Tag: Siaran Pers

Peringatan Darurat: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP

Pada Kamis, 13 November 2025, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Kementerian Sekretariat Negara telah selesai melakukan Pembahasan RUU KUHAP dan melakukan pengambilan keputusan Tingkat I hanya dalam waktu dua hari.

Artinya RUU KUHAP ini tinggal selangkah lagi untuk disahkan menunggu sidang paripurna yang rencananya akan dijadwalkan Minggu depan.

Selama pembahasan RUU KUHAP ini, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai terdapat tumpukan masalah dari aspek proses pembahasan dan substansi yang diputuskan. Proses pembahasan nampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026.

Terlebih surat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan  KUHAP perihal  permohonan respons atas masukan selama Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) maupun masukan tertulis  yang  disampaikan  langsung,  luput  direspons  bahkan   dipertimbangkan  dan diakomodir dalam pembahasan RUU KUHAP.

Pada sisi lain dari aspek substansi, pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang sudah disetujui di tingkat I ini memuat pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang, di antaranya:

Semua Bisa Dijebak Aparat

Operasi undercover  buy (pembelian  terselubung)  & controlled  delivery (pengiriman  di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus yakni narkotika. Dalam RUU KUHAP kewenangan ini menjadi metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).

Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.

Semua Bisa Kena Diamankan, Ditangkap, dan Ditahan Tanpa Kejelasan, Bahkan di Tahap Penyelidikan Saat Belum Ada Tindak Pidana

Semua bisa kena melalui pasal karet dengan dalih mengamankan khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana (Pasal 5). Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP existing, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.

Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, Penggeledahan, dan bahkan Penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.

Semua Bisa Kena Tangkap-Tahan Sewenang-Wenang Tanpa Izin Hakim

Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui   pemeriksaan habeas   corpus,   serta   penyimpangan   aturan   mengenai   masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1×24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP juga tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93).

Semua Bisa Kena Geledah, Sita, Sadap, dan Blokir Menurut Subjektivitas Aparat Tanpa Izin Hakim

Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A). RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124).

Semua Bisa Kena Peras dan Dipaksa Damai dengan Dalih “RJ”, Bahkan di Ruang Gelap Penyelidikan

Dalam Pasal 74a RUU KUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan belum terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?

Selain itu hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun, ini menjadi ruang gelap di penyelidikan.

RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ) karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan  hanya  akan dianggap  stempel,  tanpa  memandatkan  kepada hakim untuk melakukan  pemeriksaan  secara  substansial  (judicial  scrutiny) dan  memberikan  opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat (Pasal 78, 79).

Semua Bisa Polisi Kuasai

Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8). Padahal selama ini masih memiliki beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana.

Semua Penyandang Disabilitas Bisa Tanpa Perlindungan

Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang  layak bagi penyandang disabilitas  yang berhadapan  dengan  hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif. Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.

Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang- wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum.

Semua Bisa Kena, Semua Bisa Jadi Korban, Semua Bisa Direkayasa Jadi Tersangka, dan Semuanya Terjadi karena RKUHAP Dipaksakan Terburu-buru

RUU KUHAP berlaku tanpa masa transisi, langsung mengikat jutaan aparat dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan mulai 2 Januari 2026. Terdapat lebih dari 10 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang akan dikebut dalam waktu setahun (Pasal 332 dan 334).

Artinya, potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan. Koalisi juga sudah sering menyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial KUHP Baru ternyata juga belum diatur secara memadai dalam draf terakhir RUU KUHAP yang diputuskan dalam Tingkat I.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami menyerukan agar:

  1. Presiden menarik  draf  RUU KUHAP per 13 November 2025 untuk tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna;
  2. Pemerintah dan DPR merombak substansi  draf RUU KUHAP per 13 November 2025  dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check   and   balances,   sebagaimana   usulan   konsep-konsep    dalam  Draf Tandingan  RUU KUHAP  versi Masyarakat Sipil ; dan
  3. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHP Baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah.

 

Jakarta, 14 November 2025

-Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

 

Langkah Antisipasi Yang Minim Partisipasi: Pernyataan Sikap Terhadap RANPERDA Kota Bandung Tentang Penyimpangan Seksual

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang memasukkan ragam orientasi seksual homoseksual dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Upaya legislasi ini memperlihatkan adanya upaya untuk membuat kepanikan moral sebagai justifikasi membuat aturan punitif yang mengada-ada.

Ketua   Komisi   I   DPRD   Kota   Bandung,   Radea   Respati   menyatakan   bahwa   regulasi   ini mengantisipasi  potensi perilaku menyimpang di masyarakat, mengutip perilaku LGBT sebagai ancaman serius bagi generasi muda.   Walikota Bandung, Muhammad Farhan, juga menyetujui Ranperda ini lewat jawaban tertulis pada 7 Oktober 2025, dengan menyatakan siap mendukung Ranperda  tersebut  sebagai  upaya  menjaga  ketertiban  dan  perlindungan  bagi  warga  Kota Bandung.

