Perkara hukuman mati sesungguhnya adalah masalah sederhana yang menjadi rumit akibat banyaknya kepentingan dan propaganda yang melingkupinya. Mitos sesat yang begitu pekat melekat pada hukuman mati menyebabkan persoalan hukuman mati semakin rumit untuk diurai sebagai sebuah diskursus bagi khalayak. Di Indonesia, perkara hukuman mati mengalami stagnasi berkepanjangan, di tengah tren dunia yang berangsur-angsur menghapusnya dari katalog penghukuman.
Penghapusan hukuman mati secara menyeluruh jelas adalah tujuan. Namun, cara mencapai pemberhentian tersebut tentu bisa ditempuh dengan sejumlah rute dan strategi. LBH Masyarakat memandang bahwa ketika penghapusan hukuman mati secara total sulit diwujudkan dalam waktu dekat, maka abolisi harus direalisasikan secara gradual.
Laporan ini adalah ikhtiar LBH Masyarakat dalam perwujudan abolisi secara bertahap, yang dibuat dengan maksud untuk memperjelas ketentuan terkait pidana mati dan eksekusi mati agar hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati tidak dicurangi.
Dengan adanya laporan ini, Negara dapat, setidak-tidaknya menyusun hukum dan kebijakan, baik dalam hal prosedural pelaksanaan hukuman mati maupun pemenuhan prasyarat dan syarat yang mengakomodir hak-hak mereka yang berhadapan dengan hukuman mati. Dengan memperketat penjatuhan pidana mati dan pelaksanaan eksekusi mati, LBH Masyarakat berharap hal tersebut dapat berkontribusi dalam menciptakan iklim moratorium hukuman mati, sekaligus menyiapkan Indonesia sampai pada penghapusan hukuman mati secara menyeluruh.
Di 2017, LBH Masyarakat mendokumentasikan setidaknya ada 89 tahanan meninggal. Paling tinggi penyebab kematiannya adalah sakit, yakni 60.2%. Temuan juga menyebutkan 7 kasus kematian tahanan terjadi di tahanan kepolisian. Kasus-kasus ini adalah sebuah ironi di tengah semangat penahanan yang dilakukan guna merehabilitasi orang bukan tempat pencabutan nyawa.
Kasus kematian tahanan karena sakit semestinya bisa dicegah apabila pihak kepolisian melakukan identifikasi dini berupa pemeriksaan medis fisik dan jiwa terhadap tersangka atau tahanan. Jika hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa kondisi kesehatan tahanan buruk, maka disarankan untuk melakukan penahanan alternatif.
Paper ini membahas bagaiamana aturan mengenai penahanan alternatif dan perannya sebagai upaya kewajiban negara dalam memenuhi hak asasi manusia tahanan selama menjalani proses hukum, khususnya hak atas kesehatan mereka.
Anda bisa membaca paper ini dengan mengunjungi tautan berikut.
Narasi pemerintah akan menindak tegas mereka yang terlibat kejahatan narkotika senantiasa didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan. Pada salah satu kesempatan di bulan Oktober 2017, Jokowi secara terbuka menyatakan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kejam dengan ‘gebukin’ (memukul)dan menginjak mereka yang berkaitan dengan narkoba dan penyalahgunaan obat.Sikap Jokowi yang terkesan heroik itu nyatanya adalah sebuah penistaan terhadap Indonesia, negara yang memiliki hukum dan konstitusi yang berprinsip pada peri kemanusiaan.
Sikap Jokowi tersebut seolah menjadi sebuah instruksi presiden yang tidak tertulis yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk menembak mati setiap orang yang dianggap terlibat dalam peredaran gelap narkotika atau menjadi bandar.Pemerintah menganggap pendekatan perang terhadap narkotika (war on drugs) adalah cara yang tepat untuk menanggulangi kejahatan peredaran gelap narkotika yang diklaim membunuh 50 (lima puluh) anak bangsa per hari– sebuah klaim yang telah dipertanyakan keilmiahannya oleh akademisi di seluruh dunia.Jumlah kematian per hari ini dianggap sebagai angka yang pantas untuk menjustifikasi tembak di tempat terhadap bandar narkotika. Bahkan instruksi Jokowi tersebut kemudian dijadikan legitimasi institusi penegak hukum, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) dalam melakukan praktek tembak di tempat bagi bandar narkoba. Kepala BNN berharap agar orang-orang yang diduga menjadi bandar narkoba melakukan perlawanan agar praktek tembak di tempat dapat dilakukan.
