Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Perlu Hati-Hati dalam Pembahasan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pada hari Jumat, tanggal 17 Oktober 2025, bertempat di Hotel Manhattan, Koalisi Masyarakat Sipil telah melaksanakan kegiatan Konsinyering RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka merespons pemerintah yang sedang membuat Rancangan Undang-Undang baru untuk menggantikan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU PNPS No. 2/1964), sebagai amanat dari  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan mulai berlaku Januari 2026.

Kegiatan konsinyering ini mengundang tiga narasumber yakni, Kementerian Hukum, diwakili oleh Retno Endah Kumalasari Sunaringtyas, Kejaksaan Agung  yang diwakili oleh Ade Nandar Silitonga dan Komnas HAM diwakili oleh Putu Elvina. Para narasumber secara garis besar memaparkan perkembangan pembentukan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, situasi penerapan hukuman mati di Indonesia dan kondisi terpidana mati yang tersebar di Lapas Indonesia.

RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang sedang dibuat oleh pemerintah memuat perubahan yang signifikan, total ada tujuh bab termasuk di dalamnya memuat tentang hak-hak terpidana mati, kewajiban terpidana mati, persyaratan pelaksanaan pidana mati sampai dengan konsekuensi  hukum  yang  harus  diberikan  apabila terpidana mati tidak jadi dieksekusi. Di samping itu, RUU ini juga memuat tentang jangka waktu putusan pelaksanaan pidana mati pasca adanya surat penetapan pelaksanaan pidana mati yang keluarkan oleh Kejaksaan Agung selaku eksekutor.

Dalam konsinyering ini, para peserta dari kelompok masyarakat sipil juga mempertanyakan beberapa  pasal  yang  masih dianggap bermasalah dalam draft yang ada sekarang. Salah satunya tentang pemberitahuan atas pelaksanaan penetapan eksekusi mati kepada terpidana mati  masih  sangat singkat, terpaku pada ketentuan Pasal 6 UU PNPS No. 2/1964, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemberitahuan tentang eksekusi mati dilaksanakan tiga kali dua puluh empat jam (3 hari) sebelum dieksekusi mati. Berkaca pada tiga gelombang eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 dan 2016, waktu 3 hari tidaklah cukup untuk terpidana mati dapat mengakses semua hak-haknya, salah satunya adalah hak atas  berkomunikasi  dengan  keluarga  dan  hak  atas  mengajukan  pembelaan diri bilamana terdapat pelanggaran hak-hak kepada terpidana mati.

Permasalahan  lain  yang  mencuat  di  diskusi hari ini yaitu terkait mekanisme pengawasan eksekusi  mati.  Meskipun  pada Pasal 13 ayat (1) RUU ini menjelaskan bahwa penetapan eksekusi mati juga diberitahukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tidak ada ketentuan kewenangan pengawasan dan pengaduan yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Padahal mekanisme penjatuhan hukuman yang sangat final ini jelas membutuhkan pengawas independen  yang  mampu  untuk  memastikan  semua  hak  terpidana  mati  telah  terlaksana sebelum eksekusi. Oleh karena itu penting untuk mencantumkan mekanisme pengawasan dan pengaduan yang jelas dalam hal terjadi pelanggaran hukum pada pelaksanaan eksekusi mati.

Peserta konsinyering juga mempertanyakan beberapa pasal-pasal yang masih memuat keambiguan,  kesalahan,  dan  ketidakjelasan.  Misalnya,  pada  Pasal  8  Ayat  (3)  tentang penundaan   eksekusi   pada   perempuan   yang   sedang   menyusui   anaknya   yang   masih memberikan pilihan 40 hari atau 2 tahun. Selain itu, ada beberapa hak yang dianggap kelompok masyarakat sipil pendamping terpidana mati yang krusial selama proses eksekusi yang belum terwakili pada Pasal 3 tentang hak. Ada juga masalah soal ketiadaan peran penasihat hukum terpidana meskipun menjadi salah satu pihak yang diberitahukan tentang penetapan eksekusi.

Berdasarkan   diskusi   konsinyering   ini,   kelompok   masyarakat   sipil   bersepakat   bahwa pengesahan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati tidak boleh dilakukan terburu-buru. Target dilegislasikannya RUU ini pada akhir tahun tidak boleh mengorbankan aspek-aspek pelindungan dan pemenuhan HAM yang menjadi semangat pembaruan KUHP. Konsinyering ini menunjukkan  bahwa  pemerintah  dan  parlemen  harus  mendengarkan  secara  menyeluruh pihak-pihak yang selama ini bertemu, berinteraksi, dan mengamati isu hukuman mati, sehingga naskah RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati betul-betul menunjukkan cara Indonesia untuk mencari jalan tengah antara kaum abolitionis dan retensionis.

Jakarta, 17 Oktober 2025

Narahubung:

Awaludin Muzaki (0812-9028-0416)
Asry Alkazahfa (0852-9466-0049)

Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2025 “Hukuman Mati Membunuh Orang, Bukan Kejahatan!”

Setiap tanggal 10 Oktober, selain memperingati Hari Kesehatan Jiwa Internasional, dunia kembali diingatkan lewat peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati, bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa ditawar. Namun di Indonesia, keyakinan itu masih berhadapan dengan kebijakan pidana mati yang terus dipertahankan, meski eksekusi terakhir telah berlangsung sembilan tahun lalu (2016). Hingga hari ini, ratusan orang masih hidup di bawah bayang-bayang kematian, menunggu vonis yang tidak manusiawi di ruang-ruang penjara yang lembab dan penuh ketidakpastian.

Tahun 2025 menjadi masa transisi pemerintahan baru dan menjelang pemberlakuan penuh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta aturan turunannya pada 2026. Transisi ini seharusnya menjadi kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk berpaling dari hukuman yang paling kejam dan tidak dapat dipulihkan. Namun, tanda-tanda keberanian itu belum tampak. Di berbagai pengadilan, vonis mati masih dijatuhkan, terutama dalam perkara narkotika.

Per 31 Desember 2024, berdasarkan data ICJR, ada 562 terpidana mati yang berada di deret tunggu (death row) eksekusi mati di Indonesia. Sementara berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan per 9 Oktober 2025, jumlah terpidana mati menjadi 596 orang. Bahkan per 22 April 2025, terdapat 116 lebih orang sudah duduk dalam death row lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan status. Situasi ini menegaskan bahwa pidana mati tidak hanya kejam, tetapi juga memperpanjang penderitaan dan memperlihatkan wajah nyata dari penyiksaan yang dilegalkan oleh negara.

KUHP Baru: Pentingnya Audit atas Praktik Pidana Mati dan Jaminan Perubahan Hukuman (komutasi) sebagai Agenda HAM Pemerintahan Baru

Masa transisi menuju implementasi KUHP baru menjadi titik krusial bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk meninjau kembali praktik pidana mati. KUHP baru memang memperkenalkan konsep “pidana mati bersyarat” dengan masa percobaan sepuluh tahun (Pasal 100), namun tanpa adanya mekanisme pemantauan dan evaluasi yang transparan serta akuntabel, konsep tersebut hanya akan menjadi kosmetik hukum.

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menekankan perlunya pemantauan dan audit independen terhadap kondisi para terpidana mati serta pelaksanaan pasal-pasal pidana mati di bawah rezim KUHP baru. Audit ini harus memastikan adanya akuntabilitas publik, transparansi data, dan pengawasan atas potensi penyiksaan serta pelanggaran hak asasi dalam proses peradilan.

KUHP Baru mencoba menghadirkan “jalan tengah” dalam praktik hukuman mati, dengan menjamin adanya mekanisme perubahan hukuman atau komutasi yang seharusnya diterapkan secara nyata. Pasal 100 dan Pasal 101 aturan itu menjelaskan bahwa pidana mati tidak dapat dieksekusi langsung, namun harus menunggu selama 10 tahun. Jika dalam masa 10 tahun tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati diubah menjadi seumur hidup (Pasal 100 KUHP Baru). Jika terpidana mati telah gagal menjalani masa percobaan tersebut namun tak kunjung dilakukan eksekusi, maka pasca 10 tahun tanpa kejelasan maka pidana mati tersebut harus diubah secara otomatis menjadi seumur hidup (Pasal 101 KUHP Baru). 

Ketentuan ini sesuai dengan prinsip hukum pidana, bahwa ketentuan yang lebih ringan harus berlaku bagi terpidana setelah aturan baru diberlakukan. Karena itu, mereka yang berada dalam deret tunggu hukuman mati berhak memperoleh keuntungan dari penerapan KUHP baru. JATI mendorong agar 116 terpidana mati yang telah menunggu lebih dari 10 tahun dalam kondisi memprihatinkan diberikan komutasi otomatis dan kolektif segera setelah KUHP baru berlaku pada 3 Januari 2026, sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM di awal pemerintahan Presiden Prabowo.

Keadilan yang Inklusif: Gender dan Disabilitas

Keadilan tidak akan pernah tercapai jika sistem hukum yang ada saat ini terus mengabaikan kerentanan para kelompok rentan. Dalam praktiknya, perempuan, orang dengan disabilitas, dan warga negara asing serta kelompok miskin, masih menghadapi hambatan besar dalam mengakses peradilan yang adil (fair trial). Laporan pemantauan dan pendokumentasian Komnas HAM pada 2024 lalu menemukan bahwa banyak perempuan yang dijatuhi vonis mati dalam kasus narkotika karena paksaan, ancaman, ketergantungan ekonomi, atau eksploitasi dalam jaringan perdagangan orang. Penelitian ICJR tentang perempuan pada pusaran pidana mati juga menemukan pola yang sama, yaitu perempuan dalam pusaran pidana mati bukan pelaku utama tindak pidana, mereka mengalami kekerasan berbasis gender hingga jeratan hubungan romantis, serta dalam kasus yang dialaminya mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil.

