Skip to content

Category: Opini

Opini LBHM

War on Drugs: Jalan Pintas yang Menyesatkan

Menyambut harapan banyak pihak tersebut, Petrus Golose dalam sebuah rilis menyatakan siap untuk memerangi narkotika, war on drugs. Pernyataan Petrus Golose ini tentu saja bukan hal baru. Sejak menjabat pertama kali sebagai kepala negara pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo juga menggaungkan hal yang serupa.Bahkan, pada tahun 2016, Jokowi secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Perintah tembak di tempat tersebut kemudian mulai memakan korban. LBHM dalam penelitiannya (Bajammal, 2020) menyebut, dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk negara yang mempredikatkan diri berlandaskan hukum dan menjunjung hak asasi dalam konstitusinya.

Langkah war on drugs yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi peredaran gelap narkotika justru banyak menimbulkan masalah lain. Salah satunya, menciptakan stigma negatif dan perilaku diskriminatif terhadap pengguna narkotika. Stigma negatif ini menempatkan para pengguna narkotika sebagai penjahat dan sampah masyarakat yang layak untuk dihukum. Tentu saja hukuman yang dimaksud adalah hukuman penjara.

Muara dari stigma dan diskriminasi ini berkontribusi pada meningkatnya overcrowding di lapas semakin parah. Data Ditjen Pemasyarakatan 2019, menyebut jumlah orang yang dipenjara karena pelanggaran narkotika, lebih dari 130.000 (65% dari keseluruhan tahanan) dan 48.000 orang di antaranya adalah pengguna narkotika. Sebuah angka yang cukup mengejutkan, apalagi terhadap pengguna narkotika yang alih-alih mendapatkan rehabilitasi, malah berakhir di jeruji besi. Lantas, apakah narasi war on drugs  tetap efektif mengatasi permasalahan narkotika selama ini.

Narasi war on drugs bukan hanya ada di Indonesia. Beberapa negara juga tercatat pernah menerapkan pendekatan keras seperti itu. Bedanya, banyak negara kemudian berbenah diri dan menyadari jalan pintas war on drugs itu menyesatkan. Portugal, merupakan contoh negara yang akhirnya berhasil meninggalkan narasi war on drugs. Portugal sadar menggunakan narasi war on drugs sebagai strategi untuk menyelesaikan permasalahan narkotika adalah perbuatan sia-sia. Pun Portugal mengambil langkah konkret dengan memperlakukan pengguna narkotika sebagai pasien yang membutuhkan bantuan, bukan sebagai penjahat. Sehingga aparat penegak hukumnya bisa berkonsentrasi penuh dalam menumpas peredaran gelap narkotika.

Atas kebijakan ini, International Journal of Drug Policy pada tahun 2014, menemukan fakta bahwa Portugal bisa mengurangi biaya proses hukum sebesar 18%. Kemudian, presentase orang yang dipenjara karena tindak pidana narkotika juga menurun drastis sebanyak 43%. Dari data tersebut, Portugal berhasil membuktikan, meninggalkan pendekatan penghukuman (punitive) dapat mengatasi masalah narkotika sekaligus menghemat biaya proses hukum yang harus dikeluarkan oleh negara.

Berkaca dari Portugal, sudah saatnya Indonesia mengkaji dan mengevaluasi kebijakan narkotikanya. Pemerintah Indonesia harus mau terbuka pada alternatif selain pemidanaan. Tentu sudah seharusnya pemerintah mengakui strategi war on drugs adalah sebuah kegagalan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk proses hukum dari tahap penyidikan hingga menjalani penghukuman, tapi sama sekali tidak mengurangi jumlah terpidana narkotika, sepantasnya menjadi perhatian kebijakan yang serius.

Kembali ke konteks overcrowding, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly, sudah pernah mengeluhkan narapidana narkotika yang mendominasi seluruh lapas dan rutan. Saat kunjungan delegasi The Global Commission on Drug Policy pada 29 Januari 2020, Yasonna sedikit membocorkan rencana negara yang sedang mempertimbangkan pendekatan kesehatan untuk pengguna narkotika. Namun apabila pemerintah benar-benar serius mempertimbangkan hal ini, seharusnya narasi war on drugs tidak terdengar lagi.

Debat kebijakan narkotika tentu akan menjadi sangat sensitif, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Sudah saatnya negara membuka ruang dialog dan menghadirkan alternatif non pemidanaan untuk menangani masalah narkotika. Tentu revisi undang-undang narkotika, juga menjadi agenda penting yang selanjutnya perlu dilakukan.

Tulisan opini ini merupakan respon dari statement war on drugs dari Petrus Reinhard Golose (Kepala BNN RI). Tulisan ini ditulis oleh Kiki Marini – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat & Bertha Justice Fellowship di Indonesia.

Kristen Gray dan Kepanikan Moral Masyarakat

Seperti dikutip dari laman Kompas.Com pada 20 Januari lalu, asal mula kegaduhan ini dimulai saat Kristen Gray menggunggah sebuah tread di media sosial twitter sekitar tanggal 17 Januari 2021. Melalui akun miliknya @kristentootie, ia mengunggah tentang Bali yang sangat memberikan kenyamanan bagi LGBT serta mengajak orang asing untuk mengunjungi Bali di masa pandemi sekarang ini. Selain unggahan itu, ia juga diduga melakukan bisnis konsultasi dan juga menjual e-book dengan judul Our Bali Life is Yours yang disinyalir memiliki nilai ekonomis.

Postingan Gray tersebut pun menuai respon dari warganet (netizen) di Indonesia. Tentu saja, isinya pro dan kontra. Polemik tersebut kemudian mengarah pada trending di media sosial twitter lainnya yaitu #LGBT. Tak lama berselang, otoritas negara, melalui Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali merespon dan melakukan pemeriksaan terhadap Gray dan pasangannya. Setelah diperiksa oleh Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali, ia dan pasangannya mendapatkan sanksi administratif berupa deportasi. Dalam siaran persnya, terkait dengan pendeportasian Gray, Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali menyatakan Gray telah melanggar 2 hal, yaitu:

Pertama, soal memudahkan orang asing masuk ke Indonesia (Bali) bertentangan dengan Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 2 tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional dan Surat Edaran Dirjen Imigrasi Nomor:IMI-0103.GR.01.01 Tahun 2021 Tentang Pembatasan Sementara Orang Asing ke Wilayah Indonesia selama masa Pandemi Covid-19. Gray kemudian patut diduga melanggar Pasal 75 ayat 1serta Pasal 122 ayat (1) Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Untuk Pasal 122 ayat 1 adalah terkait dengan penyalahgunaan izin/visa milik Gray. Kedua, terkait dengan unggahan kalimat, LGBTQF (queer friendly) dimana provinsi Bali memberikan kenyamanan dan tidak mempersalahkan hal tersebut.

Apa yang dapat dicermati dalam Kasus ini?

Dalam alasan pertama Kanwil wilayah Bali, hal itu dapat dipahami sebagai alasan legal (legal reasoning) dan landas hukum (legal basis) untuk menindak pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh Gray. Dugaan pelanggarannya sudah barang tentu terkait memudahkan orang asing masuk ke Bali pada masa pandemi dan menyalahi visa kunjungan miliknya. Di mana, visa kunjungan miliknya itu tidak dibenarkan secara hukum untuk melakukan kegiatan yang sifatnya ekonomis di wilayah Indonesia.

Justru alasan kedua inilah yang kemudian menjadi penting untuk dicermati. Dari perspektif keilmuan, perbincangan mengenai LGBT baru-baru ini dapat dipahami sebagai kepanikan moral (moral panic). Stanley Cohen (2002) mendefinisikan kepanikan moral sebagai sebuah situasi ketika kelompok atau kondisi tertentu hadir sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang telah mapan di masyarakat (2002: 1). Kepanikan moral bisa berupa sebuah ancaman yang benar-benar baru, atau ancaman usang yang hadir dalam bentuk-bentuk yang telah berkembang, seperti ketakutan akan “Komunisme Gaya Baru”. Untuk mengerti bagaimana kepanikan moral terbentuk, kita perlu memahami konsep penyimpangan terlebih dahulu. Menurut Cohen, yang menyebabkan sebuah tindakan dikategorikan sebagai penyimpangan bukanlah kualitas atau konsekuensi dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sebuah tindakan sudah terlebih dahulu dikategorikan menjadi sebuah penyimpangan berdasarkan koordinat nilai-nilai masyarakat. Dengan kata lain, penyimpangan diciptakan oleh masyarakat itu sendiri (2002: 4)1.

Dalam konteks Indonesia saat ini, pendapat Cohen tentu ada benarnya. Persoalan isu LGBT sudah merupakan perdebatan panjang yang biner terjadi di sini. Biner antara baik dan buruk, neraka dan surga hingga moral dan amoral. Menilik pada survei SMRC yang dilakukan pada Maret 2016, September dan Desember 2017 dengan jumlah responden 1.220 orang. Hasilnya adalah 86,7 persen orang Indonesia menolak LGBT dan menganggap LGBT sebagai sebuah ancaman. Riset mandiri yang dilakukan Tirto.id pada juni 2019 turut mengunggapkan, jika mayoritas masyarakat Indonesia masih mengganggap LGBT adalah hal menyimpang dan harus mendapatkan pengobatan atau pencerahan agama. Kemungkinan besar, data riset di atas merupakan cerminan nilai mapan yang sudah dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Sehingga, cuitan Gray melalui twitter dianggap menciderai dan mengancam nilai-nilai yang sudah -dikatakan- mapan di masyarakat. Pantas saja responnya kemudian masif. Publik seakan-akan berlomba untuk menghakimi Gray, sembari mencoba menegakan nilai-nilai yang moral yang ada agar tidak tercedarai. Sebuah respon yang bahkan lebih masif daripada persoalan legal seorang Gray itu sendiri.

Yang turut disayangkan justru respon negara (yang diwakili Kanwil Hukum dan HAM Bali) dalam kasus Gray ini. Alih-alih menegakan peraturan perudangan terkait Covid-19 dan keimigrasian, mereka justru juga (seakan) berperan menjadi “polisi moral”. Peran itu tergambar jelas dari dijadikannya alasan unggahan kalimat LGBTQF sebagai kesalahan yang dilakukan Gray. Mereka seakan menjadi penegak dan pembela moral publik yang mayoritas mengecam cuitan Gray tersebut. Mungkin Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali tidak menyadari bahwa peran “polisi moral” itu akan menambah stigma dan posisi komunitas LGBT sebagai ancaman dan pembuat keresahan di tengah masyarakat. Kemudian, sudah dapat ditebak, tentu komunitas LGBT berpotensi menjadi korban dalam implikasinya kelak. Padahal, sampai saat ini, menjadi seorang LGBT bukanlah sebuah tindak kejahatan. Pantas saja kemudian Gray berkomentar kepada awak media, “I am not guilty. I have not overstay my visa. I have not made money in Indonesian, Rupiah, in Indonesia. I put on the statement about LGBT, and I am being deported because LGBT”.

Tulisan opini ini merupakan respon dari sikap Pemerintah dan publik terhadap kasus Kristen Gray. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat.

Referensi:
1. https://www.remotivi.or.id/amatan/271/kepanikan-moral-di-balik-perbincangan-tentang-lgbt

Yang Sering Terabaikan

“Aku tidak peduli dengan perempuan ini”. “Bagaimana dengan ibumu?” “Tentu aku sangat mencintainya”. Menjadi adil memang sulit.

Semasa kecil aku suka bertanya-tanya: kenapa kalau ibu yang sakit, rumah tampak berantakan sekali. Tumpukan baju dan piring yang tidak dicuci, lantai yang kotor, hingga tidak ada makanan yang siap disantap. Suatu waktu, untuk mengobati rasa penasaran, aku bertanya pada seorang teman, “Kalau ayahmu yang sakit kondisi rumahmu juga begitu?” Dia menggeleng.

