Penulis: admin editor

Putusan Pidana Mati Terhadap Kopda Bazarsah: Antara Pemenuhan Kebutuhan Korban atau Narasi Kegagahan Semata

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik vonis mati Pengadilan Militer I-04 Palembang untuk Kopda Bazarsah karena dinilai hanya menunjukkan citra gagah negara tanpa memikirkan dampak lain. Vonis ini juga tidak menyembuhkan luka keluarga korban dan bertentangan dengan semangat reformasi peradilan pidana dalam KUHP baru.

Pada tanggal 11 Agustus 2025, bertempat di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Sumatera Selatan, seorang anggota militer berpangkat Kopral Dua (Kopda), Bazarsah, dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Militer atas perbuatan pembunuhan yang dilakukannya terhadap 3 (tiga) orang polisi, yakni AKP (Anumerta) Lusiyanto (selaku Kapolsek Negara Batin), Aipda (Anumerta) Petrus Apriyanto (selaku Bintara Polsek Negara Batin), dan Bripda (Anumerta) M. Ghalib Surya Ganta (selaku Bintara Satreskrim Polres Way Kanan).

Tentunya penjatuhan pidana mati ini selaras dengan tuntutan yang disampaikan oleh Oditur Militer pada tanggal 21 Juli 2025. Oditur Militer menyatakan bahwa tindakan Kopda Bazarsah telah memenuhi unsur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau melakukan perbuatan pembunuhan secara berencana. Tak hanya tuntutan pidana mati, Oditur Militer juga meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Baik tuntutan pidana mati dan pemecatan dari dinas militer, hal itu dikabulkan oleh Majelis Hakim.

Namun, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Oditur Militer yang menyatakan Kopda Bazarsah terbukti memenuhi unsur dalam Pasal 340 KUHP. Majelis Hakim lebih sepakat jika Kopda Bazarsah terbukti melakukan perbuatan dan memenuhi unsur dalam Pasal 338 KUHP karena melakukan pembunuhan tersebut tanpa rencana. Terlepas dengan pandangan tersebut, Majelis Hakim tetap menjatuhkan pidana mati terhadap Kopda Bazarsah. 

Kami berpandangan apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam kasus ini adalah di luar dari kewenangan hukum yang berlaku. Vonis pidana mati yang diberikan kepada Kopda Bazarsah, sekalipun sesuai dengan harapan banyak pihak, menunjukkan permasalahan hukum yang lebih dalam. Ada tiga catatan kritis yang bisa kami sampaikan dalam kasus ini.

Pertama, apabila Hakim memosisikan seseorang telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dengan Pasal 338 KUHP, maka konsekuensi pidana yang dapat dikenakan terhadap orang tersebut adalah maksimal 15 tahun penjara. Dalam hukum pidana, memang masih memungkinkan Majelis Hakim memberikan pidana tambahan, seperti pidana denda, tetapi bukan dengan penambahan pidana penjara ataupun pidana mati. Penjatuhan hukuman di luar ketentuan maksimal akan berbahaya karena menimbulkan preseden bagi para hakim untuk memvonis di luar aturan hukum yang ada.

Kondisi penjatuhan pidana mati di Indonesia nampaknya masih tetap dan terus terjadi dalam beberapa kasus, seperti narkotika, pembunuhan berencana, kekerasan seksual terhadap anak, dan terorisme. Namun seiring dengan penjatuhan pidana mati yang terus dikeluarkan, apakah jumlah kasus terhadap tindak pidana tersebut berkurang? Data membuktikan tidak. Inilah yang kami sebut dengan cara menampilkan kegagahan semata tanpa memikirkan dampak lain yang sifatnya bisa menguntungkan.

Kedua, vonis pidana mati tidak serta merta menyembuhkan rasa sakit dan luka yang dialami oleh keluarga korban. Malah, dalam banyak kasus, vonis mati mengalihkan keluarga korban dari hak-haknya yang lebih dasar, seperti pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi. Dalam kasus-kasus seperti ini di mana korban utama adalah tulang punggung keluarga, menjadi beralasan jika keluarga korban meminta tuntutan lain, seperti restitusi dari pelaku, untuk menanggung hidup mereka pasca kehilangan tiga orang penopang keluarga ini.

Sayangnya, dalam pidana mati, hak atas restitusi ini menjadi tidak bisa didapatkan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak  boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu”. Hal ini mencangkup restitusi, sehingga tidak ada kemungkinan bagi seseorang yang dijatuhi dengan pidana mati untuk tetap melakukan kewajiban restitusinya terhadap keluarga korban. Keluarga korban tidak diberikan ruang untuk menuntut mendapatkan restitusi dari orang yang dijatuhi dengan pidana mati tersebut. 

Ketiga, vonis mati terhadap Kopda Bazarsah tidak sesuai dengan semangat reformasi peradilan pidana yang diusung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Tidak sampai 5 bulan lagi, KUHP Baru akan berlaku dan digunakan. Aturan-aturan dalam KUHP Baru telah mencoba sedikit demi sedikit beralih dari pidana mati. Selain pidana mati dijadikan pidana alternatif, KUHP Baru juga memandatkan hakim memutus pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Harapannya adalah terdapat perubahan perilaku terhadap orang yang dijatuhi dengan pidana mati sehingga hukuman mereka dikomutasi menjadi pidana seumur hidup.

“Tampaknya banyak pengadilan, termasuk Pengadilan Militer I-04 Palembang, belum sepenuhnya mengerti pergeseran perspektif ini. Hal inilah yang menyebabkan narapidana deret tunggu terus bertambah dari tahun ke tahun, di mana per hari ini sudah mencapai 594 orang. Putusan-putusan mati ini juga tampak tidak belajar dari pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk beralih dari model penghukuman yang sifatnya retributif seperti hukuman mati ke hukuman yang lebih rehabilitatif dan restoratif,” ungkap Koordinator Penanganan Kasus LBHM, Yosua Octavian.

Berkaitan dengan kasus Kopda Bazarsah ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer yang nantinya memeriksa dan mengadili perkara ini di tingkat banding untuk dapat: 

1. Mengutamakan pemenuhan layanan psikologi dan ekonomi bagi keluarga korban dengan mengutamakan kewajiban restitusi terhadap Kopda Bazarsah dibanding dengan penjatuhan pidana mati yang merupakan cara usang untuk menanggulangi kejahatan.

2. Mendorong aparat hukum yang berwenang untuk mengutamakan keselamatan bagi keluarga korban dan juga keluarga dari Kopda Bazarsah agar terhindar dari ancaman dan/atau tekanan dari pihak mana pun.

3. Mendesak institusi Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk melakukan audit secara serius atas kepemilikan senjata api anggotanya dan keterlibatan anggota TNI dalam bisnis-bisnis yang dilarang untuk memastikan kejadian pembunuhan seperti yang dilakukan oleh Kopda Bazarsah tidak terulang lagi.

Jakarta, 12 Agustus 2025

Hormat kami,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) 

Narahubung: 0898-437-0066

Meninjau Kebijakan dan Praktik Rehabilitasi Narkotika dalam Skema Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia

Dalam wacana kebijakan publik, rehabilitasi narkotika seringkali dipromosikan sebagai solusi “kemanusiaan” untuk menangani pengguna narkotika. Dibanding pemenjaraan, rehabilitasi dianggap lebih ramah, lebih “sehat”, dan lebih berorientasi pada pemulihan individu. Namun, penelitian terbaru LBH Masyarakat (LBHM) justru menjungkirbalikan asumsi ini secara radikal: apa yang dijual sebagai pemulihan, dalam praktiknya justru bisa berubah menjadi ruang penyiksaan terselubung.

Klaim “pemulihan” itu terbentur oleh kenyataan lapangan yang suram: rehabilitasi dijalankan tanpa standar, tanpa persetujuan pasien, dan dalam banyak kasus, tanpa akuntabilitas hukum. Alih-alih dipulihkan, para pengguna narkotika justru mengalami pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan, bahkan eksploitasi ekonomi. Mereka ditahan secara ilegal, diperas secara finansial, dilarang dijenguk, dan dibiarkan dalam kondisi tidak manusiawi di bawah kedok “rehabilitasi”.

Kasus “kerangkeng manusia” milik mantan Bupati Langkat menjadi simbol betapa lemahnya negara dalam mengontrol praktik-praktik rehabilitasi narkotika. Di balik tembok rumah pejabat publik, puluhan orang disekap, dipaksa bekerja, dan dianiaya, bahkan “dihilangkan nyawanya” secara perlahan. Label “tempat pemulihan” digunakan untuk menormalisasi penyiksaan sistematis.

Namun Langkat bukanlah kasus tunggal. Riset ini menunjukkan bahwa praktik serupa tersebar luas, namun tak tercatat dan tersembunyi, seolah negara menutup mata terhadap kekerasan yang berlangsung dalam diam. Bahkan lembaga-lembaga berbasis keagamaan yang mengklaim menawarkan pemulihan spiritual, justru memperlakukan orang dengan disabilitas psikososial atau pengguna narkotika layaknya tahanan tanpa hak.

Riset ini juga membongkar bagaimana pendekatan hukum yang punitif terhadap pengguna narkotika justru memperbesar risiko pelanggaran hak asasi. UU Narkotika masih menempatkan pengguna sebagai pelaku kriminal, bukan individu yang membutuhkan bantuan kesehatan. Akibatnya, pengguna narkotika dianggap sebagai warga kelas dua: mudah disingkirkan, mudah disalahkan, dan mudah dieksploitasi.

Baca dan unduh penelitian ini untuk memahami alasan mengapa penyelenggaraan sistem rehabilitasi harus berbasiskan pada nilai-nilai dan prinsip HAM.

Dugaan TPPO Terpidana WNI di Malaysia: Keluarga Menanti dengan Cemas, Mabes Polri Malah Mengalihkan ke Dumas

Jakarta, 30 Juli 2025 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama dengan keluarga narapidana Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia membuat Laporan Polisi (LP) ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami oleh Ani. 

Saat ini, Ani tengah menjalani pemidanaan di Penjara Sungai Udang, Malaka, Malaysia. Ia telah menjalani pidana penjara sejak tahun 2011. Ini berarti Ani telah ditahan selama 14 tahun.

Ani merupakan warga negara Indonesia asal Jakarta yang dijanjikan pekerjaan sebagai perawat di luar negeri oleh tetangganya bernama Duwi di tahun 2011. Dalam pembuatan paspor, identitas asli Ani diubah karena informasi yang diterimanya adalah harus menggunakan nama baru ketika ke luar negeri. Ani kemudian diberangkatkan ke Malaysia dan Vietnam dengan dalih penempatan kerja.