Demikian pula, orang dengan disabilitas intelektual dan psikososial sering kali tidak mendapatkan akomodasi yang layak selama proses hukum—mulai dari penyidikan hingga persidangan. Laporan Ombudsman RI pada tahun 2021 menemukan, dari 7 kepolisian di tingkat daerah yang menjadi objek kajian Ombudsman RI, faktanya institusi kepolisian masih belum menyediakan akomodasi yang layak bagi kelompok disabilitas ketika berhadapan dengan hukum seperti Pendamping Disabilitas, Penerjemah; dan/atau petugas lain yang terkait. Justru, pendampingan itu lebih sering datang dari organisasi-organisasi seperti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), yang selama ini memperjuangkan hak-hak kelompok disabilitas. Padahal, dalam konteks ini, negara wajib menjamin keadilan berbasis gender dan disabilitas, sebagaimana telah diamanatkan oleh prinsip kesetaraan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).

Pencegahan Penyiksaan dan Fair Trial sebagai Fondasi Reformasi KUHAP terkait aturan Pidana Mati

Reformasi hukum yang sejati hanya dapat terwujud apabila negara serius menegakkan larangan penyiksaan dan menjamin hak atas peradilan yang adil. Laporan dari berbagai pihak masih menunjukkan adanya praktik penyiksaan dalam proses penyidikan, pengakuan paksa, hingga penahanan yang tidak manusiawi.

Data Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tahun 2024 menunjukkan, dari 576 orang yang mendapatkan penyuluhan hukum di tiga Rumah Tahanan (Rutan) Jakarta, sebanyak 126 orang yang berhadapan dengan hukum mengaku bahwa mereka mengalami penyiksaan dari aparat penegak hukum di tingkat Kepolisian, 32 di antaranya merupakan kasus narkotika. Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah menerima sebanyak 176 laporan dugaan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian sepanjang 2020 hingga 2024.

Hukuman mati, yang dijatuhkan di atas fondasi penyiksaan dan pelanggaran due process of law, tidak hanya inkonstitusional—ia juga merupakan bentuk kekerasan berlapis. Pemerintah harus memastikan adanya mekanisme pencegahan penyiksaan yang kuat dan pengawasan independen terhadap semua proses hukum yang berpotensi berujung pada hukuman mati. Cara untuk menjamin tersebut adalah mengatur hukum acara pidana untuk orang-orang yang berhadapan dengan pidana dengan standar yang sangat tinggi. Peluang tersebut saat ini ada dalam RUU KUHAP yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR. 

RUU KUHAP harus mengakomodir jaminan perlindungan hak-hak fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak) terhadap seseorang yang diancam pidana mati dengan sangat tinggi, mulai dari jaminan proses peradilan dalam bahasa yang dimengerti, ketersediaan advokat yang kompeten untuk mendorong optimalisasi akses upaya hukum,  jaminan waktu yang memadai untuk mengajukan pembelaan efektif, hingga diaturnya konsekuensi pelanggaran hak-hak fair trial. Selain itu, dalam memastikan pelaksanaan dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi, penting diperhatikan bahwa pidana mati tidak dapat dijatuhkan apabila terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) di antara hakim dalam menjatuhkan pidana mati, sehingga harus dengan permufakatan bulat dan tidak boleh melalui sistem voting. Upaya hukum yang ditempuh terpidana termasuk proses Peninjauan Kembali (PK) dan grasi juga semestinya menangguhkan eksekusi terhadap terpidana mati.

Transparansi dan Akuntabilitas Publik

Salah satu persoalan paling mendasar dalam praktik pidana mati di Indonesia adalah tertutupnya akses informasi publik. Sekalipun pemerintah lewat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuka data bahwa per 3 Oktober 2025 ada 596 terpidana mati yang terkatung-katung nasibnya, namun informasi itu tanpa dibarengi dengan rincian mengenai status hukum, lama penahanan, kondisi kesehatan mental, atau peluang pengajuan grasi. Ketertutupan informasi ini dapat menghambat pemantauan publik dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pidana mati.

Padahal, KUHP baru (Pasal 100) mensyaratkan adanya penilaian terhadap perubahan sikap dan perbuatan terpuji sebagai dasar untuk mengubah pidana mati menjadi seumur hidup. Persoalannya: siapa yang menilai, dengan kriteria apa, dan bagaimana prosesnya diawasi masih belum diatur secara rinci. Tanpa transparansi dan partisipasi publik, mekanisme ini rentan menjadi sekadar formalitas administratif yang dilakukan tertutup di balik pintu birokrasi.

Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas publik ini tidak hanya mengancam prinsip keadilan, tetapi juga berpotensi melanggar kewajiban negara dalam menjamin hak atas informasi publik sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 ICCPR. Dalam konteks hukuman mati, keterbukaan informasi bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan instrumen pencegahan penyiksaan dan kesewenang-wenangan. Ketika proses penilaian, asesmen, dan pelaksanaan hukuman dilakukan dalam ruangan gelap, peluang terjadinya pelanggaran hak asasi bakal meningkat tajam.

Peran Kepemimpinan Indonesia di ASEAN

Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kawasan ASEAN menuju penghapusan pidana mati total. Sebab, negara-negara tetangga seperti Malaysia, baru-baru ini telah menghapus hukuman mati wajib dan melakukan resentencing bagi ribuan terpidana.

Sudah saatnya Indonesia berperan sebagai pemimpin regional dengan membuka dialog konstruktif tentang abolisi hukuman mati di wilayah ASEAN, agar menunjukkan bahwa keadilan tidak identik dengan balas dendam, melainkan dengan pemulihan.

Indonesia juga seharusnya mampu untuk mengambil langkah proaktif untuk membangun dialog-dialog konstruktif dengan perwakilan pemerintahan ASEAN. Misalnya, Indonesia bisa berperan aktif dalam memfasilitasi dialog dengan pemerintah Singapura yang dalam tiga minggu ke belakang sudah mengeksekusi dua warga negara Malaysia yang terlibat dalam perkara narkotika. Pengalaman Indonesia untuk memperjuangkan pembebasan WNI di luar negeri yang terancam hukuman mati harusnya bisa mendorong Indonesia mengambil peran kepemimpinan pada tingkat regional dan global di langkah-langkah konkrit penghapusan hukuman mati. 

Komutasi dan Eksekusi Harus Berdasar pada Prinsip Kehati-hatian yang Tinggi

Setiap terpidana mati, baik yang divonis sebelum KUHP maupun setelahnya, harus melalui masa percobaan dan mendapatkan kesempatan yang sama atas asesmen perubahan pidana mati (komutasi) menjadi seumur hidup. Penilaian komutasi harus diatur dengan standar yang jelas dan menghindari penilaian subjektif. Penilaiannya harus mempertimbangkan kondisi psikologis terpidana mati yang mengalami penyiksaan mental sebagai dampak dari fenomena deret tunggu tanpa adanya kepastian hukuman. Satu hal yang perlu dipertegas: tidak satupun terpidana mati boleh dieksekusi selama proses asesmen komutasi belum selesai. Dalam rangka menjamin kepastian eksekusi, apabila telah lewat sepuluh tahun sejak grasi yang dimohonkan terpidana mati ditolak, maka terhadap terpidana mati harus diberikan perubahan pidana secara otomatis. Dengan demikian, proses komutasi harus dibangun dengan kepastian hukum yang tidak boleh menggantungkan hak terpidana.

Dalam proses eksekusi, negara harus benar-benar memastikan prosesnya dilaksanakan dengan kehati-hatian yang tinggi. Hak-hak terpidana mati harus diatur dengan jelas mulai dari larangan penyiksaan, jaminan konsultasi kesehatan fisik dan psikis, kesempatan seluas-luasnya bagi terpidana untuk berkomunikasi dengan keluarga, serta adanya pendampingan dari advokat sejak surat perintah eksekusi dikeluarkan hingga eksekusi dilaksanakan. Pendampingan advokat penting untuk memastikan terpidana tidak dilanggar haknya lebih lanjut serta untuk memfasilitasi pengaduan atas pelanggaran hak tersebut. Pemantauan dan pengawasan dari Komnas HAM juga menjadi aspek yang tidak dapat dilepaskan dalam memastikan proses yang tidak sewenang-wenang.

Kerentanan Pekerja Migran Indonesia

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, terdapat lebih dari 166 Warga Negara Indonesia (WNI), sebagian besar pekerja migran, yang masih terancam hukuman mati di luar negeri. Banyak di antara mereka yang terjebak dalam kasus perdagangan orang dan kejahatan narkotika lintas negara, atau dikriminalisasi dalam situasi kekerasan berbasis gender. Kondisi ini menunjukkan bahwa pekerja migran kerap berada dalam posisi paling rentan di hadapan hukum, baik karena keterbatasan akses terhadap bantuan hukum, penerjemah, maupun perlindungan diplomatik yang memadai.

Hukuman mati adalah bentuk kekerasan negara yang meniadakan ruang keadilan substantif bagi pekerja migran—terutama perempuan—yang menjadi korban dari sistem kerja eksploitatif dan ketimpangan relasi kuasa di negara penempatan. Dalam banyak kasus, pembelaan diri terhadap kekerasan justru diperlakukan sebagai kejahatan berat tanpa mempertimbangkan konteks kekerasan berbasis gender atau pemaksaan dalam jaringan perdagangan orang.

Negara tidak boleh hadir hanya setelah vonis dijatuhkan. Perlindungan harus dimulai sejak awal, melalui diplomasi perlindungan yang aktif, bantuan hukum lintas negara, dan kerja sama bilateral yang memastikan hak atas peradilan yang adil dan non-diskriminatif bagi semua pekerja migran. Upaya penyelamatan pekerja migran di luar negeri juga harus sejalan dengan komitmen di dalam negeri untuk menghentikan penerapan pidana mati, demi menghindari standar ganda yang mencederai nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu menetapkan moratorium eksekusi mati, baik di luar maupun di dalam negeri, dan menegaskan bahwa perlindungan nyawa pekerja migran adalah tanggung jawab negara. Pendekatan kemanusiaan, keadilan gender, dan non-diskriminasi harus menjadi dasar setiap kebijakan perlindungan warga negara—karena keadilan tidak akan pernah tercapai melalui pembalasan, melainkan melalui keberanian untuk menghormati kehidupan.

