Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

LBHM Dukung Riset Ganja untuk Medis Selama Masih Partisipatoris

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) turut mengapresiasi pernyataan komitmen Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melakukan riset ganja medis. Apresiasi ini kami sampaikan sebagai salah satu lembaga yang selama ini mendukung adanya riset tentang pemanfaatan narkotika yang partisipatif, akademik, dan sesuai dengan standar-standar internasional.

Pada hari Senin, 5 Mei 2025, Badan Narkotika Nasional melakukan Rapat Bersama dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dalam kesempatan tersebut, Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan kembali anggota parlemen dan BNN tentang Pika yang meninggal dunia sembari menunggu hasil riset ganja medis. Hinca Panjaitan kemudian bertanya, “Sejauh mana komunikasi BNN dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan rencana penelitian ganja medis ini?”

Martinus Hukom, Kepala BNN, pun menjawab,“Kami akan melakukan penelitian dan menjadi kebetulan kami punya laboratorium forensik sendiri dan cukup terbaik di Asia Tenggara. Jadi kami akan melakukan itu sebagai kewajiban konstitusional.” Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan kesediaan BNN untuk bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan. 

Atas pernyataan BNN berikut, LBHM turut mendukung dilakukannya riset pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis. Namun, ada beberapa poin yang menjadi perhatian dan rekomendasi kami untuk memastikan bahwa riset ini betul-betul membawa kejernihan dalam memandang ganja dan narkotika lainnya.

Pertama, riset medis tidak boleh terjebak hanya mengukur kadar toksisitas dari kandungan ganja tetapi kegunaan ganja baik untuk mengobati penyakit dan meredakan rasa sakit. Uji materi terhadap ganja medis yang dilayangkan koalisi pada tahun 2022 silam berargumen bahwa ganja dapat membantu orang dengan cerebral palsy untuk meredakan sakit kronis yang dialaminya, meskipun bukan menghilangkan penyebab utama dari gangguan kesehatan tersebut.

Efek ganja yang bersifat analgesik ini menunjukkan bahwa meskipun ganja bukanlah peluru perak untuk mengobati suatu penyakit, ganja memiliki potensi untuk meredakan gejala yang menyulitkan seseorang hidup sehari-hari. Karena pengurangan penderitaan ini, pengobatan menggunakan ganja membantu seseorang untuk hidup secara bermartabat sebab ia bisa menjalankan aktivitasnya tanpa rasa sakit. 

Dengan melihat dampak ganja secara menyeluruh ini dan bukan hanya terjebak dalam melihat toksisitas ganja, masyarakat akan terinformasi secara berimbang tentang apa manfaat medis penggunaan ganja dan bukan mengerti bahwa ganja bisa berpotensi menyembuhkan atau menjadi anestesi yang bisa dimanfaatkan perseorangan dalam meredakan gejalanya.

Kedua, pemerintah harus membuka keterlibatan publik yang bermakna dalam riset ini. Bukan hanya BRIN dan Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi dalam menjalankan riset ini, melainkan juga masyarakat sipil, khususnya akademisi di bidang medis dan farmakologi yang selama ini memang sudah lama menaruh perhatian pada isu-isu narkotika.

Selain itu, penelitian ini juga perlu untuk melibatkan orang-orang yang selama ini sudah terdampak dari kebijakan pelarangan ganja untuk kepentingan medis, bahkan sampai harus dipenjara karena ingin menjadi sehat. Kita tentu berbicara tentang keluarga almarhum Pika dan Fidelis Arie yang dipenjara karena menanam ganja untuk menyembuhkan penyakit Syringomyelia istrinya.

Orang-orang ini adalah pejuang hak atas kesehatan yang mengorbankan hidup mereka untuk mendukung adanya kebijakan kesehatan yang berbasis rasionalitas bukan ketakutan. Mengingat kesulitan dan penderitaan yang sudah mereka rasakan, hanya akan menjadi adil jika perspektif dan pengalaman mereka turut menjadi data bagi penelitian ini.

Ketiga, penelitian juga harus mencangkup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat. Bagaimanapun ganja adalah tanaman yang sudah tumbuh ratusan tahun di Indonesia. Sebagian masyarakat asli Indonesia sudah lama memanfaatkan ganja bagi kepentingan komunitasnya. Sebut saja masyarakat Aceh yang menggunakan ganja untuk kepentingan ritual, pengobatan dan makanan.

Penelitian ini harus bisa menangkap kekhususan masyarakat adat ini dalam mengelola ganja sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Pasal 3 UNDRIP menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan sendiri cara mereka untuk berkembang secara ekonomi, sosial, dan kultural.

Riset ini bisa mengambil pelajaran dari bagaimana pemerintah Bolivia melakukan riset untuk pemanfaatan daun koka. Pada tahun 2023, Pemerintah Bolivia menuntut dilakukannya asesmen kritis atas penggolongan daun koka ke Golongan I narkotika dengan mengedepankan perspektif masyarakat adat yang tinggal di kawasan Andean-Amazonian.

Keempat, pemerintah perlu memberikan transparansi dalam pelaksanaan riset ini. Transparansi ini mencangkup tenggat waktu, rencana kerja, metode penelitian, tim peneliti, dan lain-lain. Dengan transparansi ini, masyarakat sipil dapat memastikan padanan dan arah riset dijalankan dengan sesuai dengan standar-standar akademik yang ada.

Sebagai contoh, pemerintah perlu memberikan kejelasan soal timeline riset ini. Pada saat rapat bersama kemarin, Martinus Hukom hanya mengatakan, “Kami memohon waktu untuk melakukan penelitian. Karena masalah ganja ini masalah yang lagi diperbincangkan apakah bisa dilegalkan untuk masalah kesehatan, kami butuh hasil riset yang lebih akurat.”

Adanya waktu yang cukup memang penting dalam sebuah riset. Namun, pemerintah perlu memberikan tanggal atas pencapaian-pencapaian ini supaya masyarakat, terutama yang membutuhkan, tidak mencurigai bahwa ini adalah upaya mengulur-ulur waktu. Kecurigaan ini wajar saja sebab Mahkamah Konstitusi sudah memandatkan penelitian ganja medis nyaris tiga tahun silam. Selama itu, belum ada kejelasan tentang apakah penelitiannya sudah dilakukan atau belum.

Kelima, jika BNN dan pemerintah sungguh-sungguh ingin membuka ruang penelitian ganja medis, maka langkah pertama yang harus mereka dorong secara aktif adalah pembuatan regulasi transisi: semacam peraturan pemerintah atau peraturan setingkat menteri yang memungkinkan kegiatan riset dilakukan secara legal, transparan, dan akuntabel. 

Pemerintah dan DPR perlu segera merevisi UU Narkotika yang berlaku saat ini dengan menambahkan pengecualian untuk kepentingan medis yang berbasis bukti. Kepastian hukum ini akan membuka peluang yang positif bagi beberapa pihak seperti lembaga riset dan universitas, tenaga medis, dan pasien untuk juga berkontribusi dalam proses penelitian tanpa ketakutan akan dipidana.

Secara keseluruhan, LBHM menyambut perkembangan riset ganja medis dalam Rapat Komisi III dan BNN kemarin dengan catatan-catatan kritis.

Albert Wirya, Direktur LBHM, menyampaikan, “Dalam Rapat Bersama kemarin, Hinca Panjaitan menyitir pernyataan Nelson Mandela bahwa, “Sebuah bangsa tidak seharusnya diukur dari bagaimana ia memperlakukan warganya yang paling kuat tetapi dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.” Pernyataan ini sungguh tepat untuk memastikan sikap pemerintah dalam penelitian ganja medis. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang miskin, mereka yang sakit, masyarakat adat, dengan memastikan riset tersebut bersifat komprehensif, partisipatif, akademis, dan transparan.”

