Skip to content

[RILIS PERS Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2023] Pidana Mati: Melanggengkan Penyiksaan

Setiap tanggal 10 Oktober, selain memperingati hari kesehatan mental internasional, seluruh masyarakat di seluruh dunia juga memperingati hari menentang hukuman mati. Peringatan ini menjadi momentum yang penting untuk terus mendorong penghapusan hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Mereka yang setuju akan penerapan pidana mati beranggapan ini menjadi salah satu alat yang tepat untuk membuat pelaku kejahatan mendapatkan efek jera, bahkan menurunkan tingkat kejahatan. Di sisi lain, mereka yang setuju dengan penerapan pidana mati tak sadar akan dimensi penyiksaan yang tak bisa diubah dari penerapan hukuman mati.

Selain masih banyaknya praktik penyiksaan dalam proses peradilan, terdapat juga fenomena deret tunggu eksekusi pidana mati (death row phenomenon) yang juga berpotensi pada masalah kesehatan jiwa yang dialami oleh banyak terpidana mati. LBH Masyarakat (LBHM) mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2023, terdapat 62 orang mengaku mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian dari total 331 responden (19%). Fakta ini harusnya dimaknai bahwa dalam proses hukum, Indonesia belum tertib akan administrasi peraturan dan masih menghiraukan instrumen hak asasi manusia (HAM). Tak hanya penyiksaan, setidaknya 36 dari 331 orang juga mengaku mengalami pemerasan di tingkat penyidikan (11%). Dalam bentuk pelanggaran lainnya, LBHM mencatat terdapat 13 dari 331 orang (4%) mengalami pelecehan seksual. Salah satu terjadinya hal ini adalah karena minimnya pemenuhan hak atas bantuan hukum, yang mana kami menemukan 293 dari 331 orang (89%) terlanggar.

LBHM sendiri pernah meminta data terkait jumlah terpidana mati di Indonesia, yang mana sampai dengan Juni, 2023, terdapat 479 orang berstatus sebagai terpidana mati. Secara klasifikasi gender, 467 orang adalah laki-laki (97%) dan 12 orang adalah perempuan (3%). Sayangnya, data ini tidak mengakomodir persoalan jenis tindak pidana, lamanya penahanan yang telah dijalani, dan status upaya hukum yang telah dilakukan. Sampai dengan tahun 2023, LBHM tengah mendampingi 12 terpidana mati, yang mana 4 terpidana mati telah menjalani penahanan lebih dari 15 tahun. 2 terpidana mati diantaranya bahkan telah melewati penahanan selama 20 tahun. Kondisi seperti ini yang mungkin luput dari pengawasan negara, sebab timbul persoalan baru, yaitu penyiksaan dan kesehatan jiwa bagi si terpidana. Faktanya, masih banyak pengabaian terhadap hak-hak terpidana, khususnya bagi mereka yang berstatus sebagai terpidana mati.

Dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan. Hal itu ditunjukkan dengan fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis luar biasa akibat penundaan berkepanjangan terhadap eksekusi mati yang diakumulasi dengan kondisi yang buruk di dalam fasilitas penahanan. Dalam ketidakpastian hukum tersebut terpidana mati harus terus menunggu hingga eksekusi dilakukan. Di Indonesia sendiri eksekusi hukuman mati terakhir dilakukan pada tahun 2016. Namun untuk vonis hukuman mati masih memiliki tren tinggi.

Pada dasarnya hukuman mati melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Selain itu, jika dilihat berdasarkan aturan internasional, hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6.

Kemudian pemerintah masih bersikap standar ganda dalam penerapan hukuman mati. Pemerintah menolak apabila ada warga negara Indonesia (WNI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang melakukan kejahatan di luar negeri dihukum mati. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia, saat ini terdapat 168 WNI terancam hukuman mati di luar negeri, laki-laki 92 orang dan perempuan 23 orang. PMI korban TPPO yang di jebak dalam sindikat narkotika masih menggunakan UU Narkotika tidak mengunakan UU TPPO. Sehingga dapat menjerat PMI menghadapi pidana mati. Namun pemerintah malah memasukkan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru disahkan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru). Banyaknya upaya yang dilakukan Pemerintah untuk kepentingan WNI yang divonis pidana mati di luar negeri. Sikap ini justru menunjukkan adanya standar ganda dari pemerintah atas pidana mati. Pemerintah perlu bersikap lebih konsisten. Pidana mati dalam KUHP Baru justru berpotensi disalahgunakan, karena memberi ruang diskresi yang besar kepada pengambil keputusan.