Kemudian dia bilang, peran ibu sangat penting, makanya kalau ibu sakit pasti terasa. Jawaban ini sedikit melegakan, meski aku tidak benar-benar tahu apa peran ibu sebenarnya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah menyoalkan kenapa ibu bangun lebih pagi daripada anggota keluarga yang lain. Bagiku semata-mata inisiatif dan kerelaan ibu yang membuatnya membiasakan diri untuk bangun lebih awal.

Di umurku yang 13 tahun itu, aku masih belum paham kalau ibu adalah pemilik beban terbanyak di rumah. Tanggung jawab ibu yang ganda, di luar dan dalam rumah, sama sekali tidak pernah kulihat sebagai hal yang berat. Juga ketika ibu memutuskan untuk fokus urusan domestik, aku tidak menganggap pekerjaan ibu sama bobotnya dengan yang ayah lakukan.

Belum lagi para perempuan yang bekerja karena himpitan ekonomi. Aku tidak bisa membayangkan, para perempuan yang bekerja seharian, tidak mendapat upah yang sepadan dengan teman kerja laki-lakinya. Sementara, sudah tidak lagi punya suami dan harus menanggung kebutuhan anak-anaknya. Ah, membicarakan ini mengingatkanku pada seorang teman yang ibunya single parent.

Waktu itu sekitar 2012 temanku ini sakit di sekolah, ibunya datang menjemput dengan sepeda motor. Kepalang bannya kempes dan berjarak sekitar 4 km untuk menemukan tukang tambal. Adik bungsunya yang datang bersama diminta tetap duduk di atas sepeda motor, sementara dia diminta jalan sambil berpegangan.

Sekali waktu aku datang berkunjung ke rumahnya, dia cerita kalau adiknya beberapa hari lalu menangis, minta sepatu mahal bergambar Frozen yang lagi marak.  Kendati tak ada anggaran lebih untuk pengeluaran di bulan itu, ibunya tetap membelikannya. “Ibu mau anak-anak ibu bahagia dan merasa tercukupi, seperti teman-temannya yang punya orang tua lengkap”, ucapnya menirukan kalimat ibunya. Aku hanya bisa terdiam tanpa kata mendengarnya.

Dari kejadian ini, aku bertambah respect terhadap kaumku sendiri. Namun aku belum bisa membawa ‘pisau’ ini untuk melihat keadaan seluruh perempuan. Ya, aku harus mengakui ini. Beberapa waktu lalu, aku sempat ogah-ogahan ketika diminta untuk menangani kasus perempuan yang terlibat tindak pidana narkotika. “Dia memang mau menjual narkotika. Bagian mana yang harus kubela”, gumamku saat itu.

Aku seakan tak mau tahu, faktor dan latar belakang yang mendorongnya berbuat pidana. Untungnya meski tidak terlalu semangat, aku tetap datang berkunjung ke rumah tahanan dan memintanya bercerita. Sungguh tidak sesederhana yang aku pikirkan. Pendidikan dan kemampuan finansial yang rendah, korban kekerasan seksual, tidak merasa aman di rumah, adalah bagian-bagian penting yang jarang diperhitungkan. Beban gender yang berlapis berkelindan dengan pagannya kultur patriarki seolah menenggelamkan harapan akan keadilan baginya.

Majelis hakimnya yang didominasi oleh perempuan, tidak menjamin untuk sensitif terhadap persoalan perempuan. Alih-alih mempertimbangkan hal di luar tindak pidananya, malah sibuk memberi cap untuk perbuatannya. Sesekali aku putus asa dan tidak jarang merasa sia-sia. Sulit memang mengajak seseorang untuk melihat penderitaan orang lain, apalagi ketika ia sudah mendapat ‘surga’ dari lahir atau akses apapun yang istimewa.

Namun ada sedikit kabar baik, setidaknya menjadi obat, ada teman yang juga mau bersama-sama berjuang di jalan ini. Dan teman berjuangku bukan hanya satu orang. Desember 2019 lalu untuk pertama kalinya di Indonesia, bahkan di Asia Pasifik, para perempuan berkumpul, membicarakan perempuan dan kerentanannya terjerat tindak pidana yang terancam hukuman mati. Kami juga bersepakat menyalakan harapan. Tidak pernah sebangga ini aku menjadi perempuan.

Bersama Death Penalty Worldwide di Cornell University dan Harm Reduction International, LBH Masyarakat mengorganisir pertemuan tersebut. Di sana aku belajar soal kerentanan perempuan yang selalu menjadi sasaran sindikat kejahatan. Di antaranya trauma kekerasan rumah tangga masa lalu, besarnya tanggungan keluarga, pengaruh dan iming-iming pasangan, dan bekerja jauh ke negara asing tanpa bekal pengetahuan, bahasa yang mencukupi maupun pertemanan.

Sedihnya, derita para perempuan itu tak terhenti di sini. Kondisi penjara juga tidak memihak pada mereka. Seperti kunjungan keluarga yang terbatas, akses kesehatan yang jauh dari memadai, pemenuhan kebutuhan dasar yang minim, keterisolasian dalam penjara yang berdampak pada kesehatan jiwa, reniknya ruang privasi,belum lagi tindak pidana terancam hukuman mati menciptakan stigma dan bebannya sendiri.

Menjadi perempuan memang penuh dengan kerentanan, mudah mendapat cap buruk, dan kerap dinomorduakan. Sebab, lingkungan ini memang tidak banyak memihak perempuan: melanggengkan batas, mempersempit gerak, dan membungkam suara. Namun menjadi perempuan bukanlah sesuatu yang perlu disesali.

Semoga kegelisahanku, bisa menjadi kegelisahanmu, dan itu menjadi milik bersama. Semoga suara-suara perempuan terus terdengar dan bermunculan. Keadilan mereka yang terenggut, bisa terpenuhi. Ruang yang setara, bisa diciptakan. Juga bisa mengajak orang lain untuk peka dan peduli isu-isu perempuan lebih banyak lagi, terutama mereka yang berhadapan dengan regu penembak.

Penulis: Aisya Humaida
Editor: Ricky Gunawan

Penerjemah, Terdakwa, Hukuman Mati: Para Penyambung Harapan.

Ketika saya sedang membaca-baca artikel di dunia maya, saya menemukan sebuah artikel menarik tentang Warga Negara Asing (WNA) yang terjerat kasus narkotika yang menjadi seorang drug mule yang harus berhadapan dengan hukum di Indonesia. Fenomena drug mules sepertinya menjadi tren untuk menyelundupkan narkotika secara ilegal, dan melibatkan perempuan dan laki-laki. Untuk keterlibatan perempuan sendiri pertama kali tercatat pada 30 tahun lalu. Namun, contoh-contoh yang tercatat tentang peran perempuan itu sudah ada selama 100 tahun.[1]

Keterlibatan peran perempuan menjadi drug mules, menurut sejumlah studi, menunjukkan bahwa perempuan berada dalam situasi yang mengharuskannya menjadi kurir (drug mules) karena pemaksaan dan intimidasi, baik itu secara tidak sadar (ditipu/diperdaya) atau melakukannya secara sukarela.[2] Selain karena paksaan, mereka melakukannya (menjadi kurir) karena kompensasi finansial yang mereka dapat.[3] Laporan International Drug Policy Consotrium (IDPC) menyebutkan sekitar 2% perempuan yang ada dalam tahanan di Indonesia terlibat dalam kasus drug mules.[4] Keterlibatan mereka dibarengi dengan ketidaktahuan mereka akan konsekuensi hukum yang menantinya. Selama ini para sindikat kerap mengeksploitasi perempuan karena mereka jarang dicurigai oleh aparat penegak hukum.[5]

Laporan IDPC juga menyebutkan bahwa 53% perempuan mengakui adanya keterlibatan laki-laki, sedangkan 27% mengakui mereka dipengaruhi oleh pasangannya.[6] Hal di atas membuktikan bahwa perempuan yang terjerat kasus narkotika sebagai kurir (drug mules) selama ini adalah korban. Tapi sayangnya aparat penegak hukum kerap tidak menempatkan perempuan sebagai korban.[7]

LBH Masyarakat (LBHM) sendiri pernah menangani satu kasus yang berkaitan dengan perempuan dan narkotika. Kasus ini melibatkan WNA asal Kyrgyzstan yang bernama Zhibek Sakeeva. Ia ditangkap dan ditahan karena kedapatan membawa narkotika di dalam tasnya. Zhibek mengatakan dalam pembelaannya bahwa ia tidak tahu menahu soal narkotika itu. Yang ia tahu adalah jika berhasil membawa tas itu ia akan mendapat imbalan. Kendala bahasa menjadi kedala utama untuk melakukan pemeriksaan terhadap Zhibek. Zhibek hanya mengerti Bahasa Rusia dan tidak cakap dalam berbahasa Inggris, apalagi Indonesia. Hingga akhirnya pihak kepolisian mendatangkan penerjemah yang mendampingi Zhibek selama proses hukum berlangsung. Menurut kuasa hukum Zhibek, penerjemah mempunyai peran sangat penting dalam kasus Zhibek. Penerjemah juga memiliki peran untuk dapat melindungi dan menjaga hak Zhibek, dan menghindarkannya dari tindakan diskriminatif dan tindakan kekerasan yang bisa terjadi kapanpun. Apalagi Zhibek sebagai perempuan sangat rentan mengalami hal tersebut.

Ada hal menarik yang bisa ditarik dari kasus Zhibek ini, yaitu bagaimana peran penerjemah dalam proses hukum. Peran penerjemah dalam hukum acara pidana sendiri sudah diatur dalam KUHAP yakni melalui Pasal 177 (1): “Jika terdakwa atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.[8]  Pasal 51 serta Pasal 53 (1) KUHAP menyebutkan bahwa, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa…”.[9]

Jika persoalan penerjemah sudah diatur dalam KUHAP, lantas bagaimana dengan implementasinya di lapangan? Mari kita tengok beberapa tahun terakhir, dimulai dari kasus Mary Jane Fiesta Veloso (selanjutnya dipanggil Marry Jane). Marry Jane merupakan terpidana mati asal Filipina. Ia menjadi contoh gagalnya pemenuhan hak fair trial bagi seorang terpidana. Selama di persidangan antara Juli dan Oktober 2010, ia hanya mendapatkan seorang penerjemah Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Sedangkan Marry Jane sendiri hanya mengerti Bahasa Tagalog. Penerjemahnya pun merupakan seorang mahasiswa perguruan tinggi.[10] Selain itu, terpidana mati Raheem Agbaje Salami juga menjadi korban unfair trial. Menurut keterangan kuasa hukumnya, kliennya tidak didampingi penerjemah selama interogasi polisi. Selama persidangan dia hanya menerima penerjemahan yang terputus-putus dalam Bahasa Inggris, bahasa yang tidak dipahaminya dengan baik.[11] Adapun kasus lainnya, terpidana mati Rodrigo Gularte, dipaksa menandatangani dokumen yang ia sendiri tidak mengetahui tujuannya untuk apa dan tanpa didampingi kuasa hukum ataupun penerjemah.[12] Apa yang menimpa pada Marry Jane, Raheem Agbaje dan Rodrigo Gularte merupakan kegagalan penegak hukum untuk menjamin terpenuhinya fair trial bagi orang yang yang berhadapan dengan hukuman mati/eksekusi[13], khususnya memberikan penerjemah yang layak dan kompeten.

Salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus-kasus di atas adalah, keberadaan seorang penerjemah sangatlah penting ketika memberikan pendampingan bagi WNA yang berhadapan dengan hukum – terlebih di kasus hukuman mati. Penerjemah juga bisa melihat apakah tersangka/terdakwa yang dia damping sudah dipenuhinya hak hukumnya atau belum. Penerjemah pun dapat menjadi seorang teman, karena kedekatannya dengan tersangka/terdakwa, membuat penerjemah dapat memahami permasalahan batin yang dialami mereka.

