Skip to content

Author: admin editor

Narapidana Bukan Tumbal Proyek: LBHM Memperingatkan Pemerintah Pentingnya HAM dalam Rencana Mengubah Lapas Jadi Rumah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait (Ara), terkait pemindahan lahan penjara Cipinang dan Salemba. Upaya ini berpotensi melanggar hak-hak narapidana dan tidak menyelesaikan akar masalah yang selama ini terjadi di lapas maupun rutan di seluruh Indonesia terkait kelebihan kapasitas (overcrowded), jika rencana pemindahan tersebut tidak dibarengi dengan kajian HAM yang matang, transparansi, dan partisipasi publik yang bermakna dari masyarakat, narapidana maupun keluarganya akan merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.

Pada hari Senin, 19 Mei 2025 lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, melempar wacana terkait pemanfaatan lahan penjara untuk pembangunan perumahan rakyat. Beberapa penjara yang direncanakan akan dialihfungsikan untuk hunian warga tersebut di antaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang di Jakarta Timur dan Salemba di Jakarta Pusat. Kata Ara, gagasan tersebut berasal dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara langsung kepadanya melalui sambungan telepon.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengalihfungsian kedua penjara tersebut menurut Ara. Pertama, kedua penjara tersebut (Cipinang dan Selemba) berada di tengah-tengah kota Jakarta, di mana ini lokasi yang cukup strategis digunakan untuk membangun hunian bagi rakyat. Hunian tersebut dibangun sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam merealisasikan program 3 juta rumah per tahun. Kedua, kondisi Lapas Cipinang dan Salemba tersebut sudah sangat penuh (overcrowded) sehingga berpotensi menciptakan kondisi yang tidak manusiawi terhadap para penghuninya. Dengan rencana pemindahan tersebut, situasi overcrowding itu dapat ditekan lewat pembangunan lapas baru, yang memperhatikan kapasitas dan jumlah narapidana.

Ara juga menyampaikan, untuk merealisasikan rencana ini, akan dibentuk Satgas Penjara Menjadi Rumah dan melibatkan berbagai pihak seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Dirjen Kekayaan Negara, serta perbankan BUMN dan swasta. Pendanaan pembangunan perumahan ini juga direncanakan oleh Ara akan melibatkan Danantara sebagai penyedia likuiditas pembiayaan dan investor yang bersedia mendanai proyek ini.

Menyikapi rencana pemindahan penjara yang bakal berdampak signifikan terhadap kurang lebih 4,114 narapidana ini, terdapat beberapa poin penting yang menjadi peringatan kami untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak pada hak-hak narapidana.

Pertama, pemindahan berpotensi menghambat hak narapidana untuk mendapatkan kunjungan keluarga dan pengacara. Pasal 9 huruf (l) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) menegaskan bahwa narapidana berhak untuk menerima kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat. Pemindahan narapidana ke luar kota atau bahkan luar pulau akan menyulitkan narapidana merealisasikan hak ini. 

Sekalipun tidak semua penghuni Lapas Cipinang dan Salemba berdomisili di Jakarta, sebagian besar narapidana berkasus di Jakarta. Banyak di antara mereka yang memiliki keluarga dan teman di wilayah Jakarta atau sekitarnya. Jika para narapidana ini dipindahkan ke luar kota atau luar pulau, keluarga narapidana bisa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menemui mereka. Apalagi banyak keluarga narapidana yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak mampu membayar ongkos bolak-balik untuk menjenguk keluarganya di penjara.

Keinginan untuk mempersulit akses besuk ini juga terlihat dari ungkapan Ara ketika menjelaskan instruksi Presiden Prabowo Subianto atas relokasi lapas menjadi rumah ini. Kepada media, Ara menjelaskan, “Pak Prabowo sudah telepon saya, ‘Ara, kita pindahkan penjara-penjara di daerah strategis buat rumah. Kita pindahkan penjara keluar kota, biar dibesuknya susah,’ begitu,”

Padahal kunjungan keluarga kepada narapidana merupakan bagian yang amat penting dari proses rehabilitasi. Dukungan emosional dari keluarga bisa mengurangi risiko stres dan depresi yang dialami narapidana, menjaga keterikatan sosial yang membantu integrasi kembali ke masyarakat usai bebas, dan mengurangi peluang kekambuhan atau menjadi residivisme.

Kedua, pemindahan narapidana akan menghambat mereka mendapatkan hak atas bantuan hukum yang efektif. Pasal 9 Huruf (f) UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana berhak atas bantuan dan penyuluhan hukum. Sekalipun mereka sudah berstatus sebagai narapidana, mereka masih memiliki hak-hak untuk melakukan upaya hukum, seperti Peninjauan Kembali (PK) atau pengajuan grasi. 

Karena banyak narapidana yang bermukim di Lapas Cipinang dan Salemba adalah hasil dari proses peradilan pidana di Jakarta dan sekitarnya, banyak di antara mereka menyewa jasa pengacara di Jakarta. Dengan dipindahkannya para narapidana ini keluar dari Jakarta, mereka akan mendapatkan kesulitan untuk bertemu dan berdiskusi dengan pengacaranya, sehingga mereka tidak akan bisa mendapatkan layanan bantuan hukum yang efektif.

Seringkali, lapas juga menampung orang-orang yang masih berstatus sebagai tahanan yang belum berkekuatan hukum tetap. Dari 4.114 orang yang ditahan di Lapas Salemba dan Cipinang, sebanyak 25 orang berstatus sebagai tahanan. Jika mereka dipindahkan ke daerah lain yang terpencil, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum yang dibutuhkan untuk menjalani persidangan. Aparat penegak hukum juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membawa para tahanan ini pulang-pergi dari lapas ke pengadilan.

Sekalipun di lapas sudah menyediakan fasilitas telepon, banyak pengacara masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan kliennya. Narapidana umumnya yang harus menelpon pengacaranya dari wartel berbayar di lapas dan itu pun bergantian dengan narapidana lainnya. Karena itulah, masih banyak pengacara yang mengandalkan pertemuan tatap muka langsung dengan kliennya yang berada di dalam.

Ketiga, ada kekhawatiran bahwa rencana pemindahan ini justru lebih didorong oleh kepentingan ekonomi semata, terlihat dari alasan yang diberikan dalam pemilihan lapas mana yang akan diganti menjadi pemukiman semata-mata mengacu pada landasan bahwa Lapas Cipinang dan Salemba berada di lahan strategis di tengah kota. 

