Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Tidak Perlu Belajar dari Filipina

LBH Masyarakat mengecam keras pernyataan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian yang menyatakan ingin memberlakukan tembak di tempat bagi pengedar gelap narkotika. Kapolri kemudian juga menyebut kebijakan keras Presiden Rodrigo Duterte di Filipina sebagai pembanding.

Kami memandang pernyataan ini bermasalah dalam beberapa konteks. Pertama, kebijakan tembak di tempat akan sangat rawan menimbulkan insiden salah tembak. Korban yang mungkin muncul dari salah tembak tersebut antara lain anggota penegak hukum dalam penyamaran dan sipil yang tak bersalah. Hal seperti ini telah terjadi dalam kebijakan Presiden Rodrigo Duterte di mana satu orang pengusaha dari Korea Selatan tertembak dalam operasi tok hang. Kejadian itu menuai kecaman internasional dan membuat hubungan diplomatik kedua negara sempat memburuk.

Kedua, kebijakan tembak di tempat akan merugikan upaya supply reduction dalam skala besar. Menembak mati seorang pengedar gelap artinya memutus rantai informasi penting yang amat diperlukan bagi Indonesia untuk meminimalisir peredaran gelap narkotika. Penyidikan yang dilakukan secara baik tanpa menghilangkan nyawa seseorang semestinya justru dapat mengungkap sindikat peredaran gelap narkotika yang lebih besar.

Ketiga, kami memandang wacana kebijakan ini sebagai strategi yang dibuat-buat untuk membangun kesan bahwa Polri betul-betul bekerja untuk mengentaskan peredaran gelap narkotika. Padahal yang perlu Polri lakukan pertama kali adalah memastikan dirinya bersih dari oknum yang ikut melindungi peredaran gelap narkotika, bukan mencari jalan pintas dengan menghilangkan nyawa manusia. Kita tidak bisa membersihkan sesuatu dengan sapu kotor.

Keempat, Polri memiliki isu lain yang tak kalah mendesak untuk diselesaikan. Sebagai contoh, Polri belum berhasil menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan yang penyidikannya sudah berlangsung lebih dari seratus hari. Kebijakan heroisme semu yang diimpor dari negara dengan rapor hitam hak asasi manusia adalah hal yang terakhir yang kita perlukan saat ini.

Kelima, kebijakan semacam ini tidak akan memberikan efek baik dalam waktu jangka panjang. Negara Thailand di bawah kepemimpinan Thaksin Shinawatra pernah menerapkan kebijakan yang kurang-lebih sama dengan apa yang dilakukan Duterte saat ini. Dalam periode yang singkat, jumlah narkotika yang beredar memang berkurang. Namun, pembunuhan-pembunuhan ini tidak akan menyasar orang-orang yang menguasai sindikat peredaran gelap narkotika. Target-target sasaran selalu orang-orang yang ada di rantai komando paling bawah, yang ketika mereka tiada selalu bisa digantikan posisinya oleh orang lain. Hal ini akan menyebabkan pembunuhan akan terus terjadi tanpa benar-benar menyelasaikan akar masalah. Lalu kita pun akhirnya sadar terlalu banyak nyawa hilang untuk sebuah kesia-siaan.

Atas argumen-argumen di atas, kami meyakini bahwa kebijakan tembak di tempat terhadap pengedar gelap narkotika tidak diperlukan dan Indonesia punya kemampuan untuk mengatasi peredaran gelap narkotika secara lebih cerdas dan humanis - karena setiap manusia berharga.

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Program LIGHTS (Living The Human Rights) 2017

LIGHTS adalah program pengenalan HAM intensif bagi mahasiswa/I fakultas hukum atau non-hukum yang sudah diadakan sejak tahun 2008. Dalam program ini, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjugi lembaga-lembaga negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga memiliki perhatian pada pemenuhan HAM. LIGHTS 2017 akan diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 31 Juli 2017 hingga 11 Agustus 2017.

Di tahun pelaksanaannya yang kesembilan ini, tersedia kesempatan bagi calon peserta yang berasal dari luar pulau Jawa untuk mendapatkan beasiswa secara penuh, yang meliputi;

– Tiket Pesawat (PP),

– Akomodasi, serta

– Uang saku

Untuk persyaratan calon peserta LIGHTS 2017 antara lain:

  1. Mahasiswa aktif pada Universitas Swasta maupun Negeri.
  2. Pendaftaran dibuka untuk semua Fakultas,
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang dapat diunduh di website LBH Masyarakat (https://www.lbhmasyarakat.org/)
  4. Menyerahkan CV
  5. Menyerahkan Essay tentang “Tantangan Perlindungan HAM di Indonesia ” (diketik 800-1.000 kata). (terdapat di form pendaftaran)
  6. Bagi pelamar beasiswa, menyerahkan essay tentang, “Bagaimana partisipasi dalam LIGHTS 2017 dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar Anda?” (diketik 300-500 kata) (terdapat di form pendaftaran)

Unduh formulir pendaftaran dengan klik tautan ini.