Berkaca pada kasus Marry Jane, Rodrigo Gularte dan Raheem Agbaje yang selama masa tahanan dan peradilan tidak mendapatkan penerjemah yang berkompeten, akhirnya membuat mereka berhadapan dengan eksekusi. Sudah sepatutnya pemerintah mulai memperhatikan dan memenuhi hak-hak orang yang berhadapan dengan hukuman mati. Khususnya yang berkewarganegaraan asing yang membutuhkan kebutuhan khusus yakni bantuan penerjemah.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1] Jennifer Fleetwood, Drug Mules: Women in the International Cocaine Trade, 2014, Hlm. 5

[2] UNODC, World Drug Reports: Women And Drugs Report 2018, Hlm. 29

[3] Ibid., UNODC, Hlm. 28

[4] Marry Catherine A. Alvarez, “Women, Incarceration and Drug Policy in Indonesia: Promoting Humane and Effective Responses”, Maret 2019, Hlm. 9

[5] Stephanie Martel, “The Recruitment of Female “Mules” by Transnational Criminal Organizations: Securitization of Drug Trafficking in the Philippines and Beyond”, Agustus 2013, Hlm. 25

[6] Op.cit,. Marry Catherine A. Alvarez, Hlm. 8

[7] Op.cit,. Stephanie Martel, Hlm. 29

[8] Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), Pasal 177.

[9] Ibid., Pasal 53 (1)

[10] Amnesty Internasional, Laporan: ‘Keadilan Yang Cacat: Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia’, 2015, Hlm. 42

[11] Ibid., Amnesty Internasional, Hlm. 42

[12] Wawancara dengan Ricky Gunawan, Direktur LBHM, salah satu pengacara Rodrigo Gularte.

[13] Lihat Ricky Gunawan dkk, ‘Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan Dengan Hukuman Mati’, LBHM, Maret 2019,

Apa Kabar Kebijakan Narkotika

Waktunya Dekriminalisasi Narkotika?

Orang yang menggunakan narkotika juga manusia, tidak ada bedanya dengan saya, kamu, mereka dan dia. Mereka mempunyai hak yang sama seperti orang lain. Di negara seperti Indonesia, pemerintah menempatkan pengguna narkotika harus berjuang dalam mempertahankan hak-haknya dari kebijakan narkotika yang belum mendukung pengguna narkotika. Imbas dari kebijakan punitif ini membuat mereka harus berhadapan dengan risiko-risiko seperti kriminalisasi, pemenjaraan, dan stigma. Kebijakan punitif ini sangat jauh dari kesan humanis. Selama ini unsur-unsur yang melanggar hak asasi manusia (HAM) masih kerap ditemui dalam proses penerapan kebijakan narkotika Indonesia. Bukankah suatu kebijakan yang efektif itu dibuat untuk mampu menyelesaikan masalah bukan malah menambah dan menambal masalah?

Setiap negara tentu mempunyai sikap dan cara berbeda-beda untuk mengatasi permasalahan narkotika. Tetapi ketika ada pelajaran yang baik yang bisa dipetik dari negara lain, mengapa kita tidak melakukannya? Ambil contoh misalnya beberapa wilayah negara bagian Australia yang secara sistem hukum sudah menjalankan dekriminalisasi narkotika. Hal mana yang telah memberikan manfaat, terbukti dengan pemenjaraan di Australia kurang dari 1% terhadap individu yang menguasai dan menggunakan narkotika.[1] Manfaat lain dekriminalisasi di Australia ialah berhasil menjauhkan pengguna dari sistem peradilan pidana, menurunkan angka hukuman pidana, serta menurunkan angka pelaporan penggunaan cannabis yang turun hingga lebih dari 9.000[2]. Ketika negara seperti Australia sudah menikmati dekriminalisasi, Indonesia sendiri masih bersikukuh mempertahankan pendekatan punitif yang tidak hanya menyasar pengedar tetapi juga pengguna narkotika. Salah satu dampak dari kebijakan yang punitif adalah kapasitas lembaga pemasyarakatan yang menjadi semakin terbebani (overcrowding). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, pada Desember 2018, mengemukakan bahwa lebih dari 50% narapidana di Indonesia adalah kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 41.000 di antaranya diidentifikasi sebagai pengguna narkotika.[3] Jumlah ini mengantarkan Indonesia mencapai overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas) sebesar 203% per tahun 2018.[4]

War on Drugs = Membunuh

Kebijakan narkotika yang berbasis mendukung bukan menghukum kini sudah menjadi perhatian negara-negara internasional. Di Asia Tenggara sendiri perubahan mulai terasa. Thailand menjadi negara pertama yang mulai melegalkan ganja medis.[5] Selain itu negara jiran Malaysia sedang merancang untuk mulai menghapus hukuman mati – keseriusan Malaysia dibuktikan dengan membatalkan vonis hukuman mati kepada pria yang menjual minyak ganja.[6] Di saat yang lain sudah mulai mengubah arah kebijakannya, Indonesia masih tetap ‘jalan di tempat’ dengan kebijakan ‘usang’ yang rentan melanggar HAM. Masih teringat pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun 2015, yang mengatakan pengedar dan penyalahguna narkotika harus ‘digebukin’ rame-rame[7]. Di 2017, Jokowi juga menginstruksikan untuk menembak mati para ‘pengedar’.[8] Sepanjang 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan praktik tembak mati di tempat yang memakan korban 79 orang meninggal.[9] Data LBHM sendiri mengungkapkan bahwa korban dari kebijakan tembak di tempat di kasus nakrotika ini telah memakan korban 215 orang, dengan 99 orang di antaranya meninggal dunia.[10] Kebijakan yang meniru gaya keras milik Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang menuai polemik karena melanggar HAM, nyata-nyata melangkahi proses hukum, dan tidak mengindahkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).

Sebelum kebijakan tembak mati di tempat, keputusan buruk Pemerintah Indonesia lainnya dalam penanganan narkotika adalah eksekusi mati. Masih segar dalam ingatan, selama periode 2015-2016 sudah ada tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa total 18 orang yang kesemuanya adalah terpidana mati narkotika. Indonesia masih menafsirkan kejahatan narkotika sebagai kejahatan serius, padahal dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, tindak pidana narkotika tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan paling serius (most serious crime), karena tidak mengandung elemen menghilangkan nyawa secara langsung dan mematikan.[11] Efek jera atau penggentar juga kerap dijadikan legitimasi untuk menjatuhkan hukuman mati. Padahal, tidak ada penelitian-penelitian empiris yang secara konsisten memperlihatkan bahwa hukuman mati tidak terbukti efektif menggentarkan kejahatan dibandingkan bentuk hukuman lainnya. Selama ini hukuman mati telah ditopang oleh sebuah dasar yang tidak kokoh yakni kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati, sebagai bentuk hukuman yang paling keras di dalam menurunkan angka kejahatan.[12]

Kedua kebijakan di atas – tembak di tempat dan eksekusi mati – sesungguhnya tidak pernah terbukti berhasil menurunkan angka kejahatan narkotika selama beberapa tahun ini. Peredaran gelap narkotika masih marak. Di samping itu, kebijakan berdarah tersebut sesungguhnya juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28A yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”[13] Selain melanggar hak hidup, kedua kebijakan tersebut menjauhkan terpidana untuk mendapatkan hak peradilan yang adil (fair trial).

Dekriminalisasi adalah kunci

Pidato Jokowi tentang ‘gebuk’ pengedar dan penyalahguna narkotika di tahun 2015, seakan menjadi restu dari presiden untuk memberantas kejahatan narkotika dengan cara yang membabi buta. Sayangnya hal ini tidak berimbas banyak dalam mengurangi angka kejahatan narkotika. Malah angkanya setiap tahun bertambah, sebagaimana bisa dilihat dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) jumlah narapidana narkotika meningkat drastis dari 64.711 orang pada Oktober 2014 menjadi 117.553 pada Mei 2019 – hampir dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun.[14] Ketidakefektifan pemidanaan berjalan seiring dengan kerentanan unfair trial dalam kasus narkotika. Rodrigo Gularte dan Merry Utami adalah sedikit dari banyak contoh kasus ketidakadilan hukum di kasus narkotika. Rodrigo Gularte divonis hukuman mati dan kemudian dieksekusi mati. Ia menderita kelainan otak cerebral disrythimia, serta  bipolar affective disorder .[15] Padahal Pasal 44 KUHP menegaskan orang yang mengalami gangguan jiwa tidak bisa dipidana.[16] Sedangkan untuk kasus Meri Utami, dia tetap divonis hukuman mati walaupun dia adalah seorang perempuan yang menjadi korban eksploitasi sindikat gelap. Kerentanan seperti ini sayangnya masih belum dipertimbangkan oleh hakim.[17]

Lantas adakah alternatif lain ketika kriminalisasi narkotika gagal menyelesaikan permasalahan kejahatan narkotika? Jawabannya ada, yakni dekriminalisasi.

Apa itu dekriminalisasi?  Dekriminalisasi adalah suatu penetapan atas perbuatan yang dulunya perbuatan pidana menjadi bukan perbuatan pidana.[18] Pendekatan dekriminalisasi ini merupakan respons terhadap beban ekonomi dan sosial dari pendekatan punitif yang dilakukan. Manfaat dari penerapan kebijakan ini antara lain mengurangi biaya penegakan hukum, dan pengurangan dampak buruk yang diderita pengguna narkotika.[19]

Portugal merupakan negara pertama yang melakukan dekriminalisasi pemakaian narkotika tahun 2001 dan lebih banyak memfokuskan pada pengurangan dampak buruk narkotika serta pendekatan kesehatan.[20] Keseriusan pemerintah Portugal mendorong dekriminalisasi berimbas pada penurunan angka kejahatan narkotika dari 14.000/tahun di tahun 2000 menjadi 5.000-5.500/tahunnya.[21] Dekriminalisasi juga mengurangi biaya sosial (kesehatan) serta menekan angka penyebaran HIV AIDS dan Tuberculosis.[22]

Selain itu, Kosta Rika juga melakukan dekriminalisasi penguasaan narkotika pribadi tahun 1988. Peru mendekriminalisasi penguasaan narkotika pribadi di 2010. Republik Ceko melakukan hal yang sama di 2013. Serta Uruguay dengan melegalisasi ganja untuk alasan rekreasional  di 2017.[23]

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa dekriminalisasi sulit terwujud di Indonesia? Selama ini isu narkotika kerap dijadikan komoditas politik oleh pihak tertentu baik untuk mempertahankan kekuasaan maupun ‘bermain’, dalam hal ini adalah memeras pengguna narkotika secara material. Setidaknya ada tiga hal yang membuat dekriminalisasi narkotika sulit terwujud. Pertama, stigma kepada pengguna narkotika. Label yang sering disematkan adalah pengguna merupakan kriminal, yang sangat disayangkan lagi adalah ternyata pemerintah ikut andil dalam melanggengkan stigma tersebut seperti “Narkotika juga secara nyata dapat memicu kejahatan lainnya, seperti pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan…”[24]. Ketika pengguna narkotika masih harus menyandang stigma sebagai ‘kriminal’, langkah untuk mendekriminalisasi – atau memutar balik status tersebut – berhadapan dengan dinding besar. Kedua, kebijakan narkotika yang punitif. UU Narkotika masih menganut semangat menghukum (punitive) dibanding mendukung. Hal ini tercermin dalam hukuman mati yang masih dipercayai dapat memberikan efek gentar. Faktanya, setelah eksekusi mati dilaksanakan 2015 & 2016, kasus narkotika naik 22%  pada awal Januari 2019. Situasi lingkungan hukum yang punitif hanya akan mempersulit terciptanya dekriminalisasi karena institusi, kultur, dan praktik hukum yang by nature cenderung menghukum. Ketiga, layanan kesehatan yang ada saat ini masih kurang mendukung untuk terlaksananya layanan pengurangan dampak buruk narkotika (harm reduction). Dekriminalisasi narkotika tidak bisa berdiri sendiri, dia membutuhkan layanan kesehatan yang juga efektif, optimal dan komprehensif, bagi pengguna narkotika. Keberadaan layanan harm reduction menjadi salah satu pelengkap penting bagi dekriminalisasi, guna menjamin pemenuhan hak atas kesehatan pengguna narkotika.