Apalagi pertemuan yang dilangsungkan oleh Ara dengan Agus Indriarto, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, turut mengajak pengembang-pengembang properti besar, seperti PT Ciputra Development Tbk, Sinarmas Land Herry Hendarta, PT Summarecon Agung Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Pakuwon Jati Tbk, dan Paramount Land. Sementara itu, secara kontras, belum ada kejelasan pembangunan lapas baru sebagai pengganti tempat tinggal ribuan orang yang sekarang berada di Lapas Salemba dan Cipinang. 

Dengan konteks demikian, seolah-olah terlihat bahwa pengembangan rumah hunian di kawasan strategis ini membutuhkan ‘tumbal’ yang mudah untuk dilupakan. Posisi narapidana sebagai pihak yang masih terstigma bisa dengan mudah digusur untuk kepentingan nasional yang dianggap lebih penting. 

Padahal, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan pemindahan penjara di Cipinang dan Salemba ini tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi atau infrastruktur semata, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial bagi para narapidana maupun keluarga narapidana. Sebab, lapas bukan sekadar bangunan fisik, tetapi ruang reintegrasi yang harus mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia.

“Kebijakan yang dicanangkan Pemerintah tentang pengalihfungsian Lapas Cipinang dan Salemba menjadi perumahan rakyat menumbalkan berbagai pihak khususnya narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi. Rencana ini bisa melanggar hak narapidana sebagaimana yang tertuang pada Pasal 9 Huruf F dan Huruf I UU Pemasyarakatan,” kata Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM, Jumat (23/5/2025) di Jakarta.

“Alasan over kapasitas penjara juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penjara, diperlukan perubahan regulasi yang mumpuni untuk menyelesaikan permasalahan over kapasitas penjara, bukan malah mengubah penjara. Fakta bahwa saat ini penghuni penjara didominasi oleh kasus narkotika harusnya pemerintah mengutamakan perubahan regulasi khususnya pada UU Narkotika ketimbang merubah alih fungsi Lapas Cipinang dan Salemba. Seharusnya juga pemerintah tidak langsung menyetujui perintah Presiden Prabowo, tetapi mengkaji lebih dahulu secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik dan juga memperhatikan aspek kemanusiaan,” tambahnya.

Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025

 

Narahubung:

Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM – (+62 812-9028-0416)

 


Referensi:

  1. Aji Cakti, Menteri PKP Ungkap Alasan Rencana Manfaatkan Lahan Penjara Jadi Rumah, antara.com, 19 Mei 2025. Diakses di https://www.antaranews.com/berita/4844109/menteri-pkp-ungkap-alasan-rencana-manfaatkan-lahan-penjara-jadi-rumah 
  2.  Jumlah total narapidana di Lapas Cipinang dan Salemba per 23 Mei 2025, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
  3.  Almadinah Putri Brilian, “Soal Penjara Jadi Perumahan, Ara: Harus Bangun Lapas Pengganti Dulu,” detik.com, 23 April 2025, diakses di https://www.detik.com/properti/berita/d-7881972/soal-penjara-jadi-perumahan-ara-harus-bangun-lapas-pengganti-dulu
  4.  Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 23 Mei 2025.
  5.  “Menteri PKP Ajak Pengembang Besar Tinjau Lahan Lapas untuk Bangun Rumah,” rctiplus.com, 15 Mei 2025, diakses di https://www.rctiplus.com/news/detail/terkini/4755391/menteri-pkp-ajak-pengembang-besar-tinjau-lahan-lapas-untuk-bangun-rumah 

 

 

Anak dengan Disabilitas Mental Ditelantarkan Negara Sendirian dalam Ruangan Arsip Kantor Polisi Tanpa Perawatan: MAS Ajukan Permohonan Praperadilan

Jakarta, 19 Mei 2025 – Seorang anak berhadapan dengan hukum (ABH), berusia 15 tahun, MAS, yang mengalami disabilitas mental telah ditahan secara sewenang-wenang di sebuah ruang penyimpanan berkas kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Jakarta Selatan) selama hampir lima bulan tanpa perawatan medis dan kepastian hukum mengenai kelanjutan kasusnya. Tidak ada dokter. Tidak ada psikolog. Tidak ada teman bermain sebaya. Tentunya juga tanpa ada perhatian dari Negara. Hanya ada tumpukan dokumen dan doa tulus dari ibunya yang menemani malam-malamnya.

Sebelumnya, pada 30 November 2024, ABH tersebut dituduh melakukan dugaan tindak pidana menyebabkan kematian ayah dan neneknya serta menganiaya ibunya pada peristiwa yang terjadi di Lebak Bulus. Namun, hasil pemeriksaan psikologi forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) dan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) dari RS Polri bekerjasama dengan Tim Dokter Psikiatri Forensik dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) justru mengungkapkan hal lain: ABH tersebut memiliki disabilitas mental yang bisa mempengaruhi kemampuannya dalam memahami dan menilai tindakannya.

Dari pemeriksaan tenaga ahli kesehatan telah jelas memberikan rekomendasi agar ABH tersebut mendapatkan terapi psikiatri, pendampingan psikologis, serta penanganan di institusi yang memiliki fasilitas kesehatan mental memadai, bukan dikurung dalam sebuah ruangan kecil untuk penyimpanan arsip bersama tumpukan dokumen. Meskipun Kuasa Hukum telah melakukan serangkaian langkah persuasif yang diperlukan agar ABH tersebut bisa diberikan akomodasi yang layak oleh Negara. Namun, hingga hari ini, Negara belum berbuat apa-apa untuk pemenuhan hak-hak ABH tersebut.

Melihat Negara yang terus abai dalam memenuhi hak-hak ABH tersebut. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) selaku Kuasa Hukum yang mendampingi dan mewakili ABH tersebut kemudian pada hari Senin, 19 Mei 2025, secara resmi mengajukan Permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan Praperadilan ini diajukan oleh ABH tersebut sebagai upaya untuk menuntut Negara (dalam hal ini Polres Jakarta Selatan dan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan, agar penahanan kepada ABH tersebut dinyatakan tidak sah dan melanggar hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum serta prinsip-prinsip perlakuan yang layak terhadap anak dengan disabilitas mental.