Desakan JATI Kepada Pemerintah Indonesia

Dalam momentum Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 2025 ini, Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menyerukan kepada pemerintah untuk:

  1. Menghapus pidana mati dari seluruh regulasi, termasuk dalam revisi UU Narkotika dan RKUHAP yang sedang berlangsung;
  2. Menetapkan moratorium total terhadap penjatuhan dan eksekusi pidana mati di seluruh Indonesia;
  3. Melaksanakan audit independen terhadap seluruh terpidana mati, termasuk mereka yang telah menjalani penahanan lebih dari 10 hingga 20 tahun, serta memastikan kondisi penahanan yang manusiawi;
  4. Sebagai bentuk pelaksanaan KUHP Baru, menetapkan komutasi kolektif sebagai agenda HAM prioritas pemerintahan baru, terutama bagi 562 terpidana mati yang sebagian besar merupakan kasus narkotika tanpa kekerasan;
  5. Membentuk mekanisme penilaian yang transparan dan akuntabel terhadap pelaksanaan Pasal 100 KUHP baru, dengan melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan organisasi masyarakat sipil;
  6. Menjamin keadilan berbasis gender dan disabilitas dalam seluruh tahapan proses hukum, mulai dari penyidikan hingga pemidanaan;
  7. Menjamin perlindungan komprehensif bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang menghadapi ancaman pidana mati di luar negeri, termasuk dengan pendekatan diplomasi aktif, bantuan hukum, dan mekanisme perlindungan berbasis HAM;
  8. Memimpin inisiatif dialog regional di ASEAN untuk mendorong penghapusan pidana mati dan memperkuat kerja sama kawasan dalam perlindungan hak hidup.

 

Jakarta, 10 Oktober 2025

Hormat Kami,

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

 


Referensi:
  1.  Ove Syaifudin Abdullah, dkk, Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2024:  Transisi Semu Menuju Transformasi, (Jakarta: ICJR, 2025), hlm 21. Diakses di https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/06/Final_Laporan-Situasi-Kebijakan-Pidana-Mati-2024.pdf 
  2. https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
  3.  Satyawanti Mashudi, dkk, Jiwa-Jiwa yang Disiksa: Laporan Pemantauan Situasi Perempuan Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2024), hlm ix. Diakses di https://komnasperempuan.go.id/laporan-pemantauan-ham-detail/laporan-pemantauan-situasi-perempuan-terpidana-mati-di-lembaga-pemasyarakatan-perempuan-lpp 
  4.  Adhigama A. Budiman, dkk, Yang Luput Dibahas: Perempuan dalam Pusaran Pidana Mati, (ICJR, 2021) diakses di: Yang Luput Dibahas: Perempuan dalam Pusaran Pidana Mati 
  5.  Tim Penyusun Ombudsman RI, Laporan Kajian Singkat Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Penyidikan, (Jakarta: Ombudsman RI, 2021), hlm 32. Diakses di https://www.ombudsman.go.id/produk/lihat/647/LP_file_20211008_145154.pdf 
  6.  Database Internal LBH Masyarakat Tahun 2024.
  7.  Noor Latifah Adzhari, Selama 2020-2024, Komnas HAM Terima Ratusan Laporan Penyiksaan oleh Polisi, 26 Juni 2025, akurat.co. Diakses di https://www.akurat.co/nasional/1306190860/selama-2020-2024-komnas-ham-terima-ratusan-laporan-penyiksaan-oleh-polisi
  8.  Data Ditjenpas diambil dari situs https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 3 Oktober 2025. 
  9.  Eri Sutrisno, Diplomasi dan Pendampingan Hukum: Harapan Baru bagi WNI Terancam Hukuman Mati, 2 Juli 2024, indonesia.go.id. Diakses di https://indonesia.go.id/kategori/editorial/8409/diplomasi-dan-pendampingan-hukum-harapan-baru-bagi-wni-terancam-hukuman-mati?lang=1 

Permohonan Praperadilan Atas Panen Pelanggaran, Polda Metro Jaya Harus Jujur dan Transparan

Jakarta, 3 Oktober 2025 – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap upaya paksa dan penetapan tersangka yang dilakukan kepada Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar dan Muzaffar Salim masing-masing sebagai Pemohon. Permohonan ini diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka serta serangkaian tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, serta penyitaan terhadap keempat aktivis muda yang saat ini masih mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Permohonan ini ditujukan kepada Direktur Reserse Kriminal Umum dan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jakarta Raya selaku Termohon.

TAUD menemukan terdapatnya lapisan pelanggaran pada serangkaian tindakan hukum yang dialami Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim dan Khariq Anhar. Pelanggaran sebagaimana dimaksud antara lain:

Pertama, penangkapan dilakukan dengan cara-cara intimidatif, tidak humanis dan tanpa menunjukkan surat tugas. Bahkan, penangkapan dengan dilakukan selama lebih dari 1×24 jam.. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur pada Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 6/2019 serta Perkabareskrim Nomor 1/2022;

Kedua, penggeledahan dan penyitaan paksa. Pengaksesan terhadap ruang-ruang privat para Pemohon dilakukan tanpa adanya surat izin pengadilan. Tindakan ini bukan hanya melanggar prosedur, tapi juga merupakan bentuk pengkerdilan terhadap harkat-martabat para Pemohon sebab kepolisian telah menerabas batas-batas otonomi pribadi

Ketiga, penetapan tersangka secara serampangan. Status tersangka ditetapkan tanpa adanya minimal dua alat bukti yang sah dan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana yang dipersyaratkan hukum acara. Lebih jauh, alat bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahkan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan pasal-pasal yang dituduhkan. Artinya, konstruksi hukum yang digunakan Polda Metro Jaya tidak hanya asal-asalan, tetapi juga sesat secara prosedur;

Keempat, penahanan sebagai akibat dari rangkaian tindakan tidak sah. Karena penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka dilakukan secara serampangan, maka penahanan sebagai konsekuensi hukum dari tindakan-tindakan tersebut otomatis menjadi tidak sah.

Lapisan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Termohon bukan hanya merupakan pelanggaran administratif semata, lebih dari itu, hal tersebut merupakan bentuk perampasan kemerdekaan. Penetapan tersangka serta rangkaian upaya paksa merupakan bentuk pembatasan hak, untuk itu, penerapannya harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kehati-hatian sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memastikan bahwa proses penegakan hukum diselenggarakan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan prosedural merupakan bukti nyata bahwa kepolisian mengabaikan hak konstitusional para Pemohon;

Lebih dari itu, para Pemohon yang kini ditahan adalah aktivis muda, warga negara yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Pemidanaan terhadap ekspresi politik yang sah dalam rangka berpartisipasi di negara demokrasi merupakan praktik kriminalisasi yang berdampak pada keroposnya ruang sipil. Apalagi jika pemidanaan tersebut dilakukan secara serampangan sebagaimana praktik Polda Metro Jaya saat ini. Rangkaian tindakan dari hulu hingga hilir mencerminkan pencederaan terhadap prinsip negara hukum, pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, serta ancaman nyata bagi ruang kebebasan sipil yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Pengajuan praperadilan ke pengadilan menjadi jalur hukum penting dalam rangka memulihkan hak-hak para Pemohon yang dilanggar akibat proses penegakan hukum serampangan oleh kepolisian. Melalui mekanisme ini pula, TAUD menuntut “keberanian” Polda Metro Jaya untuk menjalani proses secara jujur, adil, dan tanpa manipulasi fakta, demi memastikan tegaknya keadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara sekaligus Panglima Tertinggi, untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prinsip negara hukum dan menghentikan praktik represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat;
2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjamin independensi hakim yang memeriksa perkara ini, serta memastikan jalannya sidang praperadilan berlangsung terbuka, objektif, dan tidak tunduk pada tekanan eksternal apa pun;
3. Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangan pengawasannya guna memastikan tindakan kepolisian dalam perkara ini sesuai hukum acara pidana, serta tidak mengabaikan pelanggaran prosedural yang terjadi;
4. Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap aktivis, bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya, dan bersikap gentleman menghadapi praperadilan dengan tidak melakukan intervensi maupun rekayasa fakta;
5. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM untuk turun tangan mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran prosedural serta perampasan hak-hak konstitusional para Pemohon.

hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
Narahubung:
1. Gema Gita Persada (gema@lbhpers.org)
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo (nurwidiastomo@bantuanhukum.or.id)
3. M. Al Ayyubi Harahap (Ayyubi.harahap@harisazhar.co.id)
4. Ma’ruf Bajammal (mbajammal@lbhmasyarakat.org)

The Absence of a Comprehensive Legal Framework for Anti-Discrimination Protection in Indonesia: The Urgency of an Anti-Discrimination Legislation

Discrimination continues to be a pressing issue faced by People Living with HIV (PLHIV) and Key Populations, Sexual Orientation and Gender Identity and Expression (SOGIE) communities, persons with disabilities, Indigenous peoples, women, adherents of faith and belief systems, and many other vulnerable groups. The root of the problem lies in existing policies that are partial in scope, provide limited and stagnant recognition of vulnerable identities, and remain closed-ended. As a result, the number of victims of discrimination continues to rise, while at the same time, the current legal system has yet to effectively respond to these challenges.

This discourse encouraged  the National Coalition of Vulnerable Groups Against Discrimination (KAIN) and the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia (FISIP UI), in collaboration with the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) and the Equal Rights Trust (ERT), convened the National Symposium on the Draft Bill on the Elimination of Comprehensive Discrimination (RUU PDK). The symposium was held on 16–17 September 2025 at the Department of Criminology, FISIP UI, and gathered more than 150 participants, bringing together strategic stakeholders and various groups consisting of academics, international experts, representatives of ministries/ institutions, civil society actors, foreign embassies in Indonesia, media/journalists, and students.

This symposium was born out of the need for evidence-based regulation, policies that are needs-based and problem-solving oriented, and a genuine aspiration for a law that guarantees comprehensive protection for every citizen without exception. Furthermore, this event was   the initiative of civil society coalitions to remind the state of its commitments in the Universal Periodic Review (UPR) Cycle IV of 2023 and the 2024 Concluding Observations of the Human Rights Committee on Civil and Political Rights, in which the Indonesian government agreed to  anti-discrimination legislation.

The Dean of FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, opened the symposium by emphasizing that discrimination not only impacts individuals but also undermines social cohesion and threatens political legitimacy. He stressed that comprehensive anti-discrimination law must go beyond written text to serve as a real instrument of justice, especially for the vulnerable and marginalized who have long been excluded from state protection. Similarly, Claude Cahn of OHCHR stated: “With just one law, the state can fulfill many of its international human rights obligations. This law gives people a direct tool to fight discrimination. Rights that are usually written only in constitutions or international treaties may feel distant, but with this law, people can use them in their daily lives.”

