Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Peringatan Darurat: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP

Pada Kamis, 13 November 2025, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Kementerian Sekretariat Negara telah selesai melakukan Pembahasan RUU KUHAP dan melakukan pengambilan keputusan Tingkat I hanya dalam waktu dua hari.

Artinya RUU KUHAP ini tinggal selangkah lagi untuk disahkan menunggu sidang paripurna yang rencananya akan dijadwalkan Minggu depan.

Selama pembahasan RUU KUHAP ini, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai terdapat tumpukan masalah dari aspek proses pembahasan dan substansi yang diputuskan. Proses pembahasan nampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026.

Terlebih surat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan  KUHAP perihal  permohonan respons atas masukan selama Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) maupun masukan tertulis  yang  disampaikan  langsung,  luput  direspons  bahkan   dipertimbangkan  dan diakomodir dalam pembahasan RUU KUHAP.

Pada sisi lain dari aspek substansi, pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang sudah disetujui di tingkat I ini memuat pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang, di antaranya:

Semua Bisa Dijebak Aparat

Operasi undercover  buy (pembelian  terselubung)  & controlled  delivery (pengiriman  di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus yakni narkotika. Dalam RUU KUHAP kewenangan ini menjadi metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).

Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.

Semua Bisa Kena Diamankan, Ditangkap, dan Ditahan Tanpa Kejelasan, Bahkan di Tahap Penyelidikan Saat Belum Ada Tindak Pidana

Semua bisa kena melalui pasal karet dengan dalih mengamankan khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana (Pasal 5). Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP existing, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.

Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, Penggeledahan, dan bahkan Penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.

Semua Bisa Kena Tangkap-Tahan Sewenang-Wenang Tanpa Izin Hakim

Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui   pemeriksaan habeas   corpus,   serta   penyimpangan   aturan   mengenai   masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1×24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP juga tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93).

Semua Bisa Kena Geledah, Sita, Sadap, dan Blokir Menurut Subjektivitas Aparat Tanpa Izin Hakim

Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A). RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124).

Semua Bisa Kena Peras dan Dipaksa Damai dengan Dalih “RJ”, Bahkan di Ruang Gelap Penyelidikan

Dalam Pasal 74a RUU KUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan belum terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?

Selain itu hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun, ini menjadi ruang gelap di penyelidikan.

RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ) karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan  hanya  akan dianggap  stempel,  tanpa  memandatkan  kepada hakim untuk melakukan  pemeriksaan  secara  substansial  (judicial  scrutiny) dan  memberikan  opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat (Pasal 78, 79).

Semua Bisa Polisi Kuasai

Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8). Padahal selama ini masih memiliki beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana.

Semua Penyandang Disabilitas Bisa Tanpa Perlindungan

Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang  layak bagi penyandang disabilitas  yang berhadapan  dengan  hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif. Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.

Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang- wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum.

Semua Bisa Kena, Semua Bisa Jadi Korban, Semua Bisa Direkayasa Jadi Tersangka, dan Semuanya Terjadi karena RKUHAP Dipaksakan Terburu-buru

RUU KUHAP berlaku tanpa masa transisi, langsung mengikat jutaan aparat dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan mulai 2 Januari 2026. Terdapat lebih dari 10 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang akan dikebut dalam waktu setahun (Pasal 332 dan 334).

Artinya, potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan. Koalisi juga sudah sering menyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial KUHP Baru ternyata juga belum diatur secara memadai dalam draf terakhir RUU KUHAP yang diputuskan dalam Tingkat I.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami menyerukan agar:

  1. Presiden menarik  draf  RUU KUHAP per 13 November 2025 untuk tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna;
  2. Pemerintah dan DPR merombak substansi  draf RUU KUHAP per 13 November 2025  dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check   and   balances,   sebagaimana   usulan   konsep-konsep    dalam  Draf Tandingan  RUU KUHAP  versi Masyarakat Sipil ; dan
  3. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHP Baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah.

 

Jakarta, 14 November 2025

-Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

 

Langkah Antisipasi Yang Minim Partisipasi: Pernyataan Sikap Terhadap RANPERDA Kota Bandung Tentang Penyimpangan Seksual

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang memasukkan ragam orientasi seksual homoseksual dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Upaya legislasi ini memperlihatkan adanya upaya untuk membuat kepanikan moral sebagai justifikasi membuat aturan punitif yang mengada-ada.

Ketua   Komisi   I   DPRD   Kota   Bandung,   Radea   Respati   menyatakan   bahwa   regulasi   ini mengantisipasi  potensi perilaku menyimpang di masyarakat, mengutip perilaku LGBT sebagai ancaman serius bagi generasi muda.   Walikota Bandung, Muhammad Farhan, juga menyetujui Ranperda ini lewat jawaban tertulis pada 7 Oktober 2025, dengan menyatakan siap mendukung Ranperda  tersebut  sebagai  upaya  menjaga  ketertiban  dan  perlindungan  bagi  warga  Kota Bandung.

Mempelajari situasi ini dan membaca draft Ranperda yang beredar, KAIN menggarisbawahi tiga kesesatan pikir yang terefleksi dalam aspek formil dan materiil pembuatan perda ini:

Pertama, dalam aspek formil, pembuatan peraturan daerah ini lemah dalam mengakomodir asas partisipasi  publik.  Berdasarkan  penelusuran  di  media  online  dan  juga  di  situs  DPRD  Kota Bandung (https://dprd.bandung.go.id/), belum ada rapat yang menghadirkan kelompok masyarakat sipil. Pembahasan hanya menyertakan fraksi-fraksi yang ada di DPRD Kota Bandung dan beberapa pihak eksekutif, seperti Dinkes, Bag. Hukum Setda dan Tim Naskah Akademik, seperti yang ditunjukkan dalam agenda DPRD Kota Bandung tanggal 5 November 2025.3

Unsur  partisipasi  publik  juga  sulit  terpenuhi  tanpa  ada  transparansi  dalam  pembentukan undang-undang.  Sejauh  ini  tidak ada naskah akademis dan naskah RUU yang dipublikasikan secara resmi di situs DPRD atau Pemkot, sehingga masyarakat sipil tidak bisa menilai sebenarnya urgensi dari adanya aturan ini.

Tanpa ada partisipasi publik, data yang digunakan sebagai dasar pembuatan Ranperda jadi dipertanyakan. Malah, dalam keterangannya pada media tanggal 3 November, Anggota Panitia Khusus (Pansus) 14 DPRD Kota Bandung yang menuliskan rancangan kebijakan daerah ini, drg. Susi Sulastri, menyatakan bahwa mereka masih akan bertanya kepada akademisi data kasus penyimpangan seksual di Kota Bandung.4  Dengan demikian, ada pertanyaan besar apakah naskah Ranperda yang sudah beredar ini dibuat tanpa mengetahui data atas permasalahan yang hendak dipecahkan oleh Ranperda ini.

Seharusnya pihak DPRD dan Pemkot bisa belajar dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Asas Partisipasi  Publik  sebagaimana  yang     pernah  disampaikan  dalam  Putusan  MK No.91/PUU-XVIII/2020  bahwa  partisipasi  publik  menyangkut  hak  untuk  didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak  untuk  mendapatkan  penjelasan  atau  jawaban  atas  pendapat  yang  diberikan  (right to be explained).

Kedua,  pasal  dalam  Ranperda  tersebut  masih  keliru  dalam  menempatkan  orientasi  seksual sebagai penyimpangan seksual. Pasal 9 dalam Ranperda ini menggolongkan homoseks dan lesbian sebagai bentuk perilaku penyimpangan seksual. Keragaman orientasi seksual ini disejajarkan dengan bentuk penyimpangan seksual lain, seperti pedofilia, nekrofilia, dan inses.

Menyetarakan orientasi seksual homoseksual sebagai penyimpangan bertolak belakang dengan perkembangan pengetahuan dan ilmu kesehatan. Pedoman kesehatan internasional seperti Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V dan International Classification of Diseases (ICD) 10 sudah menghapus homoseksual sebagai bentuk gangguan jiwa karena ketiadaan bukti ilmiah dan diagnosis semacam itu lebih sering menyakiti kesehatan jiwa individu homoseksual.

Perspektif medis yang sama juga diikuti oleh organisasi profesi kesehatan jiwa di Indonesia. Poin F66 Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III  Kementerian Kesehatan Republik  Indonesia  menyebutkan  bahwa  “orientasi  seksual  sendiri  jangan  dianggap  sebagai sebuah gangguan.”

Dengan demikian, tidak ada dasar yang jelas dalam memasukkan homoseksual dan lesbian dalam bentuk-bentuk  perilaku  penyimpangan  seksual. Beberapa  pernyataan  publik  yang  ditangkap media memperlihatkan penggolongan ini semata-mata dilakukan karena ketidaktahuan dan ketakutan yang tidak berdasar pada individu homoseksual.

