Kategori: Publikasi

Publikasi LBHM

Laporan Monitoring dan Dokumentasi Media Orang dengan HIV dan Populasi Kunci 2021-2022 [ID/EN]

Kebijakan penanggulangan HIV Indonesia dalam kalkulasi di atas kertas memang mengagumkan. Namun, kebijakan normatif itu ompong dalam implementasi. Laporan yang dihadirkan di hadapan Anda saat ini menyajikan temuan itu dalam narasi dan data yang aktual. Meskipun permasalahan dari waktu ke waktu dalam penanggulangan HIV selalu berulang, yaitu langgengnya stigma dan diskriminasi, tetapi dalam laporan ini diuraikan secara komprehensif dari level hulu hingga hilir dari satu aktor ke aktor lain, baik yang berada di skala nasional atau lokal dalam konteks kebijakan dan praktik lapangan penanggulangan HIV. Oleh karena itu, dengan menyelami laporan ini, kita akan memahami kemelut persoalan HIV dari berbagai aspek.

Buku Laporan Penelitian Perspektif Keagamaan Narkotika

Masyarakat Indonesia menempatkan agama sebagai aspek penting dalam kehidupan. Oleh karena itu, aspek keyakinan merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong institusi agama agar memberikan lebih banyak perhatian terhadap fenomena masalah penggunaan narkotika. Penelitian ini merupakan awal pergerakan kolaborasi unsur agama melalui institusi maupun tokoh agama dan masyarakat dalam menanggapi kegelisahan masalah narkotika di Indonesia.

LAPORAN TAHUNAN LBH MASYARAKAT 2022

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2022). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2022 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2022 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Penelitian Faktor Hukuman Mati

Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa hak untuk hidup adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Dengan nada serupa, Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, menyatakan hak untuk hidup bersifat melekat pada setiap individu serta merupakan hak yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, ICCPR menyerukan kepada negara yang belum menghapus hukuman mati untuk membatasi penerapan hukuman mati hanya pada ‘tindak kejahatan yang paling serius’ (most serious crimes). Kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati berdasarkan protokol tersebut bukan kejahatan sipil seperti narkotika maupun pembunuhan. Kendati sudah meratifikasi ICCPR, Indonesia masih belum meratifikasi baik optional protocol maupun second optional protocol atas ICCPR.

Meskipun hukuman mati di Indonesia tidak bersifat wajib, hukuman mati tetap merupakan salah satu ancaman hukuman yang disediakan undang-undang (de jure) sehingga hakim dapat memilih untuk menjatuhkannya. Di dalam KUHP yang berlaku saat ini, pidana mati dapat menyasar pelaku tindak pidana narkotika, pembunuhan berencana, terorisme,  hingga kejahatan terhadap keamanan negara. Secara praktik, pidana mati selama ini banyak menyasar orang yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan berencana.

Ketentuan undang-undang di Indonesia membuka ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu. Sayangnya, Indonesia belum memiliki pedoman (safeguard) yang secara khusus memastikan perlindungan hak-hak terdakwa yang mendapat ancaman hukuman mati. Namun demikian, berkaca pada praktik-praktik baik (best practices) yang ada, beberapa negara telah menerapkan pedoman pemidanaan (guideline/safeguard) untuk penjatuhan hukuman mati. Terdapat batasan spesifik telah dicantumkan dalam menjatuhkan pidana mati, misalnya: harus disertai keadaan-keadaan yang memberatkan (aggravating circumstances) dan tidak ada keadaan-keadaan yang meringankan (no mitigating circumstances); pemeriksaan terhadap dugaan penyiksaan (torture), perlakuan sadis (sadism), atau motif kejam (motive evincing ‘total depravity and meanness’); tidak menyasar korban yang merupakan kelompok rentan (vulnerable group), seperti: anak-anak, orang tua atau lansia, perempuan hamil; disertai perencanaan (premeditation or significant planning), dan lain sebagainya.

Sejak tahun 2021 LBHM, IJRS dan Reprieve melakukan penelitian terhadap putusan pidana mati yang terjadi di Indonesia berdasarkan catatan yang dibuat oleh Reprieve. Hasilnya, kami berhasil menemukan total 216 putusan pidana mati yang terdiri dari 158 putusan peradilan terhadap tindak pidana narkotika dan 58 putusan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana. Jumlah tersebut belum merepresentasikan keseluruhan kasus yang ada karena terdapat keterbatasan penelitian seperti ketidatersediaan ataupun rusaknya dokumen putusan yang tersedia secara elektronik pada situs Mahkamah Agung. Namun, pada kesempatan tertentu, pihak Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pernah menyatakan bahwa terdapat 406 terpidana mati yang tersebar di berbagai lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.

