Narapidana Bukan Tumbal Proyek: LBHM Memperingatkan Pemerintah Pentingnya HAM dalam Rencana Mengubah Lapas Jadi Rumah
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait (Ara), terkait pemindahan lahan penjara Cipinang dan Salemba. Upaya ini berpotensi melanggar hak-hak narapidana dan tidak menyelesaikan akar masalah yang selama ini terjadi di lapas maupun rutan di seluruh Indonesia terkait kelebihan kapasitas (overcrowded), jika rencana pemindahan tersebut tidak dibarengi dengan kajian HAM yang matang, transparansi, dan partisipasi publik yang bermakna dari masyarakat, narapidana maupun keluarganya akan merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.
Pada hari Senin, 19 Mei 2025 lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, melempar wacana terkait pemanfaatan lahan penjara untuk pembangunan perumahan rakyat. Beberapa penjara yang direncanakan akan dialihfungsikan untuk hunian warga tersebut di antaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang di Jakarta Timur dan Salemba di Jakarta Pusat. Kata Ara, gagasan tersebut berasal dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara langsung kepadanya melalui sambungan telepon.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengalihfungsian kedua penjara tersebut menurut Ara. Pertama, kedua penjara tersebut (Cipinang dan Selemba) berada di tengah-tengah kota Jakarta, di mana ini lokasi yang cukup strategis digunakan untuk membangun hunian bagi rakyat. Hunian tersebut dibangun sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam merealisasikan program 3 juta rumah per tahun. Kedua, kondisi Lapas Cipinang dan Salemba tersebut sudah sangat penuh (overcrowded) sehingga berpotensi menciptakan kondisi yang tidak manusiawi terhadap para penghuninya. Dengan rencana pemindahan tersebut, situasi overcrowding itu dapat ditekan lewat pembangunan lapas baru, yang memperhatikan kapasitas dan jumlah narapidana.
Ara juga menyampaikan, untuk merealisasikan rencana ini, akan dibentuk Satgas Penjara Menjadi Rumah dan melibatkan berbagai pihak seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Dirjen Kekayaan Negara, serta perbankan BUMN dan swasta. Pendanaan pembangunan perumahan ini juga direncanakan oleh Ara akan melibatkan Danantara sebagai penyedia likuiditas pembiayaan dan investor yang bersedia mendanai proyek ini.
Menyikapi rencana pemindahan penjara yang bakal berdampak signifikan terhadap kurang lebih 4,114 narapidana ini, terdapat beberapa poin penting yang menjadi peringatan kami untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak pada hak-hak narapidana.
Pertama, pemindahan berpotensi menghambat hak narapidana untuk mendapatkan kunjungan keluarga dan pengacara. Pasal 9 huruf (l) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) menegaskan bahwa narapidana berhak untuk menerima kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat. Pemindahan narapidana ke luar kota atau bahkan luar pulau akan menyulitkan narapidana merealisasikan hak ini.
Sekalipun tidak semua penghuni Lapas Cipinang dan Salemba berdomisili di Jakarta, sebagian besar narapidana berkasus di Jakarta. Banyak di antara mereka yang memiliki keluarga dan teman di wilayah Jakarta atau sekitarnya. Jika para narapidana ini dipindahkan ke luar kota atau luar pulau, keluarga narapidana bisa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menemui mereka. Apalagi banyak keluarga narapidana yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak mampu membayar ongkos bolak-balik untuk menjenguk keluarganya di penjara.
Keinginan untuk mempersulit akses besuk ini juga terlihat dari ungkapan Ara ketika menjelaskan instruksi Presiden Prabowo Subianto atas relokasi lapas menjadi rumah ini. Kepada media, Ara menjelaskan, “Pak Prabowo sudah telepon saya, ‘Ara, kita pindahkan penjara-penjara di daerah strategis buat rumah. Kita pindahkan penjara keluar kota, biar dibesuknya susah,’ begitu,”
Padahal kunjungan keluarga kepada narapidana merupakan bagian yang amat penting dari proses rehabilitasi. Dukungan emosional dari keluarga bisa mengurangi risiko stres dan depresi yang dialami narapidana, menjaga keterikatan sosial yang membantu integrasi kembali ke masyarakat usai bebas, dan mengurangi peluang kekambuhan atau menjadi residivisme.
Kedua, pemindahan narapidana akan menghambat mereka mendapatkan hak atas bantuan hukum yang efektif. Pasal 9 Huruf (f) UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana berhak atas bantuan dan penyuluhan hukum. Sekalipun mereka sudah berstatus sebagai narapidana, mereka masih memiliki hak-hak untuk melakukan upaya hukum, seperti Peninjauan Kembali (PK) atau pengajuan grasi.
Karena banyak narapidana yang bermukim di Lapas Cipinang dan Salemba adalah hasil dari proses peradilan pidana di Jakarta dan sekitarnya, banyak di antara mereka menyewa jasa pengacara di Jakarta. Dengan dipindahkannya para narapidana ini keluar dari Jakarta, mereka akan mendapatkan kesulitan untuk bertemu dan berdiskusi dengan pengacaranya, sehingga mereka tidak akan bisa mendapatkan layanan bantuan hukum yang efektif.