Selama berada di luar negeri, Ani diarahkan oleh Duwi untuk menginap di hotel dan pada akhirnya diminta membawa sebuah tas dari Vietnam ke Pulau Penang, Malaysia. Tanpa sepengetahuannya, tas tersebut ternyata berisi narkotika jenis sabu seberat 3865 gram  yang disembunyikan secara tersembunyi di bagian dasar tas.

Pada 21 Juni 2011, Ani tiba di Bandara Internasional Pulau Penang dan petugas Bandara mendeteksi isi yang mencurigakan dalam tas yang dibawanya tersebut. Ani ditangkap dan didakwa atas tuduhan mengedarkan narkotika dan dijatuhi pidana mati berdasarkan Pasal 39B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Narkotika dan Obat-Obatan Berbahaya Tahun 1952 (Peraturan Malaysia).

Namun, seiring dengan pembaruan hukum di Malaysia yang menghapus pidana mati, kasus Ani memenuhi syarat untuk peninjauan ulang berdasarkan Akta Semakan Hukuman Mati dan Pemenjaraan Sepanjang Hayat 2023. Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Persekutuan Malaysia mengurangi hukumannya menjadi penjara seumur hidup.

Kasus ini menjadi preseden penting dalam membongkar praktik perdagangan orang bermodus perekrutan kerja yang menjerat korban sebagai kurir narkotika internasional. 

LBHM menilai bahwa Ani adalah korban perdagangan orang yang dijerat oleh sindikat peredaran gelap narkotika lintas negara. Berdasarkan hukum Indonesia, tindakan yang dialami oleh Ani memenuhi unsur dalam:

  • Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO)
    • Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dalam kasus TPPO ada tiga unsur yang harus dipenuhi, yakni tindakan (act), cara (means), dan tujuan (purpose). Dalam kasus Ani, sindikat narkotika melakukan perekrutan terhadap Ani dan memindahkan dia dari Indonesia ke Vietnam lalu ke Malaysia. Perekrutan dan pemindahan Ani juga memenuhi unsur kedua, yakni cara yang ilegal, seperti pemalsuan dan penipuan. Fakta bahwa Ani pergi dengan dokumen paspor palsu memiliki kemiripan dengan banyak TKI lain yang menjadi korban TPPO. Selain itu, perekrutnya memberikan janji palsu bahwa ia akan bekerja di luar. Kasus Ani juga memenuhi unsur TPPO ketiga, yakni tujuan direkrutnya Ani adalah untuk tujuan eksploitasi, yakni memaksa Ani melakukan tindak kejahatan yang akan menguntungkan orang-orang yang merekrutnya. Dalam literatur TPPO, model kasus yang dialami Ani biasanya disebut sebagai TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan (forced criminality).

Dengan demikian, LBHM menekankan bahwa kasus Ani bukan semata-mata kasus narkotika, melainkan kasus eksploitasi terhadap WNI di luar negeri yang menjadi korban perdagangan orang yang belum diusut secara tuntas di Indonesia. Karena itulah, LBHM mendorong Mabes Polri untuk bertindak proaktif dalam menyelidiki kasus-kasus TPPO dengan unsur pemaksaan kejahatan semacam ini.

Dari hasil laporan yang kami lakukan, kami sangat menyayangkan bahwa pihak Mabes Polri tidak merespon laporan kami dalam bentuk Laporan Kepolisian melainkan hanya pengaduan masyarakat (Dumas) dengan alasan kekurangan bukti. Sikap ini mencerminkan ketidaktanggapan Institusi Polri terhadap persoalan serius yang menyangkut hak asasi manusia dan keselamatan korban. Tindak pidana perdagangan orang bukanlah pelanggaran biasa, melainkan kejahatan berat yang menuntut perhatian dan penindakan tegas. Ketika laporan yang seharusnya menjadi awal penegakan hukum justru diabaikan, hal ini menunjukkan kegagalan aparat dalam memberikan perlindungan dan keadilan. 

Alasan kekurangan bukti juga wajib dipertanyakan karena justru polisilah yang memiliki kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mendapatkan bukti. Jika setiap pelaporan tindak pidana mensyaratkan bukti lengkap, tidak akan ada korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perdagangan orang yang akan melaporkan kasusnya. Hal ini turut menciptakan preseden negatif bagi penanganan laporan-laporan dugaan tindak pidana perdagangan orang lainnya, yang justru dapat menghambat keberanian korban untuk melapor dan merusak kepercayaan publik terhadap keseriusan aparat dalam menangani kasus serupa di masa mendatang.

“Dalam momentum Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia Orang 30 Juli, LBHM mengingatkan bahwa korban perdagangan orang tidak seharusnya diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, apalagi dijatuhi pidana mati. Pasal 18 UU TPPO menyatakan “Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Kasus Terpidana WNI di Malaysia mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap WNI di luar negeri dan bagaimana sindikat memanfaatkan kerentanan untuk eksploitasi. Peran Kepolisian RI seharusnya mengungkap lebih dalam dugaan adanya TPPO,” ujar Awaludin Muzaki, pengacara publik LBHM.

Hormat kami,

LBHM

Narahubung:

0812-9028-0416 (Awaludin Muzaki)

Menyambut Pemberlakuan KUHP Baru: Pemerintah Harus Jamin Pendekatan Hak Asasi Manusia pada Aturan Pelaksana Tentang Living Law serta Perubahan Pidana Mati dan Seumur Hidup

Jakarta, 14 Juli 2025 – LBHM dan PBHI menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan pada Kementerian Hukum Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan berlaku mengikat pada 2 Januari 2026 mendatang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk menyusun sejumlah aturan pelaksana. Dua di antaranya adalah RPP Living Law dan RPP Komutasi. LBHM dan PBHI telah konsisten mengawal proses pembentukan dua kebijakan ini sejak tahun 2024 dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada dua isu tersebut dan menjaring aspirasi publik melalui serangkaian diskusi publik yang diselenggarakan di universitas-universitas. Salah satu agenda advokasi yang telah kami lakukan adalah melakukan rangkaian audiensi dengan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan,Kementerian Hukum Republik Indonesia untuk memastikan proses pembuatan kedua peraturan tersebut transparan dan substansinya sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Namun demikian, PBHI dan LBHM menyampaikan perhatian serius terhadap substansi dan arah kebijakan dalam kedua RPP tersebut. Kami menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM pada kedua rancangan peraturan pemerintah tersebut.

RPP tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) Harus Menjadi Langkah Awal Menuju Penghapusan Pidana Mati di Indonesia

KUHP Baru mengatur sejumlah perubahan pada penerapan pidana mati di Indonesia. Semula, KUHP warisan kolonial Belanda menempatkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok. Dalam KUHP Baru, pidana mati harus dipandang sebagai ketentuan yang bersifat alternatif. Meskipun ketentuan baru ini “tampak memberi perubahan baik”, namun hal tersebut tidak lantas melepaskan Indonesia dari predikat negara retensionis. Pembuatan RPP ini harus menjadi tonggak pertama bagi pemerintah Indonesia untuk beranjak kepada pemenuhan hak atas hidup sebagai instrumen yang paling utama dalam kerangka penghormatan hak asasi manusia, terkhusus bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. 

Namun sayangnya, penyusunan RPP Komutasi ini masih menyisakan sejumlah celah yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, DIM yang kami serahkan ini pada dasarnya memuat catatan kritis perihal muatan penting yang harus diakomodasi oleh pemerintah dalam menyusun RPP Komutasi.

  • RPP ini harus memastikan bahwa proses komutasi bersifat dan berjalan secara otomatis bagi setiap terpidana mati maupun narapidana dengan vonis penjara seumur hidup ketika telah memenuhi syarat minimal menjalani pemidanaan. RPP ini harus memastikan bahwa masa tunggu eksekusi (masa percobaan 10 tahun) bagi terpidana mati dan 15 tahun pidana penjara bagi narapidana seumur hidup dihitung sejak masa penahanan dan dikategorikan sebagai bagian dari masa menjalani pidana. Hal ini penting untuk mencegah penghukuman ganda dan memastikan akses terhadap perubahan pidana lanjutan secara adil dan manusiawi.
  • Syarat dan proses dalam mengakses komutasi tidak boleh menghambat, bersifat diskriminatif, atau subjektif. Begitu juga dengan durasi setiap tahapan dalam proses komutasi dari tingkat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga pembuatan Keputusan Presiden, harus terlaksana secara transparan dan akuntabel. RPP ini harus memastikan bahwa sikap diam Presiden terhadap pengajuan komutasi terhadap setiap narapidana berarti Presiden menerima pengajuan komutasi. 
  • Meskipun saat ini pemerintah juga tengah menyusun RUU tentang Pelaksanaan Pidana Mati, namun RPP ini harus memuat ketentuan larangan pelaksanaan pidana mati, dalam hal: (1) narapidana tegah menjalani 10 tahun masa percobaan, (2) narapidana sedang menjalani proses komutasi. dan (3) narapidana sedang mengajukan grasi, amnesti, maupun abolisi. Jaminan ini penting untuk menciptakan kepastian hukum. 
  • Proses komutasi harus bersifat berkelanjutan. RPP ini tidak boleh membatasi narapidana untuk mengakses komutasi hanya untuk 1 kali saja. Ketentuan komutasi harus menjadi langkah awal menuju abolisi atau penghapusan total pidana mati di Indonesia. 
  • Ketentuan komutasi dalam RPP ini harus berlaku surut bagi seluruh terpidana mati maupun narapidana seumur hidup yang telah menjalani pemidanaan sebelum KUHP Baru berlaku secara mengikat. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per 14 Juli 2025, populasi terpidana mati di Indonesia mencapai angka 589 orang, dan sebanyak 2.228 narapidana penjara seumur hidup. 

LBHM dan PBHI pada dasarnya mendorong dan mendesak penghapusan pidana mati secara total pada seluruh jenis tindak pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Hak atas hidup merupakan instrumen hak asasi manusia paling mendasar untuk dapat mengakses berbagai hak asasi lainnya. Oleh karena itu, negara seharusnya hadir dan tidak merampas hak hidup warga negaranya sendiri.