Sayangnya paham kriminalisasi narkotika masih berdiri di atas kepercayaan yang tak beralasan bahwa narkotika merusak generasi bangsa. Negara masih terus mereproduksi narasi tersebut dan menjadikannya sebagai alat politik untuk melegitimasi kekuasaan. Sebab, pernyataan seperti ‘menggebuk pengguna narkotika’ tentu dapat terlihat heroik karena dipandang telah ‘menyelamatkan’ bangsa.

Seyogyanya pemerintah harus mulai membuka mata bahwa selama ini ada yang salah dari kebijakan narkotika di Indonesia. Kebijakan punitif yang sudah berjalan lebih dari empat dekade, seharusnya menyadarkan pemerintah untuk mulai merefleksikan kembali kebijakan narkotikanya. Alih-alih menyelesaikan permasalahan narkotika, pemerintah justru malah menambah masalah baru seperti overcrowding dalam penjara, serta memperpanjang deret pelanggaran HAM. Pemerintah harus mulai mengkaji kebijakan humanis yang diterapkan oleh negara lain dalam merespon permasalahan narkotika. Momen satu dekade Undang-Undang Narkotika Nomor 35/2009 juga di tahun ini juga perlu menyadarkan pemerintah bahwa ‘war on drugs’ yang selama ini terus menerus digaungkan bukanlah solusi menyelesaikan kejahatan narkotika. Bukannya menyelamatkan anak bangsa, pemerintah malah merusak masa depan anak bangsa dengan memenjarakan dan menghukumnya secara kejam.

Penjara bukan solusi. Pengguna narkotika harus didukung bukan dihukum!

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1] Release, ‘A Quiet Revolution – Decriminalisation Across the Globe’, 2016, Hlm. 17

[2] Ibid., Hlm. 14.

[3] LBHM, ‘10 Tahun UU Narkotika : Momentum Revisi Kebijakan Narkotika’, 26 Juni 2019, diakses 30 Juni 2019 melalui https://lbhmasyarakat.org/rilis-lbhm-10-tahun-uu-narkotika-momentum-revisi-kebijakan-narkotika/

[4] Ibid.

[5] VICE, ‘Thailand Is About to Legalize Medical Marijuana and It Could Change Everything’, 24 Oktober 2018, diakses 30 Juni 2019, melalui https://www.vice.com/en_asia/article/3kygb3/thailand-is-about-to-legalize-medical-marijuana-and-it-could-change-everything?utm_campaign=sharebutton

[6] Kompas.com, ‘Mahatir Minta Hukuman Mati Penjual Minyak Ganja Ditinjau Ulang’, 18 September 2018, diakses 30 Juni 2019, melalui https://internasional.kompas.com/read/2018/09/18/19550341/mahathir-minta-hukuman-mati-penjual-minyak-ganja-ditinjau-ulang

[7] Detik.com, ‘Jokowi ke Kabareskrim: Pengedar Kita Gebukin Ramai-ramai, Gimana?’, 3 Oktober 2017, diakses pada 28 Juni 2019 melalui https://news.detik.com/berita/d-3668139/jokowi-ke-kabareskrim-pengedar-kita-gebukin-ramai-ramai-gimana

[8] Kompas.com, ‘Jokowi : Saya Sudah Katakan, tembak di Tempat Saja’ 21 Juli 2017, dikases pada 28 Juni 2019, melalui https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/17295801/jokowi–saya-sudah-katakan-tembak-di-tempat-saja-

[9] Tempo.co, ‘Sepanjang 2017, BNN Tembak Mati 79 Bandar Narkoba’, 27 Desember 2017, diakses pada 30 Juni 2019, melalui https://nasional.tempo.co/read/1045478/sepanjang-2017-bnn-tembak-mati-79-bandar-narkoba/full&view=ok

[10] Ma’ruf Bajamal, ‘Seri Monitoring dan Dokumentasi: Menggugat Tembak Mati Narkotika’, Juni 2018, LBHM, Hlm. 7

[11] Ricky Gunawan dkk, ‘Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan Dengan Hukuman Mati’, Maret 2019, Hlm. 3

[12] Tengku Raka, ‘Hukuman Mati dan Terorisme’, 22 April 2019 diakses pada 30 Juni 2019, melalui https://lbhmasyarakat.org/hukuman-mati-dan-terorisme/

[13] Ibid.

[14] Choky Ramadhan dkk, ‘Hari Anti Narkotika Internasional: Para Ahli Sarankan Jangan penjarakan Pengguna Narkotika’ 26 Juni 2019, The Conversation, diakses pada 1 Juli 2019, melalui https://theconversation.com/hari-anti-narkotika-internasional-para-ahli-sarankan-jangan-penjarakan-pengguna-narkotika-119452

[15] Naila Rizky Zaqiah dan Albert Wirya, ‘Rodrigo Gularte: Sebuah Mimpi di Ujung Laras Panjang’ 17 Desember 2015, diakses pada 15 Juli 2019, melalui https://lbhmasyarakat.org/rodrigo-gularte-sebuah-mimpi-di-ujung-laras-panjang/

[16] Ging Ginanjar, ‘Dikecam, Rencana Eksekusi Penderita Gangguan Mental’ 5 Maret 2015, BBC Indonesia, diakses pada 15 Juli 2015, melalui https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/03/150305_eksekusi_rodrigo_protes

[17] Muhammad Afif Abdul Qoyim, ‘Merry Utami: Menyurati Hidup’ diakses pada 1 Juli 2019, 15 Agustus 2016, melalui https://lbhmasyarakat.org/merri-utami-menyurati-hidup/

[18] Op.Cit, Choky Ramadhan dkk, di The Conversation.

[19] Ibid.

[20] Op.Cit., Release,  A Quiet Revolution, Hlm. 28.

[21] Ibid.

[22] Ibid., Hlm. 30.

[23] Avinash Tharoor, ‘Map: Drug Decriminalisation Around the World’, 23 Juni 2018, diakses 29 Juli 2019, melalui  https://www.talkingdrugs.org/decriminalisation

[24] Bappenas, ‘Narasi Tunggal: Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2017’ 13 Juli 2017, diakses pada 3 Juli 2019, melalui https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/narasi-tunggal-hari-anti-narkotika-internasional-hani-2017/

Lasagna: Pemaknaan Hidup, Perayaan Kematian

Orang bilang panjangnya umur tidak ada yang tahu, tapi bagaimana bila kematianmu bukan lagi sebuah teka-teki?

Film : Lasagna: Eve Without Adam

Sutradara : Adi Victory

Produser : Daniel Victory

Pemain : Vonny Anggraini, Yayu Unru, Teuku Rifnu Wikana

“Film ini berangkat dari keresahan saya tentang hal ditinggalkan dan meninggalkan,” ucap Adi Victory pada special screening Lasagna awal Mei lalu.  Sebuah pengantar yang sangat ‘ringan’ dalam mempersilakan penonton menyaksikan film peraih juara pertama Europe on Screen 2018: Short Film Pitch Project ini. Detik itu juga saya menebak-nebak ramuan apa yang telah Adi buat untuk membuat Lasagna berbeda dengan cerita romansa lain.

Adi menampilkan Mirna (Vonny Anggraini) yang sedang memasak lasagna sebagai adegan pembuka. Dari cara Mirna memasak, tersirat bahwa lasagna bukanlah sekadar makanan biasa. Seakan ada sebuah kisah yang tidak bisa dilepaskan Mirna dari makanan khas Italia itu. Mulai di titik inilah ‘gila’ ‘keren’, menjadi kata yang sering saya ucap dalam hati sepanjang menikmati karya Adi tersebut.

Melalui adegan perjalanan laut yang akan membawa Mirna menemui suaminya, Rudi Fernando Simbolon (Yayu Unru), latar belakang Mirna mulai diungkap. Di perahu yang ditumpanginya, Mirna bertemu dengan turis Italia. Kemudian Mirna bercerita telah menghabiskan waktu tujuh tahun di negara mereka. Di tempat itu pula Mirna bertemu dengan kekasih hatinya dan menjadikan lasagna sebagai makanan favorit.

Meski berusaha menyampaikan betapa indah kisah cinta miliknya dengan intonasi yang membahagiakan, Mirna tidak bisa menyembunyikan getir di wajahnya. Perjalanan laut yang harus Mirna tempuh untuk menemui suaminya adalah penanda bahwa Mirna tak tinggal bersama dengan tambatan hatinya lagi. Rudi harus mendekam di penjara yang memiliki pengamanan sangat ketat dan sedang menunggu eksekusi hukuman mati.

Mirna dan Rudi punya cara masing-masing untuk mengibur diri. Mirna kerap mengajak memorinya untuk memutar ulang kenangan indah bersama Rudi. Namun Mirna tak bisa mungkir dalam hisapan rokoknya yang berat ada tanda keputusasaan menjalani hidup. Sedangkan Rudi meluapkan rindunya pada Mirna melalui bait puisi. Pada aksara yang disusunnya, Rudi ‘mengekalkan’ perasaannya terhadap kekasihnya.

 “Meski di ujung jalan setiap orang pasti akan pergi, aku harap kamu tidak begitu. Dalam tidurku, aku selalu menyebutmu. Selalu begitu….” 

“Ada bayang-bayang kekasihku yang setia memeluk. Jangan tidur dulu, belum saatnya: ti amo, bisiknya di telingaku…”

Melihat Rudi yang berusaha tegar dalam menjalani hukuman, juga sikap Mirna yang tidak berhenti iba melihat keadaan Rudi, hati saya sesak rasanya. Ditambah lagi ucapan Mirna yang cukup mengejutkan ketika Rudi meminta untuk dikunjungi sekali lagi sebelum eksekusi mati. “Bahkan kau dihukum untuk perbuatan yang tidak kau lakukan,” begitu kira-kira kalimat Mirna.

Sesak, marah dan geram berkecamuk melihat ketidakadilan hidup yang mereka terima. Ingin rasanya melampiaskan marah pada Rudi yang berusaha legawa, tapi dialah korbannya. Melayangkan protes pada pemerintah pun tak berarti apa-apa. Hidup Mirna dan Rudi tidak dihadapkan pada pilihan apapun. Merapal doa dan memohon keajaiban terhindar dari peluru eksekusi menjadi satu-satunya usaha, meski hal itu mustahil terjadi.

Rudi memang tak punya cara untuk menghindari kematian, tapi dia tidak kehabisan akal untuk merayakannya. Pada kunjungan terakhirnya Rudi meminta Mirna untuk membawakan lasagna. Permintaan ini mengingatkan saya pada Stanley Baker, Jr., terpidana mati kasus pembunuhan asal Amerika Serikat yang meminta 10 jenis makanan untuk sarapan terakhirnya. Rudi dan Stanley tampaknya punya kesamaan dalam berdamai dengan kematian yang tidak diinginkan.

Derita Mirna tak terhenti pada itu saja, melewati petugas pemeriksaan penjara, Suryanto (Teuku Rifnu Wikana) juga tak kalah menyebalkannya. Ada ‘harga’ yang harus dibayar untuk tambahan waktu di pertemuan terakhirnya dengan Rudi. Sialnya kali ini bukan bernilai uang, Suryanto meminta Mirna untuk memuaskan nafsunya. Mirna tak punya pilihan, dia hanya bisa membersihkan bagian tubuhnya berkali-kali kemudian.