During the first plenary session, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA, Expert Staff for Development Financing Innovation at the Ministry of National Development Planning/Bappenas, emphasized that anti-discrimination legislation aligns with Indonesia’s national development framework. In the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025–2045, one of the policy directions is to ensure that no one is left behind in development. Two pillars supporting this are the rule of law and access to justice. This reference  should be understood as a mandate enabling stakeholders to follow up on international recommendations for Indonesia.

To examine the RUU PDK in greater depth, the symposium featured four thematic panel discussions. 

Panel 1 explored definitions and the scope of discrimination, emphasizing that discrimination arises from failures to recognize diversity, and that its essence is injustice toward diversity. Accordingly, the bill must be based on protected grounds and adopt an open-ended definition. 

Panel 2 with the theme of enforcement mechanisms for accountability and victim redress. This theme highlights the ideal law enforcement mechanism in the bill, which is carried out through the establishment of  a new independent,  inclusive, participatory, participatory body/institution that represents various  vulnerable and minority groups, sufficiently resourced, and staffed with individuals of integrity and sensitivity to discrimination issues. This mechanism must be able to respond to all incidents of discrimination with processes that provide convenience, reliability, and certainty. They must ensure the enforcement and restoration of victims’ rights in an  accountable, effective, comprehensive, and inclusive way.

Panel 3 highlighted effective prevention measures to prevent discrimination need to include data collection for policy-making, meaningful participation of vulnerable groups in decision-making, access to justice, and the establishment of individual complaints systems. Preventive measures must be grounded in international principles and local norms that uphold diversity and be implemented through the mandates of human rights institutions, law enforcement agencies, education, culture, and local government. 

Panel 4 delved into the effective implementation of comprehensive anti-discrimination legislation.  The critical components of implementation are  ensuring  independent  enforcement bodies/institutions and conducting regulatory audits to assess the impact of the Anti-Discrimination bill .
The symposium concluded with remarks by Ratna Batara Munti, Commissioner and Vice Chair of the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), who declared full support for KAIN’s initiative to push for Indonesia’s adoption of the RUU PDK. She reaffirmed that Komnas Perempuan will actively advocate for the inclusion of the bill in the National Legislative Program (Prolegnas) priority agenda of the House of Representatives (DPR), and ensure it is deliberated and passed, using Komnas Perempuan’s mandate, functions, and authority.

Contact Persons:
Arul (KAIN) – +62 822 2406 1490
Iswan Sual (KAIN) – +62 897 8534 135

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia: Urgensi Indonesia Memiliki Legislasi Anti-Diskriminasi

Diskriminasi masih menjadi persoalan yang dialami oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci, Kelompok Keberagaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG), Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, Perempuan, Penghayat Kepercayaan, dan beragam kelompok rentan lainnya. Akar masalah tersebut muncul karena kebijakan-kebijakan yang ada memiliki pengaturan secara parsial, pengakuan identitas rentan secara terbatas dan stagnan/closed-ended. Akibatnya jumlah korban diskriminasi terus bertambah namun di saat yang bersamaan sistem hukum yang ada saat ini belum mampu merespon permasalahan tersebut.

Diskursus tersebut mendorong Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Equal Rights Trust (ERT), mengadakan Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK). Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 16 – 17 September 2025 di Departemen Kriminologi FISIP UI. Diskusi bertajuk ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan yang terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, para media/jurnalis, dan mahasiswa.

Simposium ini lahir dari kebutuhan akan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan yang berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat (need-based and problem solving oriented), serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara secara komprehensif dan tanpa pengecualian. Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi.

Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto membuka simposium dengan menyatakan bahwa diskriminasi selain berdampak ke individu juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik. Untuk itu, hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang nyata dirasakan oleh warga, terutama mereka yang rentan dan selama ini tersisih dari perlindungan negara. Di sisi lain, Claude Cahn dari OHCHR menyatakan “Dengan satu UU saja, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia. Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata.”

Dalam diskusi pleno di hari pertama, pembicara dari Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya adalah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind). Dua pilar yang menopangnya adalah pilar hukum dan pilar akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia.

Untuk membedah lebih mendalam konsep RUU PDK, simposium ini membagi menjadi empat sesi diskusi tematik. Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif. Temuan penting dalam panel ini adalah diskriminasi terjadi karena kegagalan pengakuan atas fakta keberagaman dan esensi diskriminasi adalah ketidakadilan terhadap keberagaman. Sehingga definisi diskriminasi dalam RUU PDK agar berdasar alasan yang dilindungi (protected ground) dan definisi yang bersifat terbuka (open-ended definition).

Panel dua dengan tema mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi. Tematik ini menyoroti mekanisme penegakan hukum secara ideal di RUU PDK dilakukan melalui pembentukan badan/institusi baru yang independen, inklusif, partisipatif, representasi dari berbagai keberagaman kelompok rentan-minoritas, memiliki daya yang memadai, dan terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap isu diskriminasi. Mekanisme tersebut harus mampu merespon semua peristiwa diskriminasi dengan proses yang memberikan kemudahan, keandalan, dan kepastian. Menjamin penegakan dan pemulihan hak-hak korban (victims’ rights) yang akuntabel, efektif, komprehensif dan inklusif.

Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta adanya sistem pengaduan individual. Pengaturan pencegahan perlu berbasis prinsip internasional dan norma lokal yang menjunjung keberagaman, serta dijalankan melalui mandat lembaga HAM, penegak hukum, pendidikan, budaya, dan pemerintah daerah. Panel empat membedah implementasi efektif legislasi anti-diskriminasi komprehensif. Komponen penting dalam implementasi adalah memastikan badan/institusi penegakan bersifat independen, adanya audit regulasi untuk memotret dampak RUU PDK.

Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti yang mendeklarasikan Komnas Perempuan mendukung secara penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK. Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja, fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan.

Narahubung:

Arul KAIN – 0822-2406-1490

Iswan Sual KAIN – 0897-8534-135

 

Koalisi RFP Tuntut Presiden untuk Membentuk Tim Reformasi Kepolisian yang Independen dan Menyasar Setidaknya 9 (Sembilan) Masalah Sistemik Polri

Jakarta, 15 September 2025 – Desakan Reformasi Kepolisian makin keras disuarakan publik menyusul rentetan tindakan represif dan ketidakprofesionalan polisi. Terbaru, Presiden Prabowo disebut-sebut akan membentuk tim atau komisi Reformasi Kepolisian. Rencana tersebut disampaikan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) pasca berdialog dengan Prabowo di Istana Negara pada Kamis (11/9/2025). Atas rencana tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menyampaikan pandangan dan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, tuntutan Reformasi Polri harus dimaknai sebagai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi Kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur. Buruknya kinerja Kepolisian selama ini menunjukkan persoalan POLRI berakar multi aspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan Reformasi Kepolisian yang jelas dan terukur yang sejalan dengan mandat reformasi yang termaktub dalam TAP MPR No. VI tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII tentang Peran TNI dan Polri, serta Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan hanya sekedar membentuk Tim atau komisi khusus. Peta jalan ini termasuk di dalamnya berisi komitmen atas tindak lanjut hasil kerja komisi yang perlu ditindaklanjuti presiden. Jika tidak, Tim atau komisi bentukan Presiden rentan berujung tumpul, tidak efektif menjawab akar persoalan Polri, dan lagi-lagi gagal mereformasi Polri.

Kedua, sebagai langkah awal dan bagian penting Reformasi Kepolisian , Presiden dan DPR harus menghentikan upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dan merombak secara serius draft terakhir RUU tersebut (per 13 Juli 2025). Ketentuan dalam draft tersebut justru menjadikan Kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan semakin superpower dan minim kontrol dalam fungsi penegakan hukum. Selanjutnya, Presiden dan DPR wajib memastikan revisi KUHAP memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) sebagai lembaga independen dan imparsial. Termasuk skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap dan ditahan setidaknya juga wajib diakomodir sebagai ikhtiar menjamin ketidak berulangan (guarantees of non-recurrence) praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian.

Ketiga, sehubungan dengan wacana pembentukan tim Reformasi Kepolisian:
1. Presiden memastikan tim memiliki kewenangan yang efektif dan hasil dari kinerja dari pembentukan tim khusus Reformasi Kepolisian ini tidak berakhir menjadi “laporan” semata, namun rekomendasi yang dihasilkan harus bersifat mengikat, impactful, dan menjadi dasar bagi perubahan Undang-Undang Polri. Komitmen ini penting mengingat preseden gagalnya Reformasi Kepolisian yang substansial dan progresif selama ini juga diakibatkan ketiadaan kemauan politik Pemerintah dan DPR;
2. Tim yang dibentuk mesti terdiri dari sosok yang independen, berintegritas dan representatif, melibatkan elemen masyarakat sipil dan unsur akademisi yang berani, bebas dari konflik kepentingan (termasuk meniadakan unsur polisi dan Kompolnas), memiliki concern atau rekam jejak dalam mendorong reformasi kepolisian, serta secara intensif dan sehari-harinya berhadapan langsung dengan fungsi-fungsi Polri, yakni penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan keamanan dan ketertiban;
3. Agenda Reformasi Kepolisian yang digagas melalui pembentukan tim ini harus transparans dari proses hingga hasil.

Keempat, Presiden harus memastikan bahwa agenda Reformasi Kepolisian kali ini mampu mengidentifikasi persoalan fundamental Kepolisian. Sebagai respon cepat, kami memetakan setidaknya 9 (sembilan) masalah fundamental, sistemik, dan struktural kepolisian yang sudah terlampau akut menggerogoti institusi Polri, yaitu:
1. Absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen, antara lain dalam KUHAP, termasuk praktik-praktik impunitas yang mengakar;
2. Sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan-brutalitas, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif;
3. Tata kelola organisasi yang tidak transparan dan akuntabel, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, termasuk pada sistem penganggaran;
4. Sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi;
5. Terlampau luasnya lingkup tugas dan fungsi Polri, khususnya untuk pelayanan masyarakat hingga menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk penggelembungan tugas dan wewenang melalui penyelundupan norma undang-undang;
6. Penggunaan kekuatan berlebihan, Represif, sewenang-wenang dan brutal dalam penanganan aksi demonstrasi. Dalam hal ini juga tidak relevannya instrumen Korps Brigade Mobile (Brimob) dalam institusi Polri yang menyerupai instrumen perang dari segi teknik, perlengkapan, dan taktik, hingga masalah sistem operasi. Bahkan seringkali dipergunakan untuk menghadapi warga dalam konflik agraria dan sumber daya alam
7. Buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, inklusivitas, dan negara hukum;
8. Kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), dan perilaku koruptif dalam menjalankan fungsi penegakan hukum; serta
9. Keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan);.

