Skip to content

Rekrutmen Terbuka Volunteer

Saat ini LBH Masyarakat (LBHM) membuka kesempatan bagi Anda untuk terlibat dalam kerja-kerja advokasi yang kami lakukan sejak tahun 2007. Dalam beberapa bulan ke depan, kami hendak melakukan penelitian terkait data terpidana mati di Indonesia.

Kualifikasi

  1. Berstatus sebagai mahasiswa/mahasiswi aktif atau lulusan baru sarjana (fresh graduate);
  2. Memahami isu hak asasi manusia dan hukum;
  3. Memahami putusan pengadilan;
  4. Memiliki perangkat untuk bekerja;
  5. Dapat mengoperasikan microsoft office (terutama microsoft excel);
  6. Dapat bekerja dari kantor LBHM, setidak-tidaknya dua (2) hari dalam setiap minggu;
  7. Dapat bekerja dalam lintas isu (selain dari isu pidana mati); dan
  8. Dapat berkomitmen untuk menyelesaikan pekerjaan.

Syarat Administrasi

  1. Daftar riwayat hidup (Curriculum Vitae);
  2. Scan/foto kartu identitas;
  3. Bagi mahasiswa/mahasiswi aktif untuk dapat menyertakan:
  • Scan/foto kartu tanda mahasiswa;
  • Transkrip nilai semester terakhir;
  1. Bagi fresh graduate, dapat menyertakan scan/foto ijazah;
  2. Kirimkan tulisan 300-500 kata tentang: “Mengapa kami harus memilih Anda sebagai relawan?” dalam format PDF.

Mekanisme Pendaftaran

Seluruh berkas dikirim ke email: yoctavian@lbhmasyarakat.org dengan subjek email: Relawan_LBHM. Batas akhir pendaftaran 14 Oktober 2024 pukul 23.59 WIB.

Dalam kesempatan ini, LBHM akan memberikan insentif bagi volunteer terpilih. Jadi, selamat mencoba dan kami tunggu aplikasimu. Semoga kita bisa berkolaborasi bersama!

***

Tentang LBHM

LBHM adalah sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Telah melakukan 16 tahun kerja-kerja bantuan hukum, riset, kampanye, advokasi dan penguatan kapasitas sebagai upaya pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Adapun isu HAM yang menjadi fokus LBHM meliputi narkotika, HIV/AIDS, hukuman mati, keragaman gender dan seksualitas serta kesehatan jiwa.

Laporan Observasi Simposium Nasional “Hukum yang Hidup di Masyarakat” (Living Law) Paska KUHP Baru

Di tengah masa transisi mengantisipasi keberlakuan KUHP baru mulai Januari 2026, ada kebutuhan bagi masyarakat sipil baik yang bergerak di isu hak masyarakat adat maupun mereka yang berfokus pada perlindungan hak kelompok rentan untuk mendiskusikan sejumlah isu terkait Pasal 2 KUHP baru dan (potensi) implementasi dan implikasinya. 

Di saat bersamaan, seiring dengan persiapan pemerintah menyiapkan rencana peraturan turunan pasal tersebut,  masyarakat sipil juga merasa perlu memberikan masukan yang konstruktif atau setidaknya memberikan saran yang bersifat pengaman (safeguarding) yang berkeadilan dan berperspektif HAM.

Upaya untuk mendiskusikan hal-hal tersebut dan menyarikan masukan dan rekomendasi kunci itu dilakukan dengan adanya pelaksanaan acara Simposium Nasional “Hukum yang Hidup dalam Masyarakat” Pasca KUHP Baru. Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN), Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menggagas dan menyelenggarakan Simposium Nasional.

Dari kegiatan tersebut, menghasilkan laporan observasi berdasarkan diskusi antar pemangku kepentingan yang dapat Sobat Matters akses melalui link di bawah ini. 

Pedoman Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia bagi Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Mental

Institusionalisasi (pengurungan secara paksa) masih menjadi salah satu permasalahan yang menimpa sebagian kelompok orang di Indonesia. Banyak praktik institusionalisasi dirancang dengan sebuah landasan yang keliru bahwa penempatan seseorang di satu tempat di mana orang tersebut mendapatkan perawatan supaya ‘sembuh’.

