Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

*Brutalitas Polisi Terus Makan Korban, Dari Warga hingga Pelajar SMK Ditembak Mati, Polri Harus Segera Direformasi!*

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) mengutuk keras kasus tembak mati (extrajudicial killing) yang melibatkan aparat kepolisian di sejumlah wilayah dalam beberapa hari terakhir. Minggu, 24 November 2024, anggota kepolisian Polres Semarang menembak mati seorang anak, Gamma Rizkynata Oktafandy (16), pelajar SMKN 4 Semarang yang juga melukai salah seorang rekannya. Di hari yang sama, warga Desa Tunggang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka, Beni (45) meninggal akibat tembakan anggota Brimob Polda Bangka Belitung setelah dituduh mencuri buah sawit di area perkebunan PT. BPL.

Padahal beberapa hari sebelumnya (Jumat, 22/11/2024), telah ramai diberitakan peristiwa polisi tembak polisi berujung kematian, yang dilakukan Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar terhadap Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar. Kejadian ini juga dikabarkan terkait dengan praktik beking tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian.

Koalisi mendesak Kapolri dan Kompolnas untuk menindak tegas para pelaku,  mengusut tuntas kasus ini serta memastikan tidak ada yang ditutup-tutupi. Presiden dan DPR RI juga tidak boleh tutup mata dan harus segera bertindak. Evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian mesti dilakukan agar korban tidak terus berjatuhan.

Di kasus kematian Gamma, Kapolrestabes Semarang memunculkan versi berbeda.  Penembakan merupakan bagian dari penanganan tawuran dan meminta masyarakat memahami tindakan kepolisian tersebut. Polisi menyebut bahwa korban merupakan anggota geng Tanggul Pojok yang sedang melakukan tawuran di Semarang Barat.

Tuduhan Polisi ini dibantah oleh kesaksian keluarga, guru, teman, warga sekitar dan Satpam perumahan tempat kejadian. Informasi media seperti Tempo dan Tribunjateng dan media lain menyebutkan bahwa menurut keluarga, guru dan teman korban. Korban adalah murid baik dan berprestasi dan tergabung dalam paskibraka, sehingga tidak mungkin melakukan tawuran. Selain itu, Satpam dan warga sekitar juga mengatakan bahwa hari itu tidak ada tawuran di daerah tersebut. Kejanggalan pun muncul, CCTV di sekitar kejadian mendadak “hilang” disita Polisi. Pola yang relatif mirip di kasus “Sambo”, Alm. Afif Maulana, KM 50, dan lainnya.

Koalisi RFP menilai tuduhan Polisi kepada korban adalah upaya institusi kepolisian untuk menutupi kasus dan menjaga citranya yang terus tercoreng. Koalisi mencatat pola yang serupa, dalam berbagai kasus. Muncul stigma buruk yang ditujukan kepada korban penembakan polisi untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Belajar dari kasus Ferdy Sambo, mulanya polisi menyatakan bahwa penembakan diawali oleh Brigadir Josua menembak Fredy Sambo, namun dalam investigasi ternyata sebaliknya. Respon kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.

Koalisi RFP memandang kasus penembakan yang berujung kematian ini menunjukan masih kuatnya arogansi, brutalitas, watak militeristik, dan kesewenang-wenangan anggota Polri terhadap masyarakat, bahkan terhadap korban yang masih berstatus anak. Alih-alih menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, kasus ini justru kian memperkuat potret kegagalan sistemik institusi kepolisian yang kian menempati posisi sebagai aktor pemegang monopoli kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menjamin “Setiap manusia memiliki hak untuk hidup.” Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang”. Sebagai ketentuan fundamental, hak ini kemudian ditegaskan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius. Tidak terkecuali terhadap pelanggaran atas asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang menjadi prinsip utama dalam sistem peradilan dan Negara Hukum.

Di kasus Gamma di Semarang, kepolisian harus mengusut secara cepat dan tuntas sebagaimana diatur Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Atas sederet tragedi penembakan berujung kematian tersebut, para pelaku harus diperiksa secara mendalam dan sungguh-sungguh terkait adanya pelanggaran sejumlah ketentuan seperti Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang mekanisme Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, termasuk Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO).

Namun tidak cukup melakukan pemeriksaan dan menghukum berat pelaku, kejadian ini harus dipandang sebagai kegagalan reformasi kepolisian yang menyebabkan kultur brutalitas yang masih terus mengakar di institusi Polri, tidak terkecuali untuk kembali mengevaluasi relevansi penggunaan senjata api di kepolisian yang notabene bertugas melakukan penegakan hukum dan menjaga keamanan dalam negeri yang kerap berhadapan dengan warga negara sendiri.

Mengacu data yang dihimpun KontraS dalam rentang 2020 – 2024 praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020 – Juni 2021 setidaknya telah terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

YLBHI mencatat sepanjang 2019 terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI menghimpun setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi RFP mendesak agar:

  1. Kapolri segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan penegakan hukum secara objektif dan profesional dengan mengusut tuntas dugaan pembunuhan dan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polres Semarang tersebut, serta memastikan akuntabilitas dan penghukuman tegas bagi pelaku ;
  2. Kapolri melakukan evaluasi ketat terhadap penggunaan senjata api di lingkungan kepolisian, bahkan perlu meniadakan penggunaan senjata api di institusi kepolisian, dengan mengganti dengan penggunaan senjata yang tidak mematikan, karena hanya akan menimbulkan korban-korban nyawa warga negara di kemudian hari;
  3. Kapolri segera memberhentikan polisi terduga pelaku penembakan dan pembunuhan tersebut;
  4. Presiden dan DPR RI segera menindaklanjuti seluruh persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan menjalankan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan polisi dan pemolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel;
  5. Kompolnas untuk menjalankan peran pengawasannya secara efektif dan memastikan agenda reformasi kepolisian dapat sepenuhnya dijalankan;
  6. Komnas HAM agar melakukan pemantauan, penyelidikan, dan melakukan audit institusi Polri terhadap kewenangan polisi menggunakan senjata api;
  7. Ombudsman, LPSK, dan KPAI dan lembaga terkait lainnya untuk aktif memantau dan memastikan proses hukum berjalan secara objektif, transparan, dan profesional;
  8. Mendesak DPR RI, khususnya Komisi III untuk segera memanggil Kapolri pada rapat kerja untuk memberikan pertanggungjawaban atas seluruh kejadian tembak mati, khususnya yang terjadi di Semarang, Bangka Belitung, dan Solok Selatan serta memastikan Reformasi Polri untuk menjamin ketidakberulangan tindak kekerasan yang dilakukan jajaran kepolisian.

 

Jakarta, 26 November 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

Arif (+62 817-256-167)

Paul (+62 822-9790-8465)

Pernyataan Sikap Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Dukungan Pemulangan Mary Jane Veloso Melalui Mekanisme Transfer of Prisoner

Jakarta, 21 November 2024

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan individu yang berkomitmen untuk menghapuskan hukuman mati, mengapresiasi upaya kolaboratif Pemerintah Indonesia dan Filipina yang menyepakati langkah penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) melalui jalur diplomasi Transfer of Prisoner. Momen ini merupakan perkembangan signifikan perjuangan MJV mendapatkan keadilan yang telah berlangsung hampir 15 tahun.

JATI juga mendorong agar Pemerintah Indonesia dan Filipina segera untuk  mengkonkretkan kesepakatan Transfer of Prisoner ini dengan segera menetapkan langkah-langkah dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV ke negaranya.

Lebih dari 14 tahun MJV telah berstatus sebagai terpidana mati dan duduk dalam deret tunggu eksekusi mati, jauh dari keluarga tercintanya, dan menghadapi ancaman hukuman yang kejam dan penyiksaan tidak langsung. Pernyataannya yang konsisten bahwa dirinya adalah korban perdagangan manusia yang didukung dengan bukti-bukti baru di Filipina, telah menyingkap kelemahan mendasar penerapan hukuman mati. Pemindahannya ke tahanan Filipina membuka peluang untuk memastikan bahwa hak-haknya dihormati sepenuhnya dan suaranya didengar.