Agenda Reformasi Kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi jati diri Polri yang sipil (civillian police) dan demokratis dengan mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi Kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pasca transisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri.

Kami meyakini, melalui komitmen dan keberanian politik Presiden melakukan Reformasi Kepolisian dengan memastikan hal-hal tersebut di atas akan menjadi tonggak penting yang berkontribusi bagi kemajuan demokrasi, HAM, dan tegaknya konstitusionalisme di Indonesia. Hal itu akan sekaligus meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, democratic policing, dan independensi serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Tanpa komitmen atas Reformasi Polri yang lebih jelas dan sistematis tersebut, kami menilai langkah Presiden membentuk tim tersebut semata-mata hanya lips service, gimmick, dan akan mengulangi kegagalan wacana-wacana reformasi kepolisian sebelumnya, sehingga sudah sepatutnya ditolak.

Jakarta, 15 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
7. Kurawal Foundation
8. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
9. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
10. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
11. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
12. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
13. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
14. Lingkar Studi Feminis (LSF)

Putusan Pidana Mati Terhadap Kopda Bazarsah: Antara Pemenuhan Kebutuhan Korban atau Narasi Kegagahan Semata

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik vonis mati Pengadilan Militer I-04 Palembang untuk Kopda Bazarsah karena dinilai hanya menunjukkan citra gagah negara tanpa memikirkan dampak lain. Vonis ini juga tidak menyembuhkan luka keluarga korban dan bertentangan dengan semangat reformasi peradilan pidana dalam KUHP baru.

Pada tanggal 11 Agustus 2025, bertempat di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Sumatera Selatan, seorang anggota militer berpangkat Kopral Dua (Kopda), Bazarsah, dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Militer atas perbuatan pembunuhan yang dilakukannya terhadap 3 (tiga) orang polisi, yakni AKP (Anumerta) Lusiyanto (selaku Kapolsek Negara Batin), Aipda (Anumerta) Petrus Apriyanto (selaku Bintara Polsek Negara Batin), dan Bripda (Anumerta) M. Ghalib Surya Ganta (selaku Bintara Satreskrim Polres Way Kanan).

Tentunya penjatuhan pidana mati ini selaras dengan tuntutan yang disampaikan oleh Oditur Militer pada tanggal 21 Juli 2025. Oditur Militer menyatakan bahwa tindakan Kopda Bazarsah telah memenuhi unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau melakukan perbuatan pembunuhan secara berencana. Tak hanya tuntutan pidana mati, Oditur Militer juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Baik tuntutan pidana mati dan pemecatan dari dinas militer, hal itu dikabulkan oleh Majelis Hakim.

Namun, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Oditur Militer yang menyatakan Kopda Bazarsah terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 340 KUHP. Majelis Hakim lebih sepakat jika Kopda Bazarsah terbukti melakukan perbuatan dan memenuhi unsur dalam Pasal 338 KUHP karena melakukan pembunuhan tersebut tanpa rencana. Terlepas dengan pandangan tersebut, Majelis Hakim tetap menjatuhkan pidana mati terhadap Kopda Bazarsah. 

Kami berpandangan apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam kasus ini adalah di luar dari kewenangan hukum yang berlaku. Vonis pidana mati yang diberikan kepada Kopda Bazarsah, sekalipun sesuai dengan harapan banyak pihak, menunjukkan permasalahan hukum yang lebih dalam. Ada tiga catatan kritis yang bisa kami sampaikan dalam kasus ini.

Pertama, apabila Hakim memosisikan seseorang telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dengan Pasal 338 KUHP, maka konsekuensi pidana yang dapat dikenakan terhadap orang tersebut adalah maksimal 15 tahun penjara. Dalam hukum pidana, memang masih memungkinkan Majelis Hakim memberikan pidana tambahan, seperti pidana denda, tetapi bukan dengan penambahan pidana penjara ataupun pidana mati. Penjatuhan hukuman di luar ketentuan maksimal akan berbahaya karena menimbulkan preseden bagi para hakim untuk memvonis di luar aturan hukum yang ada.

Kondisi penjatuhan pidana mati di Indonesia nampaknya masih tetap dan terus terjadi dalam beberapa kasus, seperti narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan seksual terhadap anak, dan terorisme. Namun seiring dengan penjatuhan pidana mati yang terus dikeluarkan, apakah jumlah kasus terhadap tindak pidana tersebut berkurang? Data membuktikan tidak. Inilah yang kami sebut dengan cara menampilkan kegagahan semata tanpa memikirkan dampak lain yang sifatnya bisa menguntungkan.

Kedua, vonis pidana mati tidak serta merta menyembuhkan rasa sakit dan luka yang dialami oleh keluarga korban. Malah, dalam banyak kasus, vonis mati mengalihkan keluarga korban dari hak-haknya yang lebih dasar, seperti pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi. Dalam kasus-kasus seperti ini di mana korban utama adalah tulang punggung keluarga, menjadi beralasan jika keluarga korban meminta tuntutan lain, seperti restitusi dari pelaku, untuk menanggung hidup mereka pasca kehilangan tiga orang penopang keluarga ini.

Sayangnya, dalam pidana mati, hak atas restitusi ini menjadi tidak bisa didapatkan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak  boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu”. Hal ini mencangkup restitusi, sehingga tidak ada kemungkinan bagi seseorang yang dijatuhi dengan pidana mati untuk tetap melakukan kewajiban restitusinya terhadap keluarga korban. Keluarga korban tidak diberikan ruang untuk menuntut mendapatkan restitusi dari orang yang dijatuhi dengan pidana mati tersebut. 

Ketiga, vonis mati terhadap Kopda Bazarsah tidak sesuai dengan semangat reformasi peradilan pidana yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Tidak sampai 5 bulan lagi, KUHP Baru akan berlaku dan digunakan. Aturan-aturan dalam KUHP Baru telah mencoba sedikit demi sedikit beralih dari pidana mati. Selain pidana mati dijadikan pidana alternatif, KUHP Baru juga memandatkan hakim memutus pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Harapannya adalah terdapat perubahan perilaku terhadap orang yang dijatuhi dengan pidana mati sehingga hukuman mereka dikomutasi menjadi pidana seumur hidup.

“Tampaknya banyak pengadilan, termasuk Pengadilan Militer I-04 Palembang, belum sepenuhnya mengerti pergeseran perspektif ini. Hal inilah yang menyebabkan narapidana deret tunggu terus bertambah dari tahun ke tahun, di mana per hari ini sudah mencapai 594 orang. Putusan-putusan mati ini juga tampak tidak belajar dari pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk beralih dari model penghukuman yang sifatnya retributif seperti hukuman mati ke hukuman yang lebih rehabilitatif dan restoratif,” ungkap Koordinator Penanganan Kasus LBHM, Yosua Octavian.

Berkaitan dengan kasus Kopda Bazarsah ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer yang nantinya memeriksa dan mengadili perkara ini di tingkat banding untuk dapat: 

1. Mengutamakan pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi bagi keluarga korban dengan mengutamakan kewajiban restitusi terhadap Kopda Bazarsah dibanding dengan penjatuhan pidana mati yang merupakan cara usang untuk menanggulangi kejahatan.

2. Mendorong aparat hukum yang berwenang untuk mengutamakan keselamatan bagi keluarga korban dan juga keluarga dari Kopda Bazarsah agar terhindar dari ancaman dan/atau tekanan dari pihak mana pun.

3. Mendesak institusi Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk melakukan audit secara serius atas kepemilikan senjata api anggotanya dan keterlibatan anggota TNI dalam bisnis-bisnis yang dilarang untuk memastikan kejadian pembunuhan seperti yang dilakukan oleh Kopda Bazarsah tidak terulang lagi.

Jakarta, 12 Agustus 2025

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) 

Narahubung: 0898-437-0066

Dugaan TPPO Terpidana WNI di Malaysia: Keluarga Menanti dengan Cemas, Mabes Polri Malah Mengalihkan ke Dumas

Jakarta, 30 Juli 2025 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama dengan keluarga narapidana Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia membuat Laporan Polisi (LP) ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami oleh Ani. 

Saat ini, Ani tengah menjalani pemidanaan di Penjara Sungai Udang, Malaka, Malaysia. Ia telah menjalani pidana penjara sejak tahun 2011. Ini berarti Ani telah ditahan selama 14 tahun.

Ani merupakan warga negara Indonesia asal Jakarta yang dijanjikan pekerjaan sebagai perawat di luar negeri oleh tetangganya bernama Duwi di tahun 2011. Dalam pembuatan paspor, identitas asli Ani diubah karena informasi yang diterimanya adalah harus menggunakan nama baru ketika ke luar negeri. Ani kemudian diberangkatkan ke Malaysia dan Vietnam dengan dalih penempatan kerja.

Selama berada di luar negeri, Ani diarahkan oleh Duwi untuk menginap di hotel dan pada akhirnya diminta membawa sebuah tas dari Vietnam ke Pulau Penang, Malaysia. Tanpa sepengetahuannya, tas tersebut ternyata berisi narkotika jenis sabu seberat 3865 gram  yang disembunyikan secara tersembunyi di bagian dasar tas.

Pada 21 Juni 2011, Ani tiba di Bandara Internasional Pulau Penang dan petugas Bandara mendeteksi isi yang mencurigakan dalam tas yang dibawanya tersebut. Ani ditangkap dan didakwa atas tuduhan mengedarkan narkotika dan dijatuhi pidana mati berdasarkan Pasal 39B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Narkotika dan Obat-Obatan Berbahaya Tahun 1952 (Peraturan Malaysia).

