Skip to content

Penulis: admin lbhm

Living in Human Rights (LIGHTS)

Bergabung Bersama Kami Mewujudkan Keadilan bagi Kelompok Rentan!

Kamu resah melihat banyak ketidakadilan dan kebijakan yang ngawur di masyarakat, terlebih pada kelompok rentan? Kamu ingin belajar lebih banyak tentang situasi HAM dan cara advokasi yang tepat dan sesuai dengan kapasitasmu. Program LIGHTS adalah program yang tepat untukmu.

Apa itu LIGHTS?

Living in Human Rights atau biasa disingkat sebagai LIGHTS, merupakan program pengenalan Hak Asasi Manusia (HAM) intensif bagi mahasiswa/i yang sudah diadakan sejak tahun 2008 oleh LBH Masyarakat (LBHM). Lewat LIGHTS, LBHM membuka peluang terbuka bagi para peserta untuk bergabung dan menjadi bagian dari badan pekerja LBHM sebagai upaya menjaga keberlanjutan gerakan HAM yang telah kami lakukan selama lebih dari 17 tahun.

Mengapa Perlu Belajar HAM Lewat LIGHTS?

LBHM meyakini jika gerakan advokasi dan kampanye publik mengenai hak asasi manusia haruslah terlebih dahulu ditopang dengan pendidikan yang baik sejak dini, dan kehadiran LIGHTS berusaha memfasilitasi hal itu. Terlebih lagi, sebagai lembaga yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, LBHM juga merasa punya tanggung jawab dalam menyebarluaskan pengetahuan tentang hak asasi manusia dan demokrasi kepada masyarakat.

Siapa Saja yang Bisa Menjadi Peserta LIGHTS?

Program ini menargetkan para mahasiswa dan komunitas rentan yang haknya seringkali dilanggar dan partisipasinya jarang diperhitungkan dalam proses demokrasi dan pengambilan kebijakan. Sehingga, lewat pendidikan kritis yang diberikan kepada mereka, harapannya kami dapat membantu mereka dalam menciptakan iklim kebijakan yang lebih demokratis, berbasiskan pada nilai-nilai hak asasi manusia, dan berpihak pada kelompok rentan.

Apa Saja yang Dipelajari di LIGHTS?

Selama 14 hari (2 minggu), para peserta akan mendapatkan berbagai materi mengenai hak asasi manusia. Peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjungi lembaga-lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil yang juga memiliki perhatian besar pada pemenuhan HAM.

Kata Mereka tentang LIGHTS

Gimana sih pengalaman mereka belajar bareng di LIGHTS? Yuk lihat di sini:

NamaAsalTahun AngkatanTestimoni
Bima GilangFakultas Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Jakarta2023Aku sangat senang mengikuti kegiatan LIGHTS yang diadakan LBHM. Sebelumnya aku betul-betul tidak paham dan tidak mengerti sedikitpun terkait HAM dan mengapa kita harus peduli serta menuntut perlindungan yang setara. Lewat pelatihan atau program LIGHTS aku juga menjadi paham bahwa semua orang berhak mendapatkan perlindungan tanpa memandang apapun latar belakangnya. LIGHTS tidak hanya berfokus pada teori-teori yang diajarkan di kelas namun kami juga diajak melihat langsung kelompok-kelompok rentan yang diadvokasi LBHM. Tentu saja itu membuka mata kami bahwa harapan itu ada, dan kami generasi muda harus menjaga nyala api harapan tersebut.
Intan ShabiraFakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prodi Kriminologi, Universitas Indonesia2023Belajar HAM, gender, apalagi SOGIESC tuh enggak cukup kalau cuma 1 SKS, apalagi cuma 7 hari. Meski gitu, pelatihan ini bener-bener ngubah cara pandangku. Aku makin sadar bahwa banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya sedang direpresi—oleh sistem, norma, bahkan negara. Buatku, HAM itu bukan cuma soal hak. HAM itu sebuah privilese. Enggak semua orang punya akses buat baca, paham, atau bahkan sadar kalau mereka punya hak. Bahkan, enggak semua orang punya akses untuk sekadar baca atau mengerti tulisan ini. Jadi daripada ngirim orang ke barak militer, mendingan kirim pejabatnya aja ke pelatihan ini biar makin peka dan pa-HAM.
Novia PuspitasariFakultas Ilmu Hukum, Universitas Negeri Jember2018LIGHTS merupakan media edukasi bagi mahasiswa dan generasi muda mengenai demokrasi, hukum, dan Hak Asasi Manusia yang unik, mendalam, dan inklusif bagi beragam latar belakang peserta.   Forum ini dirancang untuk memfasilitasi pemahaman komprehensif peserta tentang demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, baik secara teoritis maupun aplikatif.  Pemahaman konseptual yang saya peroleh di kelas kemudian dipertajam melalui analisis realitas sosial dan interaksi langsung dengan berbagai kelompok marginal.  Metodologi pembelajaran ini terbukti efektif bagi saya sehingga saya memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, serta menumbuhkan empati terhadap kelompok-kelompok marginal.  Sesuai dengan namanya yang berarti cahaya, bagi saya LIGHTS berperan sebagai katalisator dan bekal untuk berpartisipasi aktif dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Teresa PrasetioFakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada2018LIGHTS merupakan salah satu pengalaman pengubah hidup bagi saya sebagai seorang mahasiswa dari Jogja. Melalui LIGHTS saya belajar kekayaan dimensi hak asasi manusia dan tantangannya dalam melindunginya demi kemanusiaan. Setelah dari LIGHTS, saya semakin yakin untuk berkarir di isu HAM. LIGHTS menjadi sarana yang tepat untuk tidak hanya untuk yang tertarik bekerja di isu HAM tapi juga memperkaya wawasan terhadap berbagai wajah kemanusiaan.

Pertanyaan Lebih Lanjut (Frequently Answer Question/FAQ)

  1. Apakah LIGHTS Memungut Biaya dari Peserta?

Tidak. Para peserta yang mengikuti LIGHTS tidak dipungut biaya.

  • Bagaimana metode pembelajaran dalam LIGHTS?

Pelaksanaan LIGHTS akan berlangsung selama 2 minggu atau 14 hari. Para peserta akan melakukan pembelajaran secara langsung di kantor LBHM, Jakarta, yang difasilitasi oleh Badan Pekerja LBM dan akan menghadirkan berbagai akademisi, praktisi, dan perwakilan kelompok rentan untuk memberikan pengetahuan tentang hak asasi manusia.