Kirim formulir dan persyaratan ke glianto@lbhmasyarakat.org

Pedaftaran dibuka hingga 16 Juli 2017 

Narahubung: Gilbert (0812 6757 1330)

Rilis Pers – Menghapus Stigma Pada Pemakai Narkotika: Perjalanan Masih Panjang

Rilis pers ini telah disebarkan pada konferensi pers mengenai \”Koreksi dan Klarifikasi atas Pemberitaan Media terhadap Peristiwa Penolakan Penumpang Batik Air\” yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) pada 7 Juni 2017. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Andhika dan Edo Agustian dari PKNI, Yohan Misero dari LBH Masyarakat, serta Asmin Fransiska dari Unika Atmajaya. Acara ini sendiri dimoderatori oleh Totok Yulianto dari PBHI.

 

LBH Masyarakat menyesalkan peristiwa diturunkannya dua rekan kami dari Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dari Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7010 pada Selasa, 30 Mei 2017 lalu. LBH Masyarakat percaya bahwa persoalan seperti ini dapat diselesaikan dengan jauh lebih elok apabila seluruh pihak beritikad baik.

Problem ini jadi melebar karena 2 hal. Yang pertama adalah persoalan pemberitaan. Tidak bijak rasanya menyebutkan nama orang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri dari persoalan adiksinya di media. Selain karena hal tersebut mengganggu proses pemulihannya karena terdistraksi oleh hal-hal yang tidak substansial, persoalan penyebutan identitas tersebut juga adalah pelanggaran terang-terangan kepada kerahasiaan medis. Hal ini bisa saja dipermasalahkan lebih jauh. Oleh karena itu, kami menghimbau pada rekan-rekan media untuk bersama-sama mengevaluasi diri agar hal demikian tidak terjadi lagi di kemudian hari. Selain itu di Indonesia, memakai narkotika masih dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal. Maka penyebutan nama seseorang yang sedang berjuang untuk memulihkan diri, secara tidak langsung juga telah menciderai hak orang tersebut untuk memiliki pekerjaan karena masih banyak pemberi kerja, yang secara tidak tepat, mendiskriminasi rekan-rekan pemakai narkotika.

Hal kedua yang menyebabkan problem ini melebar adalah cara maskapai dan Kementerian Perhubungan menyelesaikan permasalahan ini. Langkah maskapai untuk menurunkan kawan-kawan PKNI dari pesawat tidaklah bijak karena sebenarnya hal-hal ini dapat dikomunikasikan dengan lebih baik sehingga penerbangan dapat berjalan semestinya tanpa menimbulkan insiden yang tidak perlu. Kemudian yang paling disesalkan ialah respon dari Kementerian Perhubungan. Selepas peristiwa ini rekan-rekan PKNI mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan, yang setelah lama menunggu akhirnya direspon. Surat itu sayangnya hanya menegaskan dan membenarkan langkah yang diambil maskapai tanpa ada niat untuk duduk bersama membicarakan apa yang terjadi. Surat itu, yang lebih menggelikan, juga hanya menggunakan berita daring sebagai sumber utama fakta yang dipertimbangkan. Seharusnya Kemenhub dapat memitigasi peristiwa ini dengan fair, bukannya memandang enteng seperti ini.

Berkaca pada peristiwa ini ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Namun yang terpenting adalah pemahaman bahwa menghapus stigma pada pemakai narkotika merupakan perjalanan yang masih panjang. Stigma yang memang berasal dari kebijakan punitif dan kampanye yang berat sebelah dari negara. Pemakai narkotika masih dipandang berbahaya sedemikian rupa hingga harus diturunkan dari pesawat begitu saja. Pemakai narkotika, sayangnya, terus dipandang sebagai sampah masyarakat yang namanya dapat diumbar ke mana-mana tanpa perlu memperhatikan etika medis dan jurnalistik. Tak perlu jauh berharap pada perubahan kebijakan dari pemerintah, ketika masyarakat masih terus diajak untuk menyudutkan pemakai narkotika. Bagaimana kita dapat berharap ada perubahan prilaku ketika kita terus memusuhi dan bukan merangkul rekan-rekan pemakai narkotika? Bukankah seseorang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri ini baiknya dibantu bukannya disingkirkan?

Berikutnya, cara Kemenhub memitigasi masalah masih menunjukan betapa pemakai narkotika ditempatkan sebagai warga kelas II. Rekan-rekan PKNI tidak diberikan media untuk dapat menerangkan peristiwa tersebut dari kacamata mereka. Kemenhub memandang bahwa dua berita dari media daring lebih berarti daripada pernyataan langsung dari rekan-rekan PKNI ini. Seharusnya Kemenhub mendudukan rekan-rekan PKNI ini dan maskapai yang terkait di satu meja agar jelas duduk perkaranya sehingga dapat mencapai satu solusi yang dapat diterima semua pihak.