Terlepas dari adanya keterbatasan, penelitian ini menunjukkan beragam temuan terkait praktik pidana mati di Indonesia. Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan adanya urgensi pembentukan suatu panduan pemidanaan untuk membantu hakim memberikan keputusan seadil mungkin jika harus menjatuhkan pidana mati. Selain itu panduan pemidanaan juga dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia bagi orang-orang yang menghadapi ancaman pidana mati. Kebutuhan akan panduan pemidanaan ini juga masih relevan meski Indonesia telah mengubah pidana mati menjadi pidana alternatif melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan. Sebab, meskipun menjadi pidana alternatif, masih terdapat ketidakjelasan mekanisme pelaksanaan pidana mati pada KUHP Nasional yang disahkan pada 6 Desember 2022.

PRAKTIK KORUPSI DALAM PIDANA MATI

Praktik korup dan pelanggaran etik dalam pemeriksaan perkara di institusi penegak hukum masih marak terjadi. Sepanjang 2010-2022, menurut informasi media terdapat 23 hakim ditangkap terkait korupsi.[1] Bahkan beberapa waktu terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 2 Hakim Agung sebagai tersangka korupsi yang baru terjadi sepanjang orde reformasi.

Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif yang berwenang di bidang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menyebutkan bahwa sepanjang 2021 terdapat 85 Hakim yang dijatuhi sanksi etik karena terbukti melanggar KEPPH.[2] KUHP yang baru disahkan oleh Presiden dan DPR nyatanya masih mempertahankan pidana mati, ini adalah legitimasi perampasan hak hidup di tengah rapuhnya sistem peradilan pidana di Indonesia.

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu pidana mati, terdapat lebih dari 400 orang yang saat ini berstatus sebagai terpidana mati di Indonesia, dan 70% diantaranya merupakan warga negara Indonesia (WNI). Data dari Kementerian Luar Negeri per 30 September 2022, terdapat 233 WNI yang terancam pidana mati di luar negeri.[3] Kebijakan pidana mati yang diadopsi dalam hukum pidana memperbesar hambatan diplomasi dan pengerahan sumber daya politik dalam penyelamatan WNI di luar negeri.

Problem pidana mati semakin tragis dengan meningkatnya jumlah deret tunggu kematian yang dihadapi terpidana mati dalam menunggu eksekusi mati. Di titik ini, terpidana mati menjalani pemenjaraan yang lama sehingga hukuman yang dijalani terpidana menimbulkan hukuman ganda yang dijalani di tengah buruknya infrastruktur Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang berkontribusi menggerus kondisi fisik, psikologis, dan mental terpidana mati.

Praktik penghukuman tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia ini dalam konteks deret tunggu kematian dibayang-bayangi dengan munculnya kerugian yang dipikul negara. Terlebih, fenomena deret tunggu kematian dijalani lebih dari 20 tahun pemenjaraan yang secara hukum illegal karena melebihi durasi pidana penjara yang diatur KUHP.

Secara konkret, praktik tersebut dialami oleh Merri Utami. Beliau adalah terpidana mati perempuan yang sudah mendekam selama 21 tahun di penjara. Sehingga praktik deret tunggu kematian yang melebihi durasi pemenjaraan yang dialami Merri Utami di tenggat waktu 1 tahun terakhir ini syarat dengan praktik korupsi yang menimbulkan kerugian negara.

Dalam regulasi, Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan bahwa dalam 1 hari negara menyediakan anggaran sebesar Rp 17.000 untuk biaya makan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP). Dikaitkan dengan praktik illegal pemenjaraan yang dialami oleh Merri Utami dalam 1 tahun terakhir ini, maka negara mengeluarkan biaya Rp 6.205.000. Kerugian keuangan negara ini diperparah dengan beban anggaran eksekusi mati. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyampaikan dalam pelaksanaan eksekusi mati negara harus mengeluarkan anggaran kurang lebih sebesar Rp 200.000.000 terhadap 1 orang terpidana mati.