Tingkah Suryanto benar-benar membuat saya sakit hati. Pun rasanya tak sanggup melihat Mirna yang berusaha tegar di hadapan Rudi, padahal kejadian pahit baru saja dialaminya. Di pertemuan terakhirnya itu, Rudi dan Mirna saling menatap lekat-lekat. Meski tak banyak kata yang diucap, perasaan cinta mereka sangat terlihat begitu mendalam. “Terima kasih sudah membawakan lasagna untuk terakhir kalinya,” ujar Rudi.

Sebelum mengakhiri pertemuannya, Mirna mengungkapkan perasaannya pada Rudi, “Membiarkanmu dibunuh bagai rusa adalah hal yang sulit.” Seketika itu saya terenyuh, perasaan Mirna perasaan saya juga, dan mungkin kita semua. Saya yakin tak seorang pun rela hidupnya dirampas begitu saja. Ditambah lagi, kalau harus menanggung beban kesalahan atas perbuatan yang tak pernah dilakukan. Dan tentu, mungkin yang terburuk, harus dipisahkan dengan tragis dari orang-orang yang dicinta dan mencintainya.

Lasagna benar-benar bukan sekadar romansa biasa. Persoalan kompleks manusia terungkap di sini. Pada Lasagna saya belajar menghargai hidup dengan cara paling sederhana. Tanpa perlu penuturan panjang dan mempelajari literatur yang kata orang membosankan, saya tersadar bahwa setiap manusia memiliki arti. Saya merasa harus berterima kasih pada Lasagna telah hadir di tengah persoalan pelik kemanusiaan dan mengajarkan arti penting kehidupan. Ketika hari-hari ini kemanusiaan kita begitu gersang, Lasagna hadir bak oase mengingatkan kita pentingnya penghormatan terhadap manusia.

Dengan durasi yang pendek, keutuhan cerita Lasagna patut diacungi jempol. Menampilkan kisah masa lalu melalui percakapan pendek dengan orang asing sungguh di luar praduga. Cara Mirna memaparkan fakta hukuman mati banyak menjerat orang tidak bersalah menjadi hal yang paling apik. Tanpa perlu narasi panjang, cukup dengan satu kalimat dan raut Mirna yang menahan amarah masalah utama hukuman mati dapat diketahui oleh khalayak.

Film ini memang tidak menghadirkan banyak dialog. Sinematografinya juga sederhana, namun indah dan tetap membangkitkan emosi. Gelap untuk kehidupan di penjara, dan terang untuk sebaliknya. Sebuah pengambilan yang menarik untuk mengajak penonton mensyukuri kebebasan sekaligus merasakan derita di balik jeruji. Pun easter egg yang ada menandakan betapa detailnya penggarapan Lasagna.

Saya berharap ada banyak pasang mata yang bersedia menonton Lasagna. Merasakan sepi dan ‘sakit’ yang dialami Rudi. Menyaksikan Lasagna adalah sebuah ikhtiar untuk bersolidaritas pada Rudi-Rudi di luar sana, yang menjadi korban ketidakadilan dari bobroknya hukum dan beban sanksi mematikan. Juga sebagai wujud menemani Mirna-Mirna lain yang tengah melipur lara dan mengobati rindu pada cintanya yang dalam ambang kematian. Atau mungkin saja ada yang ingin melakukan hal serupa Rudi, menitipkan hidup dan kekasihnya pada lasagna.

“Ajari aku, adakah cara merawat rindu?

Agar suatu saat nanti, ada caraku untuk membawamu kembali…”

Penulis: Aisya Humaida

Editor: Ricky Gunawan

Ada Keadilan pada Nasi Padang

Siang Itu.

Jakarta sedang panas-panasnya. Dan saya, seperti banyak orang lain, disibukkan dengan pekerjaan. Saya harus pergi menemui seseorang untuk diwawancara. Bersama seorang pengendara transportasi online, saya lawan terik dan berangkat ke utara.

Kami berjanji untuk bertemu di sebuah motel di Penjaringan. Saat tiba, saya disambut hangat sesosok pria bertopi dengan polo lusuh berwarna oranye. Umurnya kurang lebih 50 tahun. Namanya Suherman. Di dekat motel, kami menemukan sebuah sudut yang cukup nyaman dan tidak terlalu bising. Ditemani dua gelas kopi panas dari penjual kopi keliling, kami pun mulai berbincang.

Dicuri, Dicari.

Pak Suherman sehari-hari bekerja sebagai tukang las karbit di depan motel itu. Dulu, ia adalah seorang karyawan – juga sebagai tukang las – di sebuah pangkalan taksi di Latumenten, Jakarta Barat. Suatu hari, ia dan teman-temannya diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Hal yang tentu menyakitkan bagi Pak Suherman mengingat ia sudah bekerja belasan tahun di sana. Pemecatan tanpa dasar ini yang mendorongnya mencari keadilan bagi dirinya dan teman-temannya yang mengalami nasib yang sama.

His Survival Kit (Foto oleh Tengku Raka)

Ia tiup kopinya yang beruap, menyeruputnya perlahan, lalu mulai menceritakan kronologis pemecatan itu. “Jadi waktu itu, tempat saya bekerja sedang kebanjiran yang tingginya tuh setengah meter, Mas,” terangnya. “Walaupun banjir, saya tetap masuk. Walaupun udah ujan-ujanan dan kebanjiran, saya mesti perbaikin mobil. Pas udah jam istirahat, saya berusaha minta uang makan ke bos. Saya malah dimarahi. Saya dan teman-teman diusir dari ruangan bos. Besoknya, saya malah diberhentikan tanpa alasan.” Ia sudah merasa ada iktikad dari atasannya untuk memberhentikan dirinya, “Uang gaji saya sering dikurangin, Mas. Sama sering ga dapet uang makan juga. Ya, saya sabarin aja. Yang penting, dapur saya bisa ngebul.”

Apa yang menimpa Pak Suherman ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan. Mulai 2005, hal ini diproses secara hukum. Kuasa hukum Pak Suherman maju ke Panitia Penyelesaian Permasalahan Perburuhan Daerah Provinsi DKI Jakarta (P4D). Kasus ini pun terus berlanjut hingga inkracht di Mahkamah Agung (MA): ganti rugi materiil senilai 27 juta rupiah untuk Pak Suherman. Putusan adalah satu hal, implementasinya adalah hal lain. Sepanjang 2010, sudah dua kali eksekusi diupayakan namun selalu menemui kegagalan. “Padahal Mas, kata orang pengadilan tinggal eksekusi aja. Saya bingung, kok ga bisa dieksekusi juga.” Sudah tiga kali Pak Suherman berganti kuasa hukum dan semuanya menemui kegagalan yang sama, “Saya sempat mikir, apa benar ya hukum bisa dibeli?”

Kegagalan-kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Tahun 2015, ia datang ke Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dengan sepeda tuanya – alat transportasinya sehari-hari. Ia kemudian mempercayakan sepenuhnya kasus ini ke LBHM. Namun demikian, Pak Suherman tetap harus menemui jalan berliku. Mulai dari melayangkan surat ke Peradilan Hubungan Industrial (PHI) terkait informasi perkembangan kasus beliau dan juga melayangkan surat ke pemilik perusahaan yang berakhir pada tidak adanya respon dari kedua belah pihak. Di 2016, aduan juga dilayangkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pada 2017, tiga somasi disampaikan kepada pemilik perusahaan namun tidak ada respon sama sekali. Belum lagi dugaan hilangnya berkas perkara milik Pak Suherman. “Saya biarin ajalah bergulir. Ingin tahu bisa sampai mana.” 2018 kemarin menjawab penantiannya. Ahli waris tergugat akhirnya menyanggupi putusan MA, yang jatuh pada 2008, untuk memenuhi hak Pak Suherman yang telah tertunda tiga belas tahun lamanya.

Sama Saja Seharusnya.

Deru mesin dan klakson kendaraan menemani percakapan kami. Langit mulai mendung. Saya nyalakan sebatang rokok dan bertanya tentang apa saja yang sudah ia korbankan untuk ini. “Ngambil uang pesangon ini aja cukup banyak penderitaan yang saya alami, Mas. Banyak liku-likunya. Pernah waktu itu saya pulang dari pengadilan, di kolong tol saya ditabrak mobil. Sepeda saya hancur. Untungnya, saya tidak apa-apa.” Pada masa memperjuangkan haknya ini, Pak Suherman juga ditinggal sang istri yang meninggal dunia tujuh tahun lalu karena penyakit angin duduk (angina). Ia kemudian harus berjuang sendiri mengurus keluarganya. “Saya sekarang tinggal sama anak saya yang pertama (Pak Suherman memiliki lima anak – Red.). Sisanya, udah berkeluarga sama udah ada yang ngontrak rumah,” pungkasnya. Anak pertama Pak Suherman sering sekali sakit sehingga tak bisa ia tinggal lama. Ia juga bercerita bahwa ia pernah mengalami serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit.

“Ya Mas, hidup saya gini-gini aja. Pekerjaan saya sekarang cuman jadi tukang las karbit, kadang-kadang juga jadi tukang rongsok. Penghasilan juga paling banter cuman sembilan puluh ribu, kadang juga ga dapat sama sekali, Mas,” ungkapnya. Selama ia menawarkan jasanya di depan motel, ia sering ‘diganggu’ Satpol PP. “Untungnya, yang punya motel baik. Saya dibolehi mangkal di sini asal ga buka tenda. Si adek pemilik kadang suka ngasih uang juga ke saya Mas kalo lagi main ke sini.”

Kami pun berpindah ke sebuah tempat loakan yang tak jauh dari sana. Tempat itu penuh dengan gerobak dan barang-barang rongsokan. “Nah, ini Mas tempat nongkrong saya,” jelasnya. “Di sini mah udah kayak rumah saya, Mas. Kadang saya tidur di sini, mandi di sini juga,” katanya sambil tertawa.

Everybody Needs A Break & A Friend (Foto oleh Tengku Raka)

“Mas, saya bersyukur ya sama lawyer dan LBHM yang udah bantuin saya sampai berhasil mendapatkan hak saya. Selama ini, saya masih suka berpikir hukum di Indonesia kan cuman punya orang kaya aja. Saya mikir lagi: apakah ada keadilan untuk orang-orang miskin seperti saya ini ya, Mas?” Saya hanya bisa berkata, “Keadilan itu milik semua orang, Pak.” Semestinya.

Dan siang itu, Pak Suherman mengajak saya makan nasi padang di seberang motel. Sambil tersenyum, ia bilang, “Walaupun orang kaya dan orang miskin beda, tapi tetep kalo laper kita harus makan juga kan, Mas?”

