Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Permohonan Praperadilan Atas Panen Pelanggaran, Polda Metro Jaya Harus Jujur dan Transparan

Jakarta, 3 Oktober 2025 – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap upaya paksa dan penetapan tersangka yang dilakukan kepada Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar dan Muzaffar Salim masing-masing sebagai Pemohon. Permohonan ini diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka serta serangkaian tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, serta penyitaan terhadap keempat aktivis muda yang saat ini masih mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Permohonan ini ditujukan kepada Direktur Reserse Kriminal Umum dan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jakarta Raya selaku Termohon.

TAUD menemukan terdapatnya lapisan pelanggaran pada serangkaian tindakan hukum yang dialami Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim dan Khariq Anhar. Pelanggaran sebagaimana dimaksud antara lain:

Pertama, penangkapan dilakukan dengan cara-cara intimidatif, tidak humanis dan tanpa menunjukkan surat tugas. Bahkan, penangkapan dengan dilakukan selama lebih dari 1×24 jam.. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur pada Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 6/2019 serta Perkabareskrim Nomor 1/2022;

Kedua, penggeledahan dan penyitaan paksa. Pengaksesan terhadap ruang-ruang privat para Pemohon dilakukan tanpa adanya surat izin pengadilan. Tindakan ini bukan hanya melanggar prosedur, tapi juga merupakan bentuk pengkerdilan terhadap harkat-martabat para Pemohon sebab kepolisian telah menerabas batas-batas otonomi pribadi

Ketiga, penetapan tersangka secara serampangan. Status tersangka ditetapkan tanpa adanya minimal dua alat bukti yang sah dan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana yang dipersyaratkan hukum acara. Lebih jauh, alat bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahkan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan pasal-pasal yang dituduhkan. Artinya, konstruksi hukum yang digunakan Polda Metro Jaya tidak hanya asal-asalan, tetapi juga sesat secara prosedur;

Keempat, penahanan sebagai akibat dari rangkaian tindakan tidak sah. Karena penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka dilakukan secara serampangan, maka penahanan sebagai konsekuensi hukum dari tindakan-tindakan tersebut otomatis menjadi tidak sah.

Lapisan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Termohon bukan hanya merupakan pelanggaran administratif semata, lebih dari itu, hal tersebut merupakan bentuk perampasan kemerdekaan. Penetapan tersangka serta rangkaian upaya paksa merupakan bentuk pembatasan hak, untuk itu, penerapannya harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kehati-hatian sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memastikan bahwa proses penegakan hukum diselenggarakan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan prosedural merupakan bukti nyata bahwa kepolisian mengabaikan hak konstitusional para Pemohon;

Lebih dari itu, para Pemohon yang kini ditahan adalah aktivis muda, warga negara yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Pemidanaan terhadap ekspresi politik yang sah dalam rangka berpartisipasi di negara demokrasi merupakan praktik kriminalisasi yang berdampak pada keroposnya ruang sipil. Apalagi jika pemidanaan tersebut dilakukan secara serampangan sebagaimana praktik Polda Metro Jaya saat ini. Rangkaian tindakan dari hulu hingga hilir mencerminkan pencederaan terhadap prinsip negara hukum, pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, serta ancaman nyata bagi ruang kebebasan sipil yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Pengajuan praperadilan ke pengadilan menjadi jalur hukum penting dalam rangka memulihkan hak-hak para Pemohon yang dilanggar akibat proses penegakan hukum serampangan oleh kepolisian. Melalui mekanisme ini pula, TAUD menuntut “keberanian” Polda Metro Jaya untuk menjalani proses secara jujur, adil, dan tanpa manipulasi fakta, demi memastikan tegaknya keadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara sekaligus Panglima Tertinggi, untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prinsip negara hukum dan menghentikan praktik represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat;
2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjamin independensi hakim yang memeriksa perkara ini, serta memastikan jalannya sidang praperadilan berlangsung terbuka, objektif, dan tidak tunduk pada tekanan eksternal apa pun;
3. Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangan pengawasannya guna memastikan tindakan kepolisian dalam perkara ini sesuai hukum acara pidana, serta tidak mengabaikan pelanggaran prosedural yang terjadi;
4. Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap aktivis, bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya, dan bersikap gentleman menghadapi praperadilan dengan tidak melakukan intervensi maupun rekayasa fakta;
5. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM untuk turun tangan mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran prosedural serta perampasan hak-hak konstitusional para Pemohon.

hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
Narahubung:
1. Gema Gita Persada (gema@lbhpers.org)
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo (nurwidiastomo@bantuanhukum.or.id)
3. M. Al Ayyubi Harahap (Ayyubi.harahap@harisazhar.co.id)
4. Ma’ruf Bajammal (mbajammal@lbhmasyarakat.org)

The Absence of a Comprehensive Legal Framework for Anti-Discrimination Protection in Indonesia: The Urgency of an Anti-Discrimination Legislation

Discrimination continues to be a pressing issue faced by People Living with HIV (PLHIV) and Key Populations, Sexual Orientation and Gender Identity and Expression (SOGIE) communities, persons with disabilities, Indigenous peoples, women, adherents of faith and belief systems, and many other vulnerable groups. The root of the problem lies in existing policies that are partial in scope, provide limited and stagnant recognition of vulnerable identities, and remain closed-ended. As a result, the number of victims of discrimination continues to rise, while at the same time, the current legal system has yet to effectively respond to these challenges.

This discourse encouraged  the National Coalition of Vulnerable Groups Against Discrimination (KAIN) and the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia (FISIP UI), in collaboration with the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) and the Equal Rights Trust (ERT), convened the National Symposium on the Draft Bill on the Elimination of Comprehensive Discrimination (RUU PDK). The symposium was held on 16–17 September 2025 at the Department of Criminology, FISIP UI, and gathered more than 150 participants, bringing together strategic stakeholders and various groups consisting of academics, international experts, representatives of ministries/ institutions, civil society actors, foreign embassies in Indonesia, media/journalists, and students.

This symposium was born out of the need for evidence-based regulation, policies that are needs-based and problem-solving oriented, and a genuine aspiration for a law that guarantees comprehensive protection for every citizen without exception. Furthermore, this event was   the initiative of civil society coalitions to remind the state of its commitments in the Universal Periodic Review (UPR) Cycle IV of 2023 and the 2024 Concluding Observations of the Human Rights Committee on Civil and Political Rights, in which the Indonesian government agreed to  anti-discrimination legislation.

The Dean of FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, opened the symposium by emphasizing that discrimination not only impacts individuals but also undermines social cohesion and threatens political legitimacy. He stressed that comprehensive anti-discrimination law must go beyond written text to serve as a real instrument of justice, especially for the vulnerable and marginalized who have long been excluded from state protection. Similarly, Claude Cahn of OHCHR stated: “With just one law, the state can fulfill many of its international human rights obligations. This law gives people a direct tool to fight discrimination. Rights that are usually written only in constitutions or international treaties may feel distant, but with this law, people can use them in their daily lives.”

During the first plenary session, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA, Expert Staff for Development Financing Innovation at the Ministry of National Development Planning/Bappenas, emphasized that anti-discrimination legislation aligns with Indonesia’s national development framework. In the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025–2045, one of the policy directions is to ensure that no one is left behind in development. Two pillars supporting this are the rule of law and access to justice. This reference  should be understood as a mandate enabling stakeholders to follow up on international recommendations for Indonesia.

To examine the RUU PDK in greater depth, the symposium featured four thematic panel discussions. 

Panel 1 explored definitions and the scope of discrimination, emphasizing that discrimination arises from failures to recognize diversity, and that its essence is injustice toward diversity. Accordingly, the bill must be based on protected grounds and adopt an open-ended definition. 

Panel 2 with the theme of enforcement mechanisms for accountability and victim redress. This theme highlights the ideal law enforcement mechanism in the bill, which is carried out through the establishment of  a new independent,  inclusive, participatory, participatory body/institution that represents various  vulnerable and minority groups, sufficiently resourced, and staffed with individuals of integrity and sensitivity to discrimination issues. This mechanism must be able to respond to all incidents of discrimination with processes that provide convenience, reliability, and certainty. They must ensure the enforcement and restoration of victims’ rights in an  accountable, effective, comprehensive, and inclusive way.

Panel 3 highlighted effective prevention measures to prevent discrimination need to include data collection for policy-making, meaningful participation of vulnerable groups in decision-making, access to justice, and the establishment of individual complaints systems. Preventive measures must be grounded in international principles and local norms that uphold diversity and be implemented through the mandates of human rights institutions, law enforcement agencies, education, culture, and local government. 

Panel 4 delved into the effective implementation of comprehensive anti-discrimination legislation.  The critical components of implementation are  ensuring  independent  enforcement bodies/institutions and conducting regulatory audits to assess the impact of the Anti-Discrimination bill .
The symposium concluded with remarks by Ratna Batara Munti, Commissioner and Vice Chair of the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), who declared full support for KAIN’s initiative to push for Indonesia’s adoption of the RUU PDK. She reaffirmed that Komnas Perempuan will actively advocate for the inclusion of the bill in the National Legislative Program (Prolegnas) priority agenda of the House of Representatives (DPR), and ensure it is deliberated and passed, using Komnas Perempuan’s mandate, functions, and authority.

Contact Persons:
Arul (KAIN) – +62 822 2406 1490
Iswan Sual (KAIN) – +62 897 8534 135

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia: Urgensi Indonesia Memiliki Legislasi Anti-Diskriminasi

Diskriminasi masih menjadi persoalan yang dialami oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci, Kelompok Keberagaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG), Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, Perempuan, Penghayat Kepercayaan, dan beragam kelompok rentan lainnya. Akar masalah tersebut muncul karena kebijakan-kebijakan yang ada memiliki pengaturan secara parsial, pengakuan identitas rentan secara terbatas dan stagnan/closed-ended. Akibatnya jumlah korban diskriminasi terus bertambah namun di saat yang bersamaan sistem hukum yang ada saat ini belum mampu merespon permasalahan tersebut.

