Women’s Day. The concept on International Women’s Day was first proposed in 1910 at the International Conference of Women Workers by Clara Zetkin, the leader of the Women’s Office of the Social Democratic Party of Germany.[1] Today, International Women’s Day represents a global celebration and call for gender equality.[2] Among the many problems still faced in the struggle to end discrimination against women, one issue which seems yet to have received widespread attention is the involvement of women in drug trafficking as couriers.

In April 2015, Mary Jane Veloso, a Filipino woman, was nearly executed by Indonesia after being convicted of involvement in drug trafficking operation as a courier. Despite undertaking exhaustive legal efforts, Mary Jane had received no pardon, not even from President Joko Widodo. Sections of Indonesian society and the international community then urged President Widodo to intervene and prevent her execution. These efforts illustrated the power of the public as, in the final minutes before Mary Jane was due to be executed, President Widodo granted a stay of execution.

Mary Jane is just one of a long list of women exploited into becoming drug couriers. In January 2015, Indonesia executed Rani Andriani after she was caught attempting to smuggle drugs into Thailand. Then there are the cases of Mut, EYS, I and N.[3] There are no signs to suggest this long list will stop growing. In 2015, then-head of the National Anti-Narcotics Agency, Anang Iskandar, stated that in 2014 alone there were 4,297 women caught involved in drug trafficking. Generally these women were couriers, both inside and outside the country.[4] The recruitment of female drug couriers is done by various means but features a common thread – the exploitation of the vulnerability of women.

Indonesia’s drug laws, which adopt the paradigm of a ‘war on drugs’, are harsh on drug couriers and carry a maximum sentence of death. The hardline national attitude towards these individuals and laws insensitive to gender further corner women who, from the moment they are arrested, hold far poorer bargaining positions than their male counterparts because of unbalanced power relations. The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) states that women who lack education; are economically disadvantaged; or are victims of violence are often exploited by drug trafficking syndicates.[5] Recruiting is done by forming personal relationships with the victims as wives or girlfriends, before exploiting their subsequent economic and psychological dependence or using threats of violence to coerce.[6]

Other common methods of recruitment by syndicates include exclusively targeting women who are poor and in need of employment, or deceiving victims into unknowingly transporting and delivering drugs. It can be said that these kinds of exploitation of women by syndicates involve systematic planning. Sulistyowati Irianto, dkk., says this systematically planned and organised recruitment of women as couriers constitutes a form of human trafficking.[7] Women are recruited and transported using threats of violence, violent coercion, deception, or entrapment through financial debt. Whether they are paid or not, this can still be categorised as trafficking of women.[8]

Through its punitive lens, the legal apparatus does not acknowledge the issue of women’s vulnerability when handling or ruling on drug cases. Sulistyowati Irianto, dkk., says when drug courier cases exceed a certain degree of seriousness according to the relevant articles of law, judges no longer take into consideration the poverty and vulnerability of the women.[9]

The threat of the death penalty or other kinds of severe punishment for female drug courier exacerbates the problems of recruitment and human trafficking, meaning women become one of the groups in society who suffer most in the war on drugs.

In this ‘war’, women who are already susceptible to exploitation face the death penalty or decades in jail because of their disadvantaged position. As such, the state must reconsider its punitive drug policy and abolish the death penalty for drug offences as an initial step in the legal protection of women. It needs to view women as victims of human trafficking rather than as the main offenders of drug trafficking. State policy and the law must be responsive to issues of gender and provide protection to women, instead of harming them.

Author: Arinta Dea Dini Singgi, Program Development Officer at Community Legal Aid Institute, is interested in the issue of women and narcotics. More work by Arinta can be accessed at arintadds.wordpress.com

Editor: Yohan Misero

Translator: Iven Manning

[1] See http://www.internationalwomensday.com/About to find out more about International Women’s Day

[2] Ibid.

[3] The author has intentionally left out the full names as these cases are still going in Indonesia.

[4] “4.297 Wanita Indonesia Kurir Narkoba Internasional”, https://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630260/4-297-wanita-indonesia-kurir-narkoba-internasional. Interestingly and ironically, the Indonesian government – namely The National Anti-Narcotics Agency (BNN) and the Ministry for Female Empowerment and Child Protection (PPPA)- have already recognised that women are often exploited as drug couriers, but there are yet to be  comprehensive efforts by the government to tackle this problem. See  http://www.indopos.co.id/2014/09/perempuan-rentan-jadi-kurir-narkoba.html.

