Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Ancaman Semu LGBTQ dalam Kajian Wantannas: Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Kamis, 14 November 2024, yang menyajarkan isu LGBTQ sebagai ancaman negara prioritas pada tahun 2025. Pernyataan yang dibuat tanpa dasar logika dan riset yang matang berpotensi menambah aksi persekusi dan kekerasan yang diterima oleh individu LGBTQ di Indonesia.

Di hadapan anggota dewan, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat memaparkan kajian strategis lembaganya tentang dinamika geopolitik nasional dan internasional, serta mengulas isu strategis keamanan pada tahun 2025. Isu LGBTQ masuk ke dalam isu budaya, bersama dengan penguatan jati diri di Papua, konflik pesisir, minta petani untuk generasi muda, kesejahteraan dosen, kualitas sarjana dan mutu pendidikan, budaya antikorupsi, dan konten TV. Dalam sesi tanya-jawab, diskusi yang memosisikan LGBTQ sebagai ancaman juga datang dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI.

Asosiasi LGBTQ sebagai ancaman negara yang perlu ditindak dengan pendekatan sekuritisasi ini keliru dalam setidak-tidaknya tiga poin:

Pertama, pengkategorian LGBTQ sebagai ancaman bangsa justru kontraproduktif dengan tujuan dari Wantannas sendiri yang salah satunya adalah menjaga keamanan bangsa. Dalam RDP tersebut, tercetus anggapan bahwa LGBTQ adalah bom waktu, yang kalau dibiarkan sekarang akan merugikan di masa depan. Pengaitan individu LGBTQ dengan istilah-istilah militeristik ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2016, Ryamizard Ryacudu, mantan Menteri Pertahanan era Jokowi juga mengaitkan LGBTQ dengan nuklir.[1] Perumpamaan yang kering imajinasi ini tidak didukung oleh argumen yang logis dan malah bersifat menakut-nakuti masyarakat awam tentang keragaman orientasi seksual dan identitas gender di Indonesia.

Selama ini, individu LGBTQ adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan dan persekusi. Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan dari 401 responden LGBTQ, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.[2] Dari situasi tersebut, RDP yang terjadi minggu lalu malah semakin menambah bara dalam kepungan serangan terhadap individu LGBTQ di Indonesia dan memperlemah keamanan bangsa.

Kedua, kajian Wantannas tentang ancaman LGBTQ disebabkan oleh ketidaktahuan tentang ragam identitas gender dan orientasi seksual. Sekjen Wantannas menyatakan bahwa LGBTQ berbahaya karena penambahan identitas queer yang ia definisikan sebagai “Segala sesuatu orang yang orientasi seksualnya masih belum jelas.” Bahkan, ia menyamakan individu queer dengan hubungan seksual manusia dengan binatang (zoophilia), manusia dengan peralatan/boneka (hubungan seksual dengan sex toys), dan pedofilia. Pada kenyataannya, orang heteroseksual dan cisgender[3] pun bisa masuk ke kategori orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, peralatan dan boneka. Banyak juga individu heteroseksual yang dijatuhi hukuman pidana karena melakukan hubungan seksual dengan anak. Kasus Herry Wirawan, misalnya, menunjukkan bahwa seorang pria heteroseksual bisa melakukan kekerasan seksual kepada 13 santriwati yang berusia dari 14-20 tahun.[4]

Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Wantannas tentang identitas queer. Queer adalah kelompok identitas bagi orang-orang yang merasa tidak nyaman dikelompokkan ke dalam kategori identitas gender atau orientasi seksual yang bersifat kaku. Dengan demikian, istilah queer adalah istilah yang memayungi ragam gender dan seksualitas lainnya (umbrella term). Secara historis, istilah ini awalnya muncul sebagai hinaan, tapi kemudian diambil alih oleh kelompok queer sebagai identitas yang menguatkan, karena dengan istilah tersebut seseorang mendapatkan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri.[5] Akar etimologi dan histori inilah yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memilih identitas queer tidak sama dengan orang-orang yang melakukan kekerasan seksual.

Ketiga, tidak ada bukti bahwa individu LGBTQ menyebabkan rendahnya angka pernikahan dan penurunan populasi. Pernyataan ini keluar dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI, yang mengaitkan perkembangan kehidupan LGBT dan angka pernikahan di Indonesia yang semakin hari semakin menurun. Ia lantas membandingkan kondisi ini dengan negara Korea Selatan di mana, menurut cerita anekdotalnya, sekolah-sekolah kekurangan anak didik sehingga pemerintahnya memohon-mohon negara lain untuk mengirimkan peserta didik ke Korea Selatan.

Tidak ada bukti akademis yang menyatakan bahwa eksistensi dari individu LGBTQ menyebabkan penurunan populasi. Di Korea Selatan, penurunan angka pernikahan dan penurunan angka kelahiran lebih disebabkan oleh harga perumahan yang melambung tinggi, budaya mementingkan kerja di atas segalanya (workism), diskriminasi terhadap perempuan pekerja yang memiliki anak. Semua hal ini mempengaruhi keputusan orang muda di Korea Selatan untuk tidak menikah dan/atau tidak memiliki anak.[6] Bahkan, Korea Selatan belum termasuk negara yang mengakui pernikahan sesama jenis, sehingga mengada-ngada ketika penurunan populasi Korea Selatan dikaitkan dengan individu LGBTQ.

“Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak Wantannas mengkaji ulang isu-isu strategis yang perlu untuk ditangani di 2025,” kata Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. “Individu LGBTQ sudah rentan menjadi target serangan dan diskriminasi yang masif dari berbagai kelompok.”

“Jika Wantannas memang serius hendak mengubah fungsinya dari Dewan Ketahanan Nasional ke Dewan Keamanan Nasional, seharusnya lembaga ini turut berkontribusi untuk melindungi hak-hak dasar dari semua orang di Indonesia, tidak terkecuali individu LGBTQ.”

 

Jakarta, 18 November 2024

 

Narahubung: Albert (0859 3967 6720)

[1] Hakim, Syaiful. “Menhan: LGBT Bagian Proxy War.” Antaranews. 23 Februari 2016. Diakses di  http://www.antaranews.com/berita/546668/menhan-lgbt-bagian-proxy-war

[2] Saputra, A. F. Shabrina, D. Nugraha, R. K. (2022). Sampai Kapan Kami Harus Sembunyi? Laporan Situasi Minoritas Gender dan ragam Orientasi Seksual di Indonesia. Jakarta, Consortium CRM.

[3] Cisgender: Seseorang yang identitas gendernya sama dengan identitas gender yang ditetapkan padanya saat dia lahir.

[4] Budi, Candra Setia. “Perjalanan Kasus Pemerkosaan 13 Santri oleh Herry Wirawan, Kronologi hingga Vonis Mati.” Kompas.com. 4 April 2022. Diakses di https://bandung.kompas.com/read/2022/04/04/225025378/perjalanan-kasus-pemerkosaan-13-santri-oleh-herry-wirawan-kronologi-hingga?page=all.

[5] Andrew, Scottie. “What it means to be queer.” CNN.com. 11 Juni 2024. Diakses di https://edition.cnn.com/us/queer-meaning-lgbtq-cec/index.html

[6] Ahn, Ashley. “South Korea has the world’s lowest fertility rate, a struggle with lessons for us all.” Npr.org. 19 Maret 2023. Diakses di https://www.npr.org/2023/03/19/1163341684/south-korea-fertility-rate

Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Atas Opsi Pemindahan Narapidana Mary Jane Veloso

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menyambut usulan transfer of prisoner terhadap penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso. Langkah penyelesaian diplomatik ini menjadi angin segar atas ketidakpastian kasus yang dihadapi Mary Jane Veloso, kendati sudah jelas statusnya sebagai salah satu korban perekrutan ilegal dan tindak pidana perdagangan orang di Filipina. Namun, JATI memiliki catatan penting yang patut dipertimbangkan atas upaya transfer of prisoner ini.

Pertama, usulan transfer of prisoner bukan hanya memindahkan terpidana ke negara asalnya dan menghabiskan sisa masa hukuman yang telah dijatuhkan pengadilan di Indonesia. Upaya transfer of prisoner ini sepatutnya diawali dengan memperjelas status hukuman terhadap terpidana warga negara asing yang akan dipindahkan dan mempertimbangkan segala keputusan pengadilan yang berkaitan dengan kasus tersebut, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan Indonesia.

Pada kasus Mary Jane Veloso misalnya, jaminan non punishment terhadap korban perdagangan orang, sebagaimana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, belum pernah diterapkan sama sekali. Maka, mengeluarkan Mary Jane Veloso dari status terpidana dengan pertimbangan hasil putusan pengadilan Filipina yang menyebutnya sebagai korban perdagangan orang menjadi langkah pertama yang harus diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Kedua, langkah transfer of prisoner maupun upaya-upaya penyelesaian diplomatik lain seyogianya tidak terbatas hanya pada Mary Jane Veloso. Kesempatan ini juga harus diberikan kepada narapidana warga negara asing lain yang sakit kronis, menjadi korban kejahatan, dan memiliki alasan-alasan kemanusiaan lain untuk dikembalikan ke negara asal. Opsi pemulangan yang luas ini akan memungkinkan Indonesia memiliki posisi tawar untuk meminta warga negara Indonesia berstatus terpidana, terutama bagi mereka yang berstatus terpidana mati, di negara lain untuk dipulangkan ke Indonesia. Mengingat ada banyak warga negara Indonesia yang berstatus terpidana mati di Malaysia dan Kingdom of Saudi Arabia. Pemulangan warga negara Indonesia melalui transfer of prisoners seharusnya juga menjamin akses mereka terhadap hak-hak pengubahan atau pengurangan hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Ketiga, terbukanya peluang penyelesaian pidana dengan langkah-langkah diplomasi ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat bukti keterkaitan korban perdagangan orang dan kerentanannya terhadap pidana mati, yang satu di antaranya karena menjadi kurir narkotika. Situasi ini tidak hanya menyelamatkan korban perdagangan orang yang dieksploitasi sebagai kurir narkotika dan diposisikan sebagai terdakwa atas suatu tindak pidana, tetapi mempertegas dan memperkuat posisi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang rentan menjadi kurir narkotika, terutama di mata internasional.

