Tag: Hukuman Mati

Rilis Pers – EKSEKUSI HUMPREY JEFFERSON TIDAK SAH

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memprotes keras penetapan Humprey Ejike/Humprey Jefferson sebagai terpidana mati yang akan dieksekusi dalam gelombang III dalam waktu dekat.

LBH Masyarakat telah mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey Jefferson pada hari Senin, 25 Juli 2016 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan registrasi nomor: 01/grasi/2016. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Makna pasal ini cukup jelas, bahwa dengan didaftarkannya grasi dan selama putusan grasi belum keluar, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Jefferson tidak dapat dilakukan dan dibenarkan secara hukum.

Humprey Jefferson sendiri mengalami banyak pelanggaran fair trial (hak atas pelanggaran yang jujur).

Pertama, kasusnya direkayasa, dan individu yang menjebaknya, Kelly, sudah mengaku penjebakan tersebut. Kelly kini sudah meninggal, tetapi sebelum meninggal Kelly sempat mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Humprey. Kejadian ini disaksikan oleh tujuh orang saksi dan kesaksian tersebut telah diserahkan sebagai bukti Peninjauan Kembali. Tetapi oleh Mahkamah Agung kesaksian tersebut tidak dianggap memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana mati terhadap Humprey Jefferson mengandung pertimbangan hukum yang rasis. Disebutkan di dalam putusan tersebut “menimbang bahwa […] orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian”. Bahwa mungkin benar banyak warga negara Nigeria terlibat dalam peredaran gelap narkotika, tetapi bukan berarti semua warga negara Nigeria pasti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Penetapan Humprey Jefferson yang akan dieksekusi dalam waktu dekat padahal yang bersangkutan masih menunggu putusan grasi dan di saat yang bersamaan kasusnya sendiri penuh pelanggaran hak hukum, menunjukkan ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap pranata hukum (rule of law). Apabila salah satu pilar penegakan hukum saja tidak menghormati hukum yang berlaku, penegakan hukum seperti apa yang hendak kita bangun?

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kejaksaan Agung dan Presiden Joko Widodo membatalkan pelaksanaan eksekusi mati untuk seluruhnya dan segera mengevaluasi kebijakan dan praktik hukuman mati di Indonesia.

 

Cilacap, 26 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

 Tanda Terima Permohonan Grasi Humprey Jefferson

Rilis Pers – HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI GELOMBANG III

Pemerintahan Joko Widodo akan kembali melaksanakan eksekusi mati dalam waktu dekat. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya: penjagaan di Nusakambangan yang semakin diperketat, terpidana mati Merri Utami dipindahkan dari LP Tangerang ke Nusakambangan, terpidana mati Zulfiqar Ali dijemput dari RSUD Cilacap kembali ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu meski ia masih dalam keadaan sakit, dan beberapa kedutaan telah mendapat undangan oleh Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung.

Pengalaman tahun 2015 menunjukkan bahwa di pertemuan semacam itu Kejaksaan Agung memberikan notifikasi eksekusi kepada pihak kedutaan bahwa warga negaranya yang bersangkutan akan segera dieksekusi dalam waktu 3×24 jam ke depan. Berdasarkan penelusuran LBH Masyarakat, setidaknya ada dua kedutaan yang telah mendapatkan undangan tersebut, yakni: Kedutaan Besar Nigeria dan Kedutaan Besar Pakistan.

Sama halnya seperti tahun lalu, pelaksanaan eksekusi kali ini juga mengandung banyak persoalan:

Pertama, setidaknya terdapat tiga terpidana mati yang santer disebut-sebut akan dieksekusi yaitu Zulfiqar Ali, Merri Utami, dan Humprey Jefferson, yang belum menggunakan hak grasinya. Padahal di banyak kesempatan, Kejaksaan Agung sudah mengemukakan akan memberikan kesempatan bagi terpidana mati menggunakan segala hak hukumnya sebelum akan dieksekusi. Jika Kejaksaan Agung tetap memaksakan eksekusi pada terpidana mati yang masih memiliki hak untuk mengajukan grasi, hal tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap prinsip rule of law.

Kedua, mayoritas dari terpidana mati yang akan dieksekusi juga menyimpan persoalan unfair trial (pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur). Ketiga terpidana tersebut di atas misalnya tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum yang memadai sejak penangkapan. Di kasus Merri Utami, dia mengalami kekerasan fisik dan seksual di tahap penyidikan. Kerentanan sosial-ekonominya yang dieksploitasi oleh sindikat narkotika juga tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Sementara itu di kasus Zulfiqar Ali, dia juga mengalami penyiksaan ketika di tahap penyidikan. Di kasus Humprey Jefferson, bahkan putusan pengadilannya menyebutkan pertimbangan yang rasis, yaitu: “Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Nigeria sering […] melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan secara rapih dan terselubung.” Pemerintah seakan percaya diri dengan sistem hukum yang ada, keadilan pasti terjamin. Lantas, keadilan seperti apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang penuh kebobrokan?

Ketiga, pemilihan terpidana mati kembali difokuskan pada kasus narkotika, padahal bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati dan eksekusi tidak berbanding lurus dengan turunnya peredaran gelap narkotika. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), sendiri mengatakan bahwa antara bulan Juni 2015 – November 2015 terjadi peningkatan jumlah pemakai narkotika dari 4.2 juta menjadi 5.9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menutup mata terhadap gagalnya hukuman mati dalam memberikan efek jera.

Seharusnya Pemerintah belajar dari dua gelombang eksekusi sebelumnya, bahwa eksekusi mati gagal menjadi jawaban atas permasalahan narkotika di Indonesia yang begitu kompleks. Hukuman mati menyederhanakan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan persoalan narkotika. Pemerintah seharusnya, antara lain, menyediakan akses layanan kesehatan bagi pemakai narkotika yang nondiskriminatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercerabut akses sosial-ekonominya, dan membenahi sistem peradilan pidana agar lebih menghormati hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah:

  1. Menghentikan rencana eksekusi jilid III dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati Indonesia;
  2. Mengkaji ulang kebijakan narkotika dan membuka partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia;
  3. Menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi.

 

Jakarta, 25 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Skip to content