Betul juga.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Yohan Misero

Hukuman Mati dan Terorisme

Berita terorisme di 2018 lalu sempat menjadi headline di banyak laman media digital maupun konvensional. Bagaimana tidak? Rententan teror muncul di waktu yang berdekatan. Diawali dengan kerusuhan di Mako Brimob, Depok, di 8 Mei 2018. Kerusuhan ini berawal dari bentrokan napi dengan petugas di Lapas Brimob, yang berdasarkan sejumlah informasi keributan itu dipicu oleh sikap aparat yang tidak ‘manusiawi’ terhadap keluarga korban napi teroris yang datang menjenguk.[1] Menurut Al Chaidar, pakar terorisme dari Universitas Malikussaleh, kerusuhan Mako Brimob tersebut menjadi pemantik rentetan teror di Surabaya di Mei 2018[2] hingga terakhir teror bom kemudian menjalar ke Pasuruan di Juli 2018.[3]

Rentetan teror tersebut di atas membuat gelombang desakan dari berbagai pihak, khususnya kepolisian agar pemerintah segera mengesahkan aturan tentang anti-terorisme (Perppu Anti-Terorisme).[4] Badan Legislatif (DPR) pun mendorong percepatan pengesahan RUU Anti-Terorisme yang akhirnya menguggurkan pembuatan Perppu Anti-Terorisme.[5] MenurutKetua Panja RUU Anti-Terorisme, RUU ini bukan hanya untuk merespon aksi teror yang terjadi tapi juga untuk mengantisipasi kejadian-kejadian berikutnya.[6] Namun di balik intensinya, pengesahan UU Anti-Terorisme cenderung reaksioner, terjadi karena adanya peristiwa terlebih dahulu, bukannya mengedepankan tindakan preventif (pencegahan) dan berujung pada pertanyaan kenapa pengesahan RUU baru terjadi pasca teror bom. Kenapa tidak sebelumnya? Selain itu, UU tersebut juga nampak mengabaikan banyak aspek hak asasi manusia (HAM).  Hal ini terlihat dari beberapa pasal kontroversial yang tercantum dalam UU tersebut, salah satunya pasal yang mengandung pidana mati.[7]


Pidana Mati dan HAM[8]

Keberadaan pidana mati dalam Undang-Undang Terorisme di Indonesia merupakan paradoks. Di satu sisi, negara meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang di dalamnya memuat jaminan perlindungan hak untuk hidup. Di sisi lainnya, Indonesia tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positifnya dan menjalankan eksekusi, yang mana bertentangan dengan HAM, khususnya hak untuk hidup.

Selain itu, sebagai tambahan, Resolusi PBB nomor 44/128 tahun 1989 juga sudah menyatakan bahwa “semua tindakan penghapusan hukuman mati merupakan sebuah kemajuan dan juga penghormatan terhadap hak hidup.”[9] Resolusi PBB nomor 69/186 tahun 2014 juga mendesak kepada negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk segera menghapusnya demi menghormati martabat hidup seseorang dan HAM.[10]

Di level nasional, Konstitusi juga menjamin hak hidup yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28A yang menyebutkan “bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Mempertanyakan Efektivitas Hukuman Mati dalam Menanggulangi Terorisme

Selama ini keefektifan hukuman mati tidak pernah konklusif, pemerintah hanya mengandalkan tindakan counter-terorism dan tidak melakukan tindakan anti-terorism. Pemerintah menganggap bahwa hanya dengan membuat instrumen hukum (hukuman mati) saja sudah bisa menghukum pelaku kejahatan, dan aksi terorisme pun akan berhenti.[11] Pembenaran hukuman mati dapat menciptakan keamanan dan sebagai penggentar berawal dari penologi filsafat utilitarianisme – yang juga memengaruhi munculnya Theory of Deterrence. Jeremy Bentham mengatakan satu-satunya bentuk hukum yang rasional untuk diterapkan di masyarakat adalah hukuman yang paling efisien di dalam menciptakan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat – dalam hal ini diukur dengan mempertimbangkan faktor keamanan masyarakat dari kejahatan[12].  Hal ini membuat hukuman mati terasa lebih rasional karena mampu menciptakan rasa takut di masyarakat untuk melakukan kejahatan.[13] Padahal banyak penelitian-penelitian empiris yang secara konsisten memperlihatkan bahwa hukuman mati tidak terbukti efektif menggentarkan kejahatan dibandingkan bentuk hukuman lainnya.[14] Selama ini hukuman mati telah ditopang oleh sebuah dasar yang tidak kokoh yakni kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati, sebagai bentuk hukuman yang paling keras di dalam menurunkan angka kejahatan.[15] Sayangnya, kepercayaan aprioris terhadap kemampuan hukuman mati masih diikuti beberapa negara. Salah satunya Indonesia yang menerapkan hukuman mati pada tindak terorisme.

Terkait dengan kasus terorisme di Indonesia, pasca Reformasi tahun 1998-2009 tercatat 21 orang telah dieksekusi dan 3 di antaranya adalah kasus terorisme (tahun 2008) 3 terpidana tersebut yakni Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra.[16] Pasca eksekusi terpidana mati terorisme (2008) ternyata tidak menyurutkan gerakan terorisme di Indonesia. Yang ada justru bermunculan jaringan baru yakni Jamaah Ansharut Tauhid (2008) yang merupakan pengembangan dari Jamaah Islamiyah (1993)[17], disertai juga dengan rentetan teror bom yang terjadi mulai dari bom JW Marriott – Ritz Carlton (Juli 2009), ledakan bom di komplek Mapolresta Cirebon dan bom sepeda Bekasi (April & September 2010), Gereja Bethel Injil di Solo (September 2011), Poso (Juni 2013)[18], Sarinah (Januari 2016), Mapolresta Solo (Juli 2016), Kampung Melayu (Mei 2017) dan yang terbaru adalah Surabaya dan Sidoarjo (Mei 2018).[19] Rangkaian serangan teror ini memperkuat argumen Gerber dan Johnson tentang mitos hukuman mati, dalam buku mereka The Top Ten Death Penalty Myths. Gerber dan Johnson mengatakan bahwa klaim hukuman mati sebagai produk hukum yang memperkuat kembali ikatan sosial, memiliki prospek penggetar, manfaat politik serta dapat membalaskan dendam (retaliasi) korban, dan semua itu adalah kepercayaan argumentatif pemerintah. Persoalannya adalah pemerintah selama ini hanya memberikan argumentasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan tanpa mempertimbangkan sama sekali soal kebenarannya.[20] Munir mengatakan, “tindakan terorisme itu bersifat ideologis, pelaku tidak peduli dengan ancaman hukuman mati. Jadi yang bisa dilakukan adalah menghambat jangan sampai seseorang memiliki ideologi kekerasan yang aksesnya nanti adalah ke tindakan terorisme”.[21]Pendekatan non-hukum menjadi penting mengingat yang dilawan adalah ideologi (terorisme). Menurut Munir “yang dapat dilakukan adalah menghentikan pelakunya atau menutup akses di mana orang itu bisa mendapatkan bahan peledak dan lain-lainnya – pemerintah harus membangun suatu kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan tindakan terorisme. Seperti melakukan kontrol terhadap bahan peledak, kontrol bea cukai, kontrol keimigrasian, kontrol money laundering dan pemberlakuan early warning system”.[22]

Salah satu pendekatan non-hukum yang penting dan menunjukkan hasilnya adalah deradikalisasi. Keberhasilan pemerintah dalam program deradikalisasi itu tercermin pada kasus Ali Imron, yang merupakan mantan pelaku Bom Bali I yang divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar (September 2003). Ali Imron telah menjalani deradikalisasi dan berhasil keluar dari gerakan terorisme – beliau kini aktif dan kooperatif dalam membantu aparat penegak hukum dalam memberantas jaringan terorisme.[23] Dia juga aktif memberi masukan kepada DPR, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM terkait upaya deradikalisasi yang optimal kepada pelaku terorisme dan keluarganya.[24]

Penutup

Sudah seharusnya pemerintah mulai berpikir untuk menghapus hukuman mati (tindak pidana terorisme) yang sebagaimana termaktub di dalam UU Anti-Terorisme. Apakah hukuman mati bagi pelaku terorisme adalah usaha untuk melindungi masyarakat atau justru merupakan ajang balas dendam (retaliasi) kejahatan. Jika pemerintah tetap mempertahankan ancaman pidana mati, hal ini justru akan menggoyahkan program deradikaliasi yang tercantum dalam UU Terorisme Pasal 43D tentang deradikalisasi karena keduanya tampak seperti bertabarakan.[25]

Berkaca dari uraian di atas, nampak bahwa pidana mati tidak kunjung berhasil menjerakan aksi teror. Sebab, dia tidak menyentuh permasalahan mendasar dari terorisme yakni radikalisme. Meluasnya paham radikalisme yang dipicu oleh pemahaman yang sempit atau keliru terhadap norma agama, serta kesenjangan ekonomi yang dapat memicu radikalisme itu sendiri harus menjadi perhatian pemerintah untuk memberantas terorisme. Sudah seharusnya pemerintah menjadikan penguatan program deradikalisasi sebagai fokus penyelesaian masalah terorisme.[26] Jika mengutip perkataan David Garland “perlu adanya hukuman alternatif sebagai pengganti untuk kejahatan serius”.[27]

Pada akhirnya, hukuman mati hanya terlihat seperti ajang bagi negara untuk memperlihatkan kesuperioritasan negara atas lawannya, dengan menyebarkan ketakutan melalui “produk” hukum demi mencapai tujuan tertentu. Ironisnya, hal ini juga menempatkan negara sebagai pelaku atau aktor penyebar teror yang legal.

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1]Arbi Sumandoyo, “Kejadian Ricuh Mako Brimob versi Napi Teroris : Bukan Cuma Makan”, Tirto, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://tirto.id/kejadian-ricuh-mako-brimob-versi-napi-teroris-bukan-cuma-makanan-cKem

[2]Ayomi Amindoni, “Sel-sel JAD yang tertidur ‘mulai bangkit’ waspada aksi serupa bom Surabaya”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44022493

[3]Rita Ayuningtyas, “Headline: Ledakan Bom di Bangil Pasuruan, Sinyal Teror Belum Usai”, Liputan 6, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.liputan6.com/news/read/3580042/headline-ledakan-bom-di-bangil-pasuruan-sinyal-teror-belum-usai

[4]Ronny Fauzi, “Satu keluarga di balik bom Surabaya: Kapolri minta Presiden terbitkan Perppu antiterorisme”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44098402

[5]Ulet Ifansasti, “DPR sahkan revisi UU Terorisme, Perppu tak lagi diperlukan”, BBC Indonesia, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44248953

[6]Febriano Adi Saputro, “Pengesahan RUU Antiterorisme Terhambat Definisi Teroris”, Republika, diakses pada 14 Januari 2019, melalui https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/14/p8oihz428-pengesahan-ruu-antiterorisme-terhambat-definisi-teroris

[7]J. Kriswanto, “Inilah Pasal Bermasalah dalam RUU Anti Terorisme”, DW Indonesia, diakses pada 15 Januari 2019, melalui https://www.dw.com/id/inilah-pasal-bermasalah-dalam-ruu-anti-terorisme/a-43789678

[8]Literatur mengenai pidana mati dan hak asasi manusia sudah tersedia banyak dan diterbitkan oleh organisasi hak asasi manusia. Salah satunya bisa dilihat di laman LBH Masyarakat di www.lbhmasyarakat.org

[9]Resolusi PBB 44/128, tahun 1989.

[10]Resolusi PBB 69/186, Tahun 2014

[11]Tim ICJR, “Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, ICJR, 2015, Hlm. 147

[12]Iqrak Sulhin, “Mitos Penggentar Hukuman Mati”, Hlm. 84, di “Politik Hukuman Mati di Indonesia”, editor Robertus Robert & Todung Mulya Lubis, Marjin Kiri, 2016.