[5] Satgas PBB untuk Kejahatan Internasional Lintas Negara dan Perdagangan Narkotika sebagai Ancaman terhadap Keamanan dan Stabilitas, “A Gender Perspective on the Impact of Drug Use, the Drug Trade, and Drug Control Regime”, Juli 2014.

[6] Khoirun Hutapea, “Pola-pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir dalam Jaringan Peredaran Narkoba Internasional”, Juni 2011, hal. 64.

[7] Sulistyowati Irianto, dkk., “Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika”, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[8] Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan, “Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan: Panduan untuk Membantu Perempuan dan Anak yang Diperdagangkan, 1999, hal. 11-12.

[9] Op.Cit.

This piece was first published in Bahasa Indonesia at LBH Masyarakat official website on March 8th 2016. You can visit the original piece here.

Rilis Pers – RKUHP Rasa Kolonialisme: Tolak!

” Presiden Joko Widodo harus berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dianggap sebagai rezim yang membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi.”

 

Rapat paripurna Komisi III DPR RI pada 14 Februari 2018 mendatang akan membahas nasib draft RKUHP dan keputusan untuk mengesahkan baru akan terjawab pada saat rapat paripurna tersebut. Menanggapi hal tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan beberapa catatan sebagai alasan kuat untuk menolak pengesahan RKUHP yang saat ini ada.

Ketujuh alasan ini adalah gambaran apakah Pemerintah dan DPR serius dalam melakukan dekolonialisasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dianggap sebagai rezim yang membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi. Presiden Joko Widodo justru juga akan mengingkari Nawacita karena gagal memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, tidak terwujudnya reformasi penegakan hukum, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat,  dan tentu saja, tidak akan terjadi revolusi mental sebagaimana salah satu tujuan utama Presiden Joko Widodo.

Ketujuh catatan itu ialah:

Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization). RKUHP menghambat proses reformasi peradilan karena memuat sejumlah kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi yang dapat menjaring lebih banyak orang ke dalam proses peradilan dan menuntut penambahan anggaran infrastruktur peradilan. RKUHP memuat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas (overcrowd).

Kedua, RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan, utamanya anak dan perempuan. Dengan sulitnya akses pada pencatatan perkawinan, pengaturan pasal perzinahan dan samen leven tanpa pertimbangan yang matang berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi. Kriminalisasi hubungan privat di luar ikatan perkawinan berpotensi meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia. RKUHP juga memidana mereka yang menggelandang, berpotensi memidana anak, masyarakat miskin tanpa dokumen resmi dan korban kekerasan seksual.

Ketiga, RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat. Larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi dalam RKUHP berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV karena layanan kesehatan reproduksi dan HIV akan semakin sulit menjangkau anak, remaja, dan populasi yang rentan yang takut diancam pidana. RKUHP juga menghambat program pendidikan 12 tahun karena pernikahan akan semakin dirasa sebagai pilihan rasional untuk menghindari pemenjaraan akibat perilaku seks di luar nikah. RKUHP menghambat program-program kesejahteraan sebagai dampak ikutan dari terlantarnya puluhan juta anak yang lahir dari pasangan yang dianggap “tidak sah”. RKUHP juga masih menuntut pemidanaan bagi pecandu dan pengguna narkotika, hal ini akan menghancurkan program Presiden Joko Widodo dalam upaya penyelamatan para pecandu dan pengguna narkotika.

Keempat, RKUHP mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Kembalinya pasal penghinaan presiden, yang merupakan salah satu monumen penjajah kolonial, adalah bukti RKUHP bertentangan dengan Konstitusi. Ketentuan lain juga menyumbang iklim ketakutan untuk berdemokrasi seperti pasal-pasal pidana yang dapat menjerat kritik terhadap pejabat, lembaga Negara dan pemerintahan yang sah, larangan mengkritik pengadilan, dan lain sebagainya. Belum lagi diperburuk dengan ancaman pidana yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk membunuh kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi.

Kelima, RKUHP memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat warga. RKUHP akan memberikan kewenangan pada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa indikator dan batasan yang jelas dan ketat. RKUHP juga memiliki banyak pasal-pasal multitafsir dan tak jelas seperti pidana penghinaan, penghinaan presiden dan lembaga negara, kriminalisasi hubungan privat, dan lain sebagainya yang pada dasarnya dapat memenjarakan siapa saja.