Negara Abai, Hak Anak Dilanggar

Permohonan Praperadilan tersebut juga diajukan karena dilatarbelakangi oleh berbagai pelanggaran serius yang Kuasa Hukum catat, di antaranya:

Pertama, Negara tidak menjalankan sepenuhnya prinsip tujuan kepentingan terbaik bagi anak dalam penegakan hukum kasus ABH tersebut. Khususnya, mengenai ketidakpastian hukum menyangkut kasus ABH tersebut, apakah kasus ABH tersebut akan dilanjutkan sampai tahapan persidangan atau dihentikan pada tahapan penyidikan. Ketidakpastian hukum tersebut telah berdampak pada nasib ABH tersebut menjadi terkatung-katung dan tidak jelas mengenai kelanjutan proses hukum kasusnya. 

Kedua, ABH tersebut ditahan melebihi batas waktu yang diperbolehkan oleh hukum, bahkan masih ditempatkan di kantor polisi hingga hari ini, padahal masa tahanannya telah habis sejak Desember 2024. Penempatan ABH tersebut di kantor polisi tentunya juga bertentangan menurut hukum.

Ketiga, tidak adanya pemenuhan hak atas rehabilitasi dan habilitasi yang dibutuhkan oleh seorang anak dengan disabilitas.

Keempat, tidak adanya akses terhadap pendidikan, lingkungan sosial, atau aktivitas layak anak lainnya.

Kelima, tidak ada respons memadai dari Polres Jakarta Selatan maupun dari KemenPPPA, meskipun permintaan tertulis telah diajukan.

Bukan Cuma Sekadar Penegakan Hukum, Pemenuhan Hak Anak Berhadapan dengan Hukum tetap Harus Dipenuhi Negara

Dalam SPPA, ABH sepatutnya tidak dapat dipandang sebagai pelaku tindak pidana semata, melainkan harus juga dilihat sebagai korban, terlebih jika ABH tersebut memiliki disabilitas mental. Oleh karenanya ABH tersebut pantas dipulihkan, bukan dikurung dalam sebuah ruangan kecil untuk penyimpanan arsip bersama tumpukan berkas dokumen Polres Jakarta Selatan. 

Permohonan Praperadilan ini bukan sekadar tuntutan hukum semata. Ini seruan untuk menyelamatkan satu jiwa anak yang masih punya hak atas masa depan yang cerah, yang seharusnya mendapat perlindungan dari Negara, bukan justru penelantaran.

Berdasarkan hal tersebut, Kuasa Hukum mendesak hal-hal, sebagai berikut:

  1. Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penahanan ABH tidak sah secara hukum.
  2. Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan pemindahan segera ABH ke institusi rehabilitasi kesehatan yang layak dan memadai, yaitu RSCM. Dengan biaya yang ditanggung oleh Negara.
  3. Lembaga pengawasan seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Negara dalam pemenuhan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
  4. Pembenahan sistemik oleh Negara agar kasus serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum ABH

Ma’ruf Bajammal

 

Kontak:

Maruf (Pengacara Publik LBH Masyarakat) – 0812 8050 5706

LBHM Dukung Riset Ganja untuk Medis Selama Masih Partisipatoris

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) turut mengapresiasi pernyataan komitmen Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melakukan riset ganja medis. Apresiasi ini kami sampaikan sebagai salah satu lembaga yang selama ini mendukung adanya riset tentang pemanfaatan narkotika yang partisipatif, akademik, dan sesuai dengan standar-standar internasional.

Pada hari Senin, 5 Mei 2025, Badan Narkotika Nasional melakukan Rapat Bersama dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dalam kesempatan tersebut, Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan kembali anggota parlemen dan BNN tentang Pika yang meninggal dunia sembari menunggu hasil riset ganja medis. Hinca Panjaitan kemudian bertanya, “Sejauh mana komunikasi BNN dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan rencana penelitian ganja medis ini?”

Martinus Hukom, Kepala BNN, pun menjawab,“Kami akan melakukan penelitian dan menjadi kebetulan kami punya laboratorium forensik sendiri dan cukup terbaik di Asia Tenggara. Jadi kami akan melakukan itu sebagai kewajiban konstitusional.” Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan kesediaan BNN untuk bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan. 

Atas pernyataan BNN berikut, LBHM turut mendukung dilakukannya riset pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis. Namun, ada beberapa poin yang menjadi perhatian dan rekomendasi kami untuk memastikan bahwa riset ini betul-betul membawa kejernihan dalam memandang ganja dan narkotika lainnya.

Pertama, riset medis tidak boleh terjebak hanya mengukur kadar toksisitas dari kandungan ganja tetapi kegunaan ganja baik untuk mengobati penyakit dan meredakan rasa sakit. Uji materi terhadap ganja medis yang dilayangkan koalisi pada tahun 2022 silam berargumen bahwa ganja dapat membantu orang dengan cerebral palsy untuk meredakan sakit kronis yang dialaminya, meskipun bukan menghilangkan penyebab utama dari gangguan kesehatan tersebut.

Efek ganja yang bersifat analgesik ini menunjukkan bahwa meskipun ganja bukanlah peluru perak untuk mengobati suatu penyakit, ganja memiliki potensi untuk meredakan gejala yang menyulitkan seseorang hidup sehari-hari. Karena pengurangan penderitaan ini, pengobatan menggunakan ganja membantu seseorang untuk hidup secara bermartabat sebab ia bisa menjalankan aktivitasnya tanpa rasa sakit. 

Dengan melihat dampak ganja secara menyeluruh ini dan bukan hanya terjebak dalam melihat toksisitas ganja, masyarakat akan terinformasi secara berimbang tentang apa manfaat medis penggunaan ganja dan bukan mengerti bahwa ganja bisa berpotensi menyembuhkan atau menjadi anestesi yang bisa dimanfaatkan perseorangan dalam meredakan gejalanya.

Kedua, pemerintah harus membuka keterlibatan publik yang bermakna dalam riset ini. Bukan hanya BRIN dan Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi dalam menjalankan riset ini, melainkan juga masyarakat sipil, khususnya akademisi di bidang medis dan farmakologi yang selama ini memang sudah lama menaruh perhatian pada isu-isu narkotika.

Selain itu, penelitian ini juga perlu untuk melibatkan orang-orang yang selama ini sudah terdampak dari kebijakan pelarangan ganja untuk kepentingan medis, bahkan sampai harus dipenjara karena ingin menjadi sehat. Kita tentu berbicara tentang keluarga almarhum Pika dan Fidelis Arie yang dipenjara karena menanam ganja untuk menyembuhkan penyakit Syringomyelia istrinya.