Praktik institusionalisasi ini kemudian membuahkan masalah yang kompleks dan sulit untuk dipecahkan. Dalam konteks Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP), praktik institusionalisasi menyebabkan ribuan ODP kehilangan kebebasan dan haknya.

Pedoman ini kemudian hadir untuk menjadi salah satu cara mengurai permasalahan yang masih dialami ODP. Pedoman ini juga berupaya mengatasi dilema yang dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil dalam menanggulangi masalah panti bagi ODP.

Tak hanya itu, pedoman ini merupakan sarana bagi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Aparat Penegak Hukum (APH), masyarakat, dan organisasi penyandang disabilitas untuk bersama-sama menghapus stigma dan diskriminasi yang melekat pada ODP.

Pedoman ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi pemangku kepentingan untuk berupaya dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia PDM di panti-panti rehabilitasi mental.

Dengan dasar kesetaraan, bahwa ODP punya hak dan kesempatan yang sama untuk penikmatannya, maka ODP juga berhak untuk bebas dari penahanan yang sewenang-wenang karena kedisabilitasannya, termasuk tindakan kekerasan, merendahkan martabat, dan pelanggaran HAM lainnya yang mungkin dialami oleh ODP di panti-panti rehabilitasi mental.

Terakhir, pedoman ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi dan tugas dari panti-panti rehabilitasi mental sebagai tempat singgah sementara yang berperspektif HAM untuk mengembalikan fungsi sosial ODP sehingga mereka dapat hidup mandiri dan inklusif dalam masyarakat.

Unduh pedoman tersebut melalui link di bawah ini:

Legal Opinion – Mengurai Benang Kusut Hukum yang Hidup di Masyarakat dalam KUHP

Pada tahun 2023, Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (“KUHP 2023”). Perubahan yang dilakukan oleh perumus undang-undang terhadap KUHP 2023, memperkenalkan kepada publik terhadap banyak ketentuan-ketentuan baru seperti (1) jenis pidana dan tindakan baru; (2) tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat; (3) konsep pemaafan hakim (judicial pardon); (4) pidana korporasi dan lain sebagainya.

Salah satu perubahan KUHP 2023 yang akan menjadi fokus sorotan dalam tulisan ini adalah isu tindak pidana yang hidup di dalam masyarakat atau yang selanjutnya di dalam tulisan ini disebut dengan tindak pidana adat. Menurut Dominikus Rato, bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat. Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis serta tidak dibentuk oleh negara, sehingga ketika hal tersebut dibentuk oleh negara maka hal tersebut tidak lagi merupakan karakteristik dari hukum adat. Dengan adanya ketentuan baru dalam KUHP 2023 yang mengatur bahwa tindak pidana adat harus diatur secara tertulis di dalam peraturan daerah, maka perubahan ini menjadikan hukum adat di Indonesia mengalami reformasi atau perubahan wajah karena hukum adat dibatasi menjadi hukum tertulis. Dengan kondisi demikian, karakteristik hukum adat yang tidak tertulis tadi, dengan sifatnya yang dinamis atau mudah berubah, kini akan menjadi lebih kaku mengingat proses perubahan hukum adat tersebut kini membutuhkan rangkaian proses formil layaknya peraturan perundang-undangan pada umumnya yang membutuhkan waktu. Lambat laun nasib hukum adat yang dinamis akan berubah menjadi hukum nasional pada umumnya.

Unduh Legal Opinion

Joint Statement by International Communities on the Brutal, Indiscriminate, and Potentially Expired Use of Tear Gas in Political Dynasty Protests in Indonesia

Wednesday, August 28th, 2024

We, the undersigned non-governmental organizations (NGOs) across the globe, express our deep concern and strong condemnation of the brutal and indiscriminate use of tear gas by security forces during protests against political dynasties in various cities across Indonesia.

We are particularly alarmed by reports suggesting that some of the tear gas used may be expired, which poses severe health risks to protesters and local residents. Additionally, concerns about potential corruption in the procurement of these tear gas canisters further exacerbate the situation, raising questions about the integrity and safety of the crowd control measures being employed.

Based on investigations through the Electronic Procurement Service (lpse.polri.go.id) of the National Police, Indonesia Corruption Watch (ICW) found that the National Police made five purchases between December 2023 and February 2024. A total of US$12.1 million in taxpayer money was spent on tear gas, spread across two work units: the National Police’s Mobile Brigade Corps and the National Police’s Security Maintenance Agency.

There are three main issues regarding the National Police’s purchase of tear gas to date:

  1. The National Police’s Defiance in Disclosing Procurement Information: Despite requests from civil society since August 2023, the National Police have refused to disclose the procurement contracts for tear gas. This suggests that the National Police may be hiding information. The lack of transparency, as mandated by the Central Information Commission Regulation No. 1 of 2021 on Public Information Service Standards (SLIP), should be seen as an early indication of problematic procurement, which could potentially lead to corruption.

Following the Police’s refusal, civil society filed an information dispute with the Central Information Commission (KIP) in December 2023. However, KIP has yet to provide a resolution. civil society suspects that KIP is reluctant to process the dispute against the Police, not merely due to the busy agenda of resolving information disputes. According to SLIP regulations, the dispute process should not take long, as the information civil society requested is clearly public.

  • Lack of Accountability for Tear Gas Use: According to civil society findings, in one of the five procurement packages, the National Police provided information about the quantity of ammunition purchased, amounting to 38,216 projectiles. However, in the other four procurement packages, there was no detailed information on the number of rounds purchased by the Police. This lack of detail makes it difficult for the public to demand accountability, especially when the tear gas is used recklessly and brutally. Without accountability, the Police might be suspected of using expired tear gas, as seen in the Kanjuruhan tragedy.
  • Purchases Made During Non-Emergency Situations: The purchase of tear gas during non-emergency situations raises suspicions that the exorbitant spending is merely an attempt to silence civil society criticism during the 2024 political year. Elevated public criticism is a logical consequence of electoral competition marred by dubious tactics. This also indicates the shallow security strategy of the National Police, which resorts to injuring taxpayers with tear gas instead of addressing their concerns. As a result, the Police’s tear gas purchases add to the growing list of wasteful or inappropriate use of state funds.

The right to peaceful assembly is a fundamental human right protected under international law, including the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and Political Rights, to which Indonesia is a party through Law No.12 of 2005. The excessive, improper, and potentially illegal use of tear gas not only violates these rights but also endangers lives and undermines public trust in the authorities.

We call on the Government of Indonesia to:

  1. Immediately cease the use of tear gas in a manner that is disproportionate, indiscriminate, and potentially dangerous due to expiration or other safety concerns. Security forces must follow strict guidelines to ensure the protection of public health and safety.
  2. Conduct a thorough and transparent investigation into the use of tear gas in various cities across Indonesia, focusing on the condition and procurement of the tear gas canisters. The investigation should also address any potential corruption in the procurement process, with findings made public and those responsible held accountable.
  3. Ensure the protection of peaceful protesters, safeguarding their right to express dissent against political dynasties without fear of violence, intimidation, or exposure to harmful chemical agents.
  4. Implement stronger oversight and transparency in the procurement process for tear gas and other crowd control tools, to prevent corruption and ensure that all equipment used meets safety standards.
  5. Uphold Accountability and develop a comprehensive review in the use of tear gas by law enforcement officers, particularly concerning its human rights and health impacts on affected civil society elements including students, children in the targeted area for tear gas launches, journalists, and many others.

We stand in solidarity with the people of Indonesia in their pursuit of justice, democracy, and human rights. The misuse of force and the potential corruption in the procurement of dangerous crowd control measures are unacceptable and must be addressed immediately.

We urge the Indonesian government to uphold its commitments to human rights and democratic values and to take swift action to prevent further violence and ensure the safety and well-being of all citizens.

Signatories:

  1. Indonesia Corruption Watch (ICW)
  2. PurpleCode Collective
  3. Humanis
  4. CODAYati
  5. The Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS)
  6. MUSAWI Pakistan
  7. Advocacy Forum Nepal
  8. Manushya Foundation
  9. Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network
  10. Human Rights Working Group (HRWG)
  11. Women 4 Women
  12. PERIN+1S & C2O library
  13. Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA)
  14. Migrant CARE
  15. Samudayik Sarathi Nepal
  16. LaporIklim
  17. LaporSehat
  18. Transformasi untuk Keadilan Indonesia
  19. The Prakarsa
  20. Indonesia Legal Aid and Human Rights Association (PBHI)
  21. 350.org Indonesia
  22. Kolektif Semai
  23. WeSpeakUp.org
  24. New Naratif
  25. Transparency International – Malaysia Chapter
  26. Proklamasi Anak Indonesia
  27. Milk Tea Alliance – Friends of Myanmar
  28. Queers of Burma Alternative
  29. Suara Rakyat Malaysia (SUARAM)
  30. SRI Institute
  31. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  32. Cedaw Working Group Indonesia (CWGI)
  33. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  34. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
  35. Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT)
  36. Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusi Disabilitas (FORMASI Disabilitas).
  37. Progressive Voice
  38. Karen Women’s Organization
  39. Philippine Alliance of Human Rights Advocates (PAHRA)
  40. Human Rights Online Philippines (HROnlinePH)
  41. Cross Cultural Foundation Thailand (CrCf)
  42. Blood Money Campaign
  43. Gueers of Burma Alternative
  44. Perkumpulan Suaka Untuk Perlindungan Hak Pengungsi (SUAKA)
  45. Forum LSM DIY
  46. Yayasan LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial)
  47. Koalisi Lintas Isu (KLI) Yogyakarta
  48. Generation Wave
  49. Jaringan Radio Komunitas Indonesia
  50. Burmese Women’s Union
  51. Rumah Produksi untuk Kebudayaan Indonesia
  52. Beranda Migran
  53. Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI)
  54. Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR-Hong Kong)
  55. Gabriela Aotearoa New Zealand
  56. Anakbayan Aotearoa New Zealand
  57. GANAS COMMUNITY TAIWAN
  58. Transparency International Indonesia
  59. Philippines Australia Union Link, Sydney
  60. IMVU MACAU
  61. Merdeka West Papua Support Network
  62. International Indigenous Peoples Movement for
  63. Self-Determination and Liberation (IPMSDL)
  64. Kurawal Foundation
  65. Partido Manggagawa, Philippines
  66. Marsinah.id
  67. Think Path Indonesia Legal Office
  68. Dewan Adat Papua
  69. FIAN Indonesia
  70. Equality Myanmar (EQMM)
  71. Kyauktada Strike Committee (KSC) Myanmar
  72. Puanifesto
  73. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  74. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  75. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
  76. Gerakan Media Merdeka (Geramm)
  77. Pamflet Generasi
  78. People’s Empowerment Foundation
  79. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  80. Asia Pacific Research Network (APRN)
  81. Centre for Human Rights and Development (CHRD)
  82. Roots for Equity
  83. Alga Rural Women’s NGO
  84. KORT INGO Pakistan
  85. Forum Petani Plasma Buol
  86. Empowering Singaporeans
  87. Black Farm Municipal
  88. International NGO Forum on Indonesian development (INFID)
  89. Public Virtue Research Institute
  90. Sikola Mombine Foundation ( SM-CentralSulawesi)
  91. Indonesian Consumers Foundation ( YLKI)
  92. Progressive Voice
  93. Aliansi Melbourne Bergerak
  94. TAPOL, United Kingdom
  95. Transparency International – Taiwan Chapter
  96. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  97. RRR Collective
  98. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist)
  99. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  100. Resister
  101. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
  102. The Indonesian Forum for Environment (WALHI) – Friends of the Earth Indonesia
  103. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
  104. Activate Rights, Bangladesh
  105. Auriga Nusantara
  106. Don’t Gas Indonesia
  107. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (Community Legal Aid Institute)
  108. Bir Duino Kyrgyzstan
  109. Anotasi.org
  110. 350.org Japan
  111. Melihat Kota
  112. 350.org Asia
  113. Needle n’ Bitch
  114. ALTSEAN-Burma
  115. ASEAN SOGIE Caucus
  116. Friends of the Earth Japan
  117. Lokataru Foundation
  118. Blok Politik Pelajar
  119. Front Forward Muda
  120. Partai Hijau Indonesia
  121. Choose Democracy
  122. Tifa Foundation
  123. Asia Indigenous Peoples Pact
  124. Bai Indigenous Women’s Network
  125. The Institute for Ecosoc Rights
  126. KERI: Caring for Activists
  127. WITNESS
  128. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG)
  129. National Indigenous Women Forum (NIWF), Nepal
  130. 350.org US

Policy Brief Risiko dan Mitigasi Dampak Pengaturan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Pelaksana KUHP

Formalisasi Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (HYHDM) dalam KUHP membawa risiko   besar bagi kelompok marginal dan rentan, serta menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam hukum pidana nasional. Sebab, formalisasi HYHDM berpotensi mematikan sifat dinamis dan fleksibel dari HYHDM, meningkatkan obesitas regulasi dan berbiaya tinggi di tingkat daerah, serta memperkuat diskriminasi dan hegemoni kelompok elit dominan di dalam masyarakat.

Dampak nyata dari formalisasi ini adalah over-kriminalisasi, ketidakpastian hukum, dan disparitas dalam pelaksanaan hukum pidana, yang bisa memperparah ketidakadilan bagi  kelompok marginal dan rentan. Maka, sebaiknya Pemerintah tidak perlu membentuk peraturan pelaksana HYHDM. Namun apabila pembentukan peraturan pelaksana tetap dilanjutkan, diperlukan upaya mitigasi yang sistematis berlandaskan prinsip keadilan, partisipatif, pemberdayaan, dan keberpihakan dalam proses pembentukan peraturan pelaksana KUHP.

Untuk meminimalisir risiko dari peraturan pelaksana KUHP, policy brief ini akan menekankan pada pembentuk peraturan untuk memperhatikan aspek proses, indikator substansi, dan implementasi ketentuan HYHDM

Unduh Policy Brief:

[INFOGRAFIS] Memutus Rantai Sistem Pengampuan: Menghormati Orang dengan Disabilitas Psikososial dalam Mengambil Keputusan melalui Mekanisme Sistem Dukungan

Sistem pengampuan yang masih diberlakukan dalam sistem hukum di Indonesia merugikan Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Sistem ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tepatnya di Pasal 433. Sistem ini ditujukan untuk individu yang dianggap tidak mampu mengurus diri atau hartanya karena kondisi mental atau fisik tertentu. Dalam konteks ini: Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Lewat sistem ini, kerangka hukum di Indonesia memungkinkan orang lain, biasanya keluarga, untuk mengambil keputusan hukum dan finansial atas nama orang yang diampu.

Dampak negatif sistem pengampuan terhadap ODP ini, diantaranya tercerabutnya kapasitas legal dan otonomi, menurunkan kualitas hidup, sampai merendahkan martabat ODP sebagai penentu utama keputusan, sehingga rantai sistem pengampuan ini harus segera diputus, digantikan dengan Sistem Dukungan dalam Pengambilan Keputusan (SDPK).

Sistem Dukungan dalam Pengambilan Keputusan (SDPK) adalah mekanisme yang memungkinkan individu, terutama ODP, untuk membuat keputusan hidup yang penting dengan dukungan yang sesuai. Meskipun Indonesia belum memiliki regulasi khusus tentang SDPK, hak-hak yang menjadi dasar SDPK pada dasarnya telah termuat dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya Pasal 28A-28J tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia UUD RI Tahun 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Keberadaan SDPK sangat penting untuk mendukung ODP. Sebab, SDPK menghormati otonomi, meningkatkan kemandirian, mengurangi stigma, dan bentuk kepatuhan negara terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD).

Lewat penyajian data, analisis, dan informasi dalam Infografis ini, yang berangkat dari laporan dokumentasi implementasi SDPK oleh KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan REMISI (Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia), harapannya dapat memberikan penjelasan secara sistematis terkait persoalan yang masih dialami oleh ODP dan bagaimana kita bisa mendukung mereka. Temuan dalam laporan ini penting untuk mendorong perubahan kebijakan dan pembangunan yang menyertakan ODP secara bermakna. Jadi, selamat membaca!

Unduh Infografis:

Laporan Dokumentasi Implementasi Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan

Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan (SDPK) adalah istilah yang berasal dari konsep supported decision-making yang penjelasannya tercantum dalam Komentar Umum Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Konsep SDPK merupakan mekanisme alternatif bagi Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) untuk menggantikan konsep substitute decision-making yang sarat diskriminasi.

Secara konseptual, SDPK menghormati otonomi, keinginan, dan preferensi individu, sebagaimana tertuang dalam dokumen komentar umum yang sama poin ke-24. Selain itu, SDPK juga merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat orang dengan disabilitas sebagai penentu utama keputusan.

Konsep SDPK menempatkan individu sebagai subjek yang menentukan pengambilan keputusan meski terdapat orang lain yang membantunya, sehingga berdampak positif pada kemandirian dan produktivitas individu tersebut.

Meskipun SDPK memiliki penjelasan terperinci dan berkaitan erat dengan persoalan kapasitas hukum, CRPD tidak memberi aturan baku implementasi SDPK. Begitupun dengan Indonesia, sebagai salah satu negara pihak dalam CRPD, belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, termasuk aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, secara formal, Indonesia masih belum mampu menghapus pengampuan yang berkiblat pada paradigma substitute decision-making.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, maupun aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, Indonesia masih belum mampu menghapus sistem pengampuan yang berhaluan SSPK, sebuah sistem yang menjadi antitesa SDPK.

Namun, penerapan SDPK di Indonesia tidaklah mustahil, sebab pengakuan hak-hak dasar orang dengan disabilitas telah tercantum dalam berbagai peraturan, termasuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak-hak orang dengan disabilitas beserta beberapa peraturan turunannya.

Beberapa peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang memuat hak-hak dasar, termasuk yang berkaitan dengan SDPK. Ditambah lagi, meski belum spesifik membahas SDPK, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) yang dikelola oleh beberapa pemangku kepentingan di pemerintahan, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Gagasan SDPK bersifat multidimensional dan bentuk implementasinya beragam. Ragam implementasi itu tercantum dalam penelitian LBHM (2021) yang membandingkan praktik SDPK di berbagai negara yang menegaskan bahwa ada dugaan kuat bahwa praktik-praktik yang mengusung prinsip SDPK sejatinya sudah terlaksana di Indonesia, meskipun sifatnya informal.

Salah satu contohnya adalah kelompok dukungan sebaya atau peer-support group yang telah dipraktikkan oleh organisasi masyarakat sipil. Contoh lainnya adalah peer counseling dimana konseling dilakukan oleh sebaya, bukan oleh profesional. Konsep peer counseling sendiri muncul dari kebutuhan menghilangkan jarak antara konselor dengan yang berkonsultasi, agar hubungannya lebih setara. Selain itu, terdapat pula konsep group activity atau aktivitas kelompok yang dalam pelaksanaannya menerapkan prinsip dalam SDPK.

Unduh laporan dokumentasi untuk mengetahui bagaimana praktik SDPK ini dilakukan di Indonesia oleh KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan REMISI (Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia):

Versi Bahasa Indonesia

Versi Bahasa Inggris

MAJELIS HAKIM PENGADILAN NEGERI STABAT MENCEDERAI PRINSIP KEMANUSIAAN

Hari Senin tanggal 8 Juli 2024 menjadi momentum kelam dalam sejarah kemanusiaan pasca vonis bebas yang diberikan kepada mantan Bupati Kabupaten Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin (TRP). Melalui putusan nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.SBT, TRP dinyatakan tidak bersalah atas dugaan tindak pidana perdagangan orang yang ditemukan pada awal tahun 2022 lalu.

Sebelumnya, pada 18 September 2023, Penuntut Umum mendakwa TRP dengan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Pasca pembuktian yang melibatkan lebih dari 50 orang saksi, Penuntut Umum menuntut TRP dengan pidana penjara selama 14 tahun dan 6 bulan. Selain pidana penjara, TRP juga diminta untuk membayar restitusi sejumlah Rp 2.377.805.493 (dua milyar tiga ratus tujuh puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) kepada para korban atau ahli waris dari korban.

Vonis bebas yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Andriyansyah, Dicki Irvandi, dan Cakra Tona Parhusip patut untuk dipertanyakan. Pasalnya, 4 orang yang juga diperiksa dalam kasus serupa, telah lebih dulu divonis bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif pertama Penuntut Umum, yakni Pasal 7 ayat (2) UU TPPO Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun perkara 4 orang tersebut telah berkekuatan hukum tetap dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp200.000.0000, subsider 2 bulan kurungan (vide putusan nomor: 469/PID.SUS/2022/PN.STB jo. Putusan Nomor: 1820/PID.SUS/2022/PT.MDN jo. Putusan Nomor: 3775 K/PID.SUS/2023). Disparitas penjatuhan putusan dalam perkara TRP dengan 4 orang lainnya ini patut diduga sebagai bentuk kelalaian majelis hakim dalam memeriksa kedua perkara tersebut. Mengingat susunan anggota majelis hakim di tingkat pertama yang serupa.

Penuntut Umum dalam dakwaannya telah menyebutkan secara tegas tentang kronologi dan keterlibatan TRP sebagai pendiri dari kerangkeng manusia yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi. Sejak pendiriannya pada tahun 2010 sampai dengan Januari 2022, ‘penjara’ ini sudah menerima setidaknya 665 orang untuk menjalani aktivitas yang konon diklaim merupakan rehabilitasi narkotika. Empat orang di antaranya meninggal dunia setelah menerima tindakan penyiksaan yang dilakukan selama berada di dalam kerangkeng milik TRP tersebut. Klaim TRP yang menyebutkan bahwa kerangkeng ini ditujukan untuk rehabilitasi jelas mengusik logika dan akal sehat. Selain tindakan penyiksaan yang merenggut nyawa, tempat ini bahkan tidak mengantongi izin sebagai lembaga rehabilitasi dari institusi yang berwenang. Secara khusus dalam konteks ketergantungan narkotika, tidak ada program dan fasilitas yang relevan sebagai upaya untuk menjawab persoalan adiksi serta pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang berada di dalamnya.

LBHM menekankan perhatian pada suburnya stigma dan pendekatan punitif terhadap setiap orang yang terlibat kasus narkotika, khususnya pengguna narkotika, yang hanya akan menciptakan praktik penyiksaan dan koruptif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Tidak sedikit pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap tanpa barang bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi. Hal ini jelas menggambarkan masifnya praktik penahanan sewenang-wenang dengan kedok rehabilitasi. Dewan HAM PBB melalui Kelompok Kerja Penahanan Sewenang-wenang (Working Group on Arbitrary Detention) juga telah memberikan rekomendasi tegas agar negara-negara anggotanya menutup lembaga-lembaga rehabilitasi wajib, baik yang berada di bawah pengelolaan negara maupun swasta, yang melakukan penahanan di luar kehendak para pengguna narkotika.

Di sisi lain, vonis bebas dalam kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh TRP ini melahirkan pertanyaan besar terhadap Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang sejatinya sudah dibentuk sejak tahun 2008. Setidaknya terdapat 24 kementerian dan lembaga yang tergabung dalam gugus tugas ini. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021, Gugus Tugas yang terbentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota memiliki peran untuk memantau sampai dengan mengadvokasi kasus-kasus perdagangan orang. Namun sayangnya, keberadaan satgas tersebut juga tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban dan ahli waris korban yang telah mengalami berbagai bentuk tindakan perendahan martabat manusia dalam peristiwa kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat.

Vonis bebas dalam kasus TRP justru menunjukan kegagalan aparat penegak hukum dalam melihat perkara ini secara struktural. Kasus ini seharusnya mampu memberikan pesan kepada publik bahwa praktik perdagangan orang juga bisa timbul akibat stigma terhadap pengguna narkotika dan kukuhnya pendirian bahwa semua pengguna narkotika harus direhabilitasi, sekalipun itu merenggut kebebasannya. Kasus ini sepatutnya juga bisa menjadi pukulan keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menindak tempat-tempat penahanan berkedok rehabilitasi. Oleh karena itu, LBHM memberikan perhatian dan desakan sebagai berikut:

  • Meminta Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO untuk melakukan evaluasi terhadap penyelesaian kasus TPPO di dalam dan luar Indonesia yang melibatkan warga negara Indonesia;
  • Meminta Penuntut Umum untuk segera menyatakan kasasi dan memberikan memori kasasi sebagaimana aturan hukum acara pidana yang berlaku;
  • Meminta Hakim Agung di tingkat kasasi untuk dapat memeriksa dan memutus perkara ini dengan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan dan keadilan, mengingat banyaknya korban terhadap tindak ‘perbudakan’ yang dilakukan oleh TRP, bahkan sampai merenggut nyawa. Termasuk juga memperhatikan disparitas putusan yang terjadi pada Terdakwa lainnya;
  • Meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk segera memeriksa Andriyansyah, Dicki Irvandi dan Cakra Tona Parhusip, selaku Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.STB;
  • Meminta Polri untuk segera menutup seluruh tempat-tempat yang seolah-olah dijadikan kedok sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial, namun melakukan tindakan pemerasan, penyiksaan, dan/atau perbudakan.

Narahubung:

LBHM: 0898-437-0066 (Yosua Octavian)
id_IDIndonesian