Keenam, RKUHP mengancam eksistensi lembaga independen. DPR dan Pemerintah sama sekali tidak mengindahkan masukan dari beberapa lembaga independen Negara seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM yang telah menyatakan sikap untuk menolak masuknya beberapa tindak pidana ke dalam RKUHP seperti Korupsi, narkotika dan pelanggaran berat HAM. Hadirnya tindak pidana-tindak pidana yang memiliki kekhususan pendekatan ini dalam RKUHP jelas mengancam eksistensi dan efektifitas kerja lembaga terkait.

Ketujuh, berdasarkan 6 (enam) poin permasalahan yang telah disebutkan di atas, telah nyata terlihat bahwa RKUHP dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya. Misalnya RKUHP sama sekali tidak melibatkan perspektif pemasyarakatan untuk melihat kesiapan Negara dalam menanggulangi beban pemidanaan yang begitu besar, atau sektor kesehatan yang tidak pernah diajak duduk bersama terkait masalah dampak kesehatan publik akibat sejumlah kriminalisasi dalam RKUHP.

Melihat 7 (tujuh) poin permasalahan tersebut di atas, cukuplah alasan untuk Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut Presiden Joko Widodo dan DPR agar:

  1. Hentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial.
  2. Meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil.
  3. Menolak RKUHP dijadikan sebagai alat dagangan politik.

 

Hormat Kami,

Aliansi Nasional Reformasi KUHP: ICJR, Elsam, YLBHI, ICW, PSHK, LeIP, AJI Indonesia, KontraS, LBH Pers, Imparsial, HuMA, LBH Jakarta, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, ECPAT, Rumah Cemara, PKNI, PUSKAPA Universitas Indonesia, PBHI.

 

Rilis pers ini telah disampaikan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada konferensi pers hari Minggu, 11 Februari 2018 di area Cikini, Jakarta Pusat.

Rilis Pers – Narkotika dalam RKUHP: Ancaman Besar bagi Kepastian Hukum

Koalisi Advokasi UU 35/2009 dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak tindak pidana narkotika dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, selain melanggengkan kriminalisasi terhadap Pengguna Narkotika, hal ini justru melahirkan ketidakpastian hukum bagi pengguna narkotika, yang berdampak pada semakin jauhnya upaya pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika yang diamanatkan Pasal 4 UU Narkotika.

Kebijakan narkotika di Indonesia selama ini cenderung mengkriminalisasi pengguna narkotika. Sejak dikeluarkannya UU No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika, pemerintah memberikan sanksi pidana kepada pengguna narkotika karena tidak jelasnya pembedaan antara pengguna Narkotika dan pengedar narkotika. Hukuman pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus meningkat sampai dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang saat ini pun sedang direvisi oleh Pemerintah.

UU No. 35/2009 tentang Narkotika menerapkan teori “double track system” bagi pengguna narkotika, yang di dalam pengaturannya terdapat 2 jenis pemidanaan yang berbeda yakni penjara dan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tujuan penerapan UU Narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 huruf d yang menyatakan “…menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika”.

Permasalahan penerapan pasal tindak pidana dalam UU Narkotika merupakan permasalahan terbesar dalam UU Narkotika. Kriminalisasi kepada Pengguna Narkotika dalam Pasal 127 UU Narkotika merupakan bentuk pendekatan yang buruk dan tidak sejalan dengan tujuan UU Narkotika itu sendiri. Pemberian sanksi pidana kepada Pengguna Narkotika terbukti tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika namun justru menimbulkan permasalahan baru. Pada praktiknya, Pengguna Narkotika tidak hanya dikriminalisasi karena penyalahgunaan namun mereka mengalami kriminalisasi yang berlebihan karena pemilikan, penyimpanan, penguasaan, pembelian atau penanaman narkotika, walaupun narkotika tersebut dipergunakan untuk kepentingan sendiri.

Dampak buruk kriminalisasi bagi para pengguna narkotika – seperti kekerasan dan penyiksaan, manipulasi perkara, serta dampak psikologis, sosial, ekonomi, serta kesehatan – menunjukkan bahwa penjara bukanlah solusi bagi pengguna narkotika. Dampak kesehatan inilah yang dapat menimbulkan efek domino bagi pengguna narkotika dan juga populasi umum. Ketiadaan akses kesehatan bagi pengguna narkotika dalam proses pidana mengakibatkan gejala putus zat (sakaw/sakau/withdrawal), penyakit menular (HIV/AIDS, Hepatitis, TBC), serta angka kematian pengguna narkotika.