  • Bagaimana dengan Para Peserta LIGHTS yang Berasal dari Luar Jakarta?

Kami sebisa mungkin mencoba untuk memberikan beasiswa bagi peserta yang berasal dari luar Jabodetabek, tetapi jumlahnya sangat terbatas.

  • Apakah Peserta LIGHTS Mendapatkan Sertifikat?

Ya, peserta akan mendapatkan sertifikat dari LBHM.

  • Apakah Peserta LIGHTS Berpotensi Menjadi Bagian dari LBHM?

Sangat memungkinkan. Banyak alumni peserta LIGHTS yang menjadi staf tetap dari LBHM, banyak juga yang berkarya di organisasi sejenis. Namun, pembukaan pendaftaran staf baru juga mengikuti kesediaan lowongan dan submer daya LBHM.

Terus pantau media sosial dan website LBHM untuk mengetahui pendaftaran LIGHTS. 

PERAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DALAM REZIM KEBIJAKAN NARKOTIKA PUNITIF DI INDONESIA

Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan yang keras dan berfokus pada pemidanaan perdagangan narkotika terlarang dengan menjatuhkan hukuman penjara yang panjang untuk berbagai pidana narkotika, termasuk penggunaan dan penguasaan, serta menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi. Pembenaran terhadap pendekatan punitif ini adalah argumen efek jera: keyakinan bahwa hukuman yang cukup keras akan menggetarkan calon pelaku untuk tidak terlibat dalam pidana narkotika. Namun pada kenyataannya, perdagangan narkotika terus berkembang, dan pendekatan punitif ini justru telah mengakibatkan krisis kepadatan penjara. Situasi ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan reformasi peraturan perundang-undangan.

Laporan ini hendak mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai dampak sosial ekonomi dari pendekatan Indonesia saat ini terhadap kebijakan narkotika: siapa dalam masyarakat yang paling terdampak, dan bagaimana. Tulisan ini menelaah peran berbagai faktor sosial ekonomi dalam jalur menuju kriminalisasi untuk pidana narkotika, serta efek sosial ekonomi dari pendekatan punitif itu sendiri. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan narapidana yang menjalani hukuman untuk pidana narkotika serta dengan perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergiat dalam bidang kebijakan narkotika dan dukungan kepada narapidana.

Penelitian ini dijalankan oleh Death Penalty Research Unit (DPRU), Oxford University, bekerja sama dengan LBH Masyarakat (LBHM).

Unduh penelitian selengkapnya

Hentikan Narasi Pidana Mati dalam Tiap Kasus Korupsi

LBH Masyarakat, Jakarta — Tingkah heroik dalam menanggap kasus korupsi terulang kembali. Kali ini datang dari Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin yang memberi pernyataan bahwa para tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina berpeluang untuk dituntut dengan pidana mati. Pernyataan ini didasarkan pada tempus perkara yang dilakukan oleh para tersangka berada di masa pandemi Covid-19.

LBHM menilai tanggapan tersebut hanyalah bualan untuk meredam kemarahan publik. Pemberlakuan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara terbatas. Yakni dengan dua prasyarat: korupsi harus dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi, dan moneter; serta pengulangan tindak pidana korupsi.

Narasi penggunaan pidana mati pada kasus-kasus korupsi yang sangat menyita perhatian publik seolah menempatkan pidana mati sebagai obat mujarab. Gagah-gagahan dalam penggunaan pidana mati ini tidak menyelesaikan akar permasalahan korupsi di Indonesia dan tidak mengembalikan kerugian yang diderita oleh rakyat utamanya dalam korupsi tata kelola minyak mentah ini.

Jaksa Agung sepatutnya berfokus pada penegakan hukum yang mencegah keberulangan terhadap tindak pidana korupsi lain dan memaksimalkan pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh para tersangka kepada negara dan masyarakat. Selain itu, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan pemberlakuan pidana mati terhadap para koruptor membuat tata kelola menjadi transparan dan akuntabel.

Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2024 membuktikan mayoritas dari 10 negara di dunia dengan nilai tertinggi justru tidak menerapkan pidana mati. Sebaliknya, negara-negara seperti Cina, Iran, dan Korea Utara yang menerapkan penjatuhan pidana mati terhadap kasus korupsi justru menempati posisi bawah. Ini menegaskan perbaikan sistem pengawasan menjadi faktor utama yang harus dibenahi dalam menangani dan memberantas tindakan-tindakan koruptif.

Tak hanya itu, penguatan regulasi, salah satunya melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga krusial sebagai prosedur legal negara dalam memaksa para pelaku koruptor untuk mengembalikan kerugian yang timbul. Langkah-langkah nyata demikian yang sepatutnya dikedepankan pemerintah ketimbang memainkan narasi usang, yakni ancaman menghukum koruptor dengan pidana mati.

Selain usang, pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) telah diposisikan sebagai pidana alternatif yang penggunaannya perlu untuk mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa, harapan terhadap terdakwa untuk memperbaiki diri, serta peran terdakwa. Maka, sebagai salah satu penegak hukum yang memiliki peran vital dalam menentukan nasib para terdakwa, sepatutnya Jaksa Agung/Kejaksaan Agung sejalan dengan KUHP Baru tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM meminta Kejaksaan Agung untuk berhenti menggunakan narasi pidana mati dalam merespon kasus korupsi. Sekaligus meminta Kejaksaan Agung untuk menangani dan memberantas kasus-kasus korupsi tanpa tebang pilih, berfokus pada pembenahan tata kelola pemerintahan, dan memaksimalkan kerugian yang timbul untuk dikembalikan kepada negara, serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi agar dapat dipergunakan kembali untuk kepentingan publik.

Narahubung:

Yosua (+62 812-9778-9301)

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025:

Regulasi Berbahaya yang Memukul Mundur Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

06 Maret 2025

Kami, aliansi masyarakat sipil yang konsisten mengawal perkembangan aturan turunan pada UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 serta aktif memberikan masukan pada proses penyusunan aturan turunan guna mendapatkan akses layanan yang adil dan inklusif 1, menyatakan keberatan atas substansi di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.02 tahun 2025. Keberatan ini utamanya kami tujukan pada pasal-pasal diskriminatif yang justru mencederai perlindungan kelompok rentan, menghilangkan otonomi tubuh tiap individu, serta menjauhkan korban dari akses layanan kesehatan yang terjangkau dan memulihkan.