Demikian catatan penting yang patut menjadi pertimbangan dalam usulan upaya transfer of prisoner ini. Kami mendesak pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, merealisasikan secara serius transfer of prisoners ini dengan pelibatan bermakna Mary Jane Veloso, keluarganya, serta organisasi masyarakat sipil yang relevan.

Narahubung:

  • Kabar Bumi: 0812 8104 5671
  • LBH Masyarakat: 0822 6452 7724

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan!

Pernyataan Sikap dalam Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 9 Oktober 2024

 

Setiap tanggal 10 Oktober, berbagai negara, organisasi, dan advokat di seluruh dunia bersatu dalam solidaritas untuk kembali menegaskan sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga, dan tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil. Pada hari ini, kami Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis, advokat, praktisi, tokoh agama, dan komponen masyarakat sipil lainnya turut bersolidaritas dan menyerukan diakhirinya praktik tersebut. Kami mengingatkan pentingnya hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun dan bahwa keadilan seharusnya adalah tentang rehabilitasi dan pemulihan, bukan pembalasan.

Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 55 negara masih mempertahankan hukuman mati untuk pidana luar biasa, 222 orang dieksekusi mati sepanjang 2023, serta terdapat 41.047 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang di dipublikasi di website https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu, 11 orang di antaranya adalah perempuan.

Pidana mati telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, menimbulkan pertanyaan tentang moral, hukum, dan dampak sosialnya. Dalam banyak kasus, hukuman mati secara tidak proporsional menargetkan masyarakat yang terpinggirkan, orang miskin, dan bahkan mereka yang dituduh secara tidak benar dengan melanggar hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial). Dampak dari hukuman mati bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sangat personal. Kisah-kisah terpidana mati dan keluarga mereka memberikan gambaran yang sangat jelas tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Dari tuduhan pengadilan yang tidak adil hingga laporan penderitaan mental yang diderita oleh mereka yang menunggu eksekusi, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa hukuman mati sejatinya adalah tentang penyiksaan dan penderitaan yang nyata, sehingga penerapan pidana mati tampak sebagai hukuman berlapis.

Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan. Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun. Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban. Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati.

Kami juga mengingatkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan 2 Januari 2023 (UU No.1 Tahun 2023), pidana mati merupakan pidana alternatif yang pemidanaannya selalu diberikan satu paket dengan masa percobaan 10 tahun untuk dapat dilakukan pengubahan hukuman menjadi seumur hidup. KUHP yang baru juga menetapkan pembentukan mekanisme penilaian terhadap terpidana mati untuk melihat adanya perubahan sikap dan perbuatan yang terpuji sebagai syarat pengubahan pidana mati.

Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional. Malaysia, baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib (mandatory death sentence) dan membuat kebijakan pemindahan ulang (resentencing) yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati. Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia ini, kami menyerukan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo sebelum menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 untuk menyelesaikan komutasi massal bagi 557 terpidana mati. Sedangkan bagi Presiden terpilih dan anggota DPR yang baru saja dilantik, serta seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) dan Pemerintah (Eksekutif) untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab, manusiawi dan adil, bergabung dengan negara-negara lain untuk mengakhiri bentuk hukuman keji dan tidak dapat dipulihkan ini (irrevisible).

Ini saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah yang terukur dan berani untuk menghapuskan hukuman mati.

Untuk itu,kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkrit dan terukur untuk menghapuskan hukuman mati, melalui langkah-langkah berikut :

  1. Melakukan moratorium penuntutan pidana mati;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Memastikan dibentuknya mekanisme penilaian untuk pengurangan hukuman mati;
  4. Melakukan asesmen secepatnya terhadap terpidana mati di deret tunggu yang sudah menjalani pidana penjara 10 tahun lebih untuk pengurangan hukuman;
  5. Melakukan pemantauan secara berkala pada tempat-tempat penahanan terpidana mati untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mencegah terjadinya penyiksaan;
  6. Memastikan responsivitas gender dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga penahanan/pemenjaraan sehingga kebutuhan, situasi dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan dipertimbangkan;
  7. Menjamin terpenuhinya Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas sejak dari proses penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan sehingga kebutuhan, hambatan, dan kerentananan Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan proses yang setara dan adil diakui dan dipertimbangkan;
  8. Menyelamatkan Warga Negara Indonesia atau buruh migran dari hukuman mati di luar negeri.

Daftar Lembaga dan Individu:

Lembaga

  1. Imparsial
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  4. Reprieve
  5. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  6. JPIC Divina Providentia
  7. ICJR
  8. Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)
  9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  10. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN)
  11. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  12. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  13. JALA PRT
  14. Marsinah.id
  15. Institut Sarinah
  16. Artsforwomen Indonesia
  17. FSBPI
  18. GMNI
  19. Kidung
  20. KKPPMP KEPRI
  21. YAPESDI
  22. Sikola Mombine, Sulteng
  23. Suluh Perempuan
  24. Perempuan Mahardhika
  25. Migrant CARE
  26. PBHI
  27. IJRS
  28. Beranda Migran
  29. Peduli Buruh Migran
  30. debtWATCH Indonesia
  31. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  32. PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia).
  33. LRC KJHAM
  34. SETARA Institute
  35. Yayasan Inklusif
  36. ELSAM
  37. Komunitas Perempuan Berkisah
  38. Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya)
  39. Yayasan Srikandi Sejati
  40. Pasah Kahanjak
  41. Kolektif Semai
  42. Caritas Indonesia
  43. Jaringan Nasional Anti TPPO (JarNas Anti TPPO)
  44. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
  45. Emancipate Indonesia
  46. Human Rights Working Group (HRWG)
  47. Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya
  48. INFID
  49. CENTRA Initiative
  50. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP)
  51. KASBI
  52. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  53. Solidaritas Perempuan
  54. Koalisi Perempuan Indonesia
  55. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  56. Asosiasi LBH APIK Indonesia (APIK)
  57. F-SEDAR
  58. Aliansi Magang, Outsourcing, Kontrak Melawan (AMUK)
  59. Amnesty International Indonesia

 

Individu

  1. Rosma Karlina
  2. Baby V. Nurmaya
  3. Rizki Kurniawan
  4. Bambang Yulistyo Tedjo
  5. Yuyu Marliah Sukabumi
  6. Eva Sundari
  7. Olin Monteiro
  8. Fanda Puspitasari
  9. Syahar Banu
  10. Panca Saktiyani
  11. Ririn Sefsani
  12. Siti Rubaidah
  13. Maria Yohanista Djou
  14. Amelia Efiliana
  15. DessiDesmaniar
  16. Wahyu Susilo
  17. Puspa Yunita
  18. Rully Winata
  19. Dicky Sulaeman, S.H.
  20. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal)
  21. Raditya Budi Setiawan, S.E.
  22. Iwan Misthohizzaman
  23. Arimbi Heroepoetri
  24. Youngster1312
  25. Yuli Riswati
  26. Sr Laurentina SDP
  27. Hery Oktavianus
  28. Dewi Tjakrawinata
  29. Sari Aznur
  30. Halili Hasan
  31. Alimah Fauzan
  32. Kekek Apriana DH
  33. Ditta Wisnu
  34. Erwin Natosmal Oemar
  35. Nabila Tauhida
  36. Jesse Adam Halim
  37. Eric Sindunata
  38. Dike Nomia
  39. Erwin Netosmal Oemar
  40. Dian Kartika Sari
  41. Pera Sopariyanti
  42. Aida Milasari
  43. Yessi Talibo
  44. Savitri Wisnuwardhani
  45. Mike Verawati
  46. Nursyahbani Katjasungkana

Joint Statement by International Communities on the Brutal, Indiscriminate, and Potentially Expired Use of Tear Gas in Political Dynasty Protests in Indonesia

Wednesday, August 28th, 2024

We, the undersigned non-governmental organizations (NGOs) across the globe, express our deep concern and strong condemnation of the brutal and indiscriminate use of tear gas by security forces during protests against political dynasties in various cities across Indonesia.

We are particularly alarmed by reports suggesting that some of the tear gas used may be expired, which poses severe health risks to protesters and local residents. Additionally, concerns about potential corruption in the procurement of these tear gas canisters further exacerbate the situation, raising questions about the integrity and safety of the crowd control measures being employed.

Based on investigations through the Electronic Procurement Service (lpse.polri.go.id) of the National Police, Indonesia Corruption Watch (ICW) found that the National Police made five purchases between December 2023 and February 2024. A total of US$12.1 million in taxpayer money was spent on tear gas, spread across two work units: the National Police’s Mobile Brigade Corps and the National Police’s Security Maintenance Agency.

There are three main issues regarding the National Police’s purchase of tear gas to date:

  1. The National Police’s Defiance in Disclosing Procurement Information: Despite requests from civil society since August 2023, the National Police have refused to disclose the procurement contracts for tear gas. This suggests that the National Police may be hiding information. The lack of transparency, as mandated by the Central Information Commission Regulation No. 1 of 2021 on Public Information Service Standards (SLIP), should be seen as an early indication of problematic procurement, which could potentially lead to corruption.