Selama 9 tahun UU Narkotika berlaku, kami menilai tujuan UU sebagaimana tersebut di atas belum tercapai. Pada prakteknya jumlah pengguna narkotika yang dipidana penjara masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan rehabilitasi. Menurut data Ditjenpas, sampai Desember 2017 ada sejumlah 33,698 pengguna narkotika yang dipenjara.

Hal ini menurut kami merupakan salah satu indikator masih adanya kesimpangsiuran di tataran implementasi atas jaminan pengaturan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Di saat Pemerintah berupaya memperbaiki UU Narkotika melalui proses penyusunan revisi RUU Narkotika, sudah muncul keputusan untuk memasukan pengaturan tentang narkotika ke dalam RKUHP yang dengan kata lain akan ada 2 dasar hukum yang kurang lebih memuat aturan yang sama atas 1 perbuatan yang dilakukan. Hal ini kami nilai akan berdampak pada praktek pemenjaraan terhadap pengguna narkotika yang lebih tinggi lagi.

Dengan kondisi ini, tidaklah tepat mengatur pasal-pasal narkotika ke dalam KUHP, sebab seluruh pengaturan mengenai ketentuan pidana narkotika sangat bergantung pada ketentuan yang secara khusus diatur dalam UU Narkotika itu sendiri. Hal-hal seperti ini tidak dapat diatur terpisah dalam KUHP. Terlebih, tidak ada perubahan yang amat mendasar dari susunan pidana narkotika yang ada di RKUHP, baik dari rumusan pasal maupun pemidanaan. Hal ini membuat pendekatan kriminalisasi semakin langgeng dalam RKUHP.

Langgengnya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika dalam RKUHP diperburuk karena pada dasarnya KUHP memiliki fleksibilitas yang sangat kaku, tidak mudah dirubah dan memiliki politik pemidanaan yang sangat tinggi. Sifat ini berbeda dengan isu narkotika yang sangat dinamis dan memiliki tingkat perubahan yang sangat tinggi. Perbedaan sifat ini mengakibatkan semakin sulitnya merevisi kebijakan narkotika.

Pusaran ancaman pidana bagi pengguna narkotika bukan merupakan sebuah tindakan penyelamatan anak bangsa, melainkan sebuah “penistaan” terhadap tujuan untuk memberikan jaminan atas kesehatan melalui rehabilitasi medis atau sosial bagi pengguna narkotika.

Atas hal-hal tersebut di atas, Koalisi Advokasi Revisi UU 35/2009 dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyatakan:

  1. Mendesak DPR RI mengeluarkan tindak pidana narkotika dari RKUHP
  2. Mendorong Pemerintah dalam hal ini Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial untuk tidak menyepakati usulan Legislatif.
  3. Mendorong Pemerintah dan DPR RI melakukan dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan dan Harm Reduction (pengurangan dampak buruk) dalam revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

 

Jakarta, 19 Januari 2018

 

Koalisi Advokasi UU 35/2009

Aliansi Nasional Reformasi KUHP

 

Rilis pers ini dibuat untuk konferensi pers mengenai “Narkotika dalam RKUHP: Ancaman Besar bagi Kepastian Hukum ” yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat di kantor LBH Masyarakat pada 19 Januari 2018. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Yohan Misero, S.H. (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Alfiana Qisthi, S.H. (Pelaksana Advokasi Hukum PKNI), Asmin Fransiska, S.H., LL.M, Ph.D (Pengajar dan Kepala LPPM Unika Atmajaya), Totok Yulianto, S.H. (Kepala Badan Pekerja PBHI),  Subhan Panjaitan, S.H., M.H. (Advocacy Officer Rumah Cemara), dan Rima Ameilia, S.Sos, M.Krim (Peneliti Mappi FHUI).

Press Release – Narcotics in the Criminal Code Revision: A Serious Threat for Legal Certainty

The Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance reject the inclusion of criminal drug offences in the revised draft Criminal Code (RKUHP). Aside from perpetuating the criminalisation of people who use drugs, the proposed changes merely create legal uncertainty for these individuals and further ostracize them from the health-based approaches stipulated in Article 4 of the Narcotics Act.

Up until the present, Indonesian narcotics policy has tended towards criminalising people who use drugs. Since the enactment of Act No.9 1976 concerning Narcotics, the government has imposed criminal sanctions on users due to opacity in the differentiation between narcotics dealers with people who use drugs. The prevalence of criminal penalties for people who use drugs continued to rise up until the introduction of Act No. 35 2009 concerning Narcotics; which at this moment is also undergoing revision by the government.

The Narcotics Act adopts a “double track system” for people who use drugs, allowing for two different kinds of sentence: prison and rehabilitation. The aim of this system is to fulfill one of the objectives of the Act, inserted in Article 4 letter d, which “…guarantees the arrangement of medical and social rehabilitation efforts for narcotics abusers and addicts”.

The biggest problem with the Narcotics Act lies in the application of the article concerning criminal acts. The criminalisation of people who use drugs in Article 127 represents an approach which is both worn-out and not in accordance with the objectives of the Narcotics Act as a whole. It has been proven that imposing criminal sanctions on people who use drugs does not bring a reduction in rates of illegal drug trafficking, but instead gives rise to new problems. In practice, users are not only criminalised for drug abuse, but experience excessive sanctions for the possession, purchase, storage or cultivation of narcotics which are for personal use only.

The negative impacts of criminalisation for people who use drugs – such as violence, torture and trial manipulation, along with impacts on psychological, social, economic and health – indicate that prison is not the solution for these individuals. The health impacts in particular can have a domino effect for both people who use drugs and the general population. The absence of access to healthcare for users throughout criminal proceedings can result in symptoms associated with withdrawal, contagious illnesses (HIV/AIDS, hepatitis, tuberculosis), and death.

Throughout the nine year period it has been in effect, we believe the objectives of the Narcotics Act as outlined above are yet to be achieved. The reality is the number of people who use drugs receiving prison sentences remains far greater than the number receiving rehabilitation. According to the Director General of Correctional Institution’s data, as of December 2017 there were 33,698 people who use drugs in detention.

In our opinion, these figures indicate ongoing confusion regarding the implementation of the rehabilitation efforts guaranteed for people who use drugs under the Narcotics Act. At the same the moment the government began efforts to improve the Act through the compiling of draft revisions, the decision to include regulations about narcotics in the draft revised Criminal Code emerged. In other words, there is slated to be two elements of law which contain approximately the same regulations concerning one kind of behaviour. We believe this will have a stimulative impact on the practice of imprisoning people who use drugs.

In the light of this, it is ill-advised to include narcotics articles in the Criminal Code given any regulation of criminal narcotics provisions is exclusively covered by the Narcotics Act. Such matters should not be regulated separately in the Criminal Code, especially since there are no fundamental changes in the proposed criminal offences in the RKUHP, in either the formulation of articles or matters of punishment and sentencing. These proposed changes will only serve to perpetuate criminalisation.

This criminalisation of people who use drugs in the RKUHP is further aggravated by the essentially unyielding, difficult to change and highly political nature of the existing Criminal Code. These traits are at odds with the issue of narcotics, which is dynamic and subject to drastic change; a discrepancy which makes narcotics policy increasingly difficult to revise.

The vortex of legal threats for people who use drugs do not represent the salvation of the nation’s youth, but are instead “blasphemies” against the aim to guarantee the right to healthcare for people who use drugs through medical and social rehabilitation.

 

In relation to the matters above, the Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance:

 

  1. Urge the People\’s Representative Council to remove criminal narcotics offences from the draft revised Criminal Code (RKUHP).
  2. Urge the relevant government bodies, namely the National Anti-Narcotics Agency, the Ministry of Health and the Ministry of Social Affairs, not to agree to this legislative proposal
  3. Urge the government and People’s Representative Council to decriminalise drug offenders by adopting the harm reduction and health-based approaches mandated in revisions to Act No. 35 2009 concerning Narcotics.

 

The Act 35/2009 Advocacy Coalition and National Criminal Code Reform Alliance,

January 19th, 2018

 

 

This press release was created for a press conference titled “Narcotics in the draft revised Criminal Code: A Serious Threat for Legal Certainty” held at the office of LBH Masyarakat on the 19th of January, 2018. The speakers at this press conference were Yohan Misero, S.H. (Drug Policy Analyst at LBH Masyarakat), Alfiana Qisthi, S.H. (PKNI Legal Advocate), Asmin Fransiska, S.H., LL.M, Ph.D (Lecturer and Head of LPPM Unika Atmajaya), Totok Yulianto, S.H. (Head of the PBHI), Subhan Panjaitan, S.H., M.H. (Rumah Cemara Advocacy Officer) and Rima Ameilia, S.Sos, M.Krim (Mappi FHUI Researcher). This press release was translated by Iven Manning.

 

 

Kertas Kebijakan: Tembak di Tempat, Kebijakan Penanganan Narkotika yang Salah Arah

Tanggal 27 Desember kemarin, Budi Waseso beserta jajaran BNN lainnya dengan bangga mengumumkan hasil pemburuan meraka. Anak buah BNN menembak mati 79 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkotika. Entah apa yang ada di pikiran Buwas (Budi Waseso), begitu ia sering disapa, memamerkan dengan bangga jumlah manusia yang berhasil ia bunuh atas nama perang terhadap narkotika.

Mungkin kebanggaan ini juga muncul karena seruan Presiden Joko Widodo pada salah satu acara peringatan Hari Narkotika Sedunia tahun 2016 silam. Jokowi sempat bergurau ” Saya ingin ingatkan kepada kita semuanya di kementerian, di lembaga, di aparat-aparat hukum kita, kejar mereka (pengedar narkotika), tangkap mereka, hajar mereka, hantam mereka. Kalau Undang-Undang memperbolehkan, dor mereka.” Ucapan Jokowi kini bukan hanya sekedar auman belaka, praktik tok hang di Filipina kini nyata diterapkan di Indonesia.

Praktik yang memakan banyak korban tidak bersalah di Filipina, dan mendapat berbagai kecaman dari dunia internasional, nyatanya jelas-jelas ditiru oleh aparat penegak hukum di Indonesia, tidak hanya BNN tetapi juga Kepolisian RI. Kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat juga ikut-ikutan bertindak brutal. Penggerebekan pada 13 Juli lalu misalnya, Pasukan polri menembak mati warga negara Taiwan yang diduga terlibat dalam perdagangan gelap narkotika.

Atas semua pihak yang terlibat dengan aksi ugal-ugalan ini, mulai dari Presiden, Kepala BNN, hingga Kapolri RI, yang patut kita pertanyakan adalah benarkah Indonesia membutuhkan tindakan membabi buta, menerkam banyak nyawa demi memberantas narkotika? Atau mereka (pemerintah) hanya terjebak dalam citra? Bingung dan tidak tahu arah?

Sebelum menelan lebih banyak lagi korban jiwa, LBH Masyarakat bersama PKNI dan PBHI merumuskan kertas kebijakan sebagai kritik praktik tembak di tempat. Melalui kertas kebijakan ini kami menggambarkan bahaya tembak mati di Indonesia dan kaitannya dengan hak asasi manusia. Kertas kebijakan ini juga mendeskripsikan apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia dalam menyikapi peredaran gelap narkotika.

Anda bisa mengakses kertas kebijakan ini melalui tautan ini.

Karena setiap manusia berharga.

Rilis Pers LBH Masyarakat & PKNI – Asesmen Ketergantungan Narkotika adalah Hak, Bukan Komoditas!

Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) memandang bahwa terdapat kesenjangan dalam pemenuhan hak rehabilitasi bagi pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza). Berdasarkan catatan PKNI yang diperoleh dari media, terdapat 7 selebritis yang ditangkap karena kasus Napza sepanjang tahun 2017. Ketujuh selebritis tersebut mendapatkan rehabilitasi setelah dilakukan proses asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu. Hal ini berbanding terbalik dengan nasib pengguna Napza lainnya yang ditangkap. Berdasarkan data pendampingan kasus yang dilakukan oleh paralegal PKNI di 10 kota di Indonesia sepanjang tahun 2017, terdapat 145 pengguna Napza yang rata-rata dari golongan tidak mampu yang berhadapan dengan hukum dan hanya 17 pengguna Napza yang memperoleh asesmen, yang hasilnyapun tidak semuanya mendapatkan rehabilitasi.

Pelaksana Advokasi Hukum PKNI, Alfiana Qisthi menjelaskan bahwa dari kasus-kasus pengguna Napza yang didampingi oleh paralegal PKNI di 10 kota, jumlah pengguna Napza yang mendapatkan asesmen tidak mencapai 10% dari total pengguna Napza yang didampingi. “Mendapatkan asesmenpun tidak, apalagi rehabilitasi. Akibatnya, banyak pengguna Napza yang dengan mudahnya dikenakan pasal sebagai pengedar,” ujarnya.

Asesmen penting untuk dilakukan. Dari hasil asesmen inilah akan ditentukan seseorang pecandu atau pengedar narkotika. Berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BNN RI tentang Penanganan Pecandu Narkotika dna Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan Bersama 7 Institusi Tahun 2014), menyatakan bahwa penyidiklah yang melakukan permohonan kepadan Tim Asesmen Terpadu terhadap seseorang yang disangka sebagai penyalahguna. Sementara dari data pendampingan kasus paralegal, seringkali penyidik tidak memohonkan asesmen terhadap pengguna Napza dengan alasan yang beragam. Tentunya hal ini berimbas pada terjebaknya pengguna Napza dalam penerapan pasal sebagai pengedar, yang jelas terabaikannya hak rehabilitasi bagi pengguna Napza. Terbukti, dari kasus-kasus yang ditangani paralegal PKNI sepanjang 2017 yang lanjut hingga persidangan, hanya 12 putusan rehabilitasi.

“Proses asesmen ini perlu ditinjau kembali pelaksanaannya. Karena dari laporan paralegal PKNI, banyak terjadi pemerasan di penyidikan terkait permohonan asesmen. Permohonan asesmen ini menjadi barang dagangan bagi penyidik. Penyidik kerap kali memeras tersangka/keluarga tersangka untuk memberikan uang dengan imbalan dijanjikan akan dilakukan asesmen. Bagi tersangka/keluarga tersangka yang tidak mau membayar atau tidak mampu membayar, jangan harap memperoleh asesmen. Untuk itu proses asesmen ini harus kita kawal. Karena ini adalah titik awal penentuan bagi seorang tersangka pengguna Napza mendapatkan haknya untuk rehabilitasi atau justru dijebloskan dalam penjara,” jelas Alfiana.

Data temuan PKNI ini juga diaminkan oleh Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat. Menurut Yohan situasi ini, dimana asesmen seakan menjadi komoditas yang diperdagangkan, sesungguhnya memang tidak terelakan sampai ada perubahan regulasi yang serius dalam bidang narkotika. “Perlu dicatat bahwa Peraturan Bersama 7 Institusi pada 2014 yang membangun sistem Tim Asesmen Terpadu ini adalah sebuah respon politis terhadap tingginya kriminalisasi terhadap pemakai narkotika. TAT diharapkan dapat memotong angka kriminalisasi dengan mengalihkan pemakai narkotika ke fasilitas kesehatan yang lebih ia butuhkan. Peraturan Bersama ini menekankan bahwa pemberian asesmen terhadap seorang pemakai narkotika adalah kewenangan penyidik, bukannya hak seseorang yang berhadapan dengan Undang-Undang Narkotika. Ketika penekanannya ada di kewenangan, maka sebenarnya kita sudah dapat memprediksi munculnya penyalahgunaan,” kata Yohan.

“Pada salah satu kasus yang kami pantau, oknum penyidik sempat meminta dua puluh juta rupiah dari tersangka. Saat ia berhadapan dengan hakim di persidangan, ia justru dimarahi hakim untuk membayar dua puluh juta itu karena ‘jaman sekarang tidak ada yang gratis.’ Padahal menurut Peraturan Bersama 2014, seluruh anggaran tentang TAT ada di tangan BNN,” tambahnya.

Sebagai penutup, Yohan berkata, “Dalam bidang ekonomi, kita sering mendengar ungkapan ‘potong birokrasi’ untuk meningkatkan efektivitas kerja. Saya pikir untuk memastikan hak atas kesehatan betul-betul diperoleh pemakai narkotika maka perlu untuk mereduksi birokrasi – termasuk juga sistem TAT ini. Saat ini, BNN juga tengah melakukan evaluasi mengenai keberlakuan dan efektivitas TAT yang patut kita tunggu juga bagaimana hasilnya. Namun yang lebih penting dari itu adalah segera merevisi UU Narkotika yang kita punya sekarang terutama untuk mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan pemakaian narkotika dalam jumlah terbatas. Dekriminalisasi adalah pernyataan yang lebih tegas daripada membangun sistem TAT apabila Indonesia memang ingin memposisikan intervensi kesehatan sebagai hal yang utama bagi pemakai narkotika, bukannya penegakan hukum.”

 

Jakarta, 4 Januari 2018

 

id_IDIndonesian