Diskursus tersebut mendorong Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Equal Rights Trust (ERT), mengadakan Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK). Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 16 – 17 September 2025 di Departemen Kriminologi FISIP UI. Diskusi bertajuk ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan yang terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, para media/jurnalis, dan mahasiswa.

Simposium ini lahir dari kebutuhan akan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan yang berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat (need-based and problem solving oriented), serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara secara komprehensif dan tanpa pengecualian. Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi.

Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto membuka simposium dengan menyatakan bahwa diskriminasi selain berdampak ke individu juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik. Untuk itu, hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang nyata dirasakan oleh warga, terutama mereka yang rentan dan selama ini tersisih dari perlindungan negara. Di sisi lain, Claude Cahn dari OHCHR menyatakan “Dengan satu UU saja, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia. Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata.”

Dalam diskusi pleno di hari pertama, pembicara dari Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya adalah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind). Dua pilar yang menopangnya adalah pilar hukum dan pilar akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia.

Untuk membedah lebih mendalam konsep RUU PDK, simposium ini membagi menjadi empat sesi diskusi tematik. Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif. Temuan penting dalam panel ini adalah diskriminasi terjadi karena kegagalan pengakuan atas fakta keberagaman dan esensi diskriminasi adalah ketidakadilan terhadap keberagaman. Sehingga definisi diskriminasi dalam RUU PDK agar berdasar alasan yang dilindungi (protected ground) dan definisi yang bersifat terbuka (open-ended definition).

Panel dua dengan tema mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi. Tematik ini menyoroti mekanisme penegakan hukum secara ideal di RUU PDK dilakukan melalui pembentukan badan/institusi baru yang independen, inklusif, partisipatif, representasi dari berbagai keberagaman kelompok rentan-minoritas, memiliki daya yang memadai, dan terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap isu diskriminasi. Mekanisme tersebut harus mampu merespon semua peristiwa diskriminasi dengan proses yang memberikan kemudahan, keandalan, dan kepastian. Menjamin penegakan dan pemulihan hak-hak korban (victims’ rights) yang akuntabel, efektif, komprehensif dan inklusif.

Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta adanya sistem pengaduan individual. Pengaturan pencegahan perlu berbasis prinsip internasional dan norma lokal yang menjunjung keberagaman, serta dijalankan melalui mandat lembaga HAM, penegak hukum, pendidikan, budaya, dan pemerintah daerah. Panel empat membedah implementasi efektif legislasi anti-diskriminasi komprehensif. Komponen penting dalam implementasi adalah memastikan badan/institusi penegakan bersifat independen, adanya audit regulasi untuk memotret dampak RUU PDK.

Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti yang mendeklarasikan Komnas Perempuan mendukung secara penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK. Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja, fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan.

Narahubung:

Arul KAIN – 0822-2406-1490

Iswan Sual KAIN – 0897-8534-135

 

Koalisi RFP Tuntut Presiden untuk Membentuk Tim Reformasi Kepolisian yang Independen dan Menyasar Setidaknya 9 (Sembilan) Masalah Sistemik Polri

Jakarta, 15 September 2025 – Desakan Reformasi Kepolisian makin keras disuarakan publik menyusul rentetan tindakan represif dan ketidakprofesionalan polisi. Terbaru, Presiden Prabowo disebut-sebut akan membentuk tim atau komisi Reformasi Kepolisian. Rencana tersebut disampaikan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) pasca berdialog dengan Prabowo di Istana Negara pada Kamis (11/9/2025). Atas rencana tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menyampaikan pandangan dan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, tuntutan Reformasi Polri harus dimaknai sebagai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi Kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur. Buruknya kinerja Kepolisian selama ini menunjukkan persoalan POLRI berakar multi aspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan Reformasi Kepolisian yang jelas dan terukur yang sejalan dengan mandat reformasi yang termaktub dalam TAP MPR No. VI tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII tentang Peran TNI dan Polri, serta Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan hanya sekedar membentuk Tim atau komisi khusus. Peta jalan ini termasuk di dalamnya berisi komitmen atas tindak lanjut hasil kerja komisi yang perlu ditindaklanjuti presiden. Jika tidak, Tim atau komisi bentukan Presiden rentan berujung tumpul, tidak efektif menjawab akar persoalan Polri, dan lagi-lagi gagal mereformasi Polri.

Kedua, sebagai langkah awal dan bagian penting Reformasi Kepolisian , Presiden dan DPR harus menghentikan upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dan merombak secara serius draft terakhir RUU tersebut (per 13 Juli 2025). Ketentuan dalam draft tersebut justru menjadikan Kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan semakin superpower dan minim kontrol dalam fungsi penegakan hukum. Selanjutnya, Presiden dan DPR wajib memastikan revisi KUHAP memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) sebagai lembaga independen dan imparsial. Termasuk skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap dan ditahan setidaknya juga wajib diakomodir sebagai ikhtiar menjamin ketidak berulangan (guarantees of non-recurrence) praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian.

Ketiga, sehubungan dengan wacana pembentukan tim Reformasi Kepolisian:
1. Presiden memastikan tim memiliki kewenangan yang efektif dan hasil dari kinerja dari pembentukan tim khusus Reformasi Kepolisian ini tidak berakhir menjadi “laporan” semata, namun rekomendasi yang dihasilkan harus bersifat mengikat, impactful, dan menjadi dasar bagi perubahan Undang-Undang Polri. Komitmen ini penting mengingat preseden gagalnya Reformasi Kepolisian yang substansial dan progresif selama ini juga diakibatkan ketiadaan kemauan politik Pemerintah dan DPR;
2. Tim yang dibentuk mesti terdiri dari sosok yang independen, berintegritas dan representatif, melibatkan elemen masyarakat sipil dan unsur akademisi yang berani, bebas dari konflik kepentingan (termasuk meniadakan unsur polisi dan Kompolnas), memiliki concern atau rekam jejak dalam mendorong reformasi kepolisian, serta secara intensif dan sehari-harinya berhadapan langsung dengan fungsi-fungsi Polri, yakni penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan keamanan dan ketertiban;
3. Agenda Reformasi Kepolisian yang digagas melalui pembentukan tim ini harus transparans dari proses hingga hasil.

Keempat, Presiden harus memastikan bahwa agenda Reformasi Kepolisian kali ini mampu mengidentifikasi persoalan fundamental Kepolisian. Sebagai respon cepat, kami memetakan setidaknya 9 (sembilan) masalah fundamental, sistemik, dan struktural kepolisian yang sudah terlampau akut menggerogoti institusi Polri, yaitu:
1. Absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen, antara lain dalam KUHAP, termasuk praktik-praktik impunitas yang mengakar;
2. Sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan-brutalitas, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif;
3. Tata kelola organisasi yang tidak transparan dan akuntabel, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, termasuk pada sistem penganggaran;
4. Sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi;
5. Terlampau luasnya lingkup tugas dan fungsi Polri, khususnya untuk pelayanan masyarakat hingga menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk penggelembungan tugas dan wewenang melalui penyelundupan norma undang-undang;
6. Penggunaan kekuatan berlebihan, Represif, sewenang-wenang dan brutal dalam penanganan aksi demonstrasi. Dalam hal ini juga tidak relevannya instrumen Korps Brigade Mobile (Brimob) dalam institusi Polri yang menyerupai instrumen perang dari segi teknik, perlengkapan, dan taktik, hingga masalah sistem operasi. Bahkan seringkali dipergunakan untuk menghadapi warga dalam konflik agraria dan sumber daya alam
7. Buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, inklusivitas, dan negara hukum;
8. Kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), dan perilaku koruptif dalam menjalankan fungsi penegakan hukum; serta
9. Keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan);.

Agenda Reformasi Kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi jati diri Polri yang sipil (civillian police) dan demokratis dengan mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi Kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pasca transisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri.

Kami meyakini, melalui komitmen dan keberanian politik Presiden melakukan Reformasi Kepolisian dengan memastikan hal-hal tersebut di atas akan menjadi tonggak penting yang berkontribusi bagi kemajuan demokrasi, HAM, dan tegaknya konstitusionalisme di Indonesia. Hal itu akan sekaligus meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, democratic policing, dan independensi serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Tanpa komitmen atas Reformasi Polri yang lebih jelas dan sistematis tersebut, kami menilai langkah Presiden membentuk tim tersebut semata-mata hanya lips service, gimmick, dan akan mengulangi kegagalan wacana-wacana reformasi kepolisian sebelumnya, sehingga sudah sepatutnya ditolak.

Jakarta, 15 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
7. Kurawal Foundation
8. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
9. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
10. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
11. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
12. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
13. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
14. Lingkar Studi Feminis (LSF)

Putusan Pidana Mati Terhadap Kopda Bazarsah: Antara Pemenuhan Kebutuhan Korban atau Narasi Kegagahan Semata

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik vonis mati Pengadilan Militer I-04 Palembang untuk Kopda Bazarsah karena dinilai hanya menunjukkan citra gagah negara tanpa memikirkan dampak lain. Vonis ini juga tidak menyembuhkan luka keluarga korban dan bertentangan dengan semangat reformasi peradilan pidana dalam KUHP baru.