Jakarta, 6 Mei 2025

Narahubung

Albert (085939676720)


Referensi:

  1. Raja Eben Lumbanrau, “Sejarah dan budaya ganja di Nusantara: Ritual, pengobatan, dan bumbu rempah makanan,” BBC Indonesia, 10 Februari 2020, diakses di https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-51441909.amp
  2.  IDPC, “Righting a historical wrong: The UN review of the international status of the coca leaf – Version 2,” diakses di file:///C:/Users/cleoi/Downloads/Coca%20review%20advocacy%20note_EN_REV%20Feb%202025.pdf

 

Pelarangan Menjadi Waria di Gorontalo: Surat Edaran yang Membuka Keran Diskriminasi

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengecam sikap pemerintah dan parlemen Gorontalo dalam membuat Surat Edaran yang melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan, pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan. Surat Edaran ini kontradiktif dengan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan ruang yang aman bagi semua penduduk untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik, terlepas dari identitasnya. 

Pada hari Selasa, 22 April 2025, Pemerintah Kabupaten Gorontalo melakukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Gorontalo. Hasil dari forum ini kemudian disahkan ke dalam Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi yang ditandatangani oleh Pj. Sekretaris Daerah atas nama Bupati Gorontalo pada tanggal 25 April 2025. 

Surat edaran ini menghimbau camat, kepala desa, kepala kelurahan di Gorontalo untuk selektif memberikan izin keramaian pada acara hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, dan hajatan pesta. Poin ketiga dalam surat edaran ini mendesak aparat pemerintah setempat memantau dan mencegah acara keramaian yang melibatkan waria (transpuan).

Para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen lokal ikut menyuarakan dukungan atas konten surat edaran ini. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyatakan bahwa hampir seluruh daerah di Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo, sudah sepakat menolak kehadiran dan aktivitas komunitas tersebut. Pelarangan ini, menurutnya, karena ‘kegiatan waria’ merusak moral bangsa. Wakil Ketua DPRD Kota Gorontalo, Rivai Bukusu, juga mengatakan bahwa mereka menolak kegiatan-kegiatan yang melibatkan transpuan atau komunitas LGBT lainnya, karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat.

Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatif dari penerbitan surat edaran ini dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya. Ada setidaknya empat poin mengapa surat edaran ini bermasalah:

Pertama, surat edaran ini melegitimasi marginalisasi dan diskriminasi transpuan di ruang-ruang publik. Surat edaran ini tidak menjelaskan pelibatan waria seperti apa yang dilarang atau dianggap berbahaya. Akibatnya, bukan hanya sebagai penampil (performer), transpuan yang menghadiri acara tersebut sebagai peserta atau penonton pun bisa dianggap terlibat dalam kegiatan tersebut dan akhirnya acara tersebut harus dibatasi. Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka karena takut acara mereka akan dibatalkan.

Diskriminasi semacam ini bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul (freedom to assembly) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih jauh lagi, Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Hak ini diberikan tanpa ada distingsi atas identitas gender seseorang, tidak peduli apakah dia laki-laki, perempuan, transpuan, atau identitas gender lain. Keikutsertaan transpuan dalam acara-acara publik dan sipil seperti pertandingan olahraga dan acara kesenian adalah cara mereka melaksanakan kemerdekaan berkumpul.

Kedua, tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui surat edaran tersebut tidak berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya adalah setiap perbuatan yang hendak atau sedang dilakukan dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah harus memiliki landasan hukum serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memiliki identitas sebagai transpuan bukan sebuah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di samping itu, pelarangan transpuan untuk berpartisipasi atau menikmati hak untuk berkumpul, berserikat, dan berekspresi melalui Surat Edaran ini menunjukkan kebijakan yang dibuat bersifat subjektif tanpa ada landasan hukum mengapa kehadiran transpuan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dilarang. Pola-pola legislasi serampangan tanpa ada dasar hukum yang jelas ini berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan dan bahkan dapat mengarah pada eigenrichting (main hakim sendiri). Apalagi kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan sebab masyarakat lebih mudah mengidentifikasi berdasarkan ekspresi gendernya.      

Ketiga, pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. Menurut sebuah survei, sekitar 8.7% anggota komunitas LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis (penyanyi, penyanyi lip sinc, penari, dan lain-lain). Mereka yang bekerja sebagai pekerja informal ini menghadapi berbagai risiko ekonomi dan seringkali tidak mendapatkan jaminan perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu urusan wajib dari Pemerintah Daerah adalah memberikan lapangan kerja yang aksesibel bagi semua sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia, tidak terkecuali pekerja seni informal, bukan malah melarang transpuan untuk bekerja sebagai pekerja seni dan pertunjukkan. 

Ada alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal. Ketimbang memberikan solusi atas diskriminasi hak atas pekerjaan yang selama ini sudah dialami oleh transpuan, surat edaran pemerintah Kabupaten Gorontalo ini semakin menyudutkan kelompok transpuan.

Keempat, alasan penolakan transpuan di kegiatan-kegiatan hiburan mengulang kembali alasan usang tentang transpuan melanggar norma kesusilaan. Bahkan ada simplifikasi argumen bahwa transpuan yang melakukan pekerjaan seni sudah pasti orang yang tidak beragama dan tidak bermoral. Dalam keterangannya Adhan Dambea, Walikota Gorontalo, menyatakan, “Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Kota Gorontalo, untuk jangan mengundang penyanyi seperti waria. Di Kota Gorontalo masih banyak penyanyi-penyanyi yang bermoral dan punya agama.”

Padahal beberapa budaya lokal Indonesia juga mengakui keberadaan gender lain, seperti budaya Bugis yang mengenal lima jenis kelamin yang berbeda. Ada pula interpretasi-interpretasi ajaran keagamaan yang memberikan pandangan yang lebih toleran bagi individu trans. Otoritas kesehatan internasional seperti WHO dan nasional seperti Kementerian Kesehatan pun berulang kali menyatakan bahwa menjadi transpuan bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. 

“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Maka praktik diskriminasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”, ucap Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBHM.

Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Gorontalo untuk mencabut Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi. Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo untuk menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menjaga dan melindungi hak kelompok rentan, tak terkecuali transpuan.  

Selain itu, LBHM juga meminta kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk memastikan kebijakan pemerintah daerah sejalan dengan aturan yang lebih atas untuk mengevaluasi surat edaran ini. LBHM juga berpendapat bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pihak yang melakukan pengawasan atas praktik dan kebijakan yang berdampak negatif pada pemenuhan HAM untuk melakukan investigasi pemberangusan hak yang terjadi di Gorontalo pada kelompok transpuan. 

Jakarta, 30 April 2025

 

Narahubung:
Novia – 081297566190

 

Referensi
  1. Dian, “Ketua DPRD Kota Gorontalo Tegaskan Menolak Seluruh Kegiatan yang Melibatkan Waria,” read.id, 28 April 2025, diakses di https://read.id/ketua-dprd-kota-gorontalo-tegaskan-menolak-seluruh-kegiatan-yang-melibatkan-waria/ 
  2.  Deden Arya, “Rivai Bukusu Tegas! Tolak Kegiatan Waria di Gorontalo,” gorontalo.totabuan.news, 28 April 2025, diakses di https://gorontalo.totabuan.news/dprd-kota-gorontalo/rivai-bukusu-tegas-tolak-kegiatan-waria-di-gorontalo/ 
  3.  Arief Rahadian, Gabriella Devi Benedicta, Fatimah Az Zahro, Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi, Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), 2021).
  4.  Lukman Husain, “Aksi Waria Berujung Pencekalan, ‘Padahal Bulan Depan Musim Pesta’,” Gorontalo Post, 29 April 2025, diakses di https://gorontalopost.co.id/2025/04/29/aksi-waria-berujung-pencekalan-padahal-bulan-depan-musim-pesta/  
  5.  Daniel Stables, “Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’,” bbc.com, 25 April 2021, diakses di https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166 
  6.  “Heboh Isu LGBT, WHO dan Kemenkes RI Turut Berkomentar,” tvonenews.com, 13 Mei 2022, diakses di https://www.tvonenews.com/berita/nasional/40482-heboh-isu-lgbt-who-dan-kemenkes-ri-turut-berkomentar?page=1 

Koalisi Menuntut Sembilan Materi Krusial dalam RUU KUHAP Dibahas Secara Mendalam dan Tidak Buru-Buru

RILIS PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP

Setelah  menggelar  konferensi  pers  terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara   Pidana   (RUU   KUHAP),   Komisi   III   DPR   RI   kemudian   pada   24   Maret menyelenggarakan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan sejumlah  organisasi  masyarakat  dan  organisasi  advokat.  Setelahnya, sepanjang 24-27 Maret 2025, bergulir berbagai narasi yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, yang mengklaim bahwa banyak materi progresif dalam RUU KUHAP.

