Tag: Hukuman Mati

Rilis Pers – Moratorium Hukuman Mati, Upaya Diplomasi Menyelamatkan Ratusan Pekerja Migran

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati, seorang pekerja migran Indonesia, oleh Saudi Arabia, tanggal 29 Oktober 2018 kemarin.

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Luar Negeri RI, eksekusi tersebut dilakukan oleh Saudi Arabia tanpa didahului dengan notifikasi oleh otoritas setempat kepada perwakilan Indonesia di Saudi Arabia. Eksekusi mati tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia sekaligus juga menciderai tata krama diplomasi internasional.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan yang tegas untuk merespon kejadian tersebut, dan mengevaluasi hubungan kerja sama bilateral Indonesia-Saudi Arabia, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja migran Indonesia di Saudi Arabia.

LBH Masyarakat kembali mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk secara resmi menerapkan moratorium hukuman mati di Indonesia. Hal ini penting guna memaksimalkan upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menyelamatkan ratusan tenaga kerja migran Indonesia yang masih berhadapan dengan hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

 

Jakarta, 30 Oktober 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia: Hormati Kehidupan, Rayakan Kemanusiaan

Dalam rangka memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober, LBH Masyarakat menyelenggarakan sebuah festival kemanusiaan satu-hari yang bertajuk, A Day for Forever: Celebrating Life and Hope, pada hari Sabtu, 7 Oktober 2017, bertempat di Conclave, Jl. Wijaya.

LBH Masyarakat memilih tema festival tersebut di atas karena kami resah melihat politik hukum dan HAM hari-hari ini yang kian menepikan arti penting kehidupan dan mengingkari martabat kemanusiaan. Di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), telah dilangsungkan tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa 18 orang terpidana mati. Kesemuanya dijalankan dengan dalih “darurat narkotika”. Memasuki tahun ketiga rezim Jokowi, angka kejahatan narkotika tidaklah menunjukkan penurunan, yang ada justru tindak pidana narkotika kian marak dan aparat penegak hukum juga terlibat di dalam peredaran gelap narkotika. Bukannya mengevaluasi kebijakan narkotika yang tengah berjalan, Jokowi justru mendorong terus kebijakan punitif yang nirhasil.

Di tengah kepemimpinan yang goyah karena diterpa isu anti-Islam, diasosiasikan dengan PKI, dan cenderung otoriter, Jokowi sekali lagi menggunakan isu narkotika untuk tampil heroik. Belum lagi mengingat mendekatnya kontestasi politik 2019, Jokowi seperti hendak terlihat gagah mengatasi persoalan kejahatan yang menyeruak. Gejala ini menunjukkan betapa penyelesaian sebuah persoalan publik, yang seharusnya dilihat dari kacatama ilmiah yang jernih, malah rentan dieksploitasi dan dimanfaatkan sebagai alat elektoral guna mendulang suara.

Berangkat dari situasi di atas, LBH Masyarakat memandang penting untuk terus menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap kemanusiaan di tengah derasnya arus narasi pemerintah yang hendak meminggirkan norma-norma hak asasi manusia dalam menyelesaikan pelbagai problem sosial dan hukum. Selain itu, LBH Masyarakat juga merasa perlu untuk senantiasa mengajak publik tetap dapat menjaga kekritisannya dalam mengawal jalannya pemerintahan. Atas dasar inilah, LBH Masyarakat mengadakan A Day for Forever.

Jakarta, 5 Oktober 2017

Rilis Pers – Kejaksaan Agung Harus Hentikan Persiapan Eksekusi Mati Jilid 4

LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung untuk menghentikan segala persiapan terkait pelaksanaan eksekusi mati gelombang ke-4. Kejaksaan Agung juga harus menghentikan upaya meminta fatwa hukum kepada Mahkamah Agung terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus batasan waktu pengajuan grasi.

Jaksa Agung M. Prasetyo, sebagaimana dilansir oleh sejumlah media, menyampaikan bahwa Kejaksaan Agung menyiapkan 12 terpidana mati untuk segera dieksekusi mati. “Di tengah karut marutnya penegakan hukum Indonesia, Jaksa Agung hendak tampil seolah heroik dengan melakukan eksekusi mati. Padahal Kejaksaan Agung sendiri juga defisit prestasi. Selama 2.5 tahun terakhir, Kejaksaan Agung tidak kunjung menunjukkan prestasi yang membanggakan. Eksekusi mati tidak lebih dari pemanis untuk menutupi buruknya performa Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia,” tegas Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Akhir Juli 2017 kemarin, Ombudsman Republik Indonesia telah menyatakan bahwa Kejaksaan Agung melakukan beberapa pelanggaran hukum terkait eksekusi mati jilid tiga April 2016. Ombudsman juga meminta Kejaksaan Agung melakukan sejumlah perbaikan terkait tata cara eksekusi. “Bukannya membenahi diri pasca rekomendasi Ombudsman, Jaksa Agung justru mengesampingkan evaluasi Ombudsman dengan meneruskan rencana eksekusi mati. Institusi penegakan hukum seperti Kejaksaan Agung tidak bisa diserahkan kepemimpinannya kepada figur yang abai terhadap norma hukum,” imbuh Ricky. “Belum lagi, Jaksa Agung meminta fatwa hukum kepada Mahkamah Agung terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk memuluskan langkahnya melakukan eksekusi mati. Hal ini justru menunjukkan sesat pikir yang fatal dan Jaksa Agung tidak memiliki pengetahuan mendasar mengenai tata hukum Indonesia,” tambah Ricky.

LBH Masyarakat kembali mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mencopot M. Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung, dan meminta Kejaksaan Agung untuk menghentikan segala rencana eksekusi mati jilid 4. Eksekusi mati tidak pernah terbukti berhasil menurunkan angka kejahatan apapun, termasuk tindak pidana narkotika.

Jakarta, 26 Agustus 2017

Kejaksaan Agung Melakukan Maladministrasi di Eksekusi Gelombang Tiga 29 Juli 2016

Jumat, 28 Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa eksekusi mati yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 Juli 2016 sebagai sebuah tindakan maladministrasi. Menurut Ombudsman, di pelaksanaan eksekusi tersebut Kejaksaan Agung telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Grasi Nomor 22 Tahun 2002 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Ombudsman juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan praktik diskriminatif terhadap Humphrey Ejike Jefferson (Jeff), dengan menolak pengajuan Peninjauan Kembali kedua tanpa memberikan penjelasan yang memadai.

 

Temuan Ombudsman tersebut di atas adalah tindak lanjut terhadap pengaduan yang LBH Masyarakat ajukan pada bulan Agustus 2016. LBH Masyarakat mengapresiasi kesimpulan Ombudsman tersebut dan menilai temuan tersebut sebagai hasil yang penting bagi perlindungan hak asasi manusia terpidana mati. “Ombudsman mempertegas pandangan LBH Masyarakat bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi mati yang melawan hukum terhadap Jeff dan ketiga terpidana mati lainnya yang dieksekusi pada tanggal 29 Juli 2016,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat. Tepat setahun yang lalu, eksekusi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tersebut berlangsung secara tergesa-gesa, serba tertutup dan serampangan. “Temuan Ombudsman ini menumbuhkan harapan akan adanya keadilan bagi mereka yang telah dieksekusi secara ilegal,” lanjut Ricky.

 

LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung, yang kini ramai mewacanakan adanya gelombang empat eksekusi mati, untuk menghentikan persiapan eksekusi mati. “Lebih baik Kejaksaan Agung membenahi diri daripada memaksakan diri melakukan eksekusi mati kembali. Kejaksaan Agung jelas memiliki PR besar untuk menindaklanjuti temuan Ombudsman dan belajar dari kesalahan yang mereka perbuat tahun lalu,” imbuh Ricky.

 

Dalam kesempatan ini LBH Masyarakat kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencopot HM Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung. Ricky menambahkan, “Dengan temuan bahwa eksekusi mati dilakukan oleh Kejaksaan Agung secara melawan hukum jelas menunjukkan inkompetensi Jaksa Agung dalam memimpin institusi ini. Bagaimana bisa kita mempercayakan institusi yang harusnya menegakkan hukum ke orang yang melanggar hukum?”

 

Jakarta, 28 Juli 2017

 

LBH Masyarakat

Eksekusi Mati IV: Menukar Nyawa dengan Suara

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras pernyataan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo yang mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantungi sejumlah nama terpidana mati untuk dieksekusi dan bahwa eksekusi jilid IV akan digelar, sekalipun waktu pastinya belum bisa ditentukan. Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung hari Jumat, 19 Mei 2017, di hadapan kawan-kawan media. Lebih lanjut Prasetyo menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) perihal pembatasan waktu pengajuan grasi.

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak ubahnya sebuah manuver politik untuk mencari popularitas di tengah miskinnya prestasi Kejaksaan Agung. Di saat politik hukum Pemerintah mengarah ke pembatasan keberlakuan hukuman mati seperti tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun pernyataan Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan terakhir, pernyataan Jaksa Agung itu justru bertolak belakang dengan gestur Presiden sebagai atasannya maupun dengan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Ricky melanjutkan, “setidaknya ada dua hal yang Jaksa Agung bisa prioritaskan daripada meneruskan praktik eksekusi mati yang terbukti tidak menurunkan angka kejahatan narkotika. Pertama, mengevaluasi eksekusi jilid III kemarin yang carut-marut penuh dengan permasalahan. Melanjutkan gelombang eksekusi padahal eksekusi terakhir menyisakan banyak pertanyaan menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah belajar dari kesalahan dan berpotensi mengulang pelanggaran yang sama. Kedua, Jaksa Agung sebaiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi hutang kampanye Jokowi sebagaimana tercantum di dalam Nawacita.”

Sehubungan dengan rencana Kejaksaan Agung meminta pendapat MA terkait dengan pembatasan waktu grasi padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa grasi tidak dibatasi oleh waktu, Ricky menegaskan bahwa, “Jaksa Agung melakukan kesalahan dengan meminta fatwa MA terkait putusan MK. Tidaklah pada tempatnya Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini bukan saja memperlihatkan ketidakpahaman Jaksa Agung yang fatal mengenai sistem hukum Indonesia tetapi juga Jaksa Agung telah mengangkangi kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.”

Ricky juga mengingatkan bahwa, “Indonesia baru saja selesai diperiksa di Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), dan persoalan hukuman mati mendapat banyak sorotan dan catatan buruk dari banyak negara. Tindakan Jaksa Agung yang hendak meneruskan eksekusi mati hanya akan melanggengkan citra buruk Indonesia di hadapan komunitas internasional. Pada UPR kemarin, 28 negara memberikan rekomendasi moratorium dan abolisi. Jumlah ini meningkat sembilan kali lipat dari UPR sebelumnya di tahun 2012, di mana hanya ada 3 negara yang memberikan rekomendasi serupa.”

“Di tengah goyahnya pemerintahan Jokowi ditempa berbagai permasalahan kebangsaan, dari meningkatnya sentimen intoleran hingga belum terungkapnya serangan terhadap Novel Baswedan, janganlah Jaksa Agung menggunakan eksekusi mati sebagai langkah populis untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tersebut. Di saat sistem hukum Indonesia penuh dengan kebobrokan, akan selalu ada orang-orang yang tidak bersalah divonis mati atau mengalami proses hukum yang cacat, sebagaimana ditunjukkan di tiga gelombang eksekusi terakhir,” tambah Ricky.

Dipilihnya terpidana mati narkotika sebagai orang-orang yang akan dieksekusi Kejaksaan Agung di eksekusi jilid IV kembali memperlihatkan kebebalan pemerintah dalam mengatasi persoalan narkotika. Berdasarkan catatan LBH Masyarakat, sepanjang 2016, setidaknya terdapat 120 artikel berita yang melaporkan peristiwa pengendalian narkotika dari dalam lapas, dan 729 artikel berita mengenai penggrebekan peredaran narkotika dalam skala besar, di mana terdapat lebih dari 4.200 kg shabu dan 5.700 kg ganja disita oleh aparat. “Tidakkah cukup kasat mata bahwa eksekusi mati gagal mengatasi kejahatan narkotika? Apa lagi yang dicari Pemerintah dengan meneruskan eksekusi ketika tujuan dilakukannya eksekusi itu tidak tercapai? Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksekusi jilid IV dan menerapkan moratorium, serta mengkaji kembali kasus-kasus hukuman mati dengan tujuan perubahan hukuman. Secara khusus, Presiden Jokowi perlu segera mencopot Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung karena kinerjanya yang buruk dan telah melakukan sejumlah kesalahan hukum,” jelas Ricky.

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Evaluasi Situasi HAM Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3: 28 Negara Merekomendasikan Moratorium Hukuman Mati.

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. UPR kali ini berlangsung pada 3 Mei 2017 di Jenewa. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012.

Kordinator Program LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, hadir mewakili elemen masyarakat sipil untuk memberikan laporan pada proses UPR ini.

Catatan LBH Masyarakat terkait Situasi Hukuman Mati Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3, Mei 2017

LBH Masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan UPR yang ketiga terhadap Indonesia, yang berlangsung pada 3 Mei 2017, berjalan dengan baik dan konstruktif. Baik Indonesia, maupun negara yang melakukan penilaian terhadap Indonesia, saling menghargai proses yang berlangsung dan mengedepankan pentingnya kooperasi yang positif. LBH Masyarakat mencatat bahwa sejumlah isu hak asasi manusia telah diangkat dan dibahas dengan mencukupi sepanjang sesi, seperti misalnya isu mengenai hak perempuan dan anak. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu hak asasi manusia penting yang tidak secara substansial ditanggapi, atau bahkan cenderung diabaikan, seperti misalnya perlindungan terhadap hak-hak LGBT.

LBH Masyarakat mengapresiasi tingkat perhatian yang tinggi yang diberikan terhadap isu hukuman mati. Berdasarkan catatan kami, ada setidaknya 28 dari 107 (25%) negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan hukuman mati.

Secara umum, rekomendasi tersebut berisi anjuran bagi Indonesia untuk segera memberlakukan kembali moratorium hukuman mati bagi semua tindak pidana. Tetapi beberapa rekomendasi dibuat secara lebih spesifik. Australia, misalnya, merekomendasikan Indonesia untuk ‘meningkatkan pedoman pengamanan dalam penggunaan hukuman mati’, yang termasuk di antaranya dengan memastikan ‘akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas sejak dini’ bagi orang yang menghadapi hukuman mati, ‘penghapusan hukuman mati bagi orang dengan gangguan kejiwaan’, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sesuai dengan standar hak asasi manusia international. Selain itu, Belgia merekomendasikan Indonesia untuk ‘membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau seluruh kasus hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman mati dan/atau setidaknya memastikan tersedianya pemenuhan hak atas peradilan yang adil dan jujur yang sesuai dengan standar internasional.’

Jumlah rekomendasi terkait hukuman mati yang diberikan pada putaran ketiga ini meningkat sembilan kali dari UPR putaran sebelumnya di 2008, di mana Indonesia hanya mendapatkan rekomendasi dari tiga negara.

Fakta bahwa ada setidaknya seperempat negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan moratorium hukuman mati atau eksekusi hukuman mati mengindikasikan tingkat keseriusan dari isu ini. Namun demikian, kami menyayangkan buruknya respon Indonesia terhadap hal tersebut.

Indonesia, sebagaimana telah kami prediksi, masih saja menggunakan data yang cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotika dan retorika moral untk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati. Indonesia berulang kali menggunakan statistik 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotika – sebuah argumen yang mendapatkan kiritik keras dari akademisi Indonesia dan internasional. Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti ataupun mengakui pentingnya kebijakan narkotika yang berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi persoalan penggunaan narkotika. Sebaliknya, Indonesia justru mempromosikan penggunaan wajib rehabilitasi yang melanggar hak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, Indonesia berargumen bahwa eksekusi telah dilakukan dengan menghargai dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang jujur dan adil. Indonesia dengan bangga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat. Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik. Dalam tiga eksekusi terakhir di bawah rejim Joko Widodo, terdapat persoalan serius mengenai absennya mekanisme pedoman pengamanan. Delapan belas orang yang dieksekusi dalam tiga eksekusi terakhir mengalami pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur dan adil, termasuk Zainal Abidin, yang kasusnya direkayasa; Rodrigo Gularte, yang memiliki skizofrenia paranoid dan bipolar; dan, Humphrey Ejike, orang yang tidak bersalah yang ketika dieksekusi sedang dalam proses pengajuan grasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, LBH Masyarakat mendorong pemerintah Indonesia untuk menerima ke-dua puluh delapan rekomendasi terkait dengan hukuman mati yang diberikan dalam putaran ketiga UPR terhadap Indonesia.

Indonesia harus memberlakukan moratorium secara formal dengan tujuan menghapuskan hukuman mati. Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati, mengubah hukuman mati bagi seluruh terpidana mati, dan segera merevisi KUHP sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset, dan Kebijakan LBH Masyarakat

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers LBH Masyarakat – Jaksa Agung Harus Hentikan Persiapan Eksekusi Mati Gelombang Empat

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam pernyataan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang secara sepihak menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai pembatasan waktu pengajuan grasi adalah tidak berlaku surut.[i] Dengan penafsiran sepihak yang keliru ini, Pemerintah melalui Jaksa Agung, berpotensi mengulang pelanggaran hukum yang sama yang pernah dilakukan pada eksekusi mati gelombang ketiga (Juli 2016), yaitu mengeksekusi terpidana mati yang masih memiliki hak, atau tengah, mengajukan permohonan grasi. Jaksa Agung sendiri bahkan belum pernah secara resmi menjelaskan alasan yuridis dan non-yuridis yang menjadi dasar penundaan eksekusi 10 terpidana mati pada gelombang ketiga tersebut, sehingga menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat.[ii]

Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[iii] Dengan demikian, semua terpidana, termasuk terpidana mati, yang belum mengajukan grasi masih memiliki hak untuk mengajukan grasi kapan pun tanpa dibatasi waktu. Terkait dengan dibatalkannya pembatasan waktu tersebut, Pasal 3[iv] dan Pasal 13[v] UU Grasi telah menjamin bahwa dalam hal pidana mati, permohonan grasi dapat menunda pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).[vi]

Jaksa Agung berasumsi bahwa Putusan MK tersebut di atas tidak berlaku surut, seakan-akan terpidana mati yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap dan melewati jangka waktu 1 tahun sebelum Putusan MK dibacakan, sudah gugur hak mengajukan grasinya oleh karena keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi. Padahal, pernyataan ini tidak memiliki dasar yang kuat dan berpotensi melanggar hak hukum terpidana mati untuk mengajukan grasi.

Asumsi tersebut juga bertentangan dengan fakta dikabulkannya permohonan grasi Antasari Azhar. Putusan pidana Antasari Azhar telah berkekuatan hukum tetap sejak permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 21 September 2010. Sehingga, jika mengikuti logika berpikir Jaksa Agung, seharusnya hak mengajukan grasi Antasari sudah gugur pada tanggal 21 September 2011 oleh keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi.

Namun, oleh karena Putusan MK membatalkan pasal tersebut di atas, Antasari dapat mengajukan grasi kepada Presiden pada tanggal 8 Agustus 2016.[vii] Terhadap pengajuan grasi ini, Presiden bukan saja menerima permohonan grasi tersebut secara prosedural, namun juga mengabulkannya, sebagaimana termuat dalam Keputusan Presiden Nomor I/G/2017. Hal ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung telah salah menafsirkan Putusan MK di atas. Kesalahan tersebut jika dikaitkan dengan eksekusi gelombang ketiga, tidak hanya memperlihatkan bahwa Jaksa Agung telah mengangkangi kewenangan konstitusional Presiden untuk mengabulkan permohonan grasi, tetapi juga melakukan pelanggaran hukum yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. LBH Masyarakat menilai potensi terulangnya pelanggaran hukum oleh Jaksa Agung tersebut sangat besar.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia untuk:

  1. Menghentikan segala bentuk persiapan eksekusi mati dalam rangka mengeliminasi kemungkinan pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum;
  2. Membentuk tim independen untuk melakukan investigasi terhadap indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam eksekusi mati yang telah dilaksanakan; dan juga meninjau kembali kasus-kasus terpidana mati yang belum dieksekusi;
  3. Segera menjelaskan ke publik alasan yuridis dan non-yuridis penundaan eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati pada eksekusi Juli 2016 lalu;
  4. Mencopot Muhammad Prasetyo dari posisi Jaksa Agung dan secara cermat memilih Jaksa Agung yang berkompeten dalam bidang konstitusi, hukum, dan hak asasi manusia;
  5. Mematuhi dan melaksanakan Putusan MK yang membatalkan batasan waktu pengajuan grasi serta menghormati hak para terpidana mati untuk mengajukan upaya hukum;

Jakarta, 23 Februari 2017

Narahubung:

Ricky Gunawan

Direktur LBH Masyarakat

[i] Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/22/15530571/kejagung.tengah.persiapkan.eksekusi.mati.jilid.iv, diakses 22 Februari 2017.

[ii] Pasca eksekusi gelombang ketiga, Jaksa Agung, menyatakan bahwa penundaan eksekusi terhadap 10 orang terpidana mati telah melalui pertimbangan yuridis dan non-yuridis, namun sampai sekarang tidak pernah menjelaskan apa saja pertimbangan tersebut.

Lihat Eksekusi 10 terpidana mati ‘akan ditentukan kemudian,’ BBC.com, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160728_indonesia_penangguhan_eksekusi_kejagung, diakses 22 Februari 2017.

[iii] Putusan dapat diunduh melalui http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/107_PUU-XIII_2015.pdf. Pasal tersebut sebelumnya mengatur bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

[iv] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 3, menyebutkan: “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan utusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.”

[v] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 13, menyebutkan: “bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”

[vi] Jaksa Agung pada eksekusi gelombang ketiga telah melakukan pelanggaran hukum dengan mengeksekusi mati Humphrey Ejike, Seck Osmane, dan Freddy Budiman yang pada saat itu masih dalam proses mengajukan permohonan grasi. Terhadap pelanggaran ini LBH Masyarakat bersama Koalisi Hapus Hukuman Mati telah melaporkan Jaksa Agung ke Ombudsman dan Komisi Kejaksaan.

Lihat, misalnya, Jaksa Agung Diduga Lakukan Maladministrasi Eksekusi Mati, CNNIndonesia.com, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808161735-12-149951/jaksa-agung-diduga-lakukan-maladministrasi-eksekusi-mati/, diakses 22 Februari 2017; dan, Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Jaksa Agung Prasetyo ke Komisi Kejaksaan RI, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2016/08/10/14002601/koalisi.masyarakat.sipil.laporkan.jaksa.agung.prasetyo.ke.komisi.kejaksaan.ri, diakses 22 Februari 2017.

[vii] Alasan Pengacara Antasari Azhar Sambangi Setneg Hari Ini, Liputan6.com, http://news.liputan6.com/read/2660314/alasan-pengacara-antasari-azhar-sambangi-setneg-hari-ini, diakses 22 Februari 2017.

Rilis Pers – Antara Penegak Hukum dan Freddy Budiman: Buruk Muka, Cermin Dibelah

LBH Masyarakat mengecam pengaduan tindak pidana penghinaan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap saudara kami, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.

Pengaduan tersebut terkait dengan catatan Haris Azhar mengenai pembicaraan yang ia lakukan dengan almarhum Freddy Budiman di Nusakambangan pada 2014 lalu.

Kami menilai bahwa pemerintah seharusnya menanggapi catatan yang diungkap Haris Azhar sebagai sebuah katalis perbaikan diri, reformasi institusi, dan pengkajian ulang kebijakan narkotika.

Cerita yang diungkap Haris Azhar sebaiknya digunakan pemerintah untuk memeriksa beberapa hal yang secara implisit terungkap dalam catatan itu, antara lain: CCTV yang menyorot Freddy Budiman, catatan kunjungan penjara, serta penelusuran transaksi keuangan penegak-penegak hukum yang terkait dengan kasus tersebut.

Pemerintah justru saat ini menunjukan wajah anti-kritik yang tentu jauh dari nilai-nilai demokrasi yang ingin dicapai negeri ini.

Tindakan pengaduan ini memperlihatkan tangan besi pemerintah yang kerap menepuk dada bangga atas prestasi yang diklaim sendiri, namun menampar keras setiap orang yang ingin memberi masukan demi perubahan.

Pemerintahan ini nampak tidak ingin dikenang sebagai sebuah pemerintahan yang menjadi jawara dalam hukum dan hak asasi manusia, melainkan sebagai otoritas yang membungkam semua kritik tajam yang menghunusnya.

Sikap keras yang ditunjukan pemerintah terhadap kritik atau cerita semacam ini justru membuat publik bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya?” yang dalam banyak hal malah memperburuk citra yang dibangun pemerintahan ini.

Oleh karena hal-hal di atas, kami mendesak BNN, TNI, dan Polri untuk:

  1. Segera mencabut aduan penghinaan terhadap Saudara Haris Azhar
  2. Mempercepat reformasi institusi dan memproses hukum anggota institusi yang menjadi pelindung bagi pengedar gelap narkotika

Kami juga tidak lupa mendesak Presiden untuk:

  1. Mengkaji ulang kebijakan narkotika yang saat ini diterapkan Indonesia
  2. Mendorong Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan investigasi ke institusi penegak hukum untuk mengindentifikasi oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam penegakan hukum narkotika
  3. Melakukan moratorium hukuman mati selagi mereformasi institusi penegak hukum

Agar Pemerintah dan masyarakat juga mendapat gambaran yang lebih besar mengenai buruknya situasi penegakan hukum narkotika, LBH Masyarakat bersama KontraS dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) membuka Posko Darurat Bongkar Aparat.

Posko ini adalah posko pengaduan bagi masyarakat yang ingin mengadukan pengalaman mereka menghadapi praktik-praktik buruk yang dilakukan oleh aparat dalam isu narkotika seperti pemerasan, rekayasa kasus, penyiksaan, penjebakan, ancaman, dan sebagainya.

Posko ini adalah ekspresi ketidakpuasan atas sistem penegakan hukum Indonesia, di bidang narkotika khususnya, yang kerap cacat prosedur, korup, namun menolak dikoreksi.

Masyarakat yang ingin menceritakan pengalamannya dapat membuat laporan kepada kami dengan menyertakan nama, bukti, kronologi kasus yang melibatkan aparat, serta dokumen terkait seperti foto atau berkas-berkas lainnya.

Posko Darurat Bongkar Aparat ini terletak di Kantor KontraS di Jl. Kramat II No. 7, Senen, Jakarta Pusat. Masyarakat juga dapat menjangkau kami melalui surat elektronik di bongkaraparat@kontras.org atau telepon dengan Arif (KontraS) di 081513190363 atau Yohan (LBH Masyarakat) di 085697545166 sebagai narahubung.

Melalui rilis pers ini juga, sebagai institusi dan rekan seperjuangan, LBH Masyarakat dengan lantang menyerukan:

#SayaPercayaKontraS

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – Eksekusi Mati Tahap III Politis dan Jelas Ilegal

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap empat orang terpidana mati yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, 29 Juli 2016, dinihari.

Terhadap eksekusi mati tersebut, LBH Masyarakat memandang:

Pertama, notifikasi eksekusi diterima oleh para terpidana mati, termasuk klien kami yang dieksekusi Humprey Jefferson, pada hari Selasa, 26 Juli 2016, sore hari. Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati menyatakan bahwa “tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.” Eksekusi seharusnya terjadi paling cepat hari Jumat, 29 Juli 2016, malam hari. Dengan demikian, eksekusi dini hari tadi adalah eksekusi yang tidak sah dan melanggar hukum.

Kedua, pemilihan empat dari empat belas terpidana mati yang dieksekusi dini hari tadi menunjukkan kesewenangan dalam kebijakan dan praktik hukuman mati Indonesia. Tidak ada dasar kriteria yang jelas dalam menentukan mengapa akhirnya empat orang tersebut yang dieksekusi ketika ada 14 orang yang menjalani masa isolasi. Lebih jauh lagi, eksekusi tersebut menunjukkan bahwa eksekusi mati selalu politis dan hanya melayani kepentingan politik tertentu. Eksekusi mati dini hari tadi tidak lebih dari sebuah opera sabun yang ditampilkan begitu dramatis di mana publik tidak mampu menerka alur ceritanya dan dikejutkan dengan akhir drama tersebut.

Ketiga, penyelenggaraan eksekusi mati yang penuh ketertutupan sejak awal hingga akhir justru menunjukkan bahwa pemerintah sepertinya menyadari bahwa pelaksanaan eksekusi yang mereka lakukan penuh kecacatan dan dilakukan dengan tidak hati-hati.

Cilacap, 29 Juli 2016

Rilis Pers – Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016: Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Masyarakat mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap akan melakukan eksekusi Mati tahap III dini hari ini (29/07). Pasca notifikasi diberlakukannya notifikasi 3×24 jam pada hari Selasa, 26 Juli 2016 maka rencana pelaksaan eksekusi mati dini hari telah melanggar batas waktu dari yang seharusnya masih dimiliki oleh para terpidana mati untuk menunggu upaya hukumnya yakni Grasi diputus oleh Presiden, apakah diterima atau ditolak. Namun Jaksa Agung justru mempercepat pelaksanaan eksekusi mati.

Tindakan terburu-buru Jaksa Agung untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil proses pemantauan dan pendampingan yang dilakukan terhadap keluarga korban terpidana mati Tahap III ini, kami mencatat terdapat adanya aturan-aturan hukum dan HAM yang dilanggar oleh Jaksa Agung, diantaranya:

Pertama, Hingga malam ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan secara resmi nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi pada Tahap III ini. Meski Kejaksaan Agung sudah menyampaikan notifikasi 3×24 jam pelaksaan eksekusi mati oleh pihak Kejaksaan Agung kepada pihak Kedutaan, namun tidak ada nama-nama terpidana mati yang disebutkan saat notifikasi disampaikan secara terang dan resmi;

Kedua, Jika pelaksanaan eksekusi benar dilaksanakan malam ini, maka Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran hukum mengingat Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mensyaratkan adanya notifikasi 3×24 jam untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusi tersebut kepada para terpidana mati.

Ketiga, Beberapa terpidana mati yang potensial akan dieksekusi mati malam ini telah mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden RI Joko Widodo, diantaranya Zulfikar Ali (WN Pakistan), Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami (WN Indonesia) dan Humprey Jefferson (WN Nigeria). Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Dengan demikian seharusnya Jaksa Agung tidak melakukan rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih belum selesai proses hukumnya.

Keempat, kondisi kesehatan Zulfikar Ali yang kian memburuk baik dengan dan tanpa eksekusi mati, tanpa penanganan medis yang memadai adalah bukti bahwa negara bersalah membiarkan dan menggunakan instrumen koersifnya untuk memaksakan suatu tindakan yang dilarang hukum!

Dari lapangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang masih belum bisa disampaikan, karena terkait dengan keselamatan dari para terpidana mati, namun akan kami sampaikan dalam tempo cepat.

Pengingkaran-pengingkaran di atas adalah bukti bahwa Jaksa Agung HM. Prasetyo yang masih dipertahankan oleh Presiden RI dalam berbagai skema reshuffle terbukti potensial melakukan tindakan melanggar hukum Indonesia. Gelar pasukan TNI dan Polri, ambulans, dokter, menjadikan Nusa Kambangan sebagai obyek tontonan juga adalah tindakan tidak terpuji.

Nusa Kambangan,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Skip to content