RPP Living Law Perlu Safeguards HAM, Bukan Blank Check untuk Perda Diskriminatif

LBHM dan PBHI juga menyoroti RPP Living Law yang berpotensi menjadi instrumen untuk melegitimasi diskriminasi jika tidak dikawal secara ketat. Alih-alih menjadi ruang pengakuan terhadap hukum adat, pengaturan ini justru membuka potensi pelembagaan norma-norma adat yang menindas, represif, dan bias terhadap kelompok rentan. 

LBHM dan PBHI menilai bahwa gagasan menyusun RPP ini menunjukkan adanya ketegangan antara hukum pidana nasional dan hukum adat. Hukum pidana bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan kemerdekaan seseorang melalui sanksi yang definitif, sehingga mensyaratkan aturan yang jelas dan tertulis. Sementara hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, lahir dari norma dan praktik yang telah lama diterima di suatu masyarakat adat dan diyakini sebagai pedoman oleh masyarakat adatnya. Sanksi dalam hukum adat dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kosmik di wilayah adat tersebut. Pengaturan mengenai perbuatan adat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adat melalui hukum tertulis dapat berpotensi ke arah kriminalisasi. 

RPP Living Law ini belum secara eksplisit memastikan bahwa pengaturan kriteria perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai  tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah tunduk pada prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesetaraan gender, dan HAM. Di tengah masifnya dorongan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai payung hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, pemerintah justru  membuka keran permasalahan baru melalui RPP Living Law yang tidak sejalan dengan perjuangan masyarakat adat. Sebab  ruang hukum adat akan rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, represi terhadap masyarakat adat, kriminalisasi kelompok minoritas, membatasi hak-hak sipil, dan memperkuat nilai patriarkal. Ketidakjelasan arah pengaturan melalui RPP ini juga dapat menimbulkan dualisme penegakan hukum dan secara jangka panjang rentan menggerus proses penyelesaian melalui tatanan hukum adat setempat. 

Oleh karena itu, PBHI dan LBHM menyampaikan sejumlah catatan kritis melalui DIM yang telah diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dengan poin-poin sebagai berikut:

  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum perlu menegaskan prinsip-prinsip HAM sebagai syarat mutlak dalam menentukan tindak pidana adat yang akan diatur melalui Peraturan Daerah.
  • Direktorat Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum agar tidak mengatur ulang perbuatan-perbuatan pidana yang telah diatur melalui Undang-Undang yang bersifat khusus, seperti UU TPKS, UU PKDRT, UU Disabilitas, dan sebagainya. 
  • Dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD   wajib melibatkan Masyarakat Adat setempat, organisasi masyarakat sipil dan kelompok rentan serta prosesnya harus bersifat transparan.
  • Mengatur secara proporsional mengenai mekanisme penegakan tindak pidana adat melalui Peraturan Daerah untuk menjaga otonomi Masyarakat Hukum Adat dan mencegah kooptasi negara. 
  • Membangun mekanisme evaluasi terhadap implementasi RPP ini, termasuk Peraturan Daerah sebagai bentuk akuntabilitas dan perbaikan kebijakan. 

PBHI dan LBHM meminta agar pemerintah mempertimbangkan dan mengakomodasi setiap usulan dan rekomendasi yang kami sampaikan melalui DIM RPP Komutasi dan Living Law. Tanpa pembahasan substansial, RPP tersebut justru akan mengancam prinsip keadilan, memperluas diskriminasi, dan memperkuat kewenangan yang tidak akuntabel dalam sistem hukum pidana nasional yang baru.

*Untuk melihat daftar inventarisasi masalah terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Tata Cara Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup dan Pidana Mati (Komutasi) yang LBHM dan PBHI susun dapat dilihat melalui link berikut www.kawalkuhp.id/#/publikasi

Narahubung:

PBHI : 0852 5235 5928

LBHM : 0852 1524 1116

 

MEANINGFUL MANIPULATION RUU KUHAP: RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HARAPAN PALSU

REFLEKSI PROSES LEGISLASI DAN PERJALANAN ADVOKASI RUU KUHAP

Pada 23 Juni 2025, pemerintah resmi menandatangani naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini Komisi III akan melakukan kick off pembahasan RUU KUHAP setelah mengundang pemerintah untuk menerima DIM dalam waktu dekat.

Sebelumnya, selama proses awal hingga saat ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP konsisten mengawal dan memberikan masukan sampai kritik untuk penyusunan RUU KUHAP ini.

NoTanggalAgenda
19 Februari 2025Menanggapi masuknya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 sebagai RUU usul dari DPR RI serta wacana penyusunan RUU KUHAP oleh Badan Keahlian DPR dan Komisi III DPR RI, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyampaikan beberapa catatan terkait pembahasan RUU KUHAP melalui konferensi pers.
210 Februari 2025Memberikan catatan kritis dan surat terbuka koalisi untuk penyusunan draf RUU KUHAP kepada Komisi III DPR RI secara simbolik.
311 Februari 2025Koalisi mendapatkan undangan RDPU untuk 12 Februari 2025, namun dibatalkan oleh Komisi III kurang dari sehari.
419 Februari 2025Mengirim permohonan informasi publik untuk draf dan naskah akademik RUU KUHAP, namun hingga saat ini tidak ada respons dan balasan.
58 April 2025Koalisi menghadiri undangan informal pertemuan tertutup dari ketua Komisi III DPR RI, pertemuan tersebut hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pada pembahasan substansi, mengingat belum ada draf yang dipubliksikan DPR RI. Namun, anehnya pertemuan tersebut justru diklaim menjadi RDPU.
627 Mei 2025Koalisi menghadiri undangan penyusunan DIM oleh pemerintah yang intinya hanya mendengar catatan perwakilan masyarakat sipil, namun, pertemuan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir karena kemudian tidak ada penjelasan tindak lanjut dari masukan dan tidak ada satupun masukan koalisi yang diakomodir. Pertemuan tersebut menjadi sebatas formalitas.

 

Namun  sampai  DIM  rampung  dikerjakan  oleh  pemerintah,  kami  merasa  usulan  dan masukan  masyarakat  sipil  tidak  diakomodir  sedikitpun.  Selain  itu,  proses  penyusunan hingga pembahasan ini sangat terburu-buru dan jauh dari nilai reformasi hukum dan pertimbangan suara rakyat. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Komisi III, RUU KUHAP harus segera diselesaikan dalam 2 (dua) kali masa sidang dan berencana sah sebelum  bulan  Januari  2026.1   Hal  ini  tentu  sepantasnya  dipersoalkan.  Pada berbagai kesempatan Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem  peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa. RKUHAP mestinya disusun secara cermat dan hati-hati sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama.Sementara itu, RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draft RUU KUHAP 2012.

Kami mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya, seperti misalnya Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, UU CK (Omnibus Law) dan undang-undang lainnya yang juga bermasalah selama prosesnya. Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa.

Pada Rabu, 18 Juni 2025 Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Umum Pendapat (RDPU) mengenai RUU KUHAP. Dalam kesempatan tersebut Ketua Komisi III DPR RI

Habiburokhman berpendapat bahwa RUU KUHAP sebagai RUU paling partisipatif dalam proses penyusunannya. Komisi III DPR-RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.2 Hal ini tentu merupakan klaim sepihak yang patut dipersoalkan. Mengingat Koalisi tidak pernah menghadiri RDPU resmi untuk menyampaikan pandangan.

Kami menegaskan bahwa partisipasi publik yang bermakna bukan sekadar mendengarkan pendapat/usulan.   Bahwa   meaningful   participation   pada   pengertiannya   yang   paling mendasar, perlu juga merespons pendapat/usulan secara serius, antara lain dengan memberikan penjelasan atau jawaban yang rasional atas setiap pendapat/usulan yang diberikan. Tidak hanya itu. Agar publik dapat berpartisipasi dan memberikan pendapat/usulan yang berarti, hak keterbukaan atas keterbukaan informasi dan transparansi segala  perkembangan  dokumen pembahasan yang dapat diakses publik, adalah suatu keniscayaan yang mutlak perlu. Selama ini yang terjadi jauh dari ideal. Di banyak kesempatan, Koalisi harus mengingatkan dan mengajukan surat permohonan agar draft RUU KUHAP dapat diakses oleh publik. Tidak sedikit pihak dan kelompok masyarakat memberikan  komentar  atau tanggapan atas RUU KUHAP, tanpa sebelumnya diberikan akses untuk membaca dan mencermati pasal demi pasal draf RUU KUHAPnya. Lantas bagaimana mungkin ada partisipasi, ketika transparansi sebagai prasyaratnya pun tidak ada.

Lebih lanjut, proses ini membahayakan masa depan sistem hukum Indonesia. Bagaimana mungkin reformasi sistem peradilan pidana dilakukan tanpa kritik publik dan tanpa suara korban serta pembela HAM? Dalam konteks meningkatnya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis, RUU KUHAP yang dibahas secara diam-diam adalah ancaman langsung terhadap kebebasan sipil. Sementara itu, proses yang mengabaikan hak-hak dasar menunjukkan upaya menghancurkan prinsip negara hukum.


CATATAN KRITIS ATAS DRAF RUU KUHAP: MEMPERTANYAKAN ULANG 9   POIN PENGUATAN RUU KUHAP VERSI PEMERINTAH

Pemerintah melakukan penandatanganan DIM RUU KUHAP secara simbolik pada Senin, 23 Juni 2025, yang di dalamnya mencakup 9 (sembilan) poin penguatan RUU KUHAP, yaitu:

  1. memuat mengenai jaminan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
  2. perlindungan khusus bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas;
  3. penegasan  mekanisme   upaya   paksa,   termasuk   penetapan   tersangka   dan pemblokiran aset;
  4. perluasan ruang lingkup praperadilan;
  5. pengaturan tentang restorative justice;
  6. ketentuan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
  7. penguatan peran advokat dan pengaturan saksi mahkota;
  8. aturan pidana untuk korporasi; dan
  9. integrasi sistem informasi peradilan pidana berbasis teknologi digital.