Sebelumnya  pada 20 Maret 2025, Ketua Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa RUU KUHAP memuat lima materi yang disebut progresif, yaitu CCTV di tempat penahanan, pengaturan tentang hak kelompok rentan, penguatan advokat, perbaikan syarat penahanan, hingga kebaruan pengaturan tentang keadilan restoratif. Namun sayangnya, dalam rilis pers yang kami sampaikan 21 Maret 2025, kami membuktikan bahwa klaim materi progresif tersebut tak sepenuhnya tepat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan dan belum menjawab akar masalah dalam praktik sehari-hari KUHAP saat ini (UU No. 8/1981) yang tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepentingan hak-hak warga negara.

Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang,  sehingga  paling  lama  akan  disahkan  sekitar  Oktober-November  2025. Padahal RUU KUHAP secara keseluruhan memuat sebanyak 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan. Bila tidak dibenahi dan dibahas secara hati-hati dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang langsung terdampak, maka RUU KUHAP yang dihasilkan malah justru akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang tersistematisasi dalam proses peradilan pidana.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat sembilan masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP, yaitu:

  1. Kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel, perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada Penuntut Umum atau Hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik;
  2. Mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat, harus ada jaminan bahwa  seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan;
  3. Pembaruan   pengaturan   standar   pelaksanaan   penangkapan,   penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus  dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjutnya perlu penahanan;
  4. Prinsip    keberimbangan    dalam    proses    peradilan    pidana    antara    negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi, harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua   berkas/dokumen   peradilan   dan   bukti-bukti   memberatkan,   perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan  hukum  tanpa  pembatasan-pembatasan,  hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
  5. Akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery), perlu  ada  pembatasan  jenis-jenis  tindak  pidana  pidana  yang  dapat  diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana;
  6. Sistem hukum pembuktian, perlu definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti, memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis/bentuk bukti, serta harus ada jaminan “alasan yang cukup” secara spesifik pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya;
  7. Batasan pengaturan tentang sidang elektronik, perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan  yang  bias,  keliru,  dan merugikan para pihak dalam persidangan, serta jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik termasuk   keluarga   korban   maupun   terdakwa   untuk   berada   dalam   platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya pemeriksaan;
  8. Akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep  restorative  justice  yang  saat  ini  hanya  dipahami  sebagai  penghentian perkara, jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan, saat fakta tindak pidana sudah disepakati pada pihak, akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman/pemerasan;
  9. Penguatan  hak-hak  tersangka/terdakwa,  saksi,  dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban, jaminan adanya pasal-pasal operasional  agar  hak-hak  hak-hak  tersangka/terdakwa, saksi, dan korban dapat diakses secara efektif dalam praktik termasuk pihak-pihak yang dibebani kewajiban pemenuhan hak, mekanisme untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak-hak hingga konsekuensi-konsekuensi jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar.

Jakarta, 28 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  3. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  4. PBHI Nasional
  5. KontraS
  6. AJI Indonesia
  7. AJI Jakarta
  8. Aksi Keadilan
  9. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  10. Koalisi Reformasi Kepolisian
  11. 1 Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  12. LBH Masyarakat
  13. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  15. Imparsial
  16. Perhimpunan Jiwa Sehat
  17. LBH APIK Jakarta
  18. Themis Indonesia
  19. PIL-Net
  20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

Uraian masing-masing masalah diatas serta rujukan rumusan pasal masalah dalam RUU KUHAP di atas dijabarkan secara mendalam pada dokumen berikut.

Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP

 

Hentikan Narasi Pidana Mati dalam Tiap Kasus Korupsi

LBH Masyarakat, Jakarta — Tingkah heroik dalam menanggap kasus korupsi terulang kembali. Kali ini datang dari Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin yang memberi pernyataan bahwa para tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina berpeluang untuk dituntut dengan pidana mati. Pernyataan ini didasarkan pada tempus perkara yang dilakukan oleh para tersangka berada di masa pandemi Covid-19.

LBHM menilai tanggapan tersebut hanyalah bualan untuk meredam kemarahan publik. Pemberlakuan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara terbatas. Yakni dengan dua prasyarat: korupsi harus dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi, dan moneter; serta pengulangan tindak pidana korupsi.

Narasi penggunaan pidana mati pada kasus-kasus korupsi yang sangat menyita perhatian publik seolah menempatkan pidana mati sebagai obat mujarab. Gagah-gagahan dalam penggunaan pidana mati ini tidak menyelesaikan akar permasalahan korupsi di Indonesia dan tidak mengembalikan kerugian yang diderita oleh rakyat utamanya dalam korupsi tata kelola minyak mentah ini.

Jaksa Agung sepatutnya berfokus pada penegakan hukum yang mencegah keberulangan terhadap tindak pidana korupsi lain dan memaksimalkan pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh para tersangka kepada negara dan masyarakat. Selain itu, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan pemberlakuan pidana mati terhadap para koruptor membuat tata kelola menjadi transparan dan akuntabel.

Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2024 membuktikan mayoritas dari 10 negara di dunia dengan nilai tertinggi justru tidak menerapkan pidana mati. Sebaliknya, negara-negara seperti Cina, Iran, dan Korea Utara yang menerapkan penjatuhan pidana mati terhadap kasus korupsi justru menempati posisi bawah. Ini menegaskan perbaikan sistem pengawasan menjadi faktor utama yang harus dibenahi dalam menangani dan memberantas tindakan-tindakan koruptif.

Tak hanya itu, penguatan regulasi, salah satunya melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga krusial sebagai prosedur legal negara dalam memaksa para pelaku koruptor untuk mengembalikan kerugian yang timbul. Langkah-langkah nyata demikian yang sepatutnya dikedepankan pemerintah ketimbang memainkan narasi usang, yakni ancaman menghukum koruptor dengan pidana mati.

Selain usang, pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) telah diposisikan sebagai pidana alternatif yang penggunaannya perlu untuk mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa, harapan terhadap terdakwa untuk memperbaiki diri, serta peran terdakwa. Maka, sebagai salah satu penegak hukum yang memiliki peran vital dalam menentukan nasib para terdakwa, sepatutnya Jaksa Agung/Kejaksaan Agung sejalan dengan KUHP Baru tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM meminta Kejaksaan Agung untuk berhenti menggunakan narasi pidana mati dalam merespon kasus korupsi. Sekaligus meminta Kejaksaan Agung untuk menangani dan memberantas kasus-kasus korupsi tanpa tebang pilih, berfokus pada pembenahan tata kelola pemerintahan, dan memaksimalkan kerugian yang timbul untuk dikembalikan kepada negara, serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi agar dapat dipergunakan kembali untuk kepentingan publik.

Narahubung:

Yosua (+62 812-9778-9301)

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025:

Regulasi Berbahaya yang Memukul Mundur Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

06 Maret 2025

Kami, aliansi masyarakat sipil yang konsisten mengawal perkembangan aturan turunan pada UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 serta aktif memberikan masukan pada proses penyusunan aturan turunan guna mendapatkan akses layanan yang adil dan inklusif 1, menyatakan keberatan atas substansi di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.02 tahun 2025. Keberatan ini utamanya kami tujukan pada pasal-pasal diskriminatif yang justru mencederai perlindungan kelompok rentan, menghilangkan otonomi tubuh tiap individu, serta menjauhkan korban dari akses layanan kesehatan yang terjangkau dan memulihkan.

Secara substansi, PMK No.2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat 4 UU Kesehatan No.17 Tahun 2023, yang mengamanatkan Negara–baik Pemerintah Pusat maupun Daerah–wajib menyediakan layanan kesehatan primer dan lanjutan bagi masyarakat rentan dengan prinsip inklusif non-diskriminatif. Kelompok ini mencakup individu yang termarjinalisasi secara sosial, baik berdasarkan agama/kepercayaan, ras atau suku, disabilitas, orientasi seksual dan identitas gender, serta individu yang tinggal di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan.