Pada tanggal 11 Agustus 2025, bertempat di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Sumatera Selatan, seorang anggota militer berpangkat Kopral Dua (Kopda), Bazarsah, dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Militer atas perbuatan pembunuhan yang dilakukannya terhadap 3 (tiga) orang polisi, yakni AKP (Anumerta) Lusiyanto (selaku Kapolsek Negara Batin), Aipda (Anumerta) Petrus Apriyanto (selaku Bintara Polsek Negara Batin), dan Bripda (Anumerta) M. Ghalib Surya Ganta (selaku Bintara Satreskrim Polres Way Kanan).

Tentunya penjatuhan pidana mati ini selaras dengan tuntutan yang disampaikan oleh Oditur Militer pada tanggal 21 Juli 2025. Oditur Militer menyatakan bahwa tindakan Kopda Bazarsah telah memenuhi unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau melakukan perbuatan pembunuhan secara berencana. Tak hanya tuntutan pidana mati, Oditur Militer juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Baik tuntutan pidana mati dan pemecatan dari dinas militer, hal itu dikabulkan oleh Majelis Hakim.

Namun, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Oditur Militer yang menyatakan Kopda Bazarsah terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 340 KUHP. Majelis Hakim lebih sepakat jika Kopda Bazarsah terbukti melakukan perbuatan dan memenuhi unsur dalam Pasal 338 KUHP karena melakukan pembunuhan tersebut tanpa rencana. Terlepas dengan pandangan tersebut, Majelis Hakim tetap menjatuhkan pidana mati terhadap Kopda Bazarsah. 

Kami berpandangan apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam kasus ini adalah di luar dari kewenangan hukum yang berlaku. Vonis pidana mati yang diberikan kepada Kopda Bazarsah, sekalipun sesuai dengan harapan banyak pihak, menunjukkan permasalahan hukum yang lebih dalam. Ada tiga catatan kritis yang bisa kami sampaikan dalam kasus ini.

Pertama, apabila Hakim memosisikan seseorang telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dengan Pasal 338 KUHP, maka konsekuensi pidana yang dapat dikenakan terhadap orang tersebut adalah maksimal 15 tahun penjara. Dalam hukum pidana, memang masih memungkinkan Majelis Hakim memberikan pidana tambahan, seperti pidana denda, tetapi bukan dengan penambahan pidana penjara ataupun pidana mati. Penjatuhan hukuman di luar ketentuan maksimal akan berbahaya karena menimbulkan preseden bagi para hakim untuk memvonis di luar aturan hukum yang ada.

Kondisi penjatuhan pidana mati di Indonesia nampaknya masih tetap dan terus terjadi dalam beberapa kasus, seperti narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan seksual terhadap anak, dan terorisme. Namun seiring dengan penjatuhan pidana mati yang terus dikeluarkan, apakah jumlah kasus terhadap tindak pidana tersebut berkurang? Data membuktikan tidak. Inilah yang kami sebut dengan cara menampilkan kegagahan semata tanpa memikirkan dampak lain yang sifatnya bisa menguntungkan.

Kedua, vonis pidana mati tidak serta merta menyembuhkan rasa sakit dan luka yang dialami oleh keluarga korban. Malah, dalam banyak kasus, vonis mati mengalihkan keluarga korban dari hak-haknya yang lebih dasar, seperti pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi. Dalam kasus-kasus seperti ini di mana korban utama adalah tulang punggung keluarga, menjadi beralasan jika keluarga korban meminta tuntutan lain, seperti restitusi dari pelaku, untuk menanggung hidup mereka pasca kehilangan tiga orang penopang keluarga ini.

Sayangnya, dalam pidana mati, hak atas restitusi ini menjadi tidak bisa didapatkan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak  boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu”. Hal ini mencangkup restitusi, sehingga tidak ada kemungkinan bagi seseorang yang dijatuhi dengan pidana mati untuk tetap melakukan kewajiban restitusinya terhadap keluarga korban. Keluarga korban tidak diberikan ruang untuk menuntut mendapatkan restitusi dari orang yang dijatuhi dengan pidana mati tersebut. 

Ketiga, vonis mati terhadap Kopda Bazarsah tidak sesuai dengan semangat reformasi peradilan pidana yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Tidak sampai 5 bulan lagi, KUHP Baru akan berlaku dan digunakan. Aturan-aturan dalam KUHP Baru telah mencoba sedikit demi sedikit beralih dari pidana mati. Selain pidana mati dijadikan pidana alternatif, KUHP Baru juga memandatkan hakim memutus pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Harapannya adalah terdapat perubahan perilaku terhadap orang yang dijatuhi dengan pidana mati sehingga hukuman mereka dikomutasi menjadi pidana seumur hidup.

“Tampaknya banyak pengadilan, termasuk Pengadilan Militer I-04 Palembang, belum sepenuhnya mengerti pergeseran perspektif ini. Hal inilah yang menyebabkan narapidana deret tunggu terus bertambah dari tahun ke tahun, di mana per hari ini sudah mencapai 594 orang. Putusan-putusan mati ini juga tampak tidak belajar dari pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk beralih dari model penghukuman yang sifatnya retributif seperti hukuman mati ke hukuman yang lebih rehabilitatif dan restoratif,” ungkap Koordinator Penanganan Kasus LBHM, Yosua Octavian.

Berkaitan dengan kasus Kopda Bazarsah ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer yang nantinya memeriksa dan mengadili perkara ini di tingkat banding untuk dapat: 

1. Mengutamakan pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi bagi keluarga korban dengan mengutamakan kewajiban restitusi terhadap Kopda Bazarsah dibanding dengan penjatuhan pidana mati yang merupakan cara usang untuk menanggulangi kejahatan.

2. Mendorong aparat hukum yang berwenang untuk mengutamakan keselamatan bagi keluarga korban dan juga keluarga dari Kopda Bazarsah agar terhindar dari ancaman dan/atau tekanan dari pihak mana pun.

3. Mendesak institusi Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk melakukan audit secara serius atas kepemilikan senjata api anggotanya dan keterlibatan anggota TNI dalam bisnis-bisnis yang dilarang untuk memastikan kejadian pembunuhan seperti yang dilakukan oleh Kopda Bazarsah tidak terulang lagi.

Jakarta, 12 Agustus 2025

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) 

Narahubung: 0898-437-0066

Dugaan TPPO Terpidana WNI di Malaysia: Keluarga Menanti dengan Cemas, Mabes Polri Malah Mengalihkan ke Dumas

Jakarta, 30 Juli 2025 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama dengan keluarga narapidana Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia membuat Laporan Polisi (LP) ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami oleh Ani. 

Saat ini, Ani tengah menjalani pemidanaan di Penjara Sungai Udang, Malaka, Malaysia. Ia telah menjalani pidana penjara sejak tahun 2011. Ini berarti Ani telah ditahan selama 14 tahun.

Ani merupakan warga negara Indonesia asal Jakarta yang dijanjikan pekerjaan sebagai perawat di luar negeri oleh tetangganya bernama Duwi di tahun 2011. Dalam pembuatan paspor, identitas asli Ani diubah karena informasi yang diterimanya adalah harus menggunakan nama baru ketika ke luar negeri. Ani kemudian diberangkatkan ke Malaysia dan Vietnam dengan dalih penempatan kerja.

Selama berada di luar negeri, Ani diarahkan oleh Duwi untuk menginap di hotel dan pada akhirnya diminta membawa sebuah tas dari Vietnam ke Pulau Penang, Malaysia. Tanpa sepengetahuannya, tas tersebut ternyata berisi narkotika jenis sabu seberat 3865 gram  yang disembunyikan secara tersembunyi di bagian dasar tas.

Pada 21 Juni 2011, Ani tiba di Bandara Internasional Pulau Penang dan petugas Bandara mendeteksi isi yang mencurigakan dalam tas yang dibawanya tersebut. Ani ditangkap dan didakwa atas tuduhan mengedarkan narkotika dan dijatuhi pidana mati berdasarkan Pasal 39B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Narkotika dan Obat-Obatan Berbahaya Tahun 1952 (Peraturan Malaysia).

Namun, seiring dengan pembaruan hukum di Malaysia yang menghapus pidana mati, kasus Ani memenuhi syarat untuk peninjauan ulang berdasarkan Akta Semakan Hukuman Mati dan Pemenjaraan Sepanjang Hayat 2023. Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Persekutuan Malaysia mengurangi hukumannya menjadi penjara seumur hidup.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam membongkar praktik perdagangan orang bermodus perekrutan kerja yang menjerat korban sebagai kurir narkotika internasional. 

LBHM menilai bahwa Ani adalah korban perdagangan orang yang dijerat oleh sindikat peredaran gelap narkotika lintas negara. Berdasarkan hukum Indonesia, tindakan yang dialami oleh Ani memenuhi unsur dalam:

  • Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO)
    • Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dalam kasus TPPO ada tiga unsur yang harus dipenuhi, yakni tindakan (act), cara (means), dan tujuan (purpose). Dalam kasus Ani, sindikat narkotika melakukan perekrutan terhadap Ani dan memindahkan dia dari Indonesia ke Vietnam lalu ke Malaysia. Perekrutan dan pemindahan Ani juga memenuhi unsur kedua, yakni cara yang ilegal, seperti pemalsuan dan penipuan. Fakta bahwa Ani pergi dengan dokumen paspor palsu memiliki kemiripan dengan banyak TKI lain yang menjadi korban TPPO. Selain itu, perekrutnya memberikan janji palsu bahwa ia akan bekerja di luar. Kasus Ani juga memenuhi unsur TPPO ketiga, yakni tujuan direkrutnya Ani adalah untuk tujuan eksploitasi, yakni memaksa Ani melakukan tindak kejahatan yang akan menguntungkan orang-orang yang merekrutnya. Dalam literatur TPPO, model kasus yang dialami Ani biasanya disebut sebagai TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan (forced criminality).