Ketiga, narasi rehabilitasi dan preventif yang seolah-olah humanis dalam Ranperda ini berpotensi menyesatkan (misleading) karena berpotensi mengarah ke terapi konversi. Pasal 15 Ayat (1) Ranperda  menyatakan  bahwa  pemerintah daerah akan melakukan konseling terintegrasi yang mengikutsertakan ahli psikiatri, psikolog, dan pembimbing keagamaan bersertifikat pada setiap unit pelayanan konseling. Selain itu, menurut Pasal 17 Ayat (2), Pemerintah Daerah juga akan melakukan pengawasan di tempat-tempat yang berisiko tinggi, seperti gymnastic, tempat hiburan, dan tempat lainnya dengan memperhatikan laporan masyarakat.

Jika orientasi seksual tetap dianggap sebagai penyimpangan, praktik konseling yang dimaksud akan memenuhi praktik terapi konversi, yakni merupakan upaya paksa sistematis yang dilakukan oleh  berbagai  pihak  untuk  mengubah  orientasi  seksual  dan/atau  identitas  gender seseorang. Praktik ini sudah dikecam oleh berbagai ahli HAM karena meningkatkan risiko gangguan stres dan trauma, depresi berat, dan ide bunuh diri.

Karena penderitaan yang dihasilkan dari terapi konversi ini serta praktik diskriminatif yang dilakukannya hanya untuk menyasar kelompok keberagaman gender dan seksualitas, model konseling terintegrasi dalam Ranperda ini bisa digolongkan sebagai penyiksaan. Berbagai aturan hukum internasional dan nasional, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovensi Menentang Penyiksaan, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengkriminalisasi tindakan penyiksaan.

Selain   itu,   model   pengawasan   yang   diamanatkan   dalam   Ranperda   ini   juga   berpotensi mempertebal aksi main hakim sendiri. Pasal 17 Ayat (2) Ranperda menjelaskan bahwa masyarakat bisa melaporkan tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat yang berisiko terdapat penyimpangan seksual. Dalam banyak kasus persekusi individu LGBTIQ+, dukungan untuk melakukan    persekusi    seringkali    datang    dari    pihak    yang    melaporkan   dugaan   adanya aktivitas/pesta LGBT’ tanpa bukti.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, KAIN mengecam upaya pembatasan ruang sipil bagi individu LGBTIQ+ yang termuat dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Inisiasi dan pembahasan tanpa faedah, tanpa partisipasi, dan tanpa keberpihakan pada yang rentan, hanya akan melemahkan prinsip HAM dan demokrasi di Kota Bandung. Untuk itu, KAIN mendesak:

  1. Menghapus seluruh bagian dalam Ranperda yang memasukkan “orientasi seksual” ke dalam kategori perilaku atau penyimpangan seksual. Raperda ini secara keliru menyamakan orientasi seksual dengan kejahatan atau gangguan, yang tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, tetapi juga dapat mendorong kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.
  2. Menghapus   penyebutan  “homoseks”  dan  “lesbian”  dalam  daftar  pelaku  atau bentuk  penyimpangan  seksual  sebagaimana  tercantum  dalam  Pasal  9. Pencantuman   ini   tidak   memiliki   dasar   ilmiah   maupun   hukum,   dan   berpotensi memperkuat stigma serta diskriminasi terhadap warga negara karena orientasi seksualnya.
  3. Memastikan bahwa seluruh ketentuan dalam Ranperda berfokus pada pencegahan kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan perilaku yang secara nyata mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran hukum. Regulasi daerah semestinya diarahkan  untuk  melindungi  korban,  bukan  memperluas  stigma  terhadap  kelompok rentan yang tidak melakukan tindak pidana.
  4. Melakukan peninjauan ulang  substansi Raperda  secara  transparan  dan partisipatif, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, tenaga kesehatan, tokoh agama inklusif, serta kelompok rentan

—–

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 52 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung:

  1. Albert Wirya, LBH Masyarakat (+6285939676730 – awirya@lbhmasyarakat.org)
  2. Richa F. Shofyana, Crisis Response Mechanism Consortium (+6281313135993 – contact@crm-consortium.org)

Referensi:

  1. Rifat Alhamidi,  “DPRD Kota Bandung Susun Regulasi Antisipasi Perilaku Seksual Menyimpang,”  detik.com, 28 Oktober 2025, diakses di  https://w w w.detik.com/jabar/berita/d-8181516/dprd-kota-bandung-susun-regulasi-antisipasi-perilaku-seksual-menyimpang
  2. Diskominfo Kota Bandung, “Wali Kota Bandung Sampaikan Jawaban atas Pandangan Fraksi soal Empat Raperda,” jabarprov. go.id, 10 Oktober 2025, diakses di https://w w w.jabarprov. go.id/berita/wali-kota-bandung-sampaikan-jawaban-atas-pandangan-fraksi-soal-empat-raperda-21419
  3.  https://dprd.bandung. go.id/agenda/agenda-kegiatan-rabu-5-november-2025
  4. Yeni Siti Apriani, “Susi Sulastri: Pencegahan dan Pengendalian Masalah Penyimpangan Seksual Butuh Payung Hukum yang Kuat,”  koran-gala.id, 3 November 2025, diakses di https://w w w.koran-gala.id/news/58716190815/susi-sulastri-pencegahan-dan-pengendalian-masalah-penyimpangan-seksual-butuh-payung-hukum-yang-kuat

Perlu Hati-Hati dalam Pembahasan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pada hari Jumat, tanggal 17 Oktober 2025, bertempat di Hotel Manhattan, Koalisi Masyarakat Sipil telah melaksanakan kegiatan Konsinyering RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka merespons pemerintah yang sedang membuat Rancangan Undang-Undang baru untuk menggantikan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU PNPS No. 2/1964), sebagai amanat dari  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan mulai berlaku Januari 2026.

Kegiatan konsinyering ini mengundang tiga narasumber yakni, Kementerian Hukum, diwakili oleh Retno Endah Kumalasari Sunaringtyas, Kejaksaan Agung  yang diwakili oleh Ade Nandar Silitonga dan Komnas HAM diwakili oleh Putu Elvina. Para narasumber secara garis besar memaparkan perkembangan pembentukan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, situasi penerapan hukuman mati di Indonesia dan kondisi terpidana mati yang tersebar di Lapas Indonesia.

RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang sedang dibuat oleh pemerintah memuat perubahan yang signifikan, total ada tujuh bab termasuk di dalamnya memuat tentang hak-hak terpidana mati, kewajiban terpidana mati, persyaratan pelaksanaan pidana mati sampai dengan konsekuensi  hukum  yang  harus  diberikan  apabila terpidana mati tidak jadi dieksekusi. Di samping itu, RUU ini juga memuat tentang jangka waktu putusan pelaksanaan pidana mati pasca adanya surat penetapan pelaksanaan pidana mati yang keluarkan oleh Kejaksaan Agung selaku eksekutor.

Dalam konsinyering ini, para peserta dari kelompok masyarakat sipil juga mempertanyakan beberapa  pasal  yang  masih dianggap bermasalah dalam draft yang ada sekarang. Salah satunya tentang pemberitahuan atas pelaksanaan penetapan eksekusi mati kepada terpidana mati  masih  sangat singkat, terpaku pada ketentuan Pasal 6 UU PNPS No. 2/1964, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemberitahuan tentang eksekusi mati dilaksanakan tiga kali dua puluh empat jam (3 hari) sebelum dieksekusi mati. Berkaca pada tiga gelombang eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 dan 2016, waktu 3 hari tidaklah cukup untuk terpidana mati dapat mengakses semua hak-haknya, salah satunya adalah hak atas  berkomunikasi  dengan  keluarga  dan  hak  atas  mengajukan  pembelaan diri bilamana terdapat pelanggaran hak-hak kepada terpidana mati.

Permasalahan  lain  yang  mencuat  di  diskusi hari ini yaitu terkait mekanisme pengawasan eksekusi  mati.  Meskipun  pada Pasal 13 ayat (1) RUU ini menjelaskan bahwa penetapan eksekusi mati juga diberitahukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tidak ada ketentuan kewenangan pengawasan dan pengaduan yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Padahal mekanisme penjatuhan hukuman yang sangat final ini jelas membutuhkan pengawas independen  yang  mampu  untuk  memastikan  semua  hak  terpidana  mati  telah  terlaksana sebelum eksekusi. Oleh karena itu penting untuk mencantumkan mekanisme pengawasan dan pengaduan yang jelas dalam hal terjadi pelanggaran hukum pada pelaksanaan eksekusi mati.

Peserta konsinyering juga mempertanyakan beberapa pasal-pasal yang masih memuat keambiguan,  kesalahan,  dan  ketidakjelasan.  Misalnya,  pada  Pasal  8  Ayat  (3)  tentang penundaan   eksekusi   pada   perempuan   yang   sedang   menyusui   anaknya   yang   masih memberikan pilihan 40 hari atau 2 tahun. Selain itu, ada beberapa hak yang dianggap kelompok masyarakat sipil pendamping terpidana mati yang krusial selama proses eksekusi yang belum terwakili pada Pasal 3 tentang hak. Ada juga masalah soal ketiadaan peran penasihat hukum terpidana meskipun menjadi salah satu pihak yang diberitahukan tentang penetapan eksekusi.

Berdasarkan   diskusi   konsinyering   ini,   kelompok   masyarakat   sipil   bersepakat   bahwa pengesahan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati tidak boleh dilakukan terburu-buru. Target dilegislasikannya RUU ini pada akhir tahun tidak boleh mengorbankan aspek-aspek pelindungan dan pemenuhan HAM yang menjadi semangat pembaruan KUHP. Konsinyering ini menunjukkan  bahwa  pemerintah  dan  parlemen  harus  mendengarkan  secara  menyeluruh pihak-pihak yang selama ini bertemu, berinteraksi, dan mengamati isu hukuman mati, sehingga naskah RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati betul-betul menunjukkan cara Indonesia untuk mencari jalan tengah antara kaum abolitionis dan retensionis.

Jakarta, 17 Oktober 2025

Narahubung:

Awaludin Muzaki (0812-9028-0416)
Asry Alkazahfa (0852-9466-0049)

Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2025 “Hukuman Mati Membunuh Orang, Bukan Kejahatan!”

Setiap tanggal 10 Oktober, selain memperingati Hari Kesehatan Jiwa Internasional, dunia kembali diingatkan lewat peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati, bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa ditawar. Namun di Indonesia, keyakinan itu masih berhadapan dengan kebijakan pidana mati yang terus dipertahankan, meski eksekusi terakhir telah berlangsung sembilan tahun lalu (2016). Hingga hari ini, ratusan orang masih hidup di bawah bayang-bayang kematian, menunggu vonis yang tidak manusiawi di ruang-ruang penjara yang lembab dan penuh ketidakpastian.

Tahun 2025 menjadi masa transisi pemerintahan baru dan menjelang pemberlakuan penuh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta aturan turunannya pada 2026. Transisi ini seharusnya menjadi kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk berpaling dari hukuman yang paling kejam dan tidak dapat dipulihkan. Namun, tanda-tanda keberanian itu belum tampak. Di berbagai pengadilan, vonis mati masih dijatuhkan, terutama dalam perkara narkotika.

Per 31 Desember 2024, berdasarkan data ICJR, ada 562 terpidana mati yang berada di deret tunggu (death row) eksekusi mati di Indonesia. Sementara berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan per 9 Oktober 2025, jumlah terpidana mati menjadi 596 orang. Bahkan per 22 April 2025, terdapat 116 lebih orang sudah duduk dalam death row lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan status. Situasi ini menegaskan bahwa pidana mati tidak hanya kejam, tetapi juga memperpanjang penderitaan dan memperlihatkan wajah nyata dari penyiksaan yang dilegalkan oleh negara.

KUHP Baru: Pentingnya Audit atas Praktik Pidana Mati dan Jaminan Perubahan Hukuman (komutasi) sebagai Agenda HAM Pemerintahan Baru

Masa transisi menuju implementasi KUHP baru menjadi titik krusial bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk meninjau kembali praktik pidana mati. KUHP baru memang memperkenalkan konsep “pidana mati bersyarat” dengan masa percobaan sepuluh tahun (Pasal 100), namun tanpa adanya mekanisme pemantauan dan evaluasi yang transparan serta akuntabel, konsep tersebut hanya akan menjadi kosmetik hukum.

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menekankan perlunya pemantauan dan audit independen terhadap kondisi para terpidana mati serta pelaksanaan pasal-pasal pidana mati di bawah rezim KUHP baru. Audit ini harus memastikan adanya akuntabilitas publik, transparansi data, dan pengawasan atas potensi penyiksaan serta pelanggaran hak asasi dalam proses peradilan.

KUHP Baru mencoba menghadirkan “jalan tengah” dalam praktik hukuman mati, dengan menjamin adanya mekanisme perubahan hukuman atau komutasi yang seharusnya diterapkan secara nyata. Pasal 100 dan Pasal 101 aturan itu menjelaskan bahwa pidana mati tidak dapat dieksekusi langsung, namun harus menunggu selama 10 tahun. Jika dalam masa 10 tahun tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati diubah menjadi seumur hidup (Pasal 100 KUHP Baru). Jika terpidana mati telah gagal menjalani masa percobaan tersebut namun tak kunjung dilakukan eksekusi, maka pasca 10 tahun tanpa kejelasan maka pidana mati tersebut harus diubah secara otomatis menjadi seumur hidup (Pasal 101 KUHP Baru). 

Ketentuan ini sesuai dengan prinsip hukum pidana, bahwa ketentuan yang lebih ringan harus berlaku bagi terpidana setelah aturan baru diberlakukan. Karena itu, mereka yang berada dalam deret tunggu hukuman mati berhak memperoleh keuntungan dari penerapan KUHP baru. JATI mendorong agar 116 terpidana mati yang telah menunggu lebih dari 10 tahun dalam kondisi memprihatinkan diberikan komutasi otomatis dan kolektif segera setelah KUHP baru berlaku pada 3 Januari 2026, sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM di awal pemerintahan Presiden Prabowo.

Keadilan yang Inklusif: Gender dan Disabilitas

Keadilan tidak akan pernah tercapai jika sistem hukum yang ada saat ini terus mengabaikan kerentanan para kelompok rentan. Dalam praktiknya, perempuan, orang dengan disabilitas, dan warga negara asing serta kelompok miskin, masih menghadapi hambatan besar dalam mengakses peradilan yang adil (fair trial). Laporan pemantauan dan pendokumentasian Komnas HAM pada 2024 lalu menemukan bahwa banyak perempuan yang dijatuhi vonis mati dalam kasus narkotika karena paksaan, ancaman, ketergantungan ekonomi, atau eksploitasi dalam jaringan perdagangan orang. Penelitian ICJR tentang perempuan pada pusaran pidana mati juga menemukan pola yang sama, yaitu perempuan dalam pusaran pidana mati bukan pelaku utama tindak pidana, mereka mengalami kekerasan berbasis gender hingga jeratan hubungan romantis, serta dalam kasus yang dialaminya mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil.

Demikian pula, orang dengan disabilitas intelektual dan psikososial sering kali tidak mendapatkan akomodasi yang layak selama proses hukum—mulai dari penyidikan hingga persidangan. Laporan Ombudsman RI pada tahun 2021 menemukan, dari 7 kepolisian di tingkat daerah yang menjadi objek kajian Ombudsman RI, faktanya institusi kepolisian masih belum menyediakan akomodasi yang layak bagi kelompok disabilitas ketika berhadapan dengan hukum seperti Pendamping Disabilitas, Penerjemah; dan/atau petugas lain yang terkait. Justru, pendampingan itu lebih sering datang dari organisasi-organisasi seperti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), yang selama ini memperjuangkan hak-hak kelompok disabilitas. Padahal, dalam konteks ini, negara wajib menjamin keadilan berbasis gender dan disabilitas, sebagaimana telah diamanatkan oleh prinsip kesetaraan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).

Pencegahan Penyiksaan dan Fair Trial sebagai Fondasi Reformasi KUHAP terkait aturan Pidana Mati

Reformasi hukum yang sejati hanya dapat terwujud apabila negara serius menegakkan larangan penyiksaan dan menjamin hak atas peradilan yang adil. Laporan dari berbagai pihak masih menunjukkan adanya praktik penyiksaan dalam proses penyidikan, pengakuan paksa, hingga penahanan yang tidak manusiawi.

Data Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tahun 2024 menunjukkan, dari 576 orang yang mendapatkan penyuluhan hukum di tiga Rumah Tahanan (Rutan) Jakarta, sebanyak 126 orang yang berhadapan dengan hukum mengaku bahwa mereka mengalami penyiksaan dari aparat penegak hukum di tingkat Kepolisian, 32 di antaranya merupakan kasus narkotika. Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah menerima sebanyak 176 laporan dugaan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian sepanjang 2020 hingga 2024.

Hukuman mati, yang dijatuhkan di atas fondasi penyiksaan dan pelanggaran due process of law, tidak hanya inkonstitusional—ia juga merupakan bentuk kekerasan berlapis. Pemerintah harus memastikan adanya mekanisme pencegahan penyiksaan yang kuat dan pengawasan independen terhadap semua proses hukum yang berpotensi berujung pada hukuman mati. Cara untuk menjamin tersebut adalah mengatur hukum acara pidana untuk orang-orang yang berhadapan dengan pidana dengan standar yang sangat tinggi. Peluang tersebut saat ini ada dalam RUU KUHAP yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR. 

RUU KUHAP harus mengakomodir jaminan perlindungan hak-hak fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak) terhadap seseorang yang diancam pidana mati dengan sangat tinggi, mulai dari jaminan proses peradilan dalam bahasa yang dimengerti, ketersediaan advokat yang kompeten untuk mendorong optimalisasi akses upaya hukum,  jaminan waktu yang memadai untuk mengajukan pembelaan efektif, hingga diaturnya konsekuensi pelanggaran hak-hak fair trial. Selain itu, dalam memastikan pelaksanaan dilakukan dengan kehati-hatian yang tinggi, penting diperhatikan bahwa pidana mati tidak dapat dijatuhkan apabila terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) di antara hakim dalam menjatuhkan pidana mati, sehingga harus dengan permufakatan bulat dan tidak boleh melalui sistem voting. Upaya hukum yang ditempuh terpidana termasuk proses Peninjauan Kembali (PK) dan grasi juga semestinya menangguhkan eksekusi terhadap terpidana mati.

Transparansi dan Akuntabilitas Publik

Salah satu persoalan paling mendasar dalam praktik pidana mati di Indonesia adalah tertutupnya akses informasi publik. Sekalipun pemerintah lewat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membuka data bahwa per 3 Oktober 2025 ada 596 terpidana mati yang terkatung-katung nasibnya, namun informasi itu tanpa dibarengi dengan rincian mengenai status hukum, lama penahanan, kondisi kesehatan mental, atau peluang pengajuan grasi. Ketertutupan informasi ini dapat menghambat pemantauan publik dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pidana mati.

Padahal, KUHP baru (Pasal 100) mensyaratkan adanya penilaian terhadap perubahan sikap dan perbuatan terpuji sebagai dasar untuk mengubah pidana mati menjadi seumur hidup. Persoalannya: siapa yang menilai, dengan kriteria apa, dan bagaimana prosesnya diawasi masih belum diatur secara rinci. Tanpa transparansi dan partisipasi publik, mekanisme ini rentan menjadi sekadar formalitas administratif yang dilakukan tertutup di balik pintu birokrasi.

Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas publik ini tidak hanya mengancam prinsip keadilan, tetapi juga berpotensi melanggar kewajiban negara dalam menjamin hak atas informasi publik sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 ICCPR. Dalam konteks hukuman mati, keterbukaan informasi bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan instrumen pencegahan penyiksaan dan kesewenang-wenangan. Ketika proses penilaian, asesmen, dan pelaksanaan hukuman dilakukan dalam ruangan gelap, peluang terjadinya pelanggaran hak asasi bakal meningkat tajam.

Peran Kepemimpinan Indonesia di ASEAN

Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kawasan ASEAN menuju penghapusan pidana mati total. Sebab, negara-negara tetangga seperti Malaysia, baru-baru ini telah menghapus hukuman mati wajib dan melakukan resentencing bagi ribuan terpidana.

Sudah saatnya Indonesia berperan sebagai pemimpin regional dengan membuka dialog konstruktif tentang abolisi hukuman mati di wilayah ASEAN, agar menunjukkan bahwa keadilan tidak identik dengan balas dendam, melainkan dengan pemulihan.

Indonesia juga seharusnya mampu untuk mengambil langkah proaktif untuk membangun dialog-dialog konstruktif dengan perwakilan pemerintahan ASEAN. Misalnya, Indonesia bisa berperan aktif dalam memfasilitasi dialog dengan pemerintah Singapura yang dalam tiga minggu ke belakang sudah mengeksekusi dua warga negara Malaysia yang terlibat dalam perkara narkotika. Pengalaman Indonesia untuk memperjuangkan pembebasan WNI di luar negeri yang terancam hukuman mati harusnya bisa mendorong Indonesia mengambil peran kepemimpinan pada tingkat regional dan global di langkah-langkah konkrit penghapusan hukuman mati. 

Komutasi dan Eksekusi Harus Berdasar pada Prinsip Kehati-hatian yang Tinggi

Setiap terpidana mati, baik yang divonis sebelum KUHP maupun setelahnya, harus melalui masa percobaan dan mendapatkan kesempatan yang sama atas asesmen perubahan pidana mati (komutasi) menjadi seumur hidup. Penilaian komutasi harus diatur dengan standar yang jelas dan menghindari penilaian subjektif. Penilaiannya harus mempertimbangkan kondisi psikologis terpidana mati yang mengalami penyiksaan mental sebagai dampak dari fenomena deret tunggu tanpa adanya kepastian hukuman. Satu hal yang perlu dipertegas: tidak satupun terpidana mati boleh dieksekusi selama proses asesmen komutasi belum selesai. Dalam rangka menjamin kepastian eksekusi, apabila telah lewat sepuluh tahun sejak grasi yang dimohonkan terpidana mati ditolak, maka terhadap terpidana mati harus diberikan perubahan pidana secara otomatis. Dengan demikian, proses komutasi harus dibangun dengan kepastian hukum yang tidak boleh menggantungkan hak terpidana.

Dalam proses eksekusi, negara harus benar-benar memastikan prosesnya dilaksanakan dengan kehati-hatian yang tinggi. Hak-hak terpidana mati harus diatur dengan jelas mulai dari larangan penyiksaan, jaminan konsultasi kesehatan fisik dan psikis, kesempatan seluas-luasnya bagi terpidana untuk berkomunikasi dengan keluarga, serta adanya pendampingan dari advokat sejak surat perintah eksekusi dikeluarkan hingga eksekusi dilaksanakan. Pendampingan advokat penting untuk memastikan terpidana tidak dilanggar haknya lebih lanjut serta untuk memfasilitasi pengaduan atas pelanggaran hak tersebut. Pemantauan dan pengawasan dari Komnas HAM juga menjadi aspek yang tidak dapat dilepaskan dalam memastikan proses yang tidak sewenang-wenang.

Kerentanan Pekerja Migran Indonesia

Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, terdapat lebih dari 166 Warga Negara Indonesia (WNI), sebagian besar pekerja migran, yang masih terancam hukuman mati di luar negeri. Banyak di antara mereka yang terjebak dalam kasus perdagangan orang dan kejahatan narkotika lintas negara, atau dikriminalisasi dalam situasi kekerasan berbasis gender. Kondisi ini menunjukkan bahwa pekerja migran kerap berada dalam posisi paling rentan di hadapan hukum, baik karena keterbatasan akses terhadap bantuan hukum, penerjemah, maupun perlindungan diplomatik yang memadai.

Hukuman mati adalah bentuk kekerasan negara yang meniadakan ruang keadilan substantif bagi pekerja migran—terutama perempuan—yang menjadi korban dari sistem kerja eksploitatif dan ketimpangan relasi kuasa di negara penempatan. Dalam banyak kasus, pembelaan diri terhadap kekerasan justru diperlakukan sebagai kejahatan berat tanpa mempertimbangkan konteks kekerasan berbasis gender atau pemaksaan dalam jaringan perdagangan orang.

Negara tidak boleh hadir hanya setelah vonis dijatuhkan. Perlindungan harus dimulai sejak awal, melalui diplomasi perlindungan yang aktif, bantuan hukum lintas negara, dan kerja sama bilateral yang memastikan hak atas peradilan yang adil dan non-diskriminatif bagi semua pekerja migran. Upaya penyelamatan pekerja migran di luar negeri juga harus sejalan dengan komitmen di dalam negeri untuk menghentikan penerapan pidana mati, demi menghindari standar ganda yang mencederai nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu menetapkan moratorium eksekusi mati, baik di luar maupun di dalam negeri, dan menegaskan bahwa perlindungan nyawa pekerja migran adalah tanggung jawab negara. Pendekatan kemanusiaan, keadilan gender, dan non-diskriminasi harus menjadi dasar setiap kebijakan perlindungan warga negara—karena keadilan tidak akan pernah tercapai melalui pembalasan, melainkan melalui keberanian untuk menghormati kehidupan.

Desakan JATI Kepada Pemerintah Indonesia

Dalam momentum Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 2025 ini, Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menyerukan kepada pemerintah untuk:

  1. Menghapus pidana mati dari seluruh regulasi, termasuk dalam revisi UU Narkotika dan RKUHAP yang sedang berlangsung;
  2. Menetapkan moratorium total terhadap penjatuhan dan eksekusi pidana mati di seluruh Indonesia;
  3. Melaksanakan audit independen terhadap seluruh terpidana mati, termasuk mereka yang telah menjalani penahanan lebih dari 10 hingga 20 tahun, serta memastikan kondisi penahanan yang manusiawi;
  4. Sebagai bentuk pelaksanaan KUHP Baru, menetapkan komutasi kolektif sebagai agenda HAM prioritas pemerintahan baru, terutama bagi 562 terpidana mati yang sebagian besar merupakan kasus narkotika tanpa kekerasan;
  5. Membentuk mekanisme penilaian yang transparan dan akuntabel terhadap pelaksanaan Pasal 100 KUHP baru, dengan melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan organisasi masyarakat sipil;
  6. Menjamin keadilan berbasis gender dan disabilitas dalam seluruh tahapan proses hukum, mulai dari penyidikan hingga pemidanaan;
  7. Menjamin perlindungan komprehensif bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang menghadapi ancaman pidana mati di luar negeri, termasuk dengan pendekatan diplomasi aktif, bantuan hukum, dan mekanisme perlindungan berbasis HAM;
  8. Memimpin inisiatif dialog regional di ASEAN untuk mendorong penghapusan pidana mati dan memperkuat kerja sama kawasan dalam perlindungan hak hidup.

 

Jakarta, 10 Oktober 2025

Hormat Kami,

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

 


Referensi:
  1.  Ove Syaifudin Abdullah, dkk, Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2024:  Transisi Semu Menuju Transformasi, (Jakarta: ICJR, 2025), hlm 21. Diakses di https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/06/Final_Laporan-Situasi-Kebijakan-Pidana-Mati-2024.pdf 
  2. https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
  3.  Satyawanti Mashudi, dkk, Jiwa-Jiwa yang Disiksa: Laporan Pemantauan Situasi Perempuan Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2024), hlm ix. Diakses di https://komnasperempuan.go.id/laporan-pemantauan-ham-detail/laporan-pemantauan-situasi-perempuan-terpidana-mati-di-lembaga-pemasyarakatan-perempuan-lpp 
  4.  Adhigama A. Budiman, dkk, Yang Luput Dibahas: Perempuan dalam Pusaran Pidana Mati, (ICJR, 2021) diakses di: Yang Luput Dibahas: Perempuan dalam Pusaran Pidana Mati 
  5.  Tim Penyusun Ombudsman RI, Laporan Kajian Singkat Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Penyidikan, (Jakarta: Ombudsman RI, 2021), hlm 32. Diakses di https://www.ombudsman.go.id/produk/lihat/647/LP_file_20211008_145154.pdf 
  6.  Database Internal LBH Masyarakat Tahun 2024.
  7.  Noor Latifah Adzhari, Selama 2020-2024, Komnas HAM Terima Ratusan Laporan Penyiksaan oleh Polisi, 26 Juni 2025, akurat.co. Diakses di https://www.akurat.co/nasional/1306190860/selama-2020-2024-komnas-ham-terima-ratusan-laporan-penyiksaan-oleh-polisi
  8.  Data Ditjenpas diambil dari situs https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 3 Oktober 2025. 
  9.  Eri Sutrisno, Diplomasi dan Pendampingan Hukum: Harapan Baru bagi WNI Terancam Hukuman Mati, 2 Juli 2024, indonesia.go.id. Diakses di https://indonesia.go.id/kategori/editorial/8409/diplomasi-dan-pendampingan-hukum-harapan-baru-bagi-wni-terancam-hukuman-mati?lang=1 

Permohonan Praperadilan Atas Panen Pelanggaran, Polda Metro Jaya Harus Jujur dan Transparan

Jakarta, 3 Oktober 2025 – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap upaya paksa dan penetapan tersangka yang dilakukan kepada Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar dan Muzaffar Salim masing-masing sebagai Pemohon. Permohonan ini diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka serta serangkaian tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, serta penyitaan terhadap keempat aktivis muda yang saat ini masih mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Permohonan ini ditujukan kepada Direktur Reserse Kriminal Umum dan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jakarta Raya selaku Termohon.

TAUD menemukan terdapatnya lapisan pelanggaran pada serangkaian tindakan hukum yang dialami Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim dan Khariq Anhar. Pelanggaran sebagaimana dimaksud antara lain:

Pertama, penangkapan dilakukan dengan cara-cara intimidatif, tidak humanis dan tanpa menunjukkan surat tugas. Bahkan, penangkapan dengan dilakukan selama lebih dari 1×24 jam.. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur pada Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 6/2019 serta Perkabareskrim Nomor 1/2022;

Kedua, penggeledahan dan penyitaan paksa. Pengaksesan terhadap ruang-ruang privat para Pemohon dilakukan tanpa adanya surat izin pengadilan. Tindakan ini bukan hanya melanggar prosedur, tapi juga merupakan bentuk pengkerdilan terhadap harkat-martabat para Pemohon sebab kepolisian telah menerabas batas-batas otonomi pribadi

Ketiga, penetapan tersangka secara serampangan. Status tersangka ditetapkan tanpa adanya minimal dua alat bukti yang sah dan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana yang dipersyaratkan hukum acara. Lebih jauh, alat bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahkan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan pasal-pasal yang dituduhkan. Artinya, konstruksi hukum yang digunakan Polda Metro Jaya tidak hanya asal-asalan, tetapi juga sesat secara prosedur;

Keempat, penahanan sebagai akibat dari rangkaian tindakan tidak sah. Karena penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka dilakukan secara serampangan, maka penahanan sebagai konsekuensi hukum dari tindakan-tindakan tersebut otomatis menjadi tidak sah.

Lapisan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Termohon bukan hanya merupakan pelanggaran administratif semata, lebih dari itu, hal tersebut merupakan bentuk perampasan kemerdekaan. Penetapan tersangka serta rangkaian upaya paksa merupakan bentuk pembatasan hak, untuk itu, penerapannya harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kehati-hatian sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memastikan bahwa proses penegakan hukum diselenggarakan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan prosedural merupakan bukti nyata bahwa kepolisian mengabaikan hak konstitusional para Pemohon;

Lebih dari itu, para Pemohon yang kini ditahan adalah aktivis muda, warga negara yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Pemidanaan terhadap ekspresi politik yang sah dalam rangka berpartisipasi di negara demokrasi merupakan praktik kriminalisasi yang berdampak pada keroposnya ruang sipil. Apalagi jika pemidanaan tersebut dilakukan secara serampangan sebagaimana praktik Polda Metro Jaya saat ini. Rangkaian tindakan dari hulu hingga hilir mencerminkan pencederaan terhadap prinsip negara hukum, pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, serta ancaman nyata bagi ruang kebebasan sipil yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Pengajuan praperadilan ke pengadilan menjadi jalur hukum penting dalam rangka memulihkan hak-hak para Pemohon yang dilanggar akibat proses penegakan hukum serampangan oleh kepolisian. Melalui mekanisme ini pula, TAUD menuntut “keberanian” Polda Metro Jaya untuk menjalani proses secara jujur, adil, dan tanpa manipulasi fakta, demi memastikan tegaknya keadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara sekaligus Panglima Tertinggi, untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prinsip negara hukum dan menghentikan praktik represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat;
2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjamin independensi hakim yang memeriksa perkara ini, serta memastikan jalannya sidang praperadilan berlangsung terbuka, objektif, dan tidak tunduk pada tekanan eksternal apa pun;
3. Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangan pengawasannya guna memastikan tindakan kepolisian dalam perkara ini sesuai hukum acara pidana, serta tidak mengabaikan pelanggaran prosedural yang terjadi;
4. Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap aktivis, bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya, dan bersikap gentleman menghadapi praperadilan dengan tidak melakukan intervensi maupun rekayasa fakta;
5. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM untuk turun tangan mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran prosedural serta perampasan hak-hak konstitusional para Pemohon.

hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
Narahubung:
1. Gema Gita Persada (gema@lbhpers.org)
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo (nurwidiastomo@bantuanhukum.or.id)
3. M. Al Ayyubi Harahap (Ayyubi.harahap@harisazhar.co.id)
4. Ma’ruf Bajammal (mbajammal@lbhmasyarakat.org)

The Absence of a Comprehensive Legal Framework for Anti-Discrimination Protection in Indonesia: The Urgency of an Anti-Discrimination Legislation

Discrimination continues to be a pressing issue faced by People Living with HIV (PLHIV) and Key Populations, Sexual Orientation and Gender Identity and Expression (SOGIE) communities, persons with disabilities, Indigenous peoples, women, adherents of faith and belief systems, and many other vulnerable groups. The root of the problem lies in existing policies that are partial in scope, provide limited and stagnant recognition of vulnerable identities, and remain closed-ended. As a result, the number of victims of discrimination continues to rise, while at the same time, the current legal system has yet to effectively respond to these challenges.