Proses Penyusunan yang Tidak Partisipatif

Sejak awal dalam proses penyusunan PMK ini (dan turunan aturan lain dari UU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan) tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok terdampak. Kementerian Kesehatan cenderung mengabaikan pengalaman hidup kelompok rentan, padahal yang diatur dalam PMK ini adalah tubuh tiap individu. Mekanisme konsultasi yang ada tidak transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi organisasi penyandang disabilitas, perempuan, serta kelompok rentan lainnya untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka secara substansial. Proses penyusunan aturan ini menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam melibatkan partisipasi bermakna masyarakat sipil. Kementerian Kesehatan nyatanya masih menggunakan pendekatan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek dengan hak penuh untuk menentukan kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Akibatnya, aturan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural yang sudah lama dialami oleh kelompok masyarakat.

Hilangnya Otonomi Tubuh Perempuan Disabilitas

Hari ini kami kecewa mendapati PMK No.02 Tahun 2025 masih memiliki problem kritis dalam menempatkan Orang Dengan Disabilitas. Kementerian Kesehatan terang-terangan menunjukan perspektif ableismenya melalui aturan ini. Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini justru secara gamblang menghilangkan kecakapan Orang Dengan Disabilitas terutama Disabilitas Mental dan Disabilitas Intelektual. Melalui Pasal 62 Ayat (5) “…orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya..”. Ketentuan ini merampas hak penyandang disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri, termasuk dalam layanan aborsi. Mestinya daripada mencabut hak pengambilan keputusan dari Orang Dengan Disabilitas, negara seharusnya menyediakan mekanisme supportive decision-making yang memungkinkan mereka membuat keputusan dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka, bukan malah mencabut hak tersebut.

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Sejalan dengan itu, pendekatan medical model yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus “diperbaiki” harus ditinggalkan, dan kebijakan kesehatan harus beralih ke human rights-based

1https://lbhapik.or.id/siaran-pers-masyarakat-sipil-mendesak-pemenuhan-hak-atas-kesehatan-yang-inklusif-adil-dan-setara-dalam-seluruh-proses-penyusunan-kebijakan-turunan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/
approach yang menghormati kemandirian, martabat, serta hak penuh penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri.

Diskriminasi terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Permenkes ini kembali menempatkan orientasi seksual sebagai disfungsi dan gangguan (Pasal 52). Ini sangat bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah mengakui dan melindungi individu yang mengalami diskriminasi secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Ketentuan ini juga berlawanan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yang secara tegas menyatakan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.

Lebih dari itu, Permenkes ini secara eksplisit mempromosikan upaya-upaya korektif paksa terhadap orientasi seksual yang dianggap sebagai kelainan melalui deteksi dini (Pasal 54) dan upaya rehabilitatif (Pasal 56). Padahal, upaya korektif yang dulu dikenal dengan istilah “terapi konversi” telah dinyatakan Komite Anti Penyiksaan PBB sebagai tindak penyiksaan yang harus dihentikan. Indonesia telah berulang kali ditegur PBB dan didorong untuk mencabut kebijakan diskriminatif dan memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok rentan. Alih-alih memberikan perlindungan, Negara semakin melanggar mandat dan komitmennya untuk menegakkan Hak Asasi Manusia lewat Permenkes yang menambah daftar panjang kebijakan diskriminatif. Tenaga medis yang seharusnya bebas dari tindak diskriminasi dan mengutamakan keselamatan pasien justru diberi kuasa penuh oleh Negara untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan.

Dampak dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Permenkes ini jelas memperburuk terwujudnya pemenuhan hak dasar atas kesehatan fisik dan mental kelompok rentan, secara khusus kelompok LGBTIQ, yang selama ini sudah sangat kesulitan mengakses layanan kesehatan karena stigma sebagai gangguan/kelainan seksual. Upaya korektif terhadap orientasi seksual ini memenuhi unsur-unsur penyiksaan2, yang diantaranya adalah menimbulkan penderitaan fisik dan mental luar biasa yang berdampak pada kehilangan keberhargaan diri dan trauma berkepanjangan; serta dilakukan untuk tujuan tertentu – berdasarkan keyakinan keliru bahwa orientasi seksual adalah gangguan sehingga upaya korektif bertujuan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya. Melalui Permenkes ini, unsur-unsur penyiksaan berikutnya terpenuhi, yakni Negara secara sengaja melakukan serta menyetujui upaya korektif melalui pejabat-pejabat yang berwenang, dalam hal ini tenaga medis, kesehatan, maupun institusi layanan kesehatan. Dengan memberlakukan kebijakan yang menegaskan orientasi seksual sebagai gangguan yang perlu ‘dikoreksi’, negara tidak hanya mengabaikan hak warganya tetapi juga memperkuat sistem yang menyetujui, menormalisasi serta melakukan penyiksaan.

Pembatasan Akses Layanan Aborsi

Dalam hal layanan aborsi, PMK ini berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban akibat alur yang berlapis, rumit dan penuh dengan syarat administratif. Mekanisme ini mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh. Aturan ini menyaratkan empat (4) surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (pasal 60), berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebagai tambahan, bahkan ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan membutuhkan layanan aborsi, hingga ini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat menerbitkan surat keterangan tersebut. Oleh karena itu, pelaporan pidana seharusnya dipisahkan dari hak individu atas keputusan prokreasi.

Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS No.12 Tahun 2022. Tim pertimbangan yang terdiri dari lebih dari satu (1) tenaga medis juga dapat menjadi penghambat yang tidak sensitif terhadap situasi korban. Selain itu, aturan ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak

2 Berdasarkan Pasal 1 UU. No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Dalam hal situasi darurat medis, aturan ini mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, persyaratan persetujuan suami atau keluarga harus dihapus demi menjamin hak perempuan atas keputusan medisnya sendiri.

Tuntutan Kami

Masyarakat Sipil telah mengajukan catatan kritis dalam proses advokasi sebelumnya terkait kebijakan ini. Namun, hingga kini, peraturan yang dikeluarkan masih belum mencerminkan perlindungan bagi kelompok rentan dan korban. Oleh karena itu, kami kembali mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyediakan regulasi yang efektif, berperspektif korban, dan tidak diskriminatif dengan: revisi terhadap Permenkes No. 02 Tahun 2025, khususnya dalam hal berikut:

  1. Merevisi Peraturan Menteri Kesehatan 02 Tahun 2025 dan melakukan perubahan di antaranya:
    1. Menghapus semua penggolongan orientasi seksual sebagai disfungsi, kelainan, dan/atau gangguan serta upaya kuratif dan rehabilitatif yang mengikutinya;
    2. Menghapus Surat Keterangan Penyidik sebagai syarat administratif dalam layanan aborsi;
    3. Menghapus Tim Pertimbangan dalam alur akses layanan aborsi, karena prosedur ini menambah hambatan bagi korban dalam situasi darurat dan berisiko mengurangi aksesibilitas layanan;
    4. Menghapus persetujuan Suami dan keluarga untuk akses aborsi dalam situasi darurat medis;
    5. Menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa Orang Dengan Disabilitas tidak cakap mengambil keputusan, dan memastikan bahwa Individu Dengan Disabilitas berhak memberikan persetujuan sendiri tanpa harus melalui wali/tenaga medis serta mendorong penyediaan mekanisme supportive decision-making sebagai dukungan kepada Orang Dengan Disabilitas untuk membuat keputusan;
    6. Menghapuskan segala bentuk perlukaan termasuk penghapusan upaya-upaya simbolis dalam bagian P2GP
  2. Memastikan prinsip penyediaan layanan kesehatan yang inklusif, non-diskriminatif serta patuh pada standar hak asasi manusia, termasuk rekomendasi WHO dan perjanjian HAM internasional yang menegaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukan penyakit. Dalam implementasinya, sistem, budaya, dan infrastruktur layanan kesehatan harus mengakomodasi kebutuhan LGBTIQ dengan cara yang bermartabat dan inklusif, serta melindungi kelompok LGBTIQ dari praktik berbahaya seperti diskriminasi, penyiksaan berbentuk upaya korektif, dan kekerasan berbasis SOGIESC.
  3. Melakukan perluasan akses dan metode aborsi (tidak terbatas pada metode prosedural, tetapi juga medikamentosa) di dalam kerangka task shifting untuk memastikan keterlibatan profesi lain seperti bidan, apoteker, paramedis, sebagaimana diatur dalam KUHP 2023 dan mengacu pada panduan termutakhir WHO terkait aborsi. Adanya perluasan akses dan metode ini adalah cara untuk memastikan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer dan mengakomodir situasi keterbatasan layanan.
  4. Melibatkan masyarakat sipil dalam proses monitoring dan evaluasi. Untuk menjamin bahwa masyarakat sipil, khususnya kelompok advokasi perempuan, penyandang disabilitas, serta kelompok LGBTIQ, terlibat secara aktif dalam pemantauan implementasi regulasi kesehatan yang menyangkut hak dan perlindungan mereka. Sekaligus mendorong penyedia layanan kesehatan untuk mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam penanganan korban kekerasan seksual, tanpa stigma atau diskriminasi.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