Secara substansi, PMK No.2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat 4 UU Kesehatan No.17 Tahun 2023, yang mengamanatkan Negara–baik Pemerintah Pusat maupun Daerah–wajib menyediakan layanan kesehatan primer dan lanjutan bagi masyarakat rentan dengan prinsip inklusif non-diskriminatif. Kelompok ini mencakup individu yang termarjinalisasi secara sosial, baik berdasarkan agama/kepercayaan, ras atau suku, disabilitas, orientasi seksual dan identitas gender, serta individu yang tinggal di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan.

Proses Penyusunan yang Tidak Partisipatif

Sejak awal dalam proses penyusunan PMK ini (dan turunan aturan lain dari UU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan) tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok terdampak. Kementerian Kesehatan cenderung mengabaikan pengalaman hidup kelompok rentan, padahal yang diatur dalam PMK ini adalah tubuh tiap individu. Mekanisme konsultasi yang ada tidak transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi organisasi penyandang disabilitas, perempuan, serta kelompok rentan lainnya untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka secara substansial. Proses penyusunan aturan ini menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam melibatkan partisipasi bermakna masyarakat sipil. Kementerian Kesehatan nyatanya masih menggunakan pendekatan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek dengan hak penuh untuk menentukan kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Akibatnya, aturan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural yang sudah lama dialami oleh kelompok masyarakat.

Hilangnya Otonomi Tubuh Perempuan Disabilitas

Hari ini kami kecewa mendapati PMK No.02 Tahun 2025 masih memiliki problem kritis dalam menempatkan Orang Dengan Disabilitas. Kementerian Kesehatan terang-terangan menunjukan perspektif ableismenya melalui aturan ini. Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini justru secara gamblang menghilangkan kecakapan Orang Dengan Disabilitas terutama Disabilitas Mental dan Disabilitas Intelektual. Melalui Pasal 62 Ayat (5) “…orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya..”. Ketentuan ini merampas hak penyandang disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri, termasuk dalam layanan aborsi. Mestinya daripada mencabut hak pengambilan keputusan dari Orang Dengan Disabilitas, negara seharusnya menyediakan mekanisme supportive decision-making yang memungkinkan mereka membuat keputusan dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka, bukan malah mencabut hak tersebut.

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Sejalan dengan itu, pendekatan medical model yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus “diperbaiki” harus ditinggalkan, dan kebijakan kesehatan harus beralih ke human rights-based

1https://lbhapik.or.id/siaran-pers-masyarakat-sipil-mendesak-pemenuhan-hak-atas-kesehatan-yang-inklusif-adil-dan-setara-dalam-seluruh-proses-penyusunan-kebijakan-turunan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/
approach yang menghormati kemandirian, martabat, serta hak penuh penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri.

Diskriminasi terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Permenkes ini kembali menempatkan orientasi seksual sebagai disfungsi dan gangguan (Pasal 52). Ini sangat bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah mengakui dan melindungi individu yang mengalami diskriminasi secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Ketentuan ini juga berlawanan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yang secara tegas menyatakan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.

Lebih dari itu, Permenkes ini secara eksplisit mempromosikan upaya-upaya korektif paksa terhadap orientasi seksual yang dianggap sebagai kelainan melalui deteksi dini (Pasal 54) dan upaya rehabilitatif (Pasal 56). Padahal, upaya korektif yang dulu dikenal dengan istilah “terapi konversi” telah dinyatakan Komite Anti Penyiksaan PBB sebagai tindak penyiksaan yang harus dihentikan. Indonesia telah berulang kali ditegur PBB dan didorong untuk mencabut kebijakan diskriminatif dan memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok rentan. Alih-alih memberikan perlindungan, Negara semakin melanggar mandat dan komitmennya untuk menegakkan Hak Asasi Manusia lewat Permenkes yang menambah daftar panjang kebijakan diskriminatif. Tenaga medis yang seharusnya bebas dari tindak diskriminasi dan mengutamakan keselamatan pasien justru diberi kuasa penuh oleh Negara untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan.

Dampak dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Permenkes ini jelas memperburuk terwujudnya pemenuhan hak dasar atas kesehatan fisik dan mental kelompok rentan, secara khusus kelompok LGBTIQ, yang selama ini sudah sangat kesulitan mengakses layanan kesehatan karena stigma sebagai gangguan/kelainan seksual. Upaya korektif terhadap orientasi seksual ini memenuhi unsur-unsur penyiksaan2, yang diantaranya adalah menimbulkan penderitaan fisik dan mental luar biasa yang berdampak pada kehilangan keberhargaan diri dan trauma berkepanjangan; serta dilakukan untuk tujuan tertentu – berdasarkan keyakinan keliru bahwa orientasi seksual adalah gangguan sehingga upaya korektif bertujuan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya. Melalui Permenkes ini, unsur-unsur penyiksaan berikutnya terpenuhi, yakni Negara secara sengaja melakukan serta menyetujui upaya korektif melalui pejabat-pejabat yang berwenang, dalam hal ini tenaga medis, kesehatan, maupun institusi layanan kesehatan. Dengan memberlakukan kebijakan yang menegaskan orientasi seksual sebagai gangguan yang perlu ‘dikoreksi’, negara tidak hanya mengabaikan hak warganya tetapi juga memperkuat sistem yang menyetujui, menormalisasi serta melakukan penyiksaan.

Pembatasan Akses Layanan Aborsi

Dalam hal layanan aborsi, PMK ini berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban akibat alur yang berlapis, rumit dan penuh dengan syarat administratif. Mekanisme ini mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh. Aturan ini menyaratkan empat (4) surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (pasal 60), berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebagai tambahan, bahkan ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan membutuhkan layanan aborsi, hingga ini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat menerbitkan surat keterangan tersebut. Oleh karena itu, pelaporan pidana seharusnya dipisahkan dari hak individu atas keputusan prokreasi.

Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS No.12 Tahun 2022. Tim pertimbangan yang terdiri dari lebih dari satu (1) tenaga medis juga dapat menjadi penghambat yang tidak sensitif terhadap situasi korban. Selain itu, aturan ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak

2 Berdasarkan Pasal 1 UU. No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Dalam hal situasi darurat medis, aturan ini mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, persyaratan persetujuan suami atau keluarga harus dihapus demi menjamin hak perempuan atas keputusan medisnya sendiri.