MJV merupakan simbol kerentanan sekaligus ketangguhan dari mereka yang miskin dan terpinggirkan saat berhadapan dengan ketidakadilan. Kasus yang dialaminya unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, karena melintas batas yurisdiksi hukum antar negara yang membutuhkan keberanian penyikapan dan terobosan hukum.  Kasusnya memberi pelajaran dan semakin menegaskan mendesaknya penanggulangan perdagangan manusia, sekaligus pembelajaran agar lebih cermat dalam penggunaan Undang-Undang Narkotika yang menegasikan korban sindikat perdagangan manusia.

JATI menyerukan kepada Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk memperlakukan kasus MJV dengan sangat hati-hati, menghormati hak-haknya sebagai korban perdagangan manusia, dan saat kembali ke negaranya memastikan bahwa ia menerima dukungan hukum dan psikologis yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupannya. JATI mengingatkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tentang ekstradisi menjelaskan bahwa proses ekstradisi harus memastikan bahwa kondisi tempat negara penerima harus tidak memberikan resiko adanya eksekusi pidana mati bagi terpidana yang ditransfer. Jaminan ini seharusnya dapat dilaksanakan mengingat bahwa Filipina telah menghapuskan pidana mati pada 2006.

Kami juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menggunakan kasus ini sebagai batu loncatan untuk memperkuat langkah-langkah dalam memerangi perdagangan manusia dan melindungi hak-hak pekerja migran di luar negeri, sekaligus menyelamatkan mereka dari hukuman mati yang tersebar di beberapa negara yang masih menerapkan pidana mati.

JATI menegaskan kembali komitmennya untuk penghapusan hukuman mati secara menyeluruh dalam hukum pidana nasional. Kasus Mary Jane menjadi pengingat pahit bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dan tidak mengatasi akar penyebabnya. Bahkan dalam kasus MJV menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum bisa menjamin implementasi prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan membiarkan peradilan sesat yang sering menyasar kasus hukuman mati sehingga penghapusan hukuman mati dan pengubahan hukuman (commutation) pidana mati menjadi tindakan yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia.

Perlu diingat, MJV tidak sendiri, masih banyak korban-korban perdagangan manusia lainnya yang menghadapi jerat hukuman mati di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia maupun luar Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di luar negeri. Rentetan kasus seperti ini menyimpulkan bahwa hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan, menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menolak keadilan bagi mereka yang dituduh dan dieksploitasi secara tidak adil.    

JATI juga hendak mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa karakteristik kasus perdagangan manusia yang mengeksploitasi perempuan atau kelompok rentan lain sebagai kurir narkotika tidak hanya menimpa Mary Jane Veloso. Banyak terpidana narkotika baik berkewarganegaraan asing maupun Indonesia yang menerima hukuman maksimal dan tidak pernah mendapatkan pengakuan atau perlindungan sebagai korban perdagangan manusia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu untuk mempertimbangkan melakukan skema-skema transfer of prisoners, komutasi, ataupun amnesti kepada para terpidana mati dengan karakteristik kasus yang serupa dengan Mary Jane Veloso.

Untuk itu kami menyampaikan sikap:

  1. Pemerintah Indonesia dan Filipina segera menyusun dan menyepakati langkah-langkah konkret dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV dari Indonesia ke Filipina;
  2. Pemerintah Filipina memperlakukan MJV sebagai korban perdagangan manusia, oleh karena itu hak-haknya harus dihormati dan dipenuhi, termasuk haknya untuk mengajukan pengurangan hukuman;
  3. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan melakukan mekanisme transfer of prisoner, komutasi, atau amnesti bagi terpidana mati yang terbukti sebagai korban perdagangan manusia, mengambil contoh baik dari rencana pemulangan MJV;
  4. Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dalam hukum pidana nasional, termasuk merevisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berkontribusi dalam pelanggaran prinsip fair trial dan sumber rekayasa kasus;
  5. Pemerintah Indonesia meninjau kasus hukuman mati dan segera melakukan perubahan hukuman terpidana mati sebagaimana mandat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Narahubung:

  1. Iweng Karsiwen (KABAR BUMI) – 081281045671
  2. Yosua Octavian (LBHM) – 081297789301
  3. Maidina Rahmawati (ICJR) – 085773825822
  4. M. Afif Abdul Qoyim (YLBHI) – 081320049060
  5. Gina Sabrina Monik (PBHI) – 085252355928
  6. Amira (KontraS) – 08176453325

Ancaman Semu LGBTQ dalam Kajian Wantannas: Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Kamis, 14 November 2024, yang menyajarkan isu LGBTQ sebagai ancaman negara prioritas pada tahun 2025. Pernyataan yang dibuat tanpa dasar logika dan riset yang matang berpotensi menambah aksi persekusi dan kekerasan yang diterima oleh individu LGBTQ di Indonesia.

Di hadapan anggota dewan, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat memaparkan kajian strategis lembaganya tentang dinamika geopolitik nasional dan internasional, serta mengulas isu strategis keamanan pada tahun 2025. Isu LGBTQ masuk ke dalam isu budaya, bersama dengan penguatan jati diri di Papua, konflik pesisir, minta petani untuk generasi muda, kesejahteraan dosen, kualitas sarjana dan mutu pendidikan, budaya antikorupsi, dan konten TV. Dalam sesi tanya-jawab, diskusi yang memosisikan LGBTQ sebagai ancaman juga datang dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI.

Asosiasi LGBTQ sebagai ancaman negara yang perlu ditindak dengan pendekatan sekuritisasi ini keliru dalam setidak-tidaknya tiga poin:

Pertama, pengkategorian LGBTQ sebagai ancaman bangsa justru kontraproduktif dengan tujuan dari Wantannas sendiri yang salah satunya adalah menjaga keamanan bangsa. Dalam RDP tersebut, tercetus anggapan bahwa LGBTQ adalah bom waktu, yang kalau dibiarkan sekarang akan merugikan di masa depan. Pengaitan individu LGBTQ dengan istilah-istilah militeristik ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2016, Ryamizard Ryacudu, mantan Menteri Pertahanan era Jokowi juga mengaitkan LGBTQ dengan nuklir.[1] Perumpamaan yang kering imajinasi ini tidak didukung oleh argumen yang logis dan malah bersifat menakut-nakuti masyarakat awam tentang keragaman orientasi seksual dan identitas gender di Indonesia.

Selama ini, individu LGBTQ adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan dan persekusi. Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan dari 401 responden LGBTQ, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.[2] Dari situasi tersebut, RDP yang terjadi minggu lalu malah semakin menambah bara dalam kepungan serangan terhadap individu LGBTQ di Indonesia dan memperlemah keamanan bangsa.

Kedua, kajian Wantannas tentang ancaman LGBTQ disebabkan oleh ketidaktahuan tentang ragam identitas gender dan orientasi seksual. Sekjen Wantannas menyatakan bahwa LGBTQ berbahaya karena penambahan identitas queer yang ia definisikan sebagai “Segala sesuatu orang yang orientasi seksualnya masih belum jelas.” Bahkan, ia menyamakan individu queer dengan hubungan seksual manusia dengan binatang (zoophilia), manusia dengan peralatan/boneka (hubungan seksual dengan sex toys), dan pedofilia. Pada kenyataannya, orang heteroseksual dan cisgender[3] pun bisa masuk ke kategori orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, peralatan dan boneka. Banyak juga individu heteroseksual yang dijatuhi hukuman pidana karena melakukan hubungan seksual dengan anak. Kasus Herry Wirawan, misalnya, menunjukkan bahwa seorang pria heteroseksual bisa melakukan kekerasan seksual kepada 13 santriwati yang berusia dari 14-20 tahun.[4]

Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Wantannas tentang identitas queer. Queer adalah kelompok identitas bagi orang-orang yang merasa tidak nyaman dikelompokkan ke dalam kategori identitas gender atau orientasi seksual yang bersifat kaku. Dengan demikian, istilah queer adalah istilah yang memayungi ragam gender dan seksualitas lainnya (umbrella term). Secara historis, istilah ini awalnya muncul sebagai hinaan, tapi kemudian diambil alih oleh kelompok queer sebagai identitas yang menguatkan, karena dengan istilah tersebut seseorang mendapatkan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri.[5] Akar etimologi dan histori inilah yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memilih identitas queer tidak sama dengan orang-orang yang melakukan kekerasan seksual.