Pada isu perempuan yang dikriminalisasi karena kejahatan narkotika, mewakili 30 persen dari total penangkapan di seluruh dunia karena perdagangan narkotika. Perempuan dalam pusaran pidana mati khususnya pada kejahatan narkotika cenderung datang dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah, orang tua tunggal, melakukan tindak pidana di bawah paksaan-paksaan dan warga negara asing atau migran. Perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas gender adalah populasi terpidana mati yang tidak terlihat. Dikarenakan jumlah mereka yang dieksekusi jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki – menjadikan penderitaan dan kebutuhannya seringkali diabaikan. Pun hal-hal spesifik yang menyebabkan banyak dari mereka dijatuhi hukuman mati seperti: berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berasal dari diskriminasi gender. Kerentanan perempuan dalam pidana mati juga telah mendapat perhatian dari PBB yang dapat dilihat melalui acara 75th session of the UN General Assembly Virtual High-Level Side Event “Death Penalty and Gender Dimension – Exploring Disadvantage and Systemic Barriers Affecting Death Sentences” pada September 2020. Komisaris Tinggi HAM menyerukan penghapusan pidana mati dalam segala kondisi.

Hasil wawancara PPRI dengan beberapa terpidana mati yang masih berada dalam Lapas, menunjukan bahwa banyak hal yang melatar belakangi seseorang membuat keputusan atau mengambil pilihan yang membuat mereka bersalah dimata hukum. Tekanan dari seseorang sehingga membuat seseorang melakukan tindak pidana, relasi kuasa dalam hubungan, kebutuhan ekonomi, ketergantungan terhadap narkotika, dan/atau kerentanan perempuan. Sayangnya latar belakang kerentanan perempuan tersebut sama sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang dapat meringankan hukuman, dan alasan tidak mendukung program pemerintah dalam menegakkan hukum narkotika selalu memenangkan simpati hakim, hingga tidak melihat sisi kerentanan seorang perempuan yang berhadapan dengan hukum narkotika.

Terakhir, Tindak Pidana Perdagangan Orang (human traficking) termasuk ke dalam kejahatan terorganisir lintas batas negara dilakukan secara illegal dan canggih. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kejahatan yang di alami manusia terutama perempuan dan anak-anak juga sebagai bentuk kejahatan pelanggaran hak asasi manusia.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami sebagai bagian dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dalam momentum memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 2023 hendak mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera:

  1. Melakukan langkah-langkah progresif untuk segera menghapus praktik penjatuhan pidana mati dalam setiap tindak pidana oleh karena tidak memiliki dampak penurunan angka tindak pidana dan efek jera;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Membentuk aturan-aturan teknis berkaitan dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana mati, sebagaimana yang diatur dalam KUHP Baru;
  4. Meninjau kembali modus dan sarana/modus perdagangan orang, yang sebelumnya tidak melihat kerentanan untuk dieksploitasi sebagai kurir narkotika, sekarang sudah saatnya untuk dikaji dan dipertimbangkan, karena sudah ada kasus-kasus yang nyata adanya persinggungan antara TPPO dan penyelundupan narkotika;
  5. Memperkuat akses terhadap peradilan yang adil sehingga Pekerja Migran Indonesia (PMI) mendapatkan haknya untuk keadilan dan pemenuhan hak atas informasi dan komunikasi bagi PMI terancam hukuman mati dan keluarganya;
  6. Meningkatkan perjanjian dengan negara tujuan dan memperkuat akuntabilitas negara; Selamatkan Pekerja Migran dari hukuman mati dan menghapus hukuman mati di dalam negeri;
  7. Pemerintah segera menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dengan mengadopsi kebijakan berbasis gender untuk mengatasi kekerasan, bias dan diskriminasi gender yang menjadi ciri penyelidikan dan persidangan, yang juga berkontribusi dalam membawa perempuan, anak perempuan dan kelompok minoritas gender lain ke hukuman mati;
  8. Melakukan pembinaan yang baik di dalam Lapas agar tidak melahirkan generasi bandar narkotika baru di Indonesia;
  9. Pemerintah segera meninjau hukuman mati dari korban tindak pidana perdagangan sindikat narkotika.

Narahubung:

  • LBH MASYARAKAT: 0878-7721-6278
  • KABAR BUMI: 0812-8338-0486
  • WOMXN’S VOICE: 0812-1333-7127
  • Yayasan Mutiara Maharani: 0812-9834-6174
  • PBHI: 0852-5235-5928
  • Forum Akar Rumput Indoensia (FARI): 0896-1553-5777
  • KontraS: 0812-3275-8888
  • PPRI: 0819-1021-0423

[Rilis Pers] Hentikan Pendekatan Keamanan dan Militeristik dalam Kebijakan Narkotika

Pada Senin, 11 September 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelenggaran rapat terbatas (Ratas) soal pemberantasan dan penanganan narkotika di Indonesia. Dalam Ratas itu, Jokowi menyampaikan terdapat usulan agar rehabilitasi narkotika bisa dilakukan di Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam). Jokowi mengatakan usulan itu muncul dari Panglima Daerah Militer (Pangdam). Namun demikian, Jokowi tidak menyebutkan usulan itu muncul dari Pangdam wilayah mana.

Jokowi bukan pertama kali ini saja mewacanakan penggunaan pendekatan atau pelibatan aktor keamanan dalam kebijakan narkotika. Sebelumnya, pada tahun 2016, Jokowi pernah secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Dalam arahan tersebut, tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Perintah tembak di tempat yang diserukan Jokowi tersebut kemudian mulai memakan korban. Berdasarkan pemantauan LBH Masyarakat (LBHM), dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Catatan tersebut menunjukan watak Jokowi lebih menyukai pendekatan perang dalam mengatasi permasalahan narkotika (War on Drugs), ketimbang pendekatan yang berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan atau sains yang sejalan dengan hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Undang-Undang TNI), dalam ketentuan Pasal 7 pada pokoknya telah menyebutkan bahwa TNI memiliki tugas pokok menegakan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan negara Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang TNI tersebut, tugas pokok TNI tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Merujuk ketentuan tersebut tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa TNI diberikan kewenangan untuk melakukan rehabilitasi masalah narkotika.

Pelibatan TNI dalam kebijakan narkotika hanya akan menambah rentetan permasalahan dwi fungsi TNI yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Jika terus dibiarkan, kebiasan buruk ini akan mengancam iklim demokrasi dan HAM yang susah payah telah diperjuangkan dalam reformasi tahun 1998. Padahal, dalam kebijakan narkotika sepatutnya pendekatan kesehatan dengan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan HAM yang seyogyanya dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan kebijakan narkotika di Indonesia.

Berdasarkan catatan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN), rehabilitasi bukanlah satu-satunya alternatif solusi, apalagi rehabilitasi yang bersifat paksa. Dari jumlah 13% pengguna narkotika yang mengalami masalah dalam penggunaannya, tentunya membutuhkan pendekatan yang bervariasi dan tidak terbatas pada pendekatan rehabilitasi rawat inap/jalan. Upaya dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan, serta intervensi berbasis sosial bagi 87% pengguna narkotika tanpa gangguan lebih memberikan solusi, ketimbang mengirim mereka ke penjara dan/atau memaksa mengakses (bersifat mandatory) layanan rehabilitasi, termasuk jika nanti dilakukan di Rindam.

Oleh sebab itu, sudah seyogyanya Jokowi kembali kejalan yang benar dan menolak usulan-usulan yang justru menjerumuskan kebijakan narkotika secara khusus, dan situasi HAM Indonesia secara umum, ke dalam keterpurukan yang lebih dalam. Berdasarkan hal-hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika menuntut, sebagai berikut:

  1. Negara harus menjamin bahwa praktik perang terhadap narkotika (War on Drugs) harus diakhiri;
  2. Negara harus mengambil tindakan yang efektif dalam permasalahan narkotika yang berlandaskan pendekatan kesehatan dan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan HAM;
  3. Negara harus menghentikan segala upaya untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI.

Jakarta, 12 September 2023

Hormat kami:

LBH Masyarakat
KontraS
Imparsial
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Centra Initiative
Rumah Cemara
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)
Lingkar Ganja Nusantara (LGN)
Paguyuban Peduli Kebijakan Napza Parahiangan (PPKNP)

Narahubung:

  1. Maruf Bajammal
  2. Andy Muhammad Rezaldy

JOINT CALL FOR SINGAPORE TO HALT EXECUTIONS IMMEDIATELY

25 July 2023

This week Singapore intends to execute Mohd Aziz bin Hussain, a 56-year-old Singaporean Malay man convicted of trafficking approximately 50g of diamorphine (heroin) and Saridewi binte Djamani, a 45-year-old Singaporean woman convicted of trafficking approximately 30g of diamorphine (heroin). It has been almost twenty years since Singapore last executed a woman. If these executions proceed, Singapore will have executed 15 people for drug offences since 30 March 2022, an average of one execution every month.

International law restricts the death penalty to the ‘most serious crimes’ understood as intentional killing: executions for drug offences clearly fail to meet the ‘most serious crimes’ criterion under the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Singapore is among a handful of countries that have executed (China, Iran and Saudi Arabia) or are likely to have executed (Vietnam and North Korea) individuals for drug offences in 2022 (see reports of Amnesty International and Harm Reduction International).

In an interview in September 2022, Law Minister K. Shanmugam confirmed that Singapore’s harsh policy on drugs is not resulting in the arrest of the so-called ‘Kingpins’: “Are we only catching the small guys and not the big guys? It’s a non-question because, you know, the big guys don’t come into Singapore for good reasons”. In July 2022, eight United Nations Special Procedures experts observed that “A disproportionate number of minority persons were being sentenced to the mandatory death penalty in Singapore”. In sum, instead of disrupting drug cartels, as it often claims to be the objective, the Government of Singapore deliberately retains capital drug laws that, in practice, operate to punish low-level traffickers and couriers, who are typically recruited from marginalised groups with intersecting vulnerabilities.

In December 2022, 125 countries voted for a moratorium on the death penalty at the United Nations. In June 2022, Thailand removed marijuana and hemp (that is below 0.2% THC) from its narcotics list. In April 2023, Malaysia’s parliament voted to abolish the mandatory death penalty, a law that took effect in July 2023, including for drug trafficking. The Government of Singapore is out of step with the global trend by continuing with this cruel and abhorrent practice.

The notion of national sovereignty cannot be used to undermine or negate the State’s obligation to protect the right to life. We strongly urge the Government of Singapore to immediately halt these scheduled executions. Instead, Singapore should pursue effective measures to humanely address the complex problem of drug trafficking in the country, particularly in the absence of any evidence that the death penalty is a uniquely effective deterrent for those who commit drug offences.

We also call on the UN Office on Drugs and Crime to take concrete actions to urge States to dispel the misguided notion that capital punishment is allowed under the UN Drug Conventions.

We call on the international community, particularly States who have abolished the death penalty in law or practice, to help halt this inhumane, ineffective and discriminatory practice in Singapore. 

Signed:

Amnesty International

Anti-Death Penalty Asia Network, Malaysia

Capital Punishment Justice Project, Australia

Coalition Against the Death Penalty, Philippines

Eleos Justice, Faculty of Law, Monash University, Australia

Ensemble contre la peine de mort (ECPM), France

Harm Reduction International, United Kingdom

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia

Odhikar, Bangladesh

Transformative Justice Collective, Singapore

RILIS PERS – Amicus Curiae untuk Terdakwa Ferdy Sambo, Penjatuhan Pidana Mati Wajib Berefikasi pada Reformasi Polri

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen mendorong penghapusan hukuman mati di seluruh tindak pidana di sistem hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengirimkan Amicus Curiae pada 4 Juli 2023 untuk Pemeriksaan Tingkat Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 53/PID/2023/PT.DKI jo. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 796/PID.B/2022/PN.JKT.SEL a.n. Terdakwa Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H.

Melalui Amicus Curiae yang LBHM kirimkan, harapannya Hakim dapat membaca kemarahan publik dan mengejawantahkannya kepada keadilan yang mampu mendorong untuk melakukan reformasi Polri, dan juga sekaligus memberikan restitusi kepada korban atau keluarga korban, dan pihak-pihak lain yang turut serta, menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus ini.

Berikut catatan LBHM kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Tingkat Kasasi terhadap Terdakwa Ferdy Sambo:

  1. Mempertimbangkan tidak adanya kejadian atau kondisi spesifik yang memberatkan Terdakwa.
  2. Mempertimbangkan tidak adanya keberulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
  3. Menjatuhkan Terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup atau waktu tertentu.
  4. Membebankan Terdakwa biaya restitusi terhadap keluarga Korban dan terhadap pihak-pihak lain yang telah dirugikan oleh perbuatan Terdakwa.
  5. Memerintahkan untuk melakukan reformasi Institusi Polri yang terukur, sistematis, dan transparan untuk mencegah keberulangan.

Silakan membaca Amicus Curiae tersebut melalui pranala di bawah ini:

Link Download

[RILIS PERS] ABSENNYA ISU DISABILITAS: INDIKASI PEMBAHASAN RUU KESEHATAN YANG TIDAK TUNTAS

11 Juli 2023

Beberapa hari terakhir, telah beredar informasi bahwa pada hari Selasa, 11 Juli 2023, akan diadakan Rapat Paripurna DPR RI Ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023. Salah satu agenda Rapat tersebut adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kesehatan (RUU Kesehatan). Upaya pengesahan RUU Kesehatan menjadi polemik dan mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat seperti organisasi profesi bidang kesehatan, organisasi masyarakat sipil, hingga organisasi disabilitas. 

Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menghadapi dampak langsung dari pengesahan RUU Kesehatan, Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), Perkumpulan OHANA, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, dan Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas tentang RUU Kesehatan. Survei yang dibuka tanggal 8 Juni hingga 7 Juli ini berhasil menghimpun 100 responden. Hasil survei tersebut mengindikasikan:

  1. Keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas lainnya relatif rendah pada perumusan RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Survei menemukan, dari 100 responden, terdapat 69% menyatakan tidak terlibat advokasi RUU Kesehatan, meski 94% partisipan menyatakan advokasi RUU Kesehatan penting bagi mereka. Bentuk partisipasi yang paling sering disebutkan adalah keterlibatan bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.
  2. Di sisi lain, akses terhadap dokumen RUU Kesehatan sangat sulit didapatkan. Meski 69% responden menyatakan mengetahui bahwa saat ini sedang terjadi pembahasan RUU Kesehatan,tetapi hanya ada 30% yang pernah mengakses dokumen seputar RUU Kesehatan. Ditambah lagi, hingga rilis pers ini dibuat, draft final RUU Kesehatan masih simpang siur keberadaannya.
  3. Proses legislasi RUU Kesehatan tidak transparan dan tidak memperhitungkan aspirasi masyarakat sipil. Ini dapat dilihat dari kondisi saat ini, di mana naskah final RUU Kesehatan masih simpang siur, bahkan hingga satu hari sebelum pembicaraan tingkat II. Di sisi lain, naskah yang terdapat pada website DPR RI tidak mengalami perubahan setelah masyarakat sipil memberi masukan. Padahal, masyarakat sipil, terutama penyandang disabilitas akan sangat terdampak jika RUU Kesehatan disahkan tanpa substansi keberpihakan yang jelas.
  4. Pemerhati isu disabilitas memiliki aspirasi yang sangat luas akan permasalahan kesehatan. Berdasarkan survei, responden menggarisbawahi isu-isu penting yang menurut mereka perlu untuk diakomodir oleh RUU Kesehatan, yakni kesesuaian substansi RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan mandat-mandat Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas (73%), jaminan layanan kesehatan berbasis hak asasi manusia (71%), ketersediaan layanan kesehatan bagi disabilitas (71%), program jaminan kesehatan negeri/swasta (69%), sistem rujukan layanan kesehatan (58%), intervensi dan deteksi dini (54%), layanan edukasi kesehatan (50%), disabilitas psikososial (49%), obat-obatan khusus untuk penyandang disabilitas (47%), upaya kesehatan berbasis masyarakat (43%), disabilitas karena sindrom langka (39%), kesehatan reproduksi penyandang disabilitas (39%), layanan habilitasi (33%), kesehatan remaja (32%).
  5. Prioritas permasalahan-permasalahan kesehatan ini belum cukup diakomodir oleh naskah terakhir dari RUU Kesehatan. Misalnya, kesesuaian RUU Kesehatan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas masih diragukan ketika masih ada Pasal 104 di mana penyandang disabilitas mental masih bisa dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan. Menurut RUU Kesehatan saat ini, penentuan ketidakcakapan ini bisa dilakukan dengan segera pada saat itu juga ketika seseorang hendak mendapatkan layanan medis dari dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter lainnya yang memberikan layanan. Ketentuan ini mencerabut hak atas kapasitas hukum penyandang disabilitas yang telah dijamin oleh Pasal 12 Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas, yakni hak untuk bertindak dan menentukan pilihan sebagai subjek hukum yang setara.
  6. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang sudah diidentifikasi oleh penyandang disabilitas, pengasuh anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas direduksi ke dalam hanya satu pasal dalam RUU Kesehatan, yakni Pasal 59, yang secara umum menjamin kesetaraan penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas di Indonesia cukup spesifik. Sebagai contoh, tidak ada penjelasan dan jaminan penyediaan tentang Alat Bantu dan Alat Bantu Kesehatan yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan benda yang sangat prinsipil dalam hidup penyandang disabilitas, sebab bisa mendorong kemandirian penyandang disabilitas. Ironisnya, Pasal 59 dalam draft RUU Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk mendorong hidup yang bermartabat, sesuatu yang sulit tercapai jika tidak adanya jaminan atas Alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak draft RUU Kesehatan saat ini dan meminta untuk menunda pengesahan oleh DPR RI.
  2. Mendesak DPR RI dan Pemerintah membuka partisipasi masyarakat sipil, khususnya penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas, untuk melakukan pembahasan ulang bersama.
  3. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menghapus pasal-pasal diskriminatif dan yang bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Kesehatan.
  4. Meminta DPR RI dan Pemerintah agar mengkaji dan menggunakan “Guidance on Mental Health, Human Rights, and Legislation” yang dibuat oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization pada 2022 sebagai salah satu rujukan penyusunan RUU Kesehatan.

Organisasi yang Mendukung dan Narahubung:

  1. FORMASI Disabilitas, 0852-5623-3366 (Nur Syarif Ramadhan)
  2. Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), 0877-7548-6146 (Hisyam Ikhtiar)
  3. Wahana Keluarga Cerebral Palsy, 0856-2851-903 (Reny Indrawati)
  4. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 0859-3967-6720 (Albert Wirya)
  5. Perkumpulan OHANA, 0812-2756-973 (Nuning Suryatiningsih) 0821-3729-3816 (Risnawati Utami)
  6. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, 0815-5332-8120 (Sylvia Sumargi)
  7. Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), 0813-2941-2360 (Purwanti)

[Siaran Pers Hari Narkotika Internasional 2023] KUHP Baru: Melanggengkan Hukuman Bagi Pengguna Narkotika

KUHP yang disahkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih bermasalah yang mengancam kebebasan sipil, demokrasi dan hak untuk hidup terutama rumusan yang mengatur jerat pidana bagi pengguna narkotika. Rumusan dalam KUHP Baru terkait narkotika yang termuat dalam Pasal 609 beberapa rumusannya merupakan materi yang serupa dengan Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika) yang mengatur tentang memiliki, menguasai, menyediakan, menyimpan narkotika. Duplikasi pasal dalam KUHP Baru dari UU Narkotika pada dasarnya mengulangi kembali kegagalan yang dibuat UU Narkotika yang berujung pada terulang kembalinya overcrowding penjara.

Di sisi lain, KUHP Baru mengatur mengenai tindakan rehabilitasi bagi terdakwa narkotika yang tercantum dalam Pasal 105. Namun pasal ini tidak mengurangi kewenangan aparat penegak hukum untuk menangkap dan menahan terlebih dahulu pengguna narkotika, sebagaimana praktik yang terjadi saat ini dalam UU Narkotika yang masih melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan bagi pengguna narkotika. Model pengaturan seperti ini berarti pasal-pasal narkotika dalam KUHP Baru masih menjadi ancaman kriminalisasi bagi pengguna narkotika.

Di samping itu juga, pasal-pasal narkotika dalam KUHP Baru berpeluang tumpang tindih dengan revisi UU Narkotika yang saat ini sedang dibahas di DPR. Disharmoni antara aturan umum (KUHP Baru) dan aturan sektoral (UU Narkotika) mengakibatkan pasal-pasal narkotika menjadi multitafsir. Dalam arti lain, tak ada jaminan kepastian hukum hingga implementasi tidak berjalan efektif. Persoalan ini melanggengkan bentuk pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan.

Sepanjang 2 (dua) tahun dari 2022-2023, LBHM mendokumentasikan bentuk pelanggaran dari sistem hukum narkotika yang brutal dan tidak manusiawi serta merampas hak untuk hidup. Dari 803 warga binaan pemasyarakatan (WBP), terdapat 159 individu mengaku mengalami penyiksaan di tingkat penyidikan, 85 individu mengalami pemerasan. Selain itu, dari 803 individu, LBHM juga menemukan 711 individu yang tidak mendapatkan akses bantuan hukum di penyidikan dan 687 di tingkat pengadilan. Bahkan sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia telah melakukan 3 (tiga) gelombang eksekusi mati yang menyasar 18 orang terpidana mati yang berasal dari kasus narkotika. Meskipun sejak 2016 sampai sekarang, tidak ada eksekusi mati namun tren vonis pidana mati tidak pernah turun dan dominan berasal dari kasus narkotika.

Problem hukum narkotika yang punitif mengingkari semangat Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjamin pemenuhan hak atas kesehatan dan akses terhadap keadilan dengan prinsip “No One Left Behind” yang berarti tidak ada seorang yang tertinggal, termasuk bagi pengguna narkotika yang masih terstigma dan diskriminasi dan jauh dari pelayanan kesehatan dan sosial yang berbasis hak asasi manusia.

Dalam konteks pengurangan dampak buruk (harm reduction) terhadap narkotika dalam perspektif keagamaan sebagai narasi yang mendominasi persoalan narkotika masih tidak sinkron, sehingga terjadi kesenjangan antara institusi keagamaan dengan pengguna narkotika, seperti perspektif keagamaan yang tumpul mengedukasi pemenuhan kesehatan pengguna narkotika di fasilitas kesehatan. Kondisi ini secara struktural terjadi akibat tidak masuknya agenda pendekatan kesehatan pengguna narkotika dalam perspektif keagamaan yang secara kelembagaan merupakan tanggung jawab Kementerian Agama.

Atas uraian di atas, LBHM mendesak untuk:

  1. Mencabut pasal-pasal bermasalah dalam KUHP Baru, diantaranya pasal-pasal tentang narkotika;
  2. Mendorong revisi UU Narkotika yang berbasis pendekatan kesehatan dan sosial dalam kerangka hak asasi manusia;
  3. Menghapus pasal pidana mati dalam KUHP Baru dan UU Narkotika;
  4. Mendorong keterlibatan berbagai sektor stakeholder dalam pengurangan dampak buruk terhadap pengguna narkotika.

Jakarta, 23 Juni 2023

Narahubung:

  1. Kiki Marini (+62 896-3970-1191)
  2. Awaludin Muzaki (+62 812-9028-0416)

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Orang dengan Disabilitas Psikososial\” dan Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”

Penyusunan kebijakan tentang disabilitas di Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dan tersebar di setiap institusi pemerintah pusat atau daerah juga swasta. LBHM menemukan hampir 300 peraturan tentang disabilitas dibanyak sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum, perlindungan sosial yang dibuat pemerintah sampai saat ini dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan peraturan-peraturan ini menunjukan komitmen dalam mengakui dan memahami situasi disabilitas saat ini ke arah yang responsif.

Dalam studi ini LBHM meninjau ratusan peraturan yang eksisting tapi belum berhasil menjawab kebutuhan ragam disabilitas, terutama disabilitas psikososial. Di samping itu peraturan yang spesifik terhadap disabilitas psikososial masih mengandung hambatan dalam implementasinya. bahkan jenis-jenis peraturan tersebut cenderung disharmoni satu sama lain secara vertikal atau horizontal dan juga masih ditemukan kekosongan hukum dalam menjamin kesetaraan di hadapan hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap akses keadilan bagi disabilitas psikosial.

Meskipun LBHM juga menilai dibeberapa institusi pemerintah memiliki peraturan yang terbilang komprehensif seperti di Direktorat Jenderal Peradilan Umum pada Mahkamah Agung namun aturan ini belum menginternalisasi di tingkat pengadilan bawah seperti pengadilan negeri, terlebih pengadilan negeri merupakan pengadilan yang dibutuhkan oleh disabilitas mental mendapatkan keadilan.

Persoalan internalisasi terhadap institusi pusat yang memiliki struktur organisasi sampai level Kota dan Kabupaten merupakan kendala besar dalam singkronisasinya. Bahkan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap Kabupaten dan Kota menyusun peraturan daerah masing-masing, persoalan disabilitas menghadapi jalan terjal mengingat sebaran disabilitas terdapat di mana-mana. Dengan kondisi seperti ini upaya menghadirkan penanganan disabilitas yang responsif masih menghadapi tantangan yang cukup berat.

Namun dengan hadirnya studi ini, pemerintah bisa memperbaiki perkembangan hukum saat ini yang sudah dicapai ke arah yang digariskan dalam Konvensi Hak Orang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi 2016 lalu sebagai wujud komitmen kuat Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak disabilitas.

Silakan membaca hasil penelitian dan policy brief yang telah LBHM lakukan melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian ” Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososia Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososial” :

Policy Brief ” Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia” :

Fact Sheet Know Your Rights

Di fact sheet ini, kita akan melihat sejauh apa manfaat partisipasi publik, bagaimana dampaknya jika partisipasi publik tidak berjalan, dan nantinya kedua hal itu berkaitan dengan istilah Kota Ramah HAM.

Yuk Sobat Matters, kita berkenalan dengan poin-poin penting itu supaya lebih memahami hak kita sebagai warga negara dan bisa mendorong para pemangku kebijakan seandainya mereka membuat kebijakan atau peraturan yang sifatnya diskriminatif di daerah kita masing-masing.

Kalian bisa mengakses fact sheet tersebut melalui link di bawah ini ya:

[Laporan Penelitian] Dalam Rangka Menegakkan Tibum: Sebuah Asesmen terhadap Konsep dan Implementasi Ketertiban Umum di Indonesia

Beragamnya peraturan-peraturan normatif tentang ketertiban umum menyebabkan tiadanya satu definisi yang padu tentang ketertiban umum di Indonesia. Pendefinisian ketertiban umum sangat tergantung dari kepentingan penguasa yang tercermin dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Definisi ketertiban umum yang tidak bulat tersebut menyebabkan variasi jenis-jenis ketertiban. Totalnya ada 48 jenis tertib di mana satu jenis tertib umumnya menjabarkan beberapa jenis aktivitas yang dilarang. Beberapa aturan ketertiban umum pada level lokal pun mengulang peraturan pada tingkat nasional.

Ragam-ragam ketertiban umum mampu menghambat pemenuhan HAM orang dengan HIV dan populasi kunci HIV. Salah satu jenis ketertiban yang umumnya mendisiplinkan ODHIV dan populasi kunci HIV adalah ragam tertib sosial yang umumnya mengkategorikan apa yang dimaksud dengan tindakan asusila. Sayangnya, tindakan asusila sering kali didefinisikan secara bebas, sepihak, dan luas.

Misalnya, Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 7 Tahun 2016 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, menyamakan tindakan asusila sebagai menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman dan aktivitas seksual lainnya.

Untuk itu, penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana konsep ketertiban umum didefinisikan serta bagaimana dampak penegakannya bagi penghormatan, pelindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Kalian dapat membaca hasil penelitian tersebut melalui link di bawah ini:

id_IDIndonesian