Tuntutan Kami

Masyarakat Sipil telah mengajukan catatan kritis dalam proses advokasi sebelumnya terkait kebijakan ini. Namun, hingga kini, peraturan yang dikeluarkan masih belum mencerminkan perlindungan bagi kelompok rentan dan korban. Oleh karena itu, kami kembali mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyediakan regulasi yang efektif, berperspektif korban, dan tidak diskriminatif dengan: revisi terhadap Permenkes No. 02 Tahun 2025, khususnya dalam hal berikut:

  1. Merevisi Peraturan Menteri Kesehatan 02 Tahun 2025 dan melakukan perubahan di antaranya:
    1. Menghapus semua penggolongan orientasi seksual sebagai disfungsi, kelainan, dan/atau gangguan serta upaya kuratif dan rehabilitatif yang mengikutinya;
    2. Menghapus Surat Keterangan Penyidik sebagai syarat administratif dalam layanan aborsi;
    3. Menghapus Tim Pertimbangan dalam alur akses layanan aborsi, karena prosedur ini menambah hambatan bagi korban dalam situasi darurat dan berisiko mengurangi aksesibilitas layanan;
    4. Menghapus persetujuan Suami dan keluarga untuk akses aborsi dalam situasi darurat medis;
    5. Menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa Orang Dengan Disabilitas tidak cakap mengambil keputusan, dan memastikan bahwa Individu Dengan Disabilitas berhak memberikan persetujuan sendiri tanpa harus melalui wali/tenaga medis serta mendorong penyediaan mekanisme supportive decision-making sebagai dukungan kepada Orang Dengan Disabilitas untuk membuat keputusan;
    6. Menghapuskan segala bentuk perlukaan termasuk penghapusan upaya-upaya simbolis dalam bagian P2GP
  2. Memastikan prinsip penyediaan layanan kesehatan yang inklusif, non-diskriminatif serta patuh pada standar hak asasi manusia, termasuk rekomendasi WHO dan perjanjian HAM internasional yang menegaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukan penyakit. Dalam implementasinya, sistem, budaya, dan infrastruktur layanan kesehatan harus mengakomodasi kebutuhan LGBTIQ dengan cara yang bermartabat dan inklusif, serta melindungi kelompok LGBTIQ dari praktik berbahaya seperti diskriminasi, penyiksaan berbentuk upaya korektif, dan kekerasan berbasis SOGIESC.
  3. Melakukan perluasan akses dan metode aborsi (tidak terbatas pada metode prosedural, tetapi juga medikamentosa) di dalam kerangka task shifting untuk memastikan keterlibatan profesi lain seperti bidan, apoteker, paramedis, sebagaimana diatur dalam KUHP 2023 dan mengacu pada panduan termutakhir WHO terkait aborsi. Adanya perluasan akses dan metode ini adalah cara untuk memastikan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer dan mengakomodir situasi keterbatasan layanan.
  4. Melibatkan masyarakat sipil dalam proses monitoring dan evaluasi. Untuk menjamin bahwa masyarakat sipil, khususnya kelompok advokasi perempuan, penyandang disabilitas, serta kelompok LGBTIQ, terlibat secara aktif dalam pemantauan implementasi regulasi kesehatan yang menyangkut hak dan perlindungan mereka. Sekaligus mendorong penyedia layanan kesehatan untuk mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam penanganan korban kekerasan seksual, tanpa stigma atau diskriminasi.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

  1. Save All Women and Girls (SAWG)
  2. Yayasan Kesehatan Perempuan
  3. Perhimpunan Jiwa Sehat
  4. Samsara
  5. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  6. Arus Pelangi
  7. Qbukatabu
  8. Institute for Criminal Justice Reform
  9. PKBI Yogyakarta
  10. Front Anti Kekerasan Maluku Utara
  11. Woi Sulawesi Utara
  12. Gerak 28 September
  13. Transmen Indonesia
  14. Koalisi Perempuan Indonesia
  15. id
  16. Alemu
  17. LBH Masyarakat
  18. Amerta Raksa Kayana
  19. Komunitas Perempuan Bumi
  20. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
  21. SIGAB Indonesia
  22. Diksi Foundation
  23. HWDI – Sulawesi Selatan
  24. Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo
  25. Jakarta Feminist
  26. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  27. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN)
  28. OHANA
  29. CIQAL
  30. SAPDA
  31. Feminis Themis
  32. PPDI Kalimantan Timur

Kontak person:

Ika Ayu – 0818278587
Nanda Dwinta – 081586602575
Tama – 085234831703
Tama – 085234831703

1. Peraturan Menteri Kesehatan menempatkan layanan Aborsi sebagai peristiwa hukum dan bukan tindakan medis; korban wajib mendapatkan 4 surat sebelum bisa mengakses layanan.

2. Peraturan Menteri Kesehatan melanggengkan patologisasi LGBTIQ dan mempromosikan tindak penyiksaan berbentuk upaya korektif paksa terhadap kelompok LGBTIQ

3. Peraturan Menteri Kesehatan menghilangkan otonomi tubuh orang dengan disabilitas dalam hal pengambilan keputusan

Mahasiswa, Advokat, hingga Korban Penyiksaan Ajukan Permohonan Informasi Publik ke DPR RI Menuntut Naskah Akademik dan Draft RUU KUHAP Dibuka kepada Publik!

Rabu, 19 Februari 2025 – Perwakilan mahasiswa, advokat, dan keluarga korban penyiksaan mengajukan permohonan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini adalah dampak dari keputusan DPR RI pada rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025 yang menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi RUU inisiatif DPR RI. Sayangnya, dalam proses penyusunan ini, tidak ada proses partisipasi publik yang bermakna.

Muhammad Fawwaz Al Farabi, Ketua BEM FH UI selaku pemohon menyatakan, “Kami amat menyayangkan DPR RI yang main petak umpet sama rakyat, padahal perlu diingat bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, ada yang namanya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapannya, yaitu hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangan pendapatnya, serta untuk diberikan jawaban. Jadi sebetulnya harusnya tanpa kami mintakan permohonan informasi publik seperti ini, sudah menjadi kewajiban DPR RI untuk membuka draftnya.” “Ini menambah daftar panjang RUU yang dibuat secara ugal-ugalan.” Fawwaz berharap, nantinya pembahasan KUHAP dapat melibatkan publik, sebab ia menyatakan, “KUHAP milik publik, dan sudah seharusnya begitu, maka pembahasannya harus melibatkan publik!” “Mahasiswa juga sering menjadi korban ‘penculikan’ aparat, bukan lagi ‘penangkapan’, karena surat-suratnya tidak ada. Nah di situ ada masalah mendasar dari KUHAP, makanya publik perlu dilibatkan dalam pembahasannya,” kata Mahasiswa FH UI tersebut.

Astatantica Belly Stanio selaku pemohon yang berlatar belakang profesi advokat menyatakan, “Sebagai bagian dari penegak hukum, peran advokat perlu dikuatkan dalam KUHAP. Penguatan peran advokat merupakan upaya memperbaiki KUHAP. Fakta bahwa dalam proses penyidikan banyak terjadi pelanggaran HAM, sehingga diperlukan peran advokat sebagai pendamping orang yang berhadapan dengan hukum. Beberapa isu advokat yang perlu diperbaiki dalam KUHAP adalah pentingnya memasukkan konsep miranda rules sehingga orang yang berhadapan dengan hukum memiliki hak diam, hingga mendapatkan pendamping hukum, kemudian peran advokat dalam proses penyidikan juga perlu diperkuat. Akses bantuan hukum harus diperluas bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya bagi orang yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih. Oleh karenanya, KUHAP perlu dibahas bersama dengan masyarakat. KUHAP kita sekarang memang bermasalah, tapi kalau pembahasan RUU KUHAP tidak melibatkan publik seluas-luasnya, bisa jadi justru RUU KUHAP akan menambah masalah dalam sistem peradilan pidana kita.”

Rusin selaku pemohon pribadi menyatakan, “Harusnya wakil rakyat itu ya atasannya adalah rakyat, sudah sepantasnya draftnya dibuka kepada publik. Saya sebagai orang tua dari korban penyiksaan dan salah tangkap, yaitu Sdr. Fikri, sebagai warga negara, saya merasa perlu untuk dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHAP, agar kedepannya hal seperti ini tidak terjadi lagi. Kami, rakyat Indonesia ingin tahu, draftnya ini seperti apa. Kalau misalnya ada yang tidak benar, bisa diperbaiki. Saya misalnya sebagai keluarga korban penyiksan bisa juga mengevaluasi berdasarkan pengalaman yang saya miliki di lapangan. Libatkanlah masyarakat, karena kekuasan tertinggi di tangan rakyat. DPR harus ingat, sebagai wakilnya rakyat, maka suara rakyat harus didengar. Segera buka draft dan naskah akademiknya.” Rusin sendiri merupakan orang tua M. Fikri, salah seorang korban penyiksaan pada tahun 2021-2022.

Ketiganya berharap DPR RI segera membuka naskah akademik dan Draft RUU KUHAP sebagai langkah nyata untuk mewujudkan partisipasi publik yang bermakna. Draft Naskah Akademik dan Draft RUU merupakan informasi publik yang dikelola oleh badan publik dalam konteks legislatif, yaitu DPR RI sebagaimana dimaksud dalam Pasal  1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sesuai dengan Pasal 22 ayat (7) UU KIP, DPR RI wajib memberikan jawaban terhadap permohonan informasi tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.

Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bidang Advokasi menyatakan bahwa hal ini menambah praktik buruk legislasi yang dilakukan DPR RI. “YLBHI mendesak DPR RI untuk segera membuka draf NA dan RUU KUHAP ke Publik. KUHAP adalah regulasi penting untuk memastikan hak atas keadilan masyarakat dijamin dan penegakan hukum bisa transparan dan bertanggungjawab. KUHAP tidak boleh seolah hanya urusan DPR Pemerintah dan APH saja. KUHAP adalah kepentingan bersama warga negara untuk memastikan penegakan hukum pidana berlangsung secara berkeadilan dan menjunjung tinggi HAM.

Menutup akses informasi publik terhadap dokumen legislasi tersebut sama saja menutup dan melanggar hak konstitusional warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan UU sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.” “Jika ada upaya menutup-nutupi, kita patut menduga ada hak rakyat yg mau ‘dicuri’ atau ‘dikorupsi’ karena Penyusunan UU akan mengatur kepentingan publik. DPR RI semestinya belajar dari kesalahan penyusunan regulasi sebelumnya dan tidak melakukan korupsi legislasi seperti halnya yang terjadi pada penyusunan UU bermasalah sebelumnya seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, atau UU KPK. Informasi legislasi seperti NA dan RUU KUHAP adalah hak konstitusional warga negara bahkan tanpa perlu diminta semestinya informasi terkait legislasi harus dibuka oleh DPR atau Pemerintah. Sayangnya beberapa tahun terakhir justru diabaikan,” kata Arif.

Narahubung: 082210946456 – Asta

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2024 – Tersesat dalam Transisi: Rakyat Berjuang Menavigasi

Laporan Tahunan LBHM 2024 menggambarkan perjalanan yang tidak hanya ditandai oleh angka dan statistik, tetapi juga oleh kisah-kisah kecil yang penuh arti. Di tahun yang penuh dengan tantangan sosial-politik dan perubahan internal, kami berhasil bertahan, terus berjuang, dan melangkah bersama masyarakat sipil yang penuh semangat.

Dari perjalanan panjang ke Nusakambangan, kunjungan ke panti rehabilitasi yang penuh dengan kenyataan pahit, hingga kisah-kisah pribadi yang disampaikan oleh klien kami, semua ini menunjukkan betapa pentingnya untuk tidak melupakan momen-momen yang tampaknya kecil, namun mengubah segalanya.

Laporan ini kami berharap bisa menjadi kontribusi untuk menunjukkan bahwa, tahun 2024 adalah tahun berat, banyak kemunduran yang terjadi, hiruk-pikuk politik yang tak tertanggulangi, ancaman yang membayangi, tetapi kita (masyarakat sipil) bertahan. Upaya-upaya kolaboratif membuat kenangan atas tahun yang baru lewat ini bisa kita hargai bersama.

Kami juga mengajak Sobat Matters untuk membaca laporan ini secara lengkap dan meresapi setiap cerita dan perjuangan yang kami lakukan bersama. Terima kasih atas dukungan berkelanjutan yang memberikan kami kekuatan untuk terus melangkah.

Amnesti Tanpa Rehabilitasi: Desakan LBHM atas Kelanjutan Rencana Amnesti Pemerintah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi kembali rencana pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana di Indonesia, terutama yang ditujukan kepada terpidana narkotika. Perkembangan rencana ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, bertempat di Kantor Kemenko Kumham Imipas pada hari Selasa, 21 Januari 2025.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Kompas.com, Yusril mengumumkan bahwa amnesti akan diberikan kepada narapidana kasus narkotika yang masih muda dan produktif melalui tahapan rehabilitasi atau masuk ke angkatan Komponen Cadangan (Komcad) untuk kemudian berkarya di proyek-proyek pemerintah, seperti pembukaan lahan pertanian di Kalimantan dan Papua.[1] Alasan prosesnya dibuat demikian adalah supaya penerima amnesti yang telah dibebaskan ini tidak meresahkan masyarakat.[2]

LBHM memandang ada beberapa poin dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan yang perlu dikritisi.

Pertama, rencana rehabilitasi setelah amnesti akan menambah permasalahan hak bagi para terpidana. Faktanya, tidak semua orang yang menggunakan narkotika akan menjadi ketergantungan dan membutuhkan rehabilitasi. Faktor konsumsi narkotika bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan, sebab ada beragam faktor biologis, seperti usia dan faktor sosial seperti dukungan support system yang berpengaruh pada tingkat ketergantungan narkotika. Hasil survei Badan Narkotika Nasional pada tahun 2023 pun menyebutkan bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkotika setahun pakai sebesar 173 orang per 10,000 penduduk, sedangkan angka prevalensi penyalahgunaan narkotika pernah pakai dalam seumur hidupnya sebesar 220 orang per 10.000 penduduk[3], menunjukkan adanya pengguna narkotika yang tidak sedang menggunakan narkotika selama setahun terakhir.

Seperti layaknya intervensi kesehatan yang lain, rehabilitasi ketergantungan narkotika harusnya dipandang sebagai hak, bukan pengganti hukuman. Pemerintah tidak bisa memukul rata bahwa puluhan ribu terpidana kasus narkotika yang akan diberikan amnesti semuanya membutuhkan rehabilitasi.

Kedua, penugasan terpidana narkotika ke Komcad adalah rencana yang gegabah. Kehadiran Komcad sebagai pelengkap sistem pertahanan Indonesia masih ditentang oleh berbagai elemen masyarakat. Komcad yang dibentuk dan ditugaskan untuk membantu proyek pertanian dikhawatirkan akan meningkatkan konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat dan menambah panjang daftar pelanggaran HAM.[4]  Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 saja, jumlah konflik agraria tercatat mencapai 241 kasus, yang merampas 638.188 hektar lahan, dan 135.608 kepala keluarga terdampak imbas konflik ini.[5] Data tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2022, di mana terdapat 212 kasus, yang merampas 1.035.613 hektar lahan, dan 346.402 kepala keluarga yang terdampak.[6] Dengan demikian, kehadiran Komcad yang sampai sekarang masih banyak ditentang berbagai elemen masyarakat, berpotensi membuat masalah konflik agraria yang ada jadi semakin rumit.

Tak hanya itu, Desember 2024 lalu, LBHM bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain juga telah mengkritisi agenda amnesti untuk Komcad ini. Kami menjabarkan bahwa syarat keikutsertaan narapidana dalam Komcad tanpa kriteria yang jelas tentang rekrutmen dan kompensasi kerja berisiko membuat program ini menjadi perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.

Ketiga, kekhawatiran program amnesti akan meresahkan masyarakat seharusnya tidak ada sepanjang proses pemasyarakatan di dalam lembaga pemasyarakatan betul-betul dijalankan. Program pemasyarakatan sejatinya adalah program untuk membina dan membimbing para terpidana agar menempuh reintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, seharusnya para terpidana yang menjadi target amnesti telah mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang sesuai yang akan mampu menempatkannya kembali ke dunia kerja.

Pemerintah juga bisa belajar dari pengalaman percepatan asimilasi yang dilakukan pada masa Pandemi Covid-19. Monitoring dari LBHM menunjukkan bahwa di tengah asimilasi sekitar 40 ribu terpidana pada April-Agustus 2020, hanya ada 72 narapidana yang kembali diberitakan melakukan kejahatan.[7] Persentase residivisme yang kecil ini juga bisa didorong dengan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan para narapidana.

Keempat, penjelasan bahwa program amnesti akan diberikan kepada yang masih muda dan produktif menjurus ke diskriminasi berbasis usia atau ageism. Hal ini seperti kontradiktif dengan upaya pemerintah, terutama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, untuk memanusiakan lansia yang menjadi narapidana. Selama ini pemerintah sudah cukup berbangga dengan sikapnya untuk membentuk the Jakarta Statement on the Treatment of Elderly Prisoners dengan mengakui bahwa narapidana lanjut usia di Indonesia memiliki kebutuhan berbeda dengan narapidana lain.[8]

Jika program amnesti diberikan hanya kepada mereka yang produktif, semakin kuat pandangan masyarakat bahwa program amnesti ini bukan tentang keadilan, tetapi sepenuhnya urusan untung-rugi ekonomi.

“Sudah sepatutnya Amnesti dikembalikan kepada ikhtiarnya sebagai mekanisme untuk memperbaiki kesalahan peradilan pidana dan penghukuman di masa lalu. Terhadap pengguna narkotika, pemerintah seharusnya menempatkan program amnesti ini sebagai pengakuan bahwa pengguna narkotika tidak boleh dipenjara,” terang Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Rabu, (22/01/2025), di Jakarta.

Berdasarkan perkembangan terbaru ini, LBHM menyampaikan beberapa tuntutan:

  1. Mendesak pemerintah untuk mengembalikan tujuan amnesti pada pemenuhan keadilan dan Hak Asasi Manusia, khususnya untuk memperbaiki kesalahan penghukuman dalam kasus narkotika dan kasus kebebasan berpendapat.
  2. Memaksa pemerintah untuk mencabut syarat wajib mengikuti rehabilitasi dan Komcad pasca amnesti.
  3. Mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan program amnesti sesuai dengan standar-standar HAM yang ada, yakni dengan membuka partisipasi terpidana untuk menentukan apa yang ia hendak lakukan setelah amnesti; memastikan tidak ada diskriminasi berbasis usia, gender, atau status sosial lain dalam pemberian amnesti; memberikan informasi yang memadai kepada terpidana dan publik atas ketentuan amnesti.
  4. Untuk meredakan anggapan bahwa amnesti akan menyebabkan keresahan di masyarakat, pemerintah perlu memastikan bahwa sistem dukungan bagi mereka yang baru menjalani amnesti agar mereka bisa menempuh reintegrasi di masyarakat. Dukungan ini meliputi tapi tidak terbatas pada, pembiayaan kepulangan mereka ke keluarga, menghubungkan para penerima amnesti dengan fasilitas layanan kesehatan di luar penjara, memberikan layanan perlindungan sosial yang sesuai dalam bentuk jaminan sosial dan bantuan sosial.

Jakarta, 22 Januari 2025

Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)

[1] Haryanti Puspa Sari, Dani Prabowo, “Yusril Sebut Prabowo Ingin Napi Narkotika yang Terima Amnesti Direhabilitasi dan Ikut Komcad”, Kompas.com, 21 Januari 2025. Diakses di https://nasional.kompas.com/read/2025/01/21/15584841/yusril-sebut-prabowo-ingin-napi-narkotika-yang-terima-amnesti-direhabilitasi.

[2] Ibid.

[3] BNN, BRIN, BPS, Laporan Hasil Pengukuran Prevalensi Narkoba Tahun 2023, Hal. 53.

[4] “Menggugat Komponen Cadangan,” imparsial.org, 30 Juni 2022, diakses di https://imparsial.org/menggugat-komponen-cadangan-2/

[5] Konsorsium Pembaruan Agraria, Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi dari Enam Negara Asia, 27 Februari 2024. Diakses di https://www.kpa.or.id/2024/02/27/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dari-enam-negara-asia/

[6] Aryo Bhawono, KPA Catat 212 Letusan Konflik Agraria di 2022, betahita, 13 Januari 2023. Diakses di https://betahita.id/news/detail/8356/kpa-catat-212-letusan-konflik-agraria-di-2022.html?v=1673576856

[7] Hisyam Ikhtiar, Analisis Kebijakan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat).

[8] “The Jakarta Statement Menuju Standar International Perlakuan Narapidana Lansia,” ditjenpas.go.id, 19 Desember 2019, diakses di https://www.ditjenpas.go.id/the-jakarta-statement-menuju-standar-international-perlakuan-narapidana-lansia

Panduan Mengintegrasikan Isu Tuberkulosis dalam Kerja-Kerja Hak Asasi Manusia

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan global, dengan 10,6 juta orang didiagnosis TBC pada tahun 2022. Di Indonesia, yang menyumbang sekitar 10% dari kasus TBC dunia, tercatat 1.060.000 kasus dan 134.000 kematian akibat TBC. WHO meluncurkan strategi “End TB” untuk mengurangi insiden TBC hingga 90% pada 2030, dengan salah satu prinsip utama perlindungan dan promosi Hak Asasi Manusia (HAM) bagi orang dengan TBC.

Namun, orang dengan TBC menghadapi berbagai bentuk pelanggaran HAM, seperti penolakan perawatan, diskriminasi sosial, dan stigma dari masyarakat dan tenaga kesehatan. Laporan LBH Masyarakat mencatat pelanggaran HAM terhadap orang dengan TBC, yang sebagian besar terkait dengan hak atas kesehatan dan perlakuan diskriminatif. Stigma internal dan eksternal memperburuk kondisi mereka, menghambat pencarian pengobatan dan memperburuk kualitas hidup.

Untuk mengatasi masalah ini, komunitas orang dengan TBC dan organisasi pasien telah mengadvokasi hak mereka, termasuk dengan mendeklarasikan “Deklarasi Hak Orang yang Terdampak Tuberkulosis” pada 2019. Deklarasi ini menegaskan kewajiban perlindungan HAM bagi orang dengan TBC.

Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021, juga menekankan pentingnya mitigasi dampak psikososial dan pemberdayaan ekonomi bagi orang dengan TBC dan keluarganya. Agar kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik, diperlukan panduan yang melibatkan komunitas, masyarakat, dan berbagai pihak, termasuk organisasi hukum dan HAM, untuk mendukung strategi nasional eliminasi TBC.

Buku panduan ini dapat menjadi referensi penting untuk memahami langkah-langkah yang harus diambil dalam mengintegrasikan perlindungan HAM dan strategi eliminasi TBC di Indonesia.

Simak selengkapnya melalui link berikut ini

Kertas Kebijakan: Mendorong Komutasi Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup yang Efektif, Berkeadilan, dan Bermartabat

Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023. Biasa dirujuk sebagai KUHP Baru, produk ini mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Artinya KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Melalui KUHP Baru, Indonesia memperkenalkan sejumlah ketentuan dengan tujuan restriksi atau melimitasi penggunaan pidana mati.

Pertama, pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 67 juncto Pasal 98 KUHP Baru. Pengancaman pidana mati secara alternatif bertujuan sebagai “upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Kedua, “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1). Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, Pasal 101 KUHP Baru menambahkan, “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Walau KUHP Baru menyediakan tiga pendekatan yang intensinya membatasi penggunaan pidana mati, KUHP Baru sesungguhnya masih mempertahankan pidana mati.

Selain pidana mati, KUHP Baru juga masih mempertahankan pidana penjara seumur hidup. Serupa dengan komutasi pidana mati, KUHP Baru memungkinkan pidana penjara seumur hidup diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dalam hal seorang narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun dan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 621 KUHP Baru menyebutkan bahwa peraturan pelaksana KUHP Baru harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak KUHP Baru diundangkan. Artinya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tersebut harus diundangkan paling lambat 2 Januari 2025.

Baca kertas kebijakan LBHM dan PBHI terkait Peraturan Pemerintah mengenai tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang harus diperhatikan oleh pemerintah melalui link di bawah ini: 

Habis Amnesti Terbitlah Milisi: Problematik atau Solutif?

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengapresiasi upaya Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini menyetujui pemberian amnesti atau pengampunan hukuman kepada 44 ribu narapidana di Indonesia.[1] Berdasarkan keterangan Prabowo, amnesti itu diberikan atas dasar kemanusiaan dan keadilan, sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mengurangi angka over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hingga 30%, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.[2]

Beberapa kategori narapidana yang mendapatkan amnesti tersebut di antaranya narapidana perkara tindak pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penghinaan kepada kepala negara, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa, narapidana kasus makar tidak bersenjata di Papua, serta narapidana yang merupakan pengguna narkotika, yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.[3]

Sepintas, upaya ini menunjukkan langkah positif untuk menyelesaikan permasalahan overkapasitas di Lapas. Tapi, ketika ditelaah, langkah positif itu punya ‘kepentingan terselubung’ yang berpotensi melanggar hak asasi manusia para narapidana yang mendapatkan amnesti.

Menurut keterangan berbagai pihak, ketika pemberian amnesti itu telah dilakukan, narapidana yang masuk ke dalam kategori usia produktif akan diusulkan untuk ikut ke dalam Komponen Cadangan (Komcad), selain mengikuti program swasembada pangan (jadi petani).[4]   

“Padahal, telah banyak pihak yang mengkritik keberadaan Komcad. Kebijakan Prabowo yang memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana tapi diusulkan untuk menjadi bagian dari Komcad tidak lebih dari memindahkan satu masalah ke masalah lain. Kerangka berpikir seperti ini tidak menyelesaikan akar masalah yang terjadi di masyarakat,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Albert Wirya, Selasa, (17/12/2024), di Jakarta.

Wacana ini bermasalah karena beberapa hal, yakni:

Pertama, pemberian amnesti belum diikuti perubahan politik hukum. Terdapat 3 (tiga) kriteria tindak pidana yang diusulkan bisa mendapatkan amnesti yakni, tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara, tindak pidana makar yang tidak bersenjata di Papua, dan tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan penggunaan narkotika. Kesemua tindak pidana tersebut sampai saat ini masih diberlakukan sebagai delik pidana dalam hukum pidana nasional Indonesia.

Seyogianya, jika ke semua delik pidana tersebut sudah dianggap tidak relevan lagi oleh pemerintah sehingga layak diberikan amnesti, pemberian amnesti harus juga diikuti perubahan politik hukum. Caranya adalah dengan merevisi segala peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi dasar hukum pemberlakuan ke semua delik pidana tersebut. 

Kedua, potensi penyalahgunaan anggaran Komcad. Pendanaan untuk Komcad yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) rawan diselewengkan. Dugaan ini muncul setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah dalam laporan keuangan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Tahun Anggaran 2021, khususnya yang berhubungan dengan program Komcad. Ada penggunaan anggaran ratusan miliar rupiah yang dinilai menyalahi peraturan perundang-undangan.[5]

BPK menemukan berbagai kegiatan yang menelan anggaran sebesar Rp531,96 miliar. Sekitar Rp235,26 miliar di antaranya digunakan untuk pembentukan Komcad. Namun penggunaan anggaran itu sepenuhnya tidak didukung APBN 2021.[6]

Ketidakjelasan dalam proses penganggaran juga bisa menjadi pintu masuk bagi tindakan maladministrasi. Seharusnya pemerintah bisa belajar dari hal ini agar persoalan serupa tak terulang kembali pada kemudian hari.

Ketiga, keberadaan Komcad mengancam konflik horizontal di masyarakat. Pengaturan yang luas dan tidak jelas dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda atas ancaman yang dihadapi, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan

mereka sendiri. Keberadaan Komcad ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba).

Keempat, potensi pelanggaran hak atas pekerjaan. Syarat keikutsertaan warga binaan dalam Komcad atau program swasembada pangan akan membuat warga binaan tidak bisa memberikan pilihan bebas tentang hidup mereka pasca pemenjaraan. Belum ada kriteria yang jelas juga berapa lama keikutsertaan mereka dalam program tersebut dan apa keuntungan yang bisa mereka dapatkan dalam program tersebut. Tanpa adanya kompensasi yang sesuai, program ini berpotensi untuk meningkatkan angka perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.

LBHM tetap mengapresiasi dan mendorong pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana, dengan catatan sebagai berikut:

  1. Proses amnesti besar-besaran tetap penting dijalankan untuk mengoreksi pendekatan punitif yang selama ini terjadi dalam kasus-kasus narkotika dan kebebasan berpendapat;
  2. Amnesti harus dipandang sebagai hak terpidana yang mengalami ketidakadilan akibat penghukumannya. Dengan demikian, sepatutnya tidak perlu ada kewajiban-kewajiban yang perlu dilakukan oleh terpidana setelah ia menerima amnesti, seperti ikut serta dalam Komcad atau program swasembada pangan;
  3. Jika pemerintah hendak memberikan akses terhadap pekerjaan bagi para terpidana yang akan diberikan amnesti, pemerintah hendaknya memastikan bahwa terpidana bisa memberikan pilihan bebas apakah mereka akan mau menerima pekerjaan itu atau tidak, serta memastikan pekerjaan yang diberikan sesuai dengan standar peraturan ketenagakerjaan dan di sektor usaha yang tidak merusak lingkungan atau menimbulkan konflik horizontal;
  4. Praktik amnesti tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan overcrowding secara tuntas. Perlu ada reformasi kebijakan pemidanaan, salah satunya reformasi kebijakan narkotika yang mendekriminalisasi pengguna narkotika, penghapusan delik pidana penghinaan kepada kepala negara, dan pembatasan tindak pidana makar hanya bisa diberlakukan ketika ada penggunaan kekuatan bersenjata yang telah diwujudkan ke dalam perbuatan yang konkrit.

 

Jakarta, 17 November 2024

Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)


[1] M Algredi, Presiden Prabowo Setujui Amnesti atas Dasar Kemanusiaan dan Stabilitas Sosial, padek.jawapos.com, 16 Desember 2024. Diakses di https://padek.jawapos.com/nasional/2365427500/presiden-prabowo-setujui-amnesti-atas-dasar-kemanusiaan-dan-stabilitas-sosial

[2] BPMI Setpres, Presiden Prabowo Setujui Pemberian Amnesti untuk Kemanusiaan dan Rekonsiliasi, presidenri.go.id, 13 Desember 2024. Diakses di https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-prabowo-setujui-pemberian-amnesti-untuk-kemanusiaan-dan-rekonsiliasi/

[3] Hendrik Yaputra, Menteri HAM Ungkap Alasan Prabowo Beri Amnesti bagi Narapidana Kasus Papua dan ITE, tempo.co, 15 Desember 2024. Diakses di https://www.tempo.co/politik/menteri-ham-ungkap-alasan-prabowo-beri-amnesti-bagi-narapidana-kasus-papua-dan-ite-1181723

[4] Emir Yanwardhana, Ide Baru Prabowo: Usul Napi Dilatih Jadi Petani dan Tentara Cadangan, cnbcindonesia.com, 15 Desember 2024. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20241215123347-4-596088/ide-baru-prabowo-usul-napi-dilatih-jadi-petani-dan-tentara-cadangan

[5] Seknas Fitra, Anggaran Komponen Cadangan Rawan Dikorupsi, 2 November 2022. Diakses di https://seknasfitra.org/anggaran-komponen-cadangan-rawan-dikorupsi/

[6] Ibid

id_IDIndonesian