Namun ketika rasa takut, dan bukannya pengetahuan, yang masih jadi raja, entah sampai kapan kejadian-kejadian seperti ini akan berulang.

 

 

Jakarta, 7 Juni 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Eksekusi Mati IV: Menukar Nyawa dengan Suara

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras pernyataan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo yang mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantungi sejumlah nama terpidana mati untuk dieksekusi dan bahwa eksekusi jilid IV akan digelar, sekalipun waktu pastinya belum bisa ditentukan. Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung hari Jumat, 19 Mei 2017, di hadapan kawan-kawan media. Lebih lanjut Prasetyo menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) perihal pembatasan waktu pengajuan grasi.

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak ubahnya sebuah manuver politik untuk mencari popularitas di tengah miskinnya prestasi Kejaksaan Agung. Di saat politik hukum Pemerintah mengarah ke pembatasan keberlakuan hukuman mati seperti tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun pernyataan Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan terakhir, pernyataan Jaksa Agung itu justru bertolak belakang dengan gestur Presiden sebagai atasannya maupun dengan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Ricky melanjutkan, “setidaknya ada dua hal yang Jaksa Agung bisa prioritaskan daripada meneruskan praktik eksekusi mati yang terbukti tidak menurunkan angka kejahatan narkotika. Pertama, mengevaluasi eksekusi jilid III kemarin yang carut-marut penuh dengan permasalahan. Melanjutkan gelombang eksekusi padahal eksekusi terakhir menyisakan banyak pertanyaan menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah belajar dari kesalahan dan berpotensi mengulang pelanggaran yang sama. Kedua, Jaksa Agung sebaiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi hutang kampanye Jokowi sebagaimana tercantum di dalam Nawacita.”

Sehubungan dengan rencana Kejaksaan Agung meminta pendapat MA terkait dengan pembatasan waktu grasi padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa grasi tidak dibatasi oleh waktu, Ricky menegaskan bahwa, “Jaksa Agung melakukan kesalahan dengan meminta fatwa MA terkait putusan MK. Tidaklah pada tempatnya Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini bukan saja memperlihatkan ketidakpahaman Jaksa Agung yang fatal mengenai sistem hukum Indonesia tetapi juga Jaksa Agung telah mengangkangi kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.”

Ricky juga mengingatkan bahwa, “Indonesia baru saja selesai diperiksa di Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), dan persoalan hukuman mati mendapat banyak sorotan dan catatan buruk dari banyak negara. Tindakan Jaksa Agung yang hendak meneruskan eksekusi mati hanya akan melanggengkan citra buruk Indonesia di hadapan komunitas internasional. Pada UPR kemarin, 28 negara memberikan rekomendasi moratorium dan abolisi. Jumlah ini meningkat sembilan kali lipat dari UPR sebelumnya di tahun 2012, di mana hanya ada 3 negara yang memberikan rekomendasi serupa.”

“Di tengah goyahnya pemerintahan Jokowi ditempa berbagai permasalahan kebangsaan, dari meningkatnya sentimen intoleran hingga belum terungkapnya serangan terhadap Novel Baswedan, janganlah Jaksa Agung menggunakan eksekusi mati sebagai langkah populis untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tersebut. Di saat sistem hukum Indonesia penuh dengan kebobrokan, akan selalu ada orang-orang yang tidak bersalah divonis mati atau mengalami proses hukum yang cacat, sebagaimana ditunjukkan di tiga gelombang eksekusi terakhir,” tambah Ricky.

Dipilihnya terpidana mati narkotika sebagai orang-orang yang akan dieksekusi Kejaksaan Agung di eksekusi jilid IV kembali memperlihatkan kebebalan pemerintah dalam mengatasi persoalan narkotika. Berdasarkan catatan LBH Masyarakat, sepanjang 2016, setidaknya terdapat 120 artikel berita yang melaporkan peristiwa pengendalian narkotika dari dalam lapas, dan 729 artikel berita mengenai penggrebekan peredaran narkotika dalam skala besar, di mana terdapat lebih dari 4.200 kg shabu dan 5.700 kg ganja disita oleh aparat. “Tidakkah cukup kasat mata bahwa eksekusi mati gagal mengatasi kejahatan narkotika? Apa lagi yang dicari Pemerintah dengan meneruskan eksekusi ketika tujuan dilakukannya eksekusi itu tidak tercapai? Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksekusi jilid IV dan menerapkan moratorium, serta mengkaji kembali kasus-kasus hukuman mati dengan tujuan perubahan hukuman. Secara khusus, Presiden Jokowi perlu segera mencopot Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung karena kinerjanya yang buruk dan telah melakukan sejumlah kesalahan hukum,” jelas Ricky.