Orang-orang ini adalah pejuang hak atas kesehatan yang mengorbankan hidup mereka untuk mendukung adanya kebijakan kesehatan yang berbasis rasionalitas bukan ketakutan. Mengingat kesulitan dan penderitaan yang sudah mereka rasakan, hanya akan menjadi adil jika perspektif dan pengalaman mereka turut menjadi data bagi penelitian ini.

Ketiga, penelitian juga harus mencangkup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat. Bagaimanapun ganja adalah tanaman yang sudah tumbuh ratusan tahun di Indonesia. Sebagian masyarakat asli Indonesia sudah lama memanfaatkan ganja bagi kepentingan komunitasnya. Sebut saja masyarakat Aceh yang menggunakan ganja untuk kepentingan ritual, pengobatan dan makanan.

Penelitian ini harus bisa menangkap kekhususan masyarakat adat ini dalam mengelola ganja sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Pasal 3 UNDRIP menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan sendiri cara mereka untuk berkembang secara ekonomi, sosial, dan kultural.

Riset ini bisa mengambil pelajaran dari bagaimana pemerintah Bolivia melakukan riset untuk pemanfaatan daun koka. Pada tahun 2023, Pemerintah Bolivia menuntut dilakukannya asesmen kritis atas penggolongan daun koka ke Golongan I narkotika dengan mengedepankan perspektif masyarakat adat yang tinggal di kawasan Andean-Amazonian.

Keempat, pemerintah perlu memberikan transparansi dalam pelaksanaan riset ini. Transparansi ini mencangkup tenggat waktu, rencana kerja, metode penelitian, tim peneliti, dan lain-lain. Dengan transparansi ini, masyarakat sipil dapat memastikan padanan dan arah riset dijalankan dengan sesuai dengan standar-standar akademik yang ada.

Sebagai contoh, pemerintah perlu memberikan kejelasan soal timeline riset ini. Pada saat rapat bersama kemarin, Martinus Hukom hanya mengatakan, “Kami memohon waktu untuk melakukan penelitian. Karena masalah ganja ini masalah yang lagi diperbincangkan apakah bisa dilegalkan untuk masalah kesehatan, kami butuh hasil riset yang lebih akurat.”

Adanya waktu yang cukup memang penting dalam sebuah riset. Namun, pemerintah perlu memberikan tanggal atas pencapaian-pencapaian ini supaya masyarakat, terutama yang membutuhkan, tidak mencurigai bahwa ini adalah upaya mengulur-ulur waktu. Kecurigaan ini wajar saja sebab Mahkamah Konstitusi sudah memandatkan penelitian ganja medis nyaris tiga tahun silam. Selama itu, belum ada kejelasan tentang apakah penelitiannya sudah dilakukan atau belum.

Kelima, jika BNN dan pemerintah sungguh-sungguh ingin membuka ruang penelitian ganja medis, maka langkah pertama yang harus mereka dorong secara aktif adalah pembuatan regulasi transisi: semacam peraturan pemerintah atau peraturan setingkat menteri yang memungkinkan kegiatan riset dilakukan secara legal, transparan, dan akuntabel. 

Pemerintah dan DPR perlu segera merevisi UU Narkotika yang berlaku saat ini dengan menambahkan pengecualian untuk kepentingan medis yang berbasis bukti. Kepastian hukum ini akan membuka peluang yang positif bagi beberapa pihak seperti lembaga riset dan universitas, tenaga medis, dan pasien untuk juga berkontribusi dalam proses penelitian tanpa ketakutan akan dipidana.

Secara keseluruhan, LBHM menyambut perkembangan riset ganja medis dalam Rapat Komisi III dan BNN kemarin dengan catatan-catatan kritis.

Albert Wirya, Direktur LBHM, menyampaikan, “Dalam Rapat Bersama kemarin, Hinca Panjaitan menyitir pernyataan Nelson Mandela bahwa, “Sebuah bangsa tidak seharusnya diukur dari bagaimana ia memperlakukan warganya yang paling kuat tetapi dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.” Pernyataan ini sungguh tepat untuk memastikan sikap pemerintah dalam penelitian ganja medis. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang miskin, mereka yang sakit, masyarakat adat, dengan memastikan riset tersebut bersifat komprehensif, partisipatif, akademis, dan transparan.”

Jakarta, 6 Mei 2025

Narahubung

Albert (085939676720)


Referensi:

  1. Raja Eben Lumbanrau, “Sejarah dan budaya ganja di Nusantara: Ritual, pengobatan, dan bumbu rempah makanan,” BBC Indonesia, 10 Februari 2020, diakses di https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-51441909.amp
  2.  IDPC, “Righting a historical wrong: The UN review of the international status of the coca leaf – Version 2,” diakses di file:///C:/Users/cleoi/Downloads/Coca%20review%20advocacy%20note_EN_REV%20Feb%202025.pdf

 

Pelarangan Menjadi Waria di Gorontalo: Surat Edaran yang Membuka Keran Diskriminasi

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengecam sikap pemerintah dan parlemen Gorontalo dalam membuat Surat Edaran yang melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan, pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan. Surat Edaran ini kontradiktif dengan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan ruang yang aman bagi semua penduduk untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik, terlepas dari identitasnya. 

Pada hari Selasa, 22 April 2025, Pemerintah Kabupaten Gorontalo melakukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Gorontalo. Hasil dari forum ini kemudian disahkan ke dalam Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi yang ditandatangani oleh Pj. Sekretaris Daerah atas nama Bupati Gorontalo pada tanggal 25 April 2025. 

Surat edaran ini menghimbau camat, kepala desa, kepala kelurahan di Gorontalo untuk selektif memberikan izin keramaian pada acara hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, dan hajatan pesta. Poin ketiga dalam surat edaran ini mendesak aparat pemerintah setempat memantau dan mencegah acara keramaian yang melibatkan waria (transpuan).

Para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen lokal ikut menyuarakan dukungan atas konten surat edaran ini. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyatakan bahwa hampir seluruh daerah di Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo, sudah sepakat menolak kehadiran dan aktivitas komunitas tersebut. Pelarangan ini, menurutnya, karena ‘kegiatan waria’ merusak moral bangsa. Wakil Ketua DPRD Kota Gorontalo, Rivai Bukusu, juga mengatakan bahwa mereka menolak kegiatan-kegiatan yang melibatkan transpuan atau komunitas LGBT lainnya, karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat.

Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatif dari penerbitan surat edaran ini dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya. Ada setidaknya empat poin mengapa surat edaran ini bermasalah:

Pertama, surat edaran ini melegitimasi marginalisasi dan diskriminasi transpuan di ruang-ruang publik. Surat edaran ini tidak menjelaskan pelibatan waria seperti apa yang dilarang atau dianggap berbahaya. Akibatnya, bukan hanya sebagai penampil (performer), transpuan yang menghadiri acara tersebut sebagai peserta atau penonton pun bisa dianggap terlibat dalam kegiatan tersebut dan akhirnya acara tersebut harus dibatasi. Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka karena takut acara mereka akan dibatalkan.

Diskriminasi semacam ini bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul (freedom to assembly) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih jauh lagi, Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Hak ini diberikan tanpa ada distingsi atas identitas gender seseorang, tidak peduli apakah dia laki-laki, perempuan, transpuan, atau identitas gender lain. Keikutsertaan transpuan dalam acara-acara publik dan sipil seperti pertandingan olahraga dan acara kesenian adalah cara mereka melaksanakan kemerdekaan berkumpul.

Kedua, tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui surat edaran tersebut tidak berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya adalah setiap perbuatan yang hendak atau sedang dilakukan dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah harus memiliki landasan hukum serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memiliki identitas sebagai transpuan bukan sebuah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di samping itu, pelarangan transpuan untuk berpartisipasi atau menikmati hak untuk berkumpul, berserikat, dan berekspresi melalui Surat Edaran ini menunjukkan kebijakan yang dibuat bersifat subjektif tanpa ada landasan hukum mengapa kehadiran transpuan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dilarang. Pola-pola legislasi serampangan tanpa ada dasar hukum yang jelas ini berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan dan bahkan dapat mengarah pada eigenrichting (main hakim sendiri). Apalagi kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan sebab masyarakat lebih mudah mengidentifikasi berdasarkan ekspresi gendernya.      

Ketiga, pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. Menurut sebuah survei, sekitar 8.7% anggota komunitas LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis (penyanyi, penyanyi lip sinc, penari, dan lain-lain). Mereka yang bekerja sebagai pekerja informal ini menghadapi berbagai risiko ekonomi dan seringkali tidak mendapatkan jaminan perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu urusan wajib dari Pemerintah Daerah adalah memberikan lapangan kerja yang aksesibel bagi semua sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia, tidak terkecuali pekerja seni informal, bukan malah melarang transpuan untuk bekerja sebagai pekerja seni dan pertunjukkan. 

Ada alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal. Ketimbang memberikan solusi atas diskriminasi hak atas pekerjaan yang selama ini sudah dialami oleh transpuan, surat edaran pemerintah Kabupaten Gorontalo ini semakin menyudutkan kelompok transpuan.

Keempat, alasan penolakan transpuan di kegiatan-kegiatan hiburan mengulang kembali alasan usang tentang transpuan melanggar norma kesusilaan. Bahkan ada simplifikasi argumen bahwa transpuan yang melakukan pekerjaan seni sudah pasti orang yang tidak beragama dan tidak bermoral. Dalam keterangannya Adhan Dambea, Walikota Gorontalo, menyatakan, “Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Kota Gorontalo, untuk jangan mengundang penyanyi seperti waria. Di Kota Gorontalo masih banyak penyanyi-penyanyi yang bermoral dan punya agama.”

Padahal beberapa budaya lokal Indonesia juga mengakui keberadaan gender lain, seperti budaya Bugis yang mengenal lima jenis kelamin yang berbeda. Ada pula interpretasi-interpretasi ajaran keagamaan yang memberikan pandangan yang lebih toleran bagi individu trans. Otoritas kesehatan internasional seperti WHO dan nasional seperti Kementerian Kesehatan pun berulang kali menyatakan bahwa menjadi transpuan bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. 

“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Maka praktik diskriminasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”, ucap Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBHM.

Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Gorontalo untuk mencabut Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi. Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo untuk menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menjaga dan melindungi hak kelompok rentan, tak terkecuali transpuan.  

Selain itu, LBHM juga meminta kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk memastikan kebijakan pemerintah daerah sejalan dengan aturan yang lebih atas untuk mengevaluasi surat edaran ini. LBHM juga berpendapat bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pihak yang melakukan pengawasan atas praktik dan kebijakan yang berdampak negatif pada pemenuhan HAM untuk melakukan investigasi pemberangusan hak yang terjadi di Gorontalo pada kelompok transpuan. 

Jakarta, 30 April 2025

 

Narahubung:
Novia – 081297566190

 

Referensi
  1. Dian, “Ketua DPRD Kota Gorontalo Tegaskan Menolak Seluruh Kegiatan yang Melibatkan Waria,” read.id, 28 April 2025, diakses di https://read.id/ketua-dprd-kota-gorontalo-tegaskan-menolak-seluruh-kegiatan-yang-melibatkan-waria/ 
  2.  Deden Arya, “Rivai Bukusu Tegas! Tolak Kegiatan Waria di Gorontalo,” gorontalo.totabuan.news, 28 April 2025, diakses di https://gorontalo.totabuan.news/dprd-kota-gorontalo/rivai-bukusu-tegas-tolak-kegiatan-waria-di-gorontalo/ 
  3.  Arief Rahadian, Gabriella Devi Benedicta, Fatimah Az Zahro, Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi, Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), 2021).
  4.  Lukman Husain, “Aksi Waria Berujung Pencekalan, ‘Padahal Bulan Depan Musim Pesta’,” Gorontalo Post, 29 April 2025, diakses di https://gorontalopost.co.id/2025/04/29/aksi-waria-berujung-pencekalan-padahal-bulan-depan-musim-pesta/  
  5.  Daniel Stables, “Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’,” bbc.com, 25 April 2021, diakses di https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166 
  6.  “Heboh Isu LGBT, WHO dan Kemenkes RI Turut Berkomentar,” tvonenews.com, 13 Mei 2022, diakses di https://www.tvonenews.com/berita/nasional/40482-heboh-isu-lgbt-who-dan-kemenkes-ri-turut-berkomentar?page=1 

Koalisi Menuntut Sembilan Materi Krusial dalam RUU KUHAP Dibahas Secara Mendalam dan Tidak Buru-Buru

RILIS PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP

Setelah  menggelar  konferensi  pers  terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara   Pidana   (RUU   KUHAP),   Komisi   III   DPR   RI   kemudian   pada   24   Maret menyelenggarakan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan sejumlah  organisasi  masyarakat  dan  organisasi  advokat.  Setelahnya, sepanjang 24-27 Maret 2025, bergulir berbagai narasi yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, yang mengklaim bahwa banyak materi progresif dalam RUU KUHAP.