This discourse encouraged  the National Coalition of Vulnerable Groups Against Discrimination (KAIN) and the Department of Criminology, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia (FISIP UI), in collaboration with the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) and the Equal Rights Trust (ERT), convened the National Symposium on the Draft Bill on the Elimination of Comprehensive Discrimination (RUU PDK). The symposium was held on 16–17 September 2025 at the Department of Criminology, FISIP UI, and gathered more than 150 participants, bringing together strategic stakeholders and various groups consisting of academics, international experts, representatives of ministries/ institutions, civil society actors, foreign embassies in Indonesia, media/journalists, and students.

This symposium was born out of the need for evidence-based regulation, policies that are needs-based and problem-solving oriented, and a genuine aspiration for a law that guarantees comprehensive protection for every citizen without exception. Furthermore, this event was   the initiative of civil society coalitions to remind the state of its commitments in the Universal Periodic Review (UPR) Cycle IV of 2023 and the 2024 Concluding Observations of the Human Rights Committee on Civil and Political Rights, in which the Indonesian government agreed to  anti-discrimination legislation.

The Dean of FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, opened the symposium by emphasizing that discrimination not only impacts individuals but also undermines social cohesion and threatens political legitimacy. He stressed that comprehensive anti-discrimination law must go beyond written text to serve as a real instrument of justice, especially for the vulnerable and marginalized who have long been excluded from state protection. Similarly, Claude Cahn of OHCHR stated: “With just one law, the state can fulfill many of its international human rights obligations. This law gives people a direct tool to fight discrimination. Rights that are usually written only in constitutions or international treaties may feel distant, but with this law, people can use them in their daily lives.”

During the first plenary session, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA, Expert Staff for Development Financing Innovation at the Ministry of National Development Planning/Bappenas, emphasized that anti-discrimination legislation aligns with Indonesia’s national development framework. In the National Long-Term Development Plan (RPJPN) 2025–2045, one of the policy directions is to ensure that no one is left behind in development. Two pillars supporting this are the rule of law and access to justice. This reference  should be understood as a mandate enabling stakeholders to follow up on international recommendations for Indonesia.

To examine the RUU PDK in greater depth, the symposium featured four thematic panel discussions. 

Panel 1 explored definitions and the scope of discrimination, emphasizing that discrimination arises from failures to recognize diversity, and that its essence is injustice toward diversity. Accordingly, the bill must be based on protected grounds and adopt an open-ended definition. 

Panel 2 with the theme of enforcement mechanisms for accountability and victim redress. This theme highlights the ideal law enforcement mechanism in the bill, which is carried out through the establishment of  a new independent,  inclusive, participatory, participatory body/institution that represents various  vulnerable and minority groups, sufficiently resourced, and staffed with individuals of integrity and sensitivity to discrimination issues. This mechanism must be able to respond to all incidents of discrimination with processes that provide convenience, reliability, and certainty. They must ensure the enforcement and restoration of victims’ rights in an  accountable, effective, comprehensive, and inclusive way.

Panel 3 highlighted effective prevention measures to prevent discrimination need to include data collection for policy-making, meaningful participation of vulnerable groups in decision-making, access to justice, and the establishment of individual complaints systems. Preventive measures must be grounded in international principles and local norms that uphold diversity and be implemented through the mandates of human rights institutions, law enforcement agencies, education, culture, and local government. 

Panel 4 delved into the effective implementation of comprehensive anti-discrimination legislation.  The critical components of implementation are  ensuring  independent  enforcement bodies/institutions and conducting regulatory audits to assess the impact of the Anti-Discrimination bill .
The symposium concluded with remarks by Ratna Batara Munti, Commissioner and Vice Chair of the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), who declared full support for KAIN’s initiative to push for Indonesia’s adoption of the RUU PDK. She reaffirmed that Komnas Perempuan will actively advocate for the inclusion of the bill in the National Legislative Program (Prolegnas) priority agenda of the House of Representatives (DPR), and ensure it is deliberated and passed, using Komnas Perempuan’s mandate, functions, and authority.

Contact Persons:
Arul (KAIN) – +62 822 2406 1490
Iswan Sual (KAIN) – +62 897 8534 135

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia: Urgensi Indonesia Memiliki Legislasi Anti-Diskriminasi

Diskriminasi masih menjadi persoalan yang dialami oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci, Kelompok Keberagaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG), Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, Perempuan, Penghayat Kepercayaan, dan beragam kelompok rentan lainnya. Akar masalah tersebut muncul karena kebijakan-kebijakan yang ada memiliki pengaturan secara parsial, pengakuan identitas rentan secara terbatas dan stagnan/closed-ended. Akibatnya jumlah korban diskriminasi terus bertambah namun di saat yang bersamaan sistem hukum yang ada saat ini belum mampu merespon permasalahan tersebut.

Diskursus tersebut mendorong Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Equal Rights Trust (ERT), mengadakan Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK). Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 16 – 17 September 2025 di Departemen Kriminologi FISIP UI. Diskusi bertajuk ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan yang terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, para media/jurnalis, dan mahasiswa.

Simposium ini lahir dari kebutuhan akan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan yang berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat (need-based and problem solving oriented), serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara secara komprehensif dan tanpa pengecualian. Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi.

Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto membuka simposium dengan menyatakan bahwa diskriminasi selain berdampak ke individu juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik. Untuk itu, hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang nyata dirasakan oleh warga, terutama mereka yang rentan dan selama ini tersisih dari perlindungan negara. Di sisi lain, Claude Cahn dari OHCHR menyatakan “Dengan satu UU saja, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia. Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata.”

Dalam diskusi pleno di hari pertama, pembicara dari Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya adalah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind). Dua pilar yang menopangnya adalah pilar hukum dan pilar akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia.

Untuk membedah lebih mendalam konsep RUU PDK, simposium ini membagi menjadi empat sesi diskusi tematik. Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif. Temuan penting dalam panel ini adalah diskriminasi terjadi karena kegagalan pengakuan atas fakta keberagaman dan esensi diskriminasi adalah ketidakadilan terhadap keberagaman. Sehingga definisi diskriminasi dalam RUU PDK agar berdasar alasan yang dilindungi (protected ground) dan definisi yang bersifat terbuka (open-ended definition).

Panel dua dengan tema mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi. Tematik ini menyoroti mekanisme penegakan hukum secara ideal di RUU PDK dilakukan melalui pembentukan badan/institusi baru yang independen, inklusif, partisipatif, representasi dari berbagai keberagaman kelompok rentan-minoritas, memiliki daya yang memadai, dan terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap isu diskriminasi. Mekanisme tersebut harus mampu merespon semua peristiwa diskriminasi dengan proses yang memberikan kemudahan, keandalan, dan kepastian. Menjamin penegakan dan pemulihan hak-hak korban (victims’ rights) yang akuntabel, efektif, komprehensif dan inklusif.

Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta adanya sistem pengaduan individual. Pengaturan pencegahan perlu berbasis prinsip internasional dan norma lokal yang menjunjung keberagaman, serta dijalankan melalui mandat lembaga HAM, penegak hukum, pendidikan, budaya, dan pemerintah daerah. Panel empat membedah implementasi efektif legislasi anti-diskriminasi komprehensif. Komponen penting dalam implementasi adalah memastikan badan/institusi penegakan bersifat independen, adanya audit regulasi untuk memotret dampak RUU PDK.

Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti yang mendeklarasikan Komnas Perempuan mendukung secara penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK. Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja, fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan.

Narahubung:

Arul KAIN – 0822-2406-1490

Iswan Sual KAIN – 0897-8534-135

 

Koalisi RFP Tuntut Presiden untuk Membentuk Tim Reformasi Kepolisian yang Independen dan Menyasar Setidaknya 9 (Sembilan) Masalah Sistemik Polri

Jakarta, 15 September 2025 – Desakan Reformasi Kepolisian makin keras disuarakan publik menyusul rentetan tindakan represif dan ketidakprofesionalan polisi. Terbaru, Presiden Prabowo disebut-sebut akan membentuk tim atau komisi Reformasi Kepolisian. Rencana tersebut disampaikan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) pasca berdialog dengan Prabowo di Istana Negara pada Kamis (11/9/2025). Atas rencana tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menyampaikan pandangan dan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, tuntutan Reformasi Polri harus dimaknai sebagai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi Kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur. Buruknya kinerja Kepolisian selama ini menunjukkan persoalan POLRI berakar multi aspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan Reformasi Kepolisian yang jelas dan terukur yang sejalan dengan mandat reformasi yang termaktub dalam TAP MPR No. VI tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII tentang Peran TNI dan Polri, serta Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan hanya sekedar membentuk Tim atau komisi khusus. Peta jalan ini termasuk di dalamnya berisi komitmen atas tindak lanjut hasil kerja komisi yang perlu ditindaklanjuti presiden. Jika tidak, Tim atau komisi bentukan Presiden rentan berujung tumpul, tidak efektif menjawab akar persoalan Polri, dan lagi-lagi gagal mereformasi Polri.