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Brief Observation on Indonesia\’s Death Penalty in the 3rd UN Universial Periodic Review (UPR), May 2017

 

Brief Observation on Indonesia’s Death Penalty in the 3rd UN Universal Periodic Review (UPR), May 2017

 

LBH Masyarakat is of the view that the 3rd Universal Periodic Review (UPR) for Indonesia, took place on Wednesday, 3 May 2017, went in a constructive manner. Both Indonesia – as a state under review – and the reviewing states valued the engaging process and highlighted the needs for positive cooperation. LBH Masyarakat notes that a number of human rights issues have been adequately explored during the session, such as the rights of women and children. However, there are some other important issues that have not been substantively dealt, if not ignored, such as the protection of LGBT persons.

 

LBH Masyarakat appreciates the level of attention given by the reviewing states on the issue of the death penalty. We note that at least 28 of 107 recommending states (25%) provided recommendations on the death penalty.

 

In general, those recommendations are for Indonesia to reinstate moratorium with a view to abolish the death penalty for all crimes. However, there are exceptional cases where certain states made specific recommendations. For example, Australia recommended Indonesia to “enhance safeguards on the use of the death penalty”, which includes “adequate and early access to legal representation” for people facing the death penalty, “non-application of the death penalty for those with mental illness”, and revise the Criminal Code to in line with the international human rights standards. Meanwhile, Belgium recommended Indonesia “to establish an independent and impartial body to conduct a review of all cases of persons sentenced to death with a view to commuting the death sentences and at least ensuring fair trials that fully compliant with international standards.”

 

The number of recommendations on the death penalty provided in this cycle has increased nine times from the previous second UPR cycle in 2008, where Indonesia had received recommendations from three states.

 

The fact that there is at least a quarter of reviewing states put forward recommendations on moratorium of the death penalty or executions indicates the gravity of the issue. However, we deplore Indonesia’s minor responses to that matter.

 

Indonesia, as predicted, maintained the use of faulty stats of drug-related deaths and moral rhetoric to justify the barbaric act of the death penalty. It repeated the incorrect statistics of 40 people died everyday because of drugs, of which Indonesia’s and international leading academics have criticized. The continued use of this faulty figures demonstrates that Indonesia lacks of commitment in an evidence-based policy making as well as does not take note the importance of rights-based drug policy in tackling its drugs problem. Conversely, Indonesia promotes the use of mandatory of drug treatment that infringes the right to health.

 

Further, Indonesia argues that execution has been carried out in a manner that protects human rights, particularly the right to fair trial. Indonesia took pride by saying that when execution was implemented, it has passed strict legal procedures. However, precisely because Indonesia’s legal system is corrupted, it is inherently part of the problem and thereby cannot be argued that Indonesia has robust justice system. In three rounds of executions under Jokowi’s administration, there were serious questions on the absence of safeguard mechanisms. Eighteen individuals who were executed in three batch of executions had unfair trials, including Zainal Abidin, whose case was fabricated; Rodrigo Gularte, who had paranoid schizophrenia and bipolar disorder; and, Humphrey Ejike, an innocent person who had pending clemency decision when was executed.

 

In light of the above, LBH Masyarakat urges the Indonesian government to redeem its poor performance in the 3rd UPR working group session, by accepting 28 recommendations related with the death penalty.

 

Indonesia must establish de jure moratorium with a view to abolish the death penalty. While moratorium is in place, Indonesia must establish an independent body to review all death penalty cases, commute all death row prisoners, and immediately revise its Criminal Code to reflect international human rights standards.

 

Contact persons:

Ajeng Larasati in Geneva +62 812 1276 1876

Ricky Gunawan in Jakarta +62 812 10 677 657

Evaluasi Situasi HAM Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3: 28 Negara Merekomendasikan Moratorium Hukuman Mati.

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. UPR kali ini berlangsung pada 3 Mei 2017 di Jenewa. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012.

Kordinator Program LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, hadir mewakili elemen masyarakat sipil untuk memberikan laporan pada proses UPR ini.

Catatan LBH Masyarakat terkait Situasi Hukuman Mati Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3, Mei 2017

LBH Masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan UPR yang ketiga terhadap Indonesia, yang berlangsung pada 3 Mei 2017, berjalan dengan baik dan konstruktif. Baik Indonesia, maupun negara yang melakukan penilaian terhadap Indonesia, saling menghargai proses yang berlangsung dan mengedepankan pentingnya kooperasi yang positif. LBH Masyarakat mencatat bahwa sejumlah isu hak asasi manusia telah diangkat dan dibahas dengan mencukupi sepanjang sesi, seperti misalnya isu mengenai hak perempuan dan anak. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu hak asasi manusia penting yang tidak secara substansial ditanggapi, atau bahkan cenderung diabaikan, seperti misalnya perlindungan terhadap hak-hak LGBT.

LBH Masyarakat mengapresiasi tingkat perhatian yang tinggi yang diberikan terhadap isu hukuman mati. Berdasarkan catatan kami, ada setidaknya 28 dari 107 (25%) negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan hukuman mati.