Sebelumnya  pada 20 Maret 2025, Ketua Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa RUU KUHAP memuat lima materi yang disebut progresif, yaitu CCTV di tempat penahanan, pengaturan tentang hak kelompok rentan, penguatan advokat, perbaikan syarat penahanan, hingga kebaruan pengaturan tentang keadilan restoratif. Namun sayangnya, dalam rilis pers yang kami sampaikan 21 Maret 2025, kami membuktikan bahwa klaim materi progresif tersebut tak sepenuhnya tepat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan dan belum menjawab akar masalah dalam praktik sehari-hari KUHAP saat ini (UU No. 8/1981) yang tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepentingan hak-hak warga negara.

Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang,  sehingga  paling  lama  akan  disahkan  sekitar  Oktober-November  2025. Padahal RUU KUHAP secara keseluruhan memuat sebanyak 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan. Bila tidak dibenahi dan dibahas secara hati-hati dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang langsung terdampak, maka RUU KUHAP yang dihasilkan malah justru akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang tersistematisasi dalam proses peradilan pidana.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat sembilan masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP, yaitu:

  1. Kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel, perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada Penuntut Umum atau Hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik;
  2. Mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat, harus ada jaminan bahwa  seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan;
  3. Pembaruan   pengaturan   standar   pelaksanaan   penangkapan,   penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus  dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjutnya perlu penahanan;
  4. Prinsip    keberimbangan    dalam    proses    peradilan    pidana    antara    negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi, harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua   berkas/dokumen   peradilan   dan   bukti-bukti   memberatkan,   perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan  hukum  tanpa  pembatasan-pembatasan,  hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
  5. Akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery), perlu  ada  pembatasan  jenis-jenis  tindak  pidana  pidana  yang  dapat  diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana;
  6. Sistem hukum pembuktian, perlu definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti, memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis/bentuk bukti, serta harus ada jaminan “alasan yang cukup” secara spesifik pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya;
  7. Batasan pengaturan tentang sidang elektronik, perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan  yang  bias,  keliru,  dan merugikan para pihak dalam persidangan, serta jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik termasuk   keluarga   korban   maupun   terdakwa   untuk   berada   dalam   platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya pemeriksaan;
  8. Akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep  restorative  justice  yang  saat  ini  hanya  dipahami  sebagai  penghentian perkara, jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan, saat fakta tindak pidana sudah disepakati pada pihak, akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman/pemerasan;
  9. Penguatan  hak-hak  tersangka/terdakwa,  saksi,  dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban, jaminan adanya pasal-pasal operasional  agar  hak-hak  hak-hak  tersangka/terdakwa, saksi, dan korban dapat diakses secara efektif dalam praktik termasuk pihak-pihak yang dibebani kewajiban pemenuhan hak, mekanisme untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak-hak hingga konsekuensi-konsekuensi jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar.

Jakarta, 28 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  3. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  4. PBHI Nasional
  5. KontraS
  6. AJI Indonesia
  7. AJI Jakarta
  8. Aksi Keadilan
  9. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  10. Koalisi Reformasi Kepolisian
  11. 1 Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  12. LBH Masyarakat
  13. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  15. Imparsial
  16. Perhimpunan Jiwa Sehat
  17. LBH APIK Jakarta
  18. Themis Indonesia
  19. PIL-Net
  20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

Uraian masing-masing masalah diatas serta rujukan rumusan pasal masalah dalam RUU KUHAP di atas dijabarkan secara mendalam pada dokumen berikut.

Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Menyikapi Pembahasan Revisi UU TNI

“Hentikan Pembahasan Revisi Undang-Undang TNI! yang Menghidupkan Dwifungsi”

DPR berencana akan membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dalam waktu dekat. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk membahas Rancangan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Dalam draft yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat beberapa masalah krusial terutama kembali dihidupkannya Dwifungsi TNI.

Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, Berdasarkan draft revisi UU TNI yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik.

Pertama, usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI. Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya. Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil.

Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya. Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus.

Penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan/yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM – apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer. Mengingat sampai saat ini Pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer. Ketentuan ini menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya. Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan.

Perubahan Pasal 47 ini nantinya akan semakin merusak pola organisasi dan jenjang karir ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia. Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karis  ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.

Kedua, usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu. Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis.

Ketiga Kekhawatiran lain yang muncul adalah adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ke dua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Koalisi juga memandang upaya perluasan peran aktor keamanan melalui revisi UU Polri juga harus dihentikan. Alih-alih meluaskan peran TNI-Polri sudah seharusnya Pemerintah dan DPR fokus memperkuat lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan dan lain sebagainya dan bukan justru melemahkan lembaga pengawas tersebut dengan memotong anggarannya secara signifikan.

Berdasarkan pandangan di atas, kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat. Lebih baik DPR dan Pemerintah memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI. Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia.

Jakarta, 6 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan:

Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, Dejure.

Narahubung:

– Dimas Bagus Arya (KontraS)

– Hussein Ahmad (Imparsial)

– ⁠Ikhsan Yosarie (SETARA)

– ⁠Arif Maulana (YLBHI)

– ⁠Teo Reffelsen(WALHI)

– ⁠ Gina Sabrina (PBHI)

– ⁠Nurina Savitri (Amnesty International Indonesia)

– ⁠Sonya Andomo (AJI Jakarta)

– ⁠Anas Robbani (BEM SI)

– ⁠Latifah Anum Siregar (Aliansi Demokrasi untuk Papua)

– ⁠Al araf (Centra Initiative)

– ⁠Bhatara I Reza (De Jure)

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP): Band Sukatani Akui Ada Intimidasi: Proses Pemeriksaan Etik dan Pidana Wajib Dilakukan Kepada Anggota Polisi yang Melanggar

“Tindakan tanpa dasar kewenangan yang sah oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani sehingga menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.”