Dengan demikian, LBHM menekankan bahwa kasus Ani bukan semata-mata kasus narkotika, melainkan kasus eksploitasi terhadap WNI di luar negeri yang menjadi korban perdagangan orang yang belum diusut secara tuntas di Indonesia. Karena itulah, LBHM mendorong Mabes Polri untuk bertindak proaktif dalam menyelidiki kasus-kasus TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan semacam ini.

Dari hasil laporan yang kami lakukan, kami sangat menyayangkan bahwa pihak Mabes Polri tidak merespon laporan kami dalam bentuk Laporan Kepolisian melainkan hanya pengaduan masyarakat (Dumas) dengan alasan kekurangan bukti. Sikap ini mencerminkan ketidaktanggapan Institusi Polri terhadap persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia dan keselamatan korban. Tindak pidana perdagangan orang bukanlah pelanggaran biasa, melainkan kejahatan berat yang menuntut perhatian dan penindakan tegas. Ketika laporan yang seharusnya menjadi awal penegakan hukum justru diabaikan, hal ini menunjukkan kegagalan aparat dalam memberikan perlindungan dan keadilan. 

Alasan kekurangan bukti juga wajib dipertanyakan karena justru polisilah yang memiliki kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mendapatkan bukti. Jika setiap pelaporan tindak pidana mensyaratkan bukti lengkap, tidak akan ada korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perdagangan orang yang akan melaporkan kasusnya. Hal ini turut menciptakan preseden negatif bagi penanganan laporan-laporan dugaan tindak pidana perdagangan orang lainnya, yang justru dapat menghambat keberanian korban untuk melapor dan merusak kepercayaan publik terhadap keseriusan aparat dalam menangani kasus serupa di masa mendatang.

“Dalam momentum Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia Orang 30 Juli, LBHM mengingatkan bahwa korban perdagangan orang tidak seharusnya diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, apalagi dijatuhi pidana mati. Pasal 18 UU TPPO menyatakan “Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Kasus Terpidana WNI di Malaysia mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap WNI di luar negeri dan bagaimana sindikat memanfaatkan kerentanan untuk eksploitasi. Peran Kepolisian RI seharusnya mengungkap lebih dalam dugaan adanya TPPO,” ujar Awaludin Muzaki, pengacara publik LBHM.

Hormat kami,

LBHM

Narahubung:

0812-9028-0416 (Awaludin Muzaki)

Menyambut Pemberlakuan KUHP Baru: Pemerintah Harus Jamin Pendekatan Hak Asasi Manusia pada Aturan Pelaksana Tentang Living Law serta Perubahan Pidana Mati dan Seumur Hidup

Jakarta, 14 Juli 2025 – LBHM dan PBHI menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan pada Kementerian Hukum Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan berlaku mengikat pada 2 Januari 2026 mendatang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk menyusun sejumlah aturan pelaksana. Dua di antaranya adalah RPP Living Law dan RPP Komutasi. LBHM dan PBHI telah konsisten mengawal proses pembentukan dua kebijakan ini sejak tahun 2024 dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada dua isu tersebut dan menjaring aspirasi publik melalui serangkaian diskusi publik yang diselenggarakan di universitas-universitas. Salah satu agenda advokasi yang telah kami lakukan adalah melakukan rangkaian audiensi dengan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan,Kementerian Hukum Republik Indonesia untuk memastikan proses pembuatan kedua peraturan tersebut transparan dan substansinya sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Namun demikian, PBHI dan LBHM menyampaikan perhatian serius terhadap substansi dan arah kebijakan dalam kedua RPP tersebut. Kami menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM pada kedua rancangan peraturan pemerintah tersebut.

RPP tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) Harus Menjadi Langkah Awal Menuju Penghapusan Pidana Mati di Indonesia

KUHP Baru mengatur sejumlah perubahan pada penerapan pidana mati di Indonesia. Semula, KUHP warisan kolonial Belanda menempatkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok. Dalam KUHP Baru, pidana mati harus dipandang sebagai ketentuan yang bersifat alternatif. Meskipun ketentuan baru ini “tampak memberi perubahan baik”, namun hal tersebut tidak lantas melepaskan Indonesia dari predikat negara retensionis. Pembuatan RPP ini harus menjadi tonggak pertama bagi pemerintah Indonesia untuk beranjak kepada pemenuhan hak atas hidup sebagai instrumen yang paling utama dalam kerangka penghormatan hak asasi manusia, terkhusus bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. 

Namun sayangnya, penyusunan RPP Komutasi ini masih menyisakan sejumlah celah yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, DIM yang kami serahkan ini pada dasarnya memuat catatan kritis perihal muatan penting yang harus diakomodasi oleh pemerintah dalam menyusun RPP Komutasi.

  • RPP ini harus memastikan bahwa proses komutasi bersifat dan berjalan secara otomatis bagi setiap terpidana mati maupun narapidana dengan vonis penjara seumur hidup ketika telah memenuhi syarat minimal menjalani pemidanaan. RPP ini harus memastikan bahwa masa tunggu eksekusi (masa percobaan 10 tahun) bagi terpidana mati dan 15 tahun pidana penjara bagi narapidana seumur hidup dihitung sejak masa penahanan dan dikategorikan sebagai bagian dari masa menjalani pidana. Hal ini penting untuk mencegah penghukuman ganda dan memastikan akses terhadap perubahan pidana lanjutan secara adil dan manusiawi.
  • Syarat dan proses dalam mengakses komutasi tidak boleh menghambat, bersifat diskriminatif, atau subjektif. Begitu juga dengan durasi setiap tahapan dalam proses komutasi dari tingkat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga pembuatan Keputusan Presiden, harus terlaksana secara transparan dan akuntabel. RPP ini harus memastikan bahwa sikap diam Presiden terhadap pengajuan komutasi terhadap setiap narapidana berarti Presiden menerima pengajuan komutasi. 
  • Meskipun saat ini pemerintah juga tengah menyusun RUU tentang Pelaksanaan Pidana Mati, namun RPP ini harus memuat ketentuan larangan pelaksanaan pidana mati, dalam hal: (1) narapidana tegah menjalani 10 tahun masa percobaan, (2) narapidana sedang menjalani proses komutasi. dan (3) narapidana sedang mengajukan grasi, amnesti, maupun abolisi. Jaminan ini penting untuk menciptakan kepastian hukum. 
  • Proses komutasi harus bersifat berkelanjutan. RPP ini tidak boleh membatasi narapidana untuk mengakses komutasi hanya untuk 1 kali saja. Ketentuan komutasi harus menjadi langkah awal menuju abolisi atau penghapusan total pidana mati di Indonesia. 
  • Ketentuan komutasi dalam RPP ini harus berlaku surut bagi seluruh terpidana mati maupun narapidana seumur hidup yang telah menjalani pemidanaan sebelum KUHP Baru berlaku secara mengikat. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per 14 Juli 2025, populasi terpidana mati di Indonesia mencapai angka 589 orang, dan sebanyak 2.228 narapidana penjara seumur hidup. 

LBHM dan PBHI pada dasarnya mendorong dan mendesak penghapusan pidana mati secara total pada seluruh jenis tindak pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Hak atas hidup merupakan instrumen hak asasi manusia paling mendasar untuk dapat mengakses berbagai hak asasi lainnya. Oleh karena itu, negara seharusnya hadir dan tidak merampas hak hidup warga negaranya sendiri.

RPP Living Law Perlu Safeguards HAM, Bukan Blank Check untuk Perda Diskriminatif

LBHM dan PBHI juga menyoroti RPP Living Law yang berpotensi menjadi instrumen untuk melegitimasi diskriminasi jika tidak dikawal secara ketat. Alih-alih menjadi ruang pengakuan terhadap hukum adat, pengaturan ini justru membuka potensi pelembagaan norma-norma adat yang menindas, represif, dan bias terhadap kelompok rentan. 

LBHM dan PBHI menilai bahwa gagasan menyusun RPP ini menunjukkan adanya ketegangan antara hukum pidana nasional dan hukum adat. Hukum pidana bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan kemerdekaan seseorang melalui sanksi yang definitif, sehingga mensyaratkan aturan yang jelas dan tertulis. Sementara hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, lahir dari norma dan praktik yang telah lama diterima di suatu masyarakat adat dan diyakini sebagai pedoman oleh masyarakat adatnya. Sanksi dalam hukum adat dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kosmik di wilayah adat tersebut. Pengaturan mengenai perbuatan adat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adat melalui hukum tertulis dapat berpotensi ke arah kriminalisasi. 

RPP Living Law ini belum secara eksplisit memastikan bahwa pengaturan kriteria perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai  tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah tunduk pada prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesetaraan gender, dan HAM. Di tengah masifnya dorongan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai payung hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, pemerintah justru  membuka keran permasalahan baru melalui RPP Living Law yang tidak sejalan dengan perjuangan masyarakat adat. Sebab  ruang hukum adat akan rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, represi terhadap masyarakat adat, kriminalisasi kelompok minoritas, membatasi hak-hak sipil, dan memperkuat nilai patriarkal. Ketidakjelasan arah pengaturan melalui RPP ini juga dapat menimbulkan dualisme penegakan hukum dan secara jangka panjang rentan menggerus proses penyelesaian melalui tatanan hukum adat setempat. 