Namun, seiring dengan pembaruan hukum di Malaysia yang menghapus pidana mati, kasus Ani memenuhi syarat untuk peninjauan ulang berdasarkan Akta Semakan Hukuman Mati dan Pemenjaraan Sepanjang Hayat 2023. Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Persekutuan Malaysia mengurangi hukumannya menjadi penjara seumur hidup.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam membongkar praktik perdagangan orang bermodus perekrutan kerja yang menjerat korban sebagai kurir narkotika internasional. 

LBHM menilai bahwa Ani adalah korban perdagangan orang yang dijerat oleh sindikat peredaran gelap narkotika lintas negara. Berdasarkan hukum Indonesia, tindakan yang dialami oleh Ani memenuhi unsur dalam:

  • Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO)
    • Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dalam kasus TPPO ada tiga unsur yang harus dipenuhi, yakni tindakan (act), cara (means), dan tujuan (purpose). Dalam kasus Ani, sindikat narkotika melakukan perekrutan terhadap Ani dan memindahkan dia dari Indonesia ke Vietnam lalu ke Malaysia. Perekrutan dan pemindahan Ani juga memenuhi unsur kedua, yakni cara yang ilegal, seperti pemalsuan dan penipuan. Fakta bahwa Ani pergi dengan dokumen paspor palsu memiliki kemiripan dengan banyak TKI lain yang menjadi korban TPPO. Selain itu, perekrutnya memberikan janji palsu bahwa ia akan bekerja di luar. Kasus Ani juga memenuhi unsur TPPO ketiga, yakni tujuan direkrutnya Ani adalah untuk tujuan eksploitasi, yakni memaksa Ani melakukan tindak kejahatan yang akan menguntungkan orang-orang yang merekrutnya. Dalam literatur TPPO, model kasus yang dialami Ani biasanya disebut sebagai TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan (forced criminality).

Dengan demikian, LBHM menekankan bahwa kasus Ani bukan semata-mata kasus narkotika, melainkan kasus eksploitasi terhadap WNI di luar negeri yang menjadi korban perdagangan orang yang belum diusut secara tuntas di Indonesia. Karena itulah, LBHM mendorong Mabes Polri untuk bertindak proaktif dalam menyelidiki kasus-kasus TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan semacam ini.

Dari hasil laporan yang kami lakukan, kami sangat menyayangkan bahwa pihak Mabes Polri tidak merespon laporan kami dalam bentuk Laporan Kepolisian melainkan hanya pengaduan masyarakat (Dumas) dengan alasan kekurangan bukti. Sikap ini mencerminkan ketidaktanggapan Institusi Polri terhadap persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia dan keselamatan korban. Tindak pidana perdagangan orang bukanlah pelanggaran biasa, melainkan kejahatan berat yang menuntut perhatian dan penindakan tegas. Ketika laporan yang seharusnya menjadi awal penegakan hukum justru diabaikan, hal ini menunjukkan kegagalan aparat dalam memberikan perlindungan dan keadilan. 

Alasan kekurangan bukti juga wajib dipertanyakan karena justru polisilah yang memiliki kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mendapatkan bukti. Jika setiap pelaporan tindak pidana mensyaratkan bukti lengkap, tidak akan ada korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perdagangan orang yang akan melaporkan kasusnya. Hal ini turut menciptakan preseden negatif bagi penanganan laporan-laporan dugaan tindak pidana perdagangan orang lainnya, yang justru dapat menghambat keberanian korban untuk melapor dan merusak kepercayaan publik terhadap keseriusan aparat dalam menangani kasus serupa di masa mendatang.

“Dalam momentum Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia Orang 30 Juli, LBHM mengingatkan bahwa korban perdagangan orang tidak seharusnya diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, apalagi dijatuhi pidana mati. Pasal 18 UU TPPO menyatakan “Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Kasus Terpidana WNI di Malaysia mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap WNI di luar negeri dan bagaimana sindikat memanfaatkan kerentanan untuk eksploitasi. Peran Kepolisian RI seharusnya mengungkap lebih dalam dugaan adanya TPPO,” ujar Awaludin Muzaki, pengacara publik LBHM.

Hormat kami,

LBHM

Narahubung:

0812-9028-0416 (Awaludin Muzaki)

Menyambut Pemberlakuan KUHP Baru: Pemerintah Harus Jamin Pendekatan Hak Asasi Manusia pada Aturan Pelaksana Tentang Living Law serta Perubahan Pidana Mati dan Seumur Hidup

Jakarta, 14 Juli 2025 – LBHM dan PBHI menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan pada Kementerian Hukum Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan berlaku mengikat pada 2 Januari 2026 mendatang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk menyusun sejumlah aturan pelaksana. Dua di antaranya adalah RPP Living Law dan RPP Komutasi. LBHM dan PBHI telah konsisten mengawal proses pembentukan dua kebijakan ini sejak tahun 2024 dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada dua isu tersebut dan menjaring aspirasi publik melalui serangkaian diskusi publik yang diselenggarakan di universitas-universitas. Salah satu agenda advokasi yang telah kami lakukan adalah melakukan rangkaian audiensi dengan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan,Kementerian Hukum Republik Indonesia untuk memastikan proses pembuatan kedua peraturan tersebut transparan dan substansinya sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Namun demikian, PBHI dan LBHM menyampaikan perhatian serius terhadap substansi dan arah kebijakan dalam kedua RPP tersebut. Kami menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM pada kedua rancangan peraturan pemerintah tersebut.

RPP tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) Harus Menjadi Langkah Awal Menuju Penghapusan Pidana Mati di Indonesia

KUHP Baru mengatur sejumlah perubahan pada penerapan pidana mati di Indonesia. Semula, KUHP warisan kolonial Belanda menempatkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok. Dalam KUHP Baru, pidana mati harus dipandang sebagai ketentuan yang bersifat alternatif. Meskipun ketentuan baru ini “tampak memberi perubahan baik”, namun hal tersebut tidak lantas melepaskan Indonesia dari predikat negara retensionis. Pembuatan RPP ini harus menjadi tonggak pertama bagi pemerintah Indonesia untuk beranjak kepada pemenuhan hak atas hidup sebagai instrumen yang paling utama dalam kerangka penghormatan hak asasi manusia, terkhusus bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. 

Namun sayangnya, penyusunan RPP Komutasi ini masih menyisakan sejumlah celah yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, DIM yang kami serahkan ini pada dasarnya memuat catatan kritis perihal muatan penting yang harus diakomodasi oleh pemerintah dalam menyusun RPP Komutasi.

  • RPP ini harus memastikan bahwa proses komutasi bersifat dan berjalan secara otomatis bagi setiap terpidana mati maupun narapidana dengan vonis penjara seumur hidup ketika telah memenuhi syarat minimal menjalani pemidanaan. RPP ini harus memastikan bahwa masa tunggu eksekusi (masa percobaan 10 tahun) bagi terpidana mati dan 15 tahun pidana penjara bagi narapidana seumur hidup dihitung sejak masa penahanan dan dikategorikan sebagai bagian dari masa menjalani pidana. Hal ini penting untuk mencegah penghukuman ganda dan memastikan akses terhadap perubahan pidana lanjutan secara adil dan manusiawi.
  • Syarat dan proses dalam mengakses komutasi tidak boleh menghambat, bersifat diskriminatif, atau subjektif. Begitu juga dengan durasi setiap tahapan dalam proses komutasi dari tingkat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga pembuatan Keputusan Presiden, harus terlaksana secara transparan dan akuntabel. RPP ini harus memastikan bahwa sikap diam Presiden terhadap pengajuan komutasi terhadap setiap narapidana berarti Presiden menerima pengajuan komutasi. 
  • Meskipun saat ini pemerintah juga tengah menyusun RUU tentang Pelaksanaan Pidana Mati, namun RPP ini harus memuat ketentuan larangan pelaksanaan pidana mati, dalam hal: (1) narapidana tegah menjalani 10 tahun masa percobaan, (2) narapidana sedang menjalani proses komutasi. dan (3) narapidana sedang mengajukan grasi, amnesti, maupun abolisi. Jaminan ini penting untuk menciptakan kepastian hukum. 
  • Proses komutasi harus bersifat berkelanjutan. RPP ini tidak boleh membatasi narapidana untuk mengakses komutasi hanya untuk 1 kali saja. Ketentuan komutasi harus menjadi langkah awal menuju abolisi atau penghapusan total pidana mati di Indonesia. 
  • Ketentuan komutasi dalam RPP ini harus berlaku surut bagi seluruh terpidana mati maupun narapidana seumur hidup yang telah menjalani pemidanaan sebelum KUHP Baru berlaku secara mengikat. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per 14 Juli 2025, populasi terpidana mati di Indonesia mencapai angka 589 orang, dan sebanyak 2.228 narapidana penjara seumur hidup. 

LBHM dan PBHI pada dasarnya mendorong dan mendesak penghapusan pidana mati secara total pada seluruh jenis tindak pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Hak atas hidup merupakan instrumen hak asasi manusia paling mendasar untuk dapat mengakses berbagai hak asasi lainnya. Oleh karena itu, negara seharusnya hadir dan tidak merampas hak hidup warga negaranya sendiri.

RPP Living Law Perlu Safeguards HAM, Bukan Blank Check untuk Perda Diskriminatif

LBHM dan PBHI juga menyoroti RPP Living Law yang berpotensi menjadi instrumen untuk melegitimasi diskriminasi jika tidak dikawal secara ketat. Alih-alih menjadi ruang pengakuan terhadap hukum adat, pengaturan ini justru membuka potensi pelembagaan norma-norma adat yang menindas, represif, dan bias terhadap kelompok rentan. 

LBHM dan PBHI menilai bahwa gagasan menyusun RPP ini menunjukkan adanya ketegangan antara hukum pidana nasional dan hukum adat. Hukum pidana bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan kemerdekaan seseorang melalui sanksi yang definitif, sehingga mensyaratkan aturan yang jelas dan tertulis. Sementara hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, lahir dari norma dan praktik yang telah lama diterima di suatu masyarakat adat dan diyakini sebagai pedoman oleh masyarakat adatnya. Sanksi dalam hukum adat dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kosmik di wilayah adat tersebut. Pengaturan mengenai perbuatan adat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adat melalui hukum tertulis dapat berpotensi ke arah kriminalisasi. 