 Pada 1 Maret 2025, Band Sukatani dalam keterangannya ke publik, melalui akun @sukatani.band di kanal instagram, mengakui adanya tekanan dan intimidasi atas adanya lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh aparat kepolisian. Bahkan intimidasi sudah dialami Band Sukatani sejak Juli 2024. Koalisi menilai tindakan tersebut merupakan upaya pembungkaman terhadap Band Sukatani secara khusus, yang sekiranya tindakan ini dibiarkan dan para pelakunya tidak dihukum maka preseden ini amat potensial kembali berulang sehingga menjadi momok bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi (berkesenian) secara umum.

Sebelumnya, pada 25 Februari 2025, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, mengatakan berdasarkan pemeriksaan Propam Polda Jawa Tengah justru menyimpulkan bahwa para anggota yang diperiksa telah menjalankan tugasnya secara profesional. Sebelumnya pada 24 Februari 2025, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen Pol (Purn) Arif Wicaksono Sudiutomo dan staf Kapolri, Irjen Purnawirawan Aryanto Sutadi, malah membantah adanya intimidasi tersebut. Ketua Kompolnas menilai kedatangan anggota Polda Jateng menemui personel band Sukatani bukan untuk mengintimidasi.

Meskipun begitu, Koalisi menilai tindakan Personel Kepolisian mendatangi Band Sukatani tetaplah pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, karena jika Institusi Kepolisian tidak anti kritik sebagaimana telah dinyatakan Kapolri di beberapa media massa, tentu tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. Kepolisian wajib melindungi dan menghormati ekspresi dan kritik dimaksud, serta memastikan karya lagu Sukatani dapat diakses dan dinikmati khalayak umum dalam berbagai platform seperti semula. Sebab, hak dan kebebasan berekspresi telah dijamin secara konstitusional serta berbagai peraturan perundang-undangan dan instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia (ICCPR).

Saat ini, pemeriksaan terhadap anggota Ditsiber Polda Jateng tersebut telah diambil alih oleh Propam Mabes Polri. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menuntut agar pemeriksaan dijalankan secara akuntabel dan transparan. Hasil pemeriksaan harus menghasilkan kronologi yang jelas, menjelaskan dasar hukum yang digunakan, identitas polisi pelanggar, serta menjelaskan prosedur dan kelengkapan administrasi anggota kepolisian pada saat melakukan tindakan tersebut.

Kami juga mendesak Propam Mabes Polri untuk menggunakan instrumen pidana dalam memproses anggota kepolisian yang melakukan intimidasi kepada Band Sukatani.

Pasal 421 KUHP mengatur tentang ancaman pidana 2 tahun 8 bulan, kepada setiap Pegawai negeri (termasuk polisi di dalamnya) yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk melakukan, tidak melakukan sesuatu, ataupun membiarkan sesuatu. Rilis media Institute Criminal Justice Reform (ICJR) tertanggal 22 Februari 2025 sebelumnya, telah menyatakan bahwa tindakan menghampiri ataupun mengklarifikasi atas lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bukan kewenangan polisi. Tidak ada ketentuan pidana yang dilanggar oleh Band Sukatani, sehingga, polisi tidak berwenang untuk mendatangi, ataupun membatasi kemerdekaan band Sukatani. Tindakan tanpa kewenangan oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.

Dengan demikian, kami mendesak kepada Propam Mabes Polri dan juga kepada Kapolri untuk:

Pertama, Kapolri dan Propam Mabes Polri wajib menjunjung tinggi akuntabilitas, objektivitas, dan transparansi dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik adanya tekanan dan intimidasi kepada Band Sukatani oleh Anggota Polda Jateng.

Kedua, Propam dan Kapolri harus menindak tegas dengan memproses secara pidana Anggota Polda Jateng yang terbukti dan/atau terlibat melakukan intimidasi.

Jakarta, 2 Maret 2025 Dengan Hormat,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian*

Narahubung:

  • Arif Maulana (YLBHI/RFP)
  • Fadhil Alfathan (LBH Jakarta/RFP)
  • Paul (Sekretariat Bersama RFP)
  • Maidina (ICJR/RFP)

*Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) adalah sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil (non governmental organization) yang concern mendorong agenda reformasi kepolisian yang akuntabel, profesional, demokratis, dan berkomitmen terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam RFP di antaranya: YLBHI, ICJR, PBHI, ICW, Kurawal Foundation, KontraS, AJI Indonesia, Imparsial, Walhi Nasional, SAFEnet, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP #TolakRKUHAPGelap! DPR RI Ngumpet-Ngumpet Bahas RKUHAP, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP Serukan Buka Proses Pembahasan dan Draft Terbaru RKUHAP

27 Februari 2025 – KUHAP yang mengatur mulai dari kewenangan aparat hingga jaminan perlindungan hak-hak warga saat berhadapan dengan hukum sedang direncanakan akan diganti oleh DPR RI. Produk hukum ini menjadi harapan masyarakat untuk dapat merespons fenomena-fenomena ketidakadilan seperti salah tangkap, penyiksaan, kekerasan, hingga pemerasan oleh aparat supaya tidak lagi berulang ke depan.

Pada Rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir tanggal 18 Februari 2025, RUU KUHAP disetujui sebagai usul inisiatif DPR. Namun hingga saat ini draft RUU KUHAP yang resmi masih belum dibuka kepada publik. Berdasarkan pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, DPR RI dalam beberapa minggu terakhir melakukan diskusi-diskusi antara lain yang secara terbuka dengan lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Namun terdapat pula diskusi-diskusi yang diduga dilakukan secara tertutup dengan lembaga-lembaga tertentu mengenai penyusunan draft RUU KUHAP.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen DPR RI terhadap prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Pembahasan RUU KUHAP harus dilakukan secara terbuka dan perlu dilakukan partisipasi bermakna. Menurut Rani, peneliti dari PSHK “Bahwa proses legislasi dengan pola abusive law-making, tidak transparan dan minim pelibatan publik di dalamnya, seringkali melahirkan produk hukum yang secara substansi akan bermasalah”.