Oleh karena itu, PBHI dan LBHM menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM yang telah diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dengan poin-poin sebagai berikut:

  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum perlu menegaskan prinsip-prinsip HAM sebagai syarat mutlak dalam menentukan tindak pidana adat yang akan diatur melalui Peraturan Daerah.
  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum agar tidak mengatur ulang perbuatan-perbuatan pidana yang telah diatur melalui Undang-Undang yang bersifat khusus, seperti UU TPKS, UU PKDRT, UU Disabilitas, dan sebagainya. 
  • Dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD   wajib melibatkan Masyarakat Adat setempat, organisasi masyarakat sipil dan kelompok rentan serta prosesnya harus bersifat transparan.
  • Mengatur secara proporsional mengenai mekanisme penegakan tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah untuk menjaga otonomi Masyarakat Hukum Adat dan mencegah kooptasi negara. 
  • Membangun mekanisme evaluasi terhadap implementasi RPP ini, termasuk Peraturan Daerah sebagai bentuk akuntabilitas dan perbaikan kebijakan. 

PBHI dan LBHM meminta agar pemerintah mempertimbangkan dan mengakomodasi setiap usulan dan rekomendasi yang kami sampaikan melalui DIM RPP Komutasi dan Living Law. Tanpa pembahasan substansial, RPP tersebut justru akan mengancam prinsip keadilan, memperluas diskriminasi, dan memperkuat kewenangan yang tidak akuntabel dalam sistem hukum pidana nasional yang baru.

*Untuk melihat daftar inventarisasi masalah terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) yang LBHM dan PBHI susun dapat dilihat melalui link berikut www.kawalkuhp.id/#/publikasi

Narahubung:

PBHI : 0852 5235 5928

LBHM : 0852 1524 1116

 

MEANINGFUL MANIPULATION RUU KUHAP: RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HARAPAN PALSU

REFLEKSI PROSES LEGISLASI DAN PERJALANAN ADVOKASI RUU KUHAP

Pada 23 Juni 2025, pemerintah resmi menandatangani naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini Komisi III akan melakukan kick off pembahasan RUU KUHAP setelah mengundang pemerintah untuk menerima DIM dalam waktu dekat.

Sebelumnya, selama proses awal hingga saat ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP konsisten mengawal dan memberikan masukan sampai kritik untuk penyusunan RUU KUHAP ini.

NoTanggalAgenda
19 Februari 2025Menanggapi masuknya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 sebagai RUU usul dari DPR RI serta wacana penyusunan RUU KUHAP oleh Badan Keahlian DPR dan Komisi III DPR RI, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyampaikan beberapa catatan terkait pembahasan RUU KUHAP melalui konferensi pers.
210 Februari 2025Memberikan catatan kritis dan surat terbuka koalisi untuk penyusunan draf RUU KUHAP kepada Komisi III DPR RI secara simbolik.
311 Februari 2025Koalisi mendapatkan undangan RDPU untuk 12 Februari 2025, namun dibatalkan oleh Komisi III kurang dari sehari.
419 Februari 2025Mengirim permohonan informasi publik untuk draf dan naskah akademik RUU KUHAP, namun hingga saat ini tidak ada respons dan balasan.
58 April 2025Koalisi menghadiri undangan informal pertemuan tertutup dari ketua Komisi III DPR RI, pertemuan tersebut hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pada pembahasan substansi, mengingat belum ada draf yang dipubliksikan DPR RI. Namun, anehnya pertemuan tersebut justru diklaim menjadi RDPU.
627 Mei 2025Koalisi menghadiri undangan penyusunan DIM oleh pemerintah yang intinya hanya mendengar catatan perwakilan masyarakat sipil, namun, pertemuan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir karena kemudian tidak ada penjelasan tindak lanjut dari masukan dan tidak ada satupun masukan koalisi yang diakomodir. Pertemuan tersebut menjadi sebatas formalitas.

 

Namun  sampai  DIM  rampung  dikerjakan  oleh  pemerintah,  kami  merasa  usulan  dan masukan  masyarakat  sipil  tidak  diakomodir  sedikitpun.  Selain  itu,  proses  penyusunan hingga pembahasan ini sangat terburu-buru dan jauh dari nilai reformasi hukum dan pertimbangan suara rakyat. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Komisi III, RUU KUHAP harus segera diselesaikan dalam 2 (dua) kali masa sidang dan berencana sah sebelum  bulan  Januari  2026.1   Hal  ini  tentu  sepantasnya  dipersoalkan.  Pada berbagai kesempatan Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem  peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa. RKUHAP mestinya disusun secara cermat dan hati-hati sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama.Sementara itu, RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draft RUU KUHAP 2012.

Kami mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya, seperti misalnya Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, UU CK (Omnibus Law) dan undang-undang lainnya yang juga bermasalah selama prosesnya. Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa.

Pada Rabu, 18 Juni 2025 Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Umum Pendapat (RDPU) mengenai RUU KUHAP. Dalam kesempatan tersebut Ketua Komisi III DPR RI

Habiburokhman berpendapat bahwa RUU KUHAP sebagai RUU paling partisipatif dalam proses penyusunannya. Komisi III DPR-RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.2 Hal ini tentu merupakan klaim sepihak yang patut dipersoalkan. Mengingat Koalisi tidak pernah menghadiri RDPU resmi untuk menyampaikan pandangan.

Kami menegaskan bahwa partisipasi publik yang bermakna bukan sekadar mendengarkan pendapat/usulan.   Bahwa   meaningful   participation   pada   pengertiannya   yang   paling mendasar, perlu juga merespons pendapat/usulan secara serius, antara lain dengan memberikan penjelasan atau jawaban yang rasional atas setiap pendapat/usulan yang diberikan. Tidak hanya itu. Agar publik dapat berpartisipasi dan memberikan pendapat/usulan yang berarti, hak keterbukaan atas keterbukaan informasi dan transparansi segala  perkembangan  dokumen pembahasan yang dapat diakses publik, adalah suatu keniscayaan yang mutlak perlu. Selama ini yang terjadi jauh dari ideal. Di banyak kesempatan, Koalisi harus mengingatkan dan mengajukan surat permohonan agar draft RUU KUHAP dapat diakses oleh publik. Tidak sedikit pihak dan kelompok masyarakat memberikan  komentar  atau tanggapan atas RUU KUHAP, tanpa sebelumnya diberikan akses untuk membaca dan mencermati pasal demi pasal draf RUU KUHAPnya. Lantas bagaimana mungkin ada partisipasi, ketika transparansi sebagai prasyaratnya pun tidak ada.

Lebih lanjut, proses ini membahayakan masa depan sistem hukum Indonesia. Bagaimana mungkin reformasi sistem peradilan pidana dilakukan tanpa kritik publik dan tanpa suara korban serta pembela HAM? Dalam konteks meningkatnya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis, RUU KUHAP yang dibahas secara diam-diam adalah ancaman langsung terhadap kebebasan sipil. Sementara itu, proses yang mengabaikan hak-hak dasar menunjukkan upaya menghancurkan prinsip negara hukum.


CATATAN KRITIS ATAS DRAF RUU KUHAP: MEMPERTANYAKAN ULANG 9   POIN PENGUATAN RUU KUHAP VERSI PEMERINTAH

Pemerintah melakukan penandatanganan DIM RUU KUHAP secara simbolik pada Senin, 23 Juni 2025, yang di dalamnya mencakup 9 (sembilan) poin penguatan RUU KUHAP, yaitu:

  1. memuat mengenai jaminan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
  2. perlindungan khusus bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas;
  3. penegasan  mekanisme   upaya   paksa,   termasuk   penetapan   tersangka   dan pemblokiran aset;
  4. perluasan ruang lingkup praperadilan;
  5. pengaturan tentang restorative justice;
  6. ketentuan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
  7. penguatan peran advokat dan pengaturan saksi mahkota;
  8. aturan pidana untuk korporasi; dan
  9. integrasi sistem informasi peradilan pidana berbasis teknologi digital.

Kami hendak merespons secara kritis sebagian poin RUU KUHAP yang menjadi perhatian pemerintah sebagai berikut:

Kesatu, pengaturan jaminan perlindungan hak setidak-tidaknya harus terdiri dari 2 (dua) aspek:  1)  apa  saja  hak-hak  tersangka,  terdakwa,  terpidana,  saksi,  korban;  dan  2) bagaimana cara mengakses hak tersebut. Bahwa tiap aturan tentang hak-hak tersangka, terdakwa,  terpidana,  berikut  hingga  hak-hak  khusus  bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan jalur komplain/keberatan/gugatan   atas   pelanggaran   hak,   prosedur   pemeriksaan   ada tidaknya pelanggaran hak, dan apa konsekuensi ketika terbukti terdapat pelanggaran hak. Misalnya, draf RUU KUHAP telah menyebutkan, antara lain, bahwa tersangka/terdakwa setiap waktu berhak mendapat bantuan juru bahasa yang dibutuhkannya. Pertanyaannya, bagaimana jika seorang tersangka yang tidak mengerti bahasa Indonesia diinterogasi tanpa dibantu dengan juru bahasa yang ia butuhkan? Kepada siapa tersangka yang bersangkutan dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak ini? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apakah konsekuensinya: pemeriksaannya diulang, tersangka diberikan ganti rugi, atau bagaimana? Contoh lain misalnya, bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum berhak untuk didengar keterangannya melalui audio visual jarak jauh, apabila dirinya diliputi rasa takut/trauma psikis yang didasarkan pada penilaian dokter/psikolog. Pertanyaannya, bagaimana jika hak ini tidak terpenuhi? Bagaimana jika ternyata, permohonan pemeriksaan melalui audio visual jarak jauh ini tidak disetujui, dan hal ini menimbulkan dampak yang begitu buruk bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum   tersebut?  Kemana  ia  dapat  mengakses  haknya?  Kepada  siapa  dia  dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak tersebut? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apa konsekuensinya? Ini baru contoh 2 (dua) hak dari sekian banyak  hak-hak  lainnya!  Tetapi  dari  kedua  ilustrasi ini saja kita dapat melihat, bahwa pengaturan tentang daftar hak-hak, serinci dan sedetail apapun itu, akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan prosedur hukum acara yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.