  1. Save All Women and Girls (SAWG)
  2. Yayasan Kesehatan Perempuan
  3. Perhimpunan Jiwa Sehat
  4. Samsara
  5. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  6. Arus Pelangi
  7. Qbukatabu
  8. Institute for Criminal Justice Reform
  9. PKBI Yogyakarta
  10. Front Anti Kekerasan Maluku Utara
  11. Woi Sulawesi Utara
  12. Gerak 28 September
  13. Transmen Indonesia
  14. Koalisi Perempuan Indonesia
  15. id
  16. Alemu
  17. LBH Masyarakat
  18. Amerta Raksa Kayana
  19. Komunitas Perempuan Bumi
  20. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
  21. SIGAB Indonesia
  22. Diksi Foundation
  23. HWDI – Sulawesi Selatan
  24. Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo
  25. Jakarta Feminist
  26. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  27. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN)
  28. OHANA
  29. CIQAL
  30. SAPDA
  31. Feminis Themis
  32. PPDI Kalimantan Timur

Kontak person:

Ika Ayu – 0818278587
Nanda Dwinta – 081586602575
Tama – 085234831703
Tama – 085234831703

1. Peraturan Menteri Kesehatan menempatkan layanan Aborsi sebagai peristiwa hukum dan bukan tindakan medis; korban wajib mendapatkan 4 surat sebelum bisa mengakses layanan.

2. Peraturan Menteri Kesehatan melanggengkan patologisasi LGBTIQ dan mempromosikan tindak penyiksaan berbentuk upaya korektif paksa terhadap kelompok LGBTIQ

3. Peraturan Menteri Kesehatan menghilangkan otonomi tubuh orang dengan disabilitas dalam hal pengambilan keputusan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Menyikapi Pembahasan Revisi UU TNI

“Hentikan Pembahasan Revisi Undang-Undang TNI! yang Menghidupkan Dwifungsi”

DPR berencana akan membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dalam waktu dekat. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk membahas Rancangan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Dalam draft yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat beberapa masalah krusial terutama kembali dihidupkannya Dwifungsi TNI.

Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, Berdasarkan draft revisi UU TNI yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik.

Pertama, usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI. Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya. Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil.

Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya. Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus.

Penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan/yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM – apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer. Mengingat sampai saat ini Pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer. Ketentuan ini menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya. Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan.

Perubahan Pasal 47 ini nantinya akan semakin merusak pola organisasi dan jenjang karir ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia. Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karis  ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.

Kedua, usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu. Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis.

Ketiga Kekhawatiran lain yang muncul adalah adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ke dua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Koalisi juga memandang upaya perluasan peran aktor keamanan melalui revisi UU Polri juga harus dihentikan. Alih-alih meluaskan peran TNI-Polri sudah seharusnya Pemerintah dan DPR fokus memperkuat lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan dan lain sebagainya dan bukan justru melemahkan lembaga pengawas tersebut dengan memotong anggarannya secara signifikan.

Berdasarkan pandangan di atas, kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat. Lebih baik DPR dan Pemerintah memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI. Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia.

Jakarta, 6 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan:

Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, Dejure.

Narahubung:

– Dimas Bagus Arya (KontraS)

– Hussein Ahmad (Imparsial)

– ⁠Ikhsan Yosarie (SETARA)

– ⁠Arif Maulana (YLBHI)

– ⁠Teo Reffelsen(WALHI)

– ⁠ Gina Sabrina (PBHI)

– ⁠Nurina Savitri (Amnesty International Indonesia)

– ⁠Sonya Andomo (AJI Jakarta)

– ⁠Anas Robbani (BEM SI)

– ⁠Latifah Anum Siregar (Aliansi Demokrasi untuk Papua)

– ⁠Al araf (Centra Initiative)

– ⁠Bhatara I Reza (De Jure)

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP): Band Sukatani Akui Ada Intimidasi: Proses Pemeriksaan Etik dan Pidana Wajib Dilakukan Kepada Anggota Polisi yang Melanggar

“Tindakan tanpa dasar kewenangan yang sah oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani sehingga menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.”

 Pada 1 Maret 2025, Band Sukatani dalam keterangannya ke publik, melalui akun @sukatani.band di kanal instagram, mengakui adanya tekanan dan intimidasi atas adanya lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh aparat kepolisian. Bahkan intimidasi sudah dialami Band Sukatani sejak Juli 2024. Koalisi menilai tindakan tersebut merupakan upaya pembungkaman terhadap Band Sukatani secara khusus, yang sekiranya tindakan ini dibiarkan dan para pelakunya tidak dihukum maka preseden ini amat potensial kembali berulang sehingga menjadi momok bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi (berkesenian) secara umum.

Sebelumnya, pada 25 Februari 2025, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, mengatakan berdasarkan pemeriksaan Propam Polda Jawa Tengah justru menyimpulkan bahwa para anggota yang diperiksa telah menjalankan tugasnya secara profesional. Sebelumnya pada 24 Februari 2025, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen Pol (Purn) Arif Wicaksono Sudiutomo dan staf Kapolri, Irjen Purnawirawan Aryanto Sutadi, malah membantah adanya intimidasi tersebut. Ketua Kompolnas menilai kedatangan anggota Polda Jateng menemui personel band Sukatani bukan untuk mengintimidasi.

Meskipun begitu, Koalisi menilai tindakan Personel Kepolisian mendatangi Band Sukatani tetaplah pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, karena jika Institusi Kepolisian tidak anti kritik sebagaimana telah dinyatakan Kapolri di beberapa media massa, tentu tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. Kepolisian wajib melindungi dan menghormati ekspresi dan kritik dimaksud, serta memastikan karya lagu Sukatani dapat diakses dan dinikmati khalayak umum dalam berbagai platform seperti semula. Sebab, hak dan kebebasan berekspresi telah dijamin secara konstitusional serta berbagai peraturan perundang-undangan dan instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia (ICCPR).

Saat ini, pemeriksaan terhadap anggota Ditsiber Polda Jateng tersebut telah diambil alih oleh Propam Mabes Polri. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menuntut agar pemeriksaan dijalankan secara akuntabel dan transparan. Hasil pemeriksaan harus menghasilkan kronologi yang jelas, menjelaskan dasar hukum yang digunakan, identitas polisi pelanggar, serta menjelaskan prosedur dan kelengkapan administrasi anggota kepolisian pada saat melakukan tindakan tersebut.

Kami juga mendesak Propam Mabes Polri untuk menggunakan instrumen pidana dalam memproses anggota kepolisian yang melakukan intimidasi kepada Band Sukatani.