[13]Ibid., Iqrak Sulhin, di buku “Politik Hukuman Mati di Indonesia” Hlm. 84

[14]Ibid., Hlm. 82

[15]Ibid., Hlm. 92

[16]Tim Imparsial, “Menggugat Hukuman Mati Di Indonesia”, Imparsial, 2010, Hlm. 46

[17]Rinaldy Sofwan, “Evolusi Jaringan Teroris Indonesia”, CNN Indonesia, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170117113206-20-186873/evolusi-jaringan-teroris-indonesia

[18]BBC Indonesia,“Rangkaian Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia”, BBC Indonesia, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130603_kompilasi_bom_bunuhdiri

[19]Luthfia Ayu Azanella, “Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia”, Kompas, diakses pada 11 Februari 2019, melalui https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=2

[20]Op Cit., Iqrak Sulhin, Hlm. 86

[21]Tim ICJR, “Politik Kebijakan Hukuman Di Indonesia Dari Masa Ke Masa”, ICJR, 2015, Hlm. 148

[22]Hukum Online, “Ancaman Hukuman Mati Tidak Selesaikan Masalah Terorisme”, Hukum Online, diakses pada 10 Maret 2019, melalui https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8430/ancaman-hukuman-mati-tidak-selesaikan-masalah-terorisme

[23]Ferdinand Waskita, “Pelaku Bom Bali Ali Imron Insyaf, Ajak Pelaku teror Kembali ke Jalan yang Benar” Tribunnews, diakses pada 15 Januari 2019, melalui http://www.tribunnews.com/nasional/2016/08/25/pelaku-bom-bali-ali-imron-insyaf-ajak-pelaku-teror-kembali-ke-jalan-yang-benar

[24]Devira Prastiwi, “Bomber Bali Insaf Ali Imron: Jangan Diskriminasikan Eks Teroris,” Liputan 6, diakses pada 15 Januari 2019, melalui https://www.liputan6.com/news/read/2586282/bomber-bali-insaf-ali-imron-jangan-diskriminasikan-eks-teroris

[25]Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 43D

[26]Ricky Gunawan, “Menolak Tuntutan Mati Aman Abdurrahman,” diakses pada 15 Januari 2018, melaluihttps://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-menolak-tuntutan-mati-pada-aman-abdurrahman/

[27]Op Cit., Iqrak Sulhin, di buku “Politik Hukuman Mati Di Indonesia” Hlm. 83

Kacamata Kuda Kebijakan Narkotika Indonesia

Nama saya Astried Permata. Saya bekerja di LBHM sejak Maret 2017 dan mulai saat itu saya mulai mengenal isu narkotika lebih dalam. Pada akhir 2017, dengan dukungan International Drug Policy Consortium (IDPC), LBHM bersama No Box dari Filipina dan Ozone dari Thailand mengadakan riset mengenai perempuan, pemenjaraan, dan kebijakan narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan the cost of war on drugs terhadap perempuan – secara spesifik di Indonesia, Thailand, dan Filipina. Selain saya sendiri, di Indonesia penelitian ini dikerjakan oleh perempuan-perempuan hebat di LBHM yakni: Arinta Dea, Ajeng Larasati, dan Naila Rizqi. Tulisan ini tidak akan bercerita tentang hasil penelitian itu – yang tentu akan dikabarkan ke khalayak pada lain waktu –  melainkan sebuah acara besar tentang narkotika di Vienna yang saya hadiri.

Untuk menceritakan hasil penelitian kami pada dunia, pada pertengahan Maret kemarin saya berkesempatan untuk menghadiri The Commission on Narcotic Drugs (CND) yang ke-62. CND adalah sebuah komisi di dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas untuk membantu Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) PBB dalam hal mengawasi implementasi konvensi-konvensi internasional di bidang narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) lainnya – di luar alkohol (yang tak diatur konvensi internasional) dan tembakau (yang memiliki konvensinya sendiri). CND bertemu setiap tahun di Vienna dan dihadiri oleh negara-negara anggota PBB (termasuk Indonesia), berbagai lembaga PBB, perwakilan masyarakat sipil, dan 53 negara anggota CND. Masing-masing negara melaporkan kemajuan maupun kemunduran situasi permasalahan napza di negaranya.

Sebagai kesan pertama, saya bisa bilang CND tidak terlalu ramah bagi masyarakat sipil: banyak aturan yang birokratis dan lebih banyak lagi petugas keamanan. Jumat lalu, sekelompok orang dari Filipina melakukan aksi damai kecil-kecilan: 15-20 orang tidur di lantai tanpa berkata-kata tepat di depan booth Filipina. Pesannya jelas: menolak extrajudicial killing atas nama perang terhadap narkotika yang sudah memakan lebih dari 22 ribu korban meninggal.[1] Mereka yang terlibat dalam aksi tersebut mendapat sanksi keras berupa pencabutan izin hadir di CND. Karena hal ini pula, kegiatan foto bersama yang diinisasi oleh gerakan Support Don’t Punish sempat bermasalah. Pasalnya, peserta foto dilarang menggunakan atribut seperti poster, pakaian, hingga pin yang mengandung pernyataan sikap terhadap kebijakan napza. Beberapa pihak menganggap tidak diperkenankannya penggunaan kaos yang mengandung pernyataan adalah pembatasan ekspresi yang tidak berdasar dan juga pencabutan identitas diri. Demi kelancaran upaya advokasi yang lebih besar, masyarakat sipil yang hadir di CND akhirnya sepakat untuk tidak mempermasalahkan aturan tersebut lebih jauh.

Saya juga tergelitik dengan narasi yang dibangun Pemerintah Indonesia melalui media nasional. Beberapa media memberi headline bombastis seperti “Indonesia Bicara Penegakan Hukum Tegas untuk Kejahatan Narkotika”, “.. Tegaskan Tak Beri Toleransi ke Pelaku Narkoba”, atau “Prihatin Makin Banyak Negara Legalkan Ganja”. Semuanya memberi narasi selaras yang seolah menunjukan betapa heroiknya Indonesia di kancah internasional dalam urusan napza. Kenyataannya di ruang-ruang sidang CND, Indonesia tidak mencuat muncul sebagai hero dan justru menunjukkan posisi Indonesia yang sangat old school dan tertutup terhadap perubahan. Di beberapa kesempatan, delegasi Indonesia juga berbicara dengan nada yang diplomatis. Hal ini memberi kesan bahwa Indonesia ingin terlihat ganas di media nasional, padahal di CND sendiri delegasi Indonesia tampak biasa saja. Apakah politik luar negeri kita sudah bergeser dari bebas-aktif menjadi hipokrit?

Saya akan mulai dari keprihatinan Indonesia mengenai banyak negara yang melegalkan ganja. Isu tentang ganja memang hangat menjadi perbincangan CND tahun ini. World Health Organisation (WHO) merekomendasikan agar ganja keluar dari golongan IV Single Convention on Narcotic Drugs of 1961 as amended by the 1972 Protocol (Single Convention) agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Penggunaan ganja untuk medis sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia. Ada sekitar 30 negara yang telah melegalisasi ganja medis, termasuk Turki, Chili, dan Kanada.[2] Negara-negara lain seperti Malaysia, Meksiko dan Selandia Baru ikut merencanakan legalisasi ganja medis dan rekreasional.[3] Langkah legalisasi pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis bahkan sudah diambil oleh negara tetangga Indonesia di Asia yakni Korea Selatan dan Thailand.[4] Beragamnya negara-negara yang telah melegalisasi ganja medis memperlihatkan bahwa kebijakan ganja medis ini sudah melampaui identitas dan ideologi politik negara yang bersangkutan, dan mengedepankan kesehatan publik sebagai landasan berpikirnya.

Pemerintah Indonesia menganggap legalisasi ganja medis mengkhianati konvensi-konvensi internasional. Bagi saya, ini adalah posisi yang keliru karena, setidak-tidaknya, dua alasan. Pertama, kebijakan atau aturan memang sudah sepantasnya berbasis ilmiah dan harus sejalan dengan norma hak asasi manusia (HAM). Legalisasi ganja medis di berbagai negara bukan tanpa alasan. Berbagai penelitian menemukan bahwa elemen-elemen kimia pada ganja dapat digunakan secara medis untuk, di antaranya: mengurangi mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi kanker, epilepsi pada anak-anak, perawatan paliatif pada kanker, gangguan tidur, kecemasan, depresi, hingga radang usus.[5] Salah satu kasus paling monumental di Indonesia ialah pemanfaatan ekstrak ganja oleh Fidelis Arie, seorang lelaki asal Sanggau, Kalimantan Barat, untuk menyembuhkan istrinya yang menderita syringomyelia. Diperbolehkannya ganja untuk kebutuhan medis tidak lain adalah pemenuhan HAM, khususnya hak atas kesehatan warga negara.[6]

Kedua, ketegangan (tension) suatu aturan atau regulasi dengan keadaan sekarang adalah sebuah fenomena yang wajar. Kebijakan yang dibuat manusia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menyesuaikan zaman – tidak terkecuali kovenan internasional atau regulasi nasional tentang napza. Itu kenapa kita mengenal terminologi ‘revisi’ atau ‘amandemen’. Hal ini juga menjadi salah satu kritik yang, secara tidak langsung tentunya, dilempar WHO dalam rekomendasinya mengeluarkan ganja dari golongan IV Single Convention: penggolongan narkotika saat itu, tahun 1961, tidak didasari oleh bukti ilmiah.[7] Sejak 1961, ilmu pengetahuan sudah berkembang pesat dan membantu manusia memiliki pemahaman lebih mendalam mengenai ganja dan manfaatnya untuk kesehatan. Maka, sudah saatnya membenahi aturan tersebut sekarang.

Hal lain yang digunakan untuk memperkuat kesan heroik Indonesia adalah sikap ‘keras’ dalam soal pemberantasan napza. Melalui Duta Besar Indonesia untuk Vienna, Indonesia menyatakan pentingnya penegakan hukum yang tegas, termasuk menerapkan hukuman mati. Kira-kira beginilah ucapan Darmansjah Djumal:

“…Indonesia berpandangan bahwa, meskipun pendekatan HAM dalam mengatasi masalah narkotika merupakan hal penting, namun penerapan hukuman terhadap kejahatan narkotika merupakan kedaulatan masing-masing negara.”

Saya jadi teringat sebuah momen di CND ketika salah satu aktivis senior dari sebuah organisasi masyarakat sipil berkomentar di salah satu sesi bahwa ia sangat salut dengan Selandia Baru karena dapat menempatkan HAM di atas kedaulatan negara. Bagi saya, sikap Selandia Baru sangat lumrah dan sudah seharusnya. Sebab, HAM adalah standar perilaku kita terhadap manusia, bagaimana kita memperlakukan manusia secara manusiawi. Nilai-nilai HAM adalah ethical code bagi negara dalam merancang kebijakannya. Dan selagi ia manusia – peduli setan dengan latar belakang, status ekonomi, kesehatan, apa yang ia konsumsi, dan status-status lainnya – ia harus diperlakukan sebagai manusia. Saya tidak dapat mengerti bagaimana dan mengapa kedaulatan negara bisa lebih tinggi derajatnya daripada HAM. Negara, bagaimanapun juga, terdiri dari manusia-manusia. Maka, sudah sepatutnya manusia yang punya kuasa atas dirinya ini dihormati ‘kemanusiaannya’ dan menghormati ‘kemanusiaan’ manusia lainnya. HAM bersifat universal, tidak dapat dikurangi sedikit pun, apalagi atas nama kedaulatan negara. Dia melampaui sekat batas negara, termasuk kedaulatannya. Argumen kedaulatan negara lebih tinggi daripada HAM juga berbahaya. Sebab, atas nama “kedaulatan negara” sebuah pelanggaran HAM bisa dibiarkan dan bahkan dilanggengkan.