Kedua, pengaturan upaya paksa setidak-tidaknya harus terdiri dari 3 (tiga) aspek: 1) apa saja syarat untuk dapat dilakukannya upaya paksa; 2) prosedur upaya paksa (jangka waktu, pelaksanaan, dll); dan 3) mekanisme uji keabsahan upaya paksa. Tanpa adanya syarat dan prosedur   upaya   paksa   yang   jelas,   pelaksanaan   upaya   paksa   akan   berpangku diskresi-subjektif  penegak  hukum  belaka,  yang  pada  akhirnya  berpotensi  dilakukan secara sewenang-wenang. Misalnya, mengenai jangka waktu penangkapan. Draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Dalam keadaan tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih lama dari jangka waktu tersebut. Pertanyaannya, “lebih lama” dari jangka waktu ini maksudnya berapa lama? Apakah 3 (tiga) hari,  30  (tiga  puluh)  hari,  atau  300  (tiga  ratus)  hari,  RUU  KUHAP  tidak memberikan kejelasan sama sekali. Belum lagi tentang “keadaan tertentu” yang dapat menyebabkan perpanjangan masa penangkapan. Pertanyaannya, siapa yang menentukan “keadaan tertentu” ini? Apakah semata-mata hanya berpijak pada diskresi-subjektif penegak hukum, atau bagaimana? Kemudian, lantas bagaimana cara kita dapat menguji sah atau tidaknya penangkapan, ketika RUU KUHAP sendiri menyerahkan (perpanjangan) penangkapan pada penilaian subjektif aparat penegak hukum? Contoh lain misalnya, draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa di tahap penyelidikan dapat dilakukan beberapa kewenangan investigasi khusus, antara lain pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Tapi, draf RUU KUHAP sama sekali tidak mengatur apapun, baik itu tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme uji dari kewenangan-kewenangan   investigasi   khusus.   Dari   kedua   contoh   ini   saja,   kami bertanya-tanya tentang di mana letak penegasan pengaturan tentang upaya paksa (dan kewenangan investigasi khusus) di dalam RUU KUHAP ini?

Ketiga, berbicara tentang praperadilan sebagai forum uji keabsahan upaya paksa tidak terbatas  pada  perluasan  ruang  lingkup objek pemeriksaan praperadilan, yakni seluruh upaya paksa, penghentian penyidikan dan penuntutan, atau ganti rugi atau rehabilitasi. Kami mengidentifikasi  1 (satu) hal penting yang luput diatur dalam draf RUU KUHAP, yaitu mengenai beban pembuktian sah tidaknya upaya paksa. Bahwa segala tindakan aparat penegak hukum adalah didasarkan pada kewenangan hukum publik, sehingga pembuktian tentang sah tidaknya tindakan publik tersebut pada prinsipnya dibebankan kepada pihak yang  memiliki  kewenangan  publik  tersebut.  Artinya, ketika seorang tersangka/terdakwa merasa bahwa suatu tindakan upaya paksa telah dilakukan secara melawan hukum, maka yang mesti membuktikan bahwa tindakan upaya paksa tersebut telah dilakukan secara sah adalah aparat penegak hukum sebagai pemangku kewenangan upaya paksa. Dengan kata lain, hukum pembuktian tentang keabsahan upaya paksa tidak berlaku prinsip pembuktian perdata “barangsiapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan”. Tapi justru sebaliknya, barangsiapa yang memiliki kewenangan, dialah yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa penggunaan kewenangan tersebut telah dilakukan secara legal. Tanpa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang adil, pada akhirnya pengaturan tentang perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan sampai detail prosedur hukum acara pemeriksaannya, tetap akan sia-sia dan percuma.

Keempat, draf RUU KUHAP salah kaprah dalam memaknai  restorative justice sebagai paradigma baru hukum pidana, dengan mengartikan restorative justice sebatas pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process). Padahal, filosofi restorative justice berpangku pada hak dan kepentingan korban untuk dipulihkan dari dampak-dampak yang ditimbulkan tindak pidana; sedangkan penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process) berpangku pada kepentingan negara dalam mengelola  kelebihan  beban  kerja peradilan (criminal justice overload) dan kepentingan pelaku untuk diselesaikan perkaranya sedini mungkin. Ini jelas keliru. Sekalipun restorative justice dimaknai dengan mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan, sungguh membingungkan apabila draf RUU KUHAP membuka ruang penyelesaian perkara di luar persidangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Apa yang mau diselesaikan, ketika perbuatan pidananya sendiri belum ada? Bagaimana mungkin suatu tindak pidana mau diselesaikan di luar persidangan, ketika penyidikan atas tindak pidana tersebut juga belum tuntas? Bukankah “pilihan” untuk menyelesaikan perkara pidana di luar persidangan baru lahir ketika suatu perkara telah selesai disidik (“P-21”) dan sudah siap dilimpahkan ke persidangan?

Kelima, peran advokat dalam suatu perkara akan sangat esensial bagi siapapun yang berurusan dengan proses hukum. Hal paling pertama dan terutama yang diharapkan pada seorang advokat adalah, bagaimana ia dapat diandalkan untuk dapat memberikan pembelaan yang optimal, sehingga terbangun keberimbangan antara kepentingan penegak hukum dengan pembelaan diri tersangka/terdakwa (equal of arms). Kami percaya, asas keberimbangan dalam acara pidana akan menuntun kita pada proses peradilan yang adil. Masalahnya, dalam praktiknya, untuk kepentingan pembelaan kliennya, advokat baru dapat mengetahui  dan  mengakses  bukti-bukti  yang  dikumpulkan  penegak  hukum  seketika sebelum perkaranya disidangkan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP 1981). Padahal, hak untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti yang sedang dikumpulkan penegak hukum di tahap pra-ajudikasi (pre-trial discovery rights) sangat amat esensial bagi tersangka/terdakwa dan advokatnya untuk menyusun pembelaan yang optimal. Sayangnya, tidak ada kebaruan apapun dalam draf RUU KUHAP yang memperluas jangkauan advokat untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti tersebut. Tanpa pengaturan ini, maka tugas utama advokat untuk memberikan pembelaan yang optimal akan terhambat, menyisakan pendampingan hukum dari advokat berakhir sebagai simbolis belaka, yang selalu tertinggal beberapa langkah di belakang penegak hukum lainnya.

Keenam, saksi mahkota pada prinsipnya adalah kesepakatan antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum, di mana di dalam kesepakatan tersebut tersangka/terdakwa bersedia  untuk  mengungkapkan  tindak  pidana  yang  dilakukan  orang  lain,  dan  oleh karenanya penuntut umum akan mengajukan keringanan tuntutan. Sungguh aneh apabila draf RUU KUHAP membuka ruang bagi penyidik untuk menetapkan saksi mahkota, sebab bagaimana  mungkin  penyidik  dapat  bersepakat dengan tersangka untuk menjadi saksi mahkota, ketika urusan berat ringannya hukuman (tuntutan) sama sekali bukan urusan dari penyidik? Pengaturan semacam ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam praktik, yang tidak hanya akan merugikan para calon saksi mahkota, tetapi juga merugikan kepentingan penegakan hukum.

SIKAP & TUNTUTAN KAMI

Kami menilai bahwa klaim-klaim penguatan RUU KUHAP yang disampaikan pemerintah jauh dari konsep acara peradilan yang adil dan berprinsip pada penghormatan hak asasi manusia. Kami juga menilai bahwa model partisipasi publik yang sedang terjadi sangat jauh dari  pengertian  dasar  meaningful  participation.  Sebaliknya,  Komisi  III  DPR  RI  dan Pemerintah justru melakukan meaningful manipulation.

Draf yang disusun DPR RI maupun DIM yang disiapkan pemerintah masih belum mengakomodir tuntutan 9 isu krusial yang kami pandang perlu diakomodir dalam RUU KUHAP. Mengingat kepentingan yang besar untuk perlindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana, Koalisi menyusun Draf Tandingan RUU KUHAP versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP untuk mengakomodir terjaminnya due process of law dan perlindungan hak asasi manusia. Draf Tandingan RUU KUHAP ini disusun secara kolektif dan akan terus dikembangkan oleh lembaga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.  Selain itu, kami juga terus menyerukan agar pembahasan RUU KUHAP pada masa sidang saat ini dilakukan secara  mendalam  dan  substansial,  tidak  terburu-buru, cermat dan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.

Akses  Draf  Tandingan  RUU  KUHAP  versi  Koalisi  Masyarakat  Sipil  untuk  Pembaruan KUHAP: https://reformasikuhap.id/rkuhap-tandingan/

  1. ICJR
  2. IJRS
  3. LeIP
  4. YLBHI
  5. LBH Jakarta
  6. IPP FPL
  7. Amnesty International Indonesia
  8. AJI Indonesia
  9. LBH Masyarakat
  10. SUAKA
  11. PJS
  12. LBH APIK Jakarta
  13. LBH Pers
  14. ELSAM
  15. HRWG
  16. PPMAN
  17. ICW
  18. YAPPIKA
  19. ICEL
  20. KontraS
  21. Trend Asia
  22. ILRC
  23. BEM FH UI
  24. CDS
  1. PBHI
  2. Koalisi RFP
  3. PUSKAPA FH UI
  4. AKSI Keadilan
  5. SAFEnet
  6. Setara Institute
  7. CRM
  8. IAC
  9. Lokataru

Framing Jahat Pesta Seks: Peradilan Berorientasi Kebencian dalam Kasus 75 Orang di Puncak

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi mengecam framing negatif atas peristiwa penangkapan dan penertiban 75 orang dalam acara “Big Star Got Talent” yang berlangsung di sebuah vila di Megamendung, Puncak, Jawa Barat. Framing negatif dan penuh syak wasangka terhadap orang-orang dengan orientasi seksual tertentu ini menyebabkan kriminalisasi yang dipaksakan, penuh tipu daya, dan asal-asalan.

Pada hari Minggu, 22 Juni 2025, sekitar jam 01.00, anggota Kepolisian Sektor Megamendung bersama dengan anggota organisasi masyarakat yang tidak dikenal datang ke sebuah villa di Kawasan Megamendung. Mereka mengaku mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kegiatan yang melibatkan sejumlah pria gay. Acara yang sudah berlangsung dari Sabtu sore ini pun dihentikan dan semua orang yang ada di acara tersebut langsung dibawa ke Polsek Megamendung, sebelum kemudian dipindahkan ke Polres Bogor.

Dalam proses penangkapan tersebut, ada sejumlah kecacatan formil yang dilakukan oleh kepolisian. Penangkapan dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal, yakni anggota ormas yang tidak dikenal sekalipun mereka tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam kegiatan penertiban atau penangkapan. Polisi juga mengambil foto orang-orang yang ditangkap pada saat kejadian tersebut yang kemudian disebarluaskan ke media sehingga menyebabkan framing negatif atas apa yang terjadi terus berulang. Polisi menahan 75 orang ini dari Minggu dini hari hingga hari Senin sekitar jam 1.30 tanpa dasar apapun.

Berdasarkan fakta-fakta kejadian, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi bergerak cepat dalam melakukan pendampingan terhadap orang-orang ini sejak hari Minggu, 22 Juni. Hasil pendampingan dan pemeriksaan kami menemukan beberapa hal berikut yang perlu diluruskan.

 Pertama, tidak benar ada pesta seks. Beragam media memberikan framing negatif yang mengasosiasikan kehadiran anggota komunitas gay sebagai bukti bahwa telah terjadi pesta seks. Beberapa menyebutkan bahwa kegiatan pentas dan kontes adalah kedok untuk pesta seks.[1] Ada juga pemberitaan yang langsung melabel apa yang dilakukan oleh para peserta sebagai ‘menyimpang’.[2]

 Padahal acara “Big Star Got Talent” tersebut sangat jauh dari pesta seks. Kegiatan yang berlangsung di Puncak adalah ramah-tamah, pertunjukan fashion show, lomba tari dan menyanyi, dan juga hiburan-hiburan yang lain. Singkatnya, ini aktivitas-aktivitas yang juga biasa dilakukan oleh orang-orang heteroseksual ketika berkumpul. Dalam kegiatan tersebut, tidak ada satu pun dari 75 orang yang melakukan hubungan seks.

Bukan hanya klien kami yang menyatakan demikian, hasil penelusuran polisi sejauh ini juga tidak menemukan telah terjadi pesta seks. Gambar yang didokumentasikan pada saat polisi melakukan penertiban, misalnya, tidak menunjukkan ketelanjangan. Polisi menemukan 4 bungkus kondom yang belum dipakai. Penemuan alat kontrasepsi ini tidak bisa dijadikan dasar adanya tindak pidana, karena alat kontrasepsi adalah alat penunjang kesehatan untuk mencegah penyakit menular seksual. Apalagi, alat kontrasepsi yang ditemukan masih dalam kondisi belum terpakai.

Kedua, aturan dari panitia justru mencegah supaya tidak terjadi tindakan kriminalitas di acara tersebut. Di dalam aturan yang dibuat oleh panitia acara Big Star, tertulis aturan seperti dilarang menggunakan dan membawa narkotika, dilarang membuat keributan, tidak boleh melakukan kekerasan seksual, dan menghormati satu sama lain.

Aturan-aturan ini dibuat dengan kesadaran penuh oleh panitia acara karena acara tersebut dimaksudkan untuk membangun ruang yang aman dan nyaman bagi semua peserta. Peraturan yang disosialisasikan sebelum berlangsungnya acara menjelaskan bahwa kegiatan kumpul anggota komunitas ini bukan dengan niat buruk atau mempromosikan pornografi atau kekerasan. Sebaliknya, mereka berkumpul secara damai sehingga aturan yang dibuat pun mencoba mengakomodir hal tersebut.

Ketiga, berita-berita negatif dari media membuat kasus ini tidak lagi diadili dengan aturan hukum yang sesuai dan malah membuat pengadilan oleh media (trial by the press). Dengan informasi yang terbatas dan framing negatif pesta seks, sudah ada beragam desakan untuk menghukum partisipan kegiatan ini dari pihak-pihak yang tidak mengetahui secara tuntas apa yang terjadi pada tanggal 21-22 Juni tersebut. Opini ini dibangun oleh anggota PBNU[3], anggota Komisi III DPR RI[4], MUI Provinsi Jabar[5], Ketua DPRD Kabupaten Bogor[6], Wakil Gubernur Jawa Barat[7], dan lain-lain lagi.

Karena desakan oleh media dan pembuat opini ini, kepolisian seolah terpaksa untuk melanjutkan kasus yang sebenarnya tidak memenuhi unsur pidana. Akibat dari perbuatan ini, polisi seolah-olah coba mencocokan pasal yang mungkin bisa berlaku di kejadian. Dalam surat panggilan atas beberapa klien kami, polisi menegaskan bahwa pasal yang diselidiki adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Pasal 10 UU Pornografi, Pasal 296 KUHP. Tiga pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk peristiwa ini.

Pasal 7 UU Pornografi menjerat siapapun yang mendanai dan memfasilitasi perbuatan-perbuatan pornografi. Namun, karena materi acara Big Star tersebut tidak menunjukkan ketelanjangan, persenggamaan, alat kelamin, ataupun unsur pornografi lainnya, sangat jelas bahwa unsur-unsur Pasal 7 ini tidak tercapai. Pasal 10 Pornografi melarang orang untuk mempertunjukkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Lagi-lagi, fakta menunjukkan bahwa acara yang dilangsungkan tidak berhubungan dengan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau pornografi, sehingga pasal ini pun bisa dipastikan gugur. Sementara itu, Pasal 296 KUHP tentang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul juga semestinya tidak berlaku karena tidak ada perbuatan cabul yang dilakukan pada tanggal 21-22 Juni di dalam acara Big Star tersebut.

Berdasarkan poin-poin di atas, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menegaskan bahwa acara Big Star yang diorganisir oleh komunitas gay di Puncak tanggal 22 Juni 2025 adalah bentuk dari kebebasan berkumpul mereka. Kebebasan berkumpul ini dijamin di Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kegiatan yang dilakukan juga sepenuhnya berada di koridor kesenian, bukan pornografi dan pesta seks, sehingga ia juga memenuhi Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Atas dasar kebebasan ini, kami mendesak Kepolisian Resor Bogor untuk segera menghentikan proses hukum atas kasus ini. Sebaliknya, Kepolisian harus cepat-cepat mengevaluasi proses penegakan hukum yang sudah mereka lakukan yang menunjukkan banyak indikasi pelanggaran kode etik dan hukum acara pidana. Hal-hal ini mencangkup, tapi tidak terbatas pada, pelanggaran hak atas privasi atas orang-orang yang bukan pelaku kejahatan, tes HIV paksa yang tidak sesuai dengan prinsip hak atas kesehatan, ‘penyitaan’ barang-barang pribadi sekalipun kasus  ini belum masuk ke tahap penyidikan. Mengingat hari ini juga adalah Hari HUT Bhayangkara ke-79, kepolisian harus mengecek kembali seberapa jauh mereka sudah bisa menjadi pengayom masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan.

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi juga hendak mendorong Dewan Pers untuk mengawasi kerja pers dalam pemberitaan kasus ini, sehingga tidak lagi memberikan framing negatif dan tak berimbang atas peristiwa yang terjadi. Pembunuhan karakter atas anggota komunitas gay dengan berita penuh prasangka dan kebencian, tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk membela diri, adalah bentuk ketidakprofesionalitasan awak media. Sebagai pilar keempat demokrasi, media seharusnya memberikan ruang yang aman bagi kelompok rentan, bukan malah menggaungkan penegakan hukum yang awut-awutan.

Jakarta, 1 Juli 2025 

Narahubung:

  1. Yosua Octavian (LBHM) – 0898 437 0066
  2. Antonius Badar Karwayu – 0856 9799 8944

Referensi:

[1] https://news.detik.com/berita/d-7978897/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-75-orang-diamankan

[2] https://prohaba.tribunnews.com/2025/06/25/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-berkedok-family-gathering-75-orang-diamankan?page=2

[3] https://wartapontianak.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1179452198/terkait-pesta-seks-sesama-jenis-di-megamendung-bogor-ini-respons-pbnu

[4] https://rri.co.id/hukum/1609240/dpr-usut-tuntas-pesta-sesama-jenis-di-puncak

[5] https://www.jabarnews.com/daerah/mui-desak-gubernur-dedi-tegas-lgbt-puncak-bogor/

[6] https://bogorupdate.com/soal-pesta-seks-sesama-jenis-ketua-dprd-sastra-winara-desak-dinkes-gencarkan-sosialisasi/

[7] https://www.rmoljabar.id/wagub-jabar-apresiasi-penggerebekan-pesta-gay-di-puncak-tegaskan-penolakan-terhadap-lgbt

Terbukti Disabilitas Mental: Kuasa Hukum MAS Minta Negara Kedepankan Keadilan Restoratif untuk Pemulihan MAS, Bagaimana Riwayat Penanganan Kasusnya?

Proses hukum anak dengan disabilitas mental, MAS (15), telah memasuki babak akhir; menunggu putusan hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan). Saat menghadapi persidangan pokok perkara di Pengadilan, MAS didampingi oleh Tim Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBH-PPS) Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Dalam pembelaannya, Tim Kuasa Hukum MAS menekankan pentingnya mengedepankan penegakan keadilan restoratif dalam penanganan kasus MAS. 

Sebelumnya, pada 19 Mei 2025, Tim Kuasa Hukum mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan). Praperadilan itu diajukan karena proses hukum kasus ini terkatung-katung sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MAS, termasuk adanya penelantaran oleh negara dalam pemenuhan akses pengobatannya. 

Persidangan perdana permohonan praperadilan dijadwalkan pada tanggal 2 Juni 2025. Sayangnya, setelah sidang perdana digelar, Hakim Praperadilan harus menunda persidangan 2 minggu pada tanggal 16 Juni 2025, karena ketidakhadiran para termohon yakni, Kepala Kepolisian Jakarta Selatan selaku Termohon 1, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku Termohon 2. 

Namun, pada 17 Juni 2025, permohonan praperadilan harus gugur menurut hukum, karena ternyata sidang pokok perkara dan praperadilan kasus MAS berlangsung secara bersamaan di hari tersebut. Gugurnya praperadilan ini tidak terlepas juga dari kelalaian Pengadilan yang menunda persidangan praperadilan terlalu lama, meskipun telah kami ingatkan pada persidangan perdana agar tidak menunda sidang praperadilan terlalu lama karena perkara ini menyangkut perkara anak berhadapan dengan hukum yang harus diperiksa dengan cepat.

Pada 17 Juni 2025 sidang pokok perkara MAS kemudian mulai digelar secara tertutup di Ruang Sidang Anak, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agenda sidang pada saat itu adalah Pembacaan Surat Dakwaan, dan Pembuktian. Dalam surat dakwaannya, Jaksa menyatakan kalau MAS telah melakukan tindak pidana kumulatif alternatif berlapis berdasarkan Pasal 340, 338, dan Pasal 338 jo. 53 dan 340 jo. 53 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU KDRT Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2).

Setelah Jaksa membacakan surat dakwaannya, Tim Kuasa Hukum MAS mengajukan permohonan keadilan restoratif. Permohonan ini tidak terlepas dari adanya surat pernyataan orang tua MAS yang telah memaafkan MAS dan menginginkan agar MAS segera diberikan pengobatan. Surat tersebut sebelumnya dikirimkan kepada kuasa hukum MAS pada tanggal 13 Juni 2025. Setelah itu, agenda pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan Pembuktian.

Pada tanggal 17-20 Juni 2025 sidang dengan agenda pembuktian MAS telah digelar Pengadilan. Dalam agenda Pembuktian, Jaksa mengupayakan membuktikan dakwaannya terkait peristiwa pidana yang terjadi pada tanggal 30 November 2024. Dalam melakukan pembuktian Jaksa mengajukan alat bukti berupa keterangan saksi sebanyak 8 orang dan keterangan ahli sebanyak 2 orang. 

Sementara itu, Tim Kuasa Hukum dalam agenda pembuktian mengajukan 2 orang ahli. Tim Kuasa Hukum menghadirkan 1 orang Ahli Psikiatri Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dr. dr. NATALIA WIDIASIH, Sp. KJ(K), M.PD.KED. Tim Kuasa Hukum juga menghadirkan 1 orang Ahli dari Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M., PH.D. 

Dari agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan ahli justru terungkap jika MAS tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih jauh lagi, dari agenda pembuktian persidangan MAS para ahli memberikan penilaian penting bahwa MAS terindikasi memiliki disabilitas mental dan alih-alih perbuatannya harus dipertanggungjawabkan secara pidana, justru menurut pendapat para ahli, MAS direkomendasikan untuk diberikan pengobatan dan dukungan untuk pemulihannya.

Beberapa poin penting yang disampaikan Ahli di antaranya:

Keterangan Ahli Psikologi Forensik dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang juga Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw, Ahli menyampaikan; 

Pertama, Ahli menyatakan jika berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis, MAS memiliki disabilitas mental yang perbuatannya dilatarbelakangi oleh suatu ide yang irasional.

Kedua, indikasi trauma, disabilitas mental, tingkah laku antisosial, dan simptom negatif, sehingga MAS masih membutuhkan dukungan.

Keterangan Ahli Psikiatri Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dr. dr. NATALIA WIDIASIH, Sp. KJ(K), M.PD.KED, Ahli menyampaikan; 

Pertama, bahwa ahli telah melakukan pemeriksaan terhadap MAS selama 1 (satu) bulan lebih.

Kedua, Ahli melihat MAS mengalami kondisi mental yang disebut gangguan psikotik, yaitu kondisi di mana MAS kesulitan dalam membedakan antara hal yang nyata dengan yang tidak (gangguan daya nilai realita) nyata berupa halusinasi auditorik (pendengaran) yaitu mendengar suara-suara tanpa sumber. Ahli juga menjelaskan kalau terhadap diri MAS terdapat berbagai faktor risiko biopsikososial yang saling berinteraksi dan berkontribusi yang mana menyebabkan MAS mengalami gangguan psikotik.

Ketiga, Ahli berpendapat jika intervensi dari pemerintah tidak memadai, MAS berisiko tinggi mengalami kekambuhan atau residivisme, baik dalam bentuk perilaku kekerasan impulsif maupun penurunan kemampuan adaptasi sosial. 

Keempat, Ahli menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan rehabilitatif yang mengedepankan terapi psikiatri, intervensi psikoterapeutik terstruktur, serta penguatan dukungan sosial dan lingkungan sebagai sarana pemulihan klinis dan stabilisasi kondisi psikologis MAS.

Keterangan Ahli Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M., PH.D., dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Ahli menyampaikan; 

Pertama, terdapat 2 (dua) kondisi/karakteristik khusus yang perlu diperhatikan dalam perkara ini, yakni status anak yang masih di bawah umur (minor) dan adanya indikasi masalah kesehatan mental.

Kedua, kondisi kesehatan mental yang dialami MAS menyebabkan ketidakmampuan membedakan antara realita dan imajinasi serta tindakannya didorong oleh halusinasi yang tidak terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa unsur kesengajaan dan perencanaan dalam Pasal 340 KUHP tidak terpenuhi secara utuh. Pengakuan MAS bahwa perbuatannya “tidak direncanakan” dan hanya “terbesit”, serta motifnya yang tidak rasional, menguatkan pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan akibat dari kondisi psikotik, bukan hasil perencanaan sadar.

Ketiga, Ahli menekankan bahwa keberadaan Surat Visum et Repertum Psychiatricum yang menunjukkan kecenderungan MAS mengalami permasalahan mental seharusnya menjadi dasar penting bahwa pendekatan rehabilitatif lebih sesuai ketimbang pemidanaan. Negara, dalam hal ini, memiliki kewajiban untuk memastikan tersedianya fasilitas medis dan layanan rehabilitasi jiwa bagi MAS.

Selanjutnya, pada 23 Juni 2025, Hakim Anak memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Tuntutannya kepada MAS. MAS dituntut oleh Jaksa telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 340 dan Pasal 340 jo. 53 dengan tuntutan pidana pembinaan dalam lembaga yaitu pada Sentra Handayani selama 2 (dua) tahun dan didampingi, dibimbing dan diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan selama menjalani masa pembinaan serta melaporkan perkembangan MAS kepada Jaksa.

Setelah memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan kepada MAS, pada 24 Juni 2025, Hakim Anak memberikan kesempatan kepada Tim Kuasa Hukum untuk mengajukan pembelaan. Pada saat mengajukan pembelaan, Tim Kuasa Hukum pada intinya justru menyampaikan jika MAS tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana sehingga harus dilepaskan secara hukum (Onslag van alle rechtsvervolging). 

Selain itu, dalam pembelaannya, Tim Kuasa Hukum menyampaikan poin-poin penting kepada Yang Mulia Hakim Anak yang memeriksa perkara ini agar dalam menjatuhkan putusan agar mempertimbangkan, diantaranya, hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Surat Tuntutan Jaksa belum mempertimbangkan fakta persidangan secara menyeluruh, seperti keterangan Ahli yang menyampaikan mengenai dapat atau tidaknya seseorang dengan karakteristik khusus, dalam hal ini anak di bawah umur yang memiliki permasalahan kesehatan mental, untuk dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Kedua, Surat Tuntutan Jaksa tidak mempertimbangkan upaya perdamaian dan itikad baik MAS, karena sudah ada upaya perdamaian antara MAS dengan korban. Padahal berdasarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2024, kesepakatan perdamaian harus dipertimbangkan dalam pengajuan tuntutan. Selain itu, prinsip keadilan restoratif tetap dapat diterapkan meskipun perkara sudah memasuki tahap persidangan.

Ketiga, oleh karena MAS telah terbukti adalah seorang anak dengan disabilitas mental, negara harus hadir dengan mewujudkan keadilan restoratif dengan memberikan alternatif penghukuman kepada MAS menjalani pengobatan. Dalam situasi demikian, negara wajib hadir bukan hanya sebagai penegak hukum semata, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak anak, khususnya hak atas kesehatan dan rehabilitasi.

Selanjutnya, proses hukum kasus MAS ini direncanakan akan rampung pada tanggal 30 Juni 2025, dengan agenda pembacaan Putusan oleh Hakim Anak yang menangani perkara. 

 

Jakarta, 29 Juni 2025

Hormat kami,

Tim kuasa Hukum MAS

Maruf Bajammal

 

Narahubung:

Maruf Bajammal (Pengacara Publik LBH Masyarakat) – 0812 8050 5706