Secara umum, rekomendasi tersebut berisi anjuran bagi Indonesia untuk segera memberlakukan kembali moratorium hukuman mati bagi semua tindak pidana. Tetapi beberapa rekomendasi dibuat secara lebih spesifik. Australia, misalnya, merekomendasikan Indonesia untuk ‘meningkatkan pedoman pengamanan dalam penggunaan hukuman mati’, yang termasuk di antaranya dengan memastikan ‘akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas sejak dini’ bagi orang yang menghadapi hukuman mati, ‘penghapusan hukuman mati bagi orang dengan gangguan kejiwaan’, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sesuai dengan standar hak asasi manusia international. Selain itu, Belgia merekomendasikan Indonesia untuk ‘membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau seluruh kasus hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman mati dan/atau setidaknya memastikan tersedianya pemenuhan hak atas peradilan yang adil dan jujur yang sesuai dengan standar internasional.’

Jumlah rekomendasi terkait hukuman mati yang diberikan pada putaran ketiga ini meningkat sembilan kali dari UPR putaran sebelumnya di 2008, di mana Indonesia hanya mendapatkan rekomendasi dari tiga negara.

Fakta bahwa ada setidaknya seperempat negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan moratorium hukuman mati atau eksekusi hukuman mati mengindikasikan tingkat keseriusan dari isu ini. Namun demikian, kami menyayangkan buruknya respon Indonesia terhadap hal tersebut.

Indonesia, sebagaimana telah kami prediksi, masih saja menggunakan data yang cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotika dan retorika moral untk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati. Indonesia berulang kali menggunakan statistik 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotika – sebuah argumen yang mendapatkan kiritik keras dari akademisi Indonesia dan internasional. Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti ataupun mengakui pentingnya kebijakan narkotika yang berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi persoalan penggunaan narkotika. Sebaliknya, Indonesia justru mempromosikan penggunaan wajib rehabilitasi yang melanggar hak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, Indonesia berargumen bahwa eksekusi telah dilakukan dengan menghargai dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang jujur dan adil. Indonesia dengan bangga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat. Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik. Dalam tiga eksekusi terakhir di bawah rejim Joko Widodo, terdapat persoalan serius mengenai absennya mekanisme pedoman pengamanan. Delapan belas orang yang dieksekusi dalam tiga eksekusi terakhir mengalami pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur dan adil, termasuk Zainal Abidin, yang kasusnya direkayasa; Rodrigo Gularte, yang memiliki skizofrenia paranoid dan bipolar; dan, Humphrey Ejike, orang yang tidak bersalah yang ketika dieksekusi sedang dalam proses pengajuan grasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, LBH Masyarakat mendorong pemerintah Indonesia untuk menerima ke-dua puluh delapan rekomendasi terkait dengan hukuman mati yang diberikan dalam putaran ketiga UPR terhadap Indonesia.

Indonesia harus memberlakukan moratorium secara formal dengan tujuan menghapuskan hukuman mati. Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati, mengubah hukuman mati bagi seluruh terpidana mati, dan segera merevisi KUHP sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset, dan Kebijakan LBH Masyarakat

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk 3rd Universal Periodic Review (UPR) Indonesia

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. Indonesia sendiri sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012. Kedua proses itu juga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang sepatutnya juga diindahkan oleh negara. Pemerintah Indonesia sudah pasti akan menyampaikan laporan mengenai situasi HAM di Indonesia. Agar penggambaran situasi itu berimbang, beberapa elemen masyarakat sipil juga memberikan laporan pada proses UPR ini. Untuk penjelasan ringkas mengenai laporan alternatif ini, berikut adalah Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil dalam rangka 3rd Universal Periodic Review (UPR) terhadap Indonesia di Dewan HAM PBB.

Pernyataan Bersama Koalisi Masyarakat Sipil

Dalam Rangka 3rd Universal Periodic Review (UPR) Indonesia di Dewan HAM PBB

 

” Negara Masih Belum Menempatkan Hak Asasi Manusia Sebagai Agenda Prioritas”

 

Jenewa, 5 April 2017

Situasi hak asasi manusia Indonesia akan dievaluasi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 3 Mei 2017 melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR). UPR adalah mekanisme evaluasi hak asasi manusia yang dilakukan secara berkala antara negara yang satu dengan negara yang lain. Pada Mei 2017, Indonesia akan dievaluasi untuk kali ketiga setelah putaran pertama pada 2008 dan yang kedua pada 2012.

Pada 2012, Indonesia menyetujui 150 dari 180 rekomendasi terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Kami memandang bahwa Pemerintah masih belum memiliki mekanisme formal yang terbuka dan partisipatif untuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut. Lebih jauh lagi, kami menilai bahwa Pemerintah belum memenuhi sebagian besar rekomendasi itu dengan menjalankannya secara substansial untuk mewujudkan perubahan yang lebih berkualitas.