Seringkali, lapas juga menampung orang-orang yang masih berstatus sebagai tahanan yang belum berkekuatan hukum tetap. Dari 4.114 orang yang ditahan di Lapas Salemba dan Cipinang, sebanyak 25 orang berstatus sebagai tahanan. Jika mereka dipindahkan ke daerah lain yang terpencil, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum yang dibutuhkan untuk menjalani persidangan. Aparat penegak hukum juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membawa para tahanan ini pulang-pergi dari lapas ke pengadilan.
Sekalipun di lapas sudah menyediakan fasilitas telepon, banyak pengacara masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan kliennya. Narapidana umumnya yang harus menelpon pengacaranya dari wartel berbayar di lapas dan itu pun bergantian dengan narapidana lainnya. Karena itulah, masih banyak pengacara yang mengandalkan pertemuan tatap muka langsung dengan kliennya yang berada di dalam.
Ketiga, ada kekhawatiran bahwa rencana pemindahan ini justru lebih didorong oleh kepentingan ekonomi semata, terlihat dari alasan yang diberikan dalam pemilihan lapas mana yang akan diganti menjadi pemukiman semata-mata mengacu pada landasan bahwa Lapas Cipinang dan Salemba berada di lahan strategis di tengah kota.
Apalagi pertemuan yang dilangsungkan oleh Ara dengan Agus Indriarto, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, turut mengajak pengembang-pengembang properti besar, seperti PT Ciputra Development Tbk, Sinarmas Land Herry Hendarta, PT Summarecon Agung Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Pakuwon Jati Tbk, dan Paramount Land. Sementara itu, secara kontras, belum ada kejelasan pembangunan lapas baru sebagai pengganti tempat tinggal ribuan orang yang sekarang berada di Lapas Salemba dan Cipinang.
Dengan konteks demikian, seolah-olah terlihat bahwa pengembangan rumah hunian di kawasan strategis ini membutuhkan ‘tumbal’ yang mudah untuk dilupakan. Posisi narapidana sebagai pihak yang masih terstigma bisa dengan mudah digusur untuk kepentingan nasional yang dianggap lebih penting.
Padahal, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan pemindahan penjara di Cipinang dan Salemba ini tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi atau infrastruktur semata, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial bagi para narapidana maupun keluarga narapidana. Sebab, lapas bukan sekadar bangunan fisik, tetapi ruang reintegrasi yang harus mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia.
“Kebijakan yang dicanangkan Pemerintah tentang pengalihfungsian Lapas Cipinang dan Salemba menjadi perumahan rakyat menumbalkan berbagai pihak khususnya narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi. Rencana ini bisa melanggar hak narapidana sebagaimana yang tertuang pada Pasal 9 Huruf F dan Huruf I UU Pemasyarakatan,” kata Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM, Jumat (23/5/2025) di Jakarta.
“Alasan over kapasitas penjara juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penjara, diperlukan perubahan regulasi yang mumpuni untuk menyelesaikan permasalahan over kapasitas penjara, bukan malah mengubah penjara. Fakta bahwa saat ini penghuni penjara didominasi oleh kasus narkotika harusnya pemerintah mengutamakan perubahan regulasi khususnya pada UU Narkotika ketimbang merubah alih fungsi Lapas Cipinang dan Salemba. Seharusnya juga pemerintah tidak langsung menyetujui perintah Presiden Prabowo, tetapi mengkaji lebih dahulu secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik dan juga memperhatikan aspek kemanusiaan,” tambahnya.
Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025
Narahubung:
Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM – (+62 812-9028-0416)
Referensi:
- Aji Cakti, Menteri PKP Ungkap Alasan Rencana Manfaatkan Lahan Penjara Jadi Rumah, antara.com, 19 Mei 2025. Diakses di https://www.antaranews.com/berita/4844109/menteri-pkp-ungkap-alasan-rencana-manfaatkan-lahan-penjara-jadi-rumah
- Jumlah total narapidana di Lapas Cipinang dan Salemba per 23 Mei 2025, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
- Almadinah Putri Brilian, “Soal Penjara Jadi Perumahan, Ara: Harus Bangun Lapas Pengganti Dulu,” detik.com, 23 April 2025, diakses di https://www.detik.com/properti/berita/d-7881972/soal-penjara-jadi-perumahan-ara-harus-bangun-lapas-pengganti-dulu.
- Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 23 Mei 2025.
- “Menteri PKP Ajak Pengembang Besar Tinjau Lahan Lapas untuk Bangun Rumah,” rctiplus.com, 15 Mei 2025, diakses di https://www.rctiplus.com/news/detail/terkini/4755391/menteri-pkp-ajak-pengembang-besar-tinjau-lahan-lapas-untuk-bangun-rumah