Berdasarkan UU PNPS No. 2 Tahun 1964 dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010, eksekusi mati juga dijalankan oleh Polri, sehingga anggaran yang menyedot keuangan negara berada di 2 instansi, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri. Double anggaran ini tidak menutup kemungkinan membuka ruang penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh institusi tersebut. Di sisi lain anggaran eksekusi mati sering kali tidak transparan disampaikan ke publik oleh Pemerintah (dalam hal ini Kejaksaan dan Polri), padahal anggaran yang dikelola memiliki angka besar. Ombudsman Republik Indonesia pernah memberikan menyatakan terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang III pada 2016 lalu. Hal ini semakin mengindikasikan terjadinya penyelewengan pelaksanaan eksekusi mati yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM mendesak KPK untuk (1) menyelidiki adanya potensi kerugian negara dalam pemenjaraan terpidana mati yang menjalani pemenjaraan melebihi durasi pemenjaraan, sebagaimana diatur dalam KUHP dan (2) mengusut potensi penyelewengan anggaran negara dalam pelaksanaan eksekusi mati selama ini.

Jakarta, 9 Desember 2022
Hormat kami,

LBHM

Narahubung:
Yosua: 081297789301

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+

Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu kelompok yang sering mendapatkan ancaman keselamatan ketika sedang menjalankan tugas-tugasnya. Persekusi dari aktor negara ataupun aktor privat berdampak pada kesehatan fisik dan psikis dari para pembela HAM. Hal yang sama terjadi kepada pembela HAM yang fokus pada individu-individu LGBTIQ+ di Indonesia. Tingginya kasus krisis yang dialami oleh individu LGBTIQ+— paralegal Konsorsium CRM mencatat 51 kasus pada tahun 2021—menimbulkan beban fisik dan mental bagi pembela HAM LGBTIQ+/

Berangkat dari hal tersebut, Konsorsium CRM bersama dengan Jaringan Transgender Indonesia dan perEMPUan melalui dukungan Program Voice Indonesia memproduksi Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia. Kami berharap panduan ini bisa digunakan seluas-luasnya ketika pembela HAM LGBTIQ+ mengalami dampak negatif stress ketika menjalankan tugasnya. Selain memberikan panduan praktis untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk, panduan ini juga memberikan kontak layanan lanjutan kesehatan mental yang ramah LGBTIQ+ di Indonesia.

Unduh laporan selengkapnya dengan menekan tautan di bawah:

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial – Pendokumentasian di Tiga Rutan

Hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial) merupakan prinsip dasar dan bentuk manifestasi dari perlindungan hak asasi manusia. Prinsip ini mutlak harus menjadi pondasi dalam berjalannya sistem peradilan pidana secara terpadu di Indonesia sebagaimana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sayangnya, fakta dan realitas justru berkata lain. Berbagai hak dasar seorang tersangka maupun terdakwa yang berhadapan dengan proses hukum kerap terlanggar, mulai dari pemeriksaan tingkat kepolisian sampai dengan tingkat pengadilan. Pandemi COVID-19 yang menyebabkan penumpukan jumlah tahanan di Rutan Kepolisian turut berkontribusi pada pelanggaran hak-hak ini.

Pada semester pertama tahun 2021, LBHM telah mempublikasi hasil dokumentasi kegiatan penyuluhan dan konsultasi hukum di 2 (dua) rumah tahanan di Jakarta, yakni Rumah Tahanan Kelas I Cipinang (Rutan Cipinang) dan Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur (Rutan Pondok Bambu). Publikasi kali ini merupakan kelanjutan dari hasil kegiatan penyuluhan hukum yang terakumulasi pada periode kedua, yakni bulan Juli sampai dengan Desember 2021, yang mengumpulkan 350 responden.

Keterangan para responden memberikan indikasi pelanggaran hak atas bantuan hukum, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk peradilan yang adil dan bersih. Selain itu, masifnya penindakan perkara narkotika pada periode ini turut membuat kita berpikir ulang apakah sistem penegak hukum telah secara serius berupaya mengedepankan keadilan restoratif dan mengatasi kelebihan kapasitas di penjara-penjara Indonesia.

Publikasi ini dapat dibaca lebih lanjut pada tautan berikut:

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial: Pendokumentasian Kegiatan Penyuluhan dan Konsultasi Hukum di Tiga Rumah Tahanan Wilayah DKI Jakarta Sepanjang Tahun 2021

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Laporan Kerja (Annual Report) LBHM Tahun 2021

2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.

Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:

LBHM Annual Report 2021

id_IDIndonesian