Pasal 421 KUHP mengatur tentang ancaman pidana 2 tahun 8 bulan, kepada setiap Pegawai negeri (termasuk polisi di dalamnya) yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk melakukan, tidak melakukan sesuatu, ataupun membiarkan sesuatu. Rilis media Institute Criminal Justice Reform (ICJR) tertanggal 22 Februari 2025 sebelumnya, telah menyatakan bahwa tindakan menghampiri ataupun mengklarifikasi atas lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bukan kewenangan polisi. Tidak ada ketentuan pidana yang dilanggar oleh Band Sukatani, sehingga, polisi tidak berwenang untuk mendatangi, ataupun membatasi kemerdekaan band Sukatani. Tindakan tanpa kewenangan oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.

Dengan demikian, kami mendesak kepada Propam Mabes Polri dan juga kepada Kapolri untuk:

Pertama, Kapolri dan Propam Mabes Polri wajib menjunjung tinggi akuntabilitas, objektivitas, dan transparansi dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik adanya tekanan dan intimidasi kepada Band Sukatani oleh Anggota Polda Jateng.

Kedua, Propam dan Kapolri harus menindak tegas dengan memproses secara pidana Anggota Polda Jateng yang terbukti dan/atau terlibat melakukan intimidasi.

Jakarta, 2 Maret 2025 Dengan Hormat,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian*

Narahubung:

  • Arif Maulana (YLBHI/RFP)
  • Fadhil Alfathan (LBH Jakarta/RFP)
  • Paul (Sekretariat Bersama RFP)
  • Maidina (ICJR/RFP)

*Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) adalah sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil (non governmental organization) yang concern mendorong agenda reformasi kepolisian yang akuntabel, profesional, demokratis, dan berkomitmen terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam RFP di antaranya: YLBHI, ICJR, PBHI, ICW, Kurawal Foundation, KontraS, AJI Indonesia, Imparsial, Walhi Nasional, SAFEnet, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP #TolakRKUHAPGelap! DPR RI Ngumpet-Ngumpet Bahas RKUHAP, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP Serukan Buka Proses Pembahasan dan Draft Terbaru RKUHAP

27 Februari 2025 – KUHAP yang mengatur mulai dari kewenangan aparat hingga jaminan perlindungan hak-hak warga saat berhadapan dengan hukum sedang direncanakan akan diganti oleh DPR RI. Produk hukum ini menjadi harapan masyarakat untuk dapat merespons fenomena-fenomena ketidakadilan seperti salah tangkap, penyiksaan, kekerasan, hingga pemerasan oleh aparat supaya tidak lagi berulang ke depan.

Pada Rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir tanggal 18 Februari 2025, RUU KUHAP disetujui sebagai usul inisiatif DPR. Namun hingga saat ini draft RUU KUHAP yang resmi masih belum dibuka kepada publik. Berdasarkan pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, DPR RI dalam beberapa minggu terakhir melakukan diskusi-diskusi antara lain yang secara terbuka dengan lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Namun terdapat pula diskusi-diskusi yang diduga dilakukan secara tertutup dengan lembaga-lembaga tertentu mengenai penyusunan draft RUU KUHAP.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen DPR RI terhadap prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Pembahasan RUU KUHAP harus dilakukan secara terbuka dan perlu dilakukan partisipasi bermakna. Menurut Rani, peneliti dari PSHK “Bahwa proses legislasi dengan pola abusive law-making, tidak transparan dan minim pelibatan publik di dalamnya, seringkali melahirkan produk hukum yang secara substansi akan bermasalah”.

Selain draft RKUHAP dan naskah akademik yang belum dibuka kepada publik, Belly Stanio Pengacara Publik dari LBH Jakarta menyampaikan: “Tercium bau-bau busuk dari pembahasan tertutup yang membahas soal RKUHAP, hal ini bisa dilihat baru-baru ini ada pertemuan antara Habiburokhman selaku Ketua Komisi III DPR RI bertemu dengan kepolisian. Diduga pertemuan ini salah satunya membahas soal lembaga POLRI dalam RKUHAP. Oleh karena itu penting untuk dikawal bersama baik dari mahasiswa, pers, dan seluruh golongan untuk sama-sama memantau perkembangan dari RKUHAP ini”.

Saat ini beredar draft tidak resmi RUU KUHAP versi 17 Februari 2025 yang diduga menjadi draft yang diserahkan pada saat rapat paripurna DPR RI ke-13. Namun substansi materi dalam draft tersebut bertentangan dengan konsep penguatan RKUHAP yang disampaikan dalam Surat Terbuka tertanggal 9 Februari 2025 oleh Koalisi.

Menurut Iftitahsari Peneliti dari ICJR, “Bahwa dalam draft RUU KUHAP versi 17 Februari 2025, terlihat adanya upaya untuk memasukkan ketentuan-ketentuan dari peraturan internal kepolisian, khususnya terkait prosedur penyelidikan dan penyidikan. Ketentuan-ketentuan ini telah lama menjadi sorotan dan kritik karena bertentangan dengan hukum acara pidana yang lebih tinggi, yaitu KUHAP 1981. Materi substansinya juga tidak akuntabel. Dengan memasukkan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam RUU KUHAP, pembuat kebijakan seolah-olah melegitimasi praktik-praktik yang selama ini dipandang tidak transparan dan tidak  dapat  dipertanggungjawabkan”.  Hal  ini  menunjukan  bahwa  RUU  ini  justru mengukuhkan aturan yang tidak sejalan dengan reformasi hukum yang transparan dan bertanggung jawab.

Kemudian dalam RUU KUHAP versi 17 Februari 2025 tersebut juga belum memuat pengaturan mengenai bagaimana cara tersangka, saksi, korban menggunakan hak-haknya secara efektif, hingga konsekuensi-konsekuensi atas pelanggaran terhadap hak-hak tersebut dalam penanganan kasusnya. Hal ini penting untuk memastikan agar ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijalankan secara operasional dan pengaturan perlindungan hak-hak masyarakat dalam RUU KUHAP tidak hanya sebatas sebagai ornamen atau pelengkap dalam undang-undang.

Sejalan dengan hal tersebut, Nixon Randy Pengacara Publik LBH Masyarakat mengatakan “Ketentuan Hukum Acara Pidana yang seharusnya menjamin hak-hak seluruh elemen masyarakat sipil tanpa terkecuali. Sebab, hari ini masih banyak marginalisasi kelompok tertentu, seperti kelompok disabilitas, perempuan, dan minoritas gender orientasi seksual yang harus mendapatkan tempat yang proporsional. Terlebih lagi, sejumlah kewenangan upaya paksa dan teknik investigasi yang dimiliki APH, khususnya kepolisian, sering kali berujung pada praktik penjebakan atau rekayasa kasus.”

Bimo, Wakil Ketua BEM FH UI sebagai perwakilan mahasiswa menyatakan, “Ketika pembahasan RKUHP dahulu, mahasiswa hukum di kelas-kelas bisa mempelajari pasal-pasal yang ada dalam RKUHP, hal ini berbeda dengan pembahasan RKUHAP saat ini. DPR-RI harus stop bermain petak umpet pembahasan RKUHAP, harus dibuka dan harus melibatkan masyarakat secara bermakna.”

Pembuat kebijakan juga harus paham bahwa penegakan hukum yang tidak akuntabel akan berdampak pada kondisi perekonomian negara. Seperti yang dikatakan oleh M Isnur, Ketua Umum YLBHI, “Bahwa saat ini pemerintah tidak peduli dengan hukum, pemerintah hanya peduli dengan investasi. Tapi, perlu saya ingatkan bahwa saat ini investasi dan ekonomi tidak tumbuh karena terhambat banyak hal, akibat dari tindakan aparat yang menjadi semacam alat untuk berlaku tidak adil, Misal kita ambil contoh kasus beberapa waktu lalu yang dialami oleh grup band Sukatani, mereka diintimidasi dan dipaksa meminta maaf, hal ini tidak boleh terjadi lagi dengan dalih penegakan hukum. Akhirnya seni, investasi, ekonomi semua tidak berkembang karena aparat berlaku sewenang-wenang, kedepannya KUHAP bisa membatasi kesewenang-wenangan aparat dari mulai polisi, jaksa dan yang lainnya. Kesewenang-wenangan ini juga menjadi celah aparat untuk melakukan korupsi, seperti yang terjadi pada kasus pemerasan DWP, hal ini bisa menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki investasi dan ekonomi dari sudut pandang acara pidana”.