Dalam rangka putaran ketiga UPR, beberapa perwakilan masyarakat sipil Indonesia berada di Jenewa untuk menyampaikan pandangan kritis mengenai situasi hak asasi manusia di sesi pra-UPR. Sesi pra-UPR adalah sesi formal yang diselenggarakan oleh UPR Info – sebuah organisasi non-profit yang bekerja untuk mengoptimalkan dialog antara masyarakat sipil dengan negara-negara terkait UPR. Sesi pra-UPR memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan pandangannya kepada perwakilan negara-negara di PBB di Jenewa.

Terkait situasi fundamental freedoms di Indonesia, Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menegaskan bahwa, ” penikmatan kebebasan sipil di Indonesia kian merosot. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab (answerability), dan menjalankan kewajibannya. Kedua, negara gagal mewujudkan prinsip negara hukum sebagai mekanisme proteksi hak asasi. Ketiga, negara pasif terhadap menyeruaknya aktor non-negara yang mengganggu kebebasan sipil.”

Sehubungan dengan hukuman mati dan kebijakan narkotika Indonesia, Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat, menjelaskan bahwa, ” kebebalan Pemerintah yang mempertahankan hukuman mati untuk mengatasi kejahatan narkotika, ternyata terbukti gagal menurunkan angka peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah wajib mencari solusi yang bukan berdasarkan mitos tetapi yang berbasis ilmiah, dan membuka diri terhadap kerjasama dengan negara lain yang telah berhasil mengatasi problem peredaran gelap narkotika tanpa menerapkan kebijakan yang punitif. Singkatnya, Indonesia harus mencari solusi yang lebih cerdas, dan bukannya asal keras, dalam menangani persoalan narkotikanya.”

Mirawati, Direktur Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, mengatakan bahwa  ” kebijakan kesehatan reproduksi Indonesia masih diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Hal ini ditandai dengan masih minimnya akses kontrasepsi, termasuk dipertahankannya ketentuan kriminalisasi terhadap penyediaan layanan pendidikan dan informasi mengenai kontrasepsi. Oleh karena itu, Pemerintah harus membuka akses kontrasepsi bagi perempuan termasuk yang belum menikah dan menghapus kebijakan pemidanaan terhadap tindakan aborsi.”

Budi Tjahjono, Koordinator Advokasi Asia-Pasifik Fransiscans International, menyampaikan bahwa, ” hingga saat ini eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah, dan serangan terhadap pembela HAM dan pemimpin masyarakat adat di Papua dan daerah lainnya masih marak terjadi. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan mekanisme investigasi dan pemulihan hak yang memadai. Pemerintah harus menerapkan kebijakan pembangunannya dengan tetap menghormati hak-hak dasar masyarakat adat, dan patuh terhadap kewajiban hukum internasional yang pemerintah sudah ratifikasi.”

Masih soal Papua, Wensislaus Fatubun, perwakilan Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, ” kebijakan depopulasi Indonesia terhadap Papua kian mengancam penduduk asli Papua. Indonesia terus mengabaikan hak untuk menentukan diri sendiri dan belum mau mengakui hak masyarakat adat Papua. Indonesia juga masih mengedepankan pendekatan keamanan dalam resolusi konflik di Papua dan mencabut akses rakyat Papua terhadap sumber daya alam. Pelanggaran hak asasi rakyat Papua ini harus segera dihentikan dan pemerintah Indonesia harus mengevaluasi kebijakannya terhadap rakyat Papua.”

Selain itu, terdapat beberapa isu lain seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diangkat di sesi Pra-UPR. Elga Sarapung, Direktur Institut Dian/Interfidei, mewakili koalisi Jaringan Antariman Indonesia (JAII), menyayangkan sejumlah rekomendasi yang disepakati pada UPR 2012 yang masih belum diimplementasikan secara jelas, tegas dan konstitusional oleh Pemerintah. ” Hak untuk memiliki rumah ibadah dan melaksanakan aktivitas keagamaan dan berkeyakinan serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan atas nama agama masih belum sepenuhnya dijamin oleh Pemerintah. Di berbagai kesempatan, Pemerintah selalu menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki masalah dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, padahal realita berbicara sebaliknya. Hal ini pun juga diafirmasi oleh sejumlah negara lainnya.”

Pasca UPR sesi ke-2 untuk Indonesia di tahun 2012, negara juga belum menunjukkan kemajuan dalam perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia kelompok LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks). Damar Hanung dari Arus Pelangi menyampaikan, “penelitian Arus Pelangi tahun 2013 menunjukan bahwa 89,3% LGBTI di Indonesia mengalami kekerasan berbasis orientasi seksual atau identitas gendernya. Kondisi ini diperparah dengan adanya 47 kebijakan diskriminatif terhadap LGBTI di tingkat lokal hingga nasional. Kekerasan terhadap LGBTI mencapai puncaknya tahun 2016, di mana lebih dari 142 kasus kekerasan pada LGBTI terjadi dalam kurun Januari – Maret 2016.” Selain situasi kekerasan terhadap LGBTI, ” saat ini, upaya kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI sedang berlangsung melalui Judicial Review KUHP dan pembahasan revisi KUHP di DPR. Rangkaian situasi ini membuktikan bahwa negara gagal menjalankan mandatnya dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok LGBTI,” tambah Mario Pratama dari Arus Pelangi.