Kami hendak merespons secara kritis sebagian poin RUU KUHAP yang menjadi perhatian pemerintah sebagai berikut:

Kesatu, pengaturan jaminan perlindungan hak setidak-tidaknya harus terdiri dari 2 (dua) aspek:  1)  apa  saja  hak-hak  tersangka,  terdakwa,  terpidana,  saksi,  korban;  dan  2) bagaimana cara mengakses hak tersebut. Bahwa tiap aturan tentang hak-hak tersangka, terdakwa,  terpidana,  berikut  hingga  hak-hak  khusus  bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan jalur komplain/keberatan/gugatan   atas   pelanggaran   hak,   prosedur   pemeriksaan   ada tidaknya pelanggaran hak, dan apa konsekuensi ketika terbukti terdapat pelanggaran hak. Misalnya, draf RUU KUHAP telah menyebutkan, antara lain, bahwa tersangka/terdakwa setiap waktu berhak mendapat bantuan juru bahasa yang dibutuhkannya. Pertanyaannya, bagaimana jika seorang tersangka yang tidak mengerti bahasa Indonesia diinterogasi tanpa dibantu dengan juru bahasa yang ia butuhkan? Kepada siapa tersangka yang bersangkutan dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak ini? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apakah konsekuensinya: pemeriksaannya diulang, tersangka diberikan ganti rugi, atau bagaimana? Contoh lain misalnya, bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum berhak untuk didengar keterangannya melalui audio visual jarak jauh, apabila dirinya diliputi rasa takut/trauma psikis yang didasarkan pada penilaian dokter/psikolog. Pertanyaannya, bagaimana jika hak ini tidak terpenuhi? Bagaimana jika ternyata, permohonan pemeriksaan melalui audio visual jarak jauh ini tidak disetujui, dan hal ini menimbulkan dampak yang begitu buruk bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum   tersebut?  Kemana  ia  dapat  mengakses  haknya?  Kepada  siapa  dia  dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak tersebut? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apa konsekuensinya? Ini baru contoh 2 (dua) hak dari sekian banyak  hak-hak  lainnya!  Tetapi  dari  kedua  ilustrasi ini saja kita dapat melihat, bahwa pengaturan tentang daftar hak-hak, serinci dan sedetail apapun itu, akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan prosedur hukum acara yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.

Kedua, pengaturan upaya paksa setidak-tidaknya harus terdiri dari 3 (tiga) aspek: 1) apa saja syarat untuk dapat dilakukannya upaya paksa; 2) prosedur upaya paksa (jangka waktu, pelaksanaan, dll); dan 3) mekanisme uji keabsahan upaya paksa. Tanpa adanya syarat dan prosedur   upaya   paksa   yang   jelas,   pelaksanaan   upaya   paksa   akan   berpangku diskresi-subjektif  penegak  hukum  belaka,  yang  pada  akhirnya  berpotensi  dilakukan secara sewenang-wenang. Misalnya, mengenai jangka waktu penangkapan. Draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Dalam keadaan tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih lama dari jangka waktu tersebut. Pertanyaannya, “lebih lama” dari jangka waktu ini maksudnya berapa lama? Apakah 3 (tiga) hari,  30  (tiga  puluh)  hari,  atau  300  (tiga  ratus)  hari,  RUU  KUHAP  tidak memberikan kejelasan sama sekali. Belum lagi tentang “keadaan tertentu” yang dapat menyebabkan perpanjangan masa penangkapan. Pertanyaannya, siapa yang menentukan “keadaan tertentu” ini? Apakah semata-mata hanya berpijak pada diskresi-subjektif penegak hukum, atau bagaimana? Kemudian, lantas bagaimana cara kita dapat menguji sah atau tidaknya penangkapan, ketika RUU KUHAP sendiri menyerahkan (perpanjangan) penangkapan pada penilaian subjektif aparat penegak hukum? Contoh lain misalnya, draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa di tahap penyelidikan dapat dilakukan beberapa kewenangan investigasi khusus, antara lain pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Tapi, draf RUU KUHAP sama sekali tidak mengatur apapun, baik itu tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme uji dari kewenangan-kewenangan   investigasi   khusus.   Dari   kedua   contoh   ini   saja,   kami bertanya-tanya tentang di mana letak penegasan pengaturan tentang upaya paksa (dan kewenangan investigasi khusus) di dalam RUU KUHAP ini?

Ketiga, berbicara tentang praperadilan sebagai forum uji keabsahan upaya paksa tidak terbatas  pada  perluasan  ruang  lingkup objek pemeriksaan praperadilan, yakni seluruh upaya paksa, penghentian penyidikan dan penuntutan, atau ganti rugi atau rehabilitasi. Kami mengidentifikasi  1 (satu) hal penting yang luput diatur dalam draf RUU KUHAP, yaitu mengenai beban pembuktian sah tidaknya upaya paksa. Bahwa segala tindakan aparat penegak hukum adalah didasarkan pada kewenangan hukum publik, sehingga pembuktian tentang sah tidaknya tindakan publik tersebut pada prinsipnya dibebankan kepada pihak yang  memiliki  kewenangan  publik  tersebut.  Artinya, ketika seorang tersangka/terdakwa merasa bahwa suatu tindakan upaya paksa telah dilakukan secara melawan hukum, maka yang mesti membuktikan bahwa tindakan upaya paksa tersebut telah dilakukan secara sah adalah aparat penegak hukum sebagai pemangku kewenangan upaya paksa. Dengan kata lain, hukum pembuktian tentang keabsahan upaya paksa tidak berlaku prinsip pembuktian perdata “barangsiapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan”. Tapi justru sebaliknya, barangsiapa yang memiliki kewenangan, dialah yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa penggunaan kewenangan tersebut telah dilakukan secara legal. Tanpa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang adil, pada akhirnya pengaturan tentang perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan sampai detail prosedur hukum acara pemeriksaannya, tetap akan sia-sia dan percuma.

Keempat, draf RUU KUHAP salah kaprah dalam memaknai  restorative justice sebagai paradigma baru hukum pidana, dengan mengartikan restorative justice sebatas pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process). Padahal, filosofi restorative justice berpangku pada hak dan kepentingan korban untuk dipulihkan dari dampak-dampak yang ditimbulkan tindak pidana; sedangkan penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process) berpangku pada kepentingan negara dalam mengelola  kelebihan  beban  kerja peradilan (criminal justice overload) dan kepentingan pelaku untuk diselesaikan perkaranya sedini mungkin. Ini jelas keliru. Sekalipun restorative justice dimaknai dengan mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan, sungguh membingungkan apabila draf RUU KUHAP membuka ruang penyelesaian perkara di luar persidangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Apa yang mau diselesaikan, ketika perbuatan pidananya sendiri belum ada? Bagaimana mungkin suatu tindak pidana mau diselesaikan di luar persidangan, ketika penyidikan atas tindak pidana tersebut juga belum tuntas? Bukankah “pilihan” untuk menyelesaikan perkara pidana di luar persidangan baru lahir ketika suatu perkara telah selesai disidik (“P-21”) dan sudah siap dilimpahkan ke persidangan?

Kelima, peran advokat dalam suatu perkara akan sangat esensial bagi siapapun yang berurusan dengan proses hukum. Hal paling pertama dan terutama yang diharapkan pada seorang advokat adalah, bagaimana ia dapat diandalkan untuk dapat memberikan pembelaan yang optimal, sehingga terbangun keberimbangan antara kepentingan penegak hukum dengan pembelaan diri tersangka/terdakwa (equal of arms). Kami percaya, asas keberimbangan dalam acara pidana akan menuntun kita pada proses peradilan yang adil. Masalahnya, dalam praktiknya, untuk kepentingan pembelaan kliennya, advokat baru dapat mengetahui  dan  mengakses  bukti-bukti  yang  dikumpulkan  penegak  hukum  seketika sebelum perkaranya disidangkan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP 1981). Padahal, hak untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti yang sedang dikumpulkan penegak hukum di tahap pra-ajudikasi (pre-trial discovery rights) sangat amat esensial bagi tersangka/terdakwa dan advokatnya untuk menyusun pembelaan yang optimal. Sayangnya, tidak ada kebaruan apapun dalam draf RUU KUHAP yang memperluas jangkauan advokat untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti tersebut. Tanpa pengaturan ini, maka tugas utama advokat untuk memberikan pembelaan yang optimal akan terhambat, menyisakan pendampingan hukum dari advokat berakhir sebagai simbolis belaka, yang selalu tertinggal beberapa langkah di belakang penegak hukum lainnya.

Keenam, saksi mahkota pada prinsipnya adalah kesepakatan antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum, di mana di dalam kesepakatan tersebut tersangka/terdakwa bersedia  untuk  mengungkapkan  tindak  pidana  yang  dilakukan  orang  lain,  dan  oleh karenanya penuntut umum akan mengajukan keringanan tuntutan. Sungguh aneh apabila draf RUU KUHAP membuka ruang bagi penyidik untuk menetapkan saksi mahkota, sebab bagaimana  mungkin  penyidik  dapat  bersepakat dengan tersangka untuk menjadi saksi mahkota, ketika urusan berat ringannya hukuman (tuntutan) sama sekali bukan urusan dari penyidik? Pengaturan semacam ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam praktik, yang tidak hanya akan merugikan para calon saksi mahkota, tetapi juga merugikan kepentingan penegakan hukum.

SIKAP & TUNTUTAN KAMI

Kami menilai bahwa klaim-klaim penguatan RUU KUHAP yang disampaikan pemerintah jauh dari konsep acara peradilan yang adil dan berprinsip pada penghormatan hak asasi manusia. Kami juga menilai bahwa model partisipasi publik yang sedang terjadi sangat jauh dari  pengertian  dasar  meaningful  participation.  Sebaliknya,  Komisi  III  DPR  RI  dan Pemerintah justru melakukan meaningful manipulation.

Draf yang disusun DPR RI maupun DIM yang disiapkan pemerintah masih belum mengakomodir tuntutan 9 isu krusial yang kami pandang perlu diakomodir dalam RUU KUHAP. Mengingat kepentingan yang besar untuk perlindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana, Koalisi menyusun Draf Tandingan RUU KUHAP versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP untuk mengakomodir terjaminnya due process of law dan perlindungan hak asasi manusia. Draf Tandingan RUU KUHAP ini disusun secara kolektif dan akan terus dikembangkan oleh lembaga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.  Selain itu, kami juga terus menyerukan agar pembahasan RUU KUHAP pada masa sidang saat ini dilakukan secara  mendalam  dan  substansial,  tidak  terburu-buru, cermat dan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.