Praktek tembak di tempat ini menjadi problematik karena setidaknya dua hal. Pertama, tidak ada definisi hukum atas ‘bandar’ narkotika. Undang -Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan, bahkan menyebutkan siapa yang dikategorikan sebagai bandar narkotika. Kedua, praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’. Mereka yang mendap atkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi asas due process of law. Praktek tembak di tempat dijadikan justifikasi untuk menghilangkan atau setidaktidaknya mengurangi peredaran gelap narkotika di Indonesia. Namun kenyataannya, praktek tembak di tempat bukannya mengurangi peredaran gelap narkotika apalagi menghilangkan. Kebijakan ini justru mengkhianati paham negara hukum, dan mencederai hak asasi manusia.
Berangkat dari situasi ini, LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumen media dalam jaringan (daring) terhadap isu tembak di tempat –baik yang berdampak pada hilangnya nyawa maupun luka-luka – terduga pelaku tindak pidana narkotika. Isu ini dipilih karena diskursus tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan narkotika menguat pasca Jokowi mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Kami berharap monitoring dan dokumentasi ini dapat memperlihatkan buruk rupa praktek tembak di tempat, dan kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghentikan praktek yang, bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak manusiawi ini.
“HIV adalah persoalan hak asasi manusia.” Sepertinya, belum banyak pihak yang memahami betul pernyataan tersebut. Umumnya, banyak pihak memahami HIV sebagai persoalan kesehatan saja. Hal ini wajar, mengingat di mata orang awam HIV dilihat sebagai virus yang menyebabkan penyakit AIDS dan oleh karenanya pembahasan persoalan HIV dan AIDS cenderung dibingkai di media massa sebagai liputan isu kesehatan. Namun sesungguhnya, HIV bukanlah semata soal virus yang menyebabkan kekebalan tubuh manusia menjadi berkurang.
Persoalan HIV/AIDS, seperti halnya persoalan penyakit lainnya, juga erat kaitannya dengan isu hak asasi manusia. Orang yang hidup dengan HIV sering kali mendapat stigma dari masyarakat, di mana mereka kerap dicap sebagai pendosa. Stigma inilah yang kemudian juga memunculkan praktik-praktik diskriminasi terhadap orang dengan HIV, mulai dari pengusiran dari keluarga karena dianggap membawa aib, hingga pengucilan dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi ini sesungguhnya berakar dari ketidaktahuan ataupun ke-tidak-mau-tahu-an terhadap apa itu HIV dan bagaimana penyebarannya. Dalam konteks inilah, mengatasi stigma dan diskriminasi yang menyelimuti isu HIV menjadi penting. Karena, stigma dan diskriminasi memicu pelanggaran hak asasi manusia orang dengan HIV, yang akhirnya akan menjauhkan mereka dari layanan yang mereka perlukan, termasuk melahirkan kerentanan terhadap mereka yang berpotensi mengidap HIV. Oleh karena itu, persoalan HIV bukan hanya mengenai pencarian formula mujarab untuk mengatasi virus HIV/AIDS, tetapi juga bagaimana mengembangkan dan menjalani program dan layanan kesehatan HIV yang humanis, peka jender, dan non-diskriminatif.
Diskriminasi, dalam diskursus hak asasi manusia, dapat terjadi karena ketiadaan perlindungan hukum ataupun justru karena adanya hukum dan kebijakan yang diskriminatif. Berangkat dari pemahaman inilah, LBH Masyarakat melakukan kajian terhadap hukum dan kebijakan Indonesia yang berkenaan dengan isu-isu HIV. Sebagai organisasi hukum/hak asasi manusia, tentu bukan pada kapasitas keahlian LBH Masyarakat untuk bekerja di ranah pengobatan dan perawatan HIV. Kontribusi kami untuk menanggulangi persoalan HIV adalah dengan menelusuri hukum dan kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan HIV guna melihat apakah ada hukum dan kebijakan yang mendukung program HIV dan oleh karenanya harus ditingkatkan, maupun hendak menemukan apakah ada hukum dan kebijakan yang justru menghalangi program HIV dan oleh karena itu perlu dihapus.
Buku yang sekarang Anda baca ini adalah buah dari kerja keras LBH Masyarakat selama satu tahun terakhir mengkaji hukum dan kebijakan Indonesia yang berhubungan dengan persoalan HIV di area pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kependudukan, dan pemidanaan. Kami berharap temuan dan rekomendasi yang kami hasilkan di laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan HIV yang berbasis pada hak asasi manusia.