Ketiga, tidak ada bukti bahwa individu LGBTQ menyebabkan rendahnya angka pernikahan dan penurunan populasi. Pernyataan ini keluar dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI, yang mengaitkan perkembangan kehidupan LGBT dan angka pernikahan di Indonesia yang semakin hari semakin menurun. Ia lantas membandingkan kondisi ini dengan negara Korea Selatan di mana, menurut cerita anekdotalnya, sekolah-sekolah kekurangan anak didik sehingga pemerintahnya memohon-mohon negara lain untuk mengirimkan peserta didik ke Korea Selatan.

Tidak ada bukti akademis yang menyatakan bahwa eksistensi dari individu LGBTQ menyebabkan penurunan populasi. Di Korea Selatan, penurunan angka pernikahan dan penurunan angka kelahiran lebih disebabkan oleh harga perumahan yang melambung tinggi, budaya mementingkan kerja di atas segalanya (workism), diskriminasi terhadap perempuan pekerja yang memiliki anak. Semua hal ini mempengaruhi keputusan orang muda di Korea Selatan untuk tidak menikah dan/atau tidak memiliki anak.[6] Bahkan, Korea Selatan belum termasuk negara yang mengakui pernikahan sesama jenis, sehingga mengada-ngada ketika penurunan populasi Korea Selatan dikaitkan dengan individu LGBTQ.

“Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak Wantannas mengkaji ulang isu-isu strategis yang perlu untuk ditangani di 2025,” kata Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. “Individu LGBTQ sudah rentan menjadi target serangan dan diskriminasi yang masif dari berbagai kelompok.”

“Jika Wantannas memang serius hendak mengubah fungsinya dari Dewan Ketahanan Nasional ke Dewan Keamanan Nasional, seharusnya lembaga ini turut berkontribusi untuk melindungi hak-hak dasar dari semua orang di Indonesia, tidak terkecuali individu LGBTQ.”

 

Jakarta, 18 November 2024

 

Narahubung: Albert (0859 3967 6720)

[1] Hakim, Syaiful. “Menhan: LGBT Bagian Proxy War.” Antaranews. 23 Februari 2016. Diakses di  http://www.antaranews.com/berita/546668/menhan-lgbt-bagian-proxy-war

[2] Saputra, A. F. Shabrina, D. Nugraha, R. K. (2022). Sampai Kapan Kami Harus Sembunyi? Laporan Situasi Minoritas Gender dan ragam Orientasi Seksual di Indonesia. Jakarta, Consortium CRM.

[3] Cisgender: Seseorang yang identitas gendernya sama dengan identitas gender yang ditetapkan padanya saat dia lahir.

[4] Budi, Candra Setia. “Perjalanan Kasus Pemerkosaan 13 Santri oleh Herry Wirawan, Kronologi hingga Vonis Mati.” Kompas.com. 4 April 2022. Diakses di https://bandung.kompas.com/read/2022/04/04/225025378/perjalanan-kasus-pemerkosaan-13-santri-oleh-herry-wirawan-kronologi-hingga?page=all.

[5] Andrew, Scottie. “What it means to be queer.” CNN.com. 11 Juni 2024. Diakses di https://edition.cnn.com/us/queer-meaning-lgbtq-cec/index.html

[6] Ahn, Ashley. “South Korea has the world’s lowest fertility rate, a struggle with lessons for us all.” Npr.org. 19 Maret 2023. Diakses di https://www.npr.org/2023/03/19/1163341684/south-korea-fertility-rate

Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Atas Opsi Pemindahan Narapidana Mary Jane Veloso

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) menyambut usulan transfer of prisoner terhadap penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso. Langkah penyelesaian diplomatik ini menjadi angin segar atas ketidakpastian kasus yang dihadapi Mary Jane Veloso, kendati sudah jelas statusnya sebagai salah satu korban perekrutan ilegal dan tindak pidana perdagangan orang di Filipina. Namun, JATI memiliki catatan penting yang patut dipertimbangkan atas upaya transfer of prisoner ini.

Pertama, usulan transfer of prisoner bukan hanya memindahkan terpidana ke negara asalnya dan menghabiskan sisa masa hukuman yang telah dijatuhkan pengadilan di Indonesia. Upaya transfer of prisoner ini sepatutnya diawali dengan memperjelas status hukuman terhadap terpidana warga negara asing yang akan dipindahkan dan mempertimbangkan segala keputusan pengadilan yang berkaitan dengan kasus tersebut, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan Indonesia.

Pada kasus Mary Jane Veloso misalnya, jaminan non punishment terhadap korban perdagangan orang, sebagaimana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, belum pernah diterapkan sama sekali. Maka, mengeluarkan Mary Jane Veloso dari status terpidana dengan pertimbangan hasil putusan pengadilan Filipina yang menyebutnya sebagai korban perdagangan orang menjadi langkah pertama yang harus diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Kedua, langkah transfer of prisoner maupun upaya-upaya penyelesaian diplomatik lain seyogianya tidak terbatas hanya pada Mary Jane Veloso. Kesempatan ini juga harus diberikan kepada narapidana warga negara asing lain yang sakit kronis, menjadi korban kejahatan, dan memiliki alasan-alasan kemanusiaan lain untuk dikembalikan ke negara asal. Opsi pemulangan yang luas ini akan memungkinkan Indonesia memiliki posisi tawar untuk meminta warga negara Indonesia berstatus terpidana, terutama bagi mereka yang berstatus terpidana mati, di negara lain untuk dipulangkan ke Indonesia. Mengingat ada banyak warga negara Indonesia yang berstatus terpidana mati di Malaysia dan Kingdom of Saudi Arabia. Pemulangan warga negara Indonesia melalui transfer of prisoners seharusnya juga menjamin akses mereka terhadap hak-hak pengubahan atau pengurangan hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Ketiga, terbukanya peluang penyelesaian pidana dengan langkah-langkah diplomasi ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat bukti keterkaitan korban perdagangan orang dan kerentanannya terhadap pidana mati, yang satu di antaranya karena menjadi kurir narkotika. Situasi ini tidak hanya menyelamatkan korban perdagangan orang yang dieksploitasi sebagai kurir narkotika dan diposisikan sebagai terdakwa atas suatu tindak pidana, tetapi mempertegas dan memperkuat posisi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang rentan menjadi kurir narkotika, terutama di mata internasional.

Demikian catatan penting yang patut menjadi pertimbangan dalam usulan upaya transfer of prisoner ini. Kami mendesak pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, merealisasikan secara serius transfer of prisoners ini dengan pelibatan bermakna Mary Jane Veloso, keluarganya, serta organisasi masyarakat sipil yang relevan.

Narahubung:

  • Kabar Bumi: 0812 8104 5671
  • LBH Masyarakat: 0822 6452 7724

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan!

Pernyataan Sikap dalam Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 9 Oktober 2024

 

Setiap tanggal 10 Oktober, berbagai negara, organisasi, dan advokat di seluruh dunia bersatu dalam solidaritas untuk kembali menegaskan sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga, dan tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil. Pada hari ini, kami Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis, advokat, praktisi, tokoh agama, dan komponen masyarakat sipil lainnya turut bersolidaritas dan menyerukan diakhirinya praktik tersebut. Kami mengingatkan pentingnya hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun dan bahwa keadilan seharusnya adalah tentang rehabilitasi dan pemulihan, bukan pembalasan.

Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 55 negara masih mempertahankan hukuman mati untuk pidana luar biasa, 222 orang dieksekusi mati sepanjang 2023, serta terdapat 41.047 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang di dipublikasi di website https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu, 11 orang di antaranya adalah perempuan.

Pidana mati telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, menimbulkan pertanyaan tentang moral, hukum, dan dampak sosialnya. Dalam banyak kasus, hukuman mati secara tidak proporsional menargetkan masyarakat yang terpinggirkan, orang miskin, dan bahkan mereka yang dituduh secara tidak benar dengan melanggar hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial). Dampak dari hukuman mati bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sangat personal. Kisah-kisah terpidana mati dan keluarga mereka memberikan gambaran yang sangat jelas tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Dari tuduhan pengadilan yang tidak adil hingga laporan penderitaan mental yang diderita oleh mereka yang menunggu eksekusi, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa hukuman mati sejatinya adalah tentang penyiksaan dan penderitaan yang nyata, sehingga penerapan pidana mati tampak sebagai hukuman berlapis.

Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan. Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun. Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban. Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati.

Kami juga mengingatkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan 2 Januari 2023 (UU No.1 Tahun 2023), pidana mati merupakan pidana alternatif yang pemidanaannya selalu diberikan satu paket dengan masa percobaan 10 tahun untuk dapat dilakukan pengubahan hukuman menjadi seumur hidup. KUHP yang baru juga menetapkan pembentukan mekanisme penilaian terhadap terpidana mati untuk melihat adanya perubahan sikap dan perbuatan yang terpuji sebagai syarat pengubahan pidana mati.

Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional. Malaysia, baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib (mandatory death sentence) dan membuat kebijakan pemindahan ulang (resentencing) yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati. Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia ini, kami menyerukan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo sebelum menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 untuk menyelesaikan komutasi massal bagi 557 terpidana mati. Sedangkan bagi Presiden terpilih dan anggota DPR yang baru saja dilantik, serta seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) dan Pemerintah (Eksekutif) untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab, manusiawi dan adil, bergabung dengan negara-negara lain untuk mengakhiri bentuk hukuman keji dan tidak dapat dipulihkan ini (irrevisible).

Ini saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah yang terukur dan berani untuk menghapuskan hukuman mati.

Untuk itu,kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkrit dan terukur untuk menghapuskan hukuman mati, melalui langkah-langkah berikut :

  1. Melakukan moratorium penuntutan pidana mati;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Memastikan dibentuknya mekanisme penilaian untuk pengurangan hukuman mati;
  4. Melakukan asesmen secepatnya terhadap terpidana mati di deret tunggu yang sudah menjalani pidana penjara 10 tahun lebih untuk pengurangan hukuman;
  5. Melakukan pemantauan secara berkala pada tempat-tempat penahanan terpidana mati untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mencegah terjadinya penyiksaan;
  6. Memastikan responsivitas gender dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga penahanan/pemenjaraan sehingga kebutuhan, situasi dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan dipertimbangkan;
  7. Menjamin terpenuhinya Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas sejak dari proses penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan sehingga kebutuhan, hambatan, dan kerentananan Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan proses yang setara dan adil diakui dan dipertimbangkan;
  8. Menyelamatkan Warga Negara Indonesia atau buruh migran dari hukuman mati di luar negeri.

Daftar Lembaga dan Individu:

Lembaga

  1. Imparsial
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  4. Reprieve
  5. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  6. JPIC Divina Providentia
  7. ICJR
  8. Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)
  9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  10. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN)
  11. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  12. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  13. JALA PRT
  14. Marsinah.id
  15. Institut Sarinah
  16. Artsforwomen Indonesia
  17. FSBPI
  18. GMNI
  19. Kidung
  20. KKPPMP KEPRI
  21. YAPESDI
  22. Sikola Mombine, Sulteng
  23. Suluh Perempuan
  24. Perempuan Mahardhika
  25. Migrant CARE
  26. PBHI
  27. IJRS
  28. Beranda Migran
  29. Peduli Buruh Migran
  30. debtWATCH Indonesia
  31. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  32. PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia).
  33. LRC KJHAM
  34. SETARA Institute
  35. Yayasan Inklusif
  36. ELSAM
  37. Komunitas Perempuan Berkisah
  38. Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya)
  39. Yayasan Srikandi Sejati
  40. Pasah Kahanjak
  41. Kolektif Semai
  42. Caritas Indonesia
  43. Jaringan Nasional Anti TPPO (JarNas Anti TPPO)
  44. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
  45. Emancipate Indonesia
  46. Human Rights Working Group (HRWG)
  47. Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya
  48. INFID
  49. CENTRA Initiative
  50. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP)
  51. KASBI
  52. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  53. Solidaritas Perempuan
  54. Koalisi Perempuan Indonesia
  55. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  56. Asosiasi LBH APIK Indonesia (APIK)
  57. F-SEDAR
  58. Aliansi Magang, Outsourcing, Kontrak Melawan (AMUK)
  59. Amnesty International Indonesia

 

Individu

  1. Rosma Karlina
  2. Baby V. Nurmaya
  3. Rizki Kurniawan
  4. Bambang Yulistyo Tedjo
  5. Yuyu Marliah Sukabumi
  6. Eva Sundari
  7. Olin Monteiro
  8. Fanda Puspitasari
  9. Syahar Banu
  10. Panca Saktiyani
  11. Ririn Sefsani
  12. Siti Rubaidah
  13. Maria Yohanista Djou
  14. Amelia Efiliana
  15. DessiDesmaniar
  16. Wahyu Susilo
  17. Puspa Yunita
  18. Rully Winata
  19. Dicky Sulaeman, S.H.
  20. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal)
  21. Raditya Budi Setiawan, S.E.
  22. Iwan Misthohizzaman
  23. Arimbi Heroepoetri
  24. Youngster1312
  25. Yuli Riswati
  26. Sr Laurentina SDP
  27. Hery Oktavianus
  28. Dewi Tjakrawinata
  29. Sari Aznur
  30. Halili Hasan
  31. Alimah Fauzan
  32. Kekek Apriana DH
  33. Ditta Wisnu
  34. Erwin Natosmal Oemar
  35. Nabila Tauhida
  36. Jesse Adam Halim
  37. Eric Sindunata
  38. Dike Nomia
  39. Erwin Netosmal Oemar
  40. Dian Kartika Sari
  41. Pera Sopariyanti
  42. Aida Milasari
  43. Yessi Talibo
  44. Savitri Wisnuwardhani
  45. Mike Verawati
  46. Nursyahbani Katjasungkana

Joint Statement by International Communities on the Brutal, Indiscriminate, and Potentially Expired Use of Tear Gas in Political Dynasty Protests in Indonesia

Wednesday, August 28th, 2024

We, the undersigned non-governmental organizations (NGOs) across the globe, express our deep concern and strong condemnation of the brutal and indiscriminate use of tear gas by security forces during protests against political dynasties in various cities across Indonesia.

We are particularly alarmed by reports suggesting that some of the tear gas used may be expired, which poses severe health risks to protesters and local residents. Additionally, concerns about potential corruption in the procurement of these tear gas canisters further exacerbate the situation, raising questions about the integrity and safety of the crowd control measures being employed.

Based on investigations through the Electronic Procurement Service (lpse.polri.go.id) of the National Police, Indonesia Corruption Watch (ICW) found that the National Police made five purchases between December 2023 and February 2024. A total of US$12.1 million in taxpayer money was spent on tear gas, spread across two work units: the National Police’s Mobile Brigade Corps and the National Police’s Security Maintenance Agency.

There are three main issues regarding the National Police’s purchase of tear gas to date:

  1. The National Police’s Defiance in Disclosing Procurement Information: Despite requests from civil society since August 2023, the National Police have refused to disclose the procurement contracts for tear gas. This suggests that the National Police may be hiding information. The lack of transparency, as mandated by the Central Information Commission Regulation No. 1 of 2021 on Public Information Service Standards (SLIP), should be seen as an early indication of problematic procurement, which could potentially lead to corruption.