Akses  Draf  Tandingan  RUU  KUHAP  versi  Koalisi  Masyarakat  Sipil  untuk  Pembaruan KUHAP: https://reformasikuhap.id/rkuhap-tandingan/

  1. ICJR
  2. IJRS
  3. LeIP
  4. YLBHI
  5. LBH Jakarta
  6. IPP FPL
  7. Amnesty International Indonesia
  8. AJI Indonesia
  9. LBH Masyarakat
  10. SUAKA
  11. PJS
  12. LBH APIK Jakarta
  13. LBH Pers
  14. ELSAM
  15. HRWG
  16. PPMAN
  17. ICW
  18. YAPPIKA
  19. ICEL
  20. KontraS
  21. Trend Asia
  22. ILRC
  23. BEM FH UI
  24. CDS
  1. PBHI
  2. Koalisi RFP
  3. PUSKAPA FH UI
  4. AKSI Keadilan
  5. SAFEnet
  6. Setara Institute
  7. CRM
  8. IAC
  9. Lokataru

Framing Jahat Pesta Seks: Peradilan Berorientasi Kebencian dalam Kasus 75 Orang di Puncak

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi mengecam framing negatif atas peristiwa penangkapan dan penertiban 75 orang dalam acara “Big Star Got Talent” yang berlangsung di sebuah vila di Megamendung, Puncak, Jawa Barat. Framing negatif dan penuh syak wasangka terhadap orang-orang dengan orientasi seksual tertentu ini menyebabkan kriminalisasi yang dipaksakan, penuh tipu daya, dan asal-asalan.

Pada hari Minggu, 22 Juni 2025, sekitar jam 01.00, anggota Kepolisian Sektor Megamendung bersama dengan anggota organisasi masyarakat yang tidak dikenal datang ke sebuah villa di Kawasan Megamendung. Mereka mengaku mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kegiatan yang melibatkan sejumlah pria gay. Acara yang sudah berlangsung dari Sabtu sore ini pun dihentikan dan semua orang yang ada di acara tersebut langsung dibawa ke Polsek Megamendung, sebelum kemudian dipindahkan ke Polres Bogor.

Dalam proses penangkapan tersebut, ada sejumlah kecacatan formil yang dilakukan oleh kepolisian. Penangkapan dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal, yakni anggota ormas yang tidak dikenal sekalipun mereka tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam kegiatan penertiban atau penangkapan. Polisi juga mengambil foto orang-orang yang ditangkap pada saat kejadian tersebut yang kemudian disebarluaskan ke media sehingga menyebabkan framing negatif atas apa yang terjadi terus berulang. Polisi menahan 75 orang ini dari Minggu dini hari hingga hari Senin sekitar jam 1.30 tanpa dasar apapun.

Berdasarkan fakta-fakta kejadian, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi bergerak cepat dalam melakukan pendampingan terhadap orang-orang ini sejak hari Minggu, 22 Juni. Hasil pendampingan dan pemeriksaan kami menemukan beberapa hal berikut yang perlu diluruskan.

 Pertama, tidak benar ada pesta seks. Beragam media memberikan framing negatif yang mengasosiasikan kehadiran anggota komunitas gay sebagai bukti bahwa telah terjadi pesta seks. Beberapa menyebutkan bahwa kegiatan pentas dan kontes adalah kedok untuk pesta seks.[1] Ada juga pemberitaan yang langsung melabel apa yang dilakukan oleh para peserta sebagai ‘menyimpang’.[2]

 Padahal acara “Big Star Got Talent” tersebut sangat jauh dari pesta seks. Kegiatan yang berlangsung di Puncak adalah ramah-tamah, pertunjukan fashion show, lomba tari dan menyanyi, dan juga hiburan-hiburan yang lain. Singkatnya, ini aktivitas-aktivitas yang juga biasa dilakukan oleh orang-orang heteroseksual ketika berkumpul. Dalam kegiatan tersebut, tidak ada satu pun dari 75 orang yang melakukan hubungan seks.

Bukan hanya klien kami yang menyatakan demikian, hasil penelusuran polisi sejauh ini juga tidak menemukan telah terjadi pesta seks. Gambar yang didokumentasikan pada saat polisi melakukan penertiban, misalnya, tidak menunjukkan ketelanjangan. Polisi menemukan 4 bungkus kondom yang belum dipakai. Penemuan alat kontrasepsi ini tidak bisa dijadikan dasar adanya tindak pidana, karena alat kontrasepsi adalah alat penunjang kesehatan untuk mencegah penyakit menular seksual. Apalagi, alat kontrasepsi yang ditemukan masih dalam kondisi belum terpakai.

Kedua, aturan dari panitia justru mencegah supaya tidak terjadi tindakan kriminalitas di acara tersebut. Di dalam aturan yang dibuat oleh panitia acara Big Star, tertulis aturan seperti dilarang menggunakan dan membawa narkotika, dilarang membuat keributan, tidak boleh melakukan kekerasan seksual, dan menghormati satu sama lain.

Aturan-aturan ini dibuat dengan kesadaran penuh oleh panitia acara karena acara tersebut dimaksudkan untuk membangun ruang yang aman dan nyaman bagi semua peserta. Peraturan yang disosialisasikan sebelum berlangsungnya acara menjelaskan bahwa kegiatan kumpul anggota komunitas ini bukan dengan niat buruk atau mempromosikan pornografi atau kekerasan. Sebaliknya, mereka berkumpul secara damai sehingga aturan yang dibuat pun mencoba mengakomodir hal tersebut.

Ketiga, berita-berita negatif dari media membuat kasus ini tidak lagi diadili dengan aturan hukum yang sesuai dan malah membuat pengadilan oleh media (trial by the press). Dengan informasi yang terbatas dan framing negatif pesta seks, sudah ada beragam desakan untuk menghukum partisipan kegiatan ini dari pihak-pihak yang tidak mengetahui secara tuntas apa yang terjadi pada tanggal 21-22 Juni tersebut. Opini ini dibangun oleh anggota PBNU[3], anggota Komisi III DPR RI[4], MUI Provinsi Jabar[5], Ketua DPRD Kabupaten Bogor[6], Wakil Gubernur Jawa Barat[7], dan lain-lain lagi.

Karena desakan oleh media dan pembuat opini ini, kepolisian seolah terpaksa untuk melanjutkan kasus yang sebenarnya tidak memenuhi unsur pidana. Akibat dari perbuatan ini, polisi seolah-olah coba mencocokan pasal yang mungkin bisa berlaku di kejadian. Dalam surat panggilan atas beberapa klien kami, polisi menegaskan bahwa pasal yang diselidiki adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Pasal 10 UU Pornografi, Pasal 296 KUHP. Tiga pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk peristiwa ini.

Pasal 7 UU Pornografi menjerat siapapun yang mendanai dan memfasilitasi perbuatan-perbuatan pornografi. Namun, karena materi acara Big Star tersebut tidak menunjukkan ketelanjangan, persenggamaan, alat kelamin, ataupun unsur pornografi lainnya, sangat jelas bahwa unsur-unsur Pasal 7 ini tidak tercapai. Pasal 10 Pornografi melarang orang untuk mempertunjukkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Lagi-lagi, fakta menunjukkan bahwa acara yang dilangsungkan tidak berhubungan dengan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau pornografi, sehingga pasal ini pun bisa dipastikan gugur. Sementara itu, Pasal 296 KUHP tentang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul juga semestinya tidak berlaku karena tidak ada perbuatan cabul yang dilakukan pada tanggal 21-22 Juni di dalam acara Big Star tersebut.

Berdasarkan poin-poin di atas, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menegaskan bahwa acara Big Star yang diorganisir oleh komunitas gay di Puncak tanggal 22 Juni 2025 adalah bentuk dari kebebasan berkumpul mereka. Kebebasan berkumpul ini dijamin di Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kegiatan yang dilakukan juga sepenuhnya berada di koridor kesenian, bukan pornografi dan pesta seks, sehingga ia juga memenuhi Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Atas dasar kebebasan ini, kami mendesak Kepolisian Resor Bogor untuk segera menghentikan proses hukum atas kasus ini. Sebaliknya, Kepolisian harus cepat-cepat mengevaluasi proses penegakan hukum yang sudah mereka lakukan yang menunjukkan banyak indikasi pelanggaran kode etik dan hukum acara pidana. Hal-hal ini mencangkup, tapi tidak terbatas pada, pelanggaran hak atas privasi atas orang-orang yang bukan pelaku kejahatan, tes HIV paksa yang tidak sesuai dengan prinsip hak atas kesehatan, ‘penyitaan’ barang-barang pribadi sekalipun kasus  ini belum masuk ke tahap penyidikan. Mengingat hari ini juga adalah Hari HUT Bhayangkara ke-79, kepolisian harus mengecek kembali seberapa jauh mereka sudah bisa menjadi pengayom masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan.

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi juga hendak mendorong Dewan Pers untuk mengawasi kerja pers dalam pemberitaan kasus ini, sehingga tidak lagi memberikan framing negatif dan tak berimbang atas peristiwa yang terjadi. Pembunuhan karakter atas anggota komunitas gay dengan berita penuh prasangka dan kebencian, tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk membela diri, adalah bentuk ketidakprofesionalitasan awak media. Sebagai pilar keempat demokrasi, media seharusnya memberikan ruang yang aman bagi kelompok rentan, bukan malah menggaungkan penegakan hukum yang awut-awutan.

Jakarta, 1 Juli 2025 

Narahubung:

  1. Yosua Octavian (LBHM) – 0898 437 0066
  2. Antonius Badar Karwayu – 0856 9799 8944

Referensi:

[1] https://news.detik.com/berita/d-7978897/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-75-orang-diamankan

[2] https://prohaba.tribunnews.com/2025/06/25/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-berkedok-family-gathering-75-orang-diamankan?page=2

[3] https://wartapontianak.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1179452198/terkait-pesta-seks-sesama-jenis-di-megamendung-bogor-ini-respons-pbnu

[4] https://rri.co.id/hukum/1609240/dpr-usut-tuntas-pesta-sesama-jenis-di-puncak

[5] https://www.jabarnews.com/daerah/mui-desak-gubernur-dedi-tegas-lgbt-puncak-bogor/

[6] https://bogorupdate.com/soal-pesta-seks-sesama-jenis-ketua-dprd-sastra-winara-desak-dinkes-gencarkan-sosialisasi/

[7] https://www.rmoljabar.id/wagub-jabar-apresiasi-penggerebekan-pesta-gay-di-puncak-tegaskan-penolakan-terhadap-lgbt

Terbukti Disabilitas Mental: Kuasa Hukum MAS Minta Negara Kedepankan Keadilan Restoratif untuk Pemulihan MAS, Bagaimana Riwayat Penanganan Kasusnya?