Selain draft RKUHAP dan naskah akademik yang belum dibuka kepada publik, Belly Stanio Pengacara Publik dari LBH Jakarta menyampaikan: “Tercium bau-bau busuk dari pembahasan tertutup yang membahas soal RKUHAP, hal ini bisa dilihat baru-baru ini ada pertemuan antara Habiburokhman selaku Ketua Komisi III DPR RI bertemu dengan kepolisian. Diduga pertemuan ini salah satunya membahas soal lembaga POLRI dalam RKUHAP. Oleh karena itu penting untuk dikawal bersama baik dari mahasiswa, pers, dan seluruh golongan untuk sama-sama memantau perkembangan dari RKUHAP ini”.

Saat ini beredar draft tidak resmi RUU KUHAP versi 17 Februari 2025 yang diduga menjadi draft yang diserahkan pada saat rapat paripurna DPR RI ke-13. Namun substansi materi dalam draft tersebut bertentangan dengan konsep penguatan RKUHAP yang disampaikan dalam Surat Terbuka tertanggal 9 Februari 2025 oleh Koalisi.

Menurut Iftitahsari Peneliti dari ICJR, “Bahwa dalam draft RUU KUHAP versi 17 Februari 2025, terlihat adanya upaya untuk memasukkan ketentuan-ketentuan dari peraturan internal kepolisian, khususnya terkait prosedur penyelidikan dan penyidikan. Ketentuan-ketentuan ini telah lama menjadi sorotan dan kritik karena bertentangan dengan hukum acara pidana yang lebih tinggi, yaitu KUHAP 1981. Materi substansinya juga tidak akuntabel. Dengan memasukkan ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam RUU KUHAP, pembuat kebijakan seolah-olah melegitimasi praktik-praktik yang selama ini dipandang tidak transparan dan tidak  dapat  dipertanggungjawabkan”.  Hal  ini  menunjukan  bahwa  RUU  ini  justru mengukuhkan aturan yang tidak sejalan dengan reformasi hukum yang transparan dan bertanggung jawab.

Kemudian dalam RUU KUHAP versi 17 Februari 2025 tersebut juga belum memuat pengaturan mengenai bagaimana cara tersangka, saksi, korban menggunakan hak-haknya secara efektif, hingga konsekuensi-konsekuensi atas pelanggaran terhadap hak-hak tersebut dalam penanganan kasusnya. Hal ini penting untuk memastikan agar ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijalankan secara operasional dan pengaturan perlindungan hak-hak masyarakat dalam RUU KUHAP tidak hanya sebatas sebagai ornamen atau pelengkap dalam undang-undang.

Sejalan dengan hal tersebut, Nixon Randy Pengacara Publik LBH Masyarakat mengatakan “Ketentuan Hukum Acara Pidana yang seharusnya menjamin hak-hak seluruh elemen masyarakat sipil tanpa terkecuali. Sebab, hari ini masih banyak marginalisasi kelompok tertentu, seperti kelompok disabilitas, perempuan, dan minoritas gender orientasi seksual yang harus mendapatkan tempat yang proporsional. Terlebih lagi, sejumlah kewenangan upaya paksa dan teknik investigasi yang dimiliki APH, khususnya kepolisian, sering kali berujung pada praktik penjebakan atau rekayasa kasus.”

Bimo, Wakil Ketua BEM FH UI sebagai perwakilan mahasiswa menyatakan, “Ketika pembahasan RKUHP dahulu, mahasiswa hukum di kelas-kelas bisa mempelajari pasal-pasal yang ada dalam RKUHP, hal ini berbeda dengan pembahasan RKUHAP saat ini. DPR-RI harus stop bermain petak umpet pembahasan RKUHAP, harus dibuka dan harus melibatkan masyarakat secara bermakna.”

Pembuat kebijakan juga harus paham bahwa penegakan hukum yang tidak akuntabel akan berdampak pada kondisi perekonomian negara. Seperti yang dikatakan oleh M Isnur, Ketua Umum YLBHI, “Bahwa saat ini pemerintah tidak peduli dengan hukum, pemerintah hanya peduli dengan investasi. Tapi, perlu saya ingatkan bahwa saat ini investasi dan ekonomi tidak tumbuh karena terhambat banyak hal, akibat dari tindakan aparat yang menjadi semacam alat untuk berlaku tidak adil, Misal kita ambil contoh kasus beberapa waktu lalu yang dialami oleh grup band Sukatani, mereka diintimidasi dan dipaksa meminta maaf, hal ini tidak boleh terjadi lagi dengan dalih penegakan hukum. Akhirnya seni, investasi, ekonomi semua tidak berkembang karena aparat berlaku sewenang-wenang, kedepannya KUHAP bisa membatasi kesewenang-wenangan aparat dari mulai polisi, jaksa dan yang lainnya. Kesewenang-wenangan ini juga menjadi celah aparat untuk melakukan korupsi, seperti yang terjadi pada kasus pemerasan DWP, hal ini bisa menjadi momentum pemerintah untuk memperbaiki investasi dan ekonomi dari sudut pandang acara pidana”.

Sebagaimana Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sampaikan sebelumnya dalam Surat Terbuka tertanggal 9 Februari 2025 kepada Komisi III DPR RI dan BKD DPR RI, setidaknya, terdapat materi-materi krusial yang perlu diatur dalam pembaharuan KUHAP, antara lain: penguatan hak-hak (tersangka, saksi, korban) termasuk mekanisme keberatan atas tindakan penegakan hukum yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan HAM; pengaturan dan pengujian perolehan alat bukti; standar dan akuntabilitas upaya paksa dan penyelesaian perkara di luar persidangan; hingga rekodifikasi hukum acara pidana berdasarkan pada prinsip due process of law, mekanisme checks and balances, serta penghormatan pada hak asasi manusia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami menyerukan agar:

  1. DPR RI untuk segera mempublikasikan draft resmi dan naskah akademik RUU KUHAP.
  2. Segera hentikan proses legislasi yang gelap dalam pembahasan RUU KUHAP, kami mendesak agar seluruh proses dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.

Hormat Kami,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  3. PBHI Nasional
  4. KontraS
  5. AJI Indonesia
  6. AJI Jakarta
  7. Aksi Keadilan
  8. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  9. Koalisi Reformasi Kepolisian
  10. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  11. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
  12. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  13. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  15. Imparsial
  16. Perhimpunan Jiwa Sehat
  17. LBH APIK Jakarta
  18. Themis Indonesia
  19. PIL-Net Indonesia
  20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
  21. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

Narahubung: Belly Stanio – 082210946456