Following the Police’s refusal, civil society filed an information dispute with the Central Information Commission (KIP) in December 2023. However, KIP has yet to provide a resolution. civil society suspects that KIP is reluctant to process the dispute against the Police, not merely due to the busy agenda of resolving information disputes. According to SLIP regulations, the dispute process should not take long, as the information civil society requested is clearly public.

  • Lack of Accountability for Tear Gas Use: According to civil society findings, in one of the five procurement packages, the National Police provided information about the quantity of ammunition purchased, amounting to 38,216 projectiles. However, in the other four procurement packages, there was no detailed information on the number of rounds purchased by the Police. This lack of detail makes it difficult for the public to demand accountability, especially when the tear gas is used recklessly and brutally. Without accountability, the Police might be suspected of using expired tear gas, as seen in the Kanjuruhan tragedy.
  • Purchases Made During Non-Emergency Situations: The purchase of tear gas during non-emergency situations raises suspicions that the exorbitant spending is merely an attempt to silence civil society criticism during the 2024 political year. Elevated public criticism is a logical consequence of electoral competition marred by dubious tactics. This also indicates the shallow security strategy of the National Police, which resorts to injuring taxpayers with tear gas instead of addressing their concerns. As a result, the Police’s tear gas purchases add to the growing list of wasteful or inappropriate use of state funds.

The right to peaceful assembly is a fundamental human right protected under international law, including the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and Political Rights, to which Indonesia is a party through Law No.12 of 2005. The excessive, improper, and potentially illegal use of tear gas not only violates these rights but also endangers lives and undermines public trust in the authorities.

We call on the Government of Indonesia to:

  1. Immediately cease the use of tear gas in a manner that is disproportionate, indiscriminate, and potentially dangerous due to expiration or other safety concerns. Security forces must follow strict guidelines to ensure the protection of public health and safety.
  2. Conduct a thorough and transparent investigation into the use of tear gas in various cities across Indonesia, focusing on the condition and procurement of the tear gas canisters. The investigation should also address any potential corruption in the procurement process, with findings made public and those responsible held accountable.
  3. Ensure the protection of peaceful protesters, safeguarding their right to express dissent against political dynasties without fear of violence, intimidation, or exposure to harmful chemical agents.
  4. Implement stronger oversight and transparency in the procurement process for tear gas and other crowd control tools, to prevent corruption and ensure that all equipment used meets safety standards.
  5. Uphold Accountability and develop a comprehensive review in the use of tear gas by law enforcement officers, particularly concerning its human rights and health impacts on affected civil society elements including students, children in the targeted area for tear gas launches, journalists, and many others.

We stand in solidarity with the people of Indonesia in their pursuit of justice, democracy, and human rights. The misuse of force and the potential corruption in the procurement of dangerous crowd control measures are unacceptable and must be addressed immediately.

We urge the Indonesian government to uphold its commitments to human rights and democratic values and to take swift action to prevent further violence and ensure the safety and well-being of all citizens.

Signatories:

  1. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  2. PurpleCode Collective
  3. Humanis
  4. CODAYati
  5. The Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS)
  6. MUSAWI Pakistan
  7. Advocacy Forum Nepal
  8. Manushya Foundation
  9. Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network
  10. Human Rights Working Group (HRWG)
  11. Women 4 Women
  12. PERIN+1S & C2O library
  13. Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA)
  14. Migrant CARE
  15. Samudayik Sarathi Nepal
  16. LaporIklim
  17. LaporSehat
  18. Transformasi untuk Keadilan Indonesia
  19. The Prakarsa
  20. Indonesia Legal Aid and Human Rights Association (PBHI)
  21. 350.org Indonesia
  22. Kolektif Semai
  23. WeSpeakUp.org
  24. New Naratif
  25. Transparency International – Malaysia Chapter
  26. Proklamasi Anak Indonesia
  27. Milk Tea Alliance – Friends of Myanmar
  28. Queers of Burma Alternative
  29. Suara Rakyat Malaysia (SUARAM)
  30. SRI Institute
  31. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  32. Cedaw Working Group Indonesia (CWGI)
  33. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  34. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
  35. Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT)
  36. Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusi Disabilitas (FORMASI Disabilitas).
  37. Progressive Voice
  38. Karen Women’s Organization
  39. Philippine Alliance of Human Rights Advocates (PAHRA)
  40. Human Rights Online Philippines (HROnlinePH)
  41. Cross Cultural Foundation Thailand (CrCf)
  42. Blood Money Campaign
  43. Gueers of Burma Alternative
  44. Perkumpulan Suaka Untuk Perlindungan Hak Pengungsi (SUAKA)
  45. Forum LSM DIY
  46. Yayasan LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial)
  47. Koalisi Lintas Isu (KLI) Yogyakarta
  48. Generation Wave
  49. Jaringan Radio Komunitas Indonesia
  50. Burmese Women’s Union
  51. Rumah Produksi untuk Kebudayaan Indonesia
  52. Beranda Migran
  53. Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI)
  54. Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR-Hong Kong)
  55. Gabriela Aotearoa New Zealand
  56. Anakbayan Aotearoa New Zealand
  57. GANAS COMMUNITY TAIWAN
  58. Transparency International Indonesia
  59. Philippines Australia Union Link, Sydney
  60. IMVU MACAU
  61. Merdeka West Papua Support Network
  62. International Indigenous Peoples Movement for
  63. Self-Determination and Liberation (IPMSDL)
  64. Kurawal Foundation
  65. Partido Manggagawa, Philippines
  66. Marsinah.id
  67. Think Path Indonesia Legal Office
  68. Dewan Adat Papua
  69. FIAN Indonesia
  70. Equality Myanmar (EQMM)
  71. Kyauktada Strike Committee (KSC) Myanmar
  72. Puanifesto
  73. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  74. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  75. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
  76. Gerakan Media Merdeka (Geramm)
  77. Pamflet Generasi
  78. People’s Empowerment Foundation
  79. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  80. Asia Pacific Research Network (APRN)
  81. Centre for Human Rights and Development (CHRD)
  82. Roots for Equity
  83. Alga Rural Women’s NGO
  84. KORT INGO Pakistan
  85. Forum Petani Plasma Buol
  86. Empowering Singaporeans
  87. Black Farm Municipal
  88. International NGO Forum on Indonesian development (INFID)
  89. Public Virtue Research Institute
  90. Sikola Mombine Foundation ( SM-CentralSulawesi)
  91. Indonesian Consumers Foundation ( YLKI)
  92. Progressive Voice
  93. Aliansi Melbourne Bergerak
  94. TAPOL, United Kingdom
  95. Transparency International – Taiwan Chapter
  96. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  97. RRR Collective
  98. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist)
  99. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  100. Resister
  101. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
  102. The Indonesian Forum for Environment (WALHI) – Friends of the Earth Indonesia
  103. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
  104. Activate Rights, Bangladesh
  105. Auriga Nusantara
  106. Don’t Gas Indonesia
  107. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (Community Legal Aid Institute)
  108. Bir Duino Kyrgyzstan
  109. Anotasi.org
  110. 350.org Japan
  111. Melihat Kota
  112. 350.org Asia
  113. Needle n’ Bitch
  114. ALTSEAN-Burma
  115. ASEAN SOGIE Caucus
  116. Friends of the Earth Japan
  117. Lokataru Foundation
  118. Blok Politik Pelajar
  119. Front Forward Muda
  120. Partai Hijau Indonesia
  121. Choose Democracy
  122. Tifa Foundation
  123. Asia Indigenous Peoples Pact
  124. Bai Indigenous Women’s Network
  125. The Institute for Ecosoc Rights
  126. KERI: Caring for Activists
  127. WITNESS
  128. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG)
  129. National Indigenous Women Forum (NIWF), Nepal
  130. 350.org US

MAJELIS HAKIM PENGADILAN NEGERI STABAT MENCEDERAI PRINSIP KEMANUSIAAN

Hari Senin tanggal 8 Juli 2024 menjadi momentum kelam dalam sejarah kemanusiaan pasca vonis bebas yang diberikan kepada mantan Bupati Kabupaten Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin (TRP). Melalui putusan nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.SBT, TRP dinyatakan tidak bersalah atas dugaan tindak pidana perdagangan orang yang ditemukan pada awal tahun 2022 lalu.

Sebelumnya, pada 18 September 2023, Penuntut Umum mendakwa TRP dengan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Pasca pembuktian yang melibatkan lebih dari 50 orang saksi, Penuntut Umum menuntut TRP dengan pidana penjara selama 14 tahun dan 6 bulan. Selain pidana penjara, TRP juga diminta untuk membayar restitusi sejumlah Rp 2.377.805.493 (dua milyar tiga ratus tujuh puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) kepada para korban atau ahli waris dari korban.

Vonis bebas yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Andriyansyah, Dicki Irvandi, dan Cakra Tona Parhusip patut untuk dipertanyakan. Pasalnya, 4 orang yang juga diperiksa dalam kasus serupa, telah lebih dulu divonis bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif pertama Penuntut Umum, yakni Pasal 7 ayat (2) UU TPPO Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun perkara 4 orang tersebut telah berkekuatan hukum tetap dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp200.000.0000, subsider 2 bulan kurungan (vide putusan nomor: 469/PID.SUS/2022/PN.STB jo. Putusan Nomor: 1820/PID.SUS/2022/PT.MDN jo. Putusan Nomor: 3775 K/PID.SUS/2023). Disparitas penjatuhan putusan dalam perkara TRP dengan 4 orang lainnya ini patut diduga sebagai bentuk kelalaian majelis hakim dalam memeriksa kedua perkara tersebut. Mengingat susunan anggota majelis hakim di tingkat pertama yang serupa.

Penuntut Umum dalam dakwaannya telah menyebutkan secara tegas tentang kronologi dan keterlibatan TRP sebagai pendiri dari kerangkeng manusia yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi. Sejak pendiriannya pada tahun 2010 sampai dengan Januari 2022, ‘penjara’ ini sudah menerima setidaknya 665 orang untuk menjalani aktivitas yang konon diklaim merupakan rehabilitasi narkotika. Empat orang di antaranya meninggal dunia setelah menerima tindakan penyiksaan yang dilakukan selama berada di dalam kerangkeng milik TRP tersebut. Klaim TRP yang menyebutkan bahwa kerangkeng ini ditujukan untuk rehabilitasi jelas mengusik logika dan akal sehat. Selain tindakan penyiksaan yang merenggut nyawa, tempat ini bahkan tidak mengantongi izin sebagai lembaga rehabilitasi dari institusi yang berwenang. Secara khusus dalam konteks ketergantungan narkotika, tidak ada program dan fasilitas yang relevan sebagai upaya untuk menjawab persoalan adiksi serta pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang berada di dalamnya.

LBHM menekankan perhatian pada suburnya stigma dan pendekatan punitif terhadap setiap orang yang terlibat kasus narkotika, khususnya pengguna narkotika, yang hanya akan menciptakan praktik penyiksaan dan koruptif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Tidak sedikit pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap tanpa barang bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi. Hal ini jelas menggambarkan masifnya praktik penahanan sewenang-wenang dengan kedok rehabilitasi. Dewan HAM PBB melalui Kelompok Kerja Penahanan Sewenang-wenang (Working Group on Arbitrary Detention) juga telah memberikan rekomendasi tegas agar negara-negara anggotanya menutup lembaga-lembaga rehabilitasi wajib, baik yang berada di bawah pengelolaan negara maupun swasta, yang melakukan penahanan di luar kehendak para pengguna narkotika.

Di sisi lain, vonis bebas dalam kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh TRP ini melahirkan pertanyaan besar terhadap Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang sejatinya sudah dibentuk sejak tahun 2008. Setidaknya terdapat 24 kementerian dan lembaga yang tergabung dalam gugus tugas ini. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021, Gugus Tugas yang terbentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota memiliki peran untuk memantau sampai dengan mengadvokasi kasus-kasus perdagangan orang. Namun sayangnya, keberadaan satgas tersebut juga tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban dan ahli waris korban yang telah mengalami berbagai bentuk tindakan perendahan martabat manusia dalam peristiwa kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat.

Vonis bebas dalam kasus TRP justru menunjukan kegagalan aparat penegak hukum dalam melihat perkara ini secara struktural. Kasus ini seharusnya mampu memberikan pesan kepada publik bahwa praktik perdagangan orang juga bisa timbul akibat stigma terhadap pengguna narkotika dan kukuhnya pendirian bahwa semua pengguna narkotika harus direhabilitasi, sekalipun itu merenggut kebebasannya. Kasus ini sepatutnya juga bisa menjadi pukulan keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menindak tempat-tempat penahanan berkedok rehabilitasi. Oleh karena itu, LBHM memberikan perhatian dan desakan sebagai berikut:

  • Meminta Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO untuk melakukan evaluasi terhadap penyelesaian kasus TPPO di dalam dan luar Indonesia yang melibatkan warga negara Indonesia;
  • Meminta Penuntut Umum untuk segera menyatakan kasasi dan memberikan memori kasasi sebagaimana aturan hukum acara pidana yang berlaku;
  • Meminta Hakim Agung di tingkat kasasi untuk dapat memeriksa dan memutus perkara ini dengan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan dan keadilan, mengingat banyaknya korban terhadap tindak ‘perbudakan’ yang dilakukan oleh TRP, bahkan sampai merenggut nyawa. Termasuk juga memperhatikan disparitas putusan yang terjadi pada Terdakwa lainnya;
  • Meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk segera memeriksa Andriyansyah, Dicki Irvandi dan Cakra Tona Parhusip, selaku Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.STB;
  • Meminta Polri untuk segera menutup seluruh tempat-tempat yang seolah-olah dijadikan kedok sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial, namun melakukan tindakan pemerasan, penyiksaan, dan/atau perbudakan.

Narahubung:

LBHM: 0898-437-0066 (Yosua Octavian)

25 TAHUN INDONESIA RATIFIKASI CAT: PRESIDEN JOKOWI DAN DPR RI GAGAL HENTIKAN  PRAKTIK PENYIKSAAN DI KEPOLISIAN, TNI, DAN LAPAS

Peringatan Hari Anti Penyiksaan  26 Juni 2024

Tanggal 26 Juni merupakan momentum penting bagi komunitas internasional dalam memperingati hari anti penyiksaan. Peringatan ini berawal dari terbentuknya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture/CAT) yang mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987 bagi seluruh negara anggota. Berlakunya Konvensi CAT menjadi instrumen utama dalam perjuangan mencegah praktik penyiksaan dan penghormatan martabat manusia.

Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang telah meratifikasi Konvensi CAT melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, tepatnya 25 tahun lalu pada tanggal 28 September 1998. Namun, praktik penyiksaan dan penghukuman yang kejam tetap terjadi dalam siklus penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan YLBHI-LBH Jakarta, setidaknya sejak tahun  2013-2022 terdapat 58 (delapan puluh) orang korban penyiksaan oleh anggota Polisi, 25 (dua puluh lima) orang di antaranya  merupakan korban salah tangkap atau salah  hukum dan 6 (enam) orang Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). Dari temuan tersebut semua aktor atau pelakunya adalah anggota Polisi. Di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 – 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor. Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian. Selain itu, dari dokumentasi yang LBHM lakukan di tiga Rumah Tahanan (Rutan) wilayah DKI Jakarta dalam periode Januari-Mei 2024, terdapat 35 (3 orang perempuan dan 32 orang laki-laki) dari total 204 tahanan yang mengaku mendapat penyiksaan. Sebanyak 15 dari 35 tahanan yang mengaku mengalami penyiksaan diduga terlibat dalam kasus narkotika, dan 20 sisanya diduga melakukan tindak pidana umum (sebagaimana diatur dalam KUHP). Adapun peristiwa penyiksaan tersebut terjadi dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Data tersebut merupakan bagian kecil dari gelapnya sistem peradilan pidana, khususnya di tingkat kepolisian, yang minim pengawasan dan intervensi dari masyarakat sipil.

Adapun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sepanjang periode Juni 2023 – Mei 2024 turut mendokumentasikan, setidaknya terdapat 60 peristiwa praktik penyiksaan dan penghukuman kejam yang tersebar di Indonesia. Dalam periode ini pula, KontraS kembali mencatat bahwa Kepolisian merupakan institusi yang konsisten menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan yang terjadi dengan 40 peristiwa; dilanjutkan dengan Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) sebanyak 14 peristiwa; dan Sipir atau Petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan 6 peristiwa. Meningkatnya jumlah peristiwa penyiksaan berdasarkan data pemantauan KontraS dari tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kultur kekerasan di berbagai lembaga negara masih menjadi salah satu permasalahan yang sejatinya harus dituntaskan secara menyeluruh. Bahwa praktik yang masih terus berjalan ini diakibatkan oleh ketiadaan sistem hukum dan kultur hukum yang memadai untuk mencegah dan menghapuskan segala bentuk praktik penyiksaan.

Langkah pemerintah dalam meratifikasi Konvensi CAT tidak disertai dengan pembentukan regulasi yang mengatur lebih rigid di level nasional. Bahkan, sampai saat ini Indonesia belum juga meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi CAT (Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang justru menunjukan sikap kompromis dan pengabaian pemerintah terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri. Di sisi lain, butuh lebih dari 20 tahun untuk mengakomodir tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Pasal 529 dan Pasal 530 sejatinya telah memuat unsur-unsur tindakan penyiksaan yang hampir serupa dengan Konvensi CAT. Namun, ancaman hukuman yang diberikan terhadap pejabat resmi yang melakukan tindakan penyiksaan tidak cukup rasional. Pasal 529 memuat ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun, sedangkan Pasal 530 paling lama 7 tahun. Hal ini jauh berbeda apabila dibandingkan dengan tindak pidana penganiayaan – yang mana tindakannya dilakukan oleh sesama masyarakat sipil biasa – dengan variasi pidana penjara dari 6 bulan sampai dengan 15 tahun, bahkan dapat diperberat dengan kualifikasi tindakan tertentu (Pasal 466 sampai dengan Pasal 471 KUHP Baru).

Selain itu, banyak juga praktik-praktik kekuasaan lain yang setara dengan penyiksaan tapi mungkin luput dari pasal-pasal penyiksaan ini. Salah satu contohnya adalah hukuman mati yang merupakan bagian dari jenis penghukuman yang merendahkan martabat manusia. Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), per tanggal 19 Oktober 2023 setidaknya terdapat 509 orang berada dalam deret tunggu pidana mati di Indonesia. Mayoritas kasus yang menduduki status terpidana mati adalah narkotika, yakni sebanyak 351 orang (69%). Selain jenis penghukuman yang merendahkan martabat manusia, fenomena deret tunggu ini juga merupakan bentuk penyiksaan yang menimbulkan penderitaan besar secara psikologis karena mereka terus hidup dalam teror tidak berkesudahan atas ancaman kematian yang bisa sewaktu-waktu terjadi.

Regulasi di Indonesia masih menyimpan sejumlah persoalan pada aspek formil atau hukum acara dalam sistem peradilan pidana, khususnya pada tingkat kepolisian. Keleluasaan melakukan penahanan selama 60 hari membuka ruang penyiksaan. Mekanisme uji penyiksaan baru dapat diajukan setelah tindakan upaya paksa dilakukan ketika seseorang telah berstatus sebagai tersangka atau terdakwa. Sebagai pintu awal dari berjalannya roda sistem peradilan pidana, kepolisian sejatinya mengantongi kewenangan yang besar dengan tanpa pengawasan yang optimal. Lembaga pengawas internal maupun eksternal (Propam dan Kompolnas) justru kerap kali menjadi alat impunitas bagi para pelaku berjargon presisi. Kondisi ini diperparah dengan wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri), yang substansinya justru memperluas kewenangan kepolisian dalam menginvasi hak asasi manusia tanpa kontrol dan pengawasan yang jelas. Penyiksaan dan penghukuman yang kejam sepatutnya tidak dipandang sebelah mata. Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk mencegah berulangnya tindak penyiksaan dan menciptakan iklim penegakan hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendorong agar pemerintah dan aparat penegak hukum untuk:

  1. Pemerintah dan DPR RI agar segera meratifikasi Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;
  2. Pemerintah dan DPR RI agar segera merevisi atau mengubah KUHAP, secara khusus terkait mekanisme kontrol dan pengujian atas kewenangan aparat penegak hukum, serta pemulihan bagi korban tindakan penyiksaan;
  3. Pemerintah  dan DPR RI harus segera menghentikan pembahasan RUU Polri yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Revisi UU Kepolisian Republik Indonesia seharusnya dilakukan secara komprehensif, tidak dilakukan secara tertutup dan mengabaikan partisipasi bermakna warga negara. RUU perlu harus diarahkan pada reformasi kelembagaan maupun sistem yang memastikan Polri menjadi lembaga yang profesional, transparan dan akuntabel melalui pendekatan yang humanis bukan justru memperkuat watak militerisme dengan kewenangan represi yang besar namun tanpa pengawasan;
  4. Dalam rangka pencegahan efektif terhadap praktik penyiksaan, institusi yang menjadi pelaku dominan seperti halnya Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan dan Sipir harus meningkatkan serta menyusun langkah preventif dan antisipatif dalam rangka menurunkan angka penyiksaan di lembaga masing-masing. Berbagai institusi tersebut dapat membangun kerjasama intensif dengan berbagai lembaga pengawas eksternal guna mendorong akuntabilitas publik.
  5. Harus ada perbaikan sistem pengawasan dan  penegakan hukum yang imparsial, transparan dan adil kepada  para pelaku penyiksaan baik di Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan atau lembaga lainnya agar tidak ada impunitas kepada para pelaku dan  praktik penyiksaan tidak terus berulang;

Narahubung:

  1. Sekretariat RFP (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian)
  2. LBH Masyarakat (LBHM) –  0822-4114-8034
  3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) – 0817-256-167
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – 0812-5926-9754

World Drug Day: Lack of ASEAN Cooperation Fuels Exploitation ofLow-level Couriers by Drug Trafficking Syndicates

Today, the UN Office on Drugs and Crime (UNODC) marks the World Drug Day with a call to promote international cooperation in developing and implementing evidence-based strategies for combating drug trafficking and organised crime. It stresses collaboration among governments, organisations, and communities to achieve this.

It is therefore more crucial than ever to encourage strength within existing ASEAN mechanisms towards a harm reductionist and rights-based approach in combating drug trafficking and organised crime. This includes, among others, abolishing the death penalty for drug offences, promoting continuous regional dialogue between progressive ASEAN states and civil society, and empowering scrutiny on compliance of domestic drug policies to the international human rights standards, and their impact on economic, social, and cultural rights.

In particular, the use of the death penalty, and its execution, against low-level couriers who are often victims of drug syndicates on the grounds of deterrence or prevention of crime is an issue that should be addressed. This practice enables and empowers transnational drug syndicates as it effectively ends the possibility of tracing and combating transnational drug syndicates, while punishing those with the least agency or responsibility, rendering any deterrent effect completely null. Common understanding and cooperation regarding this impact can prevent rights violations experienced by many victims. For example, the case of Mary Jane Veloso, whose execution was halted due to cries from CSOs and the Philippines back in 2016, highlights the failure of protection against victims of human trafficking and the pressing need for a bilateral mechanism between Indonesia and the Philippines in this matter. Mary Jane’s experience could have been completely different and an injustice could have been avoided. ASEAN member states, all of which are parties to the UN Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC), have long had consensus on the need to combat transnational organised crimes1. States have also acknowledged the necessity to enhance regional cooperation as evidenced within the ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs2. One way to do this effectively would be to stop imposing death sentences on the victims of drug trafficking and to instead focus efforts on stopping these crimes before they happen. However, ASEAN’s core values of non-interference, along with authoritarian politics within the region, have hampered regional efforts to address the root causes of key issues.

Collaboration is essential for ASEAN nations to successfully combat exploitation and reduce drug trafficking. In recent years, Malaysian34 and Indonesian56 officials have respectively acknowledged the need for cross-country collaboration in reducing drug trafficking while showing willingness to adopt progressive considerations for exploited low-level couriers. Unfortunately, neighbouring countries, such as Singapore and the Philippines7, have not shown such willingness. Notably, Singapore has shown a predisposition to galvanise support for the death penalty for drug offences through UN mechanisms8 as opposed to working towards effective and progressive policies against drug trafficking with its neighbours. The lack of collaboration and synergy among ASEAN member states on drug trafficking has directly affected the effectiveness in combating it.

To support ASEAN states to collaborate effectively, the UNODC should ensure that it is consistent in its approach to calling for member states to abolish the death penalty for drug offences. As early as 2012, the agency stated that it “may have no choice but to employ a temporary freeze or withdrawal of support” for governments that are still executing persons for drug-related offences.9 The Office has also been vocal about the need for international cooperation in combating organised crime — as demonstrated in this year’s theme for the World Drug Day. This stance should be reflected in the multilateral cooperation programmes the agency has with retentionist ASEAN member states.101112

We the undersigned organisations call for:

I. ASEAN member states to take action towards the abolition of the death penalty for drug offences;

II. ASEAN member states to revisit existing mechanisms with a harm reductionist and rights based approach in combating transnational drug trafficking;

III. ASEAN member states to pursue intergovernmental collaboration that would foster the repatriation of low-level couriers or other individuals who were victimised or exploited by transnational crime organisations;

IV. The UNODC and its regional offices consistently stand against the use of the death penalty and torture for drug offences in Southeast Asia.


3 Purushotman (2024). ‘Concern over plight of drug mules held abroad’. Available at: https://thesun.my/local-news/concern-over-plight-of-drug-mules-held-abroad-DA11998496

4 Boo (2023). ‘Ramkarpal: Desperately Poor Drug Mules Inspired Malaysia’s Repeal Of Mandatory Death Penalty’. Available at: https://codeblue.galencentre.org/2023/04/18/ramkarpal-desperately-poor-drug-mules-inspired-malaysias-repeal-o f-mandatory-death-penalty/

5 Rahmani & Sulistiyandari (2024). ‘BNN arrests Asian network drug lord in the Philippines.’ Available at https://en.antaranews.com/news/313623/bnn-arrests-asian-network-drug-lord-in-the-philippines

6 Llewellyn (2022). ‘Indonesia mulls introduction of a ‘probationary’ death penalty’. Available at: https://www.aljazeera.com/news/2022/10/10/indonesia-considers-plans-for-a-probationary-death-penalty

7 Simons (2023). ‘The Philippines Is Losing Its “War on Drugs”’. Available at

8 The Advocates for Human Rights (2022). ‘One-pager on sovereignty amendment’. Available at: https://www.theadvocatesforhumanrights.org/Publications/sovereignty-amendment-response

9 UNODC, UNODC and the Promotion and Protection of Human Rights: Position Paper (2012) 10.

10In reference to the Malaysian National Anti-Drug Agency’s reports in 2021, https://www.adk.gov.my/en/drug-abuse-information-network-for-asia-and-the-pacific-dainap-focal-points-meetin g/ and 2022 https://www.adk.gov.my/kunjungan-hormat-daripada-united-nations-office-on-drugs-and-crime-unodc/.

11Institute for Criminal Justice Reform (2019). ‘Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia’. Available at https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/01/Menyelisik-Keadilan-Yang-Rentan.pdf

12 UNODC (2006). ‘Criminal justice assessment toolkit’. Available at https://www.unodc.org/lpomex/uploads/documents/Publicaciones/Prevencion-del-delito-y-justicia-penal/Criminal _ justice_assessment.pdf

Hasil Permohonan PK: Meneropong Implementasi KUHP Baru sebagai Kompas Pidana Mati

LBH Masyarakat (LBHM) mengapresiasi semangat reformasi hukum dalam KUHP 2023 yang mengubah pidana mati dari klasifikasi pidana pokok menjadi pidana alternatif. Pembaharuan hukum ini tentu menjadi kompas dan pengingat bagi para hakim pemeriksa untuk mewujudkan peradilan yang jujur dan adil, sekaligus menjadi pintu perbaikan terhadap orang-orang yang telah dijatuhi pidana mati kendati dengan pembuktian yang minim.

Pada 2023, LBHM mewakili lima orang terpidana mati mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui pengadilan pengaju di wilayah DKI Jakarta. Semua PK ini didasarkan pada argumentasi kekhilafan hakim karena penjatuhan pidana mati mengabaikan kurangnya alat bukti, peran terdakwa dengan terdakwa lain, dan terdakwa yang tidak didampingi pengacara. PK ini dilakukan sebagai kesempatan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan koreksi dan menebus kesalahan atas unfair trial.

Majelis Hakim Agung telah mengeluarkan putusan atas dua dari lima pengajuan PK tersebut, dengan detail berikut:

  1. Pada 14 Mei 2024, Majelis Hakim Agung menolak permohonan pemohon PK yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melansir dari data kepaniteraan Mahkamah Agung, perkara ini diperiksa dalam waktu 16 hari. LBHM menilai ini adalah rentang waktu yang sangat singkat dan terburu-buru dalam mengkaji argumentasi-argumentasi pemohon PK. Tentu Mahkamah Agung kembali mengulang kesalahan fatal yang sama, mengingat banyak bukti yang dihadirkan tapi tetap saja diabaikan. Hal ini seperti: upaya paksa yang tidak sesuai prosedur, di antaranya karena melakukan penggeledahan tanpa adanya saksi; preseden mengenai tidak sahnya suatu putusan karena tidak adanya pengacara dalam kasus-kasus yang diancam di atas 5 tahun; termasuk penerjemah yang tidak sesuai dengan kemampuan bahasa pemohon PK.
  1. Pada 14 Juni 2024, Majelis Hakim Agung mengabulkan permohonan pemohon PK yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan Mahkamah Agung ini mengubah pidana mati pemohon PK menjadi pidana seumur hidup. Waktu pemeriksaan perkara pun terbilang cukup ideal dalam menentukan putusan pidana seseorang, yakni 85 hari.

Dari dua kasus ini, selain hasil putusan, waktu pemeriksaan menjadi pembeda yang sangat signifikan. LBHM mengapresiasi Majelis Hakim Agung yang telah mempertimbangkan secara seksama atas alat bukti, argumentasi, dan kekhilafan hakim pemeriksa sebelumnya sehingga menghasilkan putusan yang bersifat perbaikan.

LBHM berharap Majelis Hakim Agung pemeriksa PK selanjutnya melakukan tindakan serupa, yakni putusan yang penuh dengan pertimbangan terhadap bukti-bukti, penghormatan terhadap hak atas hidup, serta menjadikan KUHP 2023 sebagai pedoman baru dalam penjatuhan pidana mati. Tentu juga meminta Majelis Hakim Agung pemerisa PK selanjutnya tidak mengulang kesalahan serupa, seperti pengalaman pemohon PK yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni waktu pemeriksaan minim sehingga banyak fakta dan bukti diabaikan.

Jakarta, 21 Juni 2024

Narahubung:

  • Yosua Octavian (+62 812-9778-9301)
  • Kiki Marini Situmorang (+62 896-3970-1191)
Skip to content