Proses hukum anak dengan disabilitas mental, MAS (15), telah memasuki babak akhir; menunggu putusan hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan). Saat menghadapi persidangan pokok perkara di Pengadilan, MAS didampingi oleh Tim Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBH-PPS) Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Dalam pembelaannya, Tim Kuasa Hukum MAS menekankan pentingnya mengedepankan penegakan keadilan restoratif dalam penanganan kasus MAS. 

Sebelumnya, pada 19 Mei 2025, Tim Kuasa Hukum mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Pengadilan). Praperadilan itu diajukan karena proses hukum kasus ini terkatung-katung sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MAS, termasuk adanya penelantaran oleh negara dalam pemenuhan akses pengobatannya. 

Persidangan perdana permohonan praperadilan dijadwalkan pada tanggal 2 Juni 2025. Sayangnya, setelah sidang perdana digelar, Hakim Praperadilan harus menunda persidangan 2 minggu pada tanggal 16 Juni 2025, karena ketidakhadiran para termohon yakni, Kepala Kepolisian Jakarta Selatan selaku Termohon 1, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku Termohon 2. 

Namun, pada 17 Juni 2025, permohonan praperadilan harus gugur menurut hukum, karena ternyata sidang pokok perkara dan praperadilan kasus MAS berlangsung secara bersamaan di hari tersebut. Gugurnya praperadilan ini tidak terlepas juga dari kelalaian Pengadilan yang menunda persidangan praperadilan terlalu lama, meskipun telah kami ingatkan pada persidangan perdana agar tidak menunda sidang praperadilan terlalu lama karena perkara ini menyangkut perkara anak berhadapan dengan hukum yang harus diperiksa dengan cepat.

Pada 17 Juni 2025 sidang pokok perkara MAS kemudian mulai digelar secara tertutup di Ruang Sidang Anak, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agenda sidang pada saat itu adalah Pembacaan Surat Dakwaan, dan Pembuktian. Dalam surat dakwaannya, Jaksa menyatakan kalau MAS telah melakukan tindak pidana kumulatif alternatif berlapis berdasarkan Pasal 340, 338, dan Pasal 338 jo. 53 dan 340 jo. 53 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU KDRT Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2).

Setelah Jaksa membacakan surat dakwaannya, Tim Kuasa Hukum MAS mengajukan permohonan keadilan restoratif. Permohonan ini tidak terlepas dari adanya surat pernyataan orang tua MAS yang telah memaafkan MAS dan menginginkan agar MAS segera diberikan pengobatan. Surat tersebut sebelumnya dikirimkan kepada kuasa hukum MAS pada tanggal 13 Juni 2025. Setelah itu, agenda pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan Pembuktian.

Pada tanggal 17-20 Juni 2025 sidang dengan agenda pembuktian MAS telah digelar Pengadilan. Dalam agenda Pembuktian, Jaksa mengupayakan membuktikan dakwaannya terkait peristiwa pidana yang terjadi pada tanggal 30 November 2024. Dalam melakukan pembuktian Jaksa mengajukan alat bukti berupa keterangan saksi sebanyak 8 orang dan keterangan ahli sebanyak 2 orang. 

Sementara itu, Tim Kuasa Hukum dalam agenda pembuktian mengajukan 2 orang ahli. Tim Kuasa Hukum menghadirkan 1 orang Ahli Psikiatri Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dr. dr. NATALIA WIDIASIH, Sp. KJ(K), M.PD.KED. Tim Kuasa Hukum juga menghadirkan 1 orang Ahli dari Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M., PH.D. 

Dari agenda pembuktian dengan mendengarkan keterangan ahli justru terungkap jika MAS tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih jauh lagi, dari agenda pembuktian persidangan MAS para ahli memberikan penilaian penting bahwa MAS terindikasi memiliki disabilitas mental dan alih-alih perbuatannya harus dipertanggungjawabkan secara pidana, justru menurut pendapat para ahli, MAS direkomendasikan untuk diberikan pengobatan dan dukungan untuk pemulihannya.

Beberapa poin penting yang disampaikan Ahli di antaranya:

Keterangan Ahli Psikologi Forensik dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang juga Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw, Ahli menyampaikan; 

Pertama, Ahli menyatakan jika berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis, MAS memiliki disabilitas mental yang perbuatannya dilatarbelakangi oleh suatu ide yang irasional.

Kedua, indikasi trauma, disabilitas mental, tingkah laku antisosial, dan simptom negatif, sehingga MAS masih membutuhkan dukungan.

Keterangan Ahli Psikiatri Forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Dr. dr. NATALIA WIDIASIH, Sp. KJ(K), M.PD.KED, Ahli menyampaikan; 

Pertama, bahwa ahli telah melakukan pemeriksaan terhadap MAS selama 1 (satu) bulan lebih.

Kedua, Ahli melihat MAS mengalami kondisi mental yang disebut gangguan psikotik, yaitu kondisi di mana MAS kesulitan dalam membedakan antara hal yang nyata dengan yang tidak (gangguan daya nilai realita) nyata berupa halusinasi auditorik (pendengaran) yaitu mendengar suara-suara tanpa sumber. Ahli juga menjelaskan kalau terhadap diri MAS terdapat berbagai faktor risiko biopsikososial yang saling berinteraksi dan berkontribusi yang mana menyebabkan MAS mengalami gangguan psikotik.

Ketiga, Ahli berpendapat jika intervensi dari pemerintah tidak memadai, MAS berisiko tinggi mengalami kekambuhan atau residivisme, baik dalam bentuk perilaku kekerasan impulsif maupun penurunan kemampuan adaptasi sosial. 

Keempat, Ahli menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan rehabilitatif yang mengedepankan terapi psikiatri, intervensi psikoterapeutik terstruktur, serta penguatan dukungan sosial dan lingkungan sebagai sarana pemulihan klinis dan stabilisasi kondisi psikologis MAS.

Keterangan Ahli Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan, S.H., LL.M., PH.D., dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Ahli menyampaikan; 

Pertama, terdapat 2 (dua) kondisi/karakteristik khusus yang perlu diperhatikan dalam perkara ini, yakni status anak yang masih di bawah umur (minor) dan adanya indikasi masalah kesehatan mental.

Kedua, kondisi kesehatan mental yang dialami MAS menyebabkan ketidakmampuan membedakan antara realita dan imajinasi serta tindakannya didorong oleh halusinasi yang tidak terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa unsur kesengajaan dan perencanaan dalam Pasal 340 KUHP tidak terpenuhi secara utuh. Pengakuan MAS bahwa perbuatannya “tidak direncanakan” dan hanya “terbesit”, serta motifnya yang tidak rasional, menguatkan pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan akibat dari kondisi psikotik, bukan hasil perencanaan sadar.

Ketiga, Ahli menekankan bahwa keberadaan Surat Visum et Repertum Psychiatricum yang menunjukkan kecenderungan MAS mengalami permasalahan mental seharusnya menjadi dasar penting bahwa pendekatan rehabilitatif lebih sesuai ketimbang pemidanaan. Negara, dalam hal ini, memiliki kewajiban untuk memastikan tersedianya fasilitas medis dan layanan rehabilitasi jiwa bagi MAS.

Selanjutnya, pada 23 Juni 2025, Hakim Anak memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Tuntutannya kepada MAS. MAS dituntut oleh Jaksa telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 340 dan Pasal 340 jo. 53 dengan tuntutan pidana pembinaan dalam lembaga yaitu pada Sentra Handayani selama 2 (dua) tahun dan didampingi, dibimbing dan diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan selama menjalani masa pembinaan serta melaporkan perkembangan MAS kepada Jaksa.

Setelah memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan kepada MAS, pada 24 Juni 2025, Hakim Anak memberikan kesempatan kepada Tim Kuasa Hukum untuk mengajukan pembelaan. Pada saat mengajukan pembelaan, Tim Kuasa Hukum pada intinya justru menyampaikan jika MAS tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana sehingga harus dilepaskan secara hukum (Onslag van alle rechtsvervolging). 

Selain itu, dalam pembelaannya, Tim Kuasa Hukum menyampaikan poin-poin penting kepada Yang Mulia Hakim Anak yang memeriksa perkara ini agar dalam menjatuhkan putusan agar mempertimbangkan, diantaranya, hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Surat Tuntutan Jaksa belum mempertimbangkan fakta persidangan secara menyeluruh, seperti keterangan Ahli yang menyampaikan mengenai dapat atau tidaknya seseorang dengan karakteristik khusus, dalam hal ini anak di bawah umur yang memiliki permasalahan kesehatan mental, untuk dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Kedua, Surat Tuntutan Jaksa tidak mempertimbangkan upaya perdamaian dan itikad baik MAS, karena sudah ada upaya perdamaian antara MAS dengan korban. Padahal berdasarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2024, kesepakatan perdamaian harus dipertimbangkan dalam pengajuan tuntutan. Selain itu, prinsip keadilan restoratif tetap dapat diterapkan meskipun perkara sudah memasuki tahap persidangan.

Ketiga, oleh karena MAS telah terbukti adalah seorang anak dengan disabilitas mental, negara harus hadir dengan mewujudkan keadilan restoratif dengan memberikan alternatif penghukuman kepada MAS menjalani pengobatan. Dalam situasi demikian, negara wajib hadir bukan hanya sebagai penegak hukum semata, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak anak, khususnya hak atas kesehatan dan rehabilitasi.

Selanjutnya, proses hukum kasus MAS ini direncanakan akan rampung pada tanggal 30 Juni 2025, dengan agenda pembacaan Putusan oleh Hakim Anak yang menangani perkara. 

 

Jakarta, 29 Juni 2025

Hormat kami,

Tim kuasa Hukum MAS

Maruf Bajammal

 

Narahubung:

Maruf Bajammal (Pengacara Publik LBH Masyarakat) – 0812 8050 5706

Peserta Aksi May Day Mengalami Tindakan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual, TAUD Buat Laporan ke Mabes POLRI

Jakarta, 16 Juni 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah korban membuat Laporan Polisi (LP) kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas adanya tindak pidana kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Tak hanya itu, TAUD juga melaporkan dugaan pelanggaran etik ke beberapa unit lain di internal Polri yaitu; Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik), dan Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri.

Pelaporan dan pengaduan ini dilakukan karena TAUD menemukan fakta terdapatnya tindakan kekerasan pada saat aksi Hari Buruh Internasional (May day) 1 Mei 2025 yang dilaksanakan di wilayah Jakarta sekitaran Gedung DPR/MPR. TAUD menemukan sejumlah peserta aksi may day yang menjadi  korban tindak kekerasan dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian. Adapun tindakan yang mereka alami antara lain berupa intimidasi, dipiting dan dipukul hingga mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Korban tersebut meliputi mahasiswa/i, masyarakat sipil, dan juga paramedis. 

Tindakan kekerasan tersebut terjadi saat situasi demonstrasi yang chaos dan para peserta aksi meninggalkan lokasi titik aksi peringatan Hari Buruh Internasional. Setelah lebih dari 1 kilometer para peserta meninggalkan lokasi aksi, para peserta aksi mendapatkan represifitas dan tindakan brutal yang diduga kuat dilakukan oleh sejumlah aparat kepolisian di sekitar kolong jembatan layang (flyover) Jl. Gerbang Pemuda..

Tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut jelas telah melanggar dan memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pengeroyokan, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang. Serta, Pasal 351 KUHP yang mengatur mengenai tindakan penganiayaan, yaitu tindakan yang menyebabkan rasa sakit, luka, atau merusak kesehatan orang lain. 

Selain itu, tindakan kekerasan seksual dialami oleh salah satu perempuan paralegal dari tim medis (perempuan pembela HAM), yang diteriaki ‘lonte’, ‘pukimak’, ‘telanjangin-telanjangin’ hingga menarik baju dalam korban yang diduga dilakukan juga oleh aparat kepolisian. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 11 UU TPKS Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 5 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 6 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mana menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual secara fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh aparat sebagai pejabat negara dengan tujuan persekusi, menuduh hal yang dicurigai, mempermalukan dan merendahkan martabat perempuan merupakan tindakan penyiksaan seksual dengan tidak terbatas pada ruang privat namun juga di ruang publik. Sehingga, menimbulkan dampak perlukaan fisik dan psikososial yang mempengaruhi hak atas rasa aman korban di ruang publik. 

Dari apa yang dialami oleh seluruh korban, TAUD meyakini telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 11 UU TPKS, Pasal 5 dan Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS. Setelah diminta untuk berkonsultasi dengan Perwira Piket dan Petugas SPKT pada Mabes Polri yang memakan waktu sekitar 9 jam, akhirnya Mabes Polri menerima 4 (empat) Laporan Polisi yang dilaporkan oleh para korban. Laporan ini didasarkan oleh bukti-bukti terjadinya tindak pidana yang dihimpun oleh TAUD berupa foto dan video.

Adapun Laporan Polisi (LP) yang telah tercatatkan pada SPKT Badan Reserse Kriminal Republik Indonesia pada Mabes Polri adalah sebagai berikut:

  1. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/280/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  2. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/284/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  3. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/285/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  4. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/286/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 17 Juni 2025.

Setelah membuat Laporan Polisi (LP), TAUD juga mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik). Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum acara pidana yang dilakukan oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya terhadap keempat belas klien kami. Mulai dari pelanggaran prosedur dalam penangkapan, jangka waktu penangkapan, penetapan tersangka yang tidak sah, serta mekanisme “pemeriksaan” ilegal yang tidak diatur dalam KUHAP.

TAUD juga membuat pengaduan kepada Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri berdasarkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/002676/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 16 Juni 2025. Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian berupa kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat, pelanggaran hukum dalam proses hukum acara pidana, serta penyebaran berita bohong atau informasi yang keliru oleh pejabat kepolisian dalam proses penanganan kasus yang melibatkan keempat belas korban kekerasan tersebut.

Atas tindakan kekerasan fisik dan seksual yang dialami para korban serta dugaan pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses penyelidikan/penyidikan terhadap 14 orang klien kami, TAUD mendesak:

1. Bareskrim Polri menerima dan memproses laporan sebagai bentuk komitmen Polri dalam menindaklanjuti setiap pengaduan dari masyarakat sipil demi menegakkan keadilan bagi korban.

2. Divisi Propam Mabes Polri menerima pengaduan, melakukan Audit Investigasi dan pemeriksaan terhadap setiap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian (KEPP) pada serangkaian proses penangkapan sampai dengan tahap penyidikan.

3. Kepala Biro Pengawasan Penyidik Mabes Polri melakukan pemeriksaan terhadap seluruh rangkaian proses penyelidikan-penyidik perkara klien kami;

4. Kapolri untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan fisik dan seksual pada peringatan May Day 1 Mei 2025, dengan melakukan pemeriksaan internal secara menyeluruh dan transparan.

5. Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk segera melakukan penyelidikan independen terhadap tindakan kekerasan yang terjadi dalam aksi May Day, serta mengeluarkan rekomendasi pemulihan dan jaminan ketidak berulangan.

6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan atas keamanan para korban dan para saksi serta memfasilitasi restitusi penderitaan fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi yang dialami para korban dengan melakukan koordinasi dengan penyidik yang menindaklanjuti laporan.

7. Pemerintah dan institusi Polri  untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai dengan amanat konstitusi, serta menghentikan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap peserta aksi.

8.  Adanya mekanisme pemulihan dan reparasi bagi para korban, baik secara psikologis, hukum, maupun material, yang harus difasilitasi oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.

 

Hormat kami,

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Negara Harus Mengusut Pelanggaran HAM serta Menindak Tegas Pelaku Kekerasan terhadap Warga Sipil di Yuguru, Nduga, Papua Pegunungan

Jakarta, 13 Juni 2025 – Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru mengecam keras tindakan penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) terhadap seorang warga sipil Papua bernama Abral Wandikbo (27 tahun), asal Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Tindakan keji ini diduga dilakukan oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 22–25 Maret 2025 ketika menjalankan operasi militer di Kampung Yuguru.

Abral  Wandikbo  bukanlah  anggota  kelompok  bersenjata,  kelompok pro-kemerdekaan Papua, dan tidak memiliki keterlibatan apapun dalam aktivitas bersenjata. Justru sebaliknya, almarhum dikenal aktif membantu aparat dalam pembangunan kembali lapangan terbang Yuguru, demi memfasilitasi mobilitas masyarakat.

Namun, pada 22 Maret 2025, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI saat memeriksa rumah warga satu per satu. Dia ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti yang sah serta tanpa didampingi kuasa hukum. Ia kemudian dibawa ke pos TNI di lapangan terbang Yuguru dan tidak pernah kembali.

Baru pada 25 Maret 2025, Abral ditemukan telah meninggal dunia dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya termutilasi, telinga, hidung, dan mulut hilang, kaki dan betis melepuh serta kedua tangan terikat dengan borgol plastik (plasticuff). Koalisi menduga kuat bahwa Abral menjadi korban penyiksaan berat sebelum akhirnya dibunuh. Ironisnya, sebelumnya aparat TNI menyampaikan kepada keluarga bahwa Abral akan dipulangkan dalam keadaan hidup, namun kemudian menyebarkan narasi menyesatkan bahwa korban “melarikan diri”.

YKKMP bersama koalisi masyarakat sipil pada Jumat, 13 Juni 2025 telah melakukan audiensi resmi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk melaporkan kasus tersebut sebagai dugaan pelanggaran HAM berat, seperti yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan standar internasional.

Hak korban untuk hidup, tidak disiksa, dan hak untuk merasa aman jelas-jelas dilanggar. Begitu pula hak korban untuk mendapat pendampingan hukum ketika ditangkap juga diabaikan begitu saja oleh aparat yang menangkapnya.

Selain pembunuhan di luar hukum atas korban, koalisi juga mendapat laporan bahwa sebelum terjadinya kasus tersebut, aparat TNI juga diduga merusak rumah-rumah warga dan fasilitas umum di wilayah tersebut. Sebelum kasus mutilasi Abral Wandikbo, investigasi YKKMP juga menemukan fakta-fakta bahwa anggota

TNI telah melakukan perusakan terhadap sejumlah rumah warga dan fasilitas publik di kampung tersebut. Warga melihat anggota TNI melakukan pembongkaran sembilan rumah warga dan satu puskesmas, untuk mengambil papan, kayu-kayu, dan peralatan lainnya, pada tanggal 22-23 Februari 2025. Kemudian sekolah juga digeledah oleh anggota TNI pada tanggal 24 Februari 2025 hingga peralatan belajar dihamburkan seperti buku-buku, ijazah, surat baptis, dan lain sebagainya. Ini jelas pelanggaran hak warga untuk merasa aman, begitu pula pelanggaran atas hak kesehatan, hak atas pendidikan dan hak anak.

Komnas HAM mencatat ada 113 peristiwa terkait hak asasi manusia terjadi di Papua sepanjang tahun 2024, 85 kasus di antaranya berdimensi konflik bersenjata dan kekerasan. Konflik ini menimbulkan dampak besar terhadap warga sipil, termasuk korban jiwa, luka-luka, dan pengungsi internal. Koalisi diterima oleh Ketua Komnas HAM Anies Hidayah dan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P Siagian.

Anis menyatakan keprihatinannya terhadap aksi kekerasan berupa pemukulan, pembunuhan dan mutilasi terhadap warga sipil di kampung Yuguru, Papua.

“Komnas HAM mengecam aksi kekerasan itu, karena hak.hidup adalah hak fundamental. Kami mendorong tidak terjadi impunitas atas kasus kekerasan di Papua,” kata Anis Hidayah

Atas tragedi kemanusiaan ini, Koalisi menyampaikan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah dan TNI harus segera mengusut tuntas dugaan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Abral Wandikbo, serta dugaan perusakan rumah dan fasilitas umum di Yuguru. Aparat TNI di lapangan maupun pimpinan mereka di tingkat komando harus dimintai pertanggungjawaban hukum secara adil dan transparan.

Kedua, Pemerintah harus memberikan pemulihan menyeluruh kepada keluarga korban dan warga Kampung Yuguru yang turut terdampak. Pemerintah daerah juga harus merenovasi fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas yang rusak, serta memastikan kebutuhan pendidikan dan kesehatan warga terpenuhi.

Ketiga, Komnas HAM harus menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat dan segera memulai penyelidikan pro justitia sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Keempat, Pelaku penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan harus diadili secara terbuka di pengadilan sipil, bukan militer, demi menjamin keadilan dan akuntabilitas publik.

Kelima, Negara harus segera menghentikan pendekatan militeristik dalam penyelesaian konflik di Tanah Papua, yang selama ini makin memperparah kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga sipil.