Tentang hukuman mati, Indonesia tidak sepantasnya berbangga dan menganggap dirinya keren dengan masih memberlakukan hukuman mati. Indonesia justru jadi minoritas di tengah dunia yang berbondong-bondong melakukan penghapusan hukuman mati. Hanya tersisa 35 negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati untuk tindak pidana terkait narkotika.[8] Sementara itu, 121 negara dari 193 negara anggota PBB menyepakati resolusi moratorium hukuman mati, di mana Malaysia dan Pakistan menjadi negara baru yang memiliki posisi ini. Moratorium hukuman mati juga ditekankan oleh badan-badan PBB yang juga mengurus persoalan napza, seperti United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan International Narcotics Control Board (INCB). Dalam laporannya di CND, INCB menyerukan kepada anggota negara untuk memastikan penanggulangan kejahatan napza harus diikuti dengan proses hukum yang baik dan penerapan HAM. Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana terkait narkotika juga harus dihapuskan.[9] Posisi serupa juga didukung oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) dan Uni Eropa (UE) yang mengatakan bahwa kebijakan napza harus didasari dengan bukti ilmiah dan mengintegrasikan HAM dengan program-program penanggulangan masalah napza. Hukuman mati jelas menghina martabat manusia dan terbukti tidak efektif.[10]

Saya berharap masalah napza di Indonesia dapat dilihat lebih jauh dari sekedar kacamata ‘berbahaya’ atau ‘tidak’. Thailand, yang seperti Indonesia juga pernah mengobarkan war on drugs, sudah mulai terbuka bahwa problem napza membutuhkan langkah yang beragam dan solusi berkelanjutan. Masalah napza perlu memperhitungkan aspek medis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal napza dan problem kebijakan lainnya, Pemerintah Indonesia mestinya menyadari bahwa ia sedang mengurusi manusia-manusia yang memiliki kompleksitasnya masing-masing. Dunia tidak sekedar hitam dan putih. Jauh lebih luas dari itu.

Alangkah baiknya bila Indonesia berhenti sok gagah, tak lagi bebal, mulai bercermin,dan mencopot kacamata kudanya. Tidak perlu berlagak hebat ke komunitas internasional soal menjadi jawara HAM, kalau dengan ganja medis saja masih fobia akut. Tidak perlu ngomong keras-keras ke dunia soal kesiapan Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0 jika masih tertutup terhadap perubahan dan mempertahankan kebijakan napza yang old fashioned alias ketinggalan jaman.

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero

[1]Ted Regencia, “Senator: Rodrigo Duterte’s Drug War Has Killed 20.000”,  Feb 2018, Al Jazeera, retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2018/02/senator-rodrigo-duterte-drug-war-killed-20000-180221134139202.html

[2]Sean Williams, “These 30 countries Have Legalised Medical Marijuana in Some Capacity”, July 2018, retrieved from https://www.fool.com/investing/2018/07/21/these-30-countries-have-legalized-medical-marijuan.aspx

[3]Dr John Collins, “Why are so many Countries now Saying Cannabis is Ok?”, December 2018, BBC, retrieved from https://www.bbc.com/news/world-46374191

[4]Andre Bourque, “Thailand’s Legalisation of Medical Cannabis Proves One Very Important Thing,” December 2018, The Forbes, retrieved from https://www.forbes.com/sites/andrebourque/2018/12/28/thailands-legalization-of-medical-cannabis-proves-one-very-important-thing/#6faef51814b3

[5]European Monitoring Center for Drugs and Drug Addiction, “Medical Use of Cannabis and Cannabinoids”, December 2018, page 11-15, retrieved from http://www.emcdda.europa.eu/system/files/publications/10171/20185584_TD0618186ENN_PDF.pdf

[6]Yohan Misero, “Sebuah Momen Intropeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta”, April 2017, retrieved from https://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-lbh-masyarakat-sebuah-momen-introspeksi-pelarangan-semata-atau-memberi-kesempatan-pada-cinta/

[7]Tom Angel, “World Health Organisation Recommends Reclassifying Marjiuana Under International Treaties”, February 2019, Forbes, retrieved from https://www.forbes.com/sites/tomangell/2019/02/01/world-health-organization-recommends-rescheduling-marijuana-under-international-treaties/#120417316bcc

[8]Giada Gireli, “The Death Penalty for Drug Offences: Global Overview 2018”, Harm Reduction International, 2018, retrieved from https://www.hri.global/death-penalty-drugs-2018

[9]CND, “Plenary: Item 9. Implementation of the International Drug Control Treaties”, March 2019, retrieved from http://cndblog.org/2019/03/item-9-implementation-of-the-international-drug-control-treaties/

[10]Ibid.

Menanti Kebijakan Narkotika yang Ari(e)f

Andi Arief, yang dikenal sebagai politisi Partai Demokrat, ditangkap Kepolisian pada 4 Maret 2019 lalu akibat tersangkut kasus narkotika. Tidak lebih dari 48 jam sejak penangkapan, Andi Arief diperbolehkan pulang untuk menjalani rehabilitasi.

Adanya pendekatan medis dalam penanganan kasus Andi Arief merupakan keputusan yang tepat dan patut diapresiasi – meski terhadap kasus-kasus narkotika lain yang juga menyasar pemakai narkotika, penegak hukum kerap melupakan pendekatan tersebut dan larut pada pusaran proses peradilan pidana. Apa yang dialami Andi Arief ini tentu sangat kontras dengan kenyataan yang harus dihadapi masyarakat setiap hari, tapi ini perlu didorong menjadi sebuah preseden dalam menangani kasus pemakai narkotika – yang semestinya tidak perlu menjalani proses peradilan pidana yang seringkali menghindarkan pemakai narkotika dari intervensi kesehatan yang lebih dibutuhkan.

Sebelum Andi Arief dipulangkan untuk menempuh rehabilitasi, ia menjalani proses asesmen. Proses ini didasarkan sebuah aturan teknis yakni Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Kapolri, Ketua MA, Jaksa Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, serta Kepala BNN pada tahun 2014. Peraturan ini mengharuskan adanya pemeriksaan medis dan hukum terlebih dahulu kepada tersangka kasus narkotika yang dilakukan oleh Tim Asesment Terpadu (TAT) yang berada di Kantor BNN Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten. Hasil pemeriksaan TAT berupa rekomendasi menjadi dasar bagi penyidik untuk menentukan seorang tersangka layak menempuh rehabilitasi atau tidak serta pasal-pasal yang didakwakan.

Dalam praktik, rekomendasi TAT tidaklah mengikat bagi penyidik, bahkan hakim, untuk dipatuhi. Di lapangan, seringkali pemakai narkotika yang oleh TAT mendapatkan rekomendasi rehabilitasi tetap saja divonis penjara. Tidak diikutinya rekomendasi TAT oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim sejatinya menegasikan kemampuan dan kapasitas TAT yang, sepatutnya, diisi oleh ahli-ahli: dokter dan psikolog sebagai tim medis serta perwakilan Kejaksaan, Kepolisian, Kemenkumham dan BNN sebagai tim hukum. Lebih jauh dari itu, sikap penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim yang menghiraukan rekomendasi TAT kerap tidak memiliki justifikasi yang kuat dan tidak transparan.

Dikesampingkannya rekomendasi TAT memberi pesan kuat bahwa penanganan kasus narkotika tidaklah didasarkan pada scientific evidence melainkan besarnya kuasa aparat penegak hukum. Pesan ini pun viral di tengah masyarakat yang kemudian menimbulkan penegakan hukum yang transaksional – bentuknya banyak: dari tukar kepala hingga 86.

Bagi kalangan dengan situasi finansial yang memadai, praktik 86 sering dilakukan karena secara teknis mudah dilakukan: membayar. Di sisi lain, praktik tukar kepala tidaklah membutuhkan uang melainkan informasi, tentang beberapa orang lain yang juga terlibat dengan kasus narkotika, untuk diberikan pada aparat yang kemudian akan menangkap orang-orang tersebut. Praktik tukar kepala tidak memberi keuntungan finansial pada aparat namun bisa digunakan untuk klaim keberhasilan penindakan – karena aparat masih menggunakan kuantitas kasus sebagai indikator keberhasilan – serta dapat pula digunakan sebagai lahan 86 yang baru.

Sekarang, mari kita kembali ke Andi Arief, seseorang yang sudah lama bergelut dengan kekuasaan. Nalar kritis dan suaranya yang lantang memberi sumbangsih pada jatuhnya Orde Baru. Kemampuannya membawanya masuk dalam ring satu Istana sebagai staf khusus Presiden dan dipercaya menduduki jabatan strategis di BUMN pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat Andi Arief ditangkap, ada pengumuman dari Kabareskrim. Wakil Presiden bahkan juga ikut berkomentar. Perhatian yang tidak akan didapat oleh publik kebanyakan apabila terjegal kasus serupa. Mungkinkah ada politik di baliknya?

Tidak ada yang tahu dan (sejujurnya) tidak terlalu penting. Yang lebih penting ialah, selama bertahun-tahun ke belakang, kekuatan politik tidak digunakan untuk mengubah regulasi narkotika Indonesia yang salah kaprah. Partai Demokrat misalnya, yang sempat menjadi ruang Andi Arief bernaung, memenangkan Pemilu 2014 dan memiliki 61 kader di dalam DPR yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Kewenangan-kewenangan tersebut semestinya bisa digunakan sebagai corong untuk menyuarakan reformasi kebijakan narkotika yaitu revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak ramah terhadap pemakai narkotika, hal yang jelas ditunjukan lewat kasus Andi Arief ini. Lebih jauh, Partai Demokrat ini bisa mengandalkan 6 kadernya yang merupakan bagian dari 54 orang anggota DPR yang duduk di Komisi III yang membidangi Hukum dan HAM serta Keamanan untuk menjalankan fungsinya.

Komisi III DPR, sebagaimana termaktub dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 3/DPR RI/IV/2014-2015 tentang Penetapan Kembali Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2014-2019, memiliki 15 pasangan kerja yang sehari-hari sangat mendominasi dalam penegakan hukum narkotika seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, serta BNN. Komisi III DPR juga bisa melakukan komunikasi politik dengan beberapa instansi pemerintah lain yang strategis untuk mendorong upaya dekriminalisasi terhadap pemakai narkotika. Semestinya, ada pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di internal Komisi III atau pembentukan Panitia Khusus (Pansus) lintas Komisi karena persoalan narkotika sepatutnya tidak menitikberatkan pada perspektif hukum melainkan kesehatan publik yang secara teknis dan tanggung jawabnya ada di Kementerian Kesehatan, yang bukan merupakan pasangan kerja Komisi III.

Berkaca dari fungsi dan kewenangan parlemen sangat luas serta konfigurasi politik di DPR yang rumit, maka reformasi kebijakan narkotika melalui parlemen bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, anggota parlemen dan partai-partai, termasuk Partai Demokrat yang mengklaim mengambil peran sebagai penengah dalam 5 tahun ke belakang, seharusnya memulai meletakan fondasi untuk itu. Hal itu dapat dimulai dengan mengawasi praktik penegakan hukum yang tidak konsisten pada pemakai narkotika – hal yang juga dapat dicermati dari kasus Andi Arief. Bisa juga dengan menaikan alokasi anggaran bagi instansi yang melakukan pendekatan non-penal terhadap pemakai narkotika sebagai upaya untuk menggeser kebijakan narkotika dari pendekatan yang punitif.

Apakah ini akan dilakukan oleh partai-partai di parlemen pun partai-partai baru? Sebagai kebijakan partai, sepertinya hal ini sulit dilakukan karena isu kebijakan narkotika nampaknya tidak populer dan kontroversial. Iklim pemilu legislatif saat ini yang, seharusnya, mendekatkan antara calon legislator dengan konstituennya mestinya menjadi sebuah kesempatan, bagi mereka yang berani, untuk menjadikan reformasi kebijakan narkotika sebagai sebuah platform kampanye. Bagi Partai Demokrat, mempertahankan Andi Arief dalam posisi strategis di partai dapat menjadi pilihan otonom partai untuk memulai diskusi tentang itu secara internal. Sayangnya, Andi Arief saat ini sudah terlanjur mundur.

Lalu, apa yang tersisa buat masyarakat selain pemerintah yang galak, parlemen yang lamban, dan partai yang enggan berubah? Andi Arief yang ikut meruntuhkan Orde Baru mungkin dapat berkontribusi untuk menggulingkan kebijakan narkotika Indonesia yang konservatif. Lewat akun twitter-nya yang termashyur, Bung Andi dapat membantu kawan-kawan pemakai narkotika di seluruh Indonesia dengan kembali meneriakkan: “I’m not a criminal.

Penulis: Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero