Tag: Rilis Pers

Rilis Pers – Kasus Jeff Smith: Pendekatan Kesehatan untuk Pengguna dan Edukasi Publik Berbasis Penelitian

Jakarta, 23 April 2021

Pada 23 April 2021, LBH Masyarakat (LBHM) memberikan pendapat kepada Kepala Polres Jakarta Barat melalui surat nomor: 172/SK/LBHM-JS/IV/2021. Dalam surat tersebut LBHM meminta kepada Kepala Polres Jakarta Barat untuk dapat melakukan asesmen terhadap publik figur Jeff Smith yang ditangkap atas tindak pidana narkotika pada 15 April 2021. Alasan permohonan asesmen ini berdasarkan pada gramatur kepemilikan narkotika Jeff Smith tidak melebihi ambang batas ketentuan dari beberapa peraturan, yakni 0.52 gram dari batas 5 gram. Serta untuk dapat melihat status dari Jeff Smith yang termasuk pengguna narkotika atau justru terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Barang bukti lain yang turut menjadi perhatian LBHM adalah tersitanya empat buku tentang ganja dari mobil Jeff Smith. LBHM menilai tindakan Polres Jakarta Barat ini cukup reaktif dan berlebihan. Serta sikap Polres Jakarta Barat yang menghentikan kesempatan Jeff Smith saat mengutarakan pendapatnya bahwa ganja seharusnya tidak termasuk dalam narkotika golongan I. Pernyataan Jeff Smith sepatutnya menjadi refleksi untuk segera melakukan penelitian terhadap penggunaan ganja.

LBHM berasumsi ada dua alasan Polres Jakarta Barat tidak memberikan kesempatan bagi Jeff Smith untuk menyelesaikan argumentasinya, yakni:

  • Polres Jakarta Barat alergi terhadap peluang pengembangan pengetahuan atas narkotika jenis ganja.
  • Polres Jakarta Barat menganggap Jeff Smith tidak memiliki kapabilitas untuk berpendapat mengenai ganja.

Pernyataan Jeff Smith tersebut bukan tanpa dasar, pengkategorian narkotika jenis ganja pada golongan I adalah bentuk validasi ganja tidak memiliki nilai manfaat medis. Sementara banyak orang menggunakan ganja untuk pengobatan. Beberapa di antaranya, Fidelis Ari pada tahun 2017 dan tiga orang ibu yang membuktikan manfaat ganja pada terapi anak-anak mereka, yang saat ini sedang mengajukan judicial review pemanfaatan ganja untuk medis ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jika biasanya polisi menggunakan momentum penangkapan publik figur sebagai bentuk pembelajaran publik untuk menjauhi narkotika. Kemudian, mengapa tidak jika saat ini juga menjadi momentum untuk membuka mata akan nilai pemanfaatan medis pada narkotika, sekaligus memberikan edukasi publik yang berbasis penelitian dan ilmiah.

Narahubung: 081297789301 (Yosua Octavian)

File siaran pers ini dapat di unduh pada link di bawah ini:

File Surat Pendapat LBHM atas Kasus Jeff Smith dapat diunduh pada link di bawah ini:

Rilis Pers – Dalam Semangat Hari Kartini, Tiga Ibu Lanjutkan Perjuangan Uji Materil Larangan Narkotika Untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi

Pagi pukul 10 WIB hari ini, 21 April 2021 Mahkamah Konstitusi RI kembali menggelar persidangan untuk perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Ibu dari anak-anak yang menderita Cerebral Palsy yang menginginkan adanya pengobatan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja) sebagaimana sudah banyak berkembang di dunia. Mereka adalah Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayanti.

Agenda sidang kali ini membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh kuasa para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Dalam sidang ini, tim kuasa pemohon juga menyampaikan beberapa perkembangan terkait perkara ini salah satunya yakni berita duka dari Pemohon Ibu Dwi Pertiwi yang kehilangan puteranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa. Musa meninggal dunia pada 26 Desember 2020 setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020.

Selain itu, sebagai bagian dari perbaikan permohonan tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis. Sebagaimana diketahui pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konsekuensinya, ganja tidak lagi dipersamakan dengan jenis narkotika Golongan I lainnya yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Bahkan sebaliknya, hal ini memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

Koalisi berharap dengan adanya perkembangan-perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk mendapatkan perhatian sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian. Sebagaimana juga harapan para pemohon dalam perkara ini supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain. Untuk itu, koalisi mendesak agar Pemerintah dan DPR segera bergerak cepat untuk menyikapi perkembangan dari PBB terkait potensi penggunaan Narkotika Golongan 1 yakni ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Sebagai negara anggota, Pemerintah Indonesia secara sikap politis harus mau mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan UU Narkotika.

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
(Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN)

Rilis pers bisa diunduh pada link di bawah ini:

Rilis Pers – Pemerintah Beralasan Revisi UU ITE Tidak Masuk Prolegnas Karena RKUHP, Aliansi: Langkah Mundur!

Menteri Hukum dan HAM pada 9 Maret 2021 menjelaskan alasan UU ITE tidak masuk Prolegnas 2021. Beliau mengatakan karena pemerintah masih terus menjaring masukan publik untuk kajian UU ITE, selain itu juga pemerintah tengah melakukan sosialisasi RKUHP, sehingga Revisi UU ITE tidak masuk dalam Prolegnas karena keterkaitannya dengan RKUHP itu.

Secara konsep, Aliansi sepakat bahwa dalam konteks kodifikasi, beberapa tindak pidana yang sifatnya konvensional (cyber-enable crimes) dalam UU ITE memang harusnya cukup diatur dalam KUHP, tidak perlu diatur kembali dalam UU ITE. Namun dalam konteks urgensi perubahan UU ITE, maka menurut Aliansi, pernyataan Menteri Hukum dan HAM ini adalah langkah mundur dalam semangat Presiden Jokowi dalam komitmen untuk merevisi UU ITE.

Perlu diketahui, Revisi RKUHP sudah berjalan dari tahun 2016, namun gagal digoalkan di tahun 2019 dikarenakan masih adanya permasalahan dalam materi RKUHP itu sendiri, seta masyarakat sipil menilai masih banyaknya kecacatan dalam proses penyusunannya. Pada akhirnya menimbulkan gelombang penolakan pengesahan RKUHP karena dinilai terburu-buru dan masih memuat banyak masalah.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di:

Rilis Pers – 6 CATATAN UNTUK PARA HAKIM DI HARI KEHAKIMAN

Setiap tanggal 1 Maret di Indonesia, terdapat yang namanya Hari Kehakiman. Situasi kehakiman di Indonesia menjadi sorotan oleh kelompok masyarakat sipil beberapa waktu kebelakang ini. Secara undang-undang Hakim merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sayangnya, LBHM dan LBH Jakarta menemukan beberapa praktik-pratik yang mencoreng nama Hakim itu sendiri seperti:
1) Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption;
2) Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan; 
3) Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
4) Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
5) Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa;
6) Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel.

Oleh karenanya LBHM dan LBH Jakarta mendesak adanya segera perbaikan (evaluasi dan reformasi kehakiman) dalam tubuh Mahkamah Agung. Adapun poin tuntutan dari LBHM dan LBH Jakarta dapat teman-teman lihat dalam rilis pers di link berikut:

Rilis Pers – JERAT NARKOTIKA DI BADAN POLRI: BUKTI HUKUMAN MATI TIDAK LAGI RELEVAN, SEKALIGUS MENYUBURKAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Tertangkapnya Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika, bukanlah tindak pidana narkotika pertama yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada Oktober 2020 lalu, publik juga dikejutkan dengan seorang polisi berpangkat perwira inisial IZ yang terlibat peredaran narkotika jenis sabu seberat 16 kg di Provinsi Riau. 

Sayangnya reaksi yang ditunjukkan aparat sangatlah \’bahaya\’ yakni dengan mengamini hukuman mati bagi mereka (anggota polri) yang terlibat dalam kasus narkotika–Irjen Argo Yuwono menyebut, Anggota Polri yang terlibat tindak pidana narkotika, tanpa memandang sebagai pemakai atau pengedar harus dihukum mati, karena dianggap paham hukum dan konsekuensinya–Realita yang ada justru membuktikan jika hukuman mati tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindak pidana lagi (narkotika).

Tentu hal ini membuat institusi Polri tercerung, dan dengan adanya kejadian ini sudah seharusnya Polri mulai melakukan evaluasi dalam perihal penangkapan atas tindak pidana narkotika.

Selengkapnya di link berikut:

Rilis Pers – Presiden Jokowi Segera Cabut Pasal Karet UU ITE, Rakya Mendesak dan Siap Mengawal

Senin, 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.

Seluruh pasal – pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Rilis lengkap dapat dibaca di link berikut:

Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI

Rilis Pers – LBHM Ajukan Keberatan Atas Pernyataan War On Drugs Kepala BNN

LBH Masyarakat (LBHM), pada 4 Februari 2021 melayangkan surat keberatan kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Petrus R. Golose atas pertanyaan war on drugs dalam unggahan video di kanal Youtube BNN. Deklarasi penanggulangan narkotika melalui war on drugs memposisikan permasalahan narkotika yang kompleks ditangani dengan metode yang sama rata tanpa memperhatikan pemenuhan hak asasi seorang pengguna.

Selama ini narasi \’war on drugs\’ sudah menutup banyak pintu khususnya pintu hak atas kesehatan bagi teman-teman pengguna narkotika, karena selama ini banyak pengguna narkotika yang justru berakhir dibalik jeruji besi (penjara). Selain ditutupnya pintu hak atas kesehatan, war on drugs juga membuka pintu untuk praktik-praktik tidak manusiawi seperti penyiksaan, dan pemerasan.

Kerasnya deklarasi perang terhadap narkotika tidak sesuai dengan Kebijakan Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) yang memiliki marwah untuk kesehatan, hal ini justru menimbulkan sebuah siklus korup dan kekerasan yang terus terjadi khususnya menimpa pengguna narkotika dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan dan anak dalam lingkaran narkotika.

Rilis Pers lengkapnya dapat dibaca di link berikut:

Rilis Pers – Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) & Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

Berdasarkan pemberitaan pada 7 Februari 2021, 52 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terpapar COVID-19. Kondisi ini terbilang memprihatinkan karena kondisi Lapas Sukamiskin tidak mengalami overcrowding, Lapas Sukamiskin diisi 384 WBP dan tahanan dari total kapasitas 560. Data ini menunjukkan bahkan pada Lapas yang physical distancing sewajarnya dapat dilakukan tetapi penularan COVID-19 tetap terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk tidak lengah mencegah penyebaran COVID-19 di rutan dan lapas. Kita bisa bayangkan jika di rutan/lapas yang tidak mengalami overcrowding saja bisa terjadi infeksi COVID-19, bagaimana dengan kondisi di rutan/lapas di Indonesia yang justru sebagian besar mengalami overcrowding.

Sebagai catatan, terlepas dari pernah dilakukannya asimilasi dan integrasi WBP secara masif pada April-Mei 2020 lalu, berdasarkan data Pemasyarakatan dalam Sistem Database Pemasyarakatan, lapas dan rutan masih mengalami overcrowding. Per Januari 2021, beban rutan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 187% dengan tingkat overcrowding di angka 87%. Sebelumnya angka ini berhasil ditekan menjadi 69% pada Mei 2020.

Maka perlu digarisbawahi, petugas rutan dan lapas serta WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:


Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, Aksi Keadilan, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, PPH Unika Atma Jaya, Dicerna, Rumah Cemara

Rilis Pers – War on Drugs: Melanggar Hak Asasi dan Melanggengkan Praktik Korupsi

Praktik korupsi dalam kasus narkotika mungkin jarang sekali didengar oleh khalayak publik, hal ini dikarenakan narasi narkotika/narkoba saja sudah dicap sebagai sebuah hal yang buruk yang akhirnya membuat publik semakin tidak empati apabila mendengar kata narkotika/narkoba.

Dalam edisi terbaru Majalah Tempo (Edisi, 1-7 Februari 2021), Tempo menulis terkait ada beberapa anggota polisi yang bertugas di BNN menilap uang terduga pelaku kejahatan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.

Pihak BNN menyebutkan telah memproses secara internal terhadap anggota yang diduga terlibat, namun hingga saat ini perkembangannya tidak kunjung menemui titik terang. Minimnya transparansi dalam memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan seakan bertolak belakang dengan pengungkapan kasus narkotika yang dilakukan secara terbuka itu.

Sayangnya, narasi perang terhadap narkotika (war on drugs) selama ini dipakai upaya dalam melegitimasi penanggulangan narkotika dengan cara-cara yang mengebiri hak asasi manusia dan membuka kran yang menyuburkan praktik korupsi.

Oleh karena itu Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendorong untuk mengevaluasi secara penuh kebijakan \’war on drugs\’ secara komperhensif.

Rilis lengkap dapat teman-teman baca di link berikut:

Koalisi Pemantau Peradilan:
LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICW, PBHI, KontraS, PSHK, YLBHI, Imparsial.

Narahubung: 0813-2004-9060 (M.Afif Qoyim – Direktur LBHM)

Rilis Pers – Hukum Qanun & Lengahnya Negara Memberikan Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas Seksual dan Gender

Lagi tindakan diskriminasi terjadi kepada kelompok minoritas seksual dan gender (LGBTIQ+). Kali ini menimpa pasangan MU dan AL, mereka dihukum cambuk karena melakukan hubungan seksual, MU dan AL dianggap melanggar Pasal 63 ayat 1 Qanun 6/2014 tentang Hukum Jinayat yang mengharuskan mereka dihukum 80 kali cambuk (dikurangi masa tahanan 3 bulan, menjadi 77 kali)—eksekusi mereka terjadi pada 28 Januari 2021 lalu.

Hukum cambuk ini bukanlah pertama kalinya menimpa kelompok LGBT, pada tahun 2017 pernah terjadi hukuman cambuk terhadap kelompok LGBT (MT dan MH) yang dituduh melakukan hubungan seksual, mereka di hukum sebanyak 85 kali cambukan. Pada 2018 juga hal serupa kembali terjadi, pasangan LGBT (N dan R) yang menerima hukum Qanun sebanyak 86 kali cambukan.

LBH Masyarakat (LBHM) pada tahun 2016 saja, sebanyak 396 orang sudah dieksekusi (cambuk) dan bersiap berhadapan dengan hukuman cambuk (66 orang masih berupa ancaman cambuk). Dalam temuan ini juga ditemukan jika terdapa kelompok LGBT yang dirazia dan diancam mendapatkan hukuman cambuk.

Selain bertentangan dengan hukum positif, pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan terhadap kelompok LGBT ini tentunya merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas privasi yang dilindungi oleh konstitusi.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:

Contact Person: 0812-3631-0500 (LBHM)

Skip to content