Laporan studi ini tidak akan sampai ada di tangan Anda apabila bukan karena ketekunan dua orang peneliti LBH Masyarakat, Arinta Dea dan Naila Rizqi Zakiah, yang giat mempelajari sejumlah hukum dan kebijakan Indonesia maupun mewawancarai sejumlah pihak terkait. Apresiasi juga LBH Masyarakat sampaikan kepada Ajeng Larasati, Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat, sebagai pembaca ahli yang memberikan masukan kritis terhadap penyelesaian laporan ini.
Tentu saja, apresiasi juga LBH Masyarakat haturkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang mendukung studi ini dari awal hingga akhir. Terima kasih juga LBH Masyarakat sampaikan kepada jajaran Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang dan Banjarmasin; dan instansi pemerintah lainnya yakni Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang, dan Banjarmasin; Dinas Sosial Banjarmasin, Palembang, Indramayu; Dinas Kesehatan Bogor, Banjarmasin, Denpasar, Lombok Barat, Palembang; Lembaga Pemasyarakatan Bpgor, Banjarmasin, Lombok Barat; Satpol PP Bogor, Denpasar, Lombok Barat, Indramayu; dan Badan Narkotika Nasional Kota Palembang; yang seluruhnya berpartisipasi aktif di dalam diskusi kelompok terarah ketika tim peneliti mengunjungi kota-kota tersebut.
LBH Masyarakat juga mengapresiasi keterlibatan dan masukan dari komunitas yang memperkaya temuan literatur tim peneliti, yaitu dari: PKBI Indramayu (Indramayu), KDS Samaya (Indramayu), KDS Indramayu (Indramayu), LKKNU Kalimantan Selatan (Banjarmasin), PKBI Kalsel (Banjarmasin), KDS Borneo Plus (Banjarmasin), ASA Borneo (Banjarmasin), IWB Banjary (Banjarmasin), PEKA Bogor (Bogor), Srikandi Pakuan (Bogor), G-Life (Bogor), Lekas (Bogor), Sahira (Bogor), GWL INA (Denpasar), YKP (Denpasar), Yayasan Inset (Lombok Barat), Aksi NTB (Lombok Barat), YIM (Palembang), Sriwijaya Plus (Palembang), dan PKBI Sumatera Selatan.
Terakhir, LBH Masyarakat turut ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang telah membantu proses studi ini hingga selesai.
LBH Masyarakat memohon maaf apabila ada kekurangan baik substansi maupun teknis penulisan laporan ini. Dengan senang hati kami menerima kritik dan masukan untuk perbaikan laporan ini ke depannya.
Akhir kata, laporan ini kami persembahkan kepada orang-orang dengan HIV dan anggota komunitas yang perjuangannya melawan virus HIV dan virus stigma dan diskriminasi adalah sumber inspirasi bagi kami di LBH Masyarakat.
Ada banyak hal yang masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pahami mengenai gangguan jiwa dan orang-orang yang mengidapnya. Baru pada tahun 2014 Indonesia memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) yang berusaha memastikan perlindungan hak terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Sayangnya, masih banyak muatannya yang mendiskriminasi kapasitas ODP. Pengarusutamaan hak ODP melalui kerangka Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga belum paripurna selama amanat peraturan turunan belum terealisasi.
Perkembangan yang lambat ini bukan sepenuhnya kejanggalan regional. Di dunia internasional sekalipun, masalah gangguan jiwa belum mendapatkan jatah kebijakan dan pendanaan karena berbagai alasan. Advokasi internasional pun lalai menyadari bahwa masalah kesehatan jiwa tidak mampu untuk ditangani dengan bertumpu pada pendekatan medis semata melainkan juga pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketidakpahaman serta keterlambatan belajar inilah yang menghasilkan stigma-stigma negatif dalam kebijakan-kebijakan kesehatan jiwa Indonesia. Masyarakat sering mempersepsikan ODP sebagai orang yang menakutkan, tidak bisa diprediksikan, dan aneh. Inilah mengapa sekalipun ada upaya-upaya \’menolong\’ ODP, aspek kontrol masih terasa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penindakan, razia, pengamanan dan penangkapan untuk mengontrol ODP.
Agar bisa terus meningkatkan pengetahuan dan kepekaan kita tentang isu-isu kesehatan jiwa, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan dokumentasi ini. Kami melakukan pemantauan berkaitan dengan ODP dan penegakan hukum. Lebih spesifiknya, kami mencari data-data kekerasan dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap atau dilakukan oleh ODP sepanjang tahun 2017.
Pemantauan semacam ini bukanlah pengalaman pertama kami. Pada tahun 2016 kami melakukan pemantauan serupa yang menemukan 3445 ODP menjadi korban kekerasan dan 58 kasus ODP dituduh melakukan tindak pidana. Dari hasil laporan tahun kemarin, kami mendapatkan banyak informasi mengenai banyaknya pemasungan, pengamanan paksa, penelantaran, dan penganiayaan terhadap ODP. Kami juga mencatat adanya persoalan ketidakjelasan prosedur penanganan hukum ketika ODP dituduh melakukan tindak pidana agar tetap mampu memberikan keadilan baik bagi korban maupun pelaku.
Infografis oleh: Astried Permata
Oleh karena itu dengan dilanjutkannya dokumentasi di tahun 2017, kami mampu mencatat apakah ada perubahan penanganan kasus-kasus ODP di Indonesia atau tidak dalam kurun waktu satu tahun yang sudah berlalu. Laporan ini diharapkan bisa menjadi basis data baik bagi LBH Masyarakat sendiri ataupun organisasi-organisasi lainnya yang peduli atas masalah kesehatan jiwa dan hak asasi manusia (HAM) untuk melakukan advokasi masa mendatang.
Tingginya sentimen publik terhadap kelompok LGBT memicu upaya-upaya untuk mengekslusi kelompok LGBT dalam kehidupan bermasyarakat yang juga mengarah pada persekusi. Tindakan-tindakan pelarangan kegiatan diskusi di ruang akademik, diskriminasi di tempat kerja dan pendidikan hingga usaha untuk mengkriminalisasi LGBT lewat jalur peradilan dan legislasi tampak semakin sering terjadi. Pada tahun 2016, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) mengajukan pengujian undang-undang hukum pidana ke Mahkamah Konsititusi (MK) dalam upaya mengkriminalkan LGBT. Pada akhir 2017 Mahkamah Konstutusi menolak permohonan tersebut dengan alasan politik hukum pidana bukan merupakan kewenangan MK melainkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun sikap MK tersebut justru menjadi amunisi baru bagi kelompok konservatif untuk mendorong DPR meloloskan pasal yang mengkriminalisasi LGBT dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP).
Putusan MK tersebut juga membuka kran stigma dan diskriminasi kepada kelompok LGBT. Terlebih karena putusan tersebut keluar menjelang tahun politik nasional. Isu ini menjadi bahan bakar politik populisme kelompok elit politik untuk meraup suara konstituen. Awal tahun 2018, Zulkifli Hasan, politisi Partai Amanat Nasional (PAN), mengawali kembali perang narasi LGBT di media. Dia menuduh lima partai di DPR sebagai pendukung LGBT. Zulkifli melempar tuduhan ini tanpa menjelaskan bagaimana dan apa bentuk dukungan 5 fraksi tersebut terhadap LGBT.3 Meski tuduhan tersebut dibantah oleh semua partai, namun dampaknya terhadap kelompok LGBT tidak terbendung. Di berbagai daerah secara masif dan sistemik bermunculan aksi dan gerakan menolak LGBT. Persekusi terhadap kelompok LGBT juga meningkat tajam terutama kepada kelompok transpuan yang secara ekspresi gender paling mudah diidentifikasi. Sementara itu, Negara dengan pasif menyaksikan masifnya pelanggaran terhadap LGBT. Pengabaian demi pengabaian terhadap pelanggaran hak asasi manusia kelompok LGBT menjadikan negara sebagai bagian dari pelaku yang melanggengkan kekerasan pelanggaran HAM terhadap LGBT.
Sebagai lembaga yang memperjuangkan HAM kelompok marjinal dan korban pelanggaran HAM, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pendokumentasian dan pemantauan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT melalui pemantauan media. Di tahun 2017, LBH Masyarakat menerbitkan seri monitoring dan dokumentasi yang berjudul “LGBT = Nuklir? Indonesia Darurat Fobia”. Dalam seri monitoring tersebut kami berupaya untuk menyajikan tren pelanggaran HAM yang terjadi pada kelompok LGBT sepanjang tahun 2016. Hal ini kami gunakan dalam melakukan advokasi pemenuhan hak asasi manusia. Berangkat dari masih banyaknya pelanggaran yang terjadi sepanjang tahun 2017, LBH Masyarakat menilai ada kebutuhan untuk melanjutkan monitoring dan dokumentasi pelanggaran HAM terhadap kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT). Dokumen yang anda baca saat ini adalah laporan hasil monitoring dan dokumentasi yang kami lakukan dalam memantau stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di sepanjang tahun 2017.
Isu perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir mencuat ketika Mary Jane Veloso dan Merri Utami masuk ke dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahun 2015 dan 2016. Dalam berbagai kesempatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keterlibatan perempuan sebagai kurir narkotika bukan lah hal yang baru. Rani Andriani, yang telah dieksekusi mati 2015 lalu, tertangkap akan mengantarkan narkotika di Soekarno-Hatta pada tahun 2000. Begitu juga dengan Merri Utami yang ditangkap pada tahun 2001.
Tidak ada definisi yang jelas mengenai kurir narkotika, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sekalipun. Terminologi ini dibuat oleh media, pemerintah dan masyarakat dan digunakan secara luas. Pada praktiknya, perempuan kurir narkotika akan dipidana dengan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika yang melarang perbuatan “menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan” narkotika. Laporan ini mendefinisikan kurir sebagai seseorang yang mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya. Laporan ini juga akan menggunakan frase “perempuan kurirnarkotika” untuk menjelaskan perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap sebagai kurir narkotika, semata-mata untuk memudahkan penulisan, tanpa bermaksud untuk memberikan label negatif kepada perempuan.
LBH Masyarakat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mendampingi 9 (sembilan) kasus perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika, 5 (lima) di antaranya terlibat sebagai kurir. Satu perempuan dipidana dengan pidana mati, satu perempuan dihukum seumur hidup, tiga perempuan dipidana dengan pidana penjara selama 12, 14 dan 16 tahun penjara. Selama mendampingi kasus-kasus tersebut, kami menemukan pola yang serupa muncul berulang kali, yaitu keterlibatan akibat disuruh atau diperdaya oleh pasangan intim, berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah dan pernah mengalami kekerasan domestik.
Infografis oleh: Astried Permata
Untuk mendapat gambaran yang lebih holistik dan komprehensif mengenai latar belakang perempuan kurir narkotika, pola perekrutan serta modus yang sering digunakan, dan juga relasi perekrut dengan perempuan, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan berita perempuan kurir narkotika sepanjang tahun 2017. Laporan pemantauan ini juga merupakan bagian dari advokasi perlindungan perempuan, yang seringkali menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang dalam peredaran gelap narkotika, namun, dijatuhi dengan hukuman berat bahkan hingga pidana mati.
Kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap ODHA menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Hal ini menyebabkan orang yang beresiko terdampak HIV menjadi enggan melakukan tes HIV. Kesalahpahaman persepsi ini kemudian menjelma menjadi stigma, yang seringkali berujung pada praktek-praktek diskriminasi terhadap ODHA.
Perwujudan stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat dilihat dalam bentuk produk-produk hukum seperti kebijakan dan prosedur administrasi. Produk-produk tersebut sering ditemukan sebagai suatu perangkat yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, tetapi kerap dijumpai implementasinya justru memperkuat praktik-praktik diskriminasi dan pengekalan stigma. Contoh lain dari wujud stigma dan diskriminasi adalah implementasi kebijakan yang justru mendiskreditkan ODHA. Misalnya, dengan menerbitkan regulasi yang membatasi mobilitas ODHA.
Stigma dan diskriminasi jelas menyebabkan implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS tidak dapat dilakukan secara optimal. Dari berbagai sisi, stigma dan diskriminasi memberikan dampak yang sama luasnya, jika tidak lebih luas, dibandingkan dengan HIV itu sendiri. Disadari atau tidak, stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi hidup ODHA, tetapi juga orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Stigma dan diskriminasi juga diperparah oleh faktor-faktor seperti gender, seksualitas dan kelas sosial.
Menyadari kondisi tersebut, LBH Masyarakat merasa perlu untuk melakukan monitor media terhadap pemberitaan tentang stigma dan diskriminasi pada ODHA. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi yang masuk pemberitaan media sepanjang tahun 2017. Harapannya, laporan monitor dan dokumentasi ini dapat membantu memetakan persoalan stigma dan diskriminasi pada ODHA, dan dapat berperan dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat memberikan dampak baik pada program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang berdiri sejak 2007. Lebih dari 10 tahun sudah, kami memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan.
Untuk mendukung kerja bantuan hukum, kami juga menulis laporan dan melakukan advokasi kebijakan pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang kerap dipandang sebelah mata. Kerja-kerja kami dapat kamu lihat di situs resmi LBH Masyarakat dan official account kami di Instagram,Twitter, dan Facebook.
Kamu juga dapat terlibat aktif dalam kerja-kerja kami memperjuangkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kami tengah membutuhkan tiga (3) orang relawan untuk membantu kerja advokasi dan pemantauan media yang rutin kami lakukan setiap tahunnya. Kriteria relawan yang kami butuhkan:
Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
Internet-Savvy;
Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
Memiliki laptop;
Memiliki motivasi tinggi;
Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa (tidak ada batasan angkatan atau jurusan);
Berkomitmen untuk bekerja selama 300 jam;
Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.
LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.
Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:
Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya
Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Albert Wirya (Peneliti LBH Masyarakat) di awirya@lbhmasyarakat.org paling lambat Jumat, 6 April 2018.
Berjuang tak bisa sendirian, kawan-kawan. Seperti kata Martin Garrix dan Dua Lipa, “…scared to be lonely.” Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian nanti:
Kematian sebaiknya tercatat, bukan hanya melalui ingatan orang-orang yang ditinggalkan tapi juga lewat percikan tinta di atas kertas. Undang-Undang Administrasi Kependudukan mewajibkan setiap kematian untuk dicatat oleh kantor sipil. Dokumentasi akan kematian ini mempermudah warga negara dalam mengurus waris, uang duka, tunjangan kecelakaan, asuransi, dan lain sebagainya.
Melalui pencatatan kematian juga, negara bisa belajar banyak. Setiap tahunnya, contohnya, Kementerian Kesehatan mempublikasikan laporan kinerja yang berisi jumlah kematian akibat penyakit tertentu. Berdasarkan data ini, pemerintah bisa membangun kebijakan kesehatan yang tepat sasaran untuk mengurangi angka kematian.
Untuk tujuan yang sama pulalah, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan pendokumentasian berita-berita kematian. Spesifiknya, kematian-kematian yang terjadi di penjara. Dari berita-berita kematian, kami dapat menganalisis akses layanan kesehatan, ketersediaan layanan kesehatan mental, dugaan penyiksaan dan lain-lain. Pemantauan semacam ini kami lakukan di tahun 2016 dan kami publikasikan menjadi sebuah laporan yang mengidentifikasi sejumlah permasalahan di tempat-tempat tahanan. Di tahun 2017, kegiatan pendataan ini kami lanjutkan.
Ada setidaknya dua alasan mengapa LBH Masyarakat melakukan pendokumentasian kasus kematian ini. Yang pertama adalah kosongnya laporan berkaitan dengan kematian di penjara. Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) sebenarnya memiliki laporan kinerja yang menuliskan secara detail jumlah dan sebab kematian sepanjang tahun, sayangnya laporan in berhenti di tahun 2014. Kepolisian pun tidak memiliki laporan berisi data kematian di tahanan polisi. Sekiranya pun ada, laporan tersebut tidak bisa dengan mudah diakses publik.
Alasan kedua adalah sulitnya untuk mengetahui kebenaran tentang sebuah kematian ketika itu terjadi di ruang yang miskin akses informasi baik untuk masuk ataupun keluar. Wajar-tidaknya suatu kematian seringkali dinyatakan oleh otoritas tempat tahanan, bukan ahli medis.
Di Indonesia, pengelola tempat tahanan memiliki mekanisme pemeriksaan yang harus dipenuhi ketika seorang tahanan meninggal. Apabila meninggal di tahanan kepolisian, polisi melakukan visum et repertum dan memberitahukan hasilnya kepada keluarga. Apabila meninggal di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas), manajemen penjara harus membuat surat keterangan kematian atau melaporkan ke polisi apabila kematiannya dianggap tidak wajar. Keberadaan mekanisme pemeriksaan ini patut untuk diapresiasi, tapi independensi penyelidikannya harus terus diawasi. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi 19 kematian yang tidak jelas yang kami temukan pada tahun 2016.
Penjara didirikan untuk tugas yang mulia. Ruang tahanan kepolisian dan rutan, didirikan untuk menjaga tersangka atau terdakwa sampai hakim mengetuk palu dan keadilan ditegakkan. Sementara lapas, menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bertujuan agar “Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.” Tujuan semacam ini akan sia-sia ketika tahanan meninggal di dalam. Lebih sia-sia lagi ketika tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari kematiannya.