RPP Living Law ini belum secara eksplisit memastikan bahwa pengaturan kriteria perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai  tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah tunduk pada prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesetaraan gender, dan HAM. Di tengah masifnya dorongan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai payung hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, pemerintah justru  membuka keran permasalahan baru melalui RPP Living Law yang tidak sejalan dengan perjuangan masyarakat adat. Sebab  ruang hukum adat akan rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, represi terhadap masyarakat adat, kriminalisasi kelompok minoritas, membatasi hak-hak sipil, dan memperkuat nilai patriarkal. Ketidakjelasan arah pengaturan melalui RPP ini juga dapat menimbulkan dualisme penegakan hukum dan secara jangka panjang rentan menggerus proses penyelesaian melalui tatanan hukum adat setempat. 

Oleh karena itu, PBHI dan LBHM menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM yang telah diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dengan poin-poin sebagai berikut:

  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum perlu menegaskan prinsip-prinsip HAM sebagai syarat mutlak dalam menentukan tindak pidana adat yang akan diatur melalui Peraturan Daerah.
  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum agar tidak mengatur ulang perbuatan-perbuatan pidana yang telah diatur melalui Undang-Undang yang bersifat khusus, seperti UU TPKS, UU PKDRT, UU Disabilitas, dan sebagainya. 
  • Dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD   wajib melibatkan Masyarakat Adat setempat, organisasi masyarakat sipil dan kelompok rentan serta prosesnya harus bersifat transparan.
  • Mengatur secara proporsional mengenai mekanisme penegakan tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah untuk menjaga otonomi Masyarakat Hukum Adat dan mencegah kooptasi negara. 
  • Membangun mekanisme evaluasi terhadap implementasi RPP ini, termasuk Peraturan Daerah sebagai bentuk akuntabilitas dan perbaikan kebijakan. 

PBHI dan LBHM meminta agar pemerintah mempertimbangkan dan mengakomodasi setiap usulan dan rekomendasi yang kami sampaikan melalui DIM RPP Komutasi dan Living Law. Tanpa pembahasan substansial, RPP tersebut justru akan mengancam prinsip keadilan, memperluas diskriminasi, dan memperkuat kewenangan yang tidak akuntabel dalam sistem hukum pidana nasional yang baru.

*Untuk melihat daftar inventarisasi masalah terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) yang LBHM dan PBHI susun dapat dilihat melalui link berikut www.kawalkuhp.id/#/publikasi

Narahubung:

PBHI : 0852 5235 5928

LBHM : 0852 1524 1116

 

MEANINGFUL MANIPULATION RUU KUHAP: RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HARAPAN PALSU

REFLEKSI PROSES LEGISLASI DAN PERJALANAN ADVOKASI RUU KUHAP

Pada 23 Juni 2025, pemerintah resmi menandatangani naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini Komisi III akan melakukan kick off pembahasan RUU KUHAP setelah mengundang pemerintah untuk menerima DIM dalam waktu dekat.

Sebelumnya, selama proses awal hingga saat ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP konsisten mengawal dan memberikan masukan sampai kritik untuk penyusunan RUU KUHAP ini.

NoTanggalAgenda
19 Februari 2025Menanggapi masuknya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 sebagai RUU usul dari DPR RI serta wacana penyusunan RUU KUHAP oleh Badan Keahlian DPR dan Komisi III DPR RI, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyampaikan beberapa catatan terkait pembahasan RUU KUHAP melalui konferensi pers.
210 Februari 2025Memberikan catatan kritis dan surat terbuka koalisi untuk penyusunan draf RUU KUHAP kepada Komisi III DPR RI secara simbolik.
311 Februari 2025Koalisi mendapatkan undangan RDPU untuk 12 Februari 2025, namun dibatalkan oleh Komisi III kurang dari sehari.
419 Februari 2025Mengirim permohonan informasi publik untuk draf dan naskah akademik RUU KUHAP, namun hingga saat ini tidak ada respons dan balasan.
58 April 2025Koalisi menghadiri undangan informal pertemuan tertutup dari ketua Komisi III DPR RI, pertemuan tersebut hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pada pembahasan substansi, mengingat belum ada draf yang dipubliksikan DPR RI. Namun, anehnya pertemuan tersebut justru diklaim menjadi RDPU.
627 Mei 2025Koalisi menghadiri undangan penyusunan DIM oleh pemerintah yang intinya hanya mendengar catatan perwakilan masyarakat sipil, namun, pertemuan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir karena kemudian tidak ada penjelasan tindak lanjut dari masukan dan tidak ada satupun masukan koalisi yang diakomodir. Pertemuan tersebut menjadi sebatas formalitas.

 

Namun  sampai  DIM  rampung  dikerjakan  oleh  pemerintah,  kami  merasa  usulan  dan masukan  masyarakat  sipil  tidak  diakomodir  sedikitpun.  Selain  itu,  proses  penyusunan hingga pembahasan ini sangat terburu-buru dan jauh dari nilai reformasi hukum dan pertimbangan suara rakyat. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Komisi III, RUU KUHAP harus segera diselesaikan dalam 2 (dua) kali masa sidang dan berencana sah sebelum  bulan  Januari  2026.1   Hal  ini  tentu  sepantasnya  dipersoalkan.  Pada berbagai kesempatan Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem  peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa. RKUHAP mestinya disusun secara cermat dan hati-hati sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama.Sementara itu, RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draft RUU KUHAP 2012.

Kami mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya, seperti misalnya Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, UU CK (Omnibus Law) dan undang-undang lainnya yang juga bermasalah selama prosesnya. Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa.

Pada Rabu, 18 Juni 2025 Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Umum Pendapat (RDPU) mengenai RUU KUHAP. Dalam kesempatan tersebut Ketua Komisi III DPR RI

Habiburokhman berpendapat bahwa RUU KUHAP sebagai RUU paling partisipatif dalam proses penyusunannya. Komisi III DPR-RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.2 Hal ini tentu merupakan klaim sepihak yang patut dipersoalkan. Mengingat Koalisi tidak pernah menghadiri RDPU resmi untuk menyampaikan pandangan.

Kami menegaskan bahwa partisipasi publik yang bermakna bukan sekadar mendengarkan pendapat/usulan.   Bahwa   meaningful   participation   pada   pengertiannya   yang   paling mendasar, perlu juga merespons pendapat/usulan secara serius, antara lain dengan memberikan penjelasan atau jawaban yang rasional atas setiap pendapat/usulan yang diberikan. Tidak hanya itu. Agar publik dapat berpartisipasi dan memberikan pendapat/usulan yang berarti, hak keterbukaan atas keterbukaan informasi dan transparansi segala  perkembangan  dokumen pembahasan yang dapat diakses publik, adalah suatu keniscayaan yang mutlak perlu. Selama ini yang terjadi jauh dari ideal. Di banyak kesempatan, Koalisi harus mengingatkan dan mengajukan surat permohonan agar draft RUU KUHAP dapat diakses oleh publik. Tidak sedikit pihak dan kelompok masyarakat memberikan  komentar  atau tanggapan atas RUU KUHAP, tanpa sebelumnya diberikan akses untuk membaca dan mencermati pasal demi pasal draf RUU KUHAPnya. Lantas bagaimana mungkin ada partisipasi, ketika transparansi sebagai prasyaratnya pun tidak ada.

Lebih lanjut, proses ini membahayakan masa depan sistem hukum Indonesia. Bagaimana mungkin reformasi sistem peradilan pidana dilakukan tanpa kritik publik dan tanpa suara korban serta pembela HAM? Dalam konteks meningkatnya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis, RUU KUHAP yang dibahas secara diam-diam adalah ancaman langsung terhadap kebebasan sipil. Sementara itu, proses yang mengabaikan hak-hak dasar menunjukkan upaya menghancurkan prinsip negara hukum.


CATATAN KRITIS ATAS DRAF RUU KUHAP: MEMPERTANYAKAN ULANG 9   POIN PENGUATAN RUU KUHAP VERSI PEMERINTAH

Pemerintah melakukan penandatanganan DIM RUU KUHAP secara simbolik pada Senin, 23 Juni 2025, yang di dalamnya mencakup 9 (sembilan) poin penguatan RUU KUHAP, yaitu:

  1. memuat mengenai jaminan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
  2. perlindungan khusus bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas;
  3. penegasan  mekanisme   upaya   paksa,   termasuk   penetapan   tersangka   dan pemblokiran aset;
  4. perluasan ruang lingkup praperadilan;
  5. pengaturan tentang restorative justice;
  6. ketentuan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
  7. penguatan peran advokat dan pengaturan saksi mahkota;
  8. aturan pidana untuk korporasi; dan
  9. integrasi sistem informasi peradilan pidana berbasis teknologi digital.

Kami hendak merespons secara kritis sebagian poin RUU KUHAP yang menjadi perhatian pemerintah sebagai berikut:

Kesatu, pengaturan jaminan perlindungan hak setidak-tidaknya harus terdiri dari 2 (dua) aspek:  1)  apa  saja  hak-hak  tersangka,  terdakwa,  terpidana,  saksi,  korban;  dan  2) bagaimana cara mengakses hak tersebut. Bahwa tiap aturan tentang hak-hak tersangka, terdakwa,  terpidana,  berikut  hingga  hak-hak  khusus  bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan jalur komplain/keberatan/gugatan   atas   pelanggaran   hak,   prosedur   pemeriksaan   ada tidaknya pelanggaran hak, dan apa konsekuensi ketika terbukti terdapat pelanggaran hak. Misalnya, draf RUU KUHAP telah menyebutkan, antara lain, bahwa tersangka/terdakwa setiap waktu berhak mendapat bantuan juru bahasa yang dibutuhkannya. Pertanyaannya, bagaimana jika seorang tersangka yang tidak mengerti bahasa Indonesia diinterogasi tanpa dibantu dengan juru bahasa yang ia butuhkan? Kepada siapa tersangka yang bersangkutan dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak ini? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apakah konsekuensinya: pemeriksaannya diulang, tersangka diberikan ganti rugi, atau bagaimana? Contoh lain misalnya, bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum berhak untuk didengar keterangannya melalui audio visual jarak jauh, apabila dirinya diliputi rasa takut/trauma psikis yang didasarkan pada penilaian dokter/psikolog. Pertanyaannya, bagaimana jika hak ini tidak terpenuhi? Bagaimana jika ternyata, permohonan pemeriksaan melalui audio visual jarak jauh ini tidak disetujui, dan hal ini menimbulkan dampak yang begitu buruk bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum   tersebut?  Kemana  ia  dapat  mengakses  haknya?  Kepada  siapa  dia  dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak tersebut? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apa konsekuensinya? Ini baru contoh 2 (dua) hak dari sekian banyak  hak-hak  lainnya!  Tetapi  dari  kedua  ilustrasi ini saja kita dapat melihat, bahwa pengaturan tentang daftar hak-hak, serinci dan sedetail apapun itu, akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan prosedur hukum acara yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.

Kedua, pengaturan upaya paksa setidak-tidaknya harus terdiri dari 3 (tiga) aspek: 1) apa saja syarat untuk dapat dilakukannya upaya paksa; 2) prosedur upaya paksa (jangka waktu, pelaksanaan, dll); dan 3) mekanisme uji keabsahan upaya paksa. Tanpa adanya syarat dan prosedur   upaya   paksa   yang   jelas,   pelaksanaan   upaya   paksa   akan   berpangku diskresi-subjektif  penegak  hukum  belaka,  yang  pada  akhirnya  berpotensi  dilakukan secara sewenang-wenang. Misalnya, mengenai jangka waktu penangkapan. Draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Dalam keadaan tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih lama dari jangka waktu tersebut. Pertanyaannya, “lebih lama” dari jangka waktu ini maksudnya berapa lama? Apakah 3 (tiga) hari,  30  (tiga  puluh)  hari,  atau  300  (tiga  ratus)  hari,  RUU  KUHAP  tidak memberikan kejelasan sama sekali. Belum lagi tentang “keadaan tertentu” yang dapat menyebabkan perpanjangan masa penangkapan. Pertanyaannya, siapa yang menentukan “keadaan tertentu” ini? Apakah semata-mata hanya berpijak pada diskresi-subjektif penegak hukum, atau bagaimana? Kemudian, lantas bagaimana cara kita dapat menguji sah atau tidaknya penangkapan, ketika RUU KUHAP sendiri menyerahkan (perpanjangan) penangkapan pada penilaian subjektif aparat penegak hukum? Contoh lain misalnya, draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa di tahap penyelidikan dapat dilakukan beberapa kewenangan investigasi khusus, antara lain pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Tapi, draf RUU KUHAP sama sekali tidak mengatur apapun, baik itu tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme uji dari kewenangan-kewenangan   investigasi   khusus.   Dari   kedua   contoh   ini   saja,   kami bertanya-tanya tentang di mana letak penegasan pengaturan tentang upaya paksa (dan kewenangan investigasi khusus) di dalam RUU KUHAP ini?

Ketiga, berbicara tentang praperadilan sebagai forum uji keabsahan upaya paksa tidak terbatas  pada  perluasan  ruang  lingkup objek pemeriksaan praperadilan, yakni seluruh upaya paksa, penghentian penyidikan dan penuntutan, atau ganti rugi atau rehabilitasi. Kami mengidentifikasi  1 (satu) hal penting yang luput diatur dalam draf RUU KUHAP, yaitu mengenai beban pembuktian sah tidaknya upaya paksa. Bahwa segala tindakan aparat penegak hukum adalah didasarkan pada kewenangan hukum publik, sehingga pembuktian tentang sah tidaknya tindakan publik tersebut pada prinsipnya dibebankan kepada pihak yang  memiliki  kewenangan  publik  tersebut.  Artinya, ketika seorang tersangka/terdakwa merasa bahwa suatu tindakan upaya paksa telah dilakukan secara melawan hukum, maka yang mesti membuktikan bahwa tindakan upaya paksa tersebut telah dilakukan secara sah adalah aparat penegak hukum sebagai pemangku kewenangan upaya paksa. Dengan kata lain, hukum pembuktian tentang keabsahan upaya paksa tidak berlaku prinsip pembuktian perdata “barangsiapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan”. Tapi justru sebaliknya, barangsiapa yang memiliki kewenangan, dialah yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa penggunaan kewenangan tersebut telah dilakukan secara legal. Tanpa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang adil, pada akhirnya pengaturan tentang perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan sampai detail prosedur hukum acara pemeriksaannya, tetap akan sia-sia dan percuma.

Keempat, draf RUU KUHAP salah kaprah dalam memaknai  restorative justice sebagai paradigma baru hukum pidana, dengan mengartikan restorative justice sebatas pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process). Padahal, filosofi restorative justice berpangku pada hak dan kepentingan korban untuk dipulihkan dari dampak-dampak yang ditimbulkan tindak pidana; sedangkan penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process) berpangku pada kepentingan negara dalam mengelola  kelebihan  beban  kerja peradilan (criminal justice overload) dan kepentingan pelaku untuk diselesaikan perkaranya sedini mungkin. Ini jelas keliru. Sekalipun restorative justice dimaknai dengan mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan, sungguh membingungkan apabila draf RUU KUHAP membuka ruang penyelesaian perkara di luar persidangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Apa yang mau diselesaikan, ketika perbuatan pidananya sendiri belum ada? Bagaimana mungkin suatu tindak pidana mau diselesaikan di luar persidangan, ketika penyidikan atas tindak pidana tersebut juga belum tuntas? Bukankah “pilihan” untuk menyelesaikan perkara pidana di luar persidangan baru lahir ketika suatu perkara telah selesai disidik (“P-21”) dan sudah siap dilimpahkan ke persidangan?

Kelima, peran advokat dalam suatu perkara akan sangat esensial bagi siapapun yang berurusan dengan proses hukum. Hal paling pertama dan terutama yang diharapkan pada seorang advokat adalah, bagaimana ia dapat diandalkan untuk dapat memberikan pembelaan yang optimal, sehingga terbangun keberimbangan antara kepentingan penegak hukum dengan pembelaan diri tersangka/terdakwa (equal of arms). Kami percaya, asas keberimbangan dalam acara pidana akan menuntun kita pada proses peradilan yang adil. Masalahnya, dalam praktiknya, untuk kepentingan pembelaan kliennya, advokat baru dapat mengetahui  dan  mengakses  bukti-bukti  yang  dikumpulkan  penegak  hukum  seketika sebelum perkaranya disidangkan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP 1981). Padahal, hak untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti yang sedang dikumpulkan penegak hukum di tahap pra-ajudikasi (pre-trial discovery rights) sangat amat esensial bagi tersangka/terdakwa dan advokatnya untuk menyusun pembelaan yang optimal. Sayangnya, tidak ada kebaruan apapun dalam draf RUU KUHAP yang memperluas jangkauan advokat untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti tersebut. Tanpa pengaturan ini, maka tugas utama advokat untuk memberikan pembelaan yang optimal akan terhambat, menyisakan pendampingan hukum dari advokat berakhir sebagai simbolis belaka, yang selalu tertinggal beberapa langkah di belakang penegak hukum lainnya.

Keenam, saksi mahkota pada prinsipnya adalah kesepakatan antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum, di mana di dalam kesepakatan tersebut tersangka/terdakwa bersedia  untuk  mengungkapkan  tindak  pidana  yang  dilakukan  orang  lain,  dan  oleh karenanya penuntut umum akan mengajukan keringanan tuntutan. Sungguh aneh apabila draf RUU KUHAP membuka ruang bagi penyidik untuk menetapkan saksi mahkota, sebab bagaimana  mungkin  penyidik  dapat  bersepakat dengan tersangka untuk menjadi saksi mahkota, ketika urusan berat ringannya hukuman (tuntutan) sama sekali bukan urusan dari penyidik? Pengaturan semacam ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam praktik, yang tidak hanya akan merugikan para calon saksi mahkota, tetapi juga merugikan kepentingan penegakan hukum.

SIKAP & TUNTUTAN KAMI

Kami menilai bahwa klaim-klaim penguatan RUU KUHAP yang disampaikan pemerintah jauh dari konsep acara peradilan yang adil dan berprinsip pada penghormatan hak asasi manusia. Kami juga menilai bahwa model partisipasi publik yang sedang terjadi sangat jauh dari  pengertian  dasar  meaningful  participation.  Sebaliknya,  Komisi  III  DPR  RI  dan Pemerintah justru melakukan meaningful manipulation.

Draf yang disusun DPR RI maupun DIM yang disiapkan pemerintah masih belum mengakomodir tuntutan 9 isu krusial yang kami pandang perlu diakomodir dalam RUU KUHAP. Mengingat kepentingan yang besar untuk perlindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana, Koalisi menyusun Draf Tandingan RUU KUHAP versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP untuk mengakomodir terjaminnya due process of law dan perlindungan hak asasi manusia. Draf Tandingan RUU KUHAP ini disusun secara kolektif dan akan terus dikembangkan oleh lembaga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.  Selain itu, kami juga terus menyerukan agar pembahasan RUU KUHAP pada masa sidang saat ini dilakukan secara  mendalam  dan  substansial,  tidak  terburu-buru, cermat dan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.

Akses  Draf  Tandingan  RUU  KUHAP  versi  Koalisi  Masyarakat  Sipil  untuk  Pembaruan KUHAP: https://reformasikuhap.id/rkuhap-tandingan/

  1. ICJR
  2. IJRS
  3. LeIP
  4. YLBHI
  5. LBH Jakarta
  6. IPP FPL
  7. Amnesty International Indonesia
  8. AJI Indonesia
  9. LBH Masyarakat
  10. SUAKA
  11. PJS
  12. LBH APIK Jakarta
  13. LBH Pers
  14. ELSAM
  15. HRWG
  16. PPMAN
  17. ICW
  18. YAPPIKA
  19. ICEL
  20. KontraS
  21. Trend Asia
  22. ILRC
  23. BEM FH UI
  24. CDS
  1. PBHI
  2. Koalisi RFP
  3. PUSKAPA FH UI
  4. AKSI Keadilan
  5. SAFEnet
  6. Setara Institute
  7. CRM
  8. IAC
  9. Lokataru