Mempelajari situasi ini dan membaca draft Ranperda yang beredar, KAIN menggarisbawahi tiga kesesatan pikir yang terefleksi dalam aspek formil dan materiil pembuatan perda ini:

Pertama, dalam aspek formil, pembuatan peraturan daerah ini lemah dalam mengakomodir asas partisipasi  publik.  Berdasarkan  penelusuran  di  media  online  dan  juga  di  situs  DPRD  Kota Bandung (https://dprd.bandung.go.id/), belum ada rapat yang menghadirkan kelompok masyarakat sipil. Pembahasan hanya menyertakan fraksi-fraksi yang ada di DPRD Kota Bandung dan beberapa pihak eksekutif, seperti Dinkes, Bag. Hukum Setda dan Tim Naskah Akademik, seperti yang ditunjukkan dalam agenda DPRD Kota Bandung tanggal 5 November 2025.3

Unsur  partisipasi  publik  juga  sulit  terpenuhi  tanpa  ada  transparansi  dalam  pembentukan undang-undang.  Sejauh  ini  tidak ada naskah akademis dan naskah RUU yang dipublikasikan secara resmi di situs DPRD atau Pemkot, sehingga masyarakat sipil tidak bisa menilai sebenarnya urgensi dari adanya aturan ini.

Tanpa ada partisipasi publik, data yang digunakan sebagai dasar pembuatan Ranperda jadi dipertanyakan. Malah, dalam keterangannya pada media tanggal 3 November, Anggota Panitia Khusus (Pansus) 14 DPRD Kota Bandung yang menuliskan rancangan kebijakan daerah ini, drg. Susi Sulastri, menyatakan bahwa mereka masih akan bertanya kepada akademisi data kasus penyimpangan seksual di Kota Bandung.4  Dengan demikian, ada pertanyaan besar apakah naskah Ranperda yang sudah beredar ini dibuat tanpa mengetahui data atas permasalahan yang hendak dipecahkan oleh Ranperda ini.

Seharusnya pihak DPRD dan Pemkot bisa belajar dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Asas Partisipasi  Publik  sebagaimana  yang     pernah  disampaikan  dalam  Putusan  MK No.91/PUU-XVIII/2020  bahwa  partisipasi  publik  menyangkut  hak  untuk  didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak  untuk  mendapatkan  penjelasan  atau  jawaban  atas  pendapat  yang  diberikan  (right to be explained).

Kedua,  pasal  dalam  Ranperda  tersebut  masih  keliru  dalam  menempatkan  orientasi  seksual sebagai penyimpangan seksual. Pasal 9 dalam Ranperda ini menggolongkan homoseks dan lesbian sebagai bentuk perilaku penyimpangan seksual. Keragaman orientasi seksual ini disejajarkan dengan bentuk penyimpangan seksual lain, seperti pedofilia, nekrofilia, dan inses.

Menyetarakan orientasi seksual homoseksual sebagai penyimpangan bertolak belakang dengan perkembangan pengetahuan dan ilmu kesehatan. Pedoman kesehatan internasional seperti Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V dan International Classification of Diseases (ICD) 10 sudah menghapus homoseksual sebagai bentuk gangguan jiwa karena ketiadaan bukti ilmiah dan diagnosis semacam itu lebih sering menyakiti kesehatan jiwa individu homoseksual.

Perspektif medis yang sama juga diikuti oleh organisasi profesi kesehatan jiwa di Indonesia. Poin F66 Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III  Kementerian Kesehatan Republik  Indonesia  menyebutkan  bahwa  “orientasi  seksual  sendiri  jangan  dianggap  sebagai sebuah gangguan.”

Dengan demikian, tidak ada dasar yang jelas dalam memasukkan homoseksual dan lesbian dalam bentuk-bentuk  perilaku  penyimpangan  seksual. Beberapa  pernyataan  publik  yang  ditangkap media memperlihatkan penggolongan ini semata-mata dilakukan karena ketidaktahuan dan ketakutan yang tidak berdasar pada individu homoseksual.

Ketiga, narasi rehabilitasi dan preventif yang seolah-olah humanis dalam Ranperda ini berpotensi menyesatkan (misleading) karena berpotensi mengarah ke terapi konversi. Pasal 15 Ayat (1) Ranperda  menyatakan  bahwa  pemerintah daerah akan melakukan konseling terintegrasi yang mengikutsertakan ahli psikiatri, psikolog, dan pembimbing keagamaan bersertifikat pada setiap unit pelayanan konseling. Selain itu, menurut Pasal 17 Ayat (2), Pemerintah Daerah juga akan melakukan pengawasan di tempat-tempat yang berisiko tinggi, seperti gymnastic, tempat hiburan, dan tempat lainnya dengan memperhatikan laporan masyarakat.

Jika orientasi seksual tetap dianggap sebagai penyimpangan, praktik konseling yang dimaksud akan memenuhi praktik terapi konversi, yakni merupakan upaya paksa sistematis yang dilakukan oleh  berbagai  pihak  untuk  mengubah  orientasi  seksual  dan/atau  identitas  gender seseorang. Praktik ini sudah dikecam oleh berbagai ahli HAM karena meningkatkan risiko gangguan stres dan trauma, depresi berat, dan ide bunuh diri.

Karena penderitaan yang dihasilkan dari terapi konversi ini serta praktik diskriminatif yang dilakukannya hanya untuk menyasar kelompok keberagaman gender dan seksualitas, model konseling terintegrasi dalam Ranperda ini bisa digolongkan sebagai penyiksaan. Berbagai aturan hukum internasional dan nasional, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovensi Menentang Penyiksaan, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengkriminalisasi tindakan penyiksaan.