Following the Police’s refusal, civil society filed an information dispute with the Central Information Commission (KIP) in December 2023. However, KIP has yet to provide a resolution. civil society suspects that KIP is reluctant to process the dispute against the Police, not merely due to the busy agenda of resolving information disputes. According to SLIP regulations, the dispute process should not take long, as the information civil society requested is clearly public.

  • Lack of Accountability for Tear Gas Use: According to civil society findings, in one of the five procurement packages, the National Police provided information about the quantity of ammunition purchased, amounting to 38,216 projectiles. However, in the other four procurement packages, there was no detailed information on the number of rounds purchased by the Police. This lack of detail makes it difficult for the public to demand accountability, especially when the tear gas is used recklessly and brutally. Without accountability, the Police might be suspected of using expired tear gas, as seen in the Kanjuruhan tragedy.
  • Purchases Made During Non-Emergency Situations: The purchase of tear gas during non-emergency situations raises suspicions that the exorbitant spending is merely an attempt to silence civil society criticism during the 2024 political year. Elevated public criticism is a logical consequence of electoral competition marred by dubious tactics. This also indicates the shallow security strategy of the National Police, which resorts to injuring taxpayers with tear gas instead of addressing their concerns. As a result, the Police’s tear gas purchases add to the growing list of wasteful or inappropriate use of state funds.

The right to peaceful assembly is a fundamental human right protected under international law, including the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and Political Rights, to which Indonesia is a party through Law No.12 of 2005. The excessive, improper, and potentially illegal use of tear gas not only violates these rights but also endangers lives and undermines public trust in the authorities.

We call on the Government of Indonesia to:

  1. Immediately cease the use of tear gas in a manner that is disproportionate, indiscriminate, and potentially dangerous due to expiration or other safety concerns. Security forces must follow strict guidelines to ensure the protection of public health and safety.
  2. Conduct a thorough and transparent investigation into the use of tear gas in various cities across Indonesia, focusing on the condition and procurement of the tear gas canisters. The investigation should also address any potential corruption in the procurement process, with findings made public and those responsible held accountable.
  3. Ensure the protection of peaceful protesters, safeguarding their right to express dissent against political dynasties without fear of violence, intimidation, or exposure to harmful chemical agents.
  4. Implement stronger oversight and transparency in the procurement process for tear gas and other crowd control tools, to prevent corruption and ensure that all equipment used meets safety standards.
  5. Uphold Accountability and develop a comprehensive review in the use of tear gas by law enforcement officers, particularly concerning its human rights and health impacts on affected civil society elements including students, children in the targeted area for tear gas launches, journalists, and many others.

We stand in solidarity with the people of Indonesia in their pursuit of justice, democracy, and human rights. The misuse of force and the potential corruption in the procurement of dangerous crowd control measures are unacceptable and must be addressed immediately.

We urge the Indonesian government to uphold its commitments to human rights and democratic values and to take swift action to prevent further violence and ensure the safety and well-being of all citizens.

Signatories:

  1. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  2. PurpleCode Collective
  3. Humanis
  4. CODAYati
  5. The Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS)
  6. MUSAWI Pakistan
  7. Advocacy Forum Nepal
  8. Manushya Foundation
  9. Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network
  10. Human Rights Working Group (HRWG)
  11. Women 4 Women
  12. PERIN+1S & C2O library
  13. Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA)
  14. Migrant CARE
  15. Samudayik Sarathi Nepal
  16. LaporIklim
  17. LaporSehat
  18. Transformasi untuk Keadilan Indonesia
  19. The Prakarsa
  20. Indonesia Legal Aid and Human Rights Association (PBHI)
  21. 350.org Indonesia
  22. Kolektif Semai
  23. WeSpeakUp.org
  24. New Naratif
  25. Transparency International – Malaysia Chapter
  26. Proklamasi Anak Indonesia
  27. Milk Tea Alliance – Friends of Myanmar
  28. Queers of Burma Alternative
  29. Suara Rakyat Malaysia (SUARAM)
  30. SRI Institute
  31. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  32. Cedaw Working Group Indonesia (CWGI)
  33. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  34. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
  35. Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT)
  36. Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusi Disabilitas (FORMASI Disabilitas).
  37. Progressive Voice
  38. Karen Women’s Organization
  39. Philippine Alliance of Human Rights Advocates (PAHRA)
  40. Human Rights Online Philippines (HROnlinePH)
  41. Cross Cultural Foundation Thailand (CrCf)
  42. Blood Money Campaign
  43. Gueers of Burma Alternative
  44. Perkumpulan Suaka Untuk Perlindungan Hak Pengungsi (SUAKA)
  45. Forum LSM DIY
  46. Yayasan LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial)
  47. Koalisi Lintas Isu (KLI) Yogyakarta
  48. Generation Wave
  49. Jaringan Radio Komunitas Indonesia
  50. Burmese Women’s Union
  51. Rumah Produksi untuk Kebudayaan Indonesia
  52. Beranda Migran
  53. Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI)
  54. Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR-Hong Kong)
  55. Gabriela Aotearoa New Zealand
  56. Anakbayan Aotearoa New Zealand
  57. GANAS COMMUNITY TAIWAN
  58. Transparency International Indonesia
  59. Philippines Australia Union Link, Sydney
  60. IMVU MACAU
  61. Merdeka West Papua Support Network
  62. International Indigenous Peoples Movement for
  63. Self-Determination and Liberation (IPMSDL)
  64. Kurawal Foundation
  65. Partido Manggagawa, Philippines
  66. Marsinah.id
  67. Think Path Indonesia Legal Office
  68. Dewan Adat Papua
  69. FIAN Indonesia
  70. Equality Myanmar (EQMM)
  71. Kyauktada Strike Committee (KSC) Myanmar
  72. Puanifesto
  73. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  74. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  75. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
  76. Gerakan Media Merdeka (Geramm)
  77. Pamflet Generasi
  78. People’s Empowerment Foundation
  79. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  80. Asia Pacific Research Network (APRN)
  81. Centre for Human Rights and Development (CHRD)
  82. Roots for Equity
  83. Alga Rural Women’s NGO
  84. KORT INGO Pakistan
  85. Forum Petani Plasma Buol
  86. Empowering Singaporeans
  87. Black Farm Municipal
  88. International NGO Forum on Indonesian development (INFID)
  89. Public Virtue Research Institute
  90. Sikola Mombine Foundation ( SM-CentralSulawesi)
  91. Indonesian Consumers Foundation ( YLKI)
  92. Progressive Voice
  93. Aliansi Melbourne Bergerak
  94. TAPOL, United Kingdom
  95. Transparency International – Taiwan Chapter
  96. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  97. RRR Collective
  98. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist)
  99. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  100. Resister
  101. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
  102. The Indonesian Forum for Environment (WALHI) – Friends of the Earth Indonesia
  103. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
  104. Activate Rights, Bangladesh
  105. Auriga Nusantara
  106. Don’t Gas Indonesia
  107. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (Community Legal Aid Institute)
  108. Bir Duino Kyrgyzstan
  109. Anotasi.org
  110. 350.org Japan
  111. Melihat Kota
  112. 350.org Asia
  113. Needle n’ Bitch
  114. ALTSEAN-Burma
  115. ASEAN SOGIE Caucus
  116. Friends of the Earth Japan
  117. Lokataru Foundation
  118. Blok Politik Pelajar
  119. Front Forward Muda
  120. Partai Hijau Indonesia
  121. Choose Democracy
  122. Tifa Foundation
  123. Asia Indigenous Peoples Pact
  124. Bai Indigenous Women’s Network
  125. The Institute for Ecosoc Rights
  126. KERI: Caring for Activists
  127. WITNESS
  128. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG)
  129. National Indigenous Women Forum (NIWF), Nepal
  130. 350.org US

MAJELIS HAKIM PENGADILAN NEGERI STABAT MENCEDERAI PRINSIP KEMANUSIAAN

Hari Senin tanggal 8 Juli 2024 menjadi momentum kelam dalam sejarah kemanusiaan pasca vonis bebas yang diberikan kepada mantan Bupati Kabupaten Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin (TRP). Melalui putusan nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.SBT, TRP dinyatakan tidak bersalah atas dugaan tindak pidana perdagangan orang yang ditemukan pada awal tahun 2022 lalu.

Sebelumnya, pada 18 September 2023, Penuntut Umum mendakwa TRP dengan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Pasca pembuktian yang melibatkan lebih dari 50 orang saksi, Penuntut Umum menuntut TRP dengan pidana penjara selama 14 tahun dan 6 bulan. Selain pidana penjara, TRP juga diminta untuk membayar restitusi sejumlah Rp 2.377.805.493 (dua milyar tiga ratus tujuh puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) kepada para korban atau ahli waris dari korban.

Vonis bebas yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Andriyansyah, Dicki Irvandi, dan Cakra Tona Parhusip patut untuk dipertanyakan. Pasalnya, 4 orang yang juga diperiksa dalam kasus serupa, telah lebih dulu divonis bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif pertama Penuntut Umum, yakni Pasal 7 ayat (2) UU TPPO Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun perkara 4 orang tersebut telah berkekuatan hukum tetap dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp200.000.0000, subsider 2 bulan kurungan (vide putusan nomor: 469/PID.SUS/2022/PN.STB jo. Putusan Nomor: 1820/PID.SUS/2022/PT.MDN jo. Putusan Nomor: 3775 K/PID.SUS/2023). Disparitas penjatuhan putusan dalam perkara TRP dengan 4 orang lainnya ini patut diduga sebagai bentuk kelalaian majelis hakim dalam memeriksa kedua perkara tersebut. Mengingat susunan anggota majelis hakim di tingkat pertama yang serupa.

Penuntut Umum dalam dakwaannya telah menyebutkan secara tegas tentang kronologi dan keterlibatan TRP sebagai pendiri dari kerangkeng manusia yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi. Sejak pendiriannya pada tahun 2010 sampai dengan Januari 2022, ‘penjara’ ini sudah menerima setidaknya 665 orang untuk menjalani aktivitas yang konon diklaim merupakan rehabilitasi narkotika. Empat orang di antaranya meninggal dunia setelah menerima tindakan penyiksaan yang dilakukan selama berada di dalam kerangkeng milik TRP tersebut. Klaim TRP yang menyebutkan bahwa kerangkeng ini ditujukan untuk rehabilitasi jelas mengusik logika dan akal sehat. Selain tindakan penyiksaan yang merenggut nyawa, tempat ini bahkan tidak mengantongi izin sebagai lembaga rehabilitasi dari institusi yang berwenang. Secara khusus dalam konteks ketergantungan narkotika, tidak ada program dan fasilitas yang relevan sebagai upaya untuk menjawab persoalan adiksi serta pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang berada di dalamnya.

LBHM menekankan perhatian pada suburnya stigma dan pendekatan punitif terhadap setiap orang yang terlibat kasus narkotika, khususnya pengguna narkotika, yang hanya akan menciptakan praktik penyiksaan dan koruptif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Tidak sedikit pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap tanpa barang bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi. Hal ini jelas menggambarkan masifnya praktik penahanan sewenang-wenang dengan kedok rehabilitasi. Dewan HAM PBB melalui Kelompok Kerja Penahanan Sewenang-wenang (Working Group on Arbitrary Detention) juga telah memberikan rekomendasi tegas agar negara-negara anggotanya menutup lembaga-lembaga rehabilitasi wajib, baik yang berada di bawah pengelolaan negara maupun swasta, yang melakukan penahanan di luar kehendak para pengguna narkotika.

Di sisi lain, vonis bebas dalam kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh TRP ini melahirkan pertanyaan besar terhadap Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang sejatinya sudah dibentuk sejak tahun 2008. Setidaknya terdapat 24 kementerian dan lembaga yang tergabung dalam gugus tugas ini. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021, Gugus Tugas yang terbentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota memiliki peran untuk memantau sampai dengan mengadvokasi kasus-kasus perdagangan orang. Namun sayangnya, keberadaan satgas tersebut juga tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban dan ahli waris korban yang telah mengalami berbagai bentuk tindakan perendahan martabat manusia dalam peristiwa kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat.

Vonis bebas dalam kasus TRP justru menunjukan kegagalan aparat penegak hukum dalam melihat perkara ini secara struktural. Kasus ini seharusnya mampu memberikan pesan kepada publik bahwa praktik perdagangan orang juga bisa timbul akibat stigma terhadap pengguna narkotika dan kukuhnya pendirian bahwa semua pengguna narkotika harus direhabilitasi, sekalipun itu merenggut kebebasannya. Kasus ini sepatutnya juga bisa menjadi pukulan keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menindak tempat-tempat penahanan berkedok rehabilitasi. Oleh karena itu, LBHM memberikan perhatian dan desakan sebagai berikut:

  • Meminta Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO untuk melakukan evaluasi terhadap penyelesaian kasus TPPO di dalam dan luar Indonesia yang melibatkan warga negara Indonesia;
  • Meminta Penuntut Umum untuk segera menyatakan kasasi dan memberikan memori kasasi sebagaimana aturan hukum acara pidana yang berlaku;
  • Meminta Hakim Agung di tingkat kasasi untuk dapat memeriksa dan memutus perkara ini dengan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan dan keadilan, mengingat banyaknya korban terhadap tindak ‘perbudakan’ yang dilakukan oleh TRP, bahkan sampai merenggut nyawa. Termasuk juga memperhatikan disparitas putusan yang terjadi pada Terdakwa lainnya;
  • Meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk segera memeriksa Andriyansyah, Dicki Irvandi dan Cakra Tona Parhusip, selaku Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.STB;
  • Meminta Polri untuk segera menutup seluruh tempat-tempat yang seolah-olah dijadikan kedok sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial, namun melakukan tindakan pemerasan, penyiksaan, dan/atau perbudakan.

Narahubung:

LBHM: 0898-437-0066 (Yosua Octavian)

25 TAHUN INDONESIA RATIFIKASI CAT: PRESIDEN JOKOWI DAN DPR RI GAGAL HENTIKAN  PRAKTIK PENYIKSAAN DI KEPOLISIAN, TNI, DAN LAPAS

Peringatan Hari Anti Penyiksaan  26 Juni 2024

Tanggal 26 Juni merupakan momentum penting bagi komunitas internasional dalam memperingati hari anti penyiksaan. Peringatan ini berawal dari terbentuknya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture/CAT) yang mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987 bagi seluruh negara anggota. Berlakunya Konvensi CAT menjadi instrumen utama dalam perjuangan mencegah praktik penyiksaan dan penghormatan martabat manusia.

Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang telah meratifikasi Konvensi CAT melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, tepatnya 25 tahun lalu pada tanggal 28 September 1998. Namun, praktik penyiksaan dan penghukuman yang kejam tetap terjadi dalam siklus penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan YLBHI-LBH Jakarta, setidaknya sejak tahun  2013-2022 terdapat 58 (delapan puluh) orang korban penyiksaan oleh anggota Polisi, 25 (dua puluh lima) orang di antaranya  merupakan korban salah tangkap atau salah  hukum dan 6 (enam) orang Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). Dari temuan tersebut semua aktor atau pelakunya adalah anggota Polisi. Di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 – 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor. Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian. Selain itu, dari dokumentasi yang LBHM lakukan di tiga Rumah Tahanan (Rutan) wilayah DKI Jakarta dalam periode Januari-Mei 2024, terdapat 35 (3 orang perempuan dan 32 orang laki-laki) dari total 204 tahanan yang mengaku mendapat penyiksaan. Sebanyak 15 dari 35 tahanan yang mengaku mengalami penyiksaan diduga terlibat dalam kasus narkotika, dan 20 sisanya diduga melakukan tindak pidana umum (sebagaimana diatur dalam KUHP). Adapun peristiwa penyiksaan tersebut terjadi dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Data tersebut merupakan bagian kecil dari gelapnya sistem peradilan pidana, khususnya di tingkat kepolisian, yang minim pengawasan dan intervensi dari masyarakat sipil.

Adapun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sepanjang periode Juni 2023 – Mei 2024 turut mendokumentasikan, setidaknya terdapat 60 peristiwa praktik penyiksaan dan penghukuman kejam yang tersebar di Indonesia. Dalam periode ini pula, KontraS kembali mencatat bahwa Kepolisian merupakan institusi yang konsisten menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan yang terjadi dengan 40 peristiwa; dilanjutkan dengan Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) sebanyak 14 peristiwa; dan Sipir atau Petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan 6 peristiwa. Meningkatnya jumlah peristiwa penyiksaan berdasarkan data pemantauan KontraS dari tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kultur kekerasan di berbagai lembaga negara masih menjadi salah satu permasalahan yang sejatinya harus dituntaskan secara menyeluruh. Bahwa praktik yang masih terus berjalan ini diakibatkan oleh ketiadaan sistem hukum dan kultur hukum yang memadai untuk mencegah dan menghapuskan segala bentuk praktik penyiksaan.

Langkah pemerintah dalam meratifikasi Konvensi CAT tidak disertai dengan pembentukan regulasi yang mengatur lebih rigid di level nasional. Bahkan, sampai saat ini Indonesia belum juga meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi CAT (Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang justru menunjukan sikap kompromis dan pengabaian pemerintah terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri. Di sisi lain, butuh lebih dari 20 tahun untuk mengakomodir tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Pasal 529 dan Pasal 530 sejatinya telah memuat unsur-unsur tindakan penyiksaan yang hampir serupa dengan Konvensi CAT. Namun, ancaman hukuman yang diberikan terhadap pejabat resmi yang melakukan tindakan penyiksaan tidak cukup rasional. Pasal 529 memuat ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun, sedangkan Pasal 530 paling lama 7 tahun. Hal ini jauh berbeda apabila dibandingkan dengan tindak pidana penganiayaan – yang mana tindakannya dilakukan oleh sesama masyarakat sipil biasa – dengan variasi pidana penjara dari 6 bulan sampai dengan 15 tahun, bahkan dapat diperberat dengan kualifikasi tindakan tertentu (Pasal 466 sampai dengan Pasal 471 KUHP Baru).

Selain itu, banyak juga praktik-praktik kekuasaan lain yang setara dengan penyiksaan tapi mungkin luput dari pasal-pasal penyiksaan ini. Salah satu contohnya adalah hukuman mati yang merupakan bagian dari jenis penghukuman yang merendahkan martabat manusia. Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), per tanggal 19 Oktober 2023 setidaknya terdapat 509 orang berada dalam deret tunggu pidana mati di Indonesia. Mayoritas kasus yang menduduki status terpidana mati adalah narkotika, yakni sebanyak 351 orang (69%). Selain jenis penghukuman yang merendahkan martabat manusia, fenomena deret tunggu ini juga merupakan bentuk penyiksaan yang menimbulkan penderitaan besar secara psikologis karena mereka terus hidup dalam teror tidak berkesudahan atas ancaman kematian yang bisa sewaktu-waktu terjadi.

Regulasi di Indonesia masih menyimpan sejumlah persoalan pada aspek formil atau hukum acara dalam sistem peradilan pidana, khususnya pada tingkat kepolisian. Keleluasaan melakukan penahanan selama 60 hari membuka ruang penyiksaan. Mekanisme uji penyiksaan baru dapat diajukan setelah tindakan upaya paksa dilakukan ketika seseorang telah berstatus sebagai tersangka atau terdakwa. Sebagai pintu awal dari berjalannya roda sistem peradilan pidana, kepolisian sejatinya mengantongi kewenangan yang besar dengan tanpa pengawasan yang optimal. Lembaga pengawas internal maupun eksternal (Propam dan Kompolnas) justru kerap kali menjadi alat impunitas bagi para pelaku berjargon presisi. Kondisi ini diperparah dengan wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri), yang substansinya justru memperluas kewenangan kepolisian dalam menginvasi hak asasi manusia tanpa kontrol dan pengawasan yang jelas. Penyiksaan dan penghukuman yang kejam sepatutnya tidak dipandang sebelah mata. Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk mencegah berulangnya tindak penyiksaan dan menciptakan iklim penegakan hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendorong agar pemerintah dan aparat penegak hukum untuk:

  1. Pemerintah dan DPR RI agar segera meratifikasi Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;
  2. Pemerintah dan DPR RI agar segera merevisi atau mengubah KUHAP, secara khusus terkait mekanisme kontrol dan pengujian atas kewenangan aparat penegak hukum, serta pemulihan bagi korban tindakan penyiksaan;
  3. Pemerintah  dan DPR RI harus segera menghentikan pembahasan RUU Polri yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Revisi UU Kepolisian Republik Indonesia seharusnya dilakukan secara komprehensif, tidak dilakukan secara tertutup dan mengabaikan partisipasi bermakna warga negara. RUU perlu harus diarahkan pada reformasi kelembagaan maupun sistem yang memastikan Polri menjadi lembaga yang profesional, transparan dan akuntabel melalui pendekatan yang humanis bukan justru memperkuat watak militerisme dengan kewenangan represi yang besar namun tanpa pengawasan;
  4. Dalam rangka pencegahan efektif terhadap praktik penyiksaan, institusi yang menjadi pelaku dominan seperti halnya Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan dan Sipir harus meningkatkan serta menyusun langkah preventif dan antisipatif dalam rangka menurunkan angka penyiksaan di lembaga masing-masing. Berbagai institusi tersebut dapat membangun kerjasama intensif dengan berbagai lembaga pengawas eksternal guna mendorong akuntabilitas publik.
  5. Harus ada perbaikan sistem pengawasan dan  penegakan hukum yang imparsial, transparan dan adil kepada  para pelaku penyiksaan baik di Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan atau lembaga lainnya agar tidak ada impunitas kepada para pelaku dan  praktik penyiksaan tidak terus berulang;

Narahubung:

  1. Sekretariat RFP (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian)
  2. LBH Masyarakat (LBHM) –  0822-4114-8034
  3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) – 0817-256-167
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – 0812-5926-9754

World Drug Day: Lack of ASEAN Cooperation Fuels Exploitation ofLow-level Couriers by Drug Trafficking Syndicates

Today, the UN Office on Drugs and Crime (UNODC) marks the World Drug Day with a call to promote international cooperation in developing and implementing evidence-based strategies for combating drug trafficking and organised crime. It stresses collaboration among governments, organisations, and communities to achieve this.

It is therefore more crucial than ever to encourage strength within existing ASEAN mechanisms towards a harm reductionist and rights-based approach in combating drug trafficking and organised crime. This includes, among others, abolishing the death penalty for drug offences, promoting continuous regional dialogue between progressive ASEAN states and civil society, and empowering scrutiny on compliance of domestic drug policies to the international human rights standards, and their impact on economic, social, and cultural rights.

In particular, the use of the death penalty, and its execution, against low-level couriers who are often victims of drug syndicates on the grounds of deterrence or prevention of crime is an issue that should be addressed. This practice enables and empowers transnational drug syndicates as it effectively ends the possibility of tracing and combating transnational drug syndicates, while punishing those with the least agency or responsibility, rendering any deterrent effect completely null. Common understanding and cooperation regarding this impact can prevent rights violations experienced by many victims. For example, the case of Mary Jane Veloso, whose execution was halted due to cries from CSOs and the Philippines back in 2016, highlights the failure of protection against victims of human trafficking and the pressing need for a bilateral mechanism between Indonesia and the Philippines in this matter. Mary Jane’s experience could have been completely different and an injustice could have been avoided. ASEAN member states, all of which are parties to the UN Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC), have long had consensus on the need to combat transnational organised crimes1. States have also acknowledged the necessity to enhance regional cooperation as evidenced within the ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs2. One way to do this effectively would be to stop imposing death sentences on the victims of drug trafficking and to instead focus efforts on stopping these crimes before they happen. However, ASEAN’s core values of non-interference, along with authoritarian politics within the region, have hampered regional efforts to address the root causes of key issues.

Collaboration is essential for ASEAN nations to successfully combat exploitation and reduce drug trafficking. In recent years, Malaysian34 and Indonesian56 officials have respectively acknowledged the need for cross-country collaboration in reducing drug trafficking while showing willingness to adopt progressive considerations for exploited low-level couriers. Unfortunately, neighbouring countries, such as Singapore and the Philippines7, have not shown such willingness. Notably, Singapore has shown a predisposition to galvanise support for the death penalty for drug offences through UN mechanisms8 as opposed to working towards effective and progressive policies against drug trafficking with its neighbours. The lack of collaboration and synergy among ASEAN member states on drug trafficking has directly affected the effectiveness in combating it.

To support ASEAN states to collaborate effectively, the UNODC should ensure that it is consistent in its approach to calling for member states to abolish the death penalty for drug offences. As early as 2012, the agency stated that it “may have no choice but to employ a temporary freeze or withdrawal of support” for governments that are still executing persons for drug-related offences.9 The Office has also been vocal about the need for international cooperation in combating organised crime — as demonstrated in this year’s theme for the World Drug Day. This stance should be reflected in the multilateral cooperation programmes the agency has with retentionist ASEAN member states.101112

We the undersigned organisations call for:

I. ASEAN member states to take action towards the abolition of the death penalty for drug offences;

II. ASEAN member states to revisit existing mechanisms with a harm reductionist and rights based approach in combating transnational drug trafficking;

III. ASEAN member states to pursue intergovernmental collaboration that would foster the repatriation of low-level couriers or other individuals who were victimised or exploited by transnational crime organisations;

IV. The UNODC and its regional offices consistently stand against the use of the death penalty and torture for drug offences in Southeast Asia.


3 Purushotman (2024). ‘Concern over plight of drug mules held abroad’. Available at: https://thesun.my/local-news/concern-over-plight-of-drug-mules-held-abroad-DA11998496

4 Boo (2023). ‘Ramkarpal: Desperately Poor Drug Mules Inspired Malaysia’s Repeal Of Mandatory Death Penalty’. Available at: https://codeblue.galencentre.org/2023/04/18/ramkarpal-desperately-poor-drug-mules-inspired-malaysias-repeal-o f-mandatory-death-penalty/

5 Rahmani & Sulistiyandari (2024). ‘BNN arrests Asian network drug lord in the Philippines.’ Available at https://en.antaranews.com/news/313623/bnn-arrests-asian-network-drug-lord-in-the-philippines

6 Llewellyn (2022). ‘Indonesia mulls introduction of a ‘probationary’ death penalty’. Available at: https://www.aljazeera.com/news/2022/10/10/indonesia-considers-plans-for-a-probationary-death-penalty

7 Simons (2023). ‘The Philippines Is Losing Its “War on Drugs”’. Available at

8 The Advocates for Human Rights (2022). ‘One-pager on sovereignty amendment’. Available at: https://www.theadvocatesforhumanrights.org/Publications/sovereignty-amendment-response

9 UNODC, UNODC and the Promotion and Protection of Human Rights: Position Paper (2012) 10.

10In reference to the Malaysian National Anti-Drug Agency’s reports in 2021, https://www.adk.gov.my/en/drug-abuse-information-network-for-asia-and-the-pacific-dainap-focal-points-meetin g/ and 2022 https://www.adk.gov.my/kunjungan-hormat-daripada-united-nations-office-on-drugs-and-crime-unodc/.

11Institute for Criminal Justice Reform (2019). ‘Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia’. Available at https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/01/Menyelisik-Keadilan-Yang-Rentan.pdf

12 UNODC (2006). ‘Criminal justice assessment toolkit’. Available at https://www.unodc.org/lpomex/uploads/documents/Publicaciones/Prevencion-del-delito-y-justicia-penal/Criminal _ justice_assessment.pdf

Hasil Permohonan PK: Meneropong Implementasi KUHP Baru sebagai Kompas Pidana Mati

LBH Masyarakat (LBHM) mengapresiasi semangat reformasi hukum dalam KUHP 2023 yang mengubah pidana mati dari klasifikasi pidana pokok menjadi pidana alternatif. Pembaharuan hukum ini tentu menjadi kompas dan pengingat bagi para hakim pemeriksa untuk mewujudkan peradilan yang jujur dan adil, sekaligus menjadi pintu perbaikan terhadap orang-orang yang telah dijatuhi pidana mati kendati dengan pembuktian yang minim.

Pada 2023, LBHM mewakili lima orang terpidana mati mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui pengadilan pengaju di wilayah DKI Jakarta. Semua PK ini didasarkan pada argumentasi kekhilafan hakim karena penjatuhan pidana mati mengabaikan kurangnya alat bukti, peran terdakwa dengan terdakwa lain, dan terdakwa yang tidak didampingi pengacara. PK ini dilakukan sebagai kesempatan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan koreksi dan menebus kesalahan atas unfair trial.

Majelis Hakim Agung telah mengeluarkan putusan atas dua dari lima pengajuan PK tersebut, dengan detail berikut:

  1. Pada 14 Mei 2024, Majelis Hakim Agung menolak permohonan pemohon PK yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melansir dari data kepaniteraan Mahkamah Agung, perkara ini diperiksa dalam waktu 16 hari. LBHM menilai ini adalah rentang waktu yang sangat singkat dan terburu-buru dalam mengkaji argumentasi-argumentasi pemohon PK. Tentu Mahkamah Agung kembali mengulang kesalahan fatal yang sama, mengingat banyak bukti yang dihadirkan tapi tetap saja diabaikan. Hal ini seperti: upaya paksa yang tidak sesuai prosedur, di antaranya karena melakukan penggeledahan tanpa adanya saksi; preseden mengenai tidak sahnya suatu putusan karena tidak adanya pengacara dalam kasus-kasus yang diancam di atas 5 tahun; termasuk penerjemah yang tidak sesuai dengan kemampuan bahasa pemohon PK.
  1. Pada 14 Juni 2024, Majelis Hakim Agung mengabulkan permohonan pemohon PK yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan Mahkamah Agung ini mengubah pidana mati pemohon PK menjadi pidana seumur hidup. Waktu pemeriksaan perkara pun terbilang cukup ideal dalam menentukan putusan pidana seseorang, yakni 85 hari.

Dari dua kasus ini, selain hasil putusan, waktu pemeriksaan menjadi pembeda yang sangat signifikan. LBHM mengapresiasi Majelis Hakim Agung yang telah mempertimbangkan secara seksama atas alat bukti, argumentasi, dan kekhilafan hakim pemeriksa sebelumnya sehingga menghasilkan putusan yang bersifat perbaikan.

LBHM berharap Majelis Hakim Agung pemeriksa PK selanjutnya melakukan tindakan serupa, yakni putusan yang penuh dengan pertimbangan terhadap bukti-bukti, penghormatan terhadap hak atas hidup, serta menjadikan KUHP 2023 sebagai pedoman baru dalam penjatuhan pidana mati. Tentu juga meminta Majelis Hakim Agung pemerisa PK selanjutnya tidak mengulang kesalahan serupa, seperti pengalaman pemohon PK yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni waktu pemeriksaan minim sehingga banyak fakta dan bukti diabaikan.

Jakarta, 21 Juni 2024

Narahubung:

  • Yosua Octavian (+62 812-9778-9301)
  • Kiki Marini Situmorang (+62 896-3970-1191)

Tolak RUU POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia) yang Menjadikan POLRI Lembaga “Superbody”, dan Gagal Mendesain Perbaikan Fundamental

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police)

Rapat Paripurna DPR RI resmi menjadikan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“RUU Polri”) sebagai usul inisiatif DPR, pada Selasa (28/5). Berdasarkan rancangan (draft) yang kami terima, RUU Polri pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan ugal-ugalan (excessive) kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi “superbody”. Di samping itu, RUU Polri juga gagal menyorot masalah (problem) fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini, tidak terkecuali kegagalan dalam menyorot aspek lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat.

Berbagai catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara telah memotret bagaimana institusi Polri telah menjadi “aktor pemegang monopoli” kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi. KontraS misalnya, dalam rentang 2020 – 2024 telah menghimpun praktik-praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020- Juni 2021 setidaknya terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, berdasarkan pemantauan KontraS, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

Sepanjang 2019, YLBHI mencatat terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI mencatat setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri ini juga ditunjukkan oleh dokumentasi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tiga Rumah Tahanan Negara yang berlokasi di Jakarta. Selama periode Januari-Mei 2024, ada setidaknya 35 tahanan (32 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan penyiksaan pada proses penyidikan; 21 tahanan (15 laki-laki dan 6 perempuan) mengaku mengalami pemerasan; 7 tahanan (4 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan kekerasan seksual. Tiga puluh lima orang yang mengaku mengalami penyiksaan tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang memadai.

Menukil catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI di tahun 2023, kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753. Peringkat ini menunjukkan “konsistensi” Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya. Pada 2022, Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan 861 kasus. Tahun 2021, Pori juga terdata menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM, yakni 661 aduan. Selanjutnya di tahun 2020, terdapat 785 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM terkait Kepolisian. Demikian juga pada 2019, Polri juga memeringkati posisi teratas dengan 744 kasus. Kondisi serupa juga juga dapat dicermati dalam Laporan Tahunan Ombudsman RI.

Dalam rentang 4 tahun terakhir yakni, 2020-2023, laporan terkait kepolisian konsisten menempati “peringkat teratas” sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan. Pada 2020, Ombudsman merilis laporan bahwa Kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman, dengan jumlah pengaduan sebanyak 699 Laporan. Pada 2021 terdapat 676 laporan terkait dengan Kepolisian. Tahun 2022, terdapat 683 laporan terkait kepolisian. Pada Laporan Triwulan pertama di 2023, terdapat 172 laporan, dan Laporan Triwulan kedua pada 2023, terdapat 156 laporan.

Aduan terkait institusi Polri yang diterima dan dirangkum Kompolnas sampai pada September 2023 saja, juga menunjukan data yang lebih masif lagi, yakni 1.150 pengaduan. Dengan rincian perilaku pelayanan buruk, penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, perlakuan diskriminatif, hingga penggunaan diskresi yang keliru. Mengacu pada catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada tahun 2022, polisi, masih menduduki posisi sebagai aktor dominan pelaku kekerasan terhadap


      1. “Institusi Kepolisian Menempati Peringkat Teratas dalam Aduan Pelanggaran HAM 2023”, terbit 25 Januari 2024: https://www.kompas.id/baca/foto/2024/01/25/institusi-kepolisian-menempati-peringkat-teratas-dalam-aduan-pelanggaran-ham-2023
      2. “Polri Kembali Paling Banyak Diadukan Melanggar HAM”, terbit 12 April 2023, website: “https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/04/12/polri-kembali-paling-banyak-diadukan-melanggarham”
      3. Ibid.
      4. Kompolnas Terima 1.150 Aduan di 2023, Soroti Komunikasi-Transparansi-Polri: https://news.detik.com/berita/d-6962330/kompolnas-terima-1-150-aduan-di-2023-soroti-komunikasi-transparansi-polri


    jurnalis dengan jumlah 15 serangan. Bahkan, pada 2020, di saat peliputan aksi demonstrasi menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja, AJI Indonesia mencatat sedikitnya terdapat 28 jurnalis mengalami kekerasan oleh polisi.

    Terkait praktik pengadaan barang-barang misalnya, dalam perjalanannya kerap ditemui praktik yang mengarah pada tindakan korupsi. Temuan ICW pada Juli 2023 menunjukan bahwa pengadaan amunisi dan gas air mata di masa pemerintahan Jokowi berpotensi mengarah pada praktik tender fiktif dengan memenangkan perusahaan boneka dan mark up harga. Tidak berhenti di situ, para pejabat tinggi Polri juga kerap terlibat dalam
    bisnis kotor “bawah tanah” semisal Konsorsium 303. Tidak terkecuali praktik menyimpang dan penyalahgunaan kekuasaan polisi dari jenderal hingga bintara kepolisian yang kerap “takluk” di hadapan narkotika, sebut saja Irjen Teddy Minahasa dan AKP Andri Bustami yang bahkan divonis penjara seumur hidup hingga hukuman mati.

    Hasil survei kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap institusi penegak hukum yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 menempatkan Kepolisian pada tempat terendah dengan 64%. Selain permasalahan yang sudah dijabarkan sebelumnya, ketidakpercayaan juga dipicu oleh korupsi di Kepolisian. Hasil survei tersebut paralel dengan hasil survei yang juga dilakukan LSI pada tahun 2023 terkait dengan Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Lembaga Pemberantasan Korupsi, dimana Kepolisian juga menduduki urutan terendah dengan 61%.

    Berbagai data dan deretan temuan tersebut menempatkan kepolisian sebagai institusi yang memiliki masalah besar. Di tengah transisi estafet kekuasaan pemerintahan Jokowi ke Calon Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR secara tiba-tiba menginisiasi RUU Polri. Namun, keberadaan RUU Polri yang seharusnya digagas guna menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU ini. RUU Polri justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memosisikannyavkian “superbody”. Di samping itu, RUU Polri secara substansi tidak memiliki agendavmemperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan


        1. Polisi Masih Jadi Aktor Kekerasan Terhadap Jurnalis di Tahun 2022, AJI Desak Kapolri Tindak Anggotanya Secara Hukum: https://www.suara.com/news/2023/01/16/162708/polisi-masih-jadi-aktor-kekerasan-terhadap-jurnalis-di-tahun-2022-aji-desak-kapolri-tindak-anggotanya-secara-hukum,
        2. AJI: 28 Jurnalis Alami Kekerasan Oleh Polisi Saat Liput Demo Omnibus Law: https://nasional.tempo.co/read/1394697/aji-28-jurnalis-alami-kekerasan-oleh-polisi-saat-liput-demo-omnibus-law
        3. Kepercayaan Terhadap Polri Paling Rendah Dibanding Lembaga Penegak Hukum Lainnya:https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/02/kepercayaan-terhadap-polri-paling-rendah-dibanding-lembaga-penegak-hukum-lainnya
        4. LSI: Kepercayaan Masyarakat Terhadap KPK dalam Pemberantasan Korupsi Paling Tinggi:https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/03/lsi-kepercayaan-masyarakat-terhadap-kpk-dalam-pemberantasan-korupsi-paling-tinggi


      yang pada gilirannya akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum.

      Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan yang tidak kalah membahayakan, RUU Polri ini secara simultan juga dapat memfasilitasi kebangkitan dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian sebagai aktor politik (political actor) yang menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan paska reformasi.

      Selain itu, dengan berbagai rancangan pasal baru dan perluasan kewenangan, RUU Polri bukannya membenahi institusi Polri dan merancang Polri menjadi lembaga yang profesional dan akuntabel namun justru membuat Kepolisian nampak menjadi institusi superbody. Sayangnya berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas dan ketat mengenai mekanisme pengawasan terhadap
      pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian. Berbagai kewenangan tambahan yang disisipkan dalam RUU Polri bahkan berada di luar
      tugas utama Polri yang diatur oleh Konstitusi yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

      Berdasarkan kajian terhadap draf revisi UU Polri yang diterima oleh masyarakat sipil terdapat berbagai catatan kritis terhadap pasal-pasal baru revisi UU Polri yang
      bermasalah, diantaranya adalah sebagai berikut:

      1. Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Sepanjang sejarahnya, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil, seperti yang dilakukan pada tahun 2019 di Papua dan Papua Barat—sebuah tindakan yang menurut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah. Selain itu, hadirnya pengawasan secara eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN)
      2.  RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah “Kepentingan Nasional” yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.” Selain itu, terdapat kemungkinan Kepolisian menyimpangi prinsip-prinsip HAM dalam implementasi Pasal tersebut, karena Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang sangat luas sehingga dengan dalih “kepentingan nasional”, Kepolisian dapat bertindak menurut penilaian sendiri, ceruk subyektifitas tersebut memberikan ruang yang sangat besar penyalahgunaan wewenang penggunaan kekuatan berlebih secara eksesif yang dalam praktiknya dapat mengarah kepada pelanggaran HAM. Kewenangan untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan yang mengancam “Kepentingan Nasional” kemudian juga diperkuat dengan yang memperluas fungsi intelkam Polri sehingga mampu untuk meminta keterangan dari lembaga-lembaga termasuk kementerian dan termasuk memeriksa aliran dana. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
      3. Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaan karena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebut dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan, padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan. Selain perluasan kewenangan Intelkam, Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan Polri kewenangan untuk melakukan penyadapan Kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.
      4. Revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator. Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup. Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian. Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian. Diaturnya perihal penyelidikan dan penyidikan dalam RUU Polri juga nampak mendahului dan tidak sepenuhnya selaras dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang proses pembahasannya masih menggantung sejak 2014. Pemerintah seharusnya mendahulukan agenda pembahasan RKUHAP dan menyelaraskan substansi dari RUU Polri dengan RKUHAP. KUHAP sendiri merupakan undang-undang utama yang mengatur perihal Sistem Peradilan Pidana dan KUHAP yang kini berlaku telah berlaku selama 43 tahun sehingga urgensi terhadap pembaruannya seharusnya didahulukan oleh pemerintah. Pada tahap pelaksanaan tugas, terdapat kekhawatiran bahwa seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus mendapat petunjuk dari Kepolisian sehingga berpotensi mengintervensi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK serta penyidikan kejahatan lingkungan hidup yang membutuhkan petunjuk langsung dari Kepolisian. Dampaknya tidak sederhana, hal ini berpotensi dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa pada proses praperadilan dengan merujuk Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian dengan isi Kepolisian memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya. Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) huruf p Revisi UU Kepolisian, Kepolisian menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum. Rancangan perluasan kewenangan di bidang penyidikan tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.
      5. Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanya justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali.
      6. Revisi UU Kepolisian akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memiliki dasar dan urgensi yang jelas. Dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian. Ketentuan ini juga harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh berkaitan dengan pengesahan RUU ASN maupun RUU Kementerian Negara yang diduga akan memberikan legalisasi praktik “dwifungsi ABRI” yang mengizinkan Anggota Polri menduduki jabatan sipil di Kementerian Lembaga.
      7. Revisi UU Polri juga menambah daftar kewenangan yang tidak jelas peruntukannya dan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara kementerian/lembaga negara. Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 14 Ayat 2 Huruf (c) juga memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan sekuritisasi.
      8. Meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian. Jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional, akuntabel dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM maka sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian.
      9. Proses pembahasan Revisi UU Polri terkesan terburu-buru dan mengabaikan secara total partisipasi publik. DPR secara tiba-tiba menginisiasi Revisi UU Polri, meskipun berdasarkan data resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), revisi UU Polri justru tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024. Semangat DPR RI dalam melakukan revisi ini berbanding terbalik dengan 20 tahun pengabaian DPR terhadap Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) atau 14 tahun pengabaian RUU Masyarakat Adat termasuk RUU KUHAP yang mangkrak. Dengan melihat pola pembentukan kebijakan pro-oligarki atau kepentingan pemilik modal sebelumnya, semisal UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020, revisi UU Minerba di tahun 2020, hingga pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law Kesehatan kami menduga bahwa revisi ini akan bernasib sama: Bukan untuk kepentingan rakyat, dikebut dan disahkan dengan cara-cara tertutup dan minim partisipasi bermakna dari publik.

      Setelah mencermati substansi RUU Polri, kami, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police) menyatakan sikap sebagai berikut:

          1. Menolak Keras Revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR-RI;
          2. Menuntut DPR maupun Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan tentang Revisi UU Polri pada masa legislasi ini;
          3. Menuntut DPR dan Presiden untuk tidak menyusun UU secara serampangan hanya untuk kepentingan politik kelompok dan mengabaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya sejalan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum. Pembentukan UU baru semestinya memperkuat cita-cita reformasi untuk penguatan sistem demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia dalam rangka melindungi warga negara bukan justru sebaliknya mengancam demokrasi dan hak asasi manusia;
          4. Mendesak DPR untuk memprioritaskan pekerjaan rumah legislasi lain yang lebih mendesak seperti Revisi KUHAP, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat dan lain-lain;
          5. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk melakukan evaluasi yang serius dan audit yang menyeluruh pada institusi Kepolisian dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga HAM negara;
          6. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk memperkuat pengawasan kerja Kepolisian, baik dalam hal penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat, yang mampu memberikan sanksi tegas kepada individu pelaku dan juga perbaikan institusional untuk mencegah pelanggaran serupa terjadi pada masa mendatang.

        Jakarta, 2 Juni 2024

        Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police)

            1. AJAR (Asia Justice and Rights)
            2. AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen)
            3. Amnesty
            4. SAM
            5. HRWG (Human Rights Working Group)
            6. ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
            7. ICW (Indonesia Corruption Watch)
            8. IJRS (Indonesia Judicial Research Society)
            9. IM57+ Institute
            10. Imparsial
            11. KontraS
            12. Kurawal Foundation
            13. LBH Jakarta
            14. LBH Masyarakat
            15. LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan)
            16. PBHI Nasional
            17. PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan)
            18. SAFEnet
            19. Themis Indonesia
            20. TII (Transparansi Internasional Indonesia)
            21. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)

          Surat Desakan untuk Memastikan Pengambilan Kesaksian Mary Jane Veloso sebagai Saksi Korban Perdagangan Orang dengan Berbasis Hak Asasi Manusia dan Prinsip Non Punishment

          Kepada, Yth

          Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia

          Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

          Jaksa Agung Republik Indonesia

          Dengan hormat,

          Kami dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI), sebuah aliansi organisasi masyarakat sipil dan individu yang meyakini bahwa hukuman mati tidak akan membawa keadilan dan mengadvokasi penghapusan hukuman mati di Indonesia dan di seluruh dunia, mengawal dan memantau perkembangan kasus Mary Jane Veloso, perempuan terpidana mati yang merupakan korban perekrutan ilegal dan perdagangan orang di negara asalnya Filipina. Terkait dengan perkembangan terbaru proses hukum kasus perdagangan orang di mana kesaksian Mary Jane Veloso dibutuhkan di pengadilan Filipina. JATI menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

          1. JATI mengapresiasi rencana pengambilan kesaksian tertulis Mary Jane Veloso sebagai saksi korban perdagangan orang yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Filipina melalui mekanisme Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA). Kesaksian Mary Jane Veloso yang sudah dinanti sejak 2019, selepas Putusan Mahkamah Agung Filipina bernomor G.R No 240053 tertanggal 19 Oktober 2019 mengizinkan Mary Jane Veloso untuk memberikan kesaksiannya sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia atas tindakan Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao, yang diperkuat putusan tanggal 4 Maret 2020 yang menolak semua keberatan Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao atas putusan sebelumnya. Kesaksian Mary Jane Veloso merupakan langkah penting untuk menegaskan bukti bahwa dia merupakan korban dari tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi sebagai kurir narkotika;
          2. Bahwa pada Pengadilan Regional Nueva Ecija Filipina telah menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup serta denda sebesar 2 juta Peso kepada Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao atas tindakan perekrutan illegal tenaga kerja berskala besar berdasarkan putusan perkara No SD (15) – 3666 tertanggal 14 Januari 2020. Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao terbukti tidak memiliki lisensi resmi sebagai perekrut tenaga kerja untuk ditempatkan ke luar negeri. Mereka merupakan pelaku yang juga merekrut dan mengajak Mary Jane Veloso ke Malaysia dengan janji mendapat pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga;
          3. Bahwa sejumlah pendapat hukum dan HAM, eksaminasi hukum, dan pendapat pakar, sudah menyebutkan dugaan kuat bahwa Mary Jane Veloso merupakan korban perdagangan orang yang direkrut dan dieksploitasi untuk menjadi kurir narkotika;
          4. Bahwa berdasarkan eksaminasi dan kajian tersebut di atas, dalam proses hukum di Indonesia, Mary Jane Veloso mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) seperti tidak disediakannya juru bahasa yang mumpuni pada saat pemeriksaan dan persidangan, bantuan hukum yang tidak maksimal, tidak alat bukti yang menguatkan Mary Jane Veloso sebagai perantara bisnis narkotika, serta pembebanan pembuktian oleh terdakwa yang semestinya merupakan kewajiban penuntut umum;
          5. Bahwa pada 29 April 2015 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memutuskan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso dengan pertimbangan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan proses hukum yang sedang berlangsung di Filipina, di mana Mary Jane Veloso dibutuhkan keterangannya sebagai saksi dan/atau korban untuk mendapatkan keadilan;
          6. Bahwa keputusan Presiden tersebut merupakan langkah penting yang harus dituntaskan untuk menunjukan komitmen negara dalam mencegah dan melakukan tindakan tegas atas kejahatan perdagangan manusia yang menimpa para pekerja migran;
          7. Bahwa Indonesia dan Filipina telah meratifikasi Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia khususnya pada terhadap Perempuan dan Anak atau Protokol Palermo, yang merupakan Suplemen Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir. Di Indonesia Protokol tersebut diratifikasi melalui Undang-Undang 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

          Berdasarkan uraian di atas, maka JATI mendesak Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia:

          1. Bahwa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) mendefinisikan TPPO dengan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dari definisi tersebut, JATI menegaskan berbagai pendapat ahli dan lembaga HAM nasional bahwa Mary Jane Veloso merupakan korban TPPO;
          2. Bahwa hak-hak Mary Jane Veloso sebagai saksi korban kasus perdagangan orang sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang dan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, harus dipastikan dipenuhi dan dihormati. Hak tersebut antara lain mendapat pendampingan hukum, mendapatkan informasi mengenai kasus di mana dia diambil keterangannya, mendapat perlindungan, repatriasi, dan pemulihan. Peristiwa pelanggaran fair trial dalam proses hukum sebelumnya, hendaknya menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali;
          3. Bahwa dalam kasus perdagangan orang dikenal prinsip non-hukuman (non-punishment principle) yang menetapkan bahwa korban perdagangan tidak boleh dituntut atau dihukum atas tindakan melawan hukum yang mereka lakukan sebagai akibat dari perdagangan orang. Prinsip ini bukan berarti memberikan kekebalan hukum bagi Mary Jane Veloso, tapi alat untuk memberikan perlindungan terhadap Mary Jane Veloso, sebagai korban TPPO dan jaminan penyelesaian  proses peradilan pidana berbasis HAM yang saat ini sedang berjalan di Filipina. Prinsip non-hukuman juga diamanatkan dalam Pasal 18 UU TPPO bahwa korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana. Serta penegasan Pasal 26 UU TPPO bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang;
          4. Bahwa sebagai warga negara asing yang merupakan korban TPPO, Mary Jane Veloso berhak untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU TPPO, yakni dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia;
          5. Bahwa dari uraian di atas, komitmen Presiden Joko Widodo untuk  memberikan akses keadilan bagi Mary Jane Veloso sudah semestinya dituntaskan dengan membebaskannya dari hukuman melalui grasi kepada Mary Jane Veloso;
          6. Bahwa kasus yang dialami oleh Mary Jane Veloso sebenarnya banyak dialami oleh pekerja migran Indonesia di luar negeri, tapi dalam perkembangan proses hukumnya kasus Mary Jane Veloso belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented case). Terobosan hukum untuk penerapan prinsip non-penghukuman akan menjadi preseden baik dalam perlindungan korban TPPO tidak hanya di Indonesia dan Filipina, tetapi juga di tingkat regional dan global;
          7. Bahwa JATI percaya pidana mati terhadap Mary Jane Veloso tidak akan membawa keadilan bagi siapa pun, sebaliknya justru bertentangan dengan keadilan karena merenggut kehidupan perempuan miskin seperti Mary Jane Veloso. Maka, proses pengambilan kesaksian ini bukan sebagai titik akhir untuk melegitimasi eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso tapi justru babak baru dalam menempuh proses upaya hukum dengan tujuan untuk membebaskan Mary Jane Veloso dari pidana mati. Sehingga JATI mendesak Pemerintah Indonesia menuntaskan kasus Mary Jane Veloso di Indonesia melalui saluran keadilan hukum yang tersedia sebagai komitmen Pemerintah Indonesia melawan TPPO;
          8. Bahwa JATI sebagai representasi dari masyarakat sipil akan terus mengawal proses hukum kasus Mary Jane Veloso baik di Indonesia dan Filipina, serta terus menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menjalankan proses secara transparan dan akuntabel dengan berpegang pada prinsip HAM dan keadilan gender.

          Demikian surat desakan ini kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

          Hormat kami,

          Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

          Lembaga:

          1. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
          2. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
          3. JPIC Divina Providentia Kupang
          4. Persatuan Gereja Indonesia (PGI)
          5. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
          6. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
          7. Komunitas Sant’Egidio Indonesia
          8. Solidaritas Perempuan
          9. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
          10. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
          11. F-SEDAR
          12. Migrant CARE
          13. Solidaritas Perempuan Lampung
          14. Reprieve
          15. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
          16. Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY)
          17. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
          18. Yayasan Istri Binangkit
          19. KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang
          20. PADMA INDONESIA
          21. SOLID PAPUA
          22. GANAS COMMUNITY (Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas) Taiwan
          23. YAYASAN MENTARI (US)
          24. Konsul Penyintas Indonesia
          25. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
          26. Amnesty International Indonesia
          27. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM)
          28. Yayasan Mutiara Maharani (YMM)
          29. KDS EMC2 Cengkareng
          30. Dark BALI
          31. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
          32. Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI)
          33. WOMXN\’S VOICE
          34. Fighting For Feminism (TRIPLE-F)
          35. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
          36. Institut Sarinah
          37. Kidung – Subang
          38. Asosiasi Purna Pekerja Migran Indonesia (APPMI)
          39. F-BUMINU SARBUMUSI
          40. Rumpun Perempuan dan Anak Riau (RUPARI)
          41. Persatuan Perempuan Residivis Indonesia
          42. Perempuan Mahardhika
          43. Persatuan Mahasiswa Universitas Terbuka Hong Kong (PERMA UTHK)
          44. Perkumpulan Peduli Kebijakan Napza (PPKN)
          45. Bhatida Indonesia
          46. Perkumpulan Sopir Trailer Tanjung Priok (PSTTP)
          47. Komunitas HANAF
          48. Driver Karisidenan Madiun (DKM)
          49. Barisan Relawan Jalan Perubahan Hong Kong (BARAJP BPLN HK)
          50. Unbound Now Indonesia
          51. JALA PRT
          52. TalithaKum Indonesia Jaringan Jakarta
          53. HRWG
          54. BEBESEA
          55. Forum Peduli Anak Bangsa
          56. Jaringan Buruh Migran (JBM)
          57. Forum Islam Progresif
          58. IPPMI (Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia)
          59. CAKSANA Institute – law and public policy Reform, JOGJA
          60. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
          61. Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Kota Bandung
          62. Yayasan Sakura Indonesia
          63. O.U.R. Indonesia
          64. KAPAL Perempuan
          65. Perkumpulan Suara Kita
          66. FORMASI Disabilitas
          67. SIGAB Indonesia
          68. JRS Indonesia
          69. PERTIMIG Malaysia
          70. Indonesian Migrant Workers Union – Hong Kong & Macau
          71. Assosiasi Buruh Migran Indonesia Hong Kong (ATKI-HK)
          72. Persatuan BMI Tolak Overchargin – PILAR Hong Kong
          73. Liga Pekerja Migran Indonesia – LIPMI Hong Kong
          74. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Hong Kong, Macau, Taiwan
          75. Gabungan Migran Muslim Indonesia – GAMMI Hong Kong
          76. IMPARSIAL
          77. Asosiasi LBH APIK Indonesia
          78. LBH JAKARTA
          79. Migran Pos
          80. Yayasan Embun Pelangi
          81. KJHAM

          Individu:

          1. Sr Laurentina SDP
          2. Pdt. Krise Gosal
          3. Anwar Ma\’arif (Bobi)
          4. Yuni Asriyanti
          5. Pdt. Henrek Lokra
          6. Robert B. Triyana
          7. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus
          8. Anastasia Kiki
          9. Gabriel Goa
          10. Shandra Woworuntu (US)
          11. Thaufiek Zulbahary
          12. Puspa Yunita
          13. Herdayanti
          14. Samsudin Nurseha
          15. Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo
          16. Nurkholis
          17. Darda Syahrizal
          18. Ermelina Singereta (Advokat di Dike Nomia Law Firm)
          19. Lusya Loko Dai
          20. Vivi Octavia
          21. Cythia Puspitasari
          22. Tohase
          23. Dewi Tjakrawinata
          24. Eva K Sundari
          25. Panca Saktiyani
          26. Mamik Sri Supatmi
          27. Paryanto
          28. Ali Nurdin
          29. Wahyu Nara Saputro
          30. Novia Arluma
          31. Nofia Erizka Lubis, S.H.
          32. Dina Nuriyati
          33. Maizidah Salas
          34. Th. Triza Yusino
          35. Maria Selastiningsih
          36. Yuliana M. Benu
          37. Ririn Sefsani
          38. Nunuk Margiati
          39. Juple
          40. Pudji Tursana
          41. Shantoy Hades
          42. Damairia Pakpahan
          43. Daniel Awigra
          44. Dade Gunadi Firdaus
          45. Olin Monteiro
          46. Savitri Wisnuwardhani
          47. Agung Kurniawan
          48. Wasingatu Zakiyah
          49. Budhis Utami
          50. Isti Komah
          51. Valentina Utari
          52. Rully Winata
          53. Christian Pascha
          54. Valentina Sri Wijiyanti
          55. Retnowati Iskandar
          56. Naomi Srikandi
          57. Siti Alviyah
          58. Khotimun Sutanti
          59. Bariyah
          Skip to content