Sebagaimana Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sampaikan sebelumnya dalam Surat Terbuka tertanggal 9 Februari 2025 kepada Komisi III DPR RI dan BKD DPR RI, setidaknya, terdapat materi-materi krusial yang perlu diatur dalam pembaharuan KUHAP, antara lain: penguatan hak-hak (tersangka, saksi, korban) termasuk mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan HAM; pengaturan dan pengujian perolehan alat bukti; standar dan akuntabilitas upaya paksa dan penyelesaian perkara di luar persidangan; hingga rekodifikasi hukum acara pidana berdasarkan pada prinsip due process of law, mekanisme checks and balances, serta penghormatan pada hak asasi manusia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami menyerukan agar:

  1. DPR RI untuk segera mempublikasikan draft resmi dan naskah akademik RUU KUHAP.
  2. Segera hentikan proses legislasi yang gelap dalam pembahasan RUU KUHAP, kami mendesak agar seluruh proses dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.

Hormat Kami,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  3. PBHI Nasional
  4. KontraS
  5. AJI Indonesia
  6. AJI Jakarta
  7. Aksi Keadilan
  8. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  9. Koalisi Reformasi Kepolisian
  10. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  11. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
  12. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  13. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  15. Imparsial
  16. Perhimpunan Jiwa Sehat
  17. LBH APIK Jakarta
  18. Themis Indonesia
  19. PIL-Net Indonesia
  20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
  21. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

Narahubung: Belly Stanio – 082210946456

Mahasiswa, Advokat, hingga Korban Penyiksaan Ajukan Permohonan Informasi Publik ke DPR RI Menuntut Naskah Akademik dan Draft RUU KUHAP Dibuka kepada Publik!

Rabu, 19 Februari 2025 – Perwakilan mahasiswa, advokat, dan keluarga korban penyiksaan mengajukan permohonan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini adalah dampak dari keputusan DPR RI pada rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025 yang menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi RUU inisiatif DPR RI. Sayangnya, dalam proses penyusunan ini, tidak ada proses partisipasi publik yang bermakna.

Muhammad Fawwaz Al Farabi, Ketua BEM FH UI selaku pemohon menyatakan, “Kami amat menyayangkan DPR RI yang main petak umpet sama rakyat, padahal perlu diingat bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, ada yang namanya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapannya, yaitu hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangan pendapatnya, serta untuk diberikan jawaban. Jadi sebetulnya harusnya tanpa kami mintakan permohonan informasi publik seperti ini, sudah menjadi kewajiban DPR RI untuk membuka draftnya.” “Ini menambah daftar panjang RUU yang dibuat secara ugal-ugalan.” Fawwaz berharap, nantinya pembahasan KUHAP dapat melibatkan publik, sebab ia menyatakan, “KUHAP milik publik, dan sudah seharusnya begitu, maka pembahasannya harus melibatkan publik!” “Mahasiswa juga sering menjadi korban ‘penculikan’ aparat, bukan lagi ‘penangkapan’, karena surat-suratnya tidak ada. Nah di situ ada masalah mendasar dari KUHAP, makanya publik perlu dilibatkan dalam pembahasannya,” kata Mahasiswa FH UI tersebut.

Astatantica Belly Stanio selaku pemohon yang berlatar belakang profesi advokat menyatakan, “Sebagai bagian dari penegak hukum, peran advokat perlu dikuatkan dalam KUHAP. Penguatan peran advokat merupakan upaya memperbaiki KUHAP. Fakta bahwa dalam proses penyidikan banyak terjadi pelanggaran HAM, sehingga diperlukan peran advokat sebagai pendamping orang yang berhadapan dengan hukum. Beberapa isu advokat yang perlu diperbaiki dalam KUHAP adalah pentingnya memasukkan konsep miranda rules sehingga orang yang berhadapan dengan hukum memiliki hak diam, hingga mendapatkan pendamping hukum, kemudian peran advokat dalam proses penyidikan juga perlu diperkuat. Akses bantuan hukum harus diperluas bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya bagi orang yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih. Oleh karenanya, KUHAP perlu dibahas bersama dengan masyarakat. KUHAP kita sekarang memang bermasalah, tapi kalau pembahasan RUU KUHAP tidak melibatkan publik seluas-luasnya, bisa jadi justru RUU KUHAP akan menambah masalah dalam sistem peradilan pidana kita.”

Rusin selaku pemohon pribadi menyatakan, “Harusnya wakil rakyat itu ya atasannya adalah rakyat, sudah sepantasnya draftnya dibuka kepada publik. Saya sebagai orang tua dari korban penyiksaan dan salah tangkap, yaitu Sdr. Fikri, sebagai warga negara, saya merasa perlu untuk dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHAP, agar kedepannya hal seperti ini tidak terjadi lagi. Kami, rakyat Indonesia ingin tahu, draftnya ini seperti apa. Kalau misalnya ada yang tidak benar, bisa diperbaiki. Saya misalnya sebagai keluarga korban penyiksan bisa juga mengevaluasi berdasarkan pengalaman yang saya miliki di lapangan. Libatkanlah masyarakat, karena kekuasan tertinggi di tangan rakyat. DPR harus ingat, sebagai wakilnya rakyat, maka suara rakyat harus didengar. Segera buka draft dan naskah akademiknya.” Rusin sendiri merupakan orang tua M. Fikri, salah seorang korban penyiksaan pada tahun 2021-2022.

Ketiganya berharap DPR RI segera membuka naskah akademik dan Draft RUU KUHAP sebagai langkah nyata untuk mewujudkan partisipasi publik yang bermakna. Draft Naskah Akademik dan Draft RUU merupakan informasi publik yang dikelola oleh badan publik dalam konteks legislatif, yaitu DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal  1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sesuai dengan Pasal 22 ayat (7) UU KIP, DPR RI wajib memberikan jawaban terhadap permohonan informasi tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.

Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bidang Advokasi menyatakan bahwa hal ini menambah praktik buruk legislasi yang dilakukan DPR RI. “YLBHI mendesak DPR RI untuk segera membuka draf NA dan RUU KUHAP ke Publik. KUHAP adalah regulasi penting untuk memastikan hak atas keadilan masyarakat dijamin dan penegakan hukum bisa transparan dan bertanggungjawab. KUHAP tidak boleh seolah hanya urusan DPR Pemerintah dan APH saja. KUHAP adalah kepentingan bersama warga negara untuk memastikan penegakan hukum pidana berlangsung secara berkeadilan dan menjunjung tinggi HAM.

Menutup akses informasi publik terhadap dokumen legislasi tersebut sama saja menutup dan melanggar hak konstitusional warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan UU sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.” “Jika ada upaya menutup-nutupi, kita patut menduga ada hak rakyat yg mau ‘dicuri’ atau ‘dikorupsi’ karena Penyusunan UU akan mengatur kepentingan publik. DPR RI semestinya belajar dari kesalahan penyusunan regulasi sebelumnya dan tidak melakukan korupsi legislasi seperti halnya yang terjadi pada penyusunan UU bermasalah sebelumnya seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, atau UU KPK. Informasi legislasi seperti NA dan RUU KUHAP adalah hak konstitusional warga negara bahkan tanpa perlu diminta semestinya informasi terkait legislasi harus dibuka oleh DPR atau Pemerintah. Sayangnya beberapa tahun terakhir justru diabaikan,” kata Arif.

Narahubung: 082210946456 – Asta

Amnesti Tanpa Rehabilitasi: Desakan LBHM atas Kelanjutan Rencana Amnesti Pemerintah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi kembali rencana pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana di Indonesia, terutama yang ditujukan kepada terpidana narkotika. Perkembangan rencana ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, bertempat di Kantor Kemenko Kumham Imipas pada hari Selasa, 21 Januari 2025.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Kompas.com, Yusril mengumumkan bahwa amnesti akan diberikan kepada narapidana kasus narkotika yang masih muda dan produktif melalui tahapan rehabilitasi atau masuk ke angkatan Komponen Cadangan (Komcad) untuk kemudian berkarya di proyek-proyek pemerintah, seperti pembukaan lahan pertanian di Kalimantan dan Papua.[1] Alasan prosesnya dibuat demikian adalah supaya penerima amnesti yang telah dibebaskan ini tidak meresahkan masyarakat.[2]

LBHM memandang ada beberapa poin dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan yang perlu dikritisi.