Selain   itu,   model   pengawasan   yang   diamanatkan   dalam   Ranperda   ini   juga   berpotensi mempertebal aksi main hakim sendiri. Pasal 17 Ayat (2) Ranperda menjelaskan bahwa masyarakat bisa melaporkan tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat yang berisiko terdapat penyimpangan seksual. Dalam banyak kasus persekusi individu LGBTIQ+, dukungan untuk melakukan    persekusi    seringkali    datang    dari    pihak    yang    melaporkan   dugaan   adanya aktivitas/pesta LGBT’ tanpa bukti.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, KAIN mengecam upaya pembatasan ruang sipil bagi individu LGBTIQ+ yang termuat dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Inisiasi dan pembahasan tanpa faedah, tanpa partisipasi, dan tanpa keberpihakan pada yang rentan, hanya akan melemahkan prinsip HAM dan demokrasi di Kota Bandung. Untuk itu, KAIN mendesak:

  1. Menghapus seluruh bagian dalam Ranperda yang memasukkan “orientasi seksual” ke dalam kategori perilaku atau penyimpangan seksual. Raperda ini secara keliru menyamakan orientasi seksual dengan kejahatan atau gangguan, yang tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, tetapi juga dapat mendorong kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.
  2. Menghapus   penyebutan  “homoseks”  dan  “lesbian”  dalam  daftar  pelaku  atau bentuk  penyimpangan  seksual  sebagaimana  tercantum  dalam  Pasal  9. Pencantuman   ini   tidak   memiliki   dasar   ilmiah   maupun   hukum,   dan   berpotensi memperkuat stigma serta diskriminasi terhadap warga negara karena orientasi seksualnya.
  3. Memastikan bahwa seluruh ketentuan dalam Ranperda berfokus pada pencegahan kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan perilaku yang secara nyata mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran hukum. Regulasi daerah semestinya diarahkan  untuk  melindungi  korban,  bukan  memperluas  stigma  terhadap  kelompok rentan yang tidak melakukan tindak pidana.
  4. Melakukan peninjauan ulang  substansi Raperda  secara  transparan  dan partisipatif, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, tenaga kesehatan, tokoh agama inklusif, serta kelompok rentan

—–

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 52 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung:

  1. Albert Wirya, LBH Masyarakat (+6285939676730 – awirya@lbhmasyarakat.org)
  2. Richa F. Shofyana, Crisis Response Mechanism Consortium (+6281313135993 – contact@crm-consortium.org)

Referensi:

  1. Rifat Alhamidi,  “DPRD Kota Bandung Susun Regulasi Antisipasi Perilaku Seksual Menyimpang,”  detik.com, 28 Oktober 2025, diakses di  https://w w w.detik.com/jabar/berita/d-8181516/dprd-kota-bandung-susun-regulasi-antisipasi-perilaku-seksual-menyimpang
  2. Diskominfo Kota Bandung, “Wali Kota Bandung Sampaikan Jawaban atas Pandangan Fraksi soal Empat Raperda,” jabarprov. go.id, 10 Oktober 2025, diakses di https://w w w.jabarprov. go.id/berita/wali-kota-bandung-sampaikan-jawaban-atas-pandangan-fraksi-soal-empat-raperda-21419
  3.  https://dprd.bandung. go.id/agenda/agenda-kegiatan-rabu-5-november-2025
  4. Yeni Siti Apriani, “Susi Sulastri: Pencegahan dan Pengendalian Masalah Penyimpangan Seksual Butuh Payung Hukum yang Kuat,”  koran-gala.id, 3 November 2025, diakses di https://w w w.koran-gala.id/news/58716190815/susi-sulastri-pencegahan-dan-pengendalian-masalah-penyimpangan-seksual-butuh-payung-hukum-yang-kuat
Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia: Urgensi Indonesia Memiliki Legislasi Anti-Diskriminasi

Diskriminasi masih menjadi persoalan yang dialami oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci, Kelompok Keberagaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG), Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, Perempuan, Penghayat Kepercayaan, dan beragam kelompok rentan lainnya. Akar masalah tersebut muncul karena kebijakan-kebijakan yang ada memiliki pengaturan secara parsial, pengakuan identitas rentan secara terbatas dan stagnan/closed-ended. Akibatnya jumlah korban diskriminasi terus bertambah namun di saat yang bersamaan sistem hukum yang ada saat ini belum mampu merespon permasalahan tersebut.

Diskursus tersebut mendorong Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Equal Rights Trust (ERT), mengadakan Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK). Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 16 – 17 September 2025 di Departemen Kriminologi FISIP UI. Diskusi bertajuk ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan yang terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, para media/jurnalis, dan mahasiswa.

Simposium ini lahir dari kebutuhan akan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan yang berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat (need-based and problem solving oriented), serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara secara komprehensif dan tanpa pengecualian. Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi.

Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto membuka simposium dengan menyatakan bahwa diskriminasi selain berdampak ke individu juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik. Untuk itu, hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang nyata dirasakan oleh warga, terutama mereka yang rentan dan selama ini tersisih dari perlindungan negara. Di sisi lain, Claude Cahn dari OHCHR menyatakan “Dengan satu UU saja, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia. Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata.”

Dalam diskusi pleno di hari pertama, pembicara dari Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya adalah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind). Dua pilar yang menopangnya adalah pilar hukum dan pilar akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia.

Untuk membedah lebih mendalam konsep RUU PDK, simposium ini membagi menjadi empat sesi diskusi tematik. Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif. Temuan penting dalam panel ini adalah diskriminasi terjadi karena kegagalan pengakuan atas fakta keberagaman dan esensi diskriminasi adalah ketidakadilan terhadap keberagaman. Sehingga definisi diskriminasi dalam RUU PDK agar berdasar alasan yang dilindungi (protected ground) dan definisi yang bersifat terbuka (open-ended definition).

Panel dua dengan tema mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi. Tematik ini menyoroti mekanisme penegakan hukum secara ideal di RUU PDK dilakukan melalui pembentukan badan/institusi baru yang independen, inklusif, partisipatif, representasi dari berbagai keberagaman kelompok rentan-minoritas, memiliki daya yang memadai, dan terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap isu diskriminasi. Mekanisme tersebut harus mampu merespon semua peristiwa diskriminasi dengan proses yang memberikan kemudahan, keandalan, dan kepastian. Menjamin penegakan dan pemulihan hak-hak korban (victims’ rights) yang akuntabel, efektif, komprehensif dan inklusif.

Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta adanya sistem pengaduan individual. Pengaturan pencegahan perlu berbasis prinsip internasional dan norma lokal yang menjunjung keberagaman, serta dijalankan melalui mandat lembaga HAM, penegak hukum, pendidikan, budaya, dan pemerintah daerah. Panel empat membedah implementasi efektif legislasi anti-diskriminasi komprehensif. Komponen penting dalam implementasi adalah memastikan badan/institusi penegakan bersifat independen, adanya audit regulasi untuk memotret dampak RUU PDK.

Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti yang mendeklarasikan Komnas Perempuan mendukung secara penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK. Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja, fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan.

Narahubung:

Arul KAIN – 0822-2406-1490

Iswan Sual KAIN – 0897-8534-135

 

Koalisi RFP Tuntut Presiden untuk Membentuk Tim Reformasi Kepolisian yang Independen dan Menyasar Setidaknya 9 (Sembilan) Masalah Sistemik Polri

Jakarta, 15 September 2025 – Desakan Reformasi Kepolisian makin keras disuarakan publik menyusul rentetan tindakan represif dan ketidakprofesionalan polisi. Terbaru, Presiden Prabowo disebut-sebut akan membentuk tim atau komisi Reformasi Kepolisian. Rencana tersebut disampaikan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) pasca berdialog dengan Prabowo di Istana Negara pada Kamis (11/9/2025). Atas rencana tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menyampaikan pandangan dan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, tuntutan Reformasi Polri harus dimaknai sebagai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi Kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur. Buruknya kinerja Kepolisian selama ini menunjukkan persoalan POLRI berakar multi aspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan Reformasi Kepolisian yang jelas dan terukur yang sejalan dengan mandat reformasi yang termaktub dalam TAP MPR No. VI tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII tentang Peran TNI dan Polri, serta Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan hanya sekedar membentuk Tim atau komisi khusus. Peta jalan ini termasuk di dalamnya berisi komitmen atas tindak lanjut hasil kerja komisi yang perlu ditindaklanjuti presiden. Jika tidak, Tim atau komisi bentukan Presiden rentan berujung tumpul, tidak efektif menjawab akar persoalan Polri, dan lagi-lagi gagal mereformasi Polri.

Kedua, sebagai langkah awal dan bagian penting Reformasi Kepolisian , Presiden dan DPR harus menghentikan upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dan merombak secara serius draft terakhir RUU tersebut (per 13 Juli 2025). Ketentuan dalam draft tersebut justru menjadikan Kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan semakin superpower dan minim kontrol dalam fungsi penegakan hukum. Selanjutnya, Presiden dan DPR wajib memastikan revisi KUHAP memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) sebagai lembaga independen dan imparsial. Termasuk skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap dan ditahan setidaknya juga wajib diakomodir sebagai ikhtiar menjamin ketidak berulangan (guarantees of non-recurrence) praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian.

Ketiga, sehubungan dengan wacana pembentukan tim Reformasi Kepolisian:
1. Presiden memastikan tim memiliki kewenangan yang efektif dan hasil dari kinerja dari pembentukan tim khusus Reformasi Kepolisian ini tidak berakhir menjadi “laporan” semata, namun rekomendasi yang dihasilkan harus bersifat mengikat, impactful, dan menjadi dasar bagi perubahan Undang-Undang Polri. Komitmen ini penting mengingat preseden gagalnya Reformasi Kepolisian yang substansial dan progresif selama ini juga diakibatkan ketiadaan kemauan politik Pemerintah dan DPR;
2. Tim yang dibentuk mesti terdiri dari sosok yang independen, berintegritas dan representatif, melibatkan elemen masyarakat sipil dan unsur akademisi yang berani, bebas dari konflik kepentingan (termasuk meniadakan unsur polisi dan Kompolnas), memiliki concern atau rekam jejak dalam mendorong reformasi kepolisian, serta secara intensif dan sehari-harinya berhadapan langsung dengan fungsi-fungsi Polri, yakni penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan keamanan dan ketertiban;
3. Agenda Reformasi Kepolisian yang digagas melalui pembentukan tim ini harus transparans dari proses hingga hasil.

Keempat, Presiden harus memastikan bahwa agenda Reformasi Kepolisian kali ini mampu mengidentifikasi persoalan fundamental Kepolisian. Sebagai respon cepat, kami memetakan setidaknya 9 (sembilan) masalah fundamental, sistemik, dan struktural kepolisian yang sudah terlampau akut menggerogoti institusi Polri, yaitu:
1. Absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen, antara lain dalam KUHAP, termasuk praktik-praktik impunitas yang mengakar;
2. Sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan-brutalitas, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif;
3. Tata kelola organisasi yang tidak transparan dan akuntabel, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, termasuk pada sistem penganggaran;
4. Sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi;
5. Terlampau luasnya lingkup tugas dan fungsi Polri, khususnya untuk pelayanan masyarakat hingga menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk penggelembungan tugas dan wewenang melalui penyelundupan norma undang-undang;
6. Penggunaan kekuatan berlebihan, Represif, sewenang-wenang dan brutal dalam penanganan aksi demonstrasi. Dalam hal ini juga tidak relevannya instrumen Korps Brigade Mobile (Brimob) dalam institusi Polri yang menyerupai instrumen perang dari segi teknik, perlengkapan, dan taktik, hingga masalah sistem operasi. Bahkan seringkali dipergunakan untuk menghadapi warga dalam konflik agraria dan sumber daya alam
7. Buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, inklusivitas, dan negara hukum;
8. Kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), dan perilaku koruptif dalam menjalankan fungsi penegakan hukum; serta
9. Keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan);.

Agenda Reformasi Kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi jati diri Polri yang sipil (civillian police) dan demokratis dengan mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi Kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pasca transisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri.

Kami meyakini, melalui komitmen dan keberanian politik Presiden melakukan Reformasi Kepolisian dengan memastikan hal-hal tersebut di atas akan menjadi tonggak penting yang berkontribusi bagi kemajuan demokrasi, HAM, dan tegaknya konstitusionalisme di Indonesia. Hal itu akan sekaligus meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, democratic policing, dan independensi serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Tanpa komitmen atas Reformasi Polri yang lebih jelas dan sistematis tersebut, kami menilai langkah Presiden membentuk tim tersebut semata-mata hanya lips service, gimmick, dan akan mengulangi kegagalan wacana-wacana reformasi kepolisian sebelumnya, sehingga sudah sepatutnya ditolak.

Jakarta, 15 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
7. Kurawal Foundation
8. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
9. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
10. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
11. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
12. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
13. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
14. Lingkar Studi Feminis (LSF)

Kertas Kebijakan: Mendorong Komutasi Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup yang Efektif, Berkeadilan, dan Bermartabat

Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023. Biasa dirujuk sebagai KUHP Baru, produk ini mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Artinya KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Melalui KUHP Baru, Indonesia memperkenalkan sejumlah ketentuan dengan tujuan restriksi atau melimitasi penggunaan pidana mati.

Pertama, pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 67 juncto Pasal 98 KUHP Baru. Pengancaman pidana mati secara alternatif bertujuan sebagai “upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Kedua, “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1). Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, Pasal 101 KUHP Baru menambahkan, “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Walau KUHP Baru menyediakan tiga pendekatan yang intensinya membatasi penggunaan pidana mati, KUHP Baru sesungguhnya masih mempertahankan pidana mati.

Selain pidana mati, KUHP Baru juga masih mempertahankan pidana penjara seumur hidup. Serupa dengan komutasi pidana mati, KUHP Baru memungkinkan pidana penjara seumur hidup diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dalam hal seorang narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun dan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 621 KUHP Baru menyebutkan bahwa peraturan pelaksana KUHP Baru harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak KUHP Baru diundangkan. Artinya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tersebut harus diundangkan paling lambat 2 Januari 2025.

Baca kertas kebijakan LBHM dan PBHI terkait Peraturan Pemerintah mengenai tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang harus diperhatikan oleh pemerintah melalui link di bawah ini: 

BERIBADAH ADALAH HAK KAIN KECAM PERSEKUSI DAN DISKRIMINASI TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

6 Desember 2024

Rabu (4/12), PJ Bupati Kuningan Agus Toyib, secara resmi menyatakan larangan terhadap kegiatan

Jalsah  Salanah  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  yang  akan  diselenggarakan  pada  tanggal  6-8

Desember 2024 di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat. Hal tersebut disampaikan melalui surat resmi Bupati Kuningan no. 200.1.4.3/4697/BKBP. Di dalam surat tersebut PJ Bupati Agus menyatakan bahwa kegiatan tersebut “dapat menyebabkan kondusifitas daerah terganggu”. Lebih lanjut, sebagaimana dilansir oleh kanal berita online, Kapolres Kuningan AKBP Willy Andrian juga meminta kegiatan Jalsah Salanah tersebut untuk tidak digelar demi “menjaga keamanan wilayah Kuningan”.

Atas peristiwa ini, Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam keras sikap intoleran dan aksi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

KAIN  menilai  pelarangan  pelaksanaan kegiatan keagamaan ini merupakan ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Padahal, perlindungan terhadap kebebasan setiap   warga   negara   untuk   memeluk   agama   dan   kepercayaannya   masing-masing   serta menjalankan  ibadah  berdasarkan  agama  dan  kepercayaannya  sudah  jelas  diatur  di  dalam Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Selain merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, larangan ini adalah bentuk pengabaian terhadap komitmen Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak berekspresi serta hak berkumpul dari setiap warga negara Indonesia yang tertuang di dalam UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tidak  hanya  itu,  pelarangan  ini  merupakan  bentuk  diskriminasi  yang  telah  dilakukan  oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selama ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan salah satu kelompok yang paling sering menerima diskriminasi dari negara, baik berupa penyegelan rumah ibadah hingga pelabelan terhadap pengikutnya.

KAIN berpandangan alih-alih melarang pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah tersebut, Pemkab dan Polres Kuningan seharusnya memastikan bahwa Jemaat Ahmadiyah dapat melangsungkan kegiatan keagamaannya dengan aman dan lancar, tanpa adanya intimidasi maupun kekerasan dari kelompok masyarakat lain.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka KAIN menuntut:

  1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kepolisian Resor Kuningan untuk menjalankan kewajibannya menghormati dan melindungi hak asasi manusia Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, berekspresi, serta berkumpulnya sebagaimana tertuang di dalam UUD 1945;
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan untuk mencabut larangan pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya dengan khidmat;
  3. Pemerintah Pusat,   Provinsi,   Kota   dan   Kabupaten,   serta   masyarakat   luas   untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan persekusi kepada JAI dan menindak dengan tegas para pelaku tindakan diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI; serta
  4. Presiden Prabowo dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK) guna memberikan perlindungan bagi seluruh kelompok rentan di Indonesia dari tindakan-tindakan diskriminatif.

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 49 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung: 085939676720 (Albert)

Dorong Percepatan Revisi Undang-Undang Narkotika, LBHM Menyelenggarakan Dialog Kebijakan

Pada Hari Rabu, 4 Desember 2024, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyelenggarakan kegiatan Dialog “Reformasi Kebijakan Narkotika dan Penerapan Harm Reduction di Indonesia” di Jakarta untuk mendiskusikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang telah masuk ke dalam dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 100 orang, baik secara luring dan daring ini menghasilkan beberapa kesepakatan penting.

Dalam pidato kuncinya, Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum Republik Indonesia, memberikan apresiasi atas ruang dialog yang dibangun oleh masyarakat sipil ini untuk membangun kebijakan penanggulangan narkotika yang efisien dan efektif dengan merujuk pada bukti dan perkembangan dunia internasional. Ia juga menegaskan kembali semangat revisi UU Narkotika yang memberikan pendekatan kesehatan.

“Sejak 28 tahun yang lalu ketika saya menulis skripsi tentang narkotika dan psikotropika, saya memang sudah memberikan rekomendasi terhadap pengguna itu memang tidak dihukum tapi diobati,” ujarnya.

Pada sesi diskusi pertama, empat pembicara sama-sama menggarisbawahi urgensi pembahasan revisi UU Narkotika yang sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2025. Salah satu tujuannya adalah beralih dari kebijakan punitif yang ada sekarang. Hal inilah yang disampaikan oleh H. Adang Daradjatun, Anggota Komisi III, yang menyatakan, “Kita sepakati, baik dari Mahkamah Agung, dari teman BNN, bahwa memperluas akses rehabilitasi tanpa kriminalisasi ini sangat penting sekali.”

Pendekatan punitif yang sekarang dilakukan juga tidak mampu untuk membeda-bedakan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan derajat kebersalahannya. Obsevasi ini disampaikan oleh Hakim Agung Sutarjo, Hakim Agung Kamar Pidana yang menyampaikan “Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak memberikan parameter kriteria penyalahgunaan narkotika yang jelas dan yang benar. Yang dikatakan penyalahguna seperti apa, pengedar seperti apa, sebagai penjual, sebagai pembeli, itu yang parameternya tidak jelas.”

Toton Rasyid, selaku Direktur Hukum, Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional, menyatakan bahwa orientasi pendekatan rehabilitasi dalam UU Narkotika sekarang masih menempatkan rehabilitasi sebagai kewajiban. Ia menyampaikan, “Cuma masalahnya sekarang rezim hukum memang harus diubah Undang-Undang ini. Kalau kita bicara Undang-Undang 35/2009, di pasal 103 rehabilitasi itu bagian dari menjalani hukuman. Jadi kita masih seperti itu. Kalau teman-teman mengatakan ini, jangan, (karena) orang punya hak menentukan untuk direhab atau tidak, ya (revisi) Undang-Undang ini harus segera kita selesaikan.”

Desakan yang tegas untuk merevisi UU Narkotika juga datang dari elemen masyarakat sipil, diwakili oleh Maidina Rahmawati dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN). Ia menyoroti pembobotan yang lebih berat UU Narkotika pada penghukuman dan bukannya kesehatan. Revisi UU Narkotika ini menurutnya akan membenahi tata kelola narkotika. Ia menyampaikan: “Ke depannya kita butuh dorongan bersama kawal pembahasan revisi UU Narkotika. Pastikan intervensi kesehatan tersebut diperkenalkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika.”

Pada sesi kedua setelah makan siang, diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana reformasi kebijakan narkotika melalui penuntasan amanat Prolegnas Prioritas 2025 turut bisa memperkuat kebijakan pengurangan dampak buruk (harm reduction) di Indonesia. Pembicara pertama sesi kedua, Nixon Randy Sinaga, pengacara publik LBHM memaparkan hasil penulisan kertas kebijakan menyoal kondisi kebijakan narkotika di Indonesia yang perlu mengintegrasi pendekatan pengurangan dampak buruk. Dia menyatakan, “Pengurangan dampak buruk adalah kebijakan yang mengarusutamakan hak atas kesehatan, yang berusaha untuk memitigasi dampak-dampak negatif dari penggunaan narkotika baik secara kesehatan, sosial, maupun aspek hukum dari penggunaan narkotika.Hal ini berangkat dari pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.”

Rosma Karlina, Direktur Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara, menjelaskan bahwa program pengurangan dampak buruk yang didorong oleh masyarakat sipil adalah pendekatan yang sifatnya holistik dan inklusif. Ia menekankan pentingnya memahami kebutuhan pengguna narkotika yang bisa berbeda-beda. Rosma menjelaskan, “Kebijakan pengurangan dampak buruk yang belum responsif terhadap gender, mengakibatkan rasa takut akan diskriminasi dan kriminalisasi bagi perempuan pengguna narkotika.” Ia menceritakan kasus-kasus di mana perempuan pengguna narkotika mendapatkan kekerasan dan melapor ke polisi, tapi bukannya kasus kekerasan yang diselesaikan, polisi malah sibuk mengkriminalisasi mereka atas penggunaan narkotika.

Melihat skema intervensi kesehatan yang sekarang tersedia bagi pengguna narkotika, Elly Hotnida Gultom, menjelaskan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Ia menjabarkan bahwa Kementerian Kesehatan fokus untuk membangun layanan terapi kesehatan terpadu di lebih banyak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia dengan penambahan sekitar 700 fasyankes Institusi Penerima Wajib Lapor. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pengguna narkotika perlu untuk direhabilitasi. Ia menyatakan, “Dari World Drug Report itu, 1 banding 8 (pengguna) yang membutuhkan layanan kesehatan.”

Permasalahan rehabilitasi yang mencuat dalam diskusi sejak pagi hari juga ditangkap dengan sangat baik oleh Marsono, Koordinator Pokja Napza dan Analis Kebijakan pada Direktorat Rehabilitasi Korban Bencana dan Kedaruratan, Kementerian Sosial. Marsono menyatakan bahwa Kementerian Sosial memiliki visi untuk terus memperbaiki standar layanan rehabilitasi Lembaga Kesejahteraan Sosial. Pada closing statement-nya, ia menyatakan, “Saat ini, perlu penertiban-penertiban terhadap lembaga-lembaga yang memang belum terstandar. Itu wajib kita proses ke sana.”

Dalam kegiatan ini, Nixon dan Rosma menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan badan legislatif untuk mereorientasi kebijakan narkotika di Indonesia dengan pendekatan hak atas kesehatan dan mereduksi penggunaan sarana penal, secara khusus bagi pengguna narkotika. Agenda reformasi kebijakan narkotika harus berangkat dari penghormatan hak asasi manusia, inklusif, non-diskriminatif, partisipatif, dan mengakomodasi seluruh kelompok rentan seperti perempuan, keberagaman gender, anak, dan disabilitas. 

Acara ditutup jam 16.00 waktu setempat. Dialog semacam ini, yang menyatukan perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil dalam satu ruangan, menjadi cara untuk menjunjung prinsip partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Harapannya, akan ada diskusi-diskusi serupa supaya revisi Undang-Undang Narkotika yang akan disahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung

0896-3970-1191 (Kiki Marini)

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pernyataan Bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) Terkait Eksekusi Mati 2 Terpidana Mati di Singapura


Jakarta, 16 Februari 2022 – Tepat hari ini Pemerintah Singapura akan melaksanakan eksekusi mati dengan hukuman gantung terhadap dua terpidana mati yang bernama Roslan bin Bakar dan Pausi bin Jefridin. Keduanya merupakan terpidana mati yang divonis mati karena kepemilikan narkotika. Kami mengecam keras rencana eksekusi mati terhadap kedua terpidana narapidana tersebut.

Menurut data terakhir, kedua terpidana tersebut ditengarai merupakan orang dengan disabilitas intelektual. Pihak pengadilan telah mengakui jika keduanya memiliki permasalahan dengan kemampuan berpikirnya, ditunjukkan dari IQ rendah yang dimiliki oleh para terdakwa. Kedua kasus ini memiliki kemiripan dengan kasus Nagethran (WN Malaysia) yang pada akhir tahun lalu diprotes publik karena memiliki permasalahan kesehatan jiwa dan akan dijadwalkan untuk dieksekusi.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu hukuman mati, kami mendorong Pemerintah Singapura untuk kembali mempertimbangkan eksekusi ini, mengingat latar belakang kedua terpidana mati merupakan orang dengan disabilitas intelektual, yang mana berdasarkan hukum internasional tidak seharusnya dieksekusi mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi:

“Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain.”

Hal ini juga didukung dengan Resolusi PBB (UN General Assembly resolution 75/183) pada Desember 2020 yang mengatakan bahwa negara-negara tidak seharusnya menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa.

Kami sekali lagi mendorong Pemerintah Singapura untuk tidak melakukan eksekusi mati ini dan tidak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengeksekusi seorang disabilitas psikososial (Skizofrenia) pada tahun 2016. Setidaknya Pemerintah Singapura menyediakan akses ke psikiater untuk menilai kondisi kesehatan jiwanya dan memberikan perawatan yang optimal bagi kedua terpidana. 


English Version:

Joint Statement of the Coalition to Abolish the Death Penalty (Koalisi HATI) Regarding The Execution of 2 Death Row Inmates in Singapore

Jakarta, February 16, 2022 – Today, the Singaporean government will carry out the execution by hanging for two death row convicts, Roslan bin Bakar and Pausi bin Jefridin. Both are death row inmates who were sentenced to death for possession of narcotics. We strongly condemn the planned execution of the two convicts.

According to the latest information, the two convicts are suspected to be people with intellectual disabilities. The court has admitted that both of them have problems with their thinking skills, as indicated by the low IQs of the defendants. These two cases have similarities with the case of Nagethran (Malaysian) which at the end of last year was publicly protested for having mental health problems and was scheduled to be executed.

As a civil society organization that focuses on the issue of the death penalty, we encourage the Singaporean Government to re-consider this execution, given the backgrounds of the two death row convicts are people with intellectual disabilities, which under international law should not be executed as stated in Article 10 of the International Convention on Human Rights. – Rights of Persons with Disabilities which reads:

“States Parties reaffirm that every human being has an inherent right to life and shall take all necessary steps to ensure the effective fulfillment of persons with disabilities on an equal basis with other human beings.”

This is also supported by the UN General Assembly resolution 75/183 in December 2020 which said that countries should not impose the death penalty on someone who has mental health problems.

We once again urge the Government of Singapore not to carry out this execution and not to commit the same mistake that the Government of Indonesia made of executing a psychosocial disability (Schizophrenia) in 2016. At least the Singapore Government provides access to a psychiatrist to assess his mental health condition and provide optimal care for the two convicts.

Koalisi HATI members:

  1. Human Rights Working Group (HRWG)
  2. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  3. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
  4. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  5. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. LBH Jakarta
  8. LBH Masyarakat (LBHM)
  9. LBH Pers
  10. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
  11. Migrant Care
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
  14. PILNET (Public Interest Lawyer Network)
  15. SETARA Institute
  16. The Association for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)
  17. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  18. Yayasan Satu Keadilan

Kerangkeng Bupati Langkat: Bukti Suburnya Praktik Rehabilitasi Liar

Oleh LBH Masyarakat (LBHM) & Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Jakarta, 25 Januari 2022 – Penangkapan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin atas kasus korupsi, yang diikuti dengan penemuan kerangkeng besi yang diduga digunakan sang koruptor untuk mengurung pekerja yang menggarap sawitnya, turut menguak dugaan praktik perbudakan.

Jeruji besi tersebut diketahui sudah ada sejak 2012, dan dikatakan hendak digunakan sebagai tempat rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika meski tidak layak secara fasilitas. Pemberitaan menyebutkan bahwa pada 2017 Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat sempat meminta Terbit mengurus perizinan jika hendak menjadikan ruangan tersebut sebagai tempat rehabilitasi. Namun, hingga kini tempat tersebut dilaporkan tidak berizin.

Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi. Penempatan manusia ke dalam kerangkeng seperti yang dilakukan Terbit jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak, yang hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan. Masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika pun benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, hal ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi. Konsep panti rehabilitasi bukan penjara, dan tidak bisa dipersamakan dengan penjara.

Kecenderungan menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap pengguna narkotika hanya akan menciptakan ruang-ruang korupsi yang masif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Banyak pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap namun tidak memiliki bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi.

Kondisi ini memikul segudang masalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius di samping dugaan praktik perbudakan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Tindakan perampasan kemerdekaan itu bahkan dapat dijerat dengan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun”. Bahkan hukuman atas perbuatan tersebut dapat diperperberat jika ditemukan luka berat bagi orang yang dirampas kemerdekaannya.

Meskipun alasan Bupati Terbit adalah terkait rehabilitasi narkotika, justru tindakan tersebut menambah satu persoalan lagi mengenai pelanggaran aspek prosedur operasional dan legalitas, yang dapat diancam pidana dengan Undang-Undang tentang Kesehatan atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Ditemukannya tempat rehabilitasi ilegal di kediaman Bupati Langkat, justru meneguhkan temuan lapangan dalam kasus-kasus narkotika. Pertama, bagi seorang pecandu yang ditangkap aparat banyak yang dikirim ke tempat-tempat rehabilitasi bukan dalam skema proses hukum. Praktik ini dikategorikan sebagai penahanan sewenang-wenang. Sebab seseorang ditahan tanpa diputus melalui persidangan sebagai mekanisme legal untuk merampas kemerdekaan seorang. Kedua, pecandu yang dikirim ke tempat rehabilitasi sebagai rangkaian dari proses hukum. Tindakan ini alih-alih untuk melakukan pemulihan, justru secara hukum dianggap bagian dari menjalani penghukuman.

Praktik serupa kerap terjadi pada panti-panti sosial bagi penyandang disabilitas mental. Mereka dikurung dalam jeruji besi sehingga tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat dan berkomunikasi dengan pihak luar. Praktik yang diklaim sebagai upaya penyembuhan justru
menghadirkan permasalahan baru karena abai terhadap pelindungan hak-hak dasar para korbannya. Praktik pengurungan seperti ini merupakan bukti akan adanya pengambilan keputusan secara sepihak, sewenang-wenang, dan di luar pengawasan medis, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan.

Lebih jauh, praktik ilegal demikian berpotensi sebagai tempat penyiksaan. Temuan masyarakat sipil terhadap tempat penyiksaan biasanya dilakukan di tempat tertutup. Institusi kepolisian menempati tempat yang paling banyak terjadi penyiksaan. Terakhir kejadian yang menimpa FNS, seorang pecandu narkotika yang ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan meninggal diduga kuat disiksa karena ditemukan luka disekujur tubuhnya. Di beberapa tempat lain seperti panti-panti
rehabilitasi dan panti-panti sosial, tidak luput dari ruang potensial terjadinya penyiksaan. Situasi ini mengkhawatirkan karena praktik penyiksaan dilakukan di tempat-tempat tertutup. Dari aspek pembuktian, kondisi tersebut menghambat pengungkapan kasusnya dan menyeret pelaku. Sehingga tidak jarang, kasus-kasus penyiksaan mandek tanpa ada kejelasan status hukumnya.

Berdasarkan uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menuntut:

  1. Polri untuk meminta pertanggung jawaban hukum kepada Bupati Terbit atas tindakannya melakukan dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan seorang;
  2. Polri menutup tempat-tempat serupa tahanan seolah-olah sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial;
  3. Penutupan oleh Polri disertai dengan koordinasi dengan lembaga negara terkait untuk memastikan hak-hak dasar para korban tidak terabaikan, khususnya perihal tempat tinggal yang layak serta menghindari stigma dari masyarakat;
  4. Kelompok kerja untuk pencegahan penyiksaan yang terdiri dari Komnas HAM, KPAI, Ombudsman, LPSK, Komnas Perempuan untuk mengintensifkan kembali kunjungan ke tempat-tempat penahanan dan serupa tahanan.