Berdasarkan potret terhadap situasi di atas, terlihat gambaran besar hak asasi manusia Indonesia yang belum menunjukkan tren yang positif. Bahkan dalam beberapa isu hak asasi manusia, kondisinya semakin memburuk. Mundurnya perlindungan hak asasi manusia ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia masih belum menjadi agenda yang penting dan prioritas bagi pemerintah.

Dengan dalih ketertiban umum, kebebasan sipil dipangkas. Dengan dalih perang terhadap kejahatan, hukuman mati dirayakan. Dengan dalih domestifikasi tubuh, kesehatan reproduksi coba dikriminalkan. Dengan dalih ekonomi, hak atas tanah di Papua diabaikan. Dengan dalih NKRI harga mati, hak asasi warga Papua diberangus. Dengan dalih moral, hak asasi kelompok LGBTIQ dikekang. Dengan dalih-dalih yang lain, hak-hak asasi manusia tetap terpinggirkan dan belum dipandang sebagai yang utama.

Kami memandang UPR sebagai mekanisme konstruktif untuk membenahi situasi hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Kita seharusnya keluar dari kurungan pemikiran bahwa forum internasional adalah forum yang semata politis dan ruang bagi intervensi negara lain. Namun, beranjak kepada substansi yang diberikan dan untuk itu perlu dipandang serius, terutama dalam konteks pemajuan hak asasi manusia.

UPR adalah bagian dari upaya membangun kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia secara kolaboratif. Masyarakat sipil dan pemerintah dapat menggunakan kesempatan ini untuk bekerjasama dalam menyusun rencana kerja, memantau proses, hingga mengevaluasi pelaksanaan rekomendasi UPR. Berdasarkan semangat inilah, kami mengajak Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki situasi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Narahubung:

Miko Susanto Ginting, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 087822626362

Ricky Gunawan, LBH Masyarakat, 081210677657

Mirawati, Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), 081338661597

Budi Tjahjono, Fransiscans International, +41 227794010

Wensilaus Fatubun, Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, +41 779678244

Elga Sarapung, Institut Dian/ Interfidei (Jaringan Antariman Indonesia/JAII), 081247028796

Damar Hanung, Arus Pelangi (ASEAN SOGIE Caucus, Jakarta), 087876086010

Mario Pratama, Arus Pelangi/People Like Us Satu Hati, Yogyakarta, 085234831703

Rilis Pers LBH Masyarakat – Sebuah Momen Introspeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta

Rilis pers ini telah disampaikan pada konferensi pers yang diadakan oleh LBH Masyarakat yang bertajuk ” Tragedi FAS: Sebuah Ujian Untuk Hati Nurani” . Turut berbicara pada konferensi pers itu adalah Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Asmin Fransiska (Kepala LPPM Unika Atma Jaya), Inang Winarso (Direktur Eksekutif YSN), dan Dhira Narayana (Ketua LGN). Acara tersebut diadakan di kantor LBH Masyarakat pada 2 April 2017.

LBH Masyarakat prihatin dengan rangkaian peristiwa yang harus dihadapi oleh Saudara FAS dan keluarga. LBH Masyarakat juga menyampaikan belasungkawa yang paling dalam atas berpulangnya Ibu YR, istri dari Saudara FAS. Dalam mempersiapkan konferensi pers ini, LBH Masyarakat juga sudah berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Berawal dari divonisnya Ibu YR (Alm.) dengan penyakit Syringomyelia, sebuah situasi di mana ada kista di sumsum tulang belakang. Kista ini dapat mengembang dan memanjang sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mengganggu banyak bentuk aktivitas, misalnya kesulitan untuk tidur, makan dan minum, ekskresi, rasa sakit yang luar biasa, sulit berinteraksi, dan lain-lain.

Begitu dahsyatnya situasi yang harus mereka hadapi. Telah dicoba pula berbagai perawatan konvensional dan alternatif. Sempat juga ada keinginan untuk membawa ibu YR ke luar Kalimantan untuk berobat. Namun kondisi ibu YR saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.

Dalam keputusasaan, harapan itu muncul dari sebuah tanaman yang di Indonesia dikategorikan sebagai narkotika golongan I, Ganja.  Ekstrak ganja datang sebagai suatu kemungkinan yang patut dicoba untuk memperpanjang kehidupan ibu YR. Mari kita letakkan posisi sebagai seseorang yang sedang memperjuangkan nyawa teman hidup. Tempatkan diri kita pada seseorang yang berusaha untuk mempertahankan sosok seorang ibu dalam kehidupan anak-anak kita. Pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan Ibu YR ini yang kemudian membuat Saudara FAS ditahan hingga hari ini. Terkait kasus ini, ada beberapa hal yang patut kita pikirkan:

Yang pertama, UU Narkotika memang sebenarnya tidak mengakomodir penggunaan ganja untuk tujuan medis. Namun bukan berati hal ini tepat, justru ketentuan ini patut ditinjau ulang. Pasal 8 UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kesehatan. Pasal 8 ini pun tidak seirama dengan Pasal 7 UU Narkotika yang mengunci pemanfaatan narkotika hanya untuk kesehatan dan perkembangan iptek. Pada realitanya, golongan I tidak boleh digunakan untuk kesehatan. Upaya riset terhadap zat dan tanaman di golongan I tidak mudah mendapatkan persetujuan.

UU Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan. Berikan kesempatan pada penelitian untuk membuktikan manfaat zat atau tanaman tersebut untuk kemanusiaan. Berikan kesempatan juga untuk anak-anak muda Indonesia membuktikan bahwa apa yang tumbuh di tanah yang ia cintai, dapat berguna untuk banyak orang. Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju. Hal itu membuat dampak buruk dari suatu zat, jika ada, dapat dihilangkan dan di saat yang sama mempertahankan sifat baik daripada zat tersebut. Percayalah bahwa ilmuwan-ilmuwan kita mampu untuk itu dan percayalah bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat kita andalkan untuk mengawasi proses itu.

Yang kedua, pemenuhan hak. Hak atas kesehatan adalah sesuatu yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi Indonesia. Prinsipnya, hak atas kesehatan adalah hak semua orang dan Pemerintah sudah seharusnya memenuhinya. Salah satu aspek pemenuhan hak atas kesehatan adalah availibility atau ketersediaan serta accesibility atau keterjangkauan. Oleh karena itu, momentum ini dapat Pemerintah jadikan kesempatan untuk mulai merumuskan ulang kebijakannya. Agar ke depan, bagi seluruh rakyat Indonesia terjamin ketersediaan dan keterjangkauan akan hak atas kesehatan, termasuk di dalamnya akses terhadap narkotika golongan I di mana ganja masuk di dalamnya. Cukup satu Ibu YR, jangan biarkan ada lagi anak bangsa yang harus kehilangan nyawa karena kita tak mau memberikan kesempatan pada pengetahuan. Kita yakin Indonesia mampu lebih baik dari ini.

Yang ketiga, persoalan hukum Saudara FAS. Menurut pandangan kami, setelah merujuk pada fakta-fakta umum kasus ini, pasal yang paling mungkin dikenakan pada Saudara FAS adalah Pasal 111 UU Narkotika terkait penanaman dan pemeliharaan narkotika golongan I jenis tanaman. Ancaman pidana yang tertera pada ayat 2 pasal tersebut ialah seumur hidup.

Ketika rekan-rekan penegak hukum, dalam hal ini BNN, menganggap bahwa jika mereka tidak menyidik kasus ini maka mereka salah karena tidak turut dengan UU, bagi kami anggapan tersebut tidak tepat. Penghentian penyidikan dapat dilakukan melalui Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Justru karena kasus ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, BNN, atau Kejaksaan apabila kasus ini tetap diteruskan BNN, dapat menampilkan wajah penegakan hukum yang tidak humanis. Ketika pidana dianggap sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan keadilan di ranah publik, maka tidak tepat kemudian menempatkannya di sini karena tidak ada niat jahat apa pun pada kasus ini. Dari apa yang dilakukan Saudara FAS terhadap Ibu YR tidak memunculkan kekacauan apapun di ranah publik. Kasus ini adalah sebuah wujud cinta yang luar biasa indah. Justru situasi ini memburuk ketika hukum pidana mengintervensi.

Yang keempat, perhatian pada situasi anak. Bahwa justru karena niat Saudara FAS untuk mempertahankan keluarganya, anaknya kini sebatang kara tanpa orang tua yang mendampinginya. Ibunya meninggal karena tak bisa mengakses obat yang ia butuhkan, ayahnya juga ditahan. Kesejahteraan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak merupakan hal yang juga patut diperhatikan karena perlindungan anak pun merupakan aspek penting dalam segala kebijakan. Pemerintah mampu untuk menolong anak ini dengan merelakan Saudara FAS untuk tetap hadir di sisi anaknya.

Maka melalui konferensi pers ini, kami memohon dengan segala kerendahan hati kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, serta seluruh lembaga/kementerian yang berkaitan untuk:

  1. Mendorong penghentian penyidikan terhadap kasus Saudara FAS;
  2. Membuka kesempatan bagi penelitian terhadap zat dan tanaman di golongan I narkotika, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas;
  3. Meninjau ulang kebijakan narkotika untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

Percayalah, #PenjaraBukanSolusi. Bukan hanya untuk keluarga Saudara FAS dan Ibu YR. Namun untuk kita semua, rakyat Indonesia.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Skip to content