Pertama, rencana rehabilitasi setelah amnesti akan menambah permasalahan hak bagi para terpidana. Faktanya, tidak semua orang yang menggunakan narkotika akan menjadi ketergantungan dan membutuhkan rehabilitasi. Faktor konsumsi narkotika bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan, sebab ada beragam faktor biologis, seperti usia dan faktor sosial seperti dukungan support system yang berpengaruh pada tingkat ketergantungan narkotika. Hasil survei Badan Narkotika Nasional pada tahun 2023 pun menyebutkan bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkotika setahun pakai sebesar 173 orang per 10,000 penduduk, sedangkan angka prevalensi penyalahgunaan narkotika pernah pakai dalam seumur hidupnya sebesar 220 orang per 10.000 penduduk[3], menunjukkan adanya pengguna narkotika yang tidak sedang menggunakan narkotika selama setahun terakhir.

Seperti layaknya intervensi kesehatan yang lain, rehabilitasi ketergantungan narkotika harusnya dipandang sebagai hak, bukan pengganti hukuman. Pemerintah tidak bisa memukul rata bahwa puluhan ribu terpidana kasus narkotika yang akan diberikan amnesti semuanya membutuhkan rehabilitasi.

Kedua, penugasan terpidana narkotika ke Komcad adalah rencana yang gegabah. Kehadiran Komcad sebagai pelengkap sistem pertahanan Indonesia masih ditentang oleh berbagai elemen masyarakat. Komcad yang dibentuk dan ditugaskan untuk membantu proyek pertanian dikhawatirkan akan meningkatkan konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat dan menambah panjang daftar pelanggaran HAM.[4]  Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 saja, jumlah konflik agraria tercatat mencapai 241 kasus, yang merampas 638.188 hektar lahan, dan 135.608 kepala keluarga terdampak imbas konflik ini.[5] Data tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2022, di mana terdapat 212 kasus, yang merampas 1.035.613 hektar lahan, dan 346.402 kepala keluarga yang terdampak.[6] Dengan demikian, kehadiran Komcad yang sampai sekarang masih banyak ditentang berbagai elemen masyarakat, berpotensi membuat masalah konflik agraria yang ada jadi semakin rumit.

Tak hanya itu, Desember 2024 lalu, LBHM bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain juga telah mengkritisi agenda amnesti untuk Komcad ini. Kami menjabarkan bahwa syarat keikutsertaan narapidana dalam Komcad tanpa kriteria yang jelas tentang rekrutmen dan kompensasi kerja berisiko membuat program ini menjadi perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.

Ketiga, kekhawatiran program amnesti akan meresahkan masyarakat seharusnya tidak ada sepanjang proses pemasyarakatan di dalam lembaga pemasyarakatan betul-betul dijalankan. Program pemasyarakatan sejatinya adalah program untuk membina dan membimbing para terpidana agar menempuh reintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, seharusnya para terpidana yang menjadi target amnesti telah mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang sesuai yang akan mampu menempatkannya kembali ke dunia kerja.

Pemerintah juga bisa belajar dari pengalaman percepatan asimilasi yang dilakukan pada masa Pandemi Covid-19. Monitoring dari LBHM menunjukkan bahwa di tengah asimilasi sekitar 40 ribu terpidana pada April-Agustus 2020, hanya ada 72 narapidana yang kembali diberitakan melakukan kejahatan.[7] Persentase residivisme yang kecil ini juga bisa didorong dengan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan para narapidana.

Keempat, penjelasan bahwa program amnesti akan diberikan kepada yang masih muda dan produktif menjurus ke diskriminasi berbasis usia atau ageism. Hal ini seperti kontradiktif dengan upaya pemerintah, terutama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, untuk memanusiakan lansia yang menjadi narapidana. Selama ini pemerintah sudah cukup berbangga dengan sikapnya untuk membentuk the Jakarta Statement on the Treatment of Elderly Prisoners dengan mengakui bahwa narapidana lanjut usia di Indonesia memiliki kebutuhan berbeda dengan narapidana lain.[8]

Jika program amnesti diberikan hanya kepada mereka yang produktif, semakin kuat pandangan masyarakat bahwa program amnesti ini bukan tentang keadilan, tetapi sepenuhnya urusan untung-rugi ekonomi.

“Sudah sepatutnya Amnesti dikembalikan kepada ikhtiarnya sebagai mekanisme untuk memperbaiki kesalahan peradilan pidana dan penghukuman di masa lalu. Terhadap pengguna narkotika, pemerintah seharusnya menempatkan program amnesti ini sebagai pengakuan bahwa pengguna narkotika tidak boleh dipenjara,” terang Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Rabu, (22/01/2025), di Jakarta.

Berdasarkan perkembangan terbaru ini, LBHM menyampaikan beberapa tuntutan:

  1. Mendesak pemerintah untuk mengembalikan tujuan amnesti pada pemenuhan keadilan dan Hak Asasi Manusia, khususnya untuk memperbaiki kesalahan penghukuman dalam kasus narkotika dan kasus kebebasan berpendapat.
  2. Memaksa pemerintah untuk mencabut syarat wajib mengikuti rehabilitasi dan Komcad pasca amnesti.
  3. Mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan program amnesti sesuai dengan standar-standar HAM yang ada, yakni dengan membuka partisipasi terpidana untuk menentukan apa yang ia hendak lakukan setelah amnesti; memastikan tidak ada diskriminasi berbasis usia, gender, atau status sosial lain dalam pemberian amnesti; memberikan informasi yang memadai kepada terpidana dan publik atas ketentuan amnesti.
  4. Untuk meredakan anggapan bahwa amnesti akan menyebabkan keresahan di masyarakat, pemerintah perlu memastikan bahwa sistem dukungan bagi mereka yang baru menjalani amnesti agar mereka bisa menempuh reintegrasi di masyarakat. Dukungan ini meliputi tapi tidak terbatas pada, pembiayaan kepulangan mereka ke keluarga, menghubungkan para penerima amnesti dengan fasilitas layanan kesehatan di luar penjara, memberikan layanan perlindungan sosial yang sesuai dalam bentuk jaminan sosial dan bantuan sosial.

Jakarta, 22 Januari 2025

Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)

[1] Haryanti Puspa Sari, Dani Prabowo, “Yusril Sebut Prabowo Ingin Napi Narkotika yang Terima Amnesti Direhabilitasi dan Ikut Komcad”, Kompas.com, 21 Januari 2025. Diakses di https://nasional.kompas.com/read/2025/01/21/15584841/yusril-sebut-prabowo-ingin-napi-narkotika-yang-terima-amnesti-direhabilitasi.

[2] Ibid.

[3] BNN, BRIN, BPS, Laporan Hasil Pengukuran Prevalensi Narkoba Tahun 2023, Hal. 53.

[4] “Menggugat Komponen Cadangan,” imparsial.org, 30 Juni 2022, diakses di https://imparsial.org/menggugat-komponen-cadangan-2/

[5] Konsorsium Pembaruan Agraria, Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi dari Enam Negara Asia, 27 Februari 2024. Diakses di https://www.kpa.or.id/2024/02/27/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dari-enam-negara-asia/

[6] Aryo Bhawono, KPA Catat 212 Letusan Konflik Agraria di 2022, betahita, 13 Januari 2023. Diakses di https://betahita.id/news/detail/8356/kpa-catat-212-letusan-konflik-agraria-di-2022.html?v=1673576856

[7] Hisyam Ikhtiar, Analisis Kebijakan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat).

[8] “The Jakarta Statement Menuju Standar International Perlakuan Narapidana Lansia,” ditjenpas.go.id, 19 Desember 2019, diakses di https://www.ditjenpas.go.id/the-jakarta-statement-menuju-standar-international-perlakuan-narapidana-lansia