Keenam, Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi pemantau HAM independen, jurnalis, dan organisasi kemanusiaan ke wilayah Papua, termasuk ke Kampung Yuguru, sebagai bentuk transparansi dan jaminan hak atas informasi. Tanpa akses yang adil bagi media dan semua pemantau HAM independen di Papua, maka Papua akan terus berada dalam bayang bayang ketertutupan dan potensi pelanggaran HAM yang luput dari pengawasan publik akan terus terjadi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru: 
  1. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua
  2. Amnesty International Indonesia
  3. Biro Papua PGI
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  5. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  6. Asia Justice and Rights
  7. LBH Masyarakat (LBHM)
  8. AJI Indonesia
  9. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

Narapidana Bukan Tumbal Proyek: LBHM Memperingatkan Pemerintah Pentingnya HAM dalam Rencana Mengubah Lapas Jadi Rumah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait (Ara), terkait pemindahan lahan penjara Cipinang dan Salemba. Upaya ini berpotensi melanggar hak-hak narapidana dan tidak menyelesaikan akar masalah yang selama ini terjadi di lapas maupun rutan di seluruh Indonesia terkait kelebihan kapasitas (overcrowded), jika rencana pemindahan tersebut tidak dibarengi dengan kajian HAM yang matang, transparansi, dan partisipasi publik yang bermakna dari masyarakat, narapidana maupun keluarganya akan merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.

Pada hari Senin, 19 Mei 2025 lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, melempar wacana terkait pemanfaatan lahan penjara untuk pembangunan perumahan rakyat. Beberapa penjara yang direncanakan akan dialihfungsikan untuk hunian warga tersebut di antaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang di Jakarta Timur dan Salemba di Jakarta Pusat. Kata Ara, gagasan tersebut berasal dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara langsung kepadanya melalui sambungan telepon.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengalihfungsian kedua penjara tersebut menurut Ara. Pertama, kedua penjara tersebut (Cipinang dan Selemba) berada di tengah-tengah kota Jakarta, di mana ini lokasi yang cukup strategis digunakan untuk membangun hunian bagi rakyat. Hunian tersebut dibangun sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam merealisasikan program 3 juta rumah per tahun. Kedua, kondisi Lapas Cipinang dan Salemba tersebut sudah sangat penuh (overcrowded) sehingga berpotensi menciptakan kondisi yang tidak manusiawi terhadap para penghuninya. Dengan rencana pemindahan tersebut, situasi overcrowding itu dapat ditekan lewat pembangunan lapas baru, yang memperhatikan kapasitas dan jumlah narapidana.

Ara juga menyampaikan, untuk merealisasikan rencana ini, akan dibentuk Satgas Penjara Menjadi Rumah dan melibatkan berbagai pihak seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Dirjen Kekayaan Negara, serta perbankan BUMN dan swasta. Pendanaan pembangunan perumahan ini juga direncanakan oleh Ara akan melibatkan Danantara sebagai penyedia likuiditas pembiayaan dan investor yang bersedia mendanai proyek ini.

Menyikapi rencana pemindahan penjara yang bakal berdampak signifikan terhadap kurang lebih 4,114 narapidana ini, terdapat beberapa poin penting yang menjadi peringatan kami untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak pada hak-hak narapidana.

Pertama, pemindahan berpotensi menghambat hak narapidana untuk mendapatkan kunjungan keluarga dan pengacara. Pasal 9 huruf (l) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) menegaskan bahwa narapidana berhak untuk menerima kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat. Pemindahan narapidana ke luar kota atau bahkan luar pulau akan menyulitkan narapidana merealisasikan hak ini. 

Sekalipun tidak semua penghuni Lapas Cipinang dan Salemba berdomisili di Jakarta, sebagian besar narapidana berkasus di Jakarta. Banyak di antara mereka yang memiliki keluarga dan teman di wilayah Jakarta atau sekitarnya. Jika para narapidana ini dipindahkan ke luar kota atau luar pulau, keluarga narapidana bisa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menemui mereka. Apalagi banyak keluarga narapidana yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak mampu membayar ongkos bolak-balik untuk menjenguk keluarganya di penjara.

Keinginan untuk mempersulit akses besuk ini juga terlihat dari ungkapan Ara ketika menjelaskan instruksi Presiden Prabowo Subianto atas relokasi lapas menjadi rumah ini. Kepada media, Ara menjelaskan, “Pak Prabowo sudah telepon saya, ‘Ara, kita pindahkan penjara-penjara di daerah strategis buat rumah. Kita pindahkan penjara keluar kota, biar dibesuknya susah,’ begitu,”

Padahal kunjungan keluarga kepada narapidana merupakan bagian yang amat penting dari proses rehabilitasi. Dukungan emosional dari keluarga bisa mengurangi risiko stres dan depresi yang dialami narapidana, menjaga keterikatan sosial yang membantu integrasi kembali ke masyarakat usai bebas, dan mengurangi peluang kekambuhan atau menjadi residivisme.

Kedua, pemindahan narapidana akan menghambat mereka mendapatkan hak atas bantuan hukum yang efektif. Pasal 9 Huruf (f) UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana berhak atas bantuan dan penyuluhan hukum. Sekalipun mereka sudah berstatus sebagai narapidana, mereka masih memiliki hak-hak untuk melakukan upaya hukum, seperti Peninjauan Kembali (PK) atau pengajuan grasi. 

Karena banyak narapidana yang bermukim di Lapas Cipinang dan Salemba adalah hasil dari proses peradilan pidana di Jakarta dan sekitarnya, banyak di antara mereka menyewa jasa pengacara di Jakarta. Dengan dipindahkannya para narapidana ini keluar dari Jakarta, mereka akan mendapatkan kesulitan untuk bertemu dan berdiskusi dengan pengacaranya, sehingga mereka tidak akan bisa mendapatkan layanan bantuan hukum yang efektif.

Seringkali, lapas juga menampung orang-orang yang masih berstatus sebagai tahanan yang belum berkekuatan hukum tetap. Dari 4.114 orang yang ditahan di Lapas Salemba dan Cipinang, sebanyak 25 orang berstatus sebagai tahanan. Jika mereka dipindahkan ke daerah lain yang terpencil, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum yang dibutuhkan untuk menjalani persidangan. Aparat penegak hukum juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membawa para tahanan ini pulang-pergi dari lapas ke pengadilan.

Sekalipun di lapas sudah menyediakan fasilitas telepon, banyak pengacara masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan kliennya. Narapidana umumnya yang harus menelpon pengacaranya dari wartel berbayar di lapas dan itu pun bergantian dengan narapidana lainnya. Karena itulah, masih banyak pengacara yang mengandalkan pertemuan tatap muka langsung dengan kliennya yang berada di dalam.

Ketiga, ada kekhawatiran bahwa rencana pemindahan ini justru lebih didorong oleh kepentingan ekonomi semata, terlihat dari alasan yang diberikan dalam pemilihan lapas mana yang akan diganti menjadi pemukiman semata-mata mengacu pada landasan bahwa Lapas Cipinang dan Salemba berada di lahan strategis di tengah kota. 

Apalagi pertemuan yang dilangsungkan oleh Ara dengan Agus Indriarto, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, turut mengajak pengembang-pengembang properti besar, seperti PT Ciputra Development Tbk, Sinarmas Land Herry Hendarta, PT Summarecon Agung Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Pakuwon Jati Tbk, dan Paramount Land. Sementara itu, secara kontras, belum ada kejelasan pembangunan lapas baru sebagai pengganti tempat tinggal ribuan orang yang sekarang berada di Lapas Salemba dan Cipinang. 

Dengan konteks demikian, seolah-olah terlihat bahwa pengembangan rumah hunian di kawasan strategis ini membutuhkan ‘tumbal’ yang mudah untuk dilupakan. Posisi narapidana sebagai pihak yang masih terstigma bisa dengan mudah digusur untuk kepentingan nasional yang dianggap lebih penting. 

Padahal, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan pemindahan penjara di Cipinang dan Salemba ini tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi atau infrastruktur semata, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial bagi para narapidana maupun keluarga narapidana. Sebab, lapas bukan sekadar bangunan fisik, tetapi ruang reintegrasi yang harus mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia.

“Kebijakan yang dicanangkan Pemerintah tentang pengalihfungsian Lapas Cipinang dan Salemba menjadi perumahan rakyat menumbalkan berbagai pihak khususnya narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi. Rencana ini bisa melanggar hak narapidana sebagaimana yang tertuang pada Pasal 9 Huruf F dan Huruf I UU Pemasyarakatan,” kata Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM, Jumat (23/5/2025) di Jakarta.

“Alasan over kapasitas penjara juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penjara, diperlukan perubahan regulasi yang mumpuni untuk menyelesaikan permasalahan over kapasitas penjara, bukan malah mengubah penjara. Fakta bahwa saat ini penghuni penjara didominasi oleh kasus narkotika harusnya pemerintah mengutamakan perubahan regulasi khususnya pada UU Narkotika ketimbang merubah alih fungsi Lapas Cipinang dan Salemba. Seharusnya juga pemerintah tidak langsung menyetujui perintah Presiden Prabowo, tetapi mengkaji lebih dahulu secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik dan juga memperhatikan aspek kemanusiaan,” tambahnya.

Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025

 

Narahubung:

Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM – (+62 812-9028-0416)

 


Referensi:

  1. Aji Cakti, Menteri PKP Ungkap Alasan Rencana Manfaatkan Lahan Penjara Jadi Rumah, antara.com, 19 Mei 2025. Diakses di https://www.antaranews.com/berita/4844109/menteri-pkp-ungkap-alasan-rencana-manfaatkan-lahan-penjara-jadi-rumah 
  2.  Jumlah total narapidana di Lapas Cipinang dan Salemba per 23 Mei 2025, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
  3.  Almadinah Putri Brilian, “Soal Penjara Jadi Perumahan, Ara: Harus Bangun Lapas Pengganti Dulu,” detik.com, 23 April 2025, diakses di https://www.detik.com/properti/berita/d-7881972/soal-penjara-jadi-perumahan-ara-harus-bangun-lapas-pengganti-dulu
  4.  Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 23 Mei 2025.
  5.  “Menteri PKP Ajak Pengembang Besar Tinjau Lahan Lapas untuk Bangun Rumah,” rctiplus.com, 15 Mei 2025, diakses di https://www.rctiplus.com/news/detail/terkini/4755391/menteri-pkp-ajak-pengembang-besar-tinjau-lahan-lapas-untuk-bangun-rumah 

 

 

id_IDIndonesian