Kedua, sebagai langkah awal dan bagian penting Reformasi Kepolisian , Presiden dan DPR harus menghentikan upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dan merombak secara serius draft terakhir RUU tersebut (per 13 Juli 2025). Ketentuan dalam draft tersebut justru menjadikan Kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan semakin superpower dan minim kontrol dalam fungsi penegakan hukum. Selanjutnya, Presiden dan DPR wajib memastikan revisi KUHAP memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) sebagai lembaga independen dan imparsial. Termasuk skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap dan ditahan setidaknya juga wajib diakomodir sebagai ikhtiar menjamin ketidak berulangan (guarantees of non-recurrence) praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian.

Ketiga, sehubungan dengan wacana pembentukan tim Reformasi Kepolisian:
1. Presiden memastikan tim memiliki kewenangan yang efektif dan hasil dari kinerja dari pembentukan tim khusus Reformasi Kepolisian ini tidak berakhir menjadi “laporan” semata, namun rekomendasi yang dihasilkan harus bersifat mengikat, impactful, dan menjadi dasar bagi perubahan Undang-Undang Polri. Komitmen ini penting mengingat preseden gagalnya Reformasi Kepolisian yang substansial dan progresif selama ini juga diakibatkan ketiadaan kemauan politik Pemerintah dan DPR;
2. Tim yang dibentuk mesti terdiri dari sosok yang independen, berintegritas dan representatif, melibatkan elemen masyarakat sipil dan unsur akademisi yang berani, bebas dari konflik kepentingan (termasuk meniadakan unsur polisi dan Kompolnas), memiliki concern atau rekam jejak dalam mendorong reformasi kepolisian, serta secara intensif dan sehari-harinya berhadapan langsung dengan fungsi-fungsi Polri, yakni penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan keamanan dan ketertiban;
3. Agenda Reformasi Kepolisian yang digagas melalui pembentukan tim ini harus transparans dari proses hingga hasil.

Keempat, Presiden harus memastikan bahwa agenda Reformasi Kepolisian kali ini mampu mengidentifikasi persoalan fundamental Kepolisian. Sebagai respon cepat, kami memetakan setidaknya 9 (sembilan) masalah fundamental, sistemik, dan struktural kepolisian yang sudah terlampau akut menggerogoti institusi Polri, yaitu:
1. Absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen, antara lain dalam KUHAP, termasuk praktik-praktik impunitas yang mengakar;
2. Sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan-brutalitas, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif;
3. Tata kelola organisasi yang tidak transparan dan akuntabel, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, termasuk pada sistem penganggaran;
4. Sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi;
5. Terlampau luasnya lingkup tugas dan fungsi Polri, khususnya untuk pelayanan masyarakat hingga menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk penggelembungan tugas dan wewenang melalui penyelundupan norma undang-undang;
6. Penggunaan kekuatan berlebihan, Represif, sewenang-wenang dan brutal dalam penanganan aksi demonstrasi. Dalam hal ini juga tidak relevannya instrumen Korps Brigade Mobile (Brimob) dalam institusi Polri yang menyerupai instrumen perang dari segi teknik, perlengkapan, dan taktik, hingga masalah sistem operasi. Bahkan seringkali dipergunakan untuk menghadapi warga dalam konflik agraria dan sumber daya alam
7. Buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, inklusivitas, dan negara hukum;
8. Kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), dan perilaku koruptif dalam menjalankan fungsi penegakan hukum; serta
9. Keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan);.

Agenda Reformasi Kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi jati diri Polri yang sipil (civillian police) dan demokratis dengan mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi Kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pasca transisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri.

Kami meyakini, melalui komitmen dan keberanian politik Presiden melakukan Reformasi Kepolisian dengan memastikan hal-hal tersebut di atas akan menjadi tonggak penting yang berkontribusi bagi kemajuan demokrasi, HAM, dan tegaknya konstitusionalisme di Indonesia. Hal itu akan sekaligus meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, democratic policing, dan independensi serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Tanpa komitmen atas Reformasi Polri yang lebih jelas dan sistematis tersebut, kami menilai langkah Presiden membentuk tim tersebut semata-mata hanya lips service, gimmick, dan akan mengulangi kegagalan wacana-wacana reformasi kepolisian sebelumnya, sehingga sudah sepatutnya ditolak.

Jakarta, 15 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
7. Kurawal Foundation
8. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
9. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
10. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
11. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
12. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
13. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
14. Lingkar Studi Feminis (LSF)

Putusan Pidana Mati Terhadap Kopda Bazarsah: Antara Pemenuhan Kebutuhan Korban atau Narasi Kegagahan Semata

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik vonis mati Pengadilan Militer I-04 Palembang untuk Kopda Bazarsah karena dinilai hanya menunjukkan citra gagah negara tanpa memikirkan dampak lain. Vonis ini juga tidak menyembuhkan luka keluarga korban dan bertentangan dengan semangat reformasi peradilan pidana dalam KUHP baru.

Pada tanggal 11 Agustus 2025, bertempat di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Sumatera Selatan, seorang anggota militer berpangkat Kopral Dua (Kopda), Bazarsah, dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Militer atas perbuatan pembunuhan yang dilakukannya terhadap 3 (tiga) orang polisi, yakni AKP (Anumerta) Lusiyanto (selaku Kapolsek Negara Batin), Aipda (Anumerta) Petrus Apriyanto (selaku Bintara Polsek Negara Batin), dan Bripda (Anumerta) M. Ghalib Surya Ganta (selaku Bintara Satreskrim Polres Way Kanan).

Tentunya penjatuhan pidana mati ini selaras dengan tuntutan yang disampaikan oleh Oditur Militer pada tanggal 21 Juli 2025. Oditur Militer menyatakan bahwa tindakan Kopda Bazarsah telah memenuhi unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau melakukan perbuatan pembunuhan secara berencana. Tak hanya tuntutan pidana mati, Oditur Militer juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Baik tuntutan pidana mati dan pemecatan dari dinas militer, hal itu dikabulkan oleh Majelis Hakim.

Namun, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Oditur Militer yang menyatakan Kopda Bazarsah terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 340 KUHP. Majelis Hakim lebih sepakat jika Kopda Bazarsah terbukti melakukan perbuatan dan memenuhi unsur dalam Pasal 338 KUHP karena melakukan pembunuhan tersebut tanpa rencana. Terlepas dengan pandangan tersebut, Majelis Hakim tetap menjatuhkan pidana mati terhadap Kopda Bazarsah. 

Kami berpandangan apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam kasus ini adalah di luar dari kewenangan hukum yang berlaku. Vonis pidana mati yang diberikan kepada Kopda Bazarsah, sekalipun sesuai dengan harapan banyak pihak, menunjukkan permasalahan hukum yang lebih dalam. Ada tiga catatan kritis yang bisa kami sampaikan dalam kasus ini.

Pertama, apabila Hakim memosisikan seseorang telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dengan Pasal 338 KUHP, maka konsekuensi pidana yang dapat dikenakan terhadap orang tersebut adalah maksimal 15 tahun penjara. Dalam hukum pidana, memang masih memungkinkan Majelis Hakim memberikan pidana tambahan, seperti pidana denda, tetapi bukan dengan penambahan pidana penjara ataupun pidana mati. Penjatuhan hukuman di luar ketentuan maksimal akan berbahaya karena menimbulkan preseden bagi para hakim untuk memvonis di luar aturan hukum yang ada.

Kondisi penjatuhan pidana mati di Indonesia nampaknya masih tetap dan terus terjadi dalam beberapa kasus, seperti narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan seksual terhadap anak, dan terorisme. Namun seiring dengan penjatuhan pidana mati yang terus dikeluarkan, apakah jumlah kasus terhadap tindak pidana tersebut berkurang? Data membuktikan tidak. Inilah yang kami sebut dengan cara menampilkan kegagahan semata tanpa memikirkan dampak lain yang sifatnya bisa menguntungkan.

Kedua, vonis pidana mati tidak serta merta menyembuhkan rasa sakit dan luka yang dialami oleh keluarga korban. Malah, dalam banyak kasus, vonis mati mengalihkan keluarga korban dari hak-haknya yang lebih dasar, seperti pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi. Dalam kasus-kasus seperti ini di mana korban utama adalah tulang punggung keluarga, menjadi beralasan jika keluarga korban meminta tuntutan lain, seperti restitusi dari pelaku, untuk menanggung hidup mereka pasca kehilangan tiga orang penopang keluarga ini.

Sayangnya, dalam pidana mati, hak atas restitusi ini menjadi tidak bisa didapatkan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak  boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu”. Hal ini mencangkup restitusi, sehingga tidak ada kemungkinan bagi seseorang yang dijatuhi dengan pidana mati untuk tetap melakukan kewajiban restitusinya terhadap keluarga korban. Keluarga korban tidak diberikan ruang untuk menuntut mendapatkan restitusi dari orang yang dijatuhi dengan pidana mati tersebut. 

Ketiga, vonis mati terhadap Kopda Bazarsah tidak sesuai dengan semangat reformasi peradilan pidana yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Tidak sampai 5 bulan lagi, KUHP Baru akan berlaku dan digunakan. Aturan-aturan dalam KUHP Baru telah mencoba sedikit demi sedikit beralih dari pidana mati. Selain pidana mati dijadikan pidana alternatif, KUHP Baru juga memandatkan hakim memutus pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Harapannya adalah terdapat perubahan perilaku terhadap orang yang dijatuhi dengan pidana mati sehingga hukuman mereka dikomutasi menjadi pidana seumur hidup.

“Tampaknya banyak pengadilan, termasuk Pengadilan Militer I-04 Palembang, belum sepenuhnya mengerti pergeseran perspektif ini. Hal inilah yang menyebabkan narapidana deret tunggu terus bertambah dari tahun ke tahun, di mana per hari ini sudah mencapai 594 orang. Putusan-putusan mati ini juga tampak tidak belajar dari pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk beralih dari model penghukuman yang sifatnya retributif seperti hukuman mati ke hukuman yang lebih rehabilitatif dan restoratif,” ungkap Koordinator Penanganan Kasus LBHM, Yosua Octavian.

Berkaitan dengan kasus Kopda Bazarsah ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer yang nantinya memeriksa dan mengadili perkara ini di tingkat banding untuk dapat: 

1. Mengutamakan pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi bagi keluarga korban dengan mengutamakan kewajiban restitusi terhadap Kopda Bazarsah dibanding dengan penjatuhan pidana mati yang merupakan cara usang untuk menanggulangi kejahatan.

2. Mendorong aparat hukum yang berwenang untuk mengutamakan keselamatan bagi keluarga korban dan juga keluarga dari Kopda Bazarsah agar terhindar dari ancaman dan/atau tekanan dari pihak mana pun.

3. Mendesak institusi Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk melakukan audit secara serius atas kepemilikan senjata api anggotanya dan keterlibatan anggota TNI dalam bisnis-bisnis yang dilarang untuk memastikan kejadian pembunuhan seperti yang dilakukan oleh Kopda Bazarsah tidak terulang lagi.

Jakarta, 12 Agustus 2025

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) 

Narahubung: 0898-437-0066

Dugaan TPPO Terpidana WNI di Malaysia: Keluarga Menanti dengan Cemas, Mabes Polri Malah Mengalihkan ke Dumas

Jakarta, 30 Juli 2025 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama dengan keluarga narapidana Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia membuat Laporan Polisi (LP) ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami oleh Ani. 

Saat ini, Ani tengah menjalani pemidanaan di Penjara Sungai Udang, Malaka, Malaysia. Ia telah menjalani pidana penjara sejak tahun 2011. Ini berarti Ani telah ditahan selama 14 tahun.

Ani merupakan warga negara Indonesia asal Jakarta yang dijanjikan pekerjaan sebagai perawat di luar negeri oleh tetangganya bernama Duwi di tahun 2011. Dalam pembuatan paspor, identitas asli Ani diubah karena informasi yang diterimanya adalah harus menggunakan nama baru ketika ke luar negeri. Ani kemudian diberangkatkan ke Malaysia dan Vietnam dengan dalih penempatan kerja.

Selama berada di luar negeri, Ani diarahkan oleh Duwi untuk menginap di hotel dan pada akhirnya diminta membawa sebuah tas dari Vietnam ke Pulau Penang, Malaysia. Tanpa sepengetahuannya, tas tersebut ternyata berisi narkotika jenis sabu seberat 3865 gram  yang disembunyikan secara tersembunyi di bagian dasar tas.

Pada 21 Juni 2011, Ani tiba di Bandara Internasional Pulau Penang dan petugas Bandara mendeteksi isi yang mencurigakan dalam tas yang dibawanya tersebut. Ani ditangkap dan didakwa atas tuduhan mengedarkan narkotika dan dijatuhi pidana mati berdasarkan Pasal 39B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Narkotika dan Obat-Obatan Berbahaya Tahun 1952 (Peraturan Malaysia).

Namun, seiring dengan pembaruan hukum di Malaysia yang menghapus pidana mati, kasus Ani memenuhi syarat untuk peninjauan ulang berdasarkan Akta Semakan Hukuman Mati dan Pemenjaraan Sepanjang Hayat 2023. Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Persekutuan Malaysia mengurangi hukumannya menjadi penjara seumur hidup.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam membongkar praktik perdagangan orang bermodus perekrutan kerja yang menjerat korban sebagai kurir narkotika internasional. 

LBHM menilai bahwa Ani adalah korban perdagangan orang yang dijerat oleh sindikat peredaran gelap narkotika lintas negara. Berdasarkan hukum Indonesia, tindakan yang dialami oleh Ani memenuhi unsur dalam:

  • Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO)
    • Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dalam kasus TPPO ada tiga unsur yang harus dipenuhi, yakni tindakan (act), cara (means), dan tujuan (purpose). Dalam kasus Ani, sindikat narkotika melakukan perekrutan terhadap Ani dan memindahkan dia dari Indonesia ke Vietnam lalu ke Malaysia. Perekrutan dan pemindahan Ani juga memenuhi unsur kedua, yakni cara yang ilegal, seperti pemalsuan dan penipuan. Fakta bahwa Ani pergi dengan dokumen paspor palsu memiliki kemiripan dengan banyak TKI lain yang menjadi korban TPPO. Selain itu, perekrutnya memberikan janji palsu bahwa ia akan bekerja di luar. Kasus Ani juga memenuhi unsur TPPO ketiga, yakni tujuan direkrutnya Ani adalah untuk tujuan eksploitasi, yakni memaksa Ani melakukan tindak kejahatan yang akan menguntungkan orang-orang yang merekrutnya. Dalam literatur TPPO, model kasus yang dialami Ani biasanya disebut sebagai TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan (forced criminality).

Dengan demikian, LBHM menekankan bahwa kasus Ani bukan semata-mata kasus narkotika, melainkan kasus eksploitasi terhadap WNI di luar negeri yang menjadi korban perdagangan orang yang belum diusut secara tuntas di Indonesia. Karena itulah, LBHM mendorong Mabes Polri untuk bertindak proaktif dalam menyelidiki kasus-kasus TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan semacam ini.

Dari hasil laporan yang kami lakukan, kami sangat menyayangkan bahwa pihak Mabes Polri tidak merespon laporan kami dalam bentuk Laporan Kepolisian melainkan hanya pengaduan masyarakat (Dumas) dengan alasan kekurangan bukti. Sikap ini mencerminkan ketidaktanggapan Institusi Polri terhadap persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia dan keselamatan korban. Tindak pidana perdagangan orang bukanlah pelanggaran biasa, melainkan kejahatan berat yang menuntut perhatian dan penindakan tegas. Ketika laporan yang seharusnya menjadi awal penegakan hukum justru diabaikan, hal ini menunjukkan kegagalan aparat dalam memberikan perlindungan dan keadilan. 

Alasan kekurangan bukti juga wajib dipertanyakan karena justru polisilah yang memiliki kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mendapatkan bukti. Jika setiap pelaporan tindak pidana mensyaratkan bukti lengkap, tidak akan ada korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perdagangan orang yang akan melaporkan kasusnya. Hal ini turut menciptakan preseden negatif bagi penanganan laporan-laporan dugaan tindak pidana perdagangan orang lainnya, yang justru dapat menghambat keberanian korban untuk melapor dan merusak kepercayaan publik terhadap keseriusan aparat dalam menangani kasus serupa di masa mendatang.

“Dalam momentum Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia Orang 30 Juli, LBHM mengingatkan bahwa korban perdagangan orang tidak seharusnya diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, apalagi dijatuhi pidana mati. Pasal 18 UU TPPO menyatakan “Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Kasus Terpidana WNI di Malaysia mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap WNI di luar negeri dan bagaimana sindikat memanfaatkan kerentanan untuk eksploitasi. Peran Kepolisian RI seharusnya mengungkap lebih dalam dugaan adanya TPPO,” ujar Awaludin Muzaki, pengacara publik LBHM.

Hormat kami,

LBHM

Narahubung:

0812